You are on page 1of 33

BAB V

KONSTITUSI

Oleh : Marwati Riza, S.H., M.Si.

A. PENDAHULUAN
Materi pada bab ini akan membahas yang bersangkut paut dengan konstitusi,
maka tentu saja akan menyentuh ke obyek pembahasan sejarah konstitusi, sebab
melalui sejarah konstitusi akan terjawab mengenai arti konstitusi, isi konstitusi, cara
terbentuk dan perubahan konstitusi, sifat dan hakikat konstitusi dan lain-lain yang
bersangkut dengan seluk beluk konstitusi ( prosedur dan mekanisme perubahan,
bentuk perubahan, substansi yang diubah), UUD 1945 yang memerlukan perubahan
dan materi muatan yang perlu diubah.
Dalam memahami ilmu hukum tata negara, kontitusi atau hukum dasar menjadi
bagian pokok yang terpenting untuk dipelajari dan dipahami. Konstitusi pada
dasarnya mengandung pokok pikiran dan paham-paham yang melukiskan kehendak
yang menjadi tujuan dari faktor-faktor kekuatan nyata (de reelemachtsfactoren)
dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pokok pikiran dan paham-paham tersebut tidak muncul tiba-tiba, melainkan lahir
dari synthese atau pun reaksi terhadap paham-paham/ pokok pikiran yang sudah ada
sebelumnya, sedangkan sumber yang mendahuluinya adalah berasal dari dalam
maupun luar masyarakat itu sendiri sebagai akibat akulturasi proses, karena itu untuk
melihat lebih jauh dan memahami lebih mendalam mengenai suatu negara dan
struktur pemerintahannya, pada umumnya dimulai dengan mempelajari dan melihat
konstitusi suatu negara. Selanjutnya untuk memahami pokok pikiran-pikiran/paham
yang terkandung dalam suatu konstitusi dari suatu negara, maka harus menyelidiki

97
pertumbuhan dan perkembangan konstitusi yang bersangkutan, lebih jauh lagi harus
mempelajari sejarah konstitusi1.
Tujuan Instruksional khusus yang ingin dicapai adalah setelah mahasiswa
mengikuti kuliah sebanyak 2 kali tatap muka , diharapkan dapat memahami,
menjelaskankan dan menganalisis mengenai sejarah konstitusi, arti konstitusi, isi
konstitusi, cara terbentuk dan perubahan konstitusi, sifat dan hakikat konstitusi dan
lain-lain yang bersangkut dengan seluk beluk konstitusi ( prosedur dan mekanisme
perubahan, bentuk perubahan, substansi yang diubah), UUD 1945 yang memerlukan
perubahan dan materi muatan yang perlu diubah.

B. PENYAJIAN

1. Sejarah Pertumbuhan Konstitusi


Dengan mempelajari konstitusi yang dimaksudkan bukan sekedar pengertiannya
atau yang dimaksudkan sekedar mempelajari pasal-pasal yang terdapat dalam
Undang-undang Dasar, melainkan mempelajari konstitusi mengandung pengertian
baik sosiologis, politis, maupun yuridis. Artinya mempelajari sejarah konstitusi
bukan sekedar mempelajari sejarah Undang-undang Dasar yang umumnya dapat
diketahui dari sejarah ketatanegaraan sesuatu negara. Melainkan meliputi sejarah
tentang gejala-gejala yang bersifat sosiologis dan politis, baik yang terjadi pada
masa lampau maupun dalam lingkungan masyarakat itu sendiri maupun yang
terdapat di luar masyarakat yang bersangkutan.
Konstitusionalisme lebih diartikan pada paham mengenai pembatasan
kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi2, sedangkan konstitusi
adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-undang

1
Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busro, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1984, hlm.11
2
. Dahlan Thaib, Jasim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja
Grapindo Persada, Jakarta,2004, hlm. 1-2.

98
Dasar dan sebagainya). Paham konstitusi ini dalam berbagai literatur hukum tata
negara dan ilmu politik lebih diidentikkan dengan prinsip-prinsip:
1. Supremasi hukum (anatomi kekuasaan / kekuasaan politik) tunduk pada
hukum
2. Jaminan dan perlindungan hak asasi
3. Peradilan yang bebas dan mandiri
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat ( akuntabilitas publik) sebagai sendi
utama dari asas kedaulatan rakyat.

Dalam suatu negara hukum keempat prinsip di atas menjadi tolok ukur dalam
menilai penyelenggaraan pemerintahannya, termasuk dalam menilai
pemerintahannya yang konstitusional. Paham konstitusi ini dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan suatu negara terkadang tidak sejalan dengan
konstitusinya (meskipun konstitusinya) sudah mengatur prinsip-prinsip diatas.
Dengan demikian Negara tersebut belum dapat dikatakan negara yang menganut
paham konstitusi (negara kostitusional).
Berdasarkan penelusuran catatan sejarah awal negara kostitusional. Konstitusi
dihubungkan sebagai suatu kerangka kehidupan politik yang telah disusun
melalui hukum (semacam kitab hukum/ kumpulan beberapa hukum) yang
diperoleh dari masa kejayaan zaman sejarah Yunani (antara tahun 624-404 S.M.),
Pada zaman Yunani Purba istilah konstitusi telah dikenal, hanya konstitusi masih
diartikan materil, karena konstitusi itu masih belum diletakkan dalam naskah
tetulis, hal ini dapat diketahui dari pandangan Aristoteles yang menggunakan
istilah ”politea” yang diartikan sebagai konstitusi, sedangkan istilah ”nomoi”
adalah undang-undang biasa. Kedua istilah tersebut terdapat perbedaaan, politiea
mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politiea
mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan nomoi kekuasaan itu tidak ada,
karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai
berai.

99
Pada masa Yunani Purba ini itu konstitusi masih diartikan semata sebagai
suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan. Dalam Kebudayaan Yunani
ini istilah konstitusi itu berhubungan erat dengan dengan ucapan Resblica
constituere. Dari sebutan ini lahirlah semboyan yang berbunyi ” Prinsep Legibus
Solutus est, Salus Publica Suprema lex”, yang artinya Rajalah yang berhak
menentukan organisasi/struktur dari pada negara, karena itu dialah (Raja) satu-
satunya pembuat Undang-undang3. Menurut sejarah Yunani Kuno, negara Yunani
pernah menjadi jajahan Rumawi. Akibat dari penjajahan itu maka banyak dari
kebudayaan Yunani ditiru oleh bangsa Romawi, seperti ajaran tentang Polis dan
ajaran Kedaulatan Rakyat yang dipraktekkan di negaranya sendiri. Namun dalam
penerapannya ternyata tidak sama dengan ajaran yang dibawa dari Yunani, karena
sifat, keadaan serta pembawaan bangsa Romawi yang lain. Melalui ajaran
kedaulatan rakyat yang ditirukan dari bangsa Yunani, orang Romawi mencoba
menyusun suatu pemerintahan dengan seorang Raja yang berkuasa secara mutlak.
Pada suatu ketika rakyat mengadakan perjanjian dengan Caesar. Dalam perjanjian
itu terjadi perpindahan kekuasaan dari tangan rakyat ke tangan Caesar secara
mutlak (translatio empirii), yang kemudian diletakkan dalam Lex Regia. Dengan
translatio empirii itu maka rakyat sudah tidak dapat meminta pertanggunganjawab
Caesar lagi. Pada akhirnya melahirkan paham Caesarismus (perwakilan mutlak
berada ditangan Caesar). Dari semboyan inilah maka dikenal semboyan « 
Princep Legibus Solutus est, Salus Publica Suprema Lex « sebagaimana
dipaparkan sebelumnya.
Selanjutnya pada abad pertengahan sudah dikenal orang tentang konstitusi,
tetapi dengan sebutan lain. Pada abad ini ada aliran yang membenci kekuasaan
raja yang mutlak, yakni aliran Monarchomachen. Aliran ini merupakan aliran
yang membenci kekuasaan raja yang mutlak, karena itu aliran ini mencegah
supaya raja tidak berbuat sewenang- wenang, maka golongan ini ( golongan
3
. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Indonesia Fakultas Hukum dan CV Sinar Bakti, Cetakan ketujuh, 1988,
hlm.62.

