Mungkinkah berbicara etika politik tanpa memperhitungkan wacana
ekonomi? Wacana yang ukuran utamanya kegunaan, mungkinkah membawa ke refleksi etika selain utilitarisme? Bagaimana nilai dan makna berperan dalam tindakan rasional yang direduksi menjadi rasionalitas ekonomi (semua tindakan rasional harus memperhitungkan keuntungan dan ongkos)? Rasionalitas ini membentuk hubungan kekuasaan yang peran utamanya dipegang oleh mereka yang menguasai operasi-operasi pasar (Herry-Priyono menyebut Leviathan Baru untuk para pelaku bisnis, Kompas, 5/4/ 2002). Bila dalam analisis Michel Foucault, kekuasaan dimengerti pertama-tama tidak dalam hubungannya dengan negara, tetapi dengan subyek (1976); cara lain, kekuasaan dilihat dalam hubungannya dengan ekonomi. Dengan analisisnya, orang diajak melihat apa yang sebenarnya berlangsung. Yang sedang berlangsung ialah wacana ekonomi amat dominan dalam politik kekuasaan. Maka ekonomi tidak bisa tidak harus diperhitungkan. Etika politik lalu memperlihatkan keterbatasannya. Bukankah ia tunduk terhadap rezim wacana ekonomi? Meski etika politik juga merupakan rezim wacana, berarti dihasilkan dari hubungan pengetahuan-kekuasaan.
Pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Kebenaran tidak ada di
luar kekuasaan. Pendekatan Foucault waspada terhadap semua bentuk wacana yang berusaha menyembunyikan ambisi kekuasaan. Lalu, etika politik lebih realistis dengan menekankan proses menalar yang kritis, yaitu menempatkan diri pada posisi orang lain. Dengan cara itu, filsafat politik mau berperan dalam debat publik: pembentukan kehendak umum dan etika publik dengan mematangkan argumen yang mendasari legitimasi kebijakan publik. Untuk itu, etika politik perlu mengkritisi legitimitas keputusan politik dan praktik politik dengan mengungkap ambiguitas keyakinannya. Ambiguitas kebijakan penguasa terletak pada kepentingan ekonomi. Ekonomi sebagai ilmu bukan hanya rezim wacana, tetapi suatu praksis yang memaksakan sebagai syarat yang harus dipenuhi. Ekonomi adalah wacana kekuasaan. Maka etika (etika politik, bisnis, ekonomi) hanya akan dimanipulasi menjadi ideologi yang memberi pembenaran kepentingan ekonomi. Kalau episteme dipahami sebagai struktur pemikiran khas suatu zaman (Foucault,1969), ekonomi bisa dikatakan episteme itu. Ekonomi menjadi struktur pemaknaan yang menyatukan praktik-praktik wacana-wacana dewasa ini. Semua cenderung diukur dari perspektif ekonomi.
Memang, ilmu ekonomi dianggap sebagai alat analisis yang amat
menjanjikan untuk memahami tindakan sosial. Bahkan ilmu itu menembus masuk bidang ilmu-ilmu sosial lain. Dalam ilmu politik, misalnya, konsep pertukaran juga dipakai untuk menjelaskan sistem demokrasi. Peran politikus tidak berbeda dari pengusaha dalam pasar politik. Pemilih adalah konsumen barang politik yang ditawarkan pasar yang kompetitif (Schumpeter, 1942). Pemikiran sosiolog dan filsuf Perancis Pierre Bourdieu amat diwarnai konsep ekonomi seperti modal budaya, modal simbolik, modal sosial. Konsep-konsep ekonomi merambah ke semua ilmu yang membahas sistem tindakan. Konsep tindakan rasional sulit lepas dari pemahaman ekonomi. Tiap tindakan membutuhkan ongkos. Konsep ekonomi itu meluaskan ekspansinya dengan penggunaan istilah investasi waktu, ongkos psikologis atau biaya politik. Memang kekuatan ilmu ekonomi terletak dalam konsep-konsep kunci yang dapat diterapkan hampir di semua bidang seperti kelangkaan, pertukaran, kesempatan, ongkos, pilihan, kompetisi, modal, investasi, dan seterusnya. Ilmu ekonomi relatif lebih berhasil dari ilmu-ilmu sosial lain dalam hal perbaikan kemampuan untuk menjelaskan dan memprediksi. Setiap pilihan rasional dituntut memperhitungkan keuntungan dan ongkos. Bahkan, pemecahan masalah secara rasional sering digeneralisir menjadi metode teori ekonomi. Penjelasan yang terkait sistem tindakan tanpa memperhitungkan ilmu ekonomi akan dianggap sebagai bentuk abstraksi yang lupa akan realitas.
Refleksi etika politik tidak bisa menghindar dari tuntutan epistemologis
agar memperhitungkan ekonomi. Mun- cul beberapa pertanyaan kritis. Sejauh mana refleksi politik dan etika politik bisa otonom supaya tidak memberi peluang kepada semua bentuk eksperimen politik? Masyarakat yang mendefinisikan diri sepenuhnya dari segi ekonomi menjadikan masyarakat sama sekali profan, tidak peduli pada nilai, makna, dan moral. Nilai tertinggi diidentikkan dengan kegunaan. Bukankah politik hanya direduksi menjadi ekonomi, atau politik sekadar merupakan variabel ekonomi?
Paul Ricoeur mengatakan, kelemahan cara pandang ini tidak memberi
tujuan yang benar-benar khas politik: seakan tidak ada cita-cita khas politik yang bisa lepas dari kepentingan ekonomi (Ricoeur, 1986). Lalu, bagaimana nasib cita-cita politik mencari keharuman bangsa, politik sebagai arena penyingkapan identitas diri, sebagai wahana mengabadikan diri, upaya menggalang solidaritas? Orang hanya mengagungkan peran cara produksi dalam perkembangan masyarakat. Lalu, semua kemalangan hidup ditimpakan pada masalah eksploitasi kerja dalam perspektif mencari keuntungan. Masalah politik hanya cermin keterasingan ekonomi. Maka setiap rezim politik akan dianggap legitimate bila dapat menghilangkan keterasingan ekonomi, bahkan rezim yang paling otoriter. Tidak mengherankan setelah reformasi, banyak dari lapisan sosial tertentu mengidungkan nostalgia zaman Orde Baru.
Rupanya, benar apa yang dikatakan Ernest Gellner, "Legitimasi
masyarakat modern tergantung dua hal, kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Bila gagal memberi dua hal itu, masyarakat itu kehilangan hormat dan kesetiaan dari warganya. Mereka mengharap hidup lebih baik dan standar hidup mereka berkembang naik" (E Gellner, 1998). Perbaikan terus-menerus dalam performance ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan ini menciptakan struktur kesibukan tidak stabil. Mobilitas menuntut manusia harus sesuai standar perubahan yang terus-menerus (posisi-posisi baru dalam struktur ekonomi dan sosial). Ini menciptakan persaingan tajam. Suasana persaingan itu menumbuhkan perasaan ketidakadilan, terutama ketika persaingan kian mempertajam polarisasi masyarakat dalam kelompok kelas. Lalu, perasaan ketidakadilan itu melanggengkan ketertutupan dan perasaan tidak aman bagi tiap orang. Mencari pelarian dalam kehidupan pribadi atau kelompok kekerabatan yang tertutup (agama, etnik, daerah) menjadi kecenderungan umum. Tentu saja dengan risiko dan kecenderungan pada fanatisme dan kekerasan.
Ekonomi menjadi abstraksi saat kehidupan ekonomi diatur pembentukan
pasar internasional dan globalisasi metode kerja. Organisasi kerja yang semula dianggap pendidikan bernalar, kini menjadi disiplin yang dipaksakan kepada semua orang. Bahwa ekonomi menjadi abstraksi, itu terlihat dari hakikat pekerjaan yang telah berhenti dari sifat fisiknya dan berubah menjadi semantik. Pekerjaan tidak lagi mengubah sesuatu, tetapi memanipulasi makna dan orang (bursa pasar modal). Tujuan pendidikan lebih memanusiakan manusia tidak punya gema lagi. Pendidikan hanya menjadi tempat pelatihan agar orang bisa memahami dan menyampaikan pesan-pesan pasar. Pendidikan akhirnya direduksi hanya untuk melayani kepentingan ekonomi. Masyarakat yang menekankan orientasi pada ekonomi merupakan masyarakat yang hanya kenal satu pola hubungan, yaitu bertarung dalam kompetisi. Masyarakat seperti ini menjadi arena di mana kelompok-kelompok bertarung tanpa ada yang menengahi. Ruang publik identik dengan pasar. Jadi ia tidak otonom karena tidak bisa dilepaskan dari obyek yang dihasilkan. Dengan demikian pluralitas yang tercipta masih semu karena hanya prestasi, berarti kompetensi yang menentukan. Lalu, pragmatisme menjadi ideologi pokok masyarakat semacam itu.
Pragmatisme cenderung mengesampingkan diskusi tentang prioritas,
debat teoretis dan ideologis, demi efisiensi. Apalagi nilai, makna, dan moral cenderung tidak diperhitungkan kecuali sebagai alat legitimasi. Nuansa dominasinya diselubungi atas nama obyektivitas dan kompetensi. Maka ilmu ekonomi sebagai rezim wacana perlu ditilik secara kritis. Setidaknya perlu membuka diri terhadap wacana lain. Pendirian "Grameen Bank" oleh Muhammad Yunus, pakar ekonomi Banglades, adalah salah satu bentuk gagasan alternatif dari sekadar logika ekonomi. Kelompok miskin yang tidak mempunyai jaminan menjadi bisa memiliki akses ke modal berkat pemikiran yang memperhitungkan aspek budaya (peminjam harus membentuk kelompok terdiri lima orang. Pada tahap pertama, hanya dua orang mendapat pinjaman. Bila dalam waktu lima minggu mereka mampu mengembalikan, maka tiga orang lain akan diberi pinjaman). Mungkin kemampuan mekanisme model itu amat terbatas.
Namun, bukankah bentuk- bentuk alternatif atas neoliberalisme betapa
pun terbatasnya bisa menjadi sarana pemberdayaan masyarakat dan cara mempersenjatai diri menghadapi globalisasi? Lalu, wacana ekonomi bisa menjadi lebih manusiawi karena peduli terhadap nilai solidaritas. Haryatmoko Pengajar Program Pasca- sarjana UI dan Universitas Sanata Dharma