You are on page 1of 13

RESUME MATERI RUMAH SUSUN

Disusun Oleh:
Nama : Nia Novianty
NIM : E0006184

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
RESUME MENGENAI RUMAH SUSUN

A. Dasar Hukum Rumah Susun


Aturan dasar yang mengatur “Rumah Susun” adalah Undang-undang nomor
16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Selain itu ada perangkat peraturan
perundang-undangan yang secara emplisit mengatur mengenai rumah susun
adalah Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Pemukiman
Kumuh yang Berada di Atas Tanah Negara, atas dasar Instruksi Presiden tersebut,
Menteri Dalam Negeri mengeluarkan suatu Surat Edaran No. 04/SE/M/1/1993
tanggal 7 Januari 1993 kepada para Gubernur Keapla Daerah Tingkat I dan
Bupati/ Walikotamadya Daerah Tingkat II untuk melaksanakan Pedoman Umum
Penanganan Terpadu Perumahan dan Pemukiman Kumuh, antara lain dilakukan
melalui upaya peremajaan dan pembangunan rumah susun (rusun) (Imam
Kuswahyono, S. H., M. Hum., 2003: 3-4).
Namun sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 ada
beberapa pengaturan yang mengatur rumah susun, peraturan yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak
Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan
yang ada di atasnya Serta Penerbitan Sertifikatnya.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan
tata Usaha Pendaftaran Tanah mengenai Hak Atas Tanah Yang Dipunyai
Bersama dan Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang ada di Atasnya.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara
Permohonan dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah
Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan Secara Terpisah Bagian-

2
Bagian pada Bangunan Bertingkat.

B. Definisi Rumah Susun


Definisi Rumah Susun menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) adalah:
“Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang
terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah
horizontal maupun vertical dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing
dapat dimiliki dan dipergunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian,
yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.”
Sejalan dengan perubahan dan perkembangan keadaan, maka rumah susun
juga mengalami perubahan pengertian seperti dalam praktik adalah:
“Suatu pemilikan bangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang
masing-masing merupakan satu kesatuan yang dapat digunakan dan dihuni
secara terpisah serta dimiliki secara individual berikut bagian-bagian lain
dari bangunan itu dan tanah yang merupakan tempat berdirinya bangunan
(gedung) itu yang karena fungsinya digunakan bersama, dimiliki secara
bersama-sama oleh pemilik bagian yang dimiliki secara individual
tersebut” (Imam Kuswahyono, S. H., M. Hum., 2003: 6).

C. Hak Atas Tanah dan Satuan Rumah Dalam Rumah Susun

Tanah tempat bangunan rumah susun dididirikan , dalam pasal 7 Undang-


Undang rumah susun ditentukan sebagai berikut:
“Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah yang berstatus hak
milik (HM), hak guna bangunan (HGB), hak pakai atas tanah Negara
(HP) atau hak pengelolaan (HPL), sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Sebagai ketentuan lain yang secara khusus menentukan untuk melindungi
kepentingan para pembeli satuan rumah susun (SRS), maka developer harus
menyelesaikan status hak guna bangunan (HGB) di atas HPL itu. Sebelum itu
tidak boleh menjual satuan rumah susun yang telah selesai dibangun. Artinya

3
developer harus menyelesaikan status tanah dari HPL menjadi HGB, baru dapat
menjual satuan rumah susun.
Walaupun secara yuridis pembangunan rumah susun dapat dilakukan diatas
tanah hakl milik (HM) atau hak pakai (HP) seperti tersebut dalam Pasal 7
Undang-Undang No. 16 tahun 1985, akan tetapi menurut Sunario basuki belum
ada developer yang berminat. Dijelaskan lebih lanjut bahwa:
“ Sampai dewasa ini tidak ada rumah susun yang dibangun di atas
tanah hak milik maupun hak pakai karena pembangunan rumah susun (
apartemen / perkantoran) semata-mata berdasrkan pertimbangan
ekonomik dan permintaan pasar. Mengingat yang dapat membeli
satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah bersama dengan hak
milik hanyalah warga Negara Indonesia saja atau badan-badan hukum
tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah ( lihat Pasal 21 ayat (2)
Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No.
38/1963). Di lain pihak, jika dibangun di atas tanah hak pakai jangka
waktunya terbatas hanya sepuluh tahun dan luas tanahnya maksimal
2000 M2 (lihat Pasal 5 Permendagri No. 5 Tahun 1972) “ (sunario
Basuki, 1995:15-16).