10
Calvinis) menghendaki perjanjian dengan raja dan menuntut pertanggunganjawab
raja, jika perlu raja bisa dipecat dan dibunuh.
Perjanjian antara rakyat dengan raja dengan kedudukan yang masing-masing
yang sama tinggi dan sama rendah menghasilkan suatu naskah yang disebut « 
Leges Fundamentalis ». Dalam leges fundamentalis ini ditetapkan hak dan
kewajiban masing-masing pihak ( Rex sama artinya hak rakyat dan Regnum sama
dengan hak raja untuk memerintah. Sejak abad pertengahan inilah maka lambat
laun dalam perkembangan sejarah, bahwa perjanjian-perjanjian antara rakyat
dengan pihak yang memerintah mulai dinaskahkan. Hal ini bertujuan untuk
memudahkan para pihak dalam menuntut hak-haknya masing-masing, serta
mengingatkan mereka kepada kewajiban yang harus dilupakan dan yang paling
penting ialah bahwa orang tidak akan melupakannya, karena perjanjian itu ditulis,
sebagai contoh perjanjian antara para bangsawan. Dalam perjanjian itu ditetapkan
bahwa raja dapat minta bantuan dari para bangsawan. Sebaliknya para bangsawan
berhak mendapat perlindungan serta tanah dari raja, jika perang dimenangkan
oleh raja. Juga hal ini raja dapat melakukan perjanjian dengan rakyat (dalam hal
ini golongan ketiga) karena raja memerlukan uang dan sebagai balas jasanya
maka rakyat memperoleh hak kenegaraan sebagai suatu wewenang untuk dapat
menyelenggarakan kepentingannya sendiri. Perjanjian-perjanjian itu semuanya
diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis.
Demikian pula halnya dengan kaum kolonis yang berasal dari Inggris, yang
karena perselisihan agama, mereka mengungsi ke benua Amerika. Sebagian besar
kaum kolonis ini adalah golongan Calvinis yang menurut ajaran mereka
masyarakat kristen itu dibentuk berdasarkan perjanjian. Atas dasar itu mereka
mendirikan negara dan demikianlah ketika mereka masih berada dalam kapal
”Mayflower” sebelum mendarat di benua Amerika. Mereka mengadakan
perjanjian masyarakat untuk mendirikan negara. Perjanjian tersebut masih harus
disahkan oleh pemerintah Inggris. Dan setelah perjanjian itu disahkan, maka kini
kedudukan perjanjian itu lebih tinggi daripada Undang-undang biasa.

10
Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi, koleksi Aristoteles
sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.4
Kemudian pada masa kekaisaran Roma, dikenal ” constitutionnes” yang
diartikan sebagai suatu kumpulan ketentuan dan peraturan yang dibuat oleh para
kaisar atau para preator, termasuk pula di dalamnya pernyataan-pernyataan
pendapat para ahli hukum/ negarawan, serta adat kebiasaan setempat, disamping
Undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh besar sampai abad
pertengahan. Konsep kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para kaisar Roma
telah menjelma dalam bentuk L’Etat General di Prancis, pada akhirnya orang
Romawi sangat menyukai ordo et unitas yang kemudian memberikan inspirasi
bagi tumbuhnya paham ”Demokrasi Perwakilan ” dan ”Nasionalisme” , kedua
inspirasi ini merupakan awal bagi tumbuhnya paham ” konstitusionalisme
modern”.5
Pada zaman abad pertengahan, corak Konstitusioalismenya, bergeser kearah
Feodalisme. Sistem feodal ini mengandung suatu pengertian bahwa tanah
dikuasai oleh para tuan tanah, kemudian diyakini bahwa setiap orang harus
mengabdi pada salah satu tuan tanahnya, sehingga raja yang semestinya
mempunyai status yang lebih tinggi daripada tuan tanah, menjadi tidak mendapat
tempat.
Pada abad VII (zaman klasik) lahirlah piagam/konstitusi Madinah, Piagam
Madinah adalah konstitusi negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik
Islam, tepatnya sekitar tahun 622 M.
Di Eropah Kontinental, pihak rajalah yang memperoleh kemenangan yaitu
dengan semakin kokohnya absolutisme, khususnya di Prancis, Rusia, Prusia, dan
Austria pada abad ke-15. Gejala ini dimahkotai oleh ucapan L’ Etat C’est moinya
Louist XIV (1638-1715) dari Prancis.

4
. ibid, hlm. 2-6
5
. C.F. Strong, Modern Political Constitutions, London, Sidgwick, Jackson, Limited, 1966,
hlm.20

10
Sedangkan di Inggris, kaum bangsawanlah yang mendapat dan sebagai
puncak kemenangannya yang ditandai dengan pecahnya ” The Glorius
Revolution” (1688). Kemenangan kaum bangsawan dalam revolusi istana ini
menyebabkan berakhirnya absolutisme di Inggris, serta munculnya parlemen
sebagai pemegang kedaulatan. Pada akhirnya 12 negara koloni Inggris
mengeluarkan Declaration of Independence, menetapkan konstitusi-konstitusinya
sebagai dasar negara yang berdaulat pada tahun 1776. Deklarasi ini merupakan
bentuk konkritisasi dari berbagai teori perjanjian.
Pada tahun 1789 melalui revolusi Prancis dalam menentang monarchi
absolutisme menyebabkan terjadi ketegangan-ketegangan di masyarakat dan
terganggunya stabilitas keamanan negara. Pada akhirnya 20 juni 1789, Estats
Generaux memproklamirkan dirinya Constituante, walaupun baru pada tanggal 14
September 1791 konstitusi pertama diterima oleh Louis XVI. J.J. Rousseau pada
saat itu terkenal dengan tesisnya : ” Manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam
hak-haknya sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum(rakyat).
Tesis ini banyak berpengaruh di Prancis dan bahkan menjiwai De Declaration
des Droit de I’Homme et du Citoyen, deklarasi ini yang mengilhami pembentukan
Konstitusi Prancis(1791), khususnya yang menyangkut hak-hak asasi manusia,
Pada masa inilah awal konkretisasi konstitusi dalam arti tertulis (modern) seperti
yang ada di Amerika. Sesudah lahirnya Konstitusi di Prancis ini, maka sebagian
negara-negara di dunia, baik monarki maupun republik, negara kesatuan maupun
negara federal, kesemuanya mendasarkan pada suatu konstitusi. Negara Prancis
ini paling sering menghadapi persoalan konstitusi, menurut Djokosutono6, sampai
pada masa Republik-4 (1946) Prancis telah mengenal 12 macam konstitusi, dalam
literatur Prancis sering disebut ” laboratory of constitution ”. Konstitusi Prancis
pada tahun 1946 merupakan kodifikasi lengkap yang merupakan hasil filsafat,
keseniaan, dan ilmu pengetahuan. Dikatakan hasil filsafat, karena batang tubuh
konstitusi tersebut merupakan pengkhususan dari beberapa sendi. Dari sendi-
6
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, op. cit, 67

