You are on page 1of 6

PEMBAHASAN HUKUM TAKLIFI

1. Pembelajaran Fiqih
Pembelajaran Fiqih di tingkat MI-MTs dan MA tidak secara khusus memuat materi
mengnai Ushul Fiqih atau kaidah-kaidahnya. Fiqih menekankan pada pemahaman yang benar
mengenai ketentuan hukum dalam Islam serta kemampuan cara melaksanakan ibadah dan
muamalah yang benar dan baik dalam kehidupan sehari-hari.1
Mata pelajaran Fiqih yang merupakan bagian dari pelajaran agama di madrasah
mempunyai ciri khas dibandingkan dengan pelajaran yang lainnya, karena pada pelajaran
tersebut memikul tanggung jawab untuk dapat memberi motivasi dan kompensasi sebagai
manusia yang mampu memahami, melaksanakan dan mengamalkan hukum Islam yang
berkaitan dengan ibadah mahdhoh dan muamalah serta dapat mempraktekannya dengan
benar dalam kehidupan sehari-hari. Di samping mata pelajaran yang mempunyai ciri khusus
juga materi yang diajarkannya mencakup ruang lingkup yang sangat luas yang tidak hanya
dikembangkan di kelas. Penerapan hukum Islam yang ada di dalam mata pelajaran Fiqih pun
harus sesuai dengan yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga metode demonstrasi sangat
tepat digunakan dalam pembelajaran fiqih, agar dalam kehidupan bermasyarakat siswa sudah
dapat melaksanakannya dengan baik.
Adapun materi Fiqih MI, MTs, dan MA sebagai berikut:
MI
Ibadah
Tata cara taharah, salat, puasa, zakat, dan ibadah haji
Muamalah
Ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal
dan haram, khitan, kurban, serta tata cara
pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam
MTS
Ibadah
Ketentuan dan tatacara taharah, salat fardu, salat
sunnah, dan salat dalam keadaan darurat, sujud,
azan dan iqamah, berzikir dan berdoa setelah salat,
puasa, zakat, haji dan umrah, kurban dan akikah,
makanan, perawatan jenazah, dan ziarah kubur
Muamalah
Ketentuan dan hukum jual beli, qiradh, riba, pinjammeminjam, utang piutang, gadai, dan borg serta
upah
MA
Ibadah dan Prinsip-prinsip ibadah dan syariat dalam islam;
lainnya
hukum islam dan perundang-undangan tentang zakat
dan haji, hikmah dan cara pengelolaannya; hikmah
kurban dan akikah; ketentuan hukum islam tentang
pengurusan
jenazah;
hukum
islam
tentang
kepemilikan; konsep perekonomian dalam islam dan
hikmahnya; hukum islam tentang pelepasan dan
perubahan harta beserta hikmahnya; hukum islam
tentang wakaalah dan sulhu beserta hikmahnya;
hukum islam tentang daman dan kafaalah beserta
hikmahnya; riba, bank dan asuransi; ketentuan islam
tentang jinaayah, huduud dan hikmahnya; ketentuan
islam tentang peradilan dan hikmahnya; hukum islam
tentang
keluarga,
waris;
ketentuan
islam
tentangsiyaasah syariyah; sumber hukum islam dan
hukum taklifi; dasar-dasar istinbaath dalam fiqih
islam; kaidah-kaidah usul fiqih dan penerapannya
Menilik materi Fiqih di sekolah diatas, maka guru ditutut untuk memahami Ushul Fiqih
dan kaidah-kaidahnya. Termasuk hokum taklifi yang akan penulis bahas dalam makalah ini.
2. Pengertian Hukum Taklifi dan Perbedaan dengan Hukum Wadhi

1 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 000912 Tahun 2013 Tentang Kurikulum madrasah
2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab, h. 35.

Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah: ketentuan-ketentuan Allah dan RasulNya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk perintah,
anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk
memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan
hukum wadhi adalah: ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat,
mani (sesuatu yang menjadipenghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). 2
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat deketahui
perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum
tersebut:
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi
pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadhi berupa penjelasan hubungan
suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib
dilaksanakan umat islam, dan hukum wadhi menjelaskan bahwa waktu matahari tergalincir di
tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur. Hukum
taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf.
Sedangkan hukum wadhi sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan
merupakan aktifitas manusia.
3. Pembagian dan Contoh Hukum Taklifi
Pembagian Hukum Taklifi menurut para ulama Fuqaha, dalam hal ini penulis
mengintisarikan dari kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah Al Zuhaili, sebagai
berikut:

2 Prof. Dr. H. Satria Efendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: K encana 2009). hlm:40-41
2

a. Wajib

Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara terminologi, seperti yang
dikemukakan Abd. Al Karim Zaidan, ahli Hukum Islam asal Irak, wajib berarti: Sesuatu yang
diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf,
dan apabila dilaksanakanakan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak
dilaksanakan diancam dengan dosa.3
Ulama Fiqih membagi wajib kepada 4: 1) Wajib ditinjau dari wkatu pelaksanaan yakni
Mutlaq dan Muqayyad. 2) Wajib ditinjau dari ketentuan jumlah yakni Muhaddad dan Ghair
Muhaddad. 3) Wajib yang ditinjau dari ketentuan tuntutan yg dikehendaki yakni Mu'ayyan dan
Mukhayyar. 4) Wajib yang ditinjau dari ketentuan Mukallaf, yakni Wajib Ain dan Wajib Kifayah.
Adapun definisi dan contoh-contohnya sebagai berikut:
Wajib ditinjau dari waktu pelaksanaan
1) Mutlaq: Sesuatu yang dituntut syari untuk dilakukan secara pasti tetapi tidak
ditentukan waktunya, seperti orang yang melanggar sumpah, dia harus membayar
denda. Pelaksanaan pembayaran denda ini tidak ditentukan waktunya. Ia dapat
melaksanakannya langsung setelah melanggar sumpah atau dalam jeda beberapa
waktu..
2) Muqayyad yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh syara dan dibatasi waktu
pelaksanaannya.
a) Muwassa yaitu kewajiban yang ditetapkan secara syariat batasan waktunya secara
lebih luas, seperti waktu sholat Isya, yang dimulai dari hilangnya awan merah
hingga datang waktu subuh.
Al Ada' menurut Ibnu Al Hajib, adalah melaksanakan suatu amalan untuk
pertama kalinya pada waktu yang ditentukan syara. Apabila amalannya
dikerjakan pada waktunya, bukan untuk pertama kalinya maka hal itu tidak
dinamakan dengan ada.
Al Qadha
adalah suatu amalan yang dikerjakan diluar waktu yang telah
ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti. Apabila suatu amalan wajib tidak
dilaksanakan baik disengaja atau tidak, dan mempunyai kemungkinan untuk
dikerjakan atau tidak seperti puasa bagi wanita haid, sakit atau bepergian, maka
seluruh amalan tersebut wajib dikerjakan pada waktu yang lain. Mengerjakan
amalan-amalan yang tidak pada waktunya disebut qadha.
Al 'Iadah adalah suatu amalan yang dikerjakan untuk kedua kalinya pada waktu
yang telah ditentukan, karena amalan yang dikerjakan pertama kali tidak sah
atau mengandung uzur.
b) Mudhayyaq, yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh syara batasan waktunya, tidak
boleh lebih dan tidak boleh kurang, seperti kewajiban puasa pada bulan Ramadhan,
kewajiban wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan lain-lainnya.
c) Dzu As Syibhain, yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang tetapi tidak
bisa digunakan untuk amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya waktu haji itu
cukup lapang dan seseorang bisa melaksanakan beberapa amalan haji pada waktu
itu berkali-kali, tetapi yang diperhitungkan syara hanya satu amalan saja.
Wajib ditinjau dari ketentuan jumlah
1) Muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syari telah ditentukan ukurannya, seperti zakat.
2) Ghair Muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syari tidak ditentukan ukurannya, seperti
bershodaqoh, infaq
Wajib yang ditinjau dari ketentuan tuntutan yang dikehendaki
1) Mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara dengan secara
khusus
(tidak
ada
pilihan
lain).
Misalnya,
sholat
lima
waktu,
puasa
Ramadhan,membayar zakat.
2) Mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih
antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar)
Wajib yang ditinjau dari ketentuan Mukallaf
1) Wajib Ain yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan
berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali
dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari semalam, puasa
dibulan Ramadhan.