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa hak atas tanah yang paling sesuai
untuk pembangunan rumah susun atau gedung bertingkat adalah HGB, baik bagi
penyelenggara (developer) maupun para pembeli satun rumah susun. Hak guna
bangunan dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia, badan-badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia baik bermodal nasional, campuran maupun
bermodal asing. Hak guna bangunan ini sesuai sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (1)
UUPA diberikan untuk jangka waktu 30 tahun dan masih dimungkinkan
diperpanjang 20 tahun. Selanjutnya dapat diperbaharui setelah jangka waktu
perpanjangan habis. Hak ini pun dapat dijadikan jaminan (agunan) utang dengan
dibebani hak tanggungan, dapat beralih karena pewarisan ataupun
dipindahtangankan. Demikian pula hak ini pun termasuk golongan hak yang
didaftar dengan suatu tanda bukti hak yang disebut sertifikat menurut Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 (Imam Kuswahyono, S. H., M. Hum., 2003: 24-
25).

4
Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 16 tahun 1985 Tentang Rumah
Susun, yang mengintrodusasi lembaga baru hak kebendaan baru yakni Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS).
Ditilik dari sistem pemilikan atas suatu gedung bertingkat dapat dibagi
menjadi dua sebagai berikut:
1. Pemilikan Tunggal (single ownership).
2. Pemilikan bersama (multi ownership).
Pemilikan tunggal yang dimaksud dilihat dari pemilikan tanah tempat
gedung bertingkat itu berdiri, sehingga pemegang sertifikat adalah juga pemilik
gedung.
Sedangkan sistem pemilikan bersama ternyata terbagi menjadi dua, dengan
melihat ada atau tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik
gedung bertingkat itu:
1. Pemilikan bersama yang terikat, dasar utamanya adanya ikatan
hukum lebih dulu antara pemilik.
2. Pemilikan bersama yang bebas yakni antara para pemilik tidak ada
hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik
untuk dipergunakan bersama.
Sistem pemilikan bersama yang bebas inilah yang dikenal sebagai
Condominium (kondominium). Jadi, pada intinya adalah pengaturan pemilikan
bersama atas sebidang tanah dengan bangunan fisik di atasnya, sehingga
pemecahan persoalannya mesti di kaitkan dengan hukum yang mengatur tanah.
Oleh karena itu, pengaturan di atas sesuai dengan definisi yang tertera dalam
Pasal 1 Undang-Undang Rumah Susun seperti telah dinyatakan di atas, atas dasar
konsepsi yang terkandung dalam Pasal 1 Undang-Undang Rumah Susun itu
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hak milik satuan rumah susun sebagai suatu hak yang bersifat
perseorangan (persoonlijk) dan terpisah.
2. Hak milik satuan rumah susun mencakup pula hak atas bagian

5
bersama, benda bersama dan tanah bersama yang kesemuanya
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan satuan yang
bersangkutan (Imam Kuswahyono, S. H., M. Hum., 2003: 12-13).
Dapat dijelaskan yang dimaksud bagian bersama, benda besma dan tanah
bersama adalah

1. Bagian Bersama, adalah yang berupa ruang untuk umum, ruang


tangga, lift, selasar, harus mempunyai ukuran yang memenuhi
persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat
memberikan kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan
sehari-hari dalam hubungan sesama penghuni, maupun dengan
pihak-pihak lain, dengan memperhatikan keserasian,
keseimbangan, dan keterpaduan.

2. Benda Bersama, adalah harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas,


kapasitas yang memenuhi persyaratan dan diatur serta
dikoordinasikan untuk dapat memberikan kemudahan bagi
penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari dalam hubungan
sesama penghuni, maupun dengan pihak-pihak lain, dengan
memperhatikan keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan.

3. Tanah Bersama, adalah sebidang tanah dimana Hunian dan Non


Hunian didirikan yang digunakan oleh pemilik/penghuni atas dasar
hak bersama secara tidak terpisahkan (http://perhimpunan-
penghuni.com/definition.html).