10
sendi itu telah dapat merumuskan peraturan lengkap. Selain itu dikatakan hasil
kesenian, karena kata-kata yang dipergunakan adalah sederhana sekali, sehingga
dapat menggambarkan dengan jelas apa yang dimaksudkan, sedangkan dikatakan
hasil ilmu pengetahuan, karena di dalamnya tidak terdapat pertentangan.
Konstitusi model Amerika (tertulis) ini kemudian dapat dilihat dari beberapa
negara di Eropah yang mengikuti jejak Prancis seperti : Konstitusi Spanyol
(1812), konstitusi di Nowergia (1814), konstitusi di Nederland ( 1815), konstitusi
di Belgia (1831), konstitusi di Italia ( 1848), konstitusi di Austria (1861),
konstitusi di Swedia (1866), sampai pada abad ke XIX , yang tertinggal adalah
Inggris, Hongariah dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi secara tertulis 7.
Namun pada saat ini , konstitusi-konstitusi ini belum menjadi hukum dasar yang
penting bagi suatu negara.
Konstitusi sebagai Undang-undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai
arti penting atau sering disebut dengan ” Konstitusi Modern”, muncul bersamaan
semakin berkembangnya ” sistem demokrasi perwakilan dan konsep
nasionalisme” . demokrasi perwakilan dan konsep nasonalisme”. Demokrasi
perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap
pentingnya lembaga legislatif. Lembaga legislatif ini hadir dalam rangka
mengurangi dominasi kekuasaan raja, yakni membuat Undang-undang. Konstitusi
yang tertulis ini sebagai hukum dasar yang tertinggi diatas raja, sekaligus
terkandung makna memperkokoh kedudukan lembaga perwakilan rakyat.
Pada masa perang dunia I tahun 1914, sangat berpengaruh pada upaya terus
menggalakkan konstitualisme dengan jalan menghancurkan pemerintahan yang
tidak didasari dengan demokrasi dan nasionalisme, hal ini dibuktikan dengan
terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa untuk perdamaian dunia. Namun tiga tahun
kemudian muncul reaksi melawan konstitusionalisme politik dengan munculnya

7
. Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya, Pro Justitia,
No.2 tahun V, Mei 1987, hlm.23

10
Revolusi Rusia (1917), selanjutnya meletus fasisme di Italia, pemberontakan Nazi
di Jerman, pada akhirnya meletus perang dunia II 8 .
Setelah perang dunia II, ternyata konstitusionalisme politik jauh lebih parah
dibandingkan pada perang dunia I. Metode-metode konstitualisme dibangun
kembali oleh bangsa-bangsa lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui bangunan
internasional melalui Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mencapai
perdamaian dunia yang permanen.
Pada abad ke XIX ini Demokrasi Konstitusional terus dihembuskan
pengaruhnya ke berbagai negara-negara di dunia, tidak terkecuali pada negara
hukum klasik. Demokrasi konstitusional terus berkembang dalam kaitan dengan
pemenuhan hak-hak politik rakyat, demi membatasi kekuasaan pemerintah
dengan suatu konstitusi, baik yang bersifat naskah (written constitution) maupun
yang tidak bersifat naskah (unwritten constitution). Selain itu pula kekuasaan
eksekutif perlu diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga
hukum, pola ini disebut konstitualionalisme9. Carl. J. Friedrich, konstitualisme
adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang
diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa
pembatasan yang dimaksud untuk memberikan jaminan bahwa kekuasaan yang
diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang
memerintah10. Ajaran konstitualisme ini melahirkan rechtsstaat di Eropah Barat
dan Rule of Law di Anglo Saxon.
Unsur-unsur rechtsstaat (klasik) adalah :
1. menjamin hak asasi manusia
2. pemisahan/pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia.
3. pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid van bestuur)

8
. C. F. Strong, Modern Political...., op. cit, hlm. 53-55
9
B. Hestu Cipto Handoyo dan Y. Thresianti.S, Dasar- Dasar Hukum Tata Negara Indonesia,
Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2000, hlm. 59
10
. Carl. J. Friedrich dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta,
1986, hlm.57.

10
4. peradilan administrasi dalam perselisihan.

Sedangkan unsur-unsur Rule of Law (klasik) adalah :


1. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law); tidak adanya kekuasaan
sewenang-wenang (seseorang hanya akan dihukum jika melanggar hukum)
2. kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).
3. terjaminnya hak-hak asasi manusia.

Konstitusi modern menurut C.F. Strong adalah : ” to secure social peace and
progress, safeguard individual rights and promote national well-being”.
Konstitusi modern harus didasari pada jaminan yuridis dan pelaksanaan hak-hak
asasi manusia, serta paham welfare state. Pada abad XX ini, berkembang
demokrasi konstitusional yakni Rule of Law yang dinamis, pada abad ini konsep
negara kesejahteraan (welfare state) menjadi rohnya demokrasi konstitusional
dalam berbagai negara di belahan dunia, Fungsi negara dalam memberikan
pelayanan (social service state) untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum
warganya.
Syarat- syarat untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah
rule of law adalah :
1. perlindungan konstitusional, artinya konstitusi selain menjamin hak-hak
individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. kebebasan untuk menyatakan pendapat.
4. pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Berdasarkan uraian sejarah pertumbuhan konstitusi tersebut, maka dapat


disimpulkan bahwa konstitusi itu lahir dan berkembang berbarengan dengan awal
munculnya negara hukum (dimulai dari negara hukum klasik) kemudian

10
konstitusi itu berkembang seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat
yang mengantarkan pada negara hukum modern (negara hukum kesejahteraan).
Dengan demikian konstitusi suatu negara dapat digambarkan sebagai sesuatu
dinamisasi pandangan-pandangan masyarakat suatu negara yang berkenaan
dengan pengaturan tentang pembentukan dan cara kerjanya sendi-sendi pokok
bangunan suatu negara yang dibingkai oleh perpaduan ilmu pengetahuan
sejarah, filsafat, sosiologi, politik dan hukum.

2. Pengertian Konstitusi dan Undang-undang Dasar


Dalam bahasa latin, kata konstitusi, merupakan gabungan dari dua kata,
yakni : cume dan statuere, Cume adalah sebuah proposisi yang diterjemahkan
dengan arti ”bersama dengan...”, sedangkan statuere berasal dari kata sta yang
membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Berdasarkan kata ini,
maka kata statuere mempunyai arti ”membuat sesuatu agar berdiri atau
mendirikan/menetapkan ”. Dengan kata tunggal ”Constitutio” berarti menetapkan
sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak ”Constitusiones” berarti segala
sesuatu yang telah ditetapkan.11 . Kemudian dalam bahasa Prancis disebut
‘Constituer’ yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan
adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.
Jika kita menghubungkan dengan ”bunyi Proklamasi 17 Agustus 1945” 12, maka
pernyataan ini adalah merupakan suatu konstitusi.
Istilah konstitusi seringkali disamakan dengan Undang-undang Dasar dalam
praktek penyelenggaraan negara. Sri Soemantri dalam disertasinya mengartikan
sama antara konstitusi dan Undang-undang Dasar, hal ini didasari dari praktek
penyelenggaraan ketatanegaraan yang sebagian besar negara-negara dunia
13
termasuk Indonesia . Praktek ketatanegaraan Indonesia pada tahun 1945

11
. Koerniatmanto Soetoprawiro, op.cit, hlm. 28-29.
12
. Kursif Penulis, bunyi proklamasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kostitusi,
dan ini menjadi dasar adanya Negara republik Indonesia.
13
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, alumni, Bandung,

10
memakai istilah Undang-undang Dasar 1945 dan pada tahun 1949 memakai
istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dimasa pemerintahan RIS,
kemudian pada tahun 1950 kembali memakai Undang-undang Dasar Sementara
dan terakhir pada tahun 1959 kembali dengan melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959, menyatakan kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dan hingga saat ini
istilah Undang-undang Dasar dipakai di Indonesia.
Pada dasarnya Istilah konstitusi lebih luas pemahamannya dari istilah
Undang-undang Dasar. Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis yakni : ”
constituer ” yang berarti membentuk. Istilah konstitusi itu sendiri dimaksudkan
adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara,
sedangkan istilah Undang-undang Dasar merupakan terjemahan dari istilah yang
dalam bahasa Belandanya adalah ”Grondwet”. Perkataan wet diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia adalah Undang-undang, dan Grond berarti tanah/ dasar.
Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
Nasional , dipakai istilah constitution, yang dalam bahasa Indonesia disebut
Konstitusi. Pengertian kostitusi dalam praktek dapat lebih luas dari pengertian
Undang-undang Dasar. Van Apeldoorn memberikan perbedaan yang jelas antara
constitution (konstitusi) dengan grondwet (Undang-undang Dasar), konstitusi
memuat peraturan tertulis dan tidak tertulis, sedangkan Undang-undang Dasar
adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi. E. C.S. Wade memberikan pengertian
Undang-undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas
pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-
pokoknya, cara kerja badan-badan tersebut yang merupakan dasar pokok dari
sistem pemerintahan yang diatur dalam Undang-undang Dasar.14.
Selanjutnya penganut paham yang memberikan dikotomi antara istilah
konstitusi dan Undang-undang Dasar, Herman Heller dan F. Lasalle
membedakan. Herman Heller memberikan pengertian konstitusi yakni:

1987, hlm.1.
14
. . Dahlan Thaib, Jasim Hamidi dan Ni’matul Huda, op. cit, hlm.9

10
1. Die Politische verfassung als gesellschaflich wirklichkeit Konstitusi
mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu
kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
2. Die Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi mengandung suatu
kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian
yuridis.
3. Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah
Undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Suatu ” Rechtverfassung” memerlukan dua (2) syarat yang harus dipenuhi,
yaitu syarat mengenai bentuknya, dan syarat mengenai isinya. Bentuknya sebagai
naskah tertulis yang merupakan Undang-undang yang tertinggi yang berlaku
dalam suatu negara. Isinya merupakan peraturan yang bersifat fundamentil,
artinya tidak semua masalah yang penting harus dimuat dalam konstitusi,
melainkan hal-hal yang bersifat pokok, dasar, azas-azas saja.
Faham kodifikasi menganggap bahwa pada dasarnya semua masalah yang
penting harus dimuat dalam Undang-undang Dasar. Akan tetapi kemudian terasa
bahwa tidak semua hal yang penting itu merupakan hal yang pokok, sehingga
tidak mungkin seluruhnya yang penting itu harus ditulis dalam Undang-undang
Dasar. Selain hal yang penting itu tidak selalu sama dengan yang pokok
(fundamentil), juga pembawaan hukum tersebut berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan zaman, sehingga isi dari Undang-undang Dasar itu hanya meliputi
hal-hal yang bersifat mendasar saja15 , sehingga pelaksanaannya dapat diatur
dalam peraturan yang lebih rendah (peraturan yang khusus), yang lebih mudah
diubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Selain itu pula dapat terjaga
kewibawaannya suatu Undang-undang Dasar.
Penyamaan pengertian Konstitusi dan Undang-undang Dasar telah dimulai
sejak Oliver Cromwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-1660) yang
menamakan Undang-undang Dasar itu sebagai ”instrument of Goverment”, yaitu
15
. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit, hlm.66

10
bahwa undang-undang Dasar itu dibuat sebagai pegangan untuk memerintah, dan
disinilah timbul identifikasi dari pengertian konstitusi dan Undang-undang Dasar.
Pada 1787 pengertian konstitusi Cromwell itu kemudian diikuti oleh Amerika
Serikat yang selanjutnya oleh Lafayette dimasukkan ke Prancis pada tahun 1789.
Penganut paham modern yang menyamakan konstitusi dengan Undang-undang
Dasar adalah F. Lasalle.
F. Lasalle dalam Uber Verfassungswesen membagi pengertian konstitusi dalam
dua pengertian, yaitu :
1. Pengertian sosiologis dan politis (sosiologische atau politische begrip).
Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele
machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan
antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara.
Kekuasaan tersebut diantaranya : raja, parlemen, kabinet, pressure groups,
partai politik, dan lain-lain. Itulah yang sesungguhnyakonstitusi.
2. Pengertian yuridis ( yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang
memuat semua bangunan negara serta sendi-sendi pemerintahan.

Pengertian F. Lasalle di atas sesungguhnya memberikan pengertian konstitusi


yang maknanya lebih luas dari Undang-undang Dasar, namun dalam pengertian
yuridis (pengertian kedua), ternyata dipengaruhi pandangannya oleh paham
kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan Undang-undang Dasar.
Jika menelaah Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 ketika pertama kali
ditetapkan di Republik Indonesia ini, para penyusun Undang-undang Dasar 1945
tersebut menganut pemikiran yang sosiologis, karena dalam penjelasan Undang-
undang Dasar tersebut dinyatakan : Undand-undang Dasar ialah hukum dasar
yang tertulis, disamping Undang-undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar
yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.

11
Namun demikian sebagaimana diuraikan sebelumnya ada juga menyamakan
antara Konstitusi dan Undang-undang Dasar. Pandangan dari ilmu politik ”
Konstitusi mengenai keseluruhan peraturan-peraturan yang tertulis maupun yang
tidak tertulis (sebagaimana yang dipaparkan di atas}. Diantara penganut paham
modern yang secara tegas menyamakan pengertian konstitusi dengan undang-
undang Dasar, yakni James Bryce dan C.F. Strong.
James Bryce sebagaimana dikutif oleh C.F. Strong 16dalam bukunya Modern
Political Constitution menyatakan konstitusi adalah :
” A frame of political society, organised through and by law, that is to say on in
which law has established permanent institution with recognised functions and
definite rights”.
Pengertian konstitusi diatas jika disederhanakan rumusannya sebagai ” kerangka
negara yang diorganisir melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan :
1). Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang perma-
nen;
2). Fungsi dari alat-alat kelengkapan;
3). Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.

Selanjutnya C. F. Strong melengkapi pendapatnya yang diwarnai oleh


pendapat F. Lasalle, sebagai berikut :
“ Constitution is a collection of principles according to which the power of
government, the right of the governed, and the relations between the two are
adjusted “
Artinya, “konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang
menyelenggarakan :
1). Kekuasasan pemerintahan (dalam arti luas);
2). Hak-hak dari yang diperintah;
3). Hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (menyang-
16
Ibid, hlm.11-12

11
kut di dalamnya masalah hak asasi manusia).

Demikian pula dengan Struycken yang menganut faham modern, yakni :


konstitusi adalah Undang-undang Dasar, konstitusi itu memuat garis-garis besar
dan asas tentang organisasi negara. Dengan demikian konstitusi tidak perlu
mencerminkan seluruh masalah yang penting secara lengkap, sebab konstitusi
semacam ini akan mengalami kesulitan dalam mengikuti perkembangan
masyarakat, sedangkan konstitusi itu tidak berubah.
Berdasarkan pengertian dari berbagai para ahli tersebut, maka kesimpulan yang
dapat diambil bahwa pengertian konstitusi meliputi konstitusi dalam arti tertulis
dan konstitusi dalam arti tidak tertulis. Undang-undang Dasar merupakan
konstitusi yang tertulis yang berisikan hal-hal sebagai berikut :
1. Suatu kumpulan-kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan
kepada para pemegang kekuasaan dalam suatu negara.
2. Suatu dokumen tentang pembagian jabatan-jabatan (tugas-tugas) dan
sekaligus dengan pemangku jabatannya dari suatu sistem politik.
3. Suatu deskripsi tentang lembaga-lembaga negara.
4. Suatu deskripsi menyangkut hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga
negara.
3. Nilai Konstitusi
Dalam praktek ketatanegaraan sering pula terjadi bahwa suatu konstitusi
tidak berlaku secara sempurna karena salah satu atau beberapa dalam pasal
ternyata tidak dijalankan lagi, atau disebabkan konstitusi yang berlaku tersebut
ternyata hanya untuk kepentingan suatu golongan/ atau pribadi dari penguasa saja.
Di sisi lain banyak pula konstitusi yang dijalankan sesuai dengan pasal-pasal yang
ditentukan dalam konstitusi tersebut.
Karl Loeweinstein mengadakan penyelidikan berkenaan dengan konstitusi
yang tertulis di berbagai negara dalam lingkungan nasional. Dari hasil

