You are on page 1of 36

c 



Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah


berjalan puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan keselamatan manusia
di dunia adalah adanya Y   
yang dihasilkan oleh Sidang Kesehatan Dunia ke 16 di
Helsinki, Finlandia, pada tahun 1964 (Sulaksono, M.E., 1987).

Deklarasi tersebut merupakan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu tentang segi
etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek penelitian. Disebutkan, perlunya dilakukan
percobaan pada hewan sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau
diperlakukan terhadap manusia

(Sulaksono, M.E., 1987).

Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan


tertentu, antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan
reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Sulaksono, M.E., 1987).

Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk
menentukan toksisitasnya. Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam
memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis
suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap),
cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (      ), lamanya obat bekerja (   
  ), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk
memberikan respons tertentu (Anonim I., 2008).

Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute
tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan secara intravena
dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang relatif lebih
cepat dan bermanfaat. Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta
yang lainnya harus ditentukan untuk mencapai efek yang maksimal (Anonim I., 2008).

cc 
  

- Untuk mengetahui bagaimana cara memberi penandaan pada hewan percobaan.


- Untuk mengetahui berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan.

- Untuk mengetahui teknik pemberian obat melalui rute intraperitoneal (i.p.) dan secara oral.

- Untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.

- Untuk menyatakan     obat berdasarkan rute yang diberikan.

- Untuk menyatakan      obat berdasarkan rute yang diberikan.

- Untuk mengetahui efek dari pemberian Luminal Natrium berdasarkan dosis dan rute
pemberian terhadap hewan percobaan.

ccc  cc 

- Penandaan hewan dilakukan dengan cara menandai bagian ekor hewan dengan menggunakan spidol
permanen dengan bentuk-bentuk tertentu.

- Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan intraperitoneal), sehingga dapat
diperoleh onset of action, intensitas, dan duration of action dari suatu obat.

- Dengan membandingkan peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.

c 
c 


Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor keturunan dan
lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka
ada 4 golongan hewan, yaitu

1). Hewan liar.

2). Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.

3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistim @ 
(tertutup).

4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem
isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan dengan
macam percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin
sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan
dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan
percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksonono, M.E., 1987).

Jenis-jenis Hewan percobaan:

No Jenis hewan percobaan Spesies


1. Mencit (Laboratory mince) S
2. Tikus (Laboratory Rat)    
3. Golden (Syrian) Haruster S    
4. Chinese Haruster   
5. Marmut    @
6. Kelinci   
7. Mongolian gerbil S    
8. Forret S    
9. Tikus kapas (cotton rat)   
10. Anjing   
11. Kucing   
12. Kera ekor panjang (Cynomolgus) S S
13. Barak S    
14. Lutung/monyet daun  @    
15. Kera rhesus S 
16. Chimpanzee      
17. Kera Sulawesi S 
18. Babi     
19. Ayam    
20. Burung dara  @   
21. Katak   
22. Salamander  @
No Jenis hewan percobaan   
23 Lain-lain

 !"#$%

Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang
hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari
masing-masing jenis hewan adalah ber,eda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik
(besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan
atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya

(Sulaksono, M.E., 1992).


c!&!%$'!  

Tujuan dari pada pemberian tanda pada hewan adalah disamping untuk mencegah kekeliruan
hewan dalam sistim pembiakannya juga untuk mempermudah pengamatan dalam percobaan.
Bermacam-macam cara yang dipakai dalam identifikasi tergantung kepada selera dan juga lama
tidaknya hewan tersebut terpaki atau dipelihara.  
    
   
  

  
     (Sulaksono, M. E., 1992).

Obat dalam tubuh akan mengalami beberapa fase yaitu:

- Fase farmasetik

- Fase farmakokinetik

- Fase farmakodinamik

Fase-fase estafet utama dalam aksi obat dalam tubuh dapat dilihat:

Dosis

Disintegrasi bentuk dosis


I.   
Disolusi Substansi Aktif

Optimasi ketersediaan

farmasetik

Absorpsi

Distribusi

Biotransformasi

Ekskresi

II.    


Optimasi ketersediaan

biologik

Interaksi obat reseptor dalam


jaringan target III.  
  

Optimasi efek biologik

yang dikehendaki

Efek

(Reksohadiprodjo, M.S., 1994)

"!"'!

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

a. tujuan terapi mengkehendaki efek lokal atau efek sistemik

b. apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama

c. stabilitas obat di dalam lambung dan atau usus

d. keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute

e. rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter

f. kemampuan pasien menelan obat melelui oral (Anief, M., 1994).


Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan efek terapi/obat.
Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh
jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedangkan efek lokal adalah efek obat
yang hanya berkerja setempat misalnya salep

(Anief, M., 1994).

Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:

a. oral melalui saluran gastrointestinal atau rektal


b. parenteral dengan cara intravena, intramuskular dan subkutan
c. inhalasi langsung ke dalam paru-paru

Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:

a. intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan pada mata, hidung, telinga
b. intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. rektal, uretral, dan vaginal dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan
kemaluan wanita, obat melelh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan.

Rute penggunaan obat dapat dengan cara:

a. melalui rute oral


b. melalui rute parenteral
c. melalui rute inhalasi
d. melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
e. melalui rute kulit (Anief, M., 1994).

Rute penggunaan obat dapat diperlihatkan sebagai berikut:

No. Istilah Letak masuk dan jalan absorpsi obat


1. Per oral (per os) Melalui mulut masuk saluram intestinal (lambung),
penyerapan obat melalui membran mukosa pada
lambung dan usus memberi efek sistemik
2. Sublingual Dimasukkan di bawah lidah, penyerapan obat mellaui
membran mukosa, memberi efek sistemik
3 Parenteral atau melalui selain jalan lambung dengan merobek beberap
injeksi jaringan

a. intravena Masuk pembuluh darah balik (vena), memberi efek


sistemik
b. intrakardial
Menembus jantung, memberi efek sistemik
c. intrakutan
Menembus kulit, memberi efek sistemik
d. subkutan
Di bawah kulit, memberi efek sistemik
e. intramuskular
Menembus otot daging, memberi efek sistemik
4 Intranasal Diteteskan pada lubang hidung, memberi efek lokal
5 Aural Diteteskan pada lubang telinga, memberi efek lokal
No. Istilah Letak masuk dan jalan absorpsi obat
6 Intrarespiratoral Inhalasi berupa gas masuk paru-paru, memberi efek
lokal
7 Rektal Dimasukkan ke dalam dubur, memberi efek lokal +
sistemik
8 Vaginal Dimasukkan ke dalam lubang kemaluan wanita,
memberi efek lokal
9 Uretral Dimasukkan ke dalam saluran kencing, memberi efek
lokal

(Anief, M., 1994).


cc
c

Hipnotika atau obat tidur (Yun:  { tidur) adalah zat-zat yang dalam dosis terapi
diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan
tidur. Lazimnya, obat ini diberikan   . Bilamana zat-zat ini diberikan   
 dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan $!(  @ !
@    . Oleh karena itu, tidak ada perbedaan yang tajam antara kelompok obat sedativa
maupun kelompok obat hipnotika (Tjay, T.H., 2002).
 "   , seperti juga ! $%)!) % ") !%, termasuk ke dalam kelompok
$%) !% yang mencakup obat-obat yang menekan atau menghambat fungsi-fungsi SSP tertentu
(Tjay, T.H., 2002).

!( berfungsi untuk menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan


penggunanya. Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat
utamanya tidak menekan SSP, misalnya seperti antikolinergika (Tjay, T.H., 2002).

 )!% menimbulkan rasa kantuk ( # ), mempercepat tidur, dan sepanjang malam
mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah mengenai sifat-sifat EEG-nya.
Selain sifat-sifat ini, secara ideal obat tidur tidak menimbulkan aktivitas sisa pada keesokan harinya
(Tjay, T.H., 2002).

ñ ñ c
 

Di samping sebagai sedatif dan hipnotik, golongan barbiturat dapat pula dimanfaatkan
sebagai obat antikonvulsi; dan yang biasa digunakan adalah barbiturat kerja lama. (long-acting
barbiturates). Di sini dibicarakan khasiat antiepilepsi prototipe barbiturat, fenobarbital,
mefobarbital, dan metarbital; serta primidon yang mirip dengan barbiturat (Utama, H dan Vincent
H.S. Gan,1995).

Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi. Barbiturat menghambat tahap
akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi pembentukan fosfatase berenergi tinggi. Senyawa
fosfat ini perlu untuk sintesis neurotransmiter misalnya Ch, dan untuk repolarisasi membran sel
neuron setelah depolarisasi

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

* c


Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) merupakan senyawa organik pertama yang digunakan
dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya, membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan
ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi dengan potensi terkuat,
tersering digunakan, dan termurah. Dosis efektif relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap
efek samping, dapat diatasi dengan pemberian amfe-tamin atau stimulan sentral lainnya tanpa
menghi-langkan khasiat antikonvulsinya. Kemungkinan intoksikasi kecil; kadang-kadang hanya
timbul ruam skarlatiniform pada kulit (2%). Efek toksik yang berat pada penggunaan sebagai
antiepilepsi belum pernah dilaporkan. Fenobarbital adalah obat terpilih untuk memulai terapi
epilepsi grand mal. Karena efek toksik berbeda dengan obat antikonvulsi lainnya, khususnya
dengan fenitoin, penggunaan fenobarbital sering dikombinasikan dengan obat-obat tersebut

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap grand mal atau berbagai serangan kortikal lainnya;
juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril. Sekalipun khasiatnya terbatas, karena sifat
antikonvulsi berspektrum lebar dan aman, fenobarbital sering cocok untuk terapi awal serangan
absence, spasme mioklonik, dan epilepsi akinetik; apalagi mengingat kemungkinan komplikasi
serangan tonik-klonik umum (grand mal) pada ketiga je-nis epilepsi tersebut. Terhadap epilepsi
psikomotor manfaatnya terbatas dan penterapan hams berhati-hati, oleh karena ada kemungkinan
terjadinya eksaserbasi petit mal. Hal ini terutama hams di-ingat oleh mereka yang menggunakan
fenobarbital sebagai obat terpilih pada setiap kelainan dengan konvulsi (umpamanya pada bidang
kesehatan anak) (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg sehari. Untuk
mengendali-kan epilepsi disarankan mendapatkan kadar plasma optimal, berkisar antara 10 sampai
30 meg/ml. Kadar plasma di atas 40 meg/ml sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian
pemberian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya
frekuensi serangan kembali, atau malahan serangan status epileptikus

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

S* c


Mefobarbital (asam 3-metil-5.5-feniletil barbiturat), efek sedatifnya lebih lemah daripada feno-
barbital; demikian pula khasiat antikonvulsinya. Tetapi mefobarbital tetap efektif terhadap grand
mal. Sifat-sifatnya dan efektivitasnya sama dengan fenobarbital karena terjadi N-demetilasi di hati.
Khasiat mefobarbital terhadap petit mal jelas me-lebihi fenobarbital, akan tetapi kurang bila diban-
dingkan dengan obat yang selektif terhadap petit mal. Dosis yang biasa diberikan pada orang
dewasa adalah 400-600 mg sehari dalam dosis terbagi

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).


S
 c


Metarbital diperoleh dengan metilasi-N3 pada barbital dan menjadi asam 3-metil-5,5-dietilbar-
biturat. Senyawa ini merupakan jenis barbiturat dengan masa kerjanya paling lama. Metarbital tidak
memiliki gugus fenil (yang memberikan si-fat antikonvulsi); tetapi dalam kombinasi ataupun
sebagai obat tunggal berguna terhadap grand mal yang sudah refrakter terhadap pengobatan lazim;
juga terhadap epilepsi mioklonik dan petit mal. Khusus terhadap spasme mioklonik pada anak kecil
(infant) metarbital paling baik khasiatnyajdan pada kelainan dengan konvulsi akibat kerusakan pada
otak, metarbital juga sangat berguna

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Efek samping berupa kantuk, pusing, gelisah, gangguan lambung, dan ruam kulit. Dosis awal
dewasa adalah 100-300 mg sehari diberikan terbagi 2-3 kali sehari dan dapat dinaik-kan menjadi
800 mg sehari. Untuk anak 5-15 mg/ kg berat badan sehari, diberikan terbagi. (Utama, H dan
Vincent H.S. Gan,1995)

Obat hipnotik dapat menimbulkan rasa mengantuk dan memperlama keadaaan tidur. Efek hipnotik
lebih bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat daripada sedasi dan obat ini dapat diperoleh
secara mudah pada kebanyakan obat-obat sedatif dengan jalan meningkatkan dosis

(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk
obat-obat hipnotif sedatif. Walaupun begitu, pada masing-masing obat, terdapat perbedaan dalam
hubungan antara dosis dan tingkat depresi susunan saraf pusat. Dua contoh dari hubungan dosis-
respon diperlihatkan pada Gambar 21-1. Slope yang linier dari obat A adalah khas dari kebanyakan
obat sedativa-hipnotika yang lebih tua, termasuk barbiturat dan alkohol. Pada obat-obat tersebut,
peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi
umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan
pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian. Deviasi dari hubungan linier dosis-
respon seperti terlihat pada obat B, akan memerlukan proporsi yang lebih besar dalam peningkatan
dosis untuk mendapatkan depresi susunan saraf pusat yang lebih dalam daripada hipnosis. Hal ini
menunjukkan/ ditunjukkan oleh kebanyakan obat dari golongan benzodiazepin, dan batas
keamanaan yang lebih besar merupakan penawaran yang penting dalam penggunaan klinik yang
luas untuk mengobati keadaan ansietas dan gangguan tidur.

