You are on page 1of 21

Ê 


 ‘ 
   
Salah satu unsur yang memegang peranan penting terhadap kesehatan masyarakat
adalah keterjangkuan obat yang beredar di masyarakat. Obat mungkin tidak di jangkau
dengan alasan pendistribusian yang tidak merata, namun kebanyakan obat tidak dapat
dijangkau masyarakat karena harganya yang mahal. Daya beli masyarakat Indonesia
terhadap obat masih rendah. Hal ini terlihat dari tingkat pengeluaran masyarakat
indonesia pada kesehatan yang hanya $5/Kapita/tahun hal ini jauh jka dibandingkan
dengan $12 di Malaysia dan $40 di Singapura.
Pada bulan Juni 2007 pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan baru yaitu adanya
program obat seribu, diharapkan melalui program ini tingkat jangkauan masyarakat
terhadap obat-obatan akan meningkat. Obat murah yang dimaksud merupakan obat-
obatan yang sering digunakan masyarakat. Obat Murah pada dasarnya adalah obat
obat bebas (OTC) yang tidak bermerek. Meski demikian agak berbeda dengan obat
generik karena dalam Obat Murah yang ditonjolkan adalah khasiatnya bukan nama
generiknya agar masyarakat awam mudah mengenalinya.
Secara teoritis kualitas dan khasiat Obat Murah tidak berbeda dengan obat yang lain
karena cara pembuatan dan bahan bakunya harus sesuai dengan metoda dan
spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Pemerintah bekerja sama dengan perusahaan obat yaitu PT. Indofarma, obat ini dijual
dengan harga Rp 1000 per strip, dimana setiap satu strip berisi 5-6 tablet. Dua belas
dari dua puluh jenis obat murah tersebut saat ini telah resmi beredar di pasaran. Obat-
obat tersebut merupakan obat yang banyak dikonsumsi masyarakat, yaitu obat
penurun panas, obat penurun panas anak, obat sakit kepala, obat flu, obat batuk dan
flu, obat batuk cair, obat batuk berdahak, obat maag, obat asma, obat tambah darah,
obat cacing, dan obat cacing anak. Program obat murah merupakan kerjasama antara
Departemen Kesehatan dan perusahaan obat, dan dalam pelaksanaannya obat itu
langsung didistribusikan ke apotik atau toko obat
Respon masyarakat terhadap munculnya obat murah ini beragam. Secara umum ada
dua pandangan. Pertama, pihak yang menyambut baik dan mendukung pemerintah.
Kedua, pihak yang skeptis dan meragukan kualitas obat murah. Adanya dua kelompok

c
yang berbeda pandangan terhadap program pemerintah ini bukan hal yang baru.
Ketika peraturan mengenai obat generik pertama kali diberlakukan, reaksi yang timbul
di masyarakat hampir serupa.
Kelompok masyarakat yang meragukan obat murah terlanjur menganggap bahwa obat
yang berkualitas adalah obat yang harganya mahal. Sedangkan, obat yang murah
selalu diasosiasikan dengan kualitas rendah dan untuk masyarakat miskin. Padahal,
tak selamanya obat berkualitas itu mahal, dan tidak pula selalu obat yang harganya
murah itu kualitasnya di bawah standar.
Namun pada kenyataannya dilapangan keberadaan obat murah ini belum diimbangi
dengan distribusi yang merata. PT. Indofarma selaku distributor tunggal belum bisa
menjangkau toko obat kecil dan warung-warung, bahkan yang berada di kota-kota
besar. Distribusi yang tidak merata juga disebabkan oleh adanya pembelian dalam
jumlah besar oleh distributor nakal yang ingin mengambil keuntungan dari murahnya
harga obat ini. Bahkan pembelian ini sudah berlangsung sebelum obat tersebut di jual
ke masyarakat luas.
Peran pelayanan kesehatan terhadap keberadaan obat murah juga masih rendah.
Kalangan dokter yang turut mempromosikan obat murah masih sangat sedikit. Hal ini
ditengarai banyak kalangan dokter yang belum tersentuh sosialisasi obat murah.
Akibatnya, dokter belum optimal memberikan edukasi tentang obat murah kepada
masyarakat.
Apakah obat yang mahal menjamin mutu obat dilihat dari segi penyembuhan?
Seorang dokter di Australia pernah ditanya oleh pasien yang berasal dari Indonesia
mengapa dia memberikan obat X yang harganya jauh lebih murah dibanding obat Y
untuk penyakitnya, si dokter kemudian menjawab karena memang obat X jauh lebih
bagus dibanding obat Y. Pada pasien-pasien Indonesia yang berada di Australia
memberikan kenyataan bukti bahwa obat murah justru lebih baik daripada obat mahal.
Hal ini dikarenakan produksi obat memang tidak semata-mata untuk pengobatan yang
ilmiah, tetapi juga untuk kepentingan komersial. Harga obat ditetapkan setelah
dihitung biaya riset, biaya pemasaran, promosi, bentuk sediaan, kemasan, rasa obat
agar dapat diterima dan menarik bagi konsumen dan dokter-dokter. Dan karena ilmu
marketing sudah sedemikian canggih, obat-obat yang kurang baik pun dapat
mengalahkan obat-obatan yang sebenarnya lebih baik.

