You are on page 1of 13

MENGGAGAS VISI: BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA DUNIA

Oleh B. Fariz J. M. Misbah, S.Pd.,M.Pd.

Pembuka
Presiden ke-6 RI, SBY pernah mengatakan, bahwa bangsa Indonesia
barangkali tidak akan memiliki masa depan yang cerah kalau kering dalam
cita-cita dan idealisme. Bangsa yang hidup dalam pragmatisme dan
keseharian. Maka SBY selaku kepala negara, menyerukan kepada seluruh
komponen bangsa, mengajak sebanyak mungkin anak-anak bangsa, untuk
menggagas dan mengontruksikan masa depan negara. Hal tersebut dapat
direalisasikan dengan tidak kering dari cita-cita, pemikiran besar, serta
gagasan-gagasan dan idealisme itu.
Beberapa kalangan, seperti Indonesia Forum telah menggagas Visi
Indonesia 2030. Bahkan negara pun sesungguhnya telah memiliki semacam
visi masa depan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
yang berjudul “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005–2025”.
Dikatakan di dalamnya ada 4 sasaran utama, empat capaian utama. Pertama,
Indonesia ingin menjadi negara ekonomi besar, enam besar negara ekonomi
besar dan dengan pendapatan disebutkan dengan 18 ribu perkapita. Kedua,
pengelolaan kekayaan alam dilakukan dengan mempertahankan
keberlanjutannya. Ketiga, kualitas hidup modern yang merata. Keempat, dari
sisi dunia usaha, perusahaan Indonesia masuk menjadi four to five hundred
companies. Dilihat dari segi substansi, gagasan Indonesia Forum 2030 dan UU
Nomor 17 Tahun 2007 tersebut identik dengan visi pengembangan ekonomi.
Namun demikian terdapat cita-cita luhur dan idealisme yang tinggi dalam
pemberdayaan ekonomi bangsa.
Adakah yang menggagas visi ekspansi bahasa Indoensia menjadi bahasa
internasional? Setidaknya visi ekonomi, budaya, bahasa, dan kepentingan
bangsa lainnya berdampingan. Misalnya dengan visi tahun 2025 atau 2050,
Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Mengapa tidak? Konon
dalam sebuah laporan The Esesnsial, pada tahun 2025 akan ada tujuh negara
yang akan menguasai percaturan ekonomi dunia, yaitu China, yang kedua
Amerika Serikat, yang ketiga Uni Eropa, yang keempat India, yang kelima
Jepang yang keenam Brasilia, yang ketujuh Indonesia setelah itu ada Jerman,

1
Inggris dan lain-lain. Kemudian, 2050 konon menurut buku itu bergeser lagi
Big The G5 atau G-Five itu, yang pertama tetap China, yang kedua India,
yang ketiga Amerika Serikat, yang keempat Uni Eropa, yang ke lima
Indonesia, Jepang, Brazilia setelah kita. Di situ dikatakan mengapa ada
estimasi besar seperti itu, dikaitkan dengan potensi ekonominya, geogerafi,
jumlah populasi, trennya dan lain-lain, sampailah pada kesimpulan seperti itu.
Dengan kemungkinan pada 2050 Indonesia menjadi salah satu
penguasa ekonomi dunia, cita-cita luhur menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa internasional cukup realistis. Walaupun hal ini layaknya
sebuah mimpi, justru bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang bisa
menciptakan mimpinya menjadi kenyataan. Indonesia sebagai negara
kepulauan yang mandiri, maju dan kuat. Indonesia berperan penting dalam
pergaulan dunia. Itu adalah yang tertuang dalam Undang-Undang. Kewajiban
anak bangsa adalah menata kembali negeri ini. Membangun, memajukan,
seraya mempertahankan partisipasi dan kontribusi kita dalam hubungan
antarbangsa.

