You are on page 1of 7

Sunday 21 june 2009 7 21 /06 /2009 10:11

Dominasi Realisme : Perspektif Hubungan Internasional


Mengenai Keamanan
                     Seiring berjalannya arus globalisasi dan perkembangan isu-isu kontemporer seperti
perubahan iklim, hak asasi manusia, budaya dan identitas, hal tersebut tidak mengubah
paradigma bahwa isu keamanan dan perang masih menjadi sesuatu yang vital dalam hubungan
internasional. Paradigma ini terbangun lewat dominasi realisme dalam hubungan internasional
dan kemampuannya untuk beradaptasi dan berevolusi sesuai kondisi jaman. Keterkaitan
keamanan dengan hubungan internasional dijelaskan dalam tiga pandangan yaitu identifikasi
realist dalam hubungan internasional yang menegaskan mengenai konflik diantara entitas yang
berdaulat dalam kondisi sistem dunia yang anarki, hubungan internasional yang dibentuk oleh
kaum teoritis dan pembuat kebijakan yang berusaha mengerti akan militer, politik, dan batas-
batas normatif sehingga menghindarkan konflik, hubungan internasional diminta untuk
menganalisis bukan hanya permulaan dan bagaimana perang itu berjalan namun juga bagaimana
untuk mencegah terjadinya perang.

                    Ketiga pandangan mengenai keterkaitan keamanan dengan hubungan internasional


ini memiliki persamaan pada konsep insecurity sehingga kepemilikan power menjadi sesuatu
yang tidak terelakkan untuk mewujudkan security. Dalam perkembangan hubungan
internasional, dikenal adanya tiga perdebatan besar yaitu perdebatan antara realisme dan
idealism, behavioralisme dan tradisionalisme, positivisme dan post-positivisme. Post-postivist
mencoba memandang keamanan dari sisi yang berbeda yaitu dari sisi perdamaian, dunia menurut
post-positivist, adalah sesuatu yang terkonstruksi secara sosial dan tidak obyektif sehingga jika
lebih banyak orang percaya bahwa perdamaian itu mungkin maka hal tersebut secara otomatis
bisa dimungkinkan terjadi. Pandangan lain diberikan oleh Wendt, bahwa bagaimana bila anarki
adalah kondisi yang dinginkan oleh negara-negara, sementara kaum feminist berargumen bahwa
kekerasan memiliki hubungan interkonektivitas baik dalam realm internasional, nasional,
keluarga sekalipun juga mengenai konsep emansipasi yang secara teoritis merupakan konsep
keamanan.
                    Pembahasan mengenai keamanan dimulai dengan poin arahan keamanan dari siapa,
apakah negara, masyarakat, atau individu? dan range dari ancaman yang seperti apakah yang
harus dipertimbangkan? Dalam konsepsi realis mengenai keamanan, Buzan mengidentifikasikan
tiga ancaman terhadap states yaitu ancaman terhadap ideologi dari negara, fisik dari negara
(populasi dan sumber daya), dan sistem politik negara. Sekalinya kita melakukan antisipasi
terhadap perang yang disebabkan oleh anarki, maka persiapan untuk perang tersebut (strategi)
menjadi suatu hal yang krusial. Keamanan bagi negara maupun masyarakat dan individual,
menurut Buzan, dipenganruhi oleh sector militer, politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bagi
realist, konflik merupakan sesuatu yang inherent dan tidak terhindarkan sehingga harapan yang
dapat diberikan bukan lagi perdamaian namun periode dimana terjadi kestabilan sistem (system-
wide war). Berbeda dengan pandangan liberalis yang mengatakan bahwa perang dapat dihindari
dan perdamaian dapat diciptakan melalui keuntungan-keuntungan perdagangan dan teori
perdamaian demokrasi. Varian lain dicetuