You are on page 1of 7

PERJANJIAN MANUSIA DENGAN TUHAN

Perjanjian merupakan suatu ikatan antara dua pihak atau lebih yang harus
dipatuhi oleh masing-masing pihak yang biasanya bertujuan untuk mencapai suatu
kepentingan bersama yang menguntungkan. Dalam perjanjian tersebut biasanya
dicantumkan hak dan kewajiban serta syarat dan sanksi yang harus dipatuhi oleh
masing-masing pihak. Apabila perjanjian ini dilaksanakan dengan baik tanpa ada salah
satu pihak yang mengkhianati maka akan dapat diharapkan akan mendatangkan hasil
yang memuaskan. Sebaliknya akan mendatangkan kerugian apabila tidak dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab. Untuk syahnya perjanjian, maka naskah perjanjian
tersebut harus ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan ditempeli materai
secukupnya.

Demikian pula terdapat suatu perjanjian antara manusia dengan Tuhan. Namun
perjanjian tersebut tidaklah sama dengan perjanjian yang selama ini kita kenal. Dalam
hal ini Allah adalah pihak yang benar secara mutlak dan penjamin yang pasti terhadap
hasil perjanjian tersebut, sedang manusia dipihak yang harus menerima dan
melaksanakan perjanjian yang dibuat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Apabila manusia
mematuhi perjanjian, maka manusia akan selamat, sedangkan kalau mengkhianatinya
akan celaka dunia akherat. Tuhan tidak berkepentingan atas hak dan hasil dari
perjanjian tersebut, manusialah yang berkepentingan. Oleh karena itu manusia terikat
sama sekali dengan perjanjian itu. Baik buruknya perjanjian itu tergantung dari manusia
itu sendiri dalam melaksanakan ketentuan-Nya. Bagaimana bentuk perjanjian itu, dalam
Firman-Nya yang artinya :

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) :
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) Agar dihari kiamat kamu tidak
mengatakan “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (ke-Esaan Tuhan).” QS. Al A’raaf 7:172.
Itulah bentuk perjanjian itu. Disatu pihak adalah Allah, sedangkan dipihak lain
adalah tiap-tiap diri manusia. Allah menanyakan kepada tiap-tiap diri manusia,
benarkah Dia Tuhannya? Tiap-tiap diri manusia mengakui dan menyaksikan bahwa
benar bahwa Allah adalah Tuhannya. Yang dimaksud manusia disini adalah manusia
yang masih berupa ruh, yaitu ruh sebelum ditiupkan kejasmani (jas-mani) manusia,
seperti diketahui, manusia terdiri dari jasmani dan ruhani dan ruh adanya lebih dulu dari
jasmani. Bagaimana perjanjian itu dibuat? Apakah Allah bertanya jawab langsung
dengan manusia? Jawabnya adalah perjanjian itu tidak dibuat dengan cara Allah
bertanya jawab langsung atau berhadap-hadapan dan bercakap-cakap dengan mulut
sebagaimana layaknya dilakukan oleh manusia yang satu dengan yang lainnya. Untuk
membandingkan masalah ini ada firman-Nya :

“Kwmudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata
kepadanya dan kepada bumi : “datanglah keduanya menurut perintah-Ku dengan suka
hati ataupun terpaksa.” Keduanya menjawab : “kami datang dengan suka hati.” QS.
Fushshilat 41:11.