Diawali dari Nasionalisme


Dalam catatan sejarah, bagi Dunia Ketiga, abad ke-20 merupakan Abad
Nasionalisme, yaitu suatu kurun waktu dalam sejarah yang menyaksikan
pertumbuhan kesadaran berbangsa serta gerakan nasionalis untuk
memperjuangkan kemerdekaannya. Perkembangan nasionalisme pada
umumnya merupakan reaksi terhadap imperialisme dan kolonialisme yang
merajalela dalam abad ke-19 dan bagian pertama abad ke-20.
Menurut Benedict Anderson, bangsa atau nasion adalah komunitas
politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren
sekaligus berdaulat. Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para
anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian
besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan
mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun tetap saja di
benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan
tentang kebersamaan mereka.
Bagaimana suatu komunitas mengalami perubahan dalam modus
pemahaman dunia, yang memungkinkan orang ‘menggagas’ bangsa
’mengagas’’ dunia?

2
Bukankah pada 20 Mei 1908, sekelompok siswa Stovia di Kwitang
membuat langkah inovatif, yaitu membentuk suatu asosiasi, suatu lembaga
modern yang pertama dari jenisnya, yaitu pembentukan Boedi Oetomo dalam
suatu rapat siswa di salah satu ruang kelas dan berlangsung secara serba
sederhana.
Berawal dari Jaringan sosial Boedi Oetomo inilah ternyata, para pemuda
Indonesia akhirnya dapat bersatu padu dalam proses integrasi pergerakan
Nasional dan pada "Kongres Pemuda", 28 Oktober 1928, di Solo, mereka
bersepakat menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Pengangkatan dan penamaan bahasa Melayu-Riau menjadi bahasa Indonesia
oleh para pemuda pada saat itu lebih "bersifat politis" daripada "bersifat
linguistis". Tujuannya ialah ingin mempersatukan para pemuda Indonesia,
alih-alih disebut bangsa Indonesia. Nama bahasa Indonesialah yang dianggap
bisa memancarkan inspirasi dan semangat nasionalisme.
Ikrar yang dikenal dengan nama "Sumpah Pemuda" ini butir ketiga
berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa
persatuan, bahasa Indonesia”. Ikrar yang diperingati setiap tahun oleh bangsa
Indonesia ini juga memperlihatkan betapa pentingnya bahasa bagi suatu
bangsa. Bahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif, mutlak
diperlukan setiap bangsa. Tanpa bahasa, bangsa tidak akan mungkin dapat
berkembang, bangsa tidak mungkin dapat menggambarkan dan menunjukkan
dirinya secara utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain. Bahasa,
sebagai bagian kebudayaan dapat menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan
bangsa. Bahasa akan menggambarkan sudah sampai seberapa jauh
kemajuan yang telah dicapai suatu bangsa. Ikarar berupa "Soempah
Pemoeda" inilah yang menjadi dasar yang kokoh bagi kedududkan dan fungsi
bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Bahkan, pada perjalanan
selanjutnya, bahasa Indonesia tidak lagi sebagai bahasa persatuan, tetapi
juga berkembang sebagai bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks).
Perluasan penggunaan bahasa tersebut memperbesar keperluan akan
kosakata/istilah itu dalam berbagai bidang ilmu, terutama untuk keperluan
pendidikan/pengajaran. Perkembangan fungsi politis mencapai puncak
perjuangan ketika Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan dalam bahasa
Indonesia dan sehari kemudian bahasa itu diangkat sebagai bahasa resmi

3
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945
(Pasal 36). Kini fungsi itu dikukuhkan dalam sistem pendidikan, yaitu bahwa
bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan nasional
(Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 33). Oleh karena itu, telaah bahasa Indonesia mencapai fungsi politis
dan sosiologis bagi bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya.