D. Problematika Hukum Penghuni Rumah Susun


Salah satu problematika hukum yang muncul dalam penghunian rumah susun
adalah kemungkinan pemilikan satuan rumah susun oleh orang asing di Negara
Republik Indionesia. Mengenai pemilkan rumah susus tidak terlepas pula dengan
bidang pertanahan di Indonesia. Masalah pertanahan di Indonesia sejak dulu

6
telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria atau Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960. Menurut Undang-Undang ini dikenal adanya suatu prinsip bahwa:
satus subjek (seseorang atau badan hukum) mempengaruhi status hak atas tanah
yang dimilikinya. Inilah yang secara luas dikenal dengan prinsip/asas nasionalitas.
Penjabaran dari prinsip nasionalitas dapat dilihat di dalam pasal 9 Ayat (1)
Undang-Undang Pokok agrarian yang menyatakan: “Hanya warga Negara
Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan
bumi ,air, dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2”.
Namun pada saat ini ada peraturan yang jelasyang menetapkan apa yang
dimaksud dengan berkedudukan di Indonesia dan apa yang menjadi syarat-
syartnya.
Kalau menurut Undng-Undang No. 3 Tahun 1964 jo Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1967 ditegaskan bahwa: Penduduk Negara Indonesia ialah tiap-tiap
orang yang yang bertempat kedudukan di dalam daerah Negara Indonesia selama
1 tahun berturut-turut. Sedangkan menurut Undang-Undang Darurat No.
9/DRT/1955 tentang kependudukan orang asing menetapkan bahwa orang asing
yang menjadi penduduk Negara Indonesia, jikalau dan selama menetap di
Indonesia.
Disamping ketentuan-ketentuan sebagaimana telah disebut tentunya berlaku
pula syarat-syarat kemigrasian yang tercantum dalam Undang-Undang No. 9
Tahun 1992 tentang kemigrasian sebagai berikut :
1. Memiliki izin masuk ke Indonesia.
2. Memiliki surat perjalanan.
3. Memiliki miizin masuk kembali ke negaranya.
4. Memiliki izin tinggal terbatas dan atau izin tinggsl tetap di
Indonesia.
Dengan tidak jelasnya peraturan perundang-undangan di bidang status
kependudukan seseorang, tampaknya akan membawa akibat terjadinya masalah
hukum berkaitan dengan hal itu.

7
Dalam kaitanya dengan pembangunan rumah susun/kondominium di
Indonesia, menurut Arie Sukanti Hutagalung permasalahan yang timbul adalah:
1. Orang yang merupakan konsumen apartemen/kondominium yang
terbatas di Indonesia.
2. Orang asing hanya dapat memiliki hak tertentu menurut perturan
perundang-undangan yang berlaku yakni hak pakai.
3. Adanya keseganan pengembang (developer) untuk mengajukan
permohonan hak pakai di atas tanah tempat kondominium
dibangun yang disebabkan:
a. Hak pakai dalam praktiknya hanya diberikan selama sepuluh
tahun.
b. Hak pakai sampai saat ini belum dapat dijadikan jaminan utang
dengan hipotik.
Sebagai akibat dari permasalahan di atas, maka “beberapa kalangan
memberikan penilaian bahwa undang-undang Pokok Agraria hendaknya diubah
oleh karena kurang dapat menampung perkembangan khususnya di bidang
bisnis/perdagangan” (Maria SW. Sumadjono, 1994:2-4).
Sebenarnya, apabila ditelaah secara mendalam, maka Undang-Undang No. 5
tahun 1960 masih cukup kondusif untuk mengantisipasi era perdagangan bebas
dengan memperhatikan asas-asas/prinsip-prinsipnya.
Beberapa upaya untuk mengonstruksikan pemilikan satuan rumah susun yang
status tanahnya menyewa tanah hak guna bangunan. Dengan kata lain diatas tanah
hak guna bangunan atas nama perusahaan pengembang (developer) berdiri hak
sewa sebagaimana dikonstatasikan oleh Maria SW. Sumardjono. Usulan
konstruksi demikian, menurut Sumardjono, merupakan “miskonsepsi dan
misaplikasi” Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Khususnya yang mengatur
tentang hak guna bangunan.
Untuk mengatasi timbulnya konstruksi hukum yang kurang tepat dan kurang
diminatinya lembaga hak pakai bagi orang asing maka sebagaimana diatur dalam

8
Pasl 42 Undabg-undang Pokok Agraria, Arie Sukanti Hutagalung melihat ada tiga
solusi dalam praktiknya. Tiga pemecahan sementara dalam praktik itu mencakup
sebagai berikut:
1. Sewa menyewa jangka panjang (long term lease) yang akan
dipraktikkan oleh beberapa pemilik apartemen dan pada dasarnya
konsep ini juga tidak mengalihkan kepemilikannya.
2. Sewa menyewa dengan kemungkinan konversi menjadi jual beli
(Convertible lease).
3. Konsep Nominee/Trustee yang mekanismenya diatur pemilik
satuan rumah susun ( yang tanahnya bukan hak pakai) tetap warga
Negara Indonesia/badan hukum Indonesia yang menerima
peminjaman uang dari pihak warga Negara asing untuk/sebagai
biaya membeli apartemen. Sebagai jaminan atas utang itu, maka
pihak warga Negara Indonesia akan menjaminkan apartemen untuk
kepentingan pihak asing (Arie Sukanti Hutagalung). (Imam
Kuswahyono, S. H., M. Hum., 2003: 92-96).

E. Himpunan Pengelola Rumah Susun


Menurut pendapat Tondy O. Lubis, ditegaskan bahwa badan pengelola
merupakan badan yang dibentk oleh perhimpunan penghuni yang biasanya
merupakan suatu badan hukum. Dapat pula suatu badan pngelola ini merupakan
pihak ketiga yang berstatus sebagai badan hukum dan professional yang ditugasi
untuk melakukan pengelolaan rumah susun. Seringpula badan pengelola
merupakan perushaan pengembang itu sendiri yang tentunya memiliki sumber
daya manusia yang mumpuni untuk itu (Imam Kuswahyono, S. H., M. Hum.,
2003: 93-94).
Ada 2 kemungkinan dalam pembentukan lembaga pengelolaan ini menurut
Arie Sukanti Hutagalung. Kemungkina pertama terkait dengan perhimpunan
penghuni. Sedangkan kemungkinan kedua adalah adanya pihak ketiga yang

9
merupakan badan hukum profesioan. Di antara dua pilihan ini mempunyai
implikasi yang berlainan satu dengan yang lainnya.
Apabila badan pengelola dibentuk oleh perhimpunan penghuni (residents
association) yang penting diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Unit organisasi, artinya badan pengelola yang dibentuk merupakan
unit organisasi dari badan pengelola.
2. Personal, artinya orang-orang yang diserahi tugas menangani
badan pengelola ini dikhususkan untuk itu. Disamping itu,
hendaknya dipilih orang-orang yang kapabel atau mampu memikul
tugasnya dengan baik.
3. Peralatan, artinya organisasi badan pengelola ini memiliki
peralatan yang layak yang mendukung pelaksanaan semua tugas-
tugas pengelolaan bangunan rumah susun. Contoh: peralatan
kantor, alat-alat kebersihan dan sebagianya.
Sedangkan badan pengelola bangunan rumah susun yang ditunjuk oleh
perhimpunan penghuni yang penting untuk diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Badan pengelola ini harus berbentuk badan hukum atau rechts
persoon yang melaksanakan tugas berdasarkan suatu perjanjian
formal, dengan perhimpunan penghuni.
2. Badan pengelola yang ditunjuk oleh perhimpunan penghuni ini
harus professional. Artinya, suatu badan hukum yang benar-benar
mempunyai kemampuan untuk mengelola suatu bangunan
bertingkat (Arie Sukanti Hutagalung, 1985).
Kewajiban badan pengelola rumah susun pada hakikatnya telah ditentukan
dalam Pasal 66 Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1988 tentang rumah susun yang
esensinya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Melaksanakan pemeriksaan, pemeliharaan kebersihan rumah susun
dan lingkungannya pada bangunan bersama, benda bersama dan
tanah bersama.

10
2. Mengawasi ketertiban dan keamanan penghuni serta penggunaan
bangunan bersama, benda bersama dan tanah bersama sesuai
dengan peruntukannya.
3. Secara berkala memberikan laporan kepada perhimpunan penghuni
disertai permasalahan dan usulan pemecahannya.
Adapun yang menjadi hak dari badan pengelola rumah susun adalah sebagai
berikut:
1. Menerima pembayaran iuran pengelolaan atau service charge dari
masing-masing penghuni rumah susun.
2. Menerima pembayaran lumpsum dari penghuni rumah susun
(Imam Kuswahyono, S. H., M. Hum., 2003: 87-89).
Mengenai perhimpunan penghuni rumah susun, Perhimpunan Penghuni
Rumah Susun (PPRS) adalah suatu Organisasi berstatus Badan Hukum, yang
susunan organisasi, hak dan kewajiban diatur dalam AD/ART dan dijamin oleh
Undang-undang. (Pasal 19 ayat 2 UU No.16 Thn 1985). Perhimpunan penghuni
rumah susun sebagai badan hukum dapat mewakili para penghuni atau pemilik
satuan rusun baik di dalam maupun di luar pengadilan
dan memiliki kewenangan dalam mewujudkan ketertiban dan ketentraman di
lingkungan rusun.
Pengurus PPRS keanggotaannya dipilih berdasarkan asas kekeluargaan oleh
para anggota perhimpunan penghuni melalui Rapat Umum Perhimpunan
Penghuni yang khusus diadakan untuk keperluan tersebut. (Pasal 57 ayat 2 PP
No.4 Tahun 1988). Anggota PPRS adalah subyek Hukum yang memiliki atau
memakai, atau menyewa, atau menyewa beli, atau yang memanfaatkan satuan
rumah susun yang bersangkutan (Pemilik atau Penghuni).
Sebagai anggota perhimpunan penghuni rumah susun mempunyai hak sebagai
berikut:
1. Memilih dan dipilih menjadi pengurus dengan syarat yang
ditentukan AD/ART.

11
2. Mengajukan usul dan pendapat dalam Rapat Umum.
3. Memanfaatkan dan menggunakan satuan Rusun sesuai
peruntukannya.
4. Mendapatkan perlindungan sesuai AD/ART.
Sedangkan kewajiban dari anggota perhimpunan penghuni rumah susun
adalah:
1. Mematuhi dan melaksanakan AD/ART, Tata Tertib yang
diputuskan dalam Rapat Umum/Rapat Umum Luar Biasa atau
yang ditetapkan oleh Rapat Pengurus.
2. Mematuhi segala peraturan yang berlaku yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Provinsi dan pemkot/pemkab.
3. Membayar kewajiban keuangan yg dipungut oleh Pengurus.
4. Memelihara, menjaga, mengatur, memperbaiki rusun dan
lingkungannya atas Bagian bersama, Benda bersama dan Tanah
bersama.
5. Menunjang terselenggaranya tugas-tugas pokok Pengurus dan
Badan Pengelola.
6. Membina hubungan sesama anggota berdasarkan azas
kekeluargaan dan norma-norma kehidupan Bangsa Indonesia.
7. Melaporkan kepada Pengurus PPRS, bila terjadi peralihan hak atas
satuan rumah susun.
Tugas Pokok PPRS (perhimpunan penghuni rumah susun) adalah sebagai
berikut:
1. Mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang
disusun oleh pengurus dalam Rapat Umum Perhimpunan
Penghuni.
2. Membina Penghuni ke arah kesadaran hidup bersama yang serasi,
selaras, seimbang dalam rumah susun dan lingkungannya.
3. Mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang tercantum

12
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
4. Menyelenggarakan tugas-tugas administratif penghunian.
5. Menunjuk atau membentuk dan mengawasi Badan Pengelola
dalam pengelolaan rumah susun dan lingkungannya.
6. Menyelenggarakan pembukuan dan administrasi keuangan secara
terpisah sebagai kekayaan perhimpunan penghuni.
7. Menetapkan dan menerapkan sanksi terhadap pelanggaran yg telah
ditetapkan dalam AD dan ART (http://perhimpunan-
penghuni.com/definition.html).
DAFTAR PUSTAKA

Imam Kuswhyono,S.H.,M.Hum. 2004. Hukum Runah Susun Suatu Bekal Pengantar


Pemahaman. Malang: Bayumedia Publishing.

Perhimpunan Penghubi. (http://perhimpunan-penghuni.com/definition.html, diakses


tanggal 16 November 2009, pada pukul 07.43)

13

You might also like