j
Perdangan obat agak berbeda dengan perdagangan barang-barang yang lain. Dari segi
konsumen pasien sesungguhnya dalam keadaan yang lemah. Tidak seperti proses jual-
beli lainnya dimana pembeli adalah raja. Berapa harga obat sesungguhnya pasien tidak
tahu persis. Berbeda dengan jual beli baju misalnya, pembeli sadar akan biaya yang
akan dibayarnya dan bahkan dapat menawar harga itu apabila dinilainya. Ada
semacam ketidaktahuan dari para konsumen obat sehingga mereka menyerah dengan
harga yang ditawarkan kepadanya.
Selain itu masih ada faktor lain yang dapat lebih mendorong mahalnya harga obat
yaitu rasa aman yang ingin didapat. Tidak saja oleh para pasien yang diobati, tetapi
juga rasa aman dokter yang mengobati. Karena yang dipertaruhkan adalah kesehatan
atau bahkan jiwa seseorang, maka baik pasien maupun dokter akan cenderung
meminta dan memberi hadiah yang berlebih agar rasa aman pada keduanya dapat
dicapai. Hubungan pasien ±dokter yang alami seperti itu sering mengabaikan aspek ±
aspek rasional sehingga baik pasien maupun dokter sangat rentan terhadap upaya
pemasaran pabrik-pabrik obat, sehingga terjadi praktek-praktek pengobatan yang
kurang rasional.
Meletakkan obat semata-mata pada fungsi sosial dengan mengabaikan aspek ekonomi
sama sekali belum tentu juga akan membawa kebaikan bagi kemanusiaan. Keadaan
seperti ini mungkin kurang mendorong adanya riset sehingga penemuan obat-obat
yang baru akan terhambat, sebaliknya meletakkan obat semata-mata pada nilai
ekonomisnya tanpa memperhatikan fungsi sosial juga akan meletakkan obat semata-
mata sebagai barang dagangan atau komersial semata. Karena ini pengaturan terhadap
distribusi dan harga obat sangat penting untuk dilakukan pemerintah sebagai pembuat
kebijakan. Di Indonesia sendiri pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan yang
berhubungan dengan pengadaan obat terjangkau bagi masyarakat. Salah satunya
adalah adanya kebijakan obat generik yang sudah ada di pasaran. Obat generik
merupakan obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi oleh
semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalti. Sehingga harganya jauh
lebih murah dibandingkan obat paten.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf kesehatan rakyat melalui program obat
murah patut diacungi jempol. Namun jalannya tidak mudah. Jalan mendaki lagi terjal
dan berliku masih terbentang untuk membuat program obat murah benar-benar terasa

ñ
manfaatnya bagi masyarakat miskin. Sosialisasi, distribusi yang merata, pengawasan
ketat, dan ketegasan sikap terhadap oknum yang melanggar peraturan menjadi
pekerjaan rumah pemerintah demi menyukseskan program ini. Namun apakah benar
kebijakan obat murah ini mampu meningkatkan konsumsi obat di masyarakat
sehingga berefek pada peningkatan derajat kesehatan di masayarakat. Begitu banyak
macam persoalan yang dapat dikaji dari kebijakan obat murah ini sehingga didapat
hasil yang maksimal dari kebijakan ini.

 ‘ Ê 
Masalah ± masalah yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan obat adalah sebagai
berikut :
1.‘ Apakah kebijakan pemerintah dalam program obat murah mampu menjawab
tantangan dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat?
2.‘ Faktor-faktor apa sajakah yang menghambat pemerintah dalam kebijakan obat
murah tersebut?

˜
Ê  


 ‘  

WHO pada tahun 1946 mendefinisikan sehat sebagai keadaan sempurna dari
fisik, mental, dan sosial semata-mata tidak hanya terbebas dari penyakit ataupun
kecacatan. Sehat merupakan hak setiap orang sehingga peningkatan derajat kesehatan
masyarakat menurut undang-undang merupakan tanggung jawab setiap orang baik
partisipasi masyarakat dan komitmen pemerintah.
Menurut Hendrik L. Blum terdapat empat faktor utama yang berperan penting
dalam kesehatan yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan.
Keempat faktor tersebut saling berinteraksi satu sama lain secara dinamis
mempengaruhi derajat kesehatan perorangan dan masyarakat.


  

  

    II.‘
? ?




  

Determinan Derajat Kesehatan Penduduk (Henrick L. Blum)

Keempat faktor tersebut terdiri dari faktor perilaku/gaya hidup (life style),
faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis
cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor tersebut
saling berinteraksi yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan
masyarakat. Diantara faktor tersebut faktor perilaku manusia merupakan faktor