Potensi Bahasa Nasional Menjadi Multinasional


Prediksi bahwa pada tahun 2050 Indonesia akan menjadi salah satu Big
The G5 atau G-Five penguasa dunia, salah satu faktor utamanya adalah
berdasar potensi geografis, dan jumlah penduduk. Pada saat ini saja jumlah
penduduk mencapai 240 juta jiwa, menempati urutan keempat negara yang
berpenduduk paling banyak di dunia. Potensi sumber daya alam yang
melimpah ruah, keberagaman etnik dan budaya serta pariwisata. Semua itu
merupakan peluang dalam meraih tatanan kehidupan global dalam hal ini
mengembangkan sayap bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional.
Potensi lainnya, bahasa Indonesia sebagai bahasa asing sudah diajarkan
di negara-negara lain di dunia. Pada saat ini menurut Alwi (1995) pengajaran
bahasa Indonesia sebagai bahasa asing diajarkan setidaknya di 29 negara,
antara lain Amerika, Australia, Austria, Belanda, Canada, China, Cekoslovakia,
Denmark, Filipina, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Mesir,
Malayasia, Norwegia, Papua Nugini, Perancis, Rusia, Saudi Arabia, Singapura,
Switserland, Vatikan, dan Vietnam. Selain itu, ketersebaran pembelajaran
bahasa Indonesia di 129 perguruan tinggi dan lembaga kursus di luar negeri,
merupakan potensi bahasa Indonesia ke depan sebagai bahasa pengantar
perhubungan luas walaupun faktor ekonomi, politik, dan sosial budaya turut
memainkan peran dalam menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
perhubungan luas.
Sebelum bermimpi tahun 2050 pun, tatanan kehidupan yang baru telah
menyongsong depan mata, yaitu ditandai antara lain dengan pemberlakuan
pasar bebas 2010 di kawasan Asia Pasifik bagi negara-negara maju, dan 2020
secara keseluruhan. Begitupula perkembangan teknologi informasi yang
mampu menerobos batas ruang dan waktu telah memberi peluang
keterbukaan yang tidak dapat dihindarkan. Dengan teknologi itu masyarakat
dapat memperoleh berbagai informasi secara langsung melalui radio, televisi,

4
internet, atau media lain. Hal ini mengindikasikan terjadi globalisasi dalam
berbagai bidang. Maka pengembangan usaha dan jasa tidak saja berorientasi
pada pasar lokal dan nasional, tetapi juga berorientasi pada pasar global.
Pemberian nama produk dan jasa cenderung dipengaruhi bahasa yang
digunakan dalam komunikasi antarbangsa.
Bahasa Indonesia memiliki potensi dalam mengatasi permasalahan
kesiapan memasuki tatanan kehidupan global, seperti perdagangan bebas
ataupun teknologi informasi. Perdagangan bebas ataupun teknologi informasi
menggunakan sarana komunikasi. Di situlah bahasa Indonesia dapat
memainkan peran, yaitu sebagai bahasa pengantar dalam perdagangan bebas
di Indonesia, bahkan di kawasan Asia Tenggara.

Perencanaan Bahasa
Potensi-potensi di atas, seyogianya dijadikan bahan rujukan untuk
menggagas visi yang mulia. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pemegang
otoritas kebijakan sudah selayaknya mencanangkan visi gagasan
internasionalisasi bahasa Indonesia, lebih lanjut membuat dengan Rancangan
Undang-undang dan mengundangkan RUU tersebut.
Pencanangan gagasan bahasa multinasional tidak akan terlepas dari
perencanaan bahasa, yang tentunya terlebih dahulu harus dimulai dengan
kebijaksanaan bahasa. Perencanaan bahasa itu disusun berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan bahasa.
Perencanaan bahasa di sini, sebagaimana menurut Haugen (1959) memiliki
pengertian usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang
diinginkan oleh para perencana; menurut Haugen selanjutnya, perencanaan
bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari
yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha
yang terarah untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh usaha
perencanaan itu disebutkannya pembuatan tata ejaan yang normatif,
penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi
para penutur di dalam masyarakat yang heterogen.
Sebelumnya, dalam proses sebuah bahasa menjadi bahasa nasional
saja, setiap negara telah mengupayakan berbagai langkah. Di antaranya
Pertama, menetapkan sebuah bahasa yang mayoritas digunakan oleh
masyarakat menjadi bahasa nasional. Kedua, menyetandardkan atau