11
penyelidikannya, akhirnya memberikan 3 (jenis) penilaian pada konstitusi tertulis,
sebagai berikut :
a. Nilai Normatif
Suatu Konstitusi yang sudah sah diterima oleh suatu bangsa, artinya
konstitusi tersebut berlaku dalam arti hukum (legal), dan hal ini dapat
diberlakukan secara efektif, artinya dilaksanakan secara murni dan konsekuen,
sebagai contoh yang dapat dilihat pada konstitusi Negara Amerika Serikat
dimana ketiga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjalankan
fungsinya masing-masing secara terpisah.
Dalam pelaksanaan konstitusi tersebut, eksekutif tidak boleh
melaksanakan kekuasaan membuat Undang-undang, apabila tidak ada suatu
delegasi perundang-undang yang sah, sebab kekuasaan untuk membuat
Undang-undang adalah suatu tugas yang semata-mata di tangan pembuat
Undang-undang (Congress). Pada waktu pemerintahan Presiden Trumen,
Presiden hendak menyita pabrik baja untuk mencegah pemogokan, karena
persediaan baja sangat dibutuhkan untuk pertahanan nasional. Mahkamah
Agung menolak hak prerogatif Presiden untuk menyita pabrik baja tersebut,
dengan alasan bahwa kekuasaan itu tidak masuk kekuasaan konstitusionil
Presiden. Hal ini terkenal dalam perkara Youngstown Sheet & Tuber Co V
Sawyer 17. Dengan kasus tersebut memperjelas penilaian konstitusi Amerika
Serikat bahwa kekuasaan Presiden adalah kekuasaan yang dinyatakan secara
tegas oleh konstitusinya atau oleh Undang-undang. Dengan demikian
konstitusi ini bernilai normatif.
Jimly Asshiddiqie18 dalam bukunya “Hukum Tata Negara dalam Pilar-
Pilar Demokrasi”, menyatakan bahwa konstitusi dalam konteks kehidupan
bernegara, sistem acuan norma itu berpuncak kepada konstitusi. Selanjutnya
digambarkan dalam konteks kehidupan beragama yang dituliskan : “…..jika
17
. Ibid, hlm. 73.
18
. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dalam Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hlm.95-97.

11
dalam konteks kehidupan beragama dalam masyarakat kita mengenal agama
beserta kitab sucinya, maka dalam konteks kehidupan bernegara, konstitusi
itulah yang seakan-akan merupakan kitab ‘suci’. Sudah tentu, pengertian kitab
‘suci’ di sini jangan dipahami sesuatu yang sakral yang tidak mengizinkan
adanya perubahan. Betapapun juga konstitusi suatu negara adalah buatan
manusia, karena itu dimungkin
itu harus dimungkinkan untuk diubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Akan
tetapi kualifikasinya sebagai hukum dasar yang tertinggi, maka seolah-olah
layaknya konstitusi itu merupakan kitab suci yang digunakan sebagai refernsi
tertinggi bagi setiap warga negara.
Konstitusi itulah yang menjadi desain utama dan pokok dari keseluruhan
sistem aturan yang berlaku sebagai pegangan bersama dalam kehidupan warga
negara di dalam satu negara, yang keseluruhannya membentuk suatu kesatuan
sistem hukum yang tidak ubahnya bagai suatu ’agama’ (constitutional faith)
atau ’civil religion’ bagi setiap warga negara. Hukum dan konstitusi dalam
suatu negara haruslah menjadi sesuatu yang hidup dalam praktek kehidupan
bernegara sehari-hari. Dengan demikian dapat kita meyakini prinsip ” the rule
of law ” atau prinsip ” supremacy of law” dapat benar-benar diwujudkan
dalam kenyataan. Jika tidak maka hanya menjadi jargon atas slogan kosong
belaka.

b. Nilai Nominal
Suatu konstitusi itu secara hukum itu berlaku, namun berlakunya tidak
sempurna, karena ada pasal-pasal tertentu yang tidak berlaku disebabkan
penerapan pasal-pasal tersebut dipengaruhi oleh kemauan para penguasanya.
Contoh pasal 27 dalam Undang-undang Dasar 1945 baik sebelum
diamandemen maupun sesudah mengalami amandemen, jaminan hukum
berkenaan dengan pemberian hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pada kenyataannya dalam

11
praktek kehidupan kenegaraan di Indonesia ternyata belum sempurna dalam
pelaksanaannya karena bukti masih banyaknya warga negara Indonesia yang
berada pada garis kategori hidup dalam garis kemiskinan (tidak hidup layak).
Contoh yang lain ketika pada masa Pemerintahan orde baru, pasal 28
memberikan jaminan bagi setiap warga negara untuk bebas berpendapat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rupanya penguasa pada saat itu
tidak banyak memberikan peluang tersebut, termasuk kebebasan berpendapat
perorangan maupun Pers dibatasi secara ketat oleh kemauan penguasa pada
saat itu.

c. Nilai Semantic
Suatu konstitusi itu secara hukum itu berlaku, namun dalam kenyataannya
hanya sekedar untuk memberi bentuk dengan tempat yang telah ada untuk
melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang dinamis untuk
mengatur, yang menjadi maksud yang essensiil dari suatu konstitusi
diberikan untuk demi kepentingan pihak pemegang kekuasaan yang
sebenarnya. Jadi konstitiusi hanya sekedar istilah saja, sedangkan
pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan kepentingan pemegang yang
sebenarnya. Dengan demikian konstitusi itu hanya sekedar istilah saja,
seadngkan pelaksanaannya selalu dikaitkan kepentingan dengan pihak yang
berkuasa. Konstitusi yang demikian nilainya hanya semantic saja, Contoh
Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku secara hukum, tetapi dalam praktek
berlakunya hanya untuk kepentingan yang berkuasa saja.

4. Materi Muatan Konstitusi


Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam suatu studinya terhadap
beberapa konstitusi di dunia yang dituliskan dalam bukunya yang berjudul “
Written Constitution “ mengemukakan sebagai berikut :

11
1. Constitution as a means of forming the state’s own political and legal
system;
2. Constitution as a national document and as a birth certificate and as a sign
of adulthood and independence19.

Kedua ahli hukum tata negara Belanda tersebut, mengatakan bahwa materi
muatan konstitusi selain sebagai dokumen nasional, konstitusi juga sebagai alat
untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negaranya sendiri.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat A.A. H. Struycken, menyatakan bahwa
Undang-undang Dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah
dokumen formal yang berisi :
1. Hasil perjuangan politik bangsa di masa di waktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu
sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
4. Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaran bangsa
hendak dipimpin20.
Dari beberapa pandangan diuraikan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
disamping sebagai dokumen nasional dan tanda kedewasaan dari kemerdekaan
sebagai sebagai bangsa, konstitusi juga berisikan sistem politik dan sistem
hukum yang hendak diwujudkan.
Jika dihubungkan dengan Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi
tertulis dari Republik Indonesia yang dinyatakan sebagai sumber hukum tertinggi
di Indonesia dimana Undang-undang Dasar 1945 pada awal dibentuknya Undang-
undang Dasar ini berisikan rangkaian : Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD)
1945, Batang Tubuh UUD, dan Penjelasan UUD. Pembukaan UUD tersebut yang
apabila dikaji isinya terdapat 4 (empat) alinea berisikan uraian yang menjelaskan
19
. Sri Soemantri M., Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekusaasaan, dikutip dari Jurnal
Hukum, N0.6 Vol.3 1996, hlm.4
20
. Sri Soemantri, Prosedur ….., op. cit, hlm. 2.