<
determinan yang paling besar dan paling sukar ditanggulangi, disusul dengan faktor
lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor perilaku yang lebih dominan
dibandingkan dengan faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga sangat
dipengaruhi oleh perilaku masyarakat.
Dalam konsep Blum ada 4 faktor determinan yang dikaji, masing-masing faktor
saling keterkaitan berikut penjelasannya :
1. Perilaku masyarakat
Perilaku masyarakat dalam menjaga kesehatan sangat memegang peranan penting.
Hal ini dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan dari dalam
diri masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Diperlukan suatu program untuk
menggerakan masyarakat menuju satu misi Indonesia Sehat. Sebagai tenaga motorik
tersebut adalah orang yang memiliki kompetensi dalam menggerakan masyarakat dan
paham akan nilai kesehatan masyarakat. Masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan
sehat akan menghasilkan budaya menjaga lingkungan yang bersih dan sehat.
Perilaku masyarakat dalam cara pandang terhadap proses penyembuhan suatu
penyakit memiliki dampak besar pada mutu kesehatan di masyarakat. Sebagai contoh
adalah keyakinan masyarakat terhadap jenis obat atau produk obat tertentu. Seseorang
belum tentu mau membeli obat dengan harga murah walaupun dengan kualitas yang sama
namun harganya lebih mahal. Anggapan bahwa harga menjamin kualitas menjadi alasan
mengapa mereka tidak mau membeli obat dengan harga murah, walaupun ia berasal dari
kondisi ekonomi menengah ke bawah. Atau contoh lain adalah keyakinan terhadap
pengobatan alternatif dibandingkan dengan datang ke dokter.
Pembuatan peraturan tentang berperilaku sehat juga harus dibarengi dengan
pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat. Sebab, apabila upaya dengan
menjatuhkan sanksi hanya bersifat jangka pendek. Pembinaan dapat dimulai dari
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai role
model harus diajak turut serta dalam menyukseskan program-program kesehatan.
2. Lingkungan
Berbicara mengenai lingkungan sering kali kita meninjau dari kondisi fisik.
Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi sumber berkembangnya
penyakit. Hal ini jelas membahayakan kesehatan masyarakat kita. Terjadinya penumpukan
sampah yang tidak dapat dikelola dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat

•
menjadi penyebab. Upaya menjaga lingkungan menjadi tanggung jawab semua pihak
untuk itulah perlu kesadaran semua pihak.
Puskesmas sendiri memiliki program kesehatan lingkungan dimana berperan
besar dalam mengukur, mengawasi, dan menjaga kesehatan lingkungan masyarakat.
namun dilematisnya di puskesmas jumlah tenaga kesehatan lingkungan sangat terbatas
padahal banyak penyakit yang berasal dari lingkungan kita seperti diare, demam
berdarah, malaria, TBC, cacar dan sebagainya.
Disamping lingkungan fisik juga ada lingkungan sosial yang berperan. Sebagai
mahluk sosial kita membutuhkan bantuan orang lain, sehingga interaksi individu satu
dengan yang lainnya harus terjalin dengan baik. Kondisi lingkungan sosial yang buruk
dapat menimbulkan masalah kejiwaan.
3. Pelayanan kesehatan
Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan masyarakat.
Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan
posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu
dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan. Terutama untuk pelayanan
kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas
sumber daya manusia di bidang kesehatan juga mesti ditingkatkan.
Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat
sangat besar perananya. sebab di puskesmaslah akan ditangani masyarakat yang
membutuhkan edukasi dan perawatan primer. Peranan Sarjana Kesehatan Masyarakat
sebagai manager yang memiliki kompetensi di bidang manajemen kesehatan
dibutuhkan dalam menyusun program-program kesehatan. Utamanya program-program
pencegahan penyakit yang bersifat preventif sehingga masyarakat tidaka banyak yang
jatuh sakit.
Banyak kejadian kematian yang seharusnya dapat dicegah seperti diare, demam
berdarah, malaria, dan penyakit degeneratif yang berkembang saat ini seperti jantung
karoner, stroke, diabetes militus dan lainnya. penyakit itu dapat dengan mudah dicegah
asalkan masyarakat paham dan melakukan nasehat dalam menjaga kondisi lingkungan
dan kesehatannya.

Ý
4. Genetik
Nasib suatu bangsa ditentukan oleh kualitas generasi mudanya. Oleh sebab itu
kita harus terus meningkatkan kualitas generasi muda kita agar mereka mampu
berkompetisi dan memiliki kreatifitas tinggi dalam membangun bangsanya.
Dalam hal ini kita harus memperhatikan status gizi balita sebab pada masa inilah
perkembangan otak anak yang menjadi asset kita dimasa mendatang. Namun masih
banyak saja anak Indonesia yang status gizinya kurang bahkan buruk. Padahal potensi
alam Indonesia cukup mendukung. oleh sebab itulah program penanggulangan
kekurangan gizi dan peningkatan status gizi masyarakat masih tetap diperlukan.
Utamanya program Posyandu yang biasanya dilaksanakan di tingkat RT/RW. Dengan
berjalannya program ini maka akan terdeteksi secara dini status gizi masyarakat dan
cepat dapat tertangani.
Program pemberian makanan tambahan di posyandu masih perlu terus
dijalankan, terutamanya daeraha yang miskin dan tingkat pendidikan masyarakatnya
rendah. Pengukuran berat badan balita sesuai dengan kms harus rutin dilakukan. Hal ini
untuk mendeteksi secara dini status gizi balita. Bukan saja pada gizi kurang kondisi
obesitas juga perlu dihindari. Bagaimana kualitas generasi mendatang sangat
menentukan kualitas bangas Indonesia mendatang.
Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang
bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut diselenggarakan
berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu. Termasuk
didalamnya upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Pembangunan
kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik
masyarakat, swasta maupun pemerintah.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan, diperlukan
dukungan Sistem Kesehatan Nasional yang tangguh. Subsistem pertama SKN adalah
upaya kesehatan. Salah upaya kesehatan yang dilakukan adalah dengan membuat
kebijakan-kebijakan yang berhubungan langsung dengan peningkatan upaya kesehatan,
salah satunya adalah kebijakan dalam program obat murah untuk masyarakat.

3
 ‘ MMÊ

Penentuan harga obat, sebagaimana ³komoditas´ yang lain, juga sangat dipengaruhi
beberapa hal, antara lain :
ú‘ Biaya Bahan Baku (bahan baku/zat aktif, bahan/zat tambahan dan bahan
pengemas)
ú‘ Biaya Operasional (É É É
)
ú‘ Biaya Marketing dan Promosi
ú‘ Biaya Distribusi
ú‘ Biaya Lain-lain (Umum, Penyusutan, Pajak, dan lain-lain).
Berikut adalah gambaran struktur harga obat hingga sampai di tangan pasien :

1.‘ Harga Pokok Produksi (HPP) atau yang sering disebut dengan   É
 
ÉÉ
   terdiri dari Biaya Bahan Baku (bahan aktif, bahan tambahan
dan bahan pengemas), biaya tenaga kerja langsung ( É), dan biaya É
 É
 (Biaya telepon, BBM, listrik,
 , training dll). Untuk industri
farmasi, biaya bahan baku bisa mencapai 70 ± 80% ,  É antara 5 ± 10%
, dan É É
 antara 15 ± 20 % dari HPP. Khusus untuk obat-obat lisensi
(  ) dan obat paten (  ) masih dibebani biaya lisensi/paten
serta kewajiban untuk membeli bahan baku dari pemberi lisensi/paten. Hal inilah
salah satu penyebab mengapa obat-obat yang masuk dalam kategori   

{
atau obat-obat paten harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan obat 
maupun  .
2.‘ Selanjutnya, HPP + Biaya Marketing + Biaya Lain-lain ( 
, termasuk
komisi dan bonus komisaris/direksi, baiya CSR, dll) + Bunga & Depresiasi + Laba
Operasional (profit) menjadi HJP (Harga Jual Pabrik) atau yang sering disebut
dengan  É
  ÉÉ

.
3.‘ HJP + Distribution fee (biaya distribusi) = HNA (?É É).
4.‘ HNA + Laba (apotek dan/atau PBF) + PPN = HJA (Harga Jual Apotek), yang
merupakan HET (Harga Eceran Tertinggi) yang dibayarkan oleh konsumen.
Penggolongan Obat
Industri farmasi membagi produknya menjadi 2 golongan besar, yaitu obat-obat
 /resep dan obat-obat OTC (É  É)/obat bebas. Obat golongan  ,
adalah obat yang hanya dapat dibeli dengan resep oleh dokter, sedangkan obat  bisa
dibeli langsung tanpa resep. Obat ethical ditandai dengan huruf ³K´ dalam lingkaran
merah, sedangkan obat OTC biasanya bertanda lingkaran biru (obat bebas terbatas) atau
lingkaran hijau (obat bebas). Termasuk dalam golongan OTC ini adalah produk-produk
kesehatan berupa makanan tambahan (ÉÉ
 ), seperti multivitamin, vit. C, 
, dan sebagainya. Untuk obat-obat golongan OTC ini, biasanya berlaku hukum pasar.
Artinya, laku-tidaknya produk sangat tergantung bagaimana strategi marketing (
 ) dari si pemilik produk dan masyarakat bebas untuk memilih produk yang hendak
digunakan. Tentu saja, agar konsumen mengenal produk yang diproduksi dan kemudian
tertarik untuk membeli, maka si pabrik obat harus mengeluarkan biaya untuk
mempromosikan obatnya. Promosi ini bisa melalui ATL (É), seperti iklan di
TV, Radio, majalah/surat kabar atau melalui BTL (É!  ), seperti penyebaran
brosur, penempelan leaflet, sponsor seminar dan sebagainya.
Lain halnya dengan obat-obat golongan  . Untuk obat-obat golongan ini, masyarakat
tidak bisa bebas memilih produknya, namun melalui dokter yang memeriksanya.
Kemudian oleh dokter dituliskan pada selembar resep yang diberikan dokter kepada si
pasien. Selanjutnya, si pasien menebus resep tadi di apotek untuk bisa mendapatkan obat.
Jadi disini konsumen ³tidak memiliki kebebasan´ dalam memilih obat yang hendak
dikonsumsinya, semuanya sudah ditentukan oleh dokter yang menanganinya. Hal inilah
yang kemudian menjadi salah satu masalah yang muncul karena dokter seolah-olah

c
memiliki kuasa untuk menentukan obat apa yang harus dikonsumsi oleh pasien dan pasien
seolah-olah tidak memiliki hak untuk memilih. Dalam hubungan antara industri farmasi
sebagai produsen ± dokter penulis resep dan pasien seperti tergambar dalam ilustrasi di
atas, kemudian timbul berbagai macam tudingan bahwa telah terjadi ³perselingkuhan´
antara dokter dengan industri farmasi. Industri farmasi dituduh ³menghalalkan segala cara´
untuk mempengaruhi dokter agar menuliskan obat yang diproduksinya. Cara-cara
mempengaruhi dokter tersebut dilakukan oleh industri farmasi melalui pasukan detailer
   
), mulai dari hal-hal yang berbau
  dan É (seperti
khasiat obat, efek samping, keunggulan produk dibanding pesaing, membiayai ongkos
untuk seminar/pelatihan, biaya langganan jurnal-jurnal ilmiah, sponsor penelitian, hingga
pada hal-hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dunia
 /kedokteran.
Yang tentunya biaya-biaya tersebut akan dihitung oleh produsen obat sebagai salah satu
faktor untuk menentukan harga suatu obat.
Faktor-Faktor Lain.
Selain faktor ± faktor diatas terdapat aspek-aspek berikut yang juga menjadi pertimbangan
suatu produsen obat dalam menentukan suatu harga obat dipasaran yaitu:
1.‘ Harga produk sejenis yang sudah ada di pasaran
2.‘ Tingkat kompetisi pasar
3.‘ Besarnya biaya promosi yang diperlukan
4.‘ Besarnya modal yang dikeluarkan (apalagi kalau untuk membuat obat tadi harus
invest alat/mesin baru)
5.‘ Besarnya laba/margin yang diinginkan.