Dengan ayat tersebut dapat dinyatakan bahwa yang menjawab itu bukan lidah
langit dan bumi melainkan keadaannya. Maka manusia itu pun demikian pula, yang
menjawab bukan lidahnya, melainkan keadaan dan kenyataannya. Sehubungan
dengan hal ini Prof Dr. Hamka, dalam tafsir Al Azhar menerangkan bahwa : “Sesuai
pendapat para ahli bahasa Arab, ayat Allah tersebut adalah sebagai suatu tamsil yang
tinggi menurut balaghah.” Allah bercakap-cakap kepada tiap-tiap jiwa itu bukanlah mesti
harus berhadap-hadapan, tetapi Iradat dan takwin Illahi atau kehendak Allah atau
kekuasaan Pencipta bertanya kepada lembaga akal yang murni yang tidak perlu
difikirkan bahwa itu soal jawab dengan mulut. Sehubungan dengan firman Allah
tersebut diatas (QS. Al A’raaf 7:172), dalam tafsirnya Ibn Katsir menyatakan
bahwasannya dengan ayat itu, Allah mengabarkan bahwa Dia telah mengeluarkan anak
cucu Adam dari sulbi mereka, untuk menyaksikan atas diri mereka sendiri bahwa
Allahlah Tuhan mereka dan yang menguasai mereka, dan tidak ada Tuhan melainkan
Dia yang telah membuat fitrah manusia demikian.
Manusia diciptakan oleh Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama
tauhid, kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar.
Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah pengaruh lingkungan saja. Dengan
penjelasan ini dapat dikemukakan bahwa sebenarnya pengakuan dan kesaksian
manusia terhadap Tuhannya itu sudah mendasar pada jiwa manusia, yaitu jiwa murni
tiap-tiap manusia yang dalam keadaan fitrah, masih bersih, dan belum ada pengaruh
apa-apa. Oleh sebab itu, apabila manusia telah hidup didunia ini jiwa murninya telah
menyaksikan bahwa Allah adalah Tuhannya, tidak memandang Bangsa dan apa
Agamanya, sekalipun dengan keras menolak kepercayaan kepada Tuhan atau atheis.

Jadi pengakuan dan kesaksian manusia terhadap Allah itu adalah kesaksian
yang diberikan oleh fitrah manusia itu sendiri sebagaimana firman-Nya :

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
QS. Ar Ruum 30:30.

Islam adalah agama fitrah manusia, atau agama yang manusia menjadi saksi
atas kebenaran agama itu. Ajaran yang pokok adalah ke-Esaan, dank e-Maha Murahan
Allah, pemberiaan wahyu manusia sejagad, tanggung jawab manusia di akherat akan
segala perbuatannya, semua itu diakui kebenarannya oleh semua Agama dan semua
Bangsa. Perlu digaris bawahi, bahwa yang disebut Islam disini bukanlah semata-mata
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, tetapi juga yang pernah diturunkan
kepada Nabi Ibrahim as, Daud as, Isa as, dan Musa as. Sebagaimana Firman-Nya :

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan
Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” QS. Al Mu’minuun 23:52.

“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku


tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam." QS. Al Baqarah 2:131.
Maksud dan tujuan perjanjian.

Allah berfirman seperti dalam Al Qur’an QS. Al A’raaf 7:172 tentunya ada maksud dan
tujuannya. Sesuai dengan beberapa tafsir Al Qur’an dapat dinyatakan bahwa maksud
dan tujuan perjanjian tersebut diatas adalah :

1. Untuk pegangan hidup manusia didunia.

Perjanjian tersebut mengikat manusia dan sekaligus merupakan pegangan hidup


di dunia. Dengan perjanjian tersebut manusia harus tunduk dan taat kepada Allah
karena sudah diakui dan disaksikan bahwa Dialah Tuhannya, tidak ada yang lain
dan segala perintah dan larangannya harus dipatuhi. Sebetulnya dengan
berpegang pada perjanjian tersebut, manusia tidak perlu bingung dan mencari-cari
lagi siapa yang harus di sembah, karena sudah tahu siapa yang harus disembah
Dialah Tuhan Yang Maha Esa. Inilah jalan yang lurus, yang akan membawa
manusia kepada kebahagiaan di dunia dan di akherat. Sebagaimana Firman-Nya:

“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan


kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.”
QS. Az Zukhruf 43:43.

“Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar


bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab.”
QS. Az Zukhruf 43:44.

“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan sesungguhnya


apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil; dan sesungguhnya
Allah Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” QS. Luqman 31:30.

Apabila setiap manusia di dunia ini mau berpegang dan melaksanakan perjanjian
tersebut, dapat diyakini tidak akan timbul pertentangan diantara satu dengan yang
lainnya karena tidak akan ada yang merasa paling benar sehingga akan damai
dan sejahtera umat manusia di dunia ini. Dengan berpegang pada perjanjian
tersebut manusia akan menyadari, bahwasanya jiwa manusia itu pada asalnya
dan pokoknya adalah satu coraknya, semuanya mengaku adanya Tuhan Pencipta
Alam apapun Bangsa dan Agama yang mereka anut, bahkan orang yang tidak
mengakui kepercayaan kepada Tuhan, ataupun orang yang tidak beragama. Allah
berfirman :

“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau


tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah
telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan
itu.” QS Yunus 10:19.