11
hasil perjuangan politik bangsa Indonesia di masa di waktu yang lampau; arah
tujuan negara yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk
masa yang akan datang, sistem politik dan sistem hukum yang hendak
diwujudkan. Kemudian dalam batang tubuh UUD mempertegas dan dalam
penjelasannya yang memperjelas isi batang tubuh UUD. Perkembangan
selanjutnya dari UUD 1945 saat ini telah diamandemen sebanyak 4(empat) kali
dan Penjelasan UUD 1945 tersebut untuk saat ini sudah tidak dipakai lagi sebagai
dasar hukum, hal ini juga sekaligus menunjukkan tingkat-tingkat tertinggi
perkembangan ketatanegaraan bangsa Indonesia yang banyak mengalami
perkembangan dalam menyikapi perubahan dalam masyarakat bangsa Indonesia.
Berkenaan dengan materi muatan konstitusi , Wheare mengemukakan tentang
apa yang seharusnya menjadi isi suatu konstitusi, yaitu the very minimum, and
that minimum to be rule of law, Wheare tidak mengemukakan secara jelas apa
yang seharusnya menjadi materi muatan pokok dari suatu konstitusi. Ia hanya
mengatakan bahwa sifat yang khas dan mendasar dari bentuk kostitusi yang
terbaik dan ideal adalah konstitusi itu harus sesingkat mungkin untuk
menghindarkan kesulitan-kesulitan para pembentuk Undang-undang Dasar dalam
memilih yang penting- penting pada saat mereka akan merancang Undang-
undang Dasar tersebut21.
Menurut Mr. J. G. Steenbeek berkenaan dengan materi muatan konstitusi,
sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam disertasinya menyatakan mengenai apa
yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi yang pada umumnya berisikan 3 (tiga)
hal pokok, sebagai berikut22 :
1. perlindungan jaminan terhadap hak asasi manusia dan warga negaranya;
2. penetapan susunan ketatanegaraan negara yang bersifat fundamental;
3. pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.

21
. Dahlan Thaib, Jasim Hamidi dan Ni’matul Huda, op. cit, hlm. 16
22
. Sri Soemantri, Prosedur ….., op. cit, hlm. 51.

11
Selain itu juga Miriam Budiarjo berpandangan bahwa Undang-undang Dasar
itu memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut23 :
1. organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal
dengan pemerintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah
pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah.
2. hak-hak asasi manusia.
3. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-
undang Dasar.
Jika dikaji kedua pendapat (Steenbeek dan Miriam Budihardjo) tersebut, pada
hakikatnya mengatur masalah pembatasan-pembatasan kekuasaan bagi
penyelenggara negara (sesuai susunan organisasi negara) dan hak-hak asasi dan
hak warga negara serta perubahan Undang-undang Dasar yang dikemukakan oleh
Miriam Budiardjo (selangkah lebih luas cakupannya dibandingkan yang
dikemukakan oleh Steenbeek). Dengan demikian materi muatan yang bersifat
mendasar dari suatu Undang-undang Dasar ini, sudah sejalan dengan pemahaman
konstisusi yang diartikan dalam arti konstitusi tertulis dan yang tidak tertulis
sebagaimana diuraikan pada awal pembahasan ini.

5. Perubahan Konstitusi
a. Sistem Perubahan
Menurut Jimly Jimly Asshiddiqie24 dalam bukunya ” Hukum Tata Negara
dalam Pilar-Pilar Demokrasi” , Dalam kajian hukum tata negara, dikenal adanya
dua cara perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai konstitusi yang
tertulis. Pertama, perubahan yang dilakukan menurut prosedur yang diatur
sendiri oleh UUD itu atau dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam UUD. Cara pertama biasa disebut istilah “verfassung anderung”,

23
. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 101.
24
. Jimly Asshiddiqie, op. Cit, hlm. 97-108.

11
sedangkan yang kedua biasa disebut “verfassung wandlung”. Cara pertama
disebut sebagai cara konstitusional, sedangkan yang kedua dengan cara yang
bersifat “revolusioner”. Sah tidaknya UUD itu sebagai konstitusi negara dan
konstitusional tidaknya prosedur perubahan itu ditempuh, tidak ditentukan secara
“prae-factum”, melainkan bersifat “Post-factum”. Dalam sifatnya yang
revolusioner itu, berlaku tidaknya UUD tergantung pada kekuatan politik yang
mendukung atau yang memberlakukannya secara terus menerus, sehingga dalam
faktisitasnya UUD itu memang nyata-nyata berlaku dan diberlakukan secara
efektif sebagai konstitusi negara yang bersangkutan. Sebelum naskah UUD
tersebut diakui (recognition) dan diterima (reception) keberlakuannya oleh
mayoritas rakyat, UUD itu biasanya masih tetap dianggap tidak sah dan prosedur
perubahan yang ditempuh dapat dinilai “inkonstitusional”, atau setidak-tidaknya
bersifat “ekstra-konstitusional”.
Kedua, perubahan itu sendiri dapat dilakukan (a) melalui “perubahan
naskah”, (b) melalui ‘penggantian naskah’ lama dengan naskah yang baru, atau
dilakukan (c) melalui naskah tambahan (annex atau addendum) yang terpisah dari
naskah asli UUD yang menurut tradisi Amerika Serikat disebut Amandemen. Jika
perubahan dalam teks menyangkut hal-hal tertentu, maka hal itu dapat disebut
dengan pembaruan naskah, tetapi apabila materi perubahannya bersifat mendasar
dan cukup banyak, maka perubahan itu dapat disebut sebagai penggantian naskah
dari yang lama menjadi yang baru sama sekali. Di samping itu, ada pula cara
ketiga yang dikembangkan dalam tradisi Amerika Serikat, yaitu perubahan dalam
naskah terpisah dari naskah asli UUD yang biasa disebut dengan naskah
Amandemen UUD.

b. Prosedur dan Mekanisme Perubahan :


Prosedur dan mekamanisme perubahan mencakup perancangan naskah,
pengusulannya oleh siapa atau lembaga apa dan kepada lembaga mana,
pembahasannya dilakukan oleh lembaga apa, mekanisme persidangannya

11
mempersyaratkan quorum yang seperti apa, dan pengambilan keputusannya
minimal didukung oleh berapa suara, serta pengundangan untuk
memberlakukannya bagaimana. Lazimnya, semua hal ini diatur dalam UUD itu
sendiri yang harus dijadikan pegangan dalam rangka perubahan konstitusi.
Inisiatif resmi perubahan UUD dapat datang dari Kepala Pemerintahan atau
dari parlemen tergantung aturan yang ditentukan dalam konstitusi. Dalam sistem
monarki (kerajaan), yang mengesahkan UUD itu menjadi konstitusi biasanya
adalah Kepala Negara dalam monarki itu. Tetapi dalam negara republik
demokrasi biasanya parlemenlah yang diberi kewenangan mengesahkan UUD dan
perubahannya. Dalam sistem parlemen dua kamar (bicameral), kadang-kadang
juga diatur bahwa usulan perubahan UUD datang dari satu kamar, sedangkan
kamar yang lain mengesahkannya.
Pada umumnya, dalam membahas dan mengesahkan suatu perubahan UUD,
dipersyaratkan adanya mekanisme quorum persidangan dan mekanisme
pengambilan keputusan yang lebih berat daripada pembahasan dan pengesahan
undang-undang biasa. Sebabnya ialah karena UUD itu dianggap sangat penting
dan jauh lebih penting daripada undang-undang biasa. Namun, tata cara dan
syarat-syarat mengenai hal itu tidak selalu sama antara satu UUD dengan UUD
yang lain. Ketentuan-ketentuan mengenai hal itu tidak selalu sama antara satu
UUD dengan UUD yang lain. Ketentuan-ketentuan mengenai hal itu, tergantung
bagaimana hal itu diatur dalam konstitusi masing-masing negara.

c. Bentuk hukum perubahan :


Perubahan UUD itu sendiri dituangkan dalam bentuk hukum yang seperti apa,
juga sangat penting untuk ditentukan. Apakah materi perubahan itu langsung
adopsikan ke dalam teks UUD dan dengan demikian perubahan dilakukan dengan
cara pembaruan naskah ataupun penggantian naskah, atau dalam bentuk hukum
yang terpisah, yaitu amandemen. Dengan demikian, bentuk hukum perubahan itu

12
dalam berbentuk Undang-Undang Dasar itu sendiri atau Perubahan Undang-
Undang Dasar.
Selain itu, dalam sejarah konstitusi di Indonesia, pernah juga terjadi
bahwa Undang-Undang Dasar, yaitu Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
diberlakukan dengan undang-undang. Bahkan pemberlakuan kembali UUD 1945
pada tahun 1959 dituangkan dalam bentuk Dekrit Presiden yang tidak lain adalah
Keputusan Presiden dengan tingkatan yang lebih rendah daripada Undang-
Undang.