5
membakukan bahasa nasional dalam setiap percakapan dan tulisan. Ketiga,
menyusun ortografi, kosa kata, dan kamus. Keempat, bahasa nasional
dijadikan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Kelima, pemerintah
mendukung bahasa nasional yang diejawantahkan dalam keseharian, dalam
penggunaannya di kantor pemerintah, penulisan-penulisan dalam tempat
pelayanan publik, dan lain-lain.
Di Indonesia kegiatan yang serupa dengan perencanaan bahasa ini
sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu diperkenalkan oleh Haugen
(Moeliono, 1983 dalam Chaer, 1995: 240 ), yakni sejak zaman pendudukan
Jepang ketika ada Komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjahbana
menerbitkan majalah Pembina Bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau
mau dilihat lebih jauh, perencanaan bahasa di Indonesia sudah dimulai sejak
Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia) pada tahun 1901,
disusul dengan berdirinya Commisie voor de Volkslectuur tahun 1908, yang
pada tahun 1917 berubah namanya menjadi Balai Pustaka; lalu disambung
dengan Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemudian Kongres Bahasa I tahun
1938 di kota Solo.
Salah satu perencanaan bahasa menurut Sugono (2005) adalah
perluasan penggunaan bahasa Indonesia, yakni penggunaan bahasa
Indonesia dalam berbagai situasi dan kondisi. Bahasa Indonesia digunakan
pada perkumpulan-perkumpulan (organisasi), surat kabar, majalah, dan buku
sastra ataupun buku lainnya. Penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai
media tersebut telah membangkitkan rasa kebersamaan, kesatuan, dan
kesetiakawanan. Bahasa Indonesia mampu menyatukan berbagai kelompok
etnis yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasa ke dalam satu
kesatuan bangsa. Walaupun demikian dalam penggunaan bahasa Indonesia
secara pragmatis mengandung makna mengutamakan bahasa Indonesia di
atas kepentingan bahasa-bahasa lain, dengan tetap memberikan hak hidup
bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, dan memberi peluang
penggunaan bahasa asing untuk keperluan tertentu.
Atas dasar pemikiran tersebut, perencanaan bahasa harus dilakukan
secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan. Perencanaan bahasa itu
merupakan bagian dari kebijakan bahasa nasional yang meliputi upaya
penanganan masalah kebahasaan di Indonesia. Masih menurut Sugono
(2005) objek perencanaan bahasa Indonesia, meliputi upaya-upaya sebagai

6
berikut.
Pertama, peningkatan mutu bahasa. Yaitu dengan penyempurnaan tata
bahasa ataupun sistem ejaan. Selanjutnya penyempurnaan-penyempurnaan
lainnya seperti ejaan yang sudah mengalami beberapa kali perubahan.
Perubahan sistem tulis atau ejaan Ch. A. van Ophuijsen ke dalam Ejaan
Republik (1947) oleh Soewandi, selanjutnya ejaan yang disempurnakan
(EyD) tahun 1972. Penerbitan kamus, pengembanagn tes uji kemahiran
berbahasa indonesia, dsb.
Kedua, pemantapan sistem bahasa. Yakni penelitian berbagai aspek
bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, sosiolinguistik, dan
dialektologi, terus dilakukan dan ditingkatkan mutunya agar diperoleh data
yang akurat untuk memantapkan sistem bahasa Indonesia. Sementara itu,
kodifikasi yang telah dihasilkan, baik dalam bentuk kamus, tata bahasa
maupun buku-buku pedoman, perlu terus disempurnakan dan dimutakhirkan
berdasarkan hasil penelitian tersebut. Percepatan laju pengembangan
kosakata/istilah dan pemantapan sistem/kaidah bahasa tersebut akan
menumbuhkan kembali kepercayan masyarakat akan kemampuan bahasa
Indonesia sebagai bahasa ilmu dan teknologi, serta sebagai lambang jati diri
dan kebanggaan nasional dan internasinal pada era globalisasi.
Ketiga, peningkatan mutu penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa
Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, terutama bahasa tulis, perlu
ditingkatkan mutunya agar seluruh dokumen tulis kita menggambarkan
penggunaan bahasa Indonesia yang taat pada sistem/kaidah bahasa.
Peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia itu meliputi bidang ilmu
dan teknologi, serta kebudayan. Upaya itu meliputi bahasa Indonesia pada
karya ilmiah, buku rujukan/acuan, media massa, karya seni, dan sebagainya.
Keempat, peningkatan kepedulian masyarakat terhadap bahasa. Salah
satu upaya menjaga agar bahasa Indonesia tidak tergeser oleh bahasa-
bahasa utama dunia, bahasa asing, ialah pengukuhan kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, yaitu di
seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Kelima, pengadaan sarana kebahasaan. Sarana itu dapat berupa
berbagai buku acuan dan panduan serta sarana informasi kebahasaan. Selain
harus tersedia buku tata bahasa dan buku panduan lainnya serta kamus
ekabahasa, atau Indonesia-asing untuk keperluan masyarakat Indonesia dan

7
global. Memasuki tatanan kehidupan baru, globalisasi, perlu disediakan
kamus dwibahasa Indonesia-asing. Penyediaan sarana juga meliputi
perangkat informasi kebahasaan, baik dalam bentuk cetak maupun
elektronis. Penyediaan kepustakaan yang memadai dan terlengkap di
Indonesia harus menjadi sasaran utama penyediaan fasilitas itu. Semua itu
dilakukan untuk menjadikan lembaga kebahasaan ini menjadi pusat
informasi tentang bahasa di Indonesia.
Keenam, peningkatan mutu tenaga kebahasaan. Pelaksanaan berbagai
kegiatan di atas memerlukan tenaga kebahasaan yang memadai dari segi
jumlah ataupun mutu, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Selain itu,
pengembangan tenaga kebahasaan dapat dilakukan melalui pendidikan dan
pelatihan, keikutsertaan dalam pertemuan ilmiah, nasional ataupun
internasional.
Ketujuh, kelembagaan. Pelaksanaan berbagai upaya sebagaimana
dikemukakan di atas memerlukan sistem kelembagaan yang andal. Untuk
itu, lembaga yang menangani masalah kebahasaan perlu ditingkatkan
statusnya yang strategis sehingga memudahkan koordinasi dan posisi tawar
dengan instansi/pihak lain karena upaya itu memerlukan dukungan seluruh
komponen bangsa. Agar pelaksanaan berbagai kegiatan yang terencana
tersebut berjalan dengan baik dan menyeluruh, lembaga kebahasaan perlu
terus dikembangkan sehingga memiliki wakil di seluruh wilayah penutur
bahasa Indonesia dan bahkan dapat membangun institusi di luar negeri
untuk memfasilitasi masyarakat internasional yang ingin belajar bahasa
Indonesia.

Tantangan
Pewujudan bahasa nasional menjadi bahsa multinasional memang tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan di negara-negara lain, untuk
menjadikan sebuah bahasa menjadi bahasa negara/nasional pun susah.
Contoh kasus negara Filipina, setelah merdeka, mereka mengangkat bahasa
Tagalog sebagai salah satu bahasa daerah menjadi bahasa nasional dan
mengganti namanya menjadi bahasa F(P)ilipino. Namun kenyataannya
komunikasi sehari-hari masyarakatnya menggunakan bahasa Inggris.
Demikian pula dengan negara Singapura, yang mengangkat bahasa Melayu
sebagai bahasa identitas nasional; bahasa resmi, plus bahasa Mandarin,

8
Tamil, dan bahasa Inggris. Pada kenyataannya penggunaan bahasa Inggris
mendominasi komunikasi masyarakat mereka. Begitupula di Malayasia,
negara-negara di Eropa dan Afrika lainnya.
Tantangan terberat dalam mewujudkan bahasa nasional menjadi
multinasional adalah sikap masyarakat kita sendiri, baik masyarakat umum
ataupun pemerintah. Sejauhmanakah kepedulian mereka terhadap
perkemabngan dan penggunaan bahasa Indonesia dalam tataran aktivitas
keseharian. Bukankah hingga saat ini masih banyak masyarakat yang bangga
menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari, penggunaan
bahasa tersebut dalam label/papan nama tempat usaha dan jasa seperti
hotel, restoran, toko,dan sebagainya.
Betapapun laju perkembangan kosakata/istilah dipacu dan sistem/kaidah
bahasa dimantapkan serta mutu penggunaannya dalam berbagai bidang
ditingkatkan, sebagaimana dikemukakan di atas, kalau masyarakat
pendukungnya tidak mau menggunakan hasil pengembangan kosakata/istilah
dan pemantapan sistem/kaidah tersebut, upaya pemacuan laju
perkembangan kosakata/istilah ataupun pemantapan sistem/kaidah tersebut
akan sia-sia.
Untuk itu sebagaimana menurut Sugono (2005), harus ada upaya
menanamkan rasa kecintaan terhadap bahasa kebangsaan itu, antara lain,
dilakukan melalui peningkatan mutu kampanye “penggunaan bahasa
Indonesia secara baik dan benar” ke seluruh lapisan masyarakat dengan
pendekatan dan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Kampanye itu dilakukan di lingkungan kelompok masyarakat yang memiliki
pengaruh atau yang berhubungan langsung dengann masyarakat, seperti
aparatur pemerintah, anggota DPR, guru (termasuk dosen), wartawan (cetak
dan elektronik), penulis, dan yang lebih penting dan strategis dikalangan
pelajar/mahasiswa.
Masih menurut Sugono (2005) pemasyarakatan penggunaan bahasa
Indonesia secara baik dan benar, selain melalui jalur penyuluhan, dilakukan
pula melalui media cetak ataupun elektronik serta media luar ruang, seperti
iklan layanan imbauan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Dalam upaya penyiapan generasi ke depan penanaman kecintaan terhadap
bahasa Indonesia dilakukan melalui perbaikan sistem pengajaran bahasa yang
lebih menekankan aspek kemampuan menggunakan bahasa Indonesia secara

