Professional Documents
Culture Documents
Deklarasi tersebut merupakan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu tentang segi
etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek penelitian. Disebutkan, perlunya dilakukan
percobaan pada hewan sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau
diperlakukan terhadap manusia
Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk
menentukan toksisitasnya. Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam
memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis
suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap),
cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (
), lamanya obat bekerja (
), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk
memberikan respons tertentu (Anonim I., 2008).
Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute
tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan secara intravena
dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang relatif lebih
cepat dan bermanfaat. Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta
yang lainnya harus ditentukan untuk mencapai efek yang maksimal (Anonim I., 2008).
cc
- Untuk mengetahui teknik pemberian obat melalui rute intraperitoneal (i.p.) dan secara oral.
- Untuk mengetahui efek dari pemberian Luminal Natrium berdasarkan dosis dan rute
pemberian terhadap hewan percobaan.
- Penandaan hewan dilakukan dengan cara menandai bagian ekor hewan dengan menggunakan spidol
permanen dengan bentuk-bentuk tertentu.
- Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan intraperitoneal), sehingga dapat
diperoleh onset of action, intensitas, dan duration of action dari suatu obat.
c
c
Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor keturunan dan
lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka
ada 4 golongan hewan, yaitu
2). Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.
3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistim @
(tertutup).
4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem
isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan dengan
macam percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin
sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan
dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan
percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksonono, M.E., 1987).
!"#$%
Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang
hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari
masing-masing jenis hewan adalah ber,eda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik
(besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan
atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya
Tujuan dari pada pemberian tanda pada hewan adalah disamping untuk mencegah kekeliruan
hewan dalam sistim pembiakannya juga untuk mempermudah pengamatan dalam percobaan.
Bermacam-macam cara yang dipakai dalam identifikasi tergantung kepada selera dan juga lama
tidaknya hewan tersebut terpaki atau dipelihara.
(Sulaksono, M. E., 1992).
- Fase farmasetik
- Fase farmakokinetik
- Fase farmakodinamik
Fase-fase estafet utama dalam aksi obat dalam tubuh dapat dilihat:
Dosis
Optimasi ketersediaan
farmasetik
Absorpsi
Distribusi
Biotransformasi
Ekskresi
biologik
yang dikehendaki
Efek
"!"'!
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
b. apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
a. intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan pada mata, hidung, telinga
b. intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. rektal, uretral, dan vaginal dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan
kemaluan wanita, obat melelh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan.
cc
c
Hipnotika atau obat tidur (Yun: { tidur) adalah zat-zat yang dalam dosis terapi
diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan
tidur. Lazimnya, obat ini diberikan . Bilamana zat-zat ini diberikan
dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan $!( @!
@ . Oleh karena itu, tidak ada perbedaan yang tajam antara kelompok obat sedativa
maupun kelompok obat hipnotika (Tjay, T.H., 2002).
" , seperti juga ! $%)!) % ") !%, termasuk ke dalam kelompok
$%) !% yang mencakup obat-obat yang menekan atau menghambat fungsi-fungsi SSP tertentu
(Tjay, T.H., 2002).
)!% menimbulkan rasa kantuk (# ), mempercepat tidur, dan sepanjang malam
mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah mengenai sifat-sifat EEG-nya.
Selain sifat-sifat ini, secara ideal obat tidur tidak menimbulkan aktivitas sisa pada keesokan harinya
(Tjay, T.H., 2002).
ñ ñc
Di samping sebagai sedatif dan hipnotik, golongan barbiturat dapat pula dimanfaatkan
sebagai obat antikonvulsi; dan yang biasa digunakan adalah barbiturat kerja lama. (long-acting
barbiturates). Di sini dibicarakan khasiat antiepilepsi prototipe barbiturat, fenobarbital,
mefobarbital, dan metarbital; serta primidon yang mirip dengan barbiturat (Utama, H dan Vincent
H.S. Gan,1995).
Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi. Barbiturat menghambat tahap
akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi pembentukan fosfatase berenergi tinggi. Senyawa
fosfat ini perlu untuk sintesis neurotransmiter misalnya Ch, dan untuk repolarisasi membran sel
neuron setelah depolarisasi
*c
Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) merupakan senyawa organik pertama yang digunakan
dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya, membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan
ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi dengan potensi terkuat,
tersering digunakan, dan termurah. Dosis efektif relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap
efek samping, dapat diatasi dengan pemberian amfe-tamin atau stimulan sentral lainnya tanpa
menghi-langkan khasiat antikonvulsinya. Kemungkinan intoksikasi kecil; kadang-kadang hanya
timbul ruam skarlatiniform pada kulit (2%). Efek toksik yang berat pada penggunaan sebagai
antiepilepsi belum pernah dilaporkan. Fenobarbital adalah obat terpilih untuk memulai terapi
epilepsi grand mal. Karena efek toksik berbeda dengan obat antikonvulsi lainnya, khususnya
dengan fenitoin, penggunaan fenobarbital sering dikombinasikan dengan obat-obat tersebut
Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap grand mal atau berbagai serangan kortikal lainnya;
juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril. Sekalipun khasiatnya terbatas, karena sifat
antikonvulsi berspektrum lebar dan aman, fenobarbital sering cocok untuk terapi awal serangan
absence, spasme mioklonik, dan epilepsi akinetik; apalagi mengingat kemungkinan komplikasi
serangan tonik-klonik umum (grand mal) pada ketiga je-nis epilepsi tersebut. Terhadap epilepsi
psikomotor manfaatnya terbatas dan penterapan hams berhati-hati, oleh karena ada kemungkinan
terjadinya eksaserbasi petit mal. Hal ini terutama hams di-ingat oleh mereka yang menggunakan
fenobarbital sebagai obat terpilih pada setiap kelainan dengan konvulsi (umpamanya pada bidang
kesehatan anak) (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg sehari. Untuk
mengendali-kan epilepsi disarankan mendapatkan kadar plasma optimal, berkisar antara 10 sampai
30 meg/ml. Kadar plasma di atas 40 meg/ml sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian
pemberian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya
frekuensi serangan kembali, atau malahan serangan status epileptikus
S*c
Mefobarbital (asam 3-metil-5.5-feniletil barbiturat), efek sedatifnya lebih lemah daripada feno-
barbital; demikian pula khasiat antikonvulsinya. Tetapi mefobarbital tetap efektif terhadap grand
mal. Sifat-sifatnya dan efektivitasnya sama dengan fenobarbital karena terjadi N-demetilasi di hati.
Khasiat mefobarbital terhadap petit mal jelas me-lebihi fenobarbital, akan tetapi kurang bila diban-
dingkan dengan obat yang selektif terhadap petit mal. Dosis yang biasa diberikan pada orang
dewasa adalah 400-600 mg sehari dalam dosis terbagi
Metarbital diperoleh dengan metilasi-N3 pada barbital dan menjadi asam 3-metil-5,5-dietilbar-
biturat. Senyawa ini merupakan jenis barbiturat dengan masa kerjanya paling lama. Metarbital tidak
memiliki gugus fenil (yang memberikan si-fat antikonvulsi); tetapi dalam kombinasi ataupun
sebagai obat tunggal berguna terhadap grand mal yang sudah refrakter terhadap pengobatan lazim;
juga terhadap epilepsi mioklonik dan petit mal. Khusus terhadap spasme mioklonik pada anak kecil
(infant) metarbital paling baik khasiatnyajdan pada kelainan dengan konvulsi akibat kerusakan pada
otak, metarbital juga sangat berguna
Efek samping berupa kantuk, pusing, gelisah, gangguan lambung, dan ruam kulit. Dosis awal
dewasa adalah 100-300 mg sehari diberikan terbagi 2-3 kali sehari dan dapat dinaik-kan menjadi
800 mg sehari. Untuk anak 5-15 mg/ kg berat badan sehari, diberikan terbagi. (Utama, H dan
Vincent H.S. Gan,1995)
Obat hipnotik dapat menimbulkan rasa mengantuk dan memperlama keadaaan tidur. Efek hipnotik
lebih bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat daripada sedasi dan obat ini dapat diperoleh
secara mudah pada kebanyakan obat-obat sedatif dengan jalan meningkatkan dosis
Derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk
obat-obat hipnotif sedatif. Walaupun begitu, pada masing-masing obat, terdapat perbedaan dalam
hubungan antara dosis dan tingkat depresi susunan saraf pusat. Dua contoh dari hubungan dosis-
respon diperlihatkan pada Gambar 21-1. Slope yang linier dari obat A adalah khas dari kebanyakan
obat sedativa-hipnotika yang lebih tua, termasuk barbiturat dan alkohol. Pada obat-obat tersebut,
peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi
umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan
pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian. Deviasi dari hubungan linier dosis-
respon seperti terlihat pada obat B, akan memerlukan proporsi yang lebih besar dalam peningkatan
dosis untuk mendapatkan depresi susunan saraf pusat yang lebih dalam daripada hipnosis. Hal ini
menunjukkan/ ditunjukkan oleh kebanyakan obat dari golongan benzodiazepin, dan batas
keamanaan yang lebih besar merupakan penawaran yang penting dalam penggunaan klinik yang
luas untuk mengobati keadaan ansietas dan gangguan tidur.
