You are on page 1of 33

OTAK MANUSIA1[2] DAN FUNGSI BERPIKIR

Oleh:

DEWI HERMAWATI SETIANI


SPL 995216
E-mail: dewi_setiani@excite.com

PROGRAM PASCASARJANA / S3
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
MEI 2001

DAFTAR ISI

I.

PENDAHULUAN

II.

OTAK DAN SISTEM SYARAF

1
[2] Disadur dari Moritz, H. 1995. “Science, Mind and the Universe”. Wichman, Berlin,
Jerman
II.1.

Bangunan Otak

II.2.

Neuron

III.

OTAK DAN PIKIRAN

III.1.

Teori-Teori Pikiran dan Otak

III.2.

Metafisika dan Ontologi


IV.

PERSEPSI MANUSIA

IV.1.

Persepsi Auditorial

IV.2.

Persepsi Visual (Penglihatan)

IV.3.

Persepsi Warna
IV.4.

Garis Berorientasi, Objek Bergerak dan

Sel-Sel Nenek (Grandmother cells)

V.

TEORI EVOLUSIONER DARI PENGETAHUAN

V.1.

Pengetahuan A Priori dan Posteriori

V.2.

Contoh Eddington
V.3.

Epistemologi Evolusioner

V.4.

Ilmu Pengetahuan

V.5.

Buket dan Lampu Sorot (The bucket and

The searchlight)

DAFTAR PUSTAKA
OTAK MANUSIA2[2] DAN FUNGSI BERPIKIR

1. PENDAHULUAN

Masing-masing periode sejarah membandingkan


tubuh manusia dengan mesin-mesin: dahulunya
tubuh manusia merupakan “mesin mekanis” atau
“mesin pemanas” dengan pompa untuk
janutungnya. Kini sudah umum untuk
membandingkan otak manusia dengan komputer
digital besar yang memproses secara parallel.
Suatu perbedaan penting untuk membandingkan
otak dengan komputer adalah kelebihan-nya yang
tinggi: jika bagian dari “komputer otak” gagal, maka
bagian-bagian lain dapat mengambil alih.

Asumsi-asumsi tentang komputasi otak


menjurus kepada konstruksi jaringan syaraf
buatan, yang, bersama–sama dengan alat
berhitung konvensional, memainkan peranan
sangat penting dalam kecerdasan buatan (artificial
intelligence, AI)
H.Petsche (Wina) dalam Moritz (1995)
menunjukkan bahwa “penembakan digital” (digital
firing), semua atau tidak sama sekali, seperti on/off,
atau digit 1/0, yang disebutkan di atas tidak
mengimplikasikan bahwa otak bekerja persis sama
dengan komputer digital (Cohen dan Steward 1994,
hal. 454).
Sel-sel syaraf tidak berhitung secara digital
tetapi menggunakan pulsa-pulsa diskret dalam
berkomunikasi dalam jarak jauh. Komputer otak
pada dasarnya tidaklah digital.. Kita juga tidak
boleh melupakan bahwa berhitung atau berfikir
logis hanya suatu fraksi yang kecil dalam aktivitas

2
intelektual kita yang juga meliputi kesenangan,
keinginan,ketakutan, puisi, musik dan sebagainya.

II

OTAK DAN SISTEM SYARAF

Bila ada kesepakatan tentang suatu fakta dalam


filsafat alamiah, maka kesepakatan itu adalah
tentang fakta bahwa pemikiran manusia tidak
terpisahkan dari otak kita.
Bahwa struktur fisiologis atau anatomis otak
kita sangat bersangkut paut dengan filsafat, tidak
diterima pada umumnya dalam filsafat. Hukum
logika dan matematika jauh lebih teliti dan tepat
(rigorous) daripada pengetahuan empiris semata
tentang struktur otak kita dan “hukum pemikiran”
ini tidak terlihat begitu bergantung pada arsitektur
otak kita. Nampaknya kecenderungan modern
dalam teori pengetahuan yang dikenal dengan
nama epistemologi evolusioner, bergantung pada
mekanisme dari persepsi (penglihataan,
pendengaran, dsb) dan pada pengolahan data dari
persepsi oleh otak. Hal yang sama juga berlaku
pada kecerdasan buatan (artificial intelligence atau
AI) dan untuk aspek-aspek komputasi otomatis
canggih lainnya, tetapi memiliki sejumlah titik
kontak, seperti metoda algoritmis dan aksiomatis
dan batasan-batasannya oleh teorema Gödel.
(Moritz 1995, hal.4)
Teorema Kurt Gödel, disebut juga “teorema ke-
tidaklengkapan” (incompleteness theorem)
meletakkan tekanan pada unsur dasar dari
“ketidak-pastian” (uncertainty”) melalui logika
samar (fuzzy logic), fluktuasi acak (random
fluctuation) , kesalahan pengukuran acak (random
measurement error), dsb., yang banyak mempersona
para sarjana matematika, fisika, geodesi dan
astronomi, sejak K.F. Gauss (1777-1855) (salah
satu ilmuan matematika dari tiga ilmuan
matematika yang dikenal dunia, yaitu Archimedes
dan Newton ). Kurt Gödel adalah warga negara
Amerika yang lahir di Cekoslovakia 1930 dianggap
adalah peletak dasar dari teori himpunan. Sebelum
Gödel, para ahli matematika mengatakan bahwa
sebagian besar jalur matematika menunjukkan
adanya konsistensi, jika aritmatiknya konsisten.
Dengan kata lain, suatu kumpulan axioma adalah
konsisten jika tidak mungkin menarik kesimpulan
baik pernyataan (statement) maupun penolakan
(negation). Namun hasil Gödel mendemonstrasikan
ketidak-mungkinan membuktikan konsistensi dari
aritmatik dengan cara ini, telah menghancurkan
harapan semacam itu. Ia membuktikan bahwa
dalam tiap sistem formal, yang dapat dioperasikan
dengan aritmatik, terdapat rumus yang benar (true)
sebagai representasi dari pernyataan aritmatik,
tetapi tidak dapat dibuktikan di dalam sistem.
Dalam hal ini, sistem adalah tidak lengkap (teorema
ketidak-lengkapan).

II.1 Bangunan Otak

Bagian-bagian utama otak adalah:


- brainstem (“reptilian brain” atau otak
reptil). Indonesia : “batang otak”
- limbic system (“mammalian brain” atau
otak mamalia). Indonesia: sistem tungkai
- cerebrum (“conscious brain” atau otak
besar)
- cerebellum (otak kecil sebelah belakang)
Gb.1 Bagian-Bagian Utama Otak

Brainstem (Gb.1)

Menurut sudut pandang evolusi biologis,


merupakan bagian otak tertua (sekitar 500 juta
tahun). Dengan karakteristik penyederhanaan
berkelebihan, brainstem ini dinamakan otak reptil
karena terlihat seperti otak keseluruhan reptil.
Brainstem umumnya mencermati fungsi-fungsi
paling primitif penunjang kehidupan: kontrol
pernafasan dan detak jantung.

Cerebellum (Gb.1)

Merupakan struktur perantara yang


memperhatikan koordinasi aktivitas dari otot dan
pemeliharaan keseimbangan tubuh. Cerebellum
bertanggungjawab atas berbagai keterampilan
bawah sadar, seperti mengenderai mobil atau
bermain piano.
Limbic System (Gb.1)

Berbentuk struktur seperti cincin yang


merupakan komponen tertinggi dari otak reptil
tetapi berkembang paling tinggi pada mamalia.
Limbic System mengatur suhu badan, tekanan
darah, dsb (“homeostasis”). Juga mengkontrol
reaksi-reaksi emosional yang diperlukan untuk
kelangsungan hidup: selera (nafsu makan),
agresivitas, reaksi terbang, dan perasaan seksual.
Nampaknya limbic system juga menjadi dasar
pembelajaran dan memori (apa yang dikenal
dengan hippocampus)

Struktur yang paling penting dari limbic system


adalah hypothalamus (terletak di bawah thalamus,
Gb.1). Hypothalamus adalah pengatur fungsi dan
keadaan tubuh: makan, minum, tidur, jalan,
keseimbangan kimia, hormon, dsb. Hypothalamus
adalah termostat untuk suhu darah dan berbagai
aksi umpan balik, sebagaimana bekerjanya
regulator teknologi. Hypothalamus berhubungan
sangat erat, melalui pesan-pesan kimiawi dan
listrik, dengan pituitary gland (kelenjar bawah otak)
terdekat. Ini merupakan kelenjar induk tubuh yang
mengatur hormon, secara langsung atau melalui
stimulasi kelenjar lain untuk mengeluarkan
hormon.

Thalamus (Gb.1)

Thalamus bertindak sebagai stasiun pemancar


penerus (relay station) untuk sensor eksternal,
seperti informasi visual. Informasi ini diteruskan ke
daerah tertentu dari korteks untuk pemrosesan
akhir.

Cerebrum (Gb.1)

Merupakan bagian otak yang secara khususnya


berkaitan dengan kecerdasan manusia. Terdiri dari
dua hemisfer, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer
kanan, yang dihubungkan oleh corpus callosum.
(Corpus callosum adalah serat putih yang
melintang menghubungkan kedua hemisfer otak).
Ada hubungan silang antara kedua hemisfer, yaitu
hemisfer kiri menerima informasi dari setengah
tubuh kanan (misalnya mata kanan) dan
mengkontrol setengah tubuh kanan (misalnya
tangan kanan). Begitu pula sebaliknya. Kedua
hemisfer sebenarnya merupakan satu sistem dan
bekerja sangat erat.

Kebanyakan aktivitas cerebrum berlangsung


pada permukaannya, yakni korteks (cortex).
Korteks, disebut juga kulit otak, memiliki ketebalan
sekitar 3 mm dan berlipat, sehingga permukaannya
yang besar cocok dalam tengkorak yang relatif kecil.

Daerah tertentu dari korteks terkait dengan


aktivitas tertentu: daerah utama visual
(penglihatan), korteks auditorial (pendengaran),
daerah sensor tubuh, korteks motor, dan daerah
bicara (dikenal dengan daerah Broca and
Wernicke). Daerah-daerah ini jangan sama sekali
diterima secara ketat dan jangan secara eksklusif;
pada dasarnya semua aktivitas menyangkut
seluruh otak.

Berkaitan dengan fungsi-fungsinya , korteks


dibungkus secara rapat dengan sel-sel syaraf
(neurons) yang sumbu-sumbunya (axe, axon dalam
Gb.2) tegaklurus (orthogonal) terhadap permukaan
korteks, sehingga kita memiliki struktur yang
mengingatkan kita pada permukaan tanah dan
garis unting-unting dalam geodesi. Pemikiran
rasional berlangsung terutama dalam korteks;
limbic system (hypothalamus dsb) nampaknya
memberi kontribusi latar belakang emosional.

II.2 Neuron

Gb.2 Bentuk Neuron

Setiap otak mengandung sekitar 1011 sel syaraf


atau neuron. Tombol penghubung (synaptic buttons,
Gb.2) ada sekitar 1014 dicantelkan pada sel-sel
syaraf bercabang (dendrite atau dendron) atau sel
tubuh (soma) terdekat. Ada suatu celah
penghubung (synaptic cleft) tipis, antar satu
tombol dengan sel-sel bercabang berikutnya yang
dijembatani oleh zat kimia (neurotransmitter) yang
dikirim oleh tombol ke sel-sel bercabang. Sel syaraf
bercabang (dendrite) yang membawa impuls ke sel
tubuh, disebut juga neuro-dendron..

Panjang serat neuron dalam korteks dalam 4.1


km/mm3. Bagaimana sinyal syaraf ditransmisi
sepanjang akson? Akson adalah sel syaraf di mana
impuls mengalir menjauhi sel tubuh (lihat Gb.2).
Transmisinya serupa dengan gelombang seismik
transversal. Gelombang transversal berosilasi
dalam arah yang ortogonal terhadap arah
perambatannya (propagasinya). Secara serupa,
sinyal syaraf adalah impuls yang bergerak maju
dari difusi ion-ion tertentu (K+, Na+, Cl) melintas
membran yang mirip tabung yang membentuk
axon.. Kecepatan normalnya hanya sekitar 5 meter
per detik; kecepatannya dapat ditingkatkan oleh
pembungkus sumsum (myelin sheath) dari axon
sampai dengan 100 meter per detik.

Fakta-fakta berikut ini adalah penting:


penembakan impuls ( the firing of an impuls)
berlangsung semua (all) atau tidak sama sekali
(none) Bentuk dan ukuran impuls tidak relevan;
yang penting adalah apakah neuron menembak
atau tidak. Penghubung (synapses), terdiri tombol
penghubung dan celah penghubung (cleft), dapat
bersifat merangsang (excitatory) atau mencegah
(inhibitory). Efek gabungannya terhadap neuron
menetapkan apakah neuron menembak atau tidak.
Sistemnya; semua (=1) atau tidak sama sekali (= 0)
pada dasarnya merupakan sistem digital, yang
menggunakan dua angka terdiri dari 0 (nol) dan 1
(satu) yang sama dengan sistem dua angka dalam
komputer digital

Sel-sel syaraf tidak menghitung secara digital


tetapi menggunakan pulsa-pulsa diskret dalam
berkomunikasi. Komputasi otak tidak sebenarnya
digital. Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dibaca
dalam Penrose 1989, pp. 392-399 yang menurut
Moritz (1995) sangat relevant.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa “komputasi”


atau berfikir logis hanya merupakan fraksi kecil
sekali dari aktivitas intelektual kita, yang juga
meliputi kesenangan, keinginan, ketakutan, puisi,
musik, dsb.

III

OTAK DAN PIKIRAN

Hubungan antara otak dan pikiran merupakan


salah satu dari beberapa masalah paling
kontroversial dalam filsafat. Ini berkaitan erat
dengan masalah zat (matter) dan pikiran (mind).

Pada penglihatan pertamanya, nampaknya


seperti tidak ada masalah sama sekali. Pikiran
(thought), perasaan dan emosi kita jelas-jelas ini
mental , termasuk ke dalam pikiran (mind). Pohon,
rumah atau batu jelas-jelas ini material yang terdiri
dari zat. Karena kita dapat menyepak batu, jatuh
dari pohon, tinggal di rumah, mematahkan kaki.
Apalagi kalau ini bukan material ?

Ilmu pengetahuan modern memberikan


gambaran agak berbeda dengan zat. Zat terdiri dari
molekul-molekul yang sangat kecil. Molekul terdiri
dari atom dan atom mempunyai sel inti tipis
dengan sejumlah elektron yang mengorbit
disekitarnya, seperti halnya planet-planet yang
mengorbit bumi. Bila kaki saya menendang batu,
suatu ruang kosong menendang ruang kosong
(jujurnya, yang memainkan peranan adalah
kekuatan yang berlaku dalam ruang kosong ini).

Jika dalam ilmu pengetahuan modern


menjadikan zat kurang “material”, maka juga
pikiran menjadikan kurang “mental”, seperti yang
dikatakan oleh filosof Bertrand Russell. Studi
tentang otak kita menunjukkan bahwa emosi
berhubungan erat dengan aktivitas sistem limbic
(material) dan bahkan kebanyakan manifestasi
pemikiran yang paling luhur nampak selaras
dengan penembakan neuron-neuron tertentu dalam
korteks.
Perbandingan yang adil dan berguna secara
mendidik antara otak dan pikiran adalah
dimungkinkan dalam terminologi komputer
modern: otak adalah perangkat keras dan
pikiran adalah perangkat lunak pikiran manusia.
Perangkat lunak yang sama dapat dijalankan pada
perangkat keras yang berlainan. Dengan kata lain
:ide-ide yang terkandung dalam suatu buku dapat
dimengerti oleh pembaca berlainan, yaitu otak yang
berbeda.
Analogi otak = perangkat keras, pikiran =
perangkat lunak, terlihat cukup tepat bila kita
mengingat bahwa hal ini merupakan gambaran
kasar semata. Sejumlah persoalan bermula ketika
kita mempertanyakan “status ontologis” 3[3] dari
pikiran terhadap zat: apakah perangkat lunak
mental “secara esensial berbeda” dari perangkat
keras otak? Sejumlah filosof mengatakan bahwa
pertanyaan tersebut tidak berguna dan sejumlah
lainnya berpikiran beda. Apakah pikiran
merupakan “substans” (substance). Definisi
“substans” adalah “physical material from which
something is made or which has a discrete existence”
(materi fisik dari mana sesuatu dibentuk atau
sesuatu yang mempunyai eksistensi yang
mempunyai ciri tersendiri). (Webster’s New
Collegiate Dictionary 1981)
Yang lebih serius lagi, substans dapat dianggap
sebagai sesuatu yang dapat eksis tak-tergantung
dari sesuatu yang lain, atau setidak-tidaknya tidak
tergantung dari substans lain. Dengan pengertian
ini, jika pikiran (mind) atau jiwa (soul) adalah
substans, maka ia dapat eksis tak-tergantung dari
3
[3] Ontology is the science of being or reality; the branch of knowledge that investigate
the nature, essential properties, and relations of being (Webster’s definition)
zat, dan konsekuensinya dapat menjadi kekekalan
dari jiwa (immortality of the soul).
Kembali ke ilmu pengetahuan, pikiran
nampaknya muncul dari aktivitas otak. Pada
tingkat bawah, kehidupan boleh jadi sifat-sifat
yang muncul dari zat. “Muncul” di sini artinya
“sesuatu yang baru”, secara kualitatif berbeda.
Jika zat yang tak-hidup (lifeless matter) menjadi
begitu cukup terorganisir (berisi molekul-molekul
organik yang kompleks), maka kehidupan dapat
muncul, dan jika jaringan otak hidup khususnya
begitu terorganisir, fenomena dari pikiran dapat
muncul.
Ini nampaknya dapat diterima oleh kalangan
dialektik materialisme agnostic (bertuhan) dan
orang-orang Kristen. Perbedaan-perbedaan
diperkirakan (dan ditemui) lagi dalam pertanyaan
ontologik (yang terkait dengan alam kejadian atau
macam-macam eksistensi), seperti : dalam cara
bagaimana pikiran muncul dari zat (jaringan otak),
bedakah dengan zat? Apakah hanya sebagai hasil
pertumbuhan dari zat atau apakah mempunyai
realitas yang tak-terkait (“Emergence only implies
that mind is “something new”)
Marilah kita rangkum butir-butir yang dapat
disepakati oleh mayoritas ilmuan, ahli-ahli filsafat
dan ahli-ahli agama: (teolog):
1. Pikiran berhubungan dengan otak seperti
perangkat keras berhubungan dengan perangkat
lunak.
2. Pikiran adalah aspek baru dari aktivitas otak
yang muncul ketika revolusi biologis yang
membawa kita ke genus “manusia”.

III.1

Teori-Teori Pikiran dan Otak


Materialisme: hanya proses materi yang
terjadi, pikiran hanya merupakan “sisi subjektif”
dari proses otak, tetapi tidak memiliki realitas
apapun. Seluruh proses “hidup” dan “mental” dapat
disederhanakan menjadi perobahan-perobahan
dalam persoalan yang sepenuhnya ditentukan oleh
hukum fisika (reduksionisme)

Epiphenomenalisme: apa yang sebenarnya


terjadi adalah proses otak secara materi;
pengalamanan subjektif kita adalah riil, tetapi
secara logika berkelebihan (tidak ada satupun yang
hilang ketika kita lupa tentang fenomena mental)

Monisme (atau teori identitas): hanya satu


“substans” yang ada, yang mengungkapkan dirinya
dalam dua cara: memiliki dua “sisi” atau aspek:
pikiran dan zat. Pikiran dan zat, disebut juga
sebagai dua sisi dari selembar kertas yang sama.
Teori ini diusulkan oleh para filosof yang sama
bedanya seperti Baruch Spinoza dan Bertrand
Russel. Yang lebih terkait erat adalah:

Panpsychisme: segala sesuatu yang materi


(sebut saja atom atau elektron) mempunyai juga
beberapa aspek mental dan psikis, bagaimanapun
kecilnya. Dalam makhluk hidup, dan terlebih-lebih
dalam pikiran manusia, aspek-aspek mental ini
menjadi makin lebih terkoordinir. Teori ini agak
aneh pada penglihatan pertamanya; tetapi teori ini
diajukan oleh beberapa filosof terbesar, Leibniz dan
Alfred North Whitehead. Pada dasarnya, teori ini
juga termasuk dalam dialektika materialisme,
maupun (berdasarkan difinisinya) dalam monisme
dari Spinoza dan Russel.

Idealisme: Lawan dari materialisme:


sesuatu yang eksis adalah suatu ide (gagasan)
dalam pikiran. Pohon di depan saya ada bila saya
melihatnya, oleh karenaya ada dalam pikiran saya.
Jika saya tidak melihatnya, maka pohon itu tidak
ada. Adalah suatu dunia yang aneh jika pohon
seolah-olah loncat dari ada dan tidak ada
bergantung pada seseorang yang melihatnya.
George Berkeley (1685 – 1753) yang disitir Moritz
(1995) menemukan alasan sederhana mengapa
objek-objek di dunia ini terus menerus ada, karena
Tuhan selalu melihatnya. Plato, Kant, Fichte dan
Hegel juga dianggap idealis-idealis, walaupun
dalam cara yang berbeda. Mereka menganggap
pikiran sebagai konsep utama dan zat adalah
konsep yang diturunkan dari pikiran. Padangan ini
tidak begitu jauh dari opini sejumlah ilmuwan
fisika modern yang berargumentasi sebagai berikut:
Adalah sangat sulit bagi kita untuk mendefinisikan
zat secara langsung. Bagi seorang fisikawan adalah
alamiah kalau mengatakan bahwa zat adalah apa
yang memenuhi hukum fisika, yang sudah tentu
suatu struktur mental daripada struktur materi.
Hal serupa juga dapat dikatakan: entitas yang
memenuhi rumus matematika adalah fungsi
matematis, yang sama-sama adalah mental. Oleh
karena itu zat adalah konstruksi mental.
Argumen di atas dapat disangkal, sebagaimana
juga semua argumen filosofis. Namun demikian, hal
ini nampaknya untuk memasukkan sekurang-
kurangnya suatu percikan kebenaran. .

Dualisme: zat dan pikiran pada dasarnya


merupakan konsep berbeda atau seperti yang
dikatakan beberapa filosof, merupakan substans
berbeda. Sudah barang tentu ini merupakan
asumsi umum. Bila saya melukai jari saya (yang
merupakan objek materi), maka saya merasa sakit
(secara mental). Di sini jelas-jelas zat
mempengaruhi pikiran. Ini juga berlaku dalam arah
yang berlawanan. Bila saya melihat sebuah apel di
depan saya dan ingin memakannya (keinginan
adalah mental), maka saya mengambil dan
memakan apel itu (objek materi). Di sini pikiran
mempengaruhi zat.
Para filosof bertanya-tanya tentang bagaimana
“substans berbeda”, zat dan pikiran dapat beraksi
antara satu terhadap yang lain.. Contoh yang
pertama, terpotongnya jari menyebabkan sakit,
sudah begitu umum, sehingga tidak ada
seorangpun yang mengajukan banyak pertanyaan
tentang “kausal langsung” (direct causation)
tersebut. Yang kedua, kemauan mental
menyebabkan gerakan tubuh (mengambil apel)
telah menimbulkan dan sedang menimbulkan,
pembahasan tak terhitung tentang “kausal ke
bawah” (downward causation), pikiran beraksi pada
zat.
Dualisme dalam pandangan normal, bukan
ekstrim, adalah suatu pandangan yang alamiah.
Akan menjadi persoalan, jika hanya dibesar-
besarkan, seperti dua substans yang absolut
berbeda yang terpisah secara absolut dan hampir
tidak mungkin beraksi satu terhadap yang lain.
Pandangan ini diluncurkan ke dalam fisafat oleh
René Descartes (Cartesius, 1596 – 1650) yang
dianggap sebagai bapak filsafat modern, di samping
merupakan seorang matematikawan
(memperkenalkan Koordinat Cartesian)