9
baik dan benar sehingga mereka memiliki kepekan terhadap estetika dan
etika dalam berbahasa Indonesia. Upaya itu juga harus dibarengi dengan
penciptaan calon guru profesional yang memiliki kompetensi mengajar di
kelas dengann baik.
Minat penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar tersebut
dikembangkan pula melalui penyelenggaraan sayembara menulis, baik
menulis kreatif maupun menulis ilmiah. Di kalangan media cetak dan
elektronik, melalui Forum Bahasa Media Massa, setiap bulan diadakan diskusi
ihwal penggunaan bahasa Indonesia di dalam media cetak ataupun elektronik
yang selain diikuti kalangan jurnalistik juga diikuti pakar bahasa.
Upaya meningkatkan martabat penggunaan bahasa Indonesia dilakukan
juga melalui pemberian penghargaan terhadap pengguna bahasa terbaik para
tokoh pemerintahan ataupun tokoh masyarakat. Pengembangan kreativitas
dan daya apresiasi terhadap bahasa di kalangan generasi ke depan dilakukan
melalui penyelenggaraan bengkel-bengkel bahasa dan sastra di sekolah-
sekolah dengan menghadirkan para penulis nasional ataupun penulis lokal di
sejumlah provinsi di Indonesia. Dalam upaya mengukuhkan komitmen bangsa
yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 1928, setiap bulan Oktober diadakan
Bulan Bahasa dan Sastra yang kini diselenggarakan di seluruh Indonesia
melalui Balai/Kantor Bahasa ataupun di perguruan tinggi dan bahkan di
sekolah.
Selanjutnya, rencana pengesahan RUU penggunaan bahasa yang
sedianya sudah harus disahkan pada tahun 2007 harus terus mendapatkan
dukungan agar secepatnya menjadi undang-undang dan diberlakukan secara
menyeluruh. Tidak ada alasan bagi para anggota dewan (DPR) untuk
menunda-nundan draf RUU tersebut. Karena UU Penggunaan Bahasa sudah
merupakan conditio sine quanon pada saat ini.

Penutup
Tanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia terletak di
tangan pemakai bahasa Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya,
dan tertatur kacaunya bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab setiap
orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia yang baik. Setiap
warga negara Indonesia harus bersama-sama berperan serta dalam membina
dan mengembangkan bahasa Indonesia itu ke arah yang positif. Usaha-usaha