Koma Obat A
F Anestesi Obat B
Hipnosis
P Sedasi
Kenaikan Dosis
5.1.1. Alat
- spidol permanent
- spuit 1 ml
- beaker glass 25 ml
- erlenmeyer 10 ml
- jam tangan
- timbangan elektrik
5.1.2. Bahan
- mencit 5 ekor
- akuadest
- dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut
pada kawat kasa kandang
- dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat
kasa kandang
- dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk
dan ibu jari tangan kiri
- ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat
dipegang dengan sempurna
a. Intraperitoneal
- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
b. Peroral
- diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-
langit dan didorong hingga masuk ke esofagus
Mencit
1. Penandaan Hewan
Dicatat beratnya
Hasil
2. Persiapan Hewan
Mencit
Dipegang ujung ekor dengan
tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada
kawat kasa di kandang
Hasil
3. Cara Pemberian
Obat
a. Per Oral
Mencit
Hasil
b. Intraperitoneal
Mencit
Hasil
c c
ñ
+ñ*cS
, - !")$$
)$$.!c
)$$.!cc
)$$.!ccc
)$$.!c
)$$.!
,/
!
No Perlakuan Waktu
.)
' 10 20 30 40 50 60 70 80 90
1. Kontrol (aquadest) 1.1 1.2 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.2 1.2
Keter secara i.p
angan 2. Luminal dosis 80 1.1 1.1 1.1 1.1 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
: mg/Kg BB secara oral
3. Luminal dosis 80 1.2 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
1.1
mg/Kg BB secara i.p
Norm
4. Luminal dosis 90 1.1 1.1 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
al
mg/Kg BB secara oral
1.2 5. Luminal dosis 90 1.1 1.3 1.3 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4
Garuk mg/Kg BB i.p
-
Garuk (reaktif)
1.4 Tidur
i.p { intraperitoneal
, 0 ñ&%.)'
, 1 '$
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa peningkatan dosis yaitu dari 80mg/KgBB menjadi
90mg/KgBB dengan rute pemberian yang sama yaitu Mencit II (Luminal Na 0,7% dosis
80mg/KgBB secara oral) dengan Mencit IV ((Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara oral) dan
antara Mencit III ((Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara i.p.) dengan Mencit V (Luminal Na
0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) akan memberikan efek luminal Na (tidur) lebih cepat.
Sementara Mencit I I (kontrol (aquadest) secara i.p. 1% BB ) tidak menunjukkan efek mengantuk
(walaupun pada menit ke-20, menit ke-80 dan menit ke-90 mencit berlaku reaktif). Hal ini mungkin
hanya disebabkan oleh perilaku mencit saja.
Menurut literatur, derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah
karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Pada obat-obat tersebut, peningkatan dosis diatas
yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis
yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di
medula, menimbulkan koma dan kematian (Katzung, B. G., 1998).
Berdasarkan percobaan juga diperoleh hasil bahwa pemberian obat secara i.p. menunjukkan
yang lebih cepat bila dibandingkan dengan pemberian obat secara oral. Oleh karena itu,
Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) menunjukkan
yang
paling cepat diantara semua mencit karena pemberiannya secara i.p. dan dosisnya yang tinggi.
Menurut literatur, pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum
dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat
mempengaruhi bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara suntikan yaitu pemberian
intraperitoneal, memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan
dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah
diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Namun
suntikan i.p. tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar (Setiawati,
A. dan F.D. Suyatna, 1995).
2 - $ "
- Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan
dengan urutan mencit.
- Cara pemberian secara intraperitonial (i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian abdomen
mencit dan melaui oral dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah masukknya
obat kedalam mulut mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan.
- Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara
Intraperitonial, hal ini dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi
langsung ke dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami
absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek.
- Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat
!
dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute
pemberian obat secara oral.
!Y
dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan rute
pemberian obat secara oral.
Mencit I (kontrol [aquadest 1%] secara i.p) pada menit ke 10 sampai 90 normal walaupun
pada menit ke-20, 80 dan 90 menunjukkan gerakan reaktif
Mencit II (Luminal Na 0,7%, 80 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke 10 sampai menit ke-
40 normal diteruskan dengan gerakan lambat pada menit ke-50 sampai 90.
Mencit III (Luminal Na 0,7 %, 80 mg/Kg BB secara i.p) pada menit ke-10 langsung reaktif
kemudian menunjukkan gerakan lambat dari menit ke-20 sampai menit ke-90.