 ‘  ! !


Harga obat di Indonesia memang bukan yang termahal di ASEAN. Hal ini
wajar dikarenakan dari segi pendapatan per kapita indonesia termasuk pada peringkat
bawah. Namun dibanding Cina, India, Pakistan dan Kuba yang relatif bukan lebih
miskin, harga obat kita jauh lebih mahal.
Sebenarnya harga obat yang mahal bukan semata-mata kesalahan pemerintah,
tetapi kesalahan dari masyarakat juga. Seringkali dari masyarakat justru lebih bangga
dan merasa lebih nyaman bila diberi obat yang mahal. Hal semacam ini yang mungkin
menjadikan salah satu alasan mengapa obat bermerk menjadi sangat mahal, mungkin

cc
bisa sampai lebih dari 30 kali harga obat generik berlogo. Padahal seperti yang kita
ketahui bahwa obat yang mahal belum tentu lebih berkualitas.
Tidak selamanya obat mahal itu obat bagus. Semuanya itu tergantung dari jenis
penyakit dan diagnosa yang tepat. Sebagai contoh orang yang menderita penyakit flu
mendapat obat dengan harga sebesar Rp.500.000, yang terdiri dari antibiotika generasi
terakhir dan obat yang lain. Ternyata orang tersebut tidak segera sembuh walaupun
obatnya mahal dan kita katahui bahwasanya penyakit flu itu disebabkan oleh virus yang
bisa sembuh sendiri (self limited) dengan kondisi tubuh yang prima. Misalnya dengan
penggunaan vitamin C yang meningkatkan daya tahan tubuh dan gizi yang baik serta
istirahat yang cukup.
Yang dimaksud obat bagus adalah obat yang mempunyai efek terapi. Untuk
mendapatkan efek terapi yang tepat haruslah dengan diagnosa yang tepat, dosis yang
tepat, waktu yang tepat, artinya menggunakan obat secara rasional; tidak harus obat
yang mahal-mahal.
Untuk meningkatkan keterjangkauan obat bagi masyarakat dalam memperoleh obat
yang murah, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan harga obat kembali dan
membuat aturan tentang harga jual obat generik di apotik melalui SK Menteri Kesehatan
Nomor 720/MENKES/SK/IX/2006 tentang Harga Obat Generik, tetapi pada kenyataannya
masih dijumpai adanya variasi dalam harga jual obat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
dalam perhitungan persentase keuntungan yang diambil oleh pihak apotik sehingga terjadi
perbedaan harga jual obat di masing-masing apotik. Selain itu, obat yang diturunkan harganya
di bawah HET berperan sebagai penyeimbang dari obat yang dinaikkan harganya.
Harga yang terjangkau merupakan suatu hal yang penting untuk menjamin akses obat
essensial di sektor pemerintah dan sektor swasta. Keterjangkauan adalah komponen kebijakan
obat nasional yang membutuhkan dukungan politik dan legislatif yaitu dalam hal mengurangi
pajak impor obat essensial, kebijakan harga obat, kebijakan obat generik dan substitusi obat
generik dan persamaan harga. Adanya perbedaan harga jual obat generik pada apotik
disebabkan pleh karena apotik dapat menentukan harga obat secara bebas atas berbagai
pertimbangan bahwa harga jual obat ditentukan oleh Ésecara bebas. Dengan demikian
harga obat di tingkat pengecer seperti apotik akan dipengaruhi oleh faktor besarnya marjin
ataupun biaya operasional lainnya yang diambil oleh Éapotik.
Sebenarnya terdapat beberapa cara agar harga obat di Indonesia menjadi lebih
murah, yaitu :

cj
c ‘ Impor dan distribusi bahan baku obat dilakukan oleh pemerintah, bila perlu
pemerintah memproduksi sendiri bahan baku obat. Dengan harapan pemerintah
akan lebih mudah mengkontrol ataupun dalam memberikan subsidi agar harga
produk jadi obat lebih dapat dikendalikan. Seperti kenyataan sekarang ini, HET
(Harga Eceran Tertinggi) yang diterapkan pemerintah tidak sepenuhnya berdampak
menurunkan harga obat. Mungkin tidak perlu semua jenis bahan baku obat yang
dikontrol pemerintah, tetapi bahan baku yang patennya sudah habis dan banyak
dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dengan pendistribusian bahan baku obat satu
pintu,pemerintah juga akan lebih mudah mengontrol kualitas bahan baku obat yang
beredar,sehingga kontrol terhadap kualitas obat yang beredar akan menjadi lebih
mudah. Selanjutnya penerapan HET yang terjangkau bisa menjadi lebih rasional.
j ‘ Melarang segala macam bentuk iklan obat. Bagaimanapun juga yang namanya
iklan harganya tidak murah dan bebannya tentu saja akan kembali kemasyarakat.
Apalagi bila iklan tidak rasional atau menyesatkan, tentu akan berdampak pada
pemborosan pemakaian obat. Dan yang ditakutkan lagi iklan justru menjadi
pembodohan kepada masyarakat. Mungkin kita para apoteker sebagai tenaga
kesehatan juga akan dibodohkan juga dengan promosi yang berupa diskon atau
potongan harga sehingga akan mempengaruhi kita dalam memberikan kebijakan
pelayanan. Mungkin dampak iklan ini juga akan mempengaruhi tenaga kesehatan
lain seperti dokter juga akan terpengaruhi dengan bentuk-bentuk kerjasama yang
cenderung meningkatkan harga yang sekali lagi akan merugikan Masyarakat
sebagai pasien. Oleh karena itu akan sangat baik dampaknya bila segala bentuk
iklan dihapuskan terhadap obat bebas sampai obat keras agar terjadi penurunan
harga obat.
ñ ‘ Mengasuransikan kesehatan terhadap semua penduduk. Bila semua penduduk
diasuransikan, obat akan dibeli oleh perusahaan asuransi berdasarkan lelang
termurah. Dengan cara seperti ini, maka industri obat akan cenderung berlomba-
lomba menjual obat dengan harga yang murah agar dibeli oleh perusahaan asuransi.
Disini pemerintah dan masyarakat tidak perlu lagi memikirkan harga obat karena
yang memikirkan pindah pada perusahaan asuransi.


 ‘ !Ê! "
Obat bukan semata-mata komoditi ekonomi tetapi sekaligus komoditi sosial.
Dalam Kebijakan Obat Nasional (Konas) disebutkan antara lain bahwa pemerintah
bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan obat esensial.
Oleh karena itu pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian
obat. Sedangkan pelaku usaha bertanggung jawab atas mutu obat, sementara itu
masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar tentang obat.
Ketersediaan dan pemerataan obat berarti tersedianya obat (drug availability) di
seluruh Indonesia baik jenis maupun jumlah obat, sesuai dengan kebutuhan nyata dan
pola penyakit. Sedangkan keterjangkauan obat berarti adanya jaminan akses obat
dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat khususnya masyarakat yang
tidak mampu baik melalui pelayanan kesehatan sektor publik maupun swasta.
Dengan adanya Program Obat Rakyat, Murah dan Berkualitas diharapkan dapat
menunjang strategi utama Depkes yaitu semua desa menjadi Desa Siaga, dimana
setiap desa memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan mencegah serta
mengatasi masalah kesehatan, termasuk mampu menyediakan obat untuk pelayanan
kesehatan dasar. Dalam Desa Siaga minimal terdapat satu Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) sebagai upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang
mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa.
Sumber pengadaan obat Poskesdes berasal dari Pemerintah melalui Puskesmas
maupun bantuan donatur Poskesdes. Namun sebagai UKBM diharapkan Poskesdes
dapat menyediakan obat sendiri. Maka dengan adanya kebijakan obat murah
diharapkan ketersediaan obat di setiap desa dapat tercapai, terutama obat-obatan
esensial yang sering digunakan.
Untuk Indonesia yang rakyatnya kebanyakan hidup miskin dan mudah
terserang penyakit, ketersediaan obat murah tentu saja menjadi harapan. Sayangnya,
harapan itu tak kunjung datang, obat rakyat yang murah dan berkualitas yang pernah
dijanjikan pemerintah hanya dianggap sebagai obat murahan yang tak berkualitas.
Menteri Kesehatan yang saat itu menjabat yaitu Siti Fadilah Supari
meluncurkan program obat murah untuk rakyat sedikit miskin yang diproduksi oleh
Indofarma. Program tersebut telah menghadirkan harapan baru bagi rakyat yang
sedang "panik" mengingat harga obat yang terus merangkak naik, dan tentunya sangat


menyengsarakan rakyat kecil. Kita tentu paham, untuk memenuhi kebutuhan makan
saja mereka sudah kepayahan, apalagi harus ditambah dengan kebutuhan obat yang
harganya kian melangit.
Program obat murah itu menyangkut pengadaan 20 jenis obat generik tak
berlogo hasil kerja sama pemerintah dengan PT Indofarma. Sepuluh obat serba seribu
itu di antaranya adalah obat batuk dan flu, obat flu, batuk berdahak, asma, penurun
panas anak, penurun panas, tambah darah, maag, sakit kepala, dan indo obat batuk
cair. Dilihat dari jenis obat- obat tersebut dapat dimengerti bahwa obat-obat itu sangat
dibutuhkan masyarakat, apalagi pada kondisi cuaca buruk.
Menurut Menteri Kesehatan, program itu juga bertujuan untuk memberikan
lapangan pekerjaan bagi tamatan apoteker yang masih menganggur serta mencegah
terjadinya pemalsuan obat. Dengan murahnya harga obat, maka pemalsuan obat
diharapkan dapat ditekan, dan penggunaan obat generik tak berlogo dalam jumlah
besar itu tentunya akan membuka lowongan kerja baru bagi tamatan apoteker.
Ironisnya, belum juga rakyat miskin bernafas sedikit lega, ada berita tak sedap
didengar. Obat itu sering tak sampai ke tangan konsumen karena langsung dibeli oleh
para spekulan. Tapi, pemerintah berjanji akan menangani para spekulan obat yang tak
bermoral itu, dan menjamin, obat murah itu akan dapat dengan mudah didapat di
warung-warung pada 3-6 bulan setelah penetapan itu.
Kini telah hampir 3 tahun berlalu sejak penetapan tersebut dan yang terjadi
adalah tren pasar obat generik ternyata justru mengalami penurunan. Jika pada tahun
2001 pasar obat generik mencapai 12 persen, tahun lalu tinggal 7,23 persen. Artinya
program obat murah belum menunjukkan dampak yang berarti bagi rakyat miskin,
bahkan boleh dikatakan tak mendapat respons yang cukup tinggi. Apalagi dengan
banyaknya obat generik yang kini bermunculan timbul anggapan, bahwa itu bukan
obat murah dalam arti obat berkualitas dengan harga murah, tapi itu adalah obat
murahan yang rendah kualitas.
Boleh saja pada waktu peluncuran pertamanya, Menteri Kesehatan
menjelaskan, "itu obat rakyat yang murah dan berkualitas, dan kualitasnya ada dalam
pemantauan", jadi bukan obat murahan yang tidak berkualitas. Tapi pada realitasnya
program tersebut belum mengena dihati rakyat miskin. Lantas apa yang salah dengan
program obat murah tersebut sehingga tidak digemari oleh masyarakat, dan sayangnya