10
ini, antara lain dengan meningkatkan kedisiplinan berbahasa Indonesia pada
era globalisasi ini, yang sangat ketat dengan persaingan di segala sektor
kehidupan. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau bahasa, kacaulah pulalah
bangsa. Keadaan ini harus disadari benar oleh setiap warga negara Indonesia
sehingga rasa tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia akan tumbuh dengan subur di sanubari setiap pemakai
bahasa Indonesia. Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia pun akan bertambah
besar dan bertambah mendalam.
Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia merupakan ciri
bangsa Indonesia yang perlu terus dipertahankan. Pergaulan antarbangsa
memerlukan alat komunikasi yang sederhana, mudah dipahami, dan mampu
menyampaikan pikiran yang lengkap. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus
terus dibina dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi
kebanggaan bagi bangsa Indonesia dalam pergalan antarbangsa pada era
globalisasi. Apabila kebanggaan berbahasa Indonesia dengan jati diri yang
ada tidak tertanam di sanubari setiap bangsa Indonesia, bahasa Indonesia
akan mati dan ditinggalkan pemakainya karena adanya kekacauan dalam
pengungkapan pikiran. Akibatnya bangsa Indonesia akan kehilangan salah
satu jati dirinya. Kalau sudah demikian, bangsa Indonesia "akan ditelan" oleh
bangsa lain yang selalu melaksanakan tugas dan pekerjaannya dengan
menggunakan bahasa yang teratur dan berdisiplin tinggi. Sudah barang tentu,
hal seperti harus dapat dihindarkan pada era globalisasi ini. Apalagi, keadaan
seperti ini bukan merupakan keinginan bangsa Indonesia.
Memang kalau kita kembali sedikit pada kebangkitan era modern di
dunia ini, era modern dunia itu dipercayai mulai abad ke-18, terutama setelah
kita menyaksikan di dunia, kita menyaksikan para Founding Fathers kita,
revolusi-revolusi besar, revolusi Perancis, revolusi Industri, revolusi di Amerika
sebelumnya. Kebangkitan bangsa kita agak memang terlambat dibandingkan
negara-negara maju. Meskipun sesungguhnya pada abad 19 ekonomi kita
sudah berintegrasi dengan ekonomi global, pada masa Hindia Belanda, tetapi
pemerintah penjajah waktu itu, dengan kontrolnya yang kuat memang tidak
membuka peluang, kita sendiri yang bisa mengintegrasikan dari semuanya
itu. Kecuali setelah abad 20, 1908 dan periode-periode seterusnya, setelah
ada Kebangkitan Nasional, maka kita mufakat bahwa ternyata, ketangguhan
dan kemampuan kita sebagai bangsa mengatasi masalah-masalah besar,

11
memproklamirkan kemerdekaan dan periode terus dan seterusnya, telah diuji
dalam sejarah dan itu memang memiliki kemampuan yang kita banggakan.
Ada sebuah pepatah asing yang mengatakan, no challenge is to create,
by sharing a common understanding we build brigdes, by carrying today we
invest in tomorrow, and by working together we do make a difference. Dalam
saduran bebas memiliki arti, tiada tantangan yang terlalu besar untuk diatasi
dengan menyatukan kesadaran dan pemikiran, membangun jembatan menuju
masa depan. Dengan memelihara dan mengelola apa yang dimiliki, hari ini,
menanam dan mempersiapkan hari esok. Dan dengan bekerja dan melangkah
bersama, kita mengubah negeri kita, mengubah masa depan yang kita cita-
citakan bersama.

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. 1995. BIPA: Hari ini dan Esok. Makalah pada Kongres
Internasional Pengajaran BIPA Universitas Indonesia, Jakarta 18-30
Agustus 1995.
Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: PT Angkasa.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistic Of Society. England: Basil Blackwell.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia.
Fishman, A Joshua. 1972. The Sosiology Of Language. Rowly-Masschusett:
Newbury House Publisher.
Hudson, R.A. 1984. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press.
Misbah Fariz. 2006. Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Pemerintah Daerah
dan Masyarakat Serang. Makalah pada Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia SPs
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Sugono, Dendy. 2003. Bahasa Indonesia Masuk Pasar Bebas. [Online]
tersedia: http://www.kompas.com [13 Oktober 2003].
Sugono, Dendy. 2005. Perencanaan Bahasa Di Indonesia Dalam Era
Globalisasi.
Bahasa Indonesia. Makalah Persidangan Linguistik Asean Ketiga, Jakarta 28—
30 November 2005.

12
Penulis adalah pendidik Bahasa Indonesia pada Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, UT UPBJJ
Bandung, STIKes Rajawali Bandung, STIT Hamka Bandung, dan Politeknik
Telkom Bandung. Ia menyelesaikan studi S-1 pada Jurusan Pendidikan Bahasa
Indonesia UPI tahun 2004, dan lulus S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia,
Sekolah Pascasarjana di almamater yang sama tahun 2008. Untuk keperluan
korespondensi, ia dapat dihubungi Pos elektronik cakep_riz@yahoo.co.id.

13

You might also like