Bahayanya dengan filsafat adalah bahwa bahasa


alami disesuaikan pada penggunaan sehari-hari,
tetapi tidak didesain untuk filsafat. Dengan
demikian, filsafat harus menggunakan kata-kata
yang dipakai sehari-hari, yang membuatnya lebih
akurat. Alfred North Whitehead berbicara tentang
“fallacy of misplaced concreteness” (kekeliruan dari
kenyataan yang salah tempat). Hal ini dapat
terjadi, misalnya, jika kita mempertimbangkan
pikiran sebagai substans yang tidak dapat rusak,
dari substans mana keabadian perlu
mengikutinya.
Beberapa pengikut Descarte menggunakan
konsep Tuhan untuk menengahi antara substans
yang “tidak berinteraksi”, zat dan pikiran.
Nampaknya konsep Tuhan kadang-kadang diminta
untuk melayani sebagai “deus ex machina”4[4], bila
seorang filosof mencapai kebuntuan. Adalah
meragukan apakah konsep Tuhan sebagai
“Pemecah Masalah Metafisika Universal” yang
memperbaiki penalaran keliru dari para filosof,
benar-benar memadai.
Jadi nampaknya perlu untuk memperkenankan
beberapa interaksi antara tubuh dan pikiran
(kausal langsung dan kausal ke bawah). Jadi
dualisme tubuh – pikiran sebenarnya harus
menjadi “interactionisme”

Ini merupakan tesis yang diperdebatkan secara


impresif dalam bukunya Popper dan Eccles (1977),
yang merupakan acuan dasar (walau tidak
kontroversial) tentang persoalan tubuh – pikiran.
Dari halaman 75 bukunya Popper dan Eccles kita
mencatat argumentasi menentang materialisme
yang dirumuskan secara ringkas oleh
J.B.S.Haldane pada tahun 1939: “Jika materialisme
adalah benar, nampaknya bagi saya, kita tidak
dapat tahu bahwa itu benar. Jika pendapat saya
adalah hasil dari proses (fisik dan) kimiawi yang
terjadi dalam otak saya, seluruhnya ditentukan
oleh hukum (fisika dan) kimia, dan tidak oleh
logika” (kata-kata dalam tanda kurung disisip oleh
Helmut Moritz,1995).
Catatan : Agar hal ini benar, suatu dalil harus
ditentukan oleh hukum logika

4
[4] “Tuhan di tengah-tengah pengepungan “ diterjemahkan secara harafiah dari Kamus
Latin-Indonesia (Kent. et al. 1969). Mungkin dimaksud “Tuhan Melepaskan Kita dari
Pengepungan”
Suatu argumen yang lebih meyakinkan terhadap
materialisme adalah fakta bahwa biasanya proses
otak dianggap berdasarkan hanya fisika klasik saja.
Ini sesungguhnya, kurang cukup sejak definisi
mikroskopis dari zat harus ditentukan oleh
mekanika kuantum. Di sini nampaknya zat dan
pikiran menunjukkan suatu keterkaitan erat
Bagaimanapun juga konsep seperti
materialisme, idealisme atau dualisme tidak dapat
didiskusi dalam konteks yang sempit dari interaksi
otak – pikiran semata.

III.2 Metafisika dan Ontologi

Pada saat ini, relatif bermanfaat bagi kita untuk


terlebih dahulu memberikan penjelasan beberapa
terminologi filosofis yang digunakan sangat sering.
Metafisika mempelajari persoalan-perosalan filosofis
yang berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan
alam. Meta (dalam bahasa Yunani adalah “diluar’
atau”beyond”) fisika. Persoalan metafisika
tradisional merupakan hubungan antara Tuhan
dan dunia, jiwa manusia, “apa sesungguhnya dunia
itu?” dan pertanyaan-pertanyaan ontologis lain.
Ontologi mempelajari beragam bentuk eksistensi,
misalnya alam dan eksistensi zat, pikiran,
matematika, dsb.

Beberapa orang menganggap metafisika bahkan


sebagai konsep atau teori yang menerangkan
daripada hanya menguraikan fenomena dalam
fisika itu sendiri.
Validitas metafisika, termasuk ontologi ditolak
oleh positivisme: hanya data yang teramati dan
kesimpulan yang logis yang punya arti.

IV PERSEPSI MANUSIA
IV.1 Persepsi Auditorial

Meskipun penekanan utama kita adalah pada


persepsi visual (penglihatan), tetapi indera
pendengaran juga menjadi perhatian kita yang
besar. Kita mendengar suara seorang teman atau
mendengar sepotong musik.
Telinga merupakan organ yang paling sensitif.
Bila organ ini sedikit kurang sensitif, maka kita
selalu mendengar suara latar belakang yang sangat
menggangu yang dihasilkan oleh gerakan termal
dari molekul-molekul udara.. Telinga bagian dalam
berisi resonansi yang didesain begitu indah yang,
boleh dikatakan, melaksanakan analisis harmonis
sangat akurat dan rinci dari sinyal auditorial, suatu
gelombang suara.
Frekuensi masing-masing gelombang suara
didengar begitu jelas dan terang dan secara
terpisah, seperti kita dapat mendengar 4 not suara
piano sekaligus. Hal ini penting karena dalam
persepi visual secara presisi effek perata-rataan
terjadi (averaging effect)
Pada sisi lain, persepsi auditorial pada manusia
tidak memberikan informasi begitu akurat dari
mana suara itu datang dan tentang lokasi sumber
suaranya.

IV.2 Persepsi Visual (Penglihatan)

Ini merupakan bentuk klasik dari persepsi, atas


persepsi visual mana para filosof secara tradisional
meletakkan penekanan tertingginya. Diketahui
secara umum bahwa masing-masing mata berperan
seperti kamera fotografis kecil. Lensa menghasilkan
gambar dunia luar pada retina, yang lagi-lagi
biasanya merupakan gambar sangat akurat, yang
selanjutnya ditransmisikan oleh syaraf optis
menuju korteks. Stasiun relay dari kedua jejak
optis adalah apa yang dinamakan dua lateral
geniculate bodies (LGB), satu pada bagian kanan
thalamus dan satu lainnya pada bagian kiri
thalamus. Hemisfer kiri dari otak (atau separoh
otak kiri) menerima informasi visual dari kedua
mata, tetapi dari hanya separuh bidang tampak
kanan dari kedua mata. Juga sama dengan
hemisfer kanan yang hanya menerima separuh dari
bidang tampak kiri dari kedua mata.
Pengolahan optis utamanya berlangsung dalam
retina, yaitu LGB dan korteks visual dari kedua
hemisfer.
Perbedaan-perbedaan tipis dalam arah sumbu
optis menghasilkan perbedaan-perbedaan dalam
citra bersangkutan dalam retina, yang disebut
parallax, secara keseluruhan memberikan
tampakan 3-dimensi, yaitu kedalaman. Ini dikenal
dengan pandangan steoroskopis.
Mengingat kini status pemrosesan citra secara
elektronis telah begitu canggih, adalah menarik
untuk membandingkan pemrosesing data visual
dari mata kita dengan teknologi pemrosesan citra,
dan visi stereoskopis dilakukan telah lebih dari 5
dekade yang lalu dalam fotogrametri untuk tujuan
yang sama, yaitu membangun model 3-dimensi
dari citra 2-dimensi.

IV.3 Persepsi Warna

Retina mata terdiri dari reseptor-reseptor yang


dibungkus rapat, terdiri dari 107 kerucut (cone) dan
108 batang (rods). Rods bertanggung-jawab untuk
melihat dalam kondisi pencahayaan yang redup;
rod tidak mengenal warna. Sebaliknya cones adalah
aktif dalam sinar siang normal. Cones terdiri dari
3 jenis, satu jenis mempunyai kepekaan
(sensitivitas) untuk panjang gelombang 430
nanometer (biru) , jenis kedua untuk 530
namometer (hijau) dan jenis ketiga untuk 560
nanometer (merah) Kita ingat bahwa gelombang
elektromagnetik untuk cahaya tampak adalah
antara 400 – 700 nanometer (1 nanometer = 10-9
m)
Jika semua panjang gelombang diwakili secara
uniform, maka kita sebut cahaya putih. Jika
beberapa panjang gelombang lebih menonjol, kita
melihat warna yang sesuai dengan rata-rata
panjang gelombang tersebut. Jadi mata kita tidak
melakukan analisis harmonis yang rinci dan
canggih seperti dilakukan telinga dengan
gelombang suara.
Setiap cone mempunyai kepekaan maksimum
untuk satu panjang gelombang tertentu dan
kepekaan yang menurun untuk panjang gelombang
tetangganya. Setiap panjang gelombang
menstimulasi satu dari 3 jenis cones sampai taraf
tertentu dan kesan bersihnya adalah justru
panjang gelombang yang ditentukan
Jika sudut masuk dari cahaya memuat
beberapa panjang gelombang maka kita akan
melihat satu warna rata-rata. Hal ini sama jika
kita ketuk piano 2 not bersamaan, c dan e, maka
kita akan mendengar not tengahnya.
Perata-rataan (atau agaknya pencampuran) dua
panjang gelombang oleh mata bahkan
menghasilkan warna, untuk warna mana tidak ada
panjang gelombang alami yang cocok: ungu sebagai
hasil pencampuran biru dan merah.
Jadi, setidak-tidaknya dalam visi warna, ada
simplifikasi yang sangat besar dari informasi
panjang gelombang: sinar cahaya yang memuat
banyak sekali panjang gelombang, bahkan tak
terbatas, panjang gelombang hanya memberikan
satu warna. Visi warna adalah hubungan “banyak
dengan satu”.

IV.4.
Garis Berorientasi, Objek Bergerak dan Sel-Sel
Nenek

(Grandmother cells)

Juga dalam respek lain, visi tidak sekedar


memberikan kita citra fotografis dari dunia luar.
Ada sel-sel dalam korteks yang bereaksi hanya
pada garis atau strip dari orientasi tertentu:
horizontal, vertikal atau miring 450. Neuron lainnya
bereaksi hanya jika objek bergerak. Bahkan
dikatakan bahwa ada neuron tunggal yang hanya
beraksi pada suatu bentuk individual tertentu,
seperti muka nenek anda (disebut “grandmother
cells”).
Ada dua publikasi baku yang ditulis oleh
ilmuwan ternama dalam neurologi (neuroscientist)
yang mudah dibaca dan menangani berbagai aspek:
(Hubel 1988) dan (Young 1987)

V TEORI EVOLUSIONER DARI


PENGETAHUAN

Karakteristik “non-fotografis” dari visi yang


disebut sebelumnya dapat dijelaskan dengan fakta
bahwa organ indera, maupun bagian lain dari
tubuh kita, telah dibentuk oleh evolusi biologis,
melewati hampir semuanya tahapan dari dunia
hewan.
Pendengaran pada hewan tidak dirancang untuk
menikmati musik Beethoven. Pendengaran
berfungsi untuk memberi informasi kepada hewan
tentang musuh atau korban yang mendekati:
singkatnya untuk membantu hewan tetap hidup
(menyelamatkan nyawanya). Dengan mata juga
demikian: visi dalam hewan bukan utamanya
untuk melayaninya melihat pemandangan indah,
tetapi membantunya untuk mengenal dan
membedakan makanan dan bahaya. Untuk maksud
ini adalah esensial jika objek itu bergerak atau
tidak, dan juga penting apakah garis besar dan
horizontal atau vertikal maupun pengenalan
langsung dari objek terkait (grandmother cells).
Dengan demikian penggunaan “data indera”
untuk keperluan abstrak seperti seni, ilmu dan
filsafat, datang pada status sangat akhir dari
pengembangan manusia. Daripada menyalahkan
data indera untuk tidak memberikan kita secara
langsung semua informasi ilmiah tentang dunia,
kita akan terheran dan berterima kasih bahwa data
indera dan analisisnya oleh pikiran manusia telah
mengajar kita begitu banyak dan (mudah-
mudahan) akan berlanjut seterusnya.

V.1 Pengetahuan A Priori dan Posteriori

Pada pagi hari kita menuju ke mobil kita,


membuka pintunya dan memutar kunci
starternya. Mengapa? Karena kita ketahui sebagai
aturan bahwa mesin mobil akan hidup dan kita
akan mengenderainya ke kantor kita.
Ekspektasi (harapan) yang kita miliki sebelum
memutar kunci starter adalah semacam bentuk
pengetahuan a priori ( a priori artinya
“sebelumnya”). Setelah mesin mobil hidup betul
dengan memutar kunci starter (yang kadang-
kadang juga belum tentu), maka kita
mengetahuinya secara empiris atau a posteriori
bahwa harapan kita menjadi kenyataan.
Informasi a priori umumnya dipercaya yang
diberikan oleh logika dan matematika: 3 + 2 = 5,
terlepas apakah kita bicara tentang apel atau
manusia, Juga dipercaya bahwa selalu benar,
walaupun satu awan ditambah satu awan akan
menyatu menjadi awan lain: 1 + 1 = 1 untuk awan.
Ini mungkin suatu lelucon, tetapi bukan suatu
yang sepele.
Informasi a posteriori diperoleh melalui
pengamatan empiris: melihat mobil distarter dalam
contoh kita.
Sebagaimana diberikan dalam contoh-conton di
atas, unsur-unsur a priori dan a posteriori
berinteraksi dalam tiap aktivitas manusia, dan jelas
pula dalam ilmu pengetahuan: teori (a priori) dan
testing melalui percobaan (a posteriori).

Apa yang sudah didiskusi dalam filsafat sebelum


Kant tetapi telah ditempatkan dalam pusat filsafat
oleh Immanuel Kant (1724-1804), menurut Moritz
(1995), adalah peranan dan kepastian dari unsur-
unsur a priori dan a posteriori yang terkait.
Secara universal diakui oleh para filosof bahwa
hanya logika adalah a priori dan pengamatan
adalah a posteriori. Dalil yang secara logika benar
(tautology) adalah juga dinamakan “analitis”, lain-
lainnya (khususnya dalil tentang fakta empiris),
dinamakan “sintetis”
Sehingga seluruh dalil analitis adalah a priori
dan seluruh dalil empiris adalah a posteriori. Kini
pertanyaan dari Kant adalah “apakah dalil sintetis
yang a priori dimungkinkan ? Ambil misalnya
teorema matematika. Teorema ini tidak tergantung
dari pengamatan empiris dan dengan demikian
dianggap oleh Kant sintetis a priori. Bertrand
Russell (1872-1970) beranggapan bahwa dia dapat
mendeduksi seluruh matematika dari aksioma
logika murni dan dengan demikian percaya bahwa
matematika adalah a priori tetapi analitis.
Matematikawan kontemporer lainnya agak
cenderung ke arah pendapat Kant.
Kant percaya tidak hanya matematika saja,
tetapi juga ruang geometris dan fisis tiga-dimensi
yang akan menjadi a priori secara sintetis, maupun
kategori lainnya seperti “waktu” dan “kausalitas”
Kant menganggap hal ini akan benar mutlak,
tidak hanya aproksimasi (pendekatan), oleh
struktur dari pikiran kita. Dia percaya telah
melaksanakan “revolusi Copernicus” dalam filosofi
dengan meletakkan hukum yang sangat mendasar
dari fisika tidak dalam alam tetapi dalam pikiran
kita. Kita tidak dapat sekedar berfikir tentang ruang
secara berbeda daripada sebagai ruang tiga-dimensi
dan Euclidean.
Sejak Teori Relativitas Einstein (atau bahkan
sejak geometri non-Euclidean dari Gauss, Bolyai
dan Lobačevsky), kita tahu bahwa Kant tidak benar
dalam hal ini. Namun demikian, pembicaraan a
priori dan a posteriori berlangsung sampai hari ini.

V.2 Contoh Eddington

Eddington (1939, hal. 16) memberikan ilustrasi


yang menarik tentang a priori ilmiah. Sebagai
seorang sarjana biologi laut, ia sedang menjajaki
kehidupan di laut. Untuk mendapat spesimen
binatang yang hidup di laut ia melempar jala dan
memeriksa tangkapannya. Ia menemukan:
(1) tidak ada binatang laut yang kurang dari
5 cm panjang
(2) semua binatang laut mempunyai insang
Agar pasti bahwa penemuannya benar, ia
mengulangi eksperimennya beberapa kali dan pada
berbagai tempat. Ia menemukan bahwa
kesimpulannya benar dan mengambil kesimpulan
bahwa hal ini akan benar secara universal.
Adalah jelas bahwa temuan (1) bukan hukum
objektif dari alam, tetapi konsekuensi dari
organisasi eksperimennya. Akan menjadi lain jika ia
memakai jala dengan mata jala yang lebih kecil
atau lebih besar.
Ini menggambarkan bahwa kita tidak dapat
menghindari dari “a priori” subjektif. Persepsi
indera adalah suatu yang diberikan (data indera)
sebagaimana difabrikasi oleh pemroses yang sangat
kompleks dari otak kita (Jaring Eddington)
V.3 Epistemologi Evolusioner

Epistemologi adalah tidak lain dari “teori tentang


pengetahuan” (theory of knowledge). Ilmuwan
biologi terkenal Konrad Lorenz (1903-1989) adalah
gurubesar terakhir dari ilmu filosofi Immanuel Kant
di Königsberg. Mempelajari filosofi Kant, ia
mengenali bahwa kondisi a priori dari Kant untuk
pengetahuan manusia dapat di-identifikasi dengan
struktur persepsi seseorang (mata, telinga, dsb)
yang dikembangkan dalam perjalanan evolusi
manusia. Pandangan dunia manusia sebagian
besar, walau semata-mata tidak eksklusif, di
kondisi oleh bangunan fisis dan mentalnya.
Misalnya, selain kita mampu menangkap hanya
panjang gelombang dari 400 sampai 700 nm
(spectrum tampak) dalam spektrum
elektromagnetik, kita sebenarnya mampu mem-
visualisasi frequensi lain, namun representasi
visual kita akan berbeda sekali. (kita dapat
menangkap gelombang inframerah sebagai panas).
Atau coba bayangkan bagaimana seorang buta yang
dapat menangkap frekuensi yang tidak tampak.
Teori ini secara menarik menjelaskan mengapa
persepsi kita begitu sesuai dangan alam (misalnya
mata, telinga dan sentuhan memberikan hasil yang
konsisten). Pertanyaan filosofis “adequation mentis
ad rem” (keselarasan pikiran dengan alam) dapat
dijelaskan secara sederhana: jika kesan indera
hewan tidak selaras dengan kenyataan (misalnya,
jika hewan tidak mengejar mangsa yang ada), dia
tidak akan hidup, karena tidak sesuai dengan
prinsip Darwin “survival of the fittest” (hanya
mereka yang kuatlah yang dapat hidup).
A priori hewan dan apparat persepsinya cocok
utk kelangsungan hidup (survival), dan boleh
dikatakan, kumpulan dari “hipotesis kerja untuk
kelangsungan hidup.
Dalam bukunya “Filozofia znanosti I humanizam”
(Filosofi Ilmu Pengetahuan dan Kemanusiaan), Iwan
Supek memperlihatkan bahwa teori evolusioner dari
pengetahuan berawal dari seorang fisikawan
Austria Ludwich Boltzmann (1844-1906) [ZNL,
Zagreb, Kroasia, 1991, hal.85]

V.4 Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan adalah kelanjutan dari aparat


persepsi manusia, terutama untuk kelangsungan
hidup. Kemudian, sejak masa Yunani purba,
dengan muncul “keinginan tahu intelektual”
(intellectual curiosity) untuk memenuhi nafsu ingin
tahu untuk dirinya sendiri. Teori-teori sudah tidak
lagi (semata-semata) “hipotesa kerja untuk
kelangsungan hidup”, tetapi “hipotesa kerja untuk
mengerti alam” Sudah tentu a priori utama
dibentuk oleh logika dan matematika di satu sisi,
dan oleh struktur dari persepsi indera, di lain sisi.
Dengan cara mana logika dan otak terkait, hampir
seluruhnya masih kontroversial. Aparat persepsi
kita, sebaliknya, pasti diberikan kepada kita
melalui evolusi.

A priori sekunder untuk riset ilmiah adalah teori-teori


fisika, kimia, biologi dsb. Berlawanan dengan Kant,
adalah, bahwa teori-teori ini sudah tidak lagi dianggap
kebenaran absolut, tetapi sebagai hipotesa kerja dengan
pemalsuan dari berbagai tingkat variasi dan selalu
menjadi subjek untuk setidak-tidaknya peninjauan
kembali (revision)

V.5 Buket dan Lampu Sorot (The bucket


and the searchlight)

Filosofi modern menekankan pada peranan aktif


dari subjek dalam pengumpulan informasi. Para
penganut positifis logika di sekitar Bertrand Russel
menganggap objek materi sebagai “konstruksi logis
dari data indera”, data-data ini sedikit banyak
terhubung secara pasif dalam buket (ekspresi ini
dari Karl Popper, 1979). Pandangan ini tentunya
bertentangan dari “fallacy of misplaced
concreteness”-nya Whitehead, yaitu
penyederhanaan berkelebihan (oversimplification).
Secara sederhana adalah tidak benar bahwa kita
melihat “suatu bercak merah di kelilingi oleh hijau”,
tidak, kita langsung mengenalnya sebagai warna
ros. (Memerlukan abstraksi filosofis tingkat tinggi
untuk melihat bercak merah sedangkan orang lain
melihatnya warna ros).
Teori modern menganggap aparat persepsi kita
sebagai “lampu sorot” untuk menemukan apa yang
kita asumsikan, perkirakan, harapkan atau
cemaskan, seperti seorang pemburu menunggu
singa. Sebagaimana telah diterangkan pada awal
tulisan ini, dan ini adalah alasan mengapa gerakan
detektor dalam retina visual adalah tidak begitu
penting.
Tetapi teori-teori ilmiah juga berperan sebagai
lampu sorot untuk mengeksplorasi alam. Kita
mengharapkan mem-verifikasi alam melalui
eksperimen, atau kalau mengikuti cara Karl Popper,
kita harus memalsukannya, seperti seorang
gurubesar tanpa ampun mecoba menggagalkan
semua mahasiswa, kecuali, mereka yang paling
sangat baik. (hanya mereka yang nilai A saja yang
sangat baik !!!!).
Mari kita mengulangi beberapa pokok-pokok
pembahasan kita. Logika matematika secara
mutlak adalah a priori. Teori-teori ilmiah juga
digunakan secara a priori, sebagai hipostesa kerja,
tetapi subjek dari ke penyangkalan dan revisi
melalui pengalaman.
Teori positif-logis dari data indera yang diterima
kurang lebih pasif, dari data mana objek eksternal
diperoleh dengan “konstruksi logis”, tidak sesuai
dengan realitas. Unsur-unsur a priori, dari
ketakutan primitif dan ekspektasi sampai teori-teori
ilmiah maju bekerja sebagai lampu sorot untuk
menemukan dan mengerti dunia eksternal kita
Binatang sudah merasakan musuh-musuhnya
atau korbannya sebagai objek eksternal, walaupun
dengan cara kasar. Jika binatang ini
mengkonstruki musuh-musuhnya secara mental
dari data indera; dia tentunya sudah mati jauh
sebelum menyelesaikan konstrukis logis. Juga
manusia juga merasa secara langsung, bukan data
indera, tetapi objek eksternal. Ini adalah setidak-
tidaknya orang percaya, dan “realisme hipotetis”
dari epistemologi evolusioner menegaskan bahwa ia
secara mendasar adalah benar.
Alfred North Whitehead mengatakan ia tidak
akan memperhatikan gajah kecuali ia
mengharapkan akan menemui binatang ini Ini
adalah contoh lain dari tesis lampu sorot. Untuk
memberikan contoh sehari-hari yang lain: jika
orang melihat alam dengan berjalan kaki, ia akan
heran betapa banyak yang dapat ia lihat dengan
caranya ini, yang sebaliknya hanya akan terlewat
tanpa perhatian..

DAFTAR PUSTAKA

1. Churchland, P.M. 1988. Matter and


Consciousness, 2nd Edition. MIT Press, New
York, USA
2. Cohen J. and I.Steward. 1994. The Collapse
of Chaos: Discovering Simplicity in a Complex
World. Viking-Penguin, New York, USA
3. Eddington, A. 1939. The Philosophy of
Physical Science. Cambridge University Press.
London, UK
4. Haldane A. 1939. The Marxist Philosophy
and the Sciences. Reprint by Books for Library
Press. Freeport, New York, USA
5. Lorenz K. 1973. Behind the Mirror.
Methuen. London, UK
6. Moritz, H. 1995. Science, Mind and the
Universe – An Introduction to Natural
Philosophy. Herbert Wichmann Verlag.
Heidelberg, Germany
7. Popper K.R. and J.C. Eccles. 1977. The Self
and Its Brain. Springer Verlag. Berlin, Germany
8. Russel B. 1992. The Problems of Philosophy.
William and Norgate. London, UK
9. Whitehead, A.N. 1993. Adventures of Ideas.
Macmillan. London, UK

You might also like