3 Prof. Dr. H. Satria Efendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:43-46.
4

2) Wajib Kifayah yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila
mana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap sudah
terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan
mengerjakannya. Misalnya kewajiban sholat jenazah.4
b. Mandub
Kata mandub secara etimologi berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara terminologi
yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-nya dimana akan diberi pahala jika
melaksanakannya. Namun tidak mendapat dosa orang yang meninggalkannya. Seperti
dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, mandub terbagi menjadi tiga tingkatan :
1) Sunnah Mu'akad yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang
ditinggalkannya misalnya salat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
2) Sunnat Nafilah yaitu sunnah yang tidak menjadi rutinitas Nabi, seperti puasa SeninKamis.5
3) Sunat Mustahab adalah yang dikerjakan oleh Rosulullah saw satu kali atau dua kali,
seperti sholat dhuha, melakukan pengobatan dengan bekam.
c. Mubah
Secara bahasa berartisesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan, menurut para ahli
ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada mukalaf untuk memilih antara melakukan atau
meninggalkannya. Misalnya, berburu selepas ibadah haji. Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya
Al-Muwafaqat membagi mubah kepada tiga macam:
1) Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib
dilakukan. Misalnya makan dan minum hukumnya mubah, namun mengantarkan
seseorangsampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya seperti sholat dan mencari rizki. Mubah yang seperti ini bukan berarti
dianggap mubah dalam hal memilih makan atau tidak makan, karena meninggalkan
makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
2) Mubah sebagai sesuatu baru dianggap mudah bilamana dilakukan sekali-sakali,
tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain,
mendengankan musik.
3) Mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
Misalnya membeli perabot rumah untuk untuk kepentingan kesenangan. Hidup
senang itu hukumnya mubah dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan
seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula,
karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan
sesuatu yang dilarang.6
d. Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci.dalam istilah ushul fiqh kata
makruh,menurut mayoritas ulama ushul fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk
ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya
berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa
karena dikhawatirkan air akan masuk kerongga kerokongan dan tertelan.
1) Tanzih, yakni dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misal: memakan
daging kuda pada waktu sangat butuh di waktu perang, menurut sebagian Hanafiah.
2) Tahrim, yakni dilarang oleh syariat, tapi dalilnya bersifat dhanni al-wurud (dugaan
keras, seperti hadis ahad yg diriwayatkan perorangan). Misal: Larangan meminang
wanita yg sedang dalam pinangan orang lain.

4 Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani 1977).
hlm:146-151.

5 Abd. Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 111-112 menulis bahwa selain sunnah nafilah ada juga
sunnah fadlilah adalah meneladani sifat-sifat Nabi dalam kapasitasnya sebagai manusia, seperti cara
makan, minum, berpakaian dan sebagainya.

6 Prof. Dr. H. Satria Efendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2009), hlm:60-61
5

e. Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ialah:
Pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakanya. Sedangkan secara
terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,
dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang
yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan berzina dalam
Quran Surat Al-Isra.
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan
kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga
muharram (sesuatu yang diharamkan)
1) Haram Lidzatihi karena dzatnya, sesuatu yang diharamkan karena adanya bahaya
pada dzatnya, seperti makan bangkai, minum khamr, zina, pencurian, dan
sebagainya yang menyangkut kepada maqashid as-syariah (tujuan syariah), yaitu:
memelihara agama, memelihara diri, memelihara akal, memelihara keturunan, dan
memelihara harta.
Haram Lighairihi karena sebab yang lainnya. Haram lighairihi, istilah lainnya adalah Haram
Lilkasbi adalah sesuatu yang dilarang bukan karena dzatnya akan tetapi bisa mengakibatkan
jatuh kepada hukum haram, misal cara memperolehnya tidak dengan jalan yang benar.

You might also like