“Kemudian mereka menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa


pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang mereka
perselisihkan.” QS. Al Mu’minuun 23:53.

2. Agar manusia tidak mengelak terhadap adanya Tuhan.

Setelah Allah memfirmankan QS. Al A’raaf 7:172 tersebut diatas Allah


meneruskan firman-Nya :

“Kami lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan
“sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
perjanjian ini (ke-Esaan Tuhan).”

Bahwasannya janji dan kesaksian diri sendiri itu disebutkan kembali oleh Allah,
supaya kalau terjadi Tanya jawab di akherat kelak karena suatu perintah Allah
dilanggar oleh manusia, lalu manusia diperiksa dan ditanyai, jangan sampai
manusia mengatakan “Kami Lalai” yang maksudnya “Kami tidak tahu menahu hal
ini, tidak ada suruhan atau larangan sampai kepada kami.” Maka jawaban yang
demikian tidak dapat dikemukakan lagi oleh manusia dihari kiamat, sebab Agama
yang murni itu ada bersemayam didalam jiwa manusia itu sendiri, didalam fitrah
manusia itu sendiri. Tegasnya, meskipun tidak ada agama tidak ada Rasul yang
menyampaikan dan tidak ada wahyu yang diturunkan, namun jiwa murni manusia
sendiri telah bersoal jawab langsung dengan Allah, bahwa memang Tuhan itu
ada, dan tidak ada Tuhan melainkan Dia, maka kedatangan para Rasul adalah
melengkapi dan menuntun jiwa fitrah manusia itu, dengan demikian maka di
akherat manusia tidak dapat mencari alas an lagi.

3. Agar manusia tidak berdalih bahwa kesalahan yang diperbuatnya sebagai


akibat dari kesalahan orang tua atau nenek moyang mereka.

Hal ini sesuai dengan firman-Nya :

“atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak
keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?"
QS Al A’raaf 7:173.

Menurut Prof Dr. Hamka, agar jangan sampai tiap-tiap manusia mengatakan
bahwa apa yang mereka kerjakan tidak lain daripada contoh teladan yang
ditinggalkan oleh orang tua mereka. Kalau perbuatan yang mereka lakukan
termasuk syirik, maka yang bersalah bukan mereka tetapi orang tua mereka
karena mereka hanya menerima pusaka atau warisan saja dari orang tua mereka
mengapa mereka yang harus emikul tanggung jawab orang-orang tua mereka
terdahulu yang mempelopori perbuatan itu sedangkan mereka hanyalah
keturunannya saja. Tuhan menerangkan dalam ayat ini sekali lagi, bahwa maksud
Allah menyebutkan diayat yang terdahulu bahwa tiap jiwa telah dikeluarkan dari
sulbi ayahnya dan ditanyai bukankah aku Tuhanmu? Yang dijawab oleh tiap-tiap
diri manusia “Benar” supaya tidak terjadi jawaban lain oleh anak-anak cucu karena
kesalahan orang tua dan nenek moyang mereka. Karena anak cucu itu sendiri
fitrah dan diberi bekal pula.

4. Agar manusia yang sudah tersesat kembali kepada kebenaran.

Sesuai dengan firman-Nya :

“Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada
kebenaran).” QS. Al A’raaf 7:174.
Allah mengemukakan ayat ini, agar orang yang tersesat atau salah faham itu
kembali kejalan yang benar. Jangan dikatakan bahwa agama itu tidak ada, sebab
didalam sanubari sendiri sejak lahir kedunia perasaan tentang adanya Tuhan itu
telah ada, Cuma kadang tertipu oleh pertentangan yang hebat antara hawa nafsu
dan jiwa murni, dan jangan pula berkeyakinan itu hanya taqlid ataupun ikut-ikutan
saja kepada warisan nenek moyang, sebab jiwa murni akan tetap membantah
perbuatan yang salah karena ia mempunyai akal.

You might also like