Koma Obat A

F Anestesi Obat B

Hipnosis

P Sedasi

Kenaikan Dosis

(Katzung, B.G., 1998)


c S
 

5.1. Alat dan Bahan

5.1.1. Alat

- oral sonde mencit

- spidol permanent

- spuit 1 ml

- beaker glass 25 ml

- erlenmeyer 10 ml

- labu tentukur 100ml

- jam tangan

- timbangan elektrik

5.1.2. Bahan

- mencit 5 ekor

- akuadest

- luminal Na konsentrasi 0,7%

5.2. Prosedur Percobaan

1. Penandaan Hewan

- dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut
pada kawat kasa kandang

- ditandai ekor mencit dengan spidol permanent

- diletakkan di atas timbangan elektrik, kemudian catat beratnya


2. Persiapan Hewan

- dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat
kasa kandang

- dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk
dan ibu jari tangan kiri

- ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat
dipegang dengan sempurna

- mencit siap untuk disuntik

3. Cara Pemberian Obat

a. Intraperitoneal

ë Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest)

- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala

- disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat

- diamati efek yang terjadi

ë Pemberian Luminal Na 0,7%

- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala

- disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen perlahan-lahan

- diamati efek obat yang terjadi

b. Peroral

ë Pemberian Luminal Na 0,7%


- dipegang tengkuk mencit

- diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-
langit dan didorong hingga masuk ke esofagus

- Larutan didesak keluar dari alat suntik

5.3 . Flow Sheet

Mencit

1. Penandaan Hewan

Dipegang ujung ekor dengan


tangan kanan dan dibiarkan
kaki depan berpaut pada kawat
kasa dari kandang

Ditandai ekornya dengan spidol


permanent

Diangkat ke atas timbangan elektrik

Dicatat beratnya

Hasil
2. Persiapan Hewan

Mencit
Dipegang ujung ekor dengan
tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada
kawat kasa di kandang

Dipegang kulit kepala sejajar


dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk
dan ibu jari tangan kiri

Ditukarkan pegangan ekor dari


tangan kanan ke jari kelingkng kiri supaya mencit dapat
dipegang dengan sempurna

Hasil
3. Cara Pemberian
Obat

a. Per Oral

Mencit

Ditandai dan ditimbang mencit


Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde
Dipegang tengkuk mencit
Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan
dengan langit-langit dan dorong hingga masuk ke esofagus
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10
menit

Dibuat grafik respon terhadap waktu

Hasil

b. Intraperitoneal

Mencit

Ditandai dan ditimbang mencit


Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan
kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang (bukan
tenggorokan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah
abdomen dengan cepat
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10
menit

Dibuat grafik respon terhadap waktu

Hasil
c  c
ñ
+ñ *cS

, - !")$$

)$$.!c

 Berat mencit 25,6gr

 Dosis : Kontrol aquadest dosis 1 % / BB (i.p)

 Syringe : 80 skala (1skala { 1 / 80 { 0,0125 ml)

 Jumlah larutan obat yang disuntikkan :

{ 1 / 100 x 25,6gr { 0,256ml

 Jumlah skala yang diberikan dalam syringe :

)$$.!cc

 Berat mencit : 26,1 gr

 Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (oral)

 Syringe : 80 skala (1skala { 1 / 80 { 0,0125 ml)

Jumlah obat yang diberikan :

 Konsentrasi obat 0,7 %

{ 0,7 gr/100 ml { 700 mg / ml { 7 mg / ml


 Jumlah larutan obat yang disuntikkan

 Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

)$$.!ccc

 Berat mencit : 29,8 gr

 Dosis : Luminal-Na 0,7%, 90 mg / kg BB (oral)

 Syringe : 80 skala (1skala { 1 / 80 { 0,0125 ml)

 Jumlah obat yang diberikan :

 Konsentrasi obat 0,7 %

{ 0,7 gr/100 ml { 700 mg / ml { 7 mg / ml

 Jumlah larutan obat yang disuntikkan

 Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

)$$.!c

 Berat mencit : 25,0 gr

 Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (i.p)

 Syringe : 80 skala (1skala { 1 / 80 { 0,0125 ml)


 Jumlah obat yang diberikan :

 Konsentrasi obat 0,7 % { 0,7 gr/100 ml { 700 mg / ml { 7 mg / ml

 Jumlah larutan obat yang disuntikkan

 Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

)$$.!

 Berat mencit : 24,7 gr

 Dosis : Luminal-Na 0,7%, 90 mg / kg BB (i.p)

 Syringe : 80 skala (1skala { 1 / 80 { 0,0125 ml)

 Jumlah obat yang diberikan :

 Konsentrasi obat 0,7 %

{ 0,7 gr/100 ml { 700 mg / ml { 7 mg / ml

 Jumlah larutan obat yang disuntikkan


 Jumlah skala yang diberikan dalam syringe

,/
!
No Perlakuan Waktu
.)
' 10 20 30 40 50 60 70 80 90
1. Kontrol (aquadest) 1.1 1.2 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.2 1.2
Keter secara i.p
angan 2. Luminal dosis 80 1.1 1.1 1.1 1.1 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
: mg/Kg BB secara oral
3. Luminal dosis 80 1.2 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
1.1
mg/Kg BB secara i.p
Norm
4. Luminal dosis 90 1.1 1.1 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
al
mg/Kg BB secara oral
1.2 5. Luminal dosis 90 1.1 1.3 1.3 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4
Garuk mg/Kg BB i.p
-
Garuk (reaktif)

1.3 Gerak lambat

1.4 Tidur

i.p { intraperitoneal

, 0 ñ&%.)'


 

, 1 '$

Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa peningkatan dosis yaitu dari 80mg/KgBB menjadi
90mg/KgBB dengan rute pemberian yang sama yaitu Mencit II (Luminal Na 0,7% dosis
80mg/KgBB secara oral) dengan Mencit IV ((Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara oral) dan
antara Mencit III ((Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara i.p.) dengan Mencit V (Luminal Na
0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) akan memberikan efek luminal Na (tidur) lebih cepat.
Sementara Mencit I I (kontrol (aquadest) secara i.p. 1% BB ) tidak menunjukkan efek mengantuk
(walaupun pada menit ke-20, menit ke-80 dan menit ke-90 mencit berlaku reaktif). Hal ini mungkin
hanya disebabkan oleh perilaku mencit saja.

Menurut literatur, derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah
karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Pada obat-obat tersebut, peningkatan dosis diatas
yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis
yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di
medula, menimbulkan koma dan kematian (Katzung, B. G., 1998).

Berdasarkan percobaan juga diperoleh hasil bahwa pemberian obat secara i.p. menunjukkan  
    yang lebih cepat bila dibandingkan dengan pemberian obat secara oral. Oleh karena itu,
Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) menunjukkan       yang
paling cepat diantara semua mencit karena pemberiannya secara i.p. dan dosisnya yang tinggi.

Menurut literatur, pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum
dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat
mempengaruhi bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara suntikan yaitu pemberian
intraperitoneal, memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan
dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah
diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Namun
suntikan i.p. tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar (Setiawati,
A. dan F.D. Suyatna, 1995).

cc cS  

2 - $ "

- Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan
dengan urutan mencit.

- Cara pemberian secara intraperitonial (i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian abdomen
mencit dan melaui oral dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah masukknya
obat kedalam mulut mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan.
- Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara
Intraperitonial, hal ini dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi
langsung ke dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami
absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek.

- Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat

!       dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute
pemberian obat secara oral.

!Y     dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan rute
pemberian obat secara oral.

- Dari hasil yang diperoleh diketahui :

Mencit I (kontrol [aquadest 1%] secara i.p) pada menit ke 10 sampai 90 normal walaupun
pada menit ke-20, 80 dan 90 menunjukkan gerakan reaktif

Mencit II (Luminal Na 0,7%, 80 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke 10 sampai menit ke-
40 normal diteruskan dengan gerakan lambat pada menit ke-50 sampai 90.

Mencit III (Luminal Na 0,7 %, 80 mg/Kg BB secara i.p) pada menit ke-10 langsung reaktif
kemudian menunjukkan gerakan lambat dari menit ke-20 sampai menit ke-90.

Mencit IV (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke-10 dan 20
menunjukkan gerakan normal lalu diikuti gerakan lambat pada menit ke-30 sampai 90
(efeknya lebih cepat dibandingkan dengan mencit II karena dosis ditingkatkan)

Mencit V (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara i.p.) pada menit ke-10 normal dan pada
menit ke-20 sampai menit ke-30 gerakan lambat dan mulai tidur pada menit ke-40 sampai
menit ke-90 (efeknya lebih cepat bila dibandingkan dengan mencit III karena dosis
ditingkatkan).

2 /

ë Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit
agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki.
ë Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami
kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital.
ë Dapat digantikan atau digunakan turunan barbiturat lainnya maupun obat golongan sedatif-
hipnotik lainnya (seperti benzodiazepin) untuk mengetahui perbandingan     
dan      .

*
 


Anief, M., 1994.  . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hal. 42-43.

Anonim I, 2008.  !$.

http://71mm0.files.wordpress.com/2008/05/farmakologi-1.doc

Katzung, B.G., 1998.   Y % . Edisi VI. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 351.

Reksohadiprodjo, M.S., 1994.     @ S% . Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press. Hal. 3.

Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995.     Dalam &   ' (.
Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.

Sulaksono, M.E., 1987.   


       @   #   @ . Jakarta.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_Perk
embangbiakanHewanPercobaan.html

Sulaksono, M.E., 1992.  %    )   S  %   # 
  @     @ *  . Jakarta.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_FaktorKeturunandanLingkungan.pdf/15_FaktorKe
turunandanLingkungan.html
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002.@ !@   %
  
 +  !+ 
  . Edisi Kelima. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia. Hal. 357.

Utama, H dan Vincent H.S.Gan,1995. ,   Dalam &     ' (. Edisi IV.
Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 168-169.

 
*%!)!"" %"
S!"%%!$!%
.)'$"!"
.)')$
c S "%$))
     *        @ 
%   
Y   %     -
 
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah
dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun
yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan kese-
lamatan manusia di dunia adalah adanya
Y   

yang dihasilkan oleh Sidang Kesehatan Dunia ke 16 di Hel-


sinki, Finlandia, pada tahun 1964. Deklarasi tersebut merupa-
kan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu tentang
segi etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek
penelitian. Disebutkan, perlunya dilakukan percobaan pada
hewan sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset
lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia.
Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain per-
syaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai
dalam pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah
tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis
yang mirip kejadiannya pada manusia. Ditinjau dari segi sistem
pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor
keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis
yang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4
golongan hewan, yaitu
1). Hewan liar.
2). Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara
secara terbuka.
3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan
yang dipelihara dengan sistim
@ 
(tertutup).
4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu
hewan yang dipelihara dengan sistem isolator.
Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut
di atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang
akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, se-
makin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan.
Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan
terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda
bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah
maupun hewan yang bebas kuman
    
*
 ñ
c3
  c4 5

Faktor keturunan merupakan salah satu faktor yang ikut
menentukan hasil suatu sifat-sifat biologis yang terlihat, atau
karekteristik hewan percobaan, atau yang lazim disebut
dengan
 

Faktor keturunan adalah unsur-unsur yang


dianggap mempunyai sifat-sifat turunan yang diwariskan
oleh kedua tetuanya kepada keturunannya. Ada dua macam
sifat-sifat yang diturunkan yang menghasilkan suatu penotipa
hewan, yaitu:
1). Sifat turunan yang kualitatif (tidak dapat diukur), misal
nya warna bulu (hitam, albino, coklat atau warna campuran);
sifat mudah dan cepat menjadi besar; golongan darah maupun
kemampuan memberikan reaksi kekebalan dan lain sebagai-
nya.
2). Sifat turunan yang kuantitatif (dapat diukur), misalnya
produksi anaknya
 . 
dan sifat-sifat lainnya.
Sifat-sifat turunan inipada dasarnya diatur oleh adanya suatu
gen, yaitu suatu unit dasar pembentuk sifat-sifat di atas, yang
diterimanya dari kedua tetuanya. Sedangkan jumlah gen yang
Cermin Dunia Kedokteran No. 42, 1987 51
diwariskan kepada anaknya, berapa tepatnya tidak ada orang
yang tabu. Susunan gen-gen yang membentuk sifat, bentuk
atau karakter (penotipa) individu turunannya dinamakan
 
Sebagai contoh adalah hewan percobaan
S 
,@  
Albino adalah warna bulu untuk putih, se-
dangkan warna bulu adalah merupakan salah satu sifat bio-
logis yang terlihat dari hewan Mencit tadi yang bersifat me-
nurun (sifat turunan yang kualitatif dan tidak dapat diukur).
W arna bulu sudah jelas yaitu putih. Lalu, bagaimana dengan
susunan genotipanya? Genotipanya telah ditentukan oleh para
ahli terdahulu yaitu

yang tersusun dari beberapa gen,
sehingga terbentuklah warna bulu yang albino tadi.
 
Mencit
 @   
di dunia yang terdaftar berjumlah
230
 
pada tahun 1979 (FESTING, 1979). Jumlah ini
belum termasuk
@ 
dari masing-masing
 
Mencit
tersebut.
Masing-masing
 
Mencit tersebut memiliki simbol
gen yang berbeda-beda dan karakteiristik yang berbeda pula.
Masing-masing memiliki perbedaan dalam perilaku, kemampu-
an imunologis, infeksi penyakit, kemampuan dalam mem-
berikan reaksi terhadap obat, .kemampuan reproduksi dan
lain sebagainya. Misalnya
 
BALB/c, karakteristiknya
sebabagi berikut:
 
ini dibentuk oleh Mc. Dowell pada
tahun 1923. Mempunyai kemampuan reproduksi yang baik;
secara normal kejadian tumor glandula mammae sangat kecil
sekali, akan tetapi apabila diinfeksikan dengan virus tumor
glandula mammae dengan cara menggunakan
   
C3H
 
akan mempertinggi kejadian tumor ter-
sebut pada Mencit BALB/c. Ciri yang lainnya adalah resisten
terhadap efek alergik ensefalomielitis (FESTING, 1979).
Karakteristik yang timbul dari masing-masing
 
Mencit tersebut adalah akibat daripada pemilikan gen-gen yang
berbeda-beda yang diturunkan kepada keturunannya, sehingga
dengan demikian masing-masing
 
memiliki perbedaan
dalam pemakaian sebagai model penelitian.
*

cññ
Yang dimaksud dengan faktor lingkungan antara lain
iklim setempat, temperatur ruangan, kelembaban, makanan
hewan yang diberikan, cara perawatan, program pemberantas-
an dan pencegahan penyakit dan lain sebagainya (lihat ilus-
trasi 2).
Alam, dengan situasi lingkungan yang berbeda-beda,
memberikan banyak variasi lingkungan yang sangat penting
dipandang dari segi genetis/keturunan, karena
1). Faktor lingkungan dapat menutupi variasi (perbedaan-
perbedaan) yang ditimbulkan oleh faktor genetis/keturunan.
2). Keadaan lingkungan tertentu dibutuhkan suatu individu
(dalam hal ini hewan percobaan) untuk dapat memberikan
potensi genetisnya (kemampuan untuk memberikan keturun-
an yang baik).
3). Faktor lingkungan jelas tidak dapat diturunkan tetua ke-
pada keturunannya. Misalnya dalam hal bertumbuh menjadi
besar dari Marmut
    

d
i mana hewan ini mem-
52 Cermin Dunia Kedokteran No.
42, 1987
punyai kemampuan genetis baik sekali dan mempunyai sifat
rentan/peka terhadap kuman tbc.
Dalam jangka waktu kurang lebih 30 hari setelah lahir mampu
menghasilkan berat badan kurang lebih 250--300 gram (ber-
dasarkan hasil pengamatan di bidang Binatang Percobaan),
sedangkan untuk Marmut lokal/pasar, karena tidak mem-
punyai kemampuan genetis yang baik, sangat sulit mencapai
berat yang sama dan dalam waktu yang sama pula. Persoalan-
nya adalah, apabila Marmut
 
Hartley teresebut tidak di-
pelihara dalam lingkungan yang baik (suhu, kelembaban,
makanan dan lain sebagainya), maka akan memberikan karak-
teristik atau penotipa yang kurang menguntungkan, sehingga
dengan demikian akan sia-sialah pekerjaan yang salama ini
telah dilakukan.
 
 c
c4 

c
Sifat-sifat karakteristik ini selamanya akan timbul, karena
adanya kerja sama antara faktor keturunan dan lingkungan.
Jadi adanya berbagai macam bentuk maupun sifat karakteris-
tik disebabkan oleh karena
adanya perbedaan-perbedaan
yang ditimbulkan oleh faktor genetis dan faktor lingkungan.
ñ *
 
  cññ

 
c4 
Secara matematis/perhitungan aljabar, pengaruh faktor
keturunan dan lingkungan terhadap penotipa hewan per-
cobaan dapat digambarkan sebagai berikut
K+L+
Variasi
K
L{
K
{
Faktor keturunan/genetis
L
{
Faktor lingkungan

{
Penotipa
Ada 4 kemungkinan pengaruh kedua faktor (genetik dan
lingkungan) terhadap penotipa hewan percobaan, yaitu:
I). K (sama) + L (sama) { P (sama).
Artinya : apabila terdapat 2 kelompok/grup hewan percoba-
an atau lebih (mencit, misalnya), yang ierasal dari keturunan
yang sama
 
yang sama) (dalam hal ini faktor K sama),
mendapatkan perlakuan yang sama pula (iklim, makanan,
perawatan, dan lain-lain) (dalam hal ini faktor L sama), maka
akan dihasilkan hewan yang berpenotipa yang baik pula
(P sama).
2). K (berbeda) + L (sama) { P (berbeda).
Artinya : apabila terdapat 2 kelompok/grup hewan percoba-
an atau lebih yang berasal dari keturunan yang berlainan
(strain berbeda) dan mendapat perlakuan yang sama, maka
akan dihasilkan penotipa dari kedua kelompok/grup hewan
percobaan tadi yang berlainan satu sama lain.
3). K (sama) + L (berbeda) { P (berbeda).
Artinya : walaupun terdapat dua kelompok/grup hewan
percobaan atau lebih yang sama asal keturunannya (strain
sama), apabila dipelihara dalam lingkungan yang berbeda,
maka penotipa yang dihasilkan
dari
kedua kelompok/grup
hewan percobaan tadi akan berbeda pula.
4). K (berbeda)
+
L (berbeda)
{
P (berbeda).
Artinya : Penotipa
dari
kedua kelompok/grup hewan per-
cobaan atau lebih tadi akan berbeda sama sekali, apabila
masing
-
masing kelompok/grup hewan tersebut berasal
dari
keturunan yang berlainan dan dipelihara dalam lingkungan
yang berbeda pula.
ñ *
 
  cññ5

 c 
 cSc
 S
c
Yang dimaksud dengan percobaan biomedis antara lain
percobaan potensi/khasiat produk biologi (misalnya vaksin,
sera, antibiotik, hormon dan lain
-
lain), tes keracunan, pe-
nelitian di bidang virologi, imunologi, farmasi dan lain se-
bagainya. Semua percobaan tersebut bisa menggunakan
hewan percobaan sebagai modelnya sebelum dilakukan per-
cobaan pada manusia. Sebagai persyaratannya, hewan per-
cobaan yang digunakan haruslah proses yang terjadi pada
hewan percobaan tersebut sama atau banyak kesamaannya
dalam proses yang terjadi pada manusia. Di samping itu,
susunan genetis yang hampir sama (diperlukan usaha pem-
biakan yang terarah dan teratur sesuai dengan sistem yang
ada dalam program pembiakan/breeding) dan lingkungan yang
memadai sebagai penunjang faktor genetis, sangat berpengaruh
terhadap karakteristik hewan percobaan itu sendiri (DJ.
SHORT, DP. W OODNOTT, 1969).
Secara imunologis untuk menentukan grup Mencit yang
paling baik (mampu memberikan reaksi kekebalan)
dari
beberapa kelompok/grup/strain, antara lain dengan melalui
percobaan pemeriksaan potensi vaksin baik Tetanus maupun
Pertusis, misalnya.
Masing
-
masing
 
Mencit diimunisasi sehingga akan
memberikan reaksi kekebalan yang berbeda. Berdasarkan
analisa statistik,
 
Mencit yang memberikan reaksi ke-
kebalan yang paling baik (tinggi) dianggap merupakan
 
Mencit yang paling baik pula. Reaksi kekebalan yang di-
timbulkan oleh hewan percobaan bila diimunisasi tersebut
dipengaruhi oleh mekanisme kekebalan yang ada dalam
tubuh hewan dan mekanismenya dipengaruhi oleh beberapa
faktor
-
faktor genetik, lingkungan, anatomi hewan, fisiologi,
faktor mikroba dan lain-lain (BELLANTI, YOSEPH, A,
1971) (lihat ilustrasi 1).
*%!)!%%!""
Perbedaan hasil pemeriksaan potensi yang dilakukan
dibeberapa negara yaitu misalnya Jepang, Amerika Serikat,
Eropa mauoun Indonesia disebabkan karena
 
hewan
percobaan yang digunakan berbeda
,
(PERKINS, FT. 1980).
Dengan demikian, jelas bahwa secara genetis, Mencit yang
dipakai sebagai model percobaan
dari
beberapa negara ter-
sebut adalah berbeda dan dengan demikian penotipa hewan
tersebut juga berbeda, lebih-lebih pola pemeliharannya di
masing
-
masing negara tersebut berbeda pula.
*%!)%"
Meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada hewan
percobaan, disebabkan karena kondisi lingkungan yang jelek
di mana hewan itu tinggal. Maka dengan meningkatnya ke-
jadian penyakit infeksi dan disertai dengan keadaan nutrisi
yang jelek pula, akan berakibat resistensi tubuh menurun,
sehingga akan berpengaruh terhadap hasil suatu percobaan.
cS  
Dari
uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan, terdapat
dua faktor utama di dalam mengontrol pertumbuhan dan per-
kembangan hewan percobaan (termasuk penotipa), yaitu
faktor keturunan dan faktor lingkungan (eksternal). Pening-
katan mutu genetis dan adanya kontrol genetik serta dengan
peningkatan pengelolaan hewan percobaan akan sangat mem-
bantu dalam peningkatan mutu/kualitas hewan percobaan,
walaupun hewan tersebut tergolong hewan yang konvensional.
Peningkatan sistem pemeliharaan akan lebih diperlukan dalam
kegiatan penelitian biomedis
dari
sistem yang konvensional
ke sistem pemeliharaan yang lebih tinggi lagi di masa men-
datang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kemajuan
jaman. Usaha sentralisasi maupun desentralisasi hewan per-
cobaan yang mencakup secara nasional dan dikelola secara
Cermin Dunia Kedokteran No. 42, 1987 53


You might also like