d. Substansi yang diubah :


Materi Undang-Undang Dasar pada umumnya dipahami dapat diubah atau
diganti sama sekali dengan yang baru. Namun demikian, dalam konstitusi di
beberapa negara, sering juga dibedakan antara mekanisme perubahan yang biasa
dan perubahan yang tidak biasa. Dalam konstitusi Perancis, misalnya ditentukan
bahwa untuk perubahan terhadap bentuk negara kesatuan dan bentuk
pemerintahan republik, sebelum dilakukan dengan cara biasa, perlu terlebih dulu
diadakan referendum nasional yang mendapatkan persetujuan mayoritas rakyat.
Jika rencana perubahan itu disetujui oleh suara mayoritas, barulah rencana
perubahan itu dilakukan menurut prosedur perubahan yang biasa.
Dalam sejarah konstitusi di Indonesia, dikembangkan pandangan yang
berbeda dari kelaziman di berbagai negara. Sebabnya ialah bahwa dalam sejarah
konstitusi Indonesia, Pembukaan UUD 1945 disusun dan dibuat lebih dulu dari
naskah Undang-Undang Dasar 1945. Naskah Pembukaan UUD itu berasal dari
naskah Piagam Jakarta yang kemudian ditempelkan menjadi naskah Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 setelah menggantikan 7 kata yang berkenaan dengan
syari’at Islam yang ada tercantum dalam Piagam Jakarta itu. Karena faktor
kesejarahan itu, Pembukaan UUD 1945 itu dianggap sebagai dokumen historis
yang tak dapat lagi diubah, karena sifatnya yang ‘einmalig’. Karena itu,
berdasarkan konvensi berkembang pemahaman bahwa Pembukaan UUD 1945 itu

12
tidak boleh dan tidak dapat diubah. Karena itu, dalam Undang-Undang Dasar
Indonesia dapat dikembangkan adanya tiga elemen materi, yaitu.
(1) Materi yang dapat diubah dan tidak dapat diubah, yaitu Pembuka-
an UUD.
(2) Materi yang dapat diubah dengan cara biasa, yaitu seluruh pasal-
pasal UUD kecuali yang dikecualikan
(3) Materi yang dapat diubah dengan cara yang tidak biasa, yaitu Pasal-pasal
yang berkenaan dengan bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan
republik serta pasal-pasal yang berkenaan dengan dasar negara.

6. Status Undang-Undang Dasar 1945


a. Mengenai Kesementaraan UUD 1945
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang disahkan berlaku pada tanggal 18
Agustus 1945 adalah konstitusi negara Republik Indonesia yang dimaksudkan –
seperti diistilahkan sendiri oleh Soekarno – “UUD Kilat”, “revolutie grondwet”,
sebagai Undang-Undang Dasar yang bersifat sementara. Bahkan baru dua bulan
setelah proklamasi kemerdekaan, ketika dibentuk Kabinet Parlementer Pertama di
bawah Perdana Menteri Syahrir, UUD 1945 yang menganut sistem presidential
(quasi) itu sudah tidak lagi dijadikan pegangan dalam praktek penyelenggaraan
negara. Keadaan ini terus berlangsung sampai terbentuknya Republik Indonesia
Serikat sebagai hasil perundingan Konperensi Meja Bundar yang memberlakukan
Konstitusi RIS tahun 1949.
Namun, konstitusi RIS hasil kesepakatan dengan Belanda itu pada pokoknya
masih bersifat sementara. Pasal 186 Konstitusi menegaskan bahwa Undang-
Undang Dasar yang tetap akan disusun oleh Konstituante. Akan tetapi, Republik
Indonesia Serikat ini tidak berusia lama. Pada tanggal 17 Agustus 1950, bangsa
kita kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengesahkan
berlakunya konstitusi baru yang diberi nama Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950. Padal 134 UUDS ini juga menentukan bahwa Konstituantelah yang

12
membuat Undang-Undang Dasar yang bersifat tetap. Untuk itulah, Konstituante
resmi dibentuk pada tanggal 10 November 1956, di Gedung Merdeka Bandung.
Pada waktu melantik para anggota Konstituante itu, Presiden Soekarno
menyampaikan pidato resminya dengan judul : “Susunlah Konstitusi Yang Benar-
Benar Konstitusi Res Publica”.
Sayangnya, usaha Konstituante membuat Undang-Undang Dasar baru itu
tidak kunjung selesai. Karena itu, pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno
kembali berpidato di depan Konstituante yang bersidang di Bandung dengan judul
: Res Publica! Sekali Lagi Res PUblica!”. Dalam pidatonya itu, Presiden
Soekarno mengusulkan kepada Konstituante agar kembali memberlakukan saja
Undang-Undang Dasar 1945. Namun, setelah diadakan pemungutan suara sampai
tiga kali, putusan mengenai hal itu tidak juga kunjung dicapai. Dengan perkataan
lain, Konstituante menolak usul Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945
itu. Akan tetapi, karena alasan adanya keadaan darurat, Presiden Soekarno
mengeluarkan keputusan yang dikenal dengan Dekrit Presiden, yaitu pada tanggal
5 Juli 1959 yang pada pokoknya membubarkan kembali UUD 1945 sebagai
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, sampai diberlakukan kembali pada tanggal 5 Juli 1959.
UUD 1945 itu sebenarnya memang belum sempat diterapkan dengan sebaik-
baiknya. Bahkan setelah itupun sampai berakhirnya kepemimpinan Presiden
Soekarno pada tahun 1967, UUD 1945 memang belum pernah memperoleh
kesempatan untuk diterapkan secara tepat. Inilah yang mendorong munculnya
Orde Baru yang pada mulanya berusaha keras untuk ‘menegakkan UUD 1945
secara murni dan konsekwen’, demikian jargon yang dikumandangkan sejak masa
awal Orde Baru. Akan tetapi, dalam perjalanannya kemudian, UUD 1945 yang
sangat singkat dan ‘soepel’ itu cenderung disalahgunakan dengan penafsiran-
penafsiran oleh pihak yang berkuasa secara sepihak. Bahkan karena siklus
kekuasaan selama 32 tahun hanya berputar di sekitar Presiden Soeharto, UUD

12
1945 mengalami proses sakralisasi luar biasa yang tidak boleh disentuh oleh
perubahan sama sekali.
Akibatnya, UUD 1945 menjadi instrumen politik yang ampuh untuk
membenarkan berkembangnya otoritarisanisme yang menyuburkan praktek-
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di sekitar kekuasaan Presiden. Karena itu,
di masa reformasi menyeluruh menyusul berakhirnya kekuasaan Presiden. Karena
itu, di masa reformasi menyeluruh menyusul berakhirnya kekuasaan Presiden
Soeharto, agenda perubahan UUD itu menjadi sesuatu yang niscaya. Reformasi
politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa
diiringi oleh reformasi hukum. Tetapi reformasi hukum yang menyeluruh juga
tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi ketatanegaraan
yang mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya ‘constitutional reform’ yang
tidak setengah hati.
Sekarang, UUD 1945 memang sudah mengalami perubahan yang sangat
substantif. Pada tahun 1999 telah ditetapkan adanya perubahan pertama, dan
kemudian pada tahun 2000 telah pula diterima adanya Perubahan Kedua. Pada
tahun 2001 diadakan ketiga UUD 1945. Sesuai dengan tugas yang diberikan
kepada Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan Ketetapan
MPR No.IX/MPR/2000, dan perubahan keempat sudah ditetapkan tahun 2002.
Masalahnya adalah sejauhmana penetapan naskah-naskah Perubahan UUD
secara terpisah tersebut memang telah memenuhi standar dalam rangka perubahan
UUD yang baik. Misalnya, dapat dipersoalkan sejauhmana metode perubahan
melalui penetapan naskah terpisah itu memang sudah tepat dipilih sebagai metode
perubahan UUD. Selain itu, sejauhmana substansi yang diatur dalam naskah
Perubahan yang terpisah-pisah itu sudah dapat dianggap cukup memadai untuk
dijadikan substansi UUD di masa depan ? Apakah materi dalam naskah-naskah
yang terpisah-pisah itu, secara akademis dapat dipertanggung sistematika
formulasinya dan sistematika sistem atau paradigma pemikirannya ?