Mencit IV (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke-10 dan 20
menunjukkan gerakan normal lalu diikuti gerakan lambat pada menit ke-30 sampai 90
(efeknya lebih cepat dibandingkan dengan mencit II karena dosis ditingkatkan)
Mencit V (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara i.p.) pada menit ke-10 normal dan pada
menit ke-20 sampai menit ke-30 gerakan lambat dan mulai tidur pada menit ke-40 sampai
menit ke-90 (efeknya lebih cepat bila dibandingkan dengan mencit III karena dosis
ditingkatkan).
2 /
ë Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit
agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki.
ë Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami
kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital.
ë Dapat digantikan atau digunakan turunan barbiturat lainnya maupun obat golongan sedatif-
hipnotik lainnya (seperti benzodiazepin) untuk mengetahui perbandingan
dan
.
*
Anief, M., 1994. . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hal. 42-43.
http://71mm0.files.wordpress.com/2008/05/farmakologi-1.doc
Katzung, B.G., 1998. Y % . Edisi VI. Jakarta:
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Dalam & ' (.
Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.
Sulaksono, M.E., 1992. % ) S % #
@ @ * . Jakarta.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_FaktorKeturunandanLingkungan.pdf/15_FaktorKe
turunandanLingkungan.html
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002.@!@ %
+
!+
. Edisi Kelima. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia. Hal. 357.
Utama, H dan Vincent H.S.Gan,1995. , Dalam & ' (. Edisi IV.
Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 168-169.
*%!)!"" %"
S!"%%!$!%
.)'$"!"
.)')$
c S "%$))
* @
%
Y % -
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah
dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun
yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan kese-
lamatan manusia di dunia adalah adanya
Y
d
i mana hewan ini mem-
52 Cermin Dunia Kedokteran No.
42, 1987
punyai kemampuan genetis baik sekali dan mempunyai sifat
rentan/peka terhadap kuman tbc.
Dalam jangka waktu kurang lebih 30 hari setelah lahir mampu
menghasilkan berat badan kurang lebih 250--300 gram (ber-
dasarkan hasil pengamatan di bidang Binatang Percobaan),
sedangkan untuk Marmut lokal/pasar, karena tidak mem-
punyai kemampuan genetis yang baik, sangat sulit mencapai
berat yang sama dan dalam waktu yang sama pula. Persoalan-
nya adalah, apabila Marmut
Hartley teresebut tidak di-
pelihara dalam lingkungan yang baik (suhu, kelembaban,
makanan dan lain sebagainya), maka akan memberikan karak-
teristik atau penotipa yang kurang menguntungkan, sehingga
dengan demikian akan sia-sialah pekerjaan yang salama ini
telah dilakukan.
c
c4
c
Sifat-sifat karakteristik ini selamanya akan timbul, karena
adanya kerja sama antara faktor keturunan dan lingkungan.
Jadi adanya berbagai macam bentuk maupun sifat karakteris-
tik disebabkan oleh karena
adanya perbedaan-perbedaan
yang ditimbulkan oleh faktor genetis dan faktor lingkungan.
ñ*
cññ
c4
Secara matematis/perhitungan aljabar, pengaruh faktor
keturunan dan lingkungan terhadap penotipa hewan per-
cobaan dapat digambarkan sebagai berikut
K+L+
Variasi
K
L{
K
{
Faktor keturunan/genetis
L
{
Faktor lingkungan
{
Penotipa
Ada 4 kemungkinan pengaruh kedua faktor (genetik dan
lingkungan) terhadap penotipa hewan percobaan, yaitu:
I). K (sama) + L (sama) { P (sama).
Artinya : apabila terdapat 2 kelompok/grup hewan percoba-
an atau lebih (mencit, misalnya), yang ierasal dari keturunan
yang sama
yang sama) (dalam hal ini faktor K sama),
mendapatkan perlakuan yang sama pula (iklim, makanan,
perawatan, dan lain-lain) (dalam hal ini faktor L sama), maka
akan dihasilkan hewan yang berpenotipa yang baik pula
(P sama).
2). K (berbeda) + L (sama) { P (berbeda).
Artinya : apabila terdapat 2 kelompok/grup hewan percoba-
an atau lebih yang berasal dari keturunan yang berlainan
(strain berbeda) dan mendapat perlakuan yang sama, maka
akan dihasilkan penotipa dari kedua kelompok/grup hewan
percobaan tadi yang berlainan satu sama lain.
3). K (sama) + L (berbeda) { P (berbeda).
Artinya : walaupun terdapat dua kelompok/grup hewan
percobaan atau lebih yang sama asal keturunannya (strain
sama), apabila dipelihara dalam lingkungan yang berbeda,
maka penotipa yang dihasilkan
dari
kedua kelompok/grup
hewan percobaan tadi akan berbeda pula.
4). K (berbeda)
+
L (berbeda)
{
P (berbeda).
Artinya : Penotipa
dari
kedua kelompok/grup hewan per-
cobaan atau lebih tadi akan berbeda sama sekali, apabila
masing
-
masing kelompok/grup hewan tersebut berasal
dari
keturunan yang berlainan dan dipelihara dalam lingkungan
yang berbeda pula.
ñ*
cññ5
c
cSc
S
c
Yang dimaksud dengan percobaan biomedis antara lain
percobaan potensi/khasiat produk biologi (misalnya vaksin,
sera, antibiotik, hormon dan lain
-
lain), tes keracunan, pe-
nelitian di bidang virologi, imunologi, farmasi dan lain se-
bagainya. Semua percobaan tersebut bisa menggunakan
hewan percobaan sebagai modelnya sebelum dilakukan per-
cobaan pada manusia. Sebagai persyaratannya, hewan per-
cobaan yang digunakan haruslah proses yang terjadi pada
hewan percobaan tersebut sama atau banyak kesamaannya
dalam proses yang terjadi pada manusia. Di samping itu,
susunan genetis yang hampir sama (diperlukan usaha pem-
biakan yang terarah dan teratur sesuai dengan sistem yang
ada dalam program pembiakan/breeding) dan lingkungan yang
memadai sebagai penunjang faktor genetis, sangat berpengaruh
terhadap karakteristik hewan percobaan itu sendiri (DJ.
SHORT, DP. W OODNOTT, 1969).
Secara imunologis untuk menentukan grup Mencit yang
paling baik (mampu memberikan reaksi kekebalan)
dari
beberapa kelompok/grup/strain, antara lain dengan melalui
percobaan pemeriksaan potensi vaksin baik Tetanus maupun
Pertusis, misalnya.
Masing
-
masing
Mencit diimunisasi sehingga akan
memberikan reaksi kekebalan yang berbeda. Berdasarkan
analisa statistik,
Mencit yang memberikan reaksi ke-
kebalan yang paling baik (tinggi) dianggap merupakan
Mencit yang paling baik pula. Reaksi kekebalan yang di-
timbulkan oleh hewan percobaan bila diimunisasi tersebut
dipengaruhi oleh mekanisme kekebalan yang ada dalam
tubuh hewan dan mekanismenya dipengaruhi oleh beberapa
faktor
-
faktor genetik, lingkungan, anatomi hewan, fisiologi,
faktor mikroba dan lain-lain (BELLANTI, YOSEPH, A,
1971) (lihat ilustrasi 1).
*%!)!%%!""
Perbedaan hasil pemeriksaan potensi yang dilakukan
dibeberapa negara yaitu misalnya Jepang, Amerika Serikat,
Eropa mauoun Indonesia disebabkan karena
hewan
percobaan yang digunakan berbeda
,
(PERKINS, FT. 1980).
Dengan demikian, jelas bahwa secara genetis, Mencit yang
dipakai sebagai model percobaan
dari
beberapa negara ter-
sebut adalah berbeda dan dengan demikian penotipa hewan
tersebut juga berbeda, lebih-lebih pola pemeliharannya di
masing
-
masing negara tersebut berbeda pula.
*%!)%"
Meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada hewan
percobaan, disebabkan karena kondisi lingkungan yang jelek
di mana hewan itu tinggal. Maka dengan meningkatnya ke-
jadian penyakit infeksi dan disertai dengan keadaan nutrisi
yang jelek pula, akan berakibat resistensi tubuh menurun,
sehingga akan berpengaruh terhadap hasil suatu percobaan.
cS
Dari
uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan, terdapat
dua faktor utama di dalam mengontrol pertumbuhan dan per-
kembangan hewan percobaan (termasuk penotipa), yaitu
faktor keturunan dan faktor lingkungan (eksternal). Pening-
katan mutu genetis dan adanya kontrol genetik serta dengan
peningkatan pengelolaan hewan percobaan akan sangat mem-
bantu dalam peningkatan mutu/kualitas hewan percobaan,
walaupun hewan tersebut tergolong hewan yang konvensional.
Peningkatan sistem pemeliharaan akan lebih diperlukan dalam
kegiatan penelitian biomedis
dari
sistem yang konvensional
ke sistem pemeliharaan yang lebih tinggi lagi di masa men-
datang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kemajuan
jaman. Usaha sentralisasi maupun desentralisasi hewan per-
cobaan yang mencakup secara nasional dan dikelola secara
Cermin Dunia Kedokteran No. 42, 1987 53