c<
juga obat generik tak berlogo itu juga tak dikenal para dokter pada umumnya dengan
baik.

#!!Ê$
Niat baik pemerintah untuk menghadirkan obat murah sesungguhnya patut
mendapat pujian. Itu adalah kebijakan yang cerdas dan berpihak pada masyarakat,
dalam hal ini masyarakat miskin. Kita semua tahu, obat adalah kebutuhan yang amat
penting, bahkan telah menjadi kebutuhan dasar setiap orang, karena tak seorangpun
yang bebas dari serangan penyakit. Terlebih lagi ketika terjadi perubahan cuaca, atau
pada kondisi cuaca buruk, karena itu, pastilah semua orang membutuhkan obat, dan
penetapan obat murah tentu saja akan sangat membantu masyarakat.
Sangat disayangkan, promosi obat murah yang diluncurkan pemerintah itu,
tidak segencar promosi obat yang harganya selangit. Bukan hanya masyarakat yang
asing dengan obat murah itu, tetapi juga para dokter. Apalagi dengan banyaknya jenis
obat generik yang kini beredar, kita tentu paham promosinya tentu saja membutuhkan
biaya tinggi. Belum lagi banyaknya obat generik yang kini beredar (obat generik, obat
generik tak berlogo, obat generik berlogo) justru membuat masyarakat cenderung
meragukan khasiatnya.
Tren menurunnya obat generik itu mengindikasikan bahwa hingga kini
program obat murah itu kurang dipercaya oleh dokter ataupun masyarakat Dalam
diskusi bertajuk, "Obat Generik, Obat Murah atau Murahan", tanggal 27 Februari
2008 terlontar kesaksian bahwa dalam pengalaman penggunaannya, obat generik
ternyata juga memiliki kualitas yang rendah, sehingga dokter pun enggan
memberikannya pada pasien, belum lagi dengan adanya efek samping yang
mengakibatkan efektivitas obat generik itu dipertanyakan. Lebih aneh lagi obat
generik itu ternyata masih juga sulit di dapat di apotek, padahal jumlahnya mencapai
ratusan dan sering membuat pusing dokter untuk mengingatnya.
Harus diakui, semua kejelekan yang ditempelkan pada obat murah itu memang
belum merupakan hasil penyelidikan yang terpercaya, namun setidaknya itu mestinya
menjadi pendorong untuk pemerintah mengevaluasi program obat murah tersebut.
Kalau tidak berapa banyak uang yang harus terbuang percuma untuk membiayai
program obat murah itu.


Ê#  !!
Kegagalan obat murah untuk dipercaya oleh masyarakat sebenarnya terkait
minimnya koordinasi pemerintah dengan para dokter. Demikian juga dengan penjual
obat, dalam hal ini pemilik apotek, yang merupakan media penting bagi promosi
tersebut, jika memang pemerintah tak punya cukup uang untuk mempromosikan obat
murah itu layaknya promosi obat bermerek.
Apabila koordinasi Departemen Kesehatan terjalin baik dengan para dokter,
masyarakat tentu akan dapat menerima obat murah tersebut, karena yang
merekomendasikannya adalah dokter yang bertanggung jawab merawatnya. Ini,
tentunya akan memangkas biaya iklan yang sangat tinggi.
Kurangnya koordinasi itu juga terlihat, dengan tidak bersedianya dokter
memberikan obat generik karena kuatir akan efek samping dari penggunaan obat
tersebut. Padahal, jika ada koordinasi, pastilah ada umpan balik dari para dokter
sebagai upaya penjagaan kualitas obat murah tersebut.
Koordinasi yang tidak baik juga tercipta antara departemen kesehatan dengan
pemerintah kabupaten di daerah. Pemkab mengaku kesulitan untuk memantau
peredaran obat murah tersebut. Hal itu terjadi, karena kebijakan tersebut tidak
ditindaklanjuti dengan surat edaran ke setiap daerah. Padahal Departemen Kesehatan
RI sudah memproklamirkan peredaran obat serba murah, yakni seribu rupiah itu,
sudah beredar sejak 2 bulan lalu. Salah satu daerah yang merasakan kesulitan dalam
memantau peredaran obat murah adalah daerah sumenep, melalui Kepala Bidang
Farmasi dan Promosi Dinas Kesehatan Sumenep, mengatakan, kesulitan yang
dihadapi Pemkab maupun pihaknya dalam memantau peredaran obat murah itu,
karena Depkes masih terkesan setengah hati dalam mensukseskan peredaran obat
murah serba seribu tersebut. Menurutnya, obat murah yang dipasarkan Dinas
Kesehatan Sumenep itu, kurang diminati oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat
cenderung lebih suka berobat ke Puskesmas dengan menggunakan obat generik, dan
kurangnya peminat obat murah itu, dimungkinkan juga kurang sosialisasi dari Dinas
Kesehatan mengenai kegunaan maupun efek dari obat serba murah tersebut
Sangat disayangkan, jika program obat murah yang terdengar indah di telinga
itu hanya indah di atas kertas, apalagi mengingat begitu berartinya obat bagi
masyarakat miskin. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan sudah


sepatutnya mengevaluasi program obat murah tersebut. Jika tidak, obat murah untuk
rakyat hanya akan menjadi mimpi indah yang tak pernah menjadi kenyataan.

Ê! 
Sudah jelas bahwa tujuan utama dari kebijakan program obat murah dan
berkualitas ini adalah peningkatan derajat kesehatan di Indonesia. Program ini menjadi
tiang dalam pembangunan kesehatan di Indonesia, sehingga mampu mewujudkan
Indonesia 2020. Namun kenyataan dilapangan berbicara lain, karena ternyata program
yang baik belum tentu dapat berhasil baik. Sejumlah faktor-faktor penghambat
ditemui dilapangan dan mengagalkan keinginan dalam peningkatan derajat kesehatan
di Indonesia
Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa derajat kesehatan paling
dipengaruhi oleh perilaku masyarakat sendiri. Dalam kebijakan obat murah ini,
ketidakpercayaan masyarakat terhadap program ini merupakan faktor perilaku yang
memegang peranan penting terhadap hambatan dalam kesuksesan program ini.
Perilaku masyarakat sendiri yang tidak mendukung program ini menjadi batu
sandungan besar yang dihadapi program ini. Selain masalah kepercayaan, adanya
distributor nakal yang ingin mengambil kesempatan juga merupakan salah satu
perilaku masyarakat yang merugikan.
Melalui teori blumm dapat dilihat bahwa dalam membuat suatu kebijakan
sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diperlukan pendekatan-
pendekatan yang terhadap perilaku masyarakat sendiri. Suatu kebijakan yang baik
memerlukan analasis tajam terhadap kondisi masyarakat itu sendiri agar program yang
dihasilkan mampu tepat guna, tepat sasaran sehingga efektif dan efisien.









c3
Ê 

 ‘ Ê

1.‘ Kebijakan pemerintah dalam program ³obat rakyat, murah dan berkualitas´
belum mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini
dikarenakan ditemukan faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan program
tersebut.
2.‘ Faktor penghambat utama yang menyebabkan program obat murah tidak
berjalan sesuai sasaran adalah ketidakpercayaan masyarakat sendiri terhadap
kualitas obat murah yang ditawarkan pemerintah. Berdasarkan teori blumm di
ketahui bahwa faktor perilaku memiliki dampak paling besar terhadap derajat
kesehatan masyarakat, karena itu perilaku masyarakat yang tidak mempercayai
kualitas obat murah inilah yang menjadi faktor utama program ini tidak
berjalan sesuai sasaran.
3.‘ Ketidakpercayaan masyarakat maupun dokter untuk menggunakan obat murah
dikarenakan terdapat pemikiran yang tertanam bahwa ³harga menentukan
kualitas´ dan rasa aman yang ingin di dapat pasien maupun dokter ketika
menggunakan obat yang jauh lebih mahal.
4.‘ Faktor penghambat lain yang menyebabkan program ini tidak berjalan sesuai
sasaran adalah, kurangnya koordinasi antara departemen kesehatan dengan
dokter, pemerintah daerah dan distributor. Akibat koordinasi yang tidak baik
penggunaan obat murah ini pun tidak maksimal hasilnya dimasyarakat.

 ‘  
1.‘ Sebaiknya pemerintah melakukan perbaikan dalam program obat murah ini,
agar tidak menjadi suatu program yang sia-sia dan hanya membuang anggaran
negara
2.‘ Berdasarkan teori blumm diketahui bahwa perilaku masyarakat memegang
peranan penting dalam derajat kesehatan, karena itu untuk memperbaiki
program obat murah agar menjadi tepat sasaran yaitu dilakukan pendekatan-
pendekatan yang berhubungan dengan perilaku masyarakat.

c{
3.‘ Sosialisasi yang baik kepada masyarakat maupun dokter agar mau
mempergunakan obat murah sebaiknya menjadi fokus utama pemerintah dalam
program obat murah tersebut
4.‘ Adanya jaminan terhadap mutu dan kualitas obat murah dari pemerintah akan
membantu meningkatkan rasa aman bagi masyarakat maupun dokter yang
mempergunakan obat murah.

j
M
 Ê
 

Sulastomo"
, Jakarta, Gramedia, 2000
Notoatmodjo S, #$

, Jakarta, PT Rieneka Cipta, 2003.
Azwar. A. %

$
. Edisi ketiga. Binarupa Aksara. Jakarta.1996
http://www.sumenep.go.id/main.php?go=wisata&xkd=67. Peredaran obat murah. Diakses
pada tanggal 19 Februari 2010
www.antara.co.id/ Kebijakan Obat seribu. Diakses pada tanggal 19 Februari 2010
www.suarapembaruan.co.id/. Obat murah atau murahan. Diakses pada tanggal 20 Februari
2010
http://www.hukor.depkes.go.id Kebijakan pengaturan dan pengendalian harga obat dan
dampaknya bagi pertumbuhan indusri farmasi. Diakses pada tanggal 20 Februari 2010.

jc

You might also like