12
b. Materi Yang Perlu Diubah :
Perubahan UUD 1945 tidak boleh hanya dilakukan dengan mengubah
rumusan pasal demi pasal tanpa memperhatikan sistematika keseluruhan isi UUD
dan perubahan konsep dasar yang terkandung di dalam rumusan pasal-pasal itu.
Oleh karena itu, perumusan sesuatu pasal dalam UUD, sudah seharusnya
didahului oleh perdebatan konseptual yang mendalam mengenai gagasan-gagasan
pokok yang terkandung didalamnya. Sebagai contoh, perumusan suatu pasal yang
berkenaan dengan sistem pemerintahan presidential, tentulah terkait dengan
rumusan pasal-pasal lainya yang mengatur hal yang terkait dengan sistem
pemerintahan presidentil itu. Pilihannya adalah apakah UUD akan menganut
sistem presidentil, parlementer atau sistem campuran. Demikian pula dengan
rumusan suatu pasal yang berkenaan dengan sistem pemisahan kekuasaan
(separation of power) tentulah berbeda dari pasal-pasal yang terkait dengan
prinsip pembagian kekuasaan (distribution or division of power). Jika salah satu
dari kedua asas ini dipilih, maka implikasinya sangat luas dan berhubungan erat
dengan rumusan banyak pasal yang terkait.
Hal yang serupa juga berkaitan dengan sistematika isi Undang-Undang Dasar.
Jika pasal-pasal tambahan ataupun bab-bab tambahan cukup banyak jumlahnya,
harus pula diperhatikan kaitannya dengan keseluruhan sistematika Undang-
Undang Dasar itu. Oleh karena itu, dalam rangka perubahan Undang-Undang
Dasar, perlu diperhatikan adanya tiga elemen penting yang terkait, yaitu : (a)
rumusan pasal-pasalnya, (b) sistematika isinya, dan (c) konsep dasar yang
terkandung di dalamnya.
Beberapa issue penting dalam UUD 1945 yang selama ini sering dikritik oleh
para ahli dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, struktur kelembagaan
negara yang diatur didalamnya memberikan kedudukan yang sangat besar kepada
pihak eksekutif tanpa disertai oleh prinsip ‘checks and balances’ yang memadai.
Dengan pengaturan demikian itulah maka materi UUD 1945 biasa disebut
‘executive heavy’ yang dalam praktek penerapannya sangat menguntungkan bagi

12
siapa saja yang menduduki jabatan Presiden untuk mengkonsentrasikan
kekuasaan di satu tangan. Kedua, rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian
terbesar bersifat sangat sederhana, umum dan bahkan tidak jelas, sehingga dapat
menimbulkan penafsiran sepihak yang sangat menguntungkan pemegang
kekuasaan, atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan perselisihan pendapat dalam
pelaksanaannya di lapangan. Misalnya mengenai ketentuan Pasal 8 UUD 1945
yang banyak menimbulkan perselisihan pendapat di kalangan para ahli. Ketiga,
UUD 1945 terlalu banyak mendelegasikan pengaturan lebih lanjut pada undang-
undang organik tanpa arahan yang memadai, sehingga materi undang-undang
organik tanpa arahan yang memadai, sehingga materi undang-undang sepenuhnya
diserahkan kepada Presiden bersama-sama DPR untuk menentukannya.
Akibatnya, banyak UU yang meskipun sama-sama didasarkan atas UUD 1945
secara substantif sangat bertentangan satu sama lain seperti UU No.22/1999 yang
sangat berbeda materinya dari UU No.5/1974 yang mengatur materi yang sama,
yaitu pemerintahan daerah. Keempat, banyak terdapat kekosongan materi muatan
yang penting yang tidak terdapat dalam UUD 1945. Misalnya, konsep Negara
Hukum (rechtsstaat) yang justru terdapat dalam Penjelasan UUD tidak tercantum
sama sekali pasal-pasal UUD 1945. Soal lain adalah berkenaan dengan
keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan, dan juga Mahkamah Agung ataupun
berkenaan dengan mekanisme pertanggung jawaban Presiden yang tidak cukup
diatur secara jelas dalam UUD 1945, sehingga pelaksanaannya di lapangan sangat
kurang memadai.
Selain keempat hal tersebut, kritik kelima yang biasa dikemukakan adalah
berkenaan dengan status dan materi Penjelasan UUD. Sebagian materi Penjelasan
sama sekali merupakan soal baru yang tidak terdapat dalam pasal-pasal UUD,
seperti misalnya istilah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, ataupun istilah
Mandataris MPR yang dalam penerapannya menimbulkan masalah karena justru
memperkuat kecenderungan terjadinya penumpukan kekuasaan di tangan satu
orang yang kebetulan menduduki jabatan Presiden. Status penjelasan UUD yang

12
sebenarnya sangat penting dalam rangka penafsiran historis atau penafsiran
otentik terhadap ketentuan UUD 1945, menimbulkan kaidah hukum baru yang
diperlakukan sederajat dengan materi UUD. Karena itu, dalam rangka pembaruan
UUD, berkembang pendapat yang pada akhirnya penjelasan ini ditiadakan dari
pengertian naskah UUD 1945.

C. PENUTUP

1. Soal latihan/tugas
Kerjakan latihan tugas di bawah ini :
a. Diskripsikan bagaimanakah sejarah pertumbuhan konstitusi ?
b. Apakah pengertian konstitusi sama dengan UUD ?
c. Jelaskan nilai-nilai dari suatu konstitusi/UUD ?
d. Materi muatan apa sajakah yang seharusnya termuat dalam suatu konstitusi/
UUD ?.
e. Uraikan sistem perubahan dari suatu UUD yang dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie ?
f. Jelaskan bagaimanakah sebaiknya perubahan UUD 1945.
2. Kata kunci
a. amati dalam uraian sejarah pertumbuhan konstitusi di negara
Yunani Kuno, kerajaan Romawi, Inggris, dan Amerika Serikat
b. lihat beberapa pendapat yang menyamakan dan membedakan
istilah konstitusi dan UUD.
c. lihat pendapat Karl Loeweinstein mengenai 3 nilai konstitusi
d. pelajari dan bandingkan beberapa pendapat : A.A. H. Struycken,
Wheare, J.G. Steenbeek, Miriam Budiarjo mengenai materi mua-
tan konstitusi/UUD.
e. sistem perubahan : a). Penentuan prosedur UUD melalui peruba-han naskah,
penggantian naskah, naskah tambahan; b). Prose-dur dan mekanisme

12
perubahan antara lain : perancangan, pengusulan, pembahasan, keputusan,
pengundangan naskah; c). Bentuk hukum perubahan : pembaruan naskah,
penggantian naskah, bentuk hukum terpisah (amandemen); d). Substansi yang
diubah : kesepakatan untuk substansi UUD yang dapat diubah dan yang tidak
boleh diubah.
f. Pelajari UUD 1945 dan amandemen UUD 1945.

12
REFERENSI

Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busro, Hukum Tata Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1984.

B. Hestu Cipto Handoyo dan Y. Thresianti.S, Dasar- Dasar Hukum Tata


Negara Indonesia, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
2000.

C.F. Strong, Modern Political Constitutions, London, Sidgwick, Jackson,


Limited, 1966.

Dahlan Thaib, Jasim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum
Konstitusi, Raja Grapindo Persada, Jakarta,2004.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dalam Pilar-Pilar Demokrasi,


Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembang-


an nya, Pro Justitia, No.2 tahun V, Mei 1987.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991,

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara


Indonesia Pusat Studi Hukum Tata Negara Indonesia
Fakultas Hukum dan CV Sinar Bakti, Cetakan ketujuh,
1988.

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi,


Alumni, Bandung, 1987.

Sri Soemantri M., Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan,


dikutip dari Jurnal Hukum, N0.6 Vol.3 1996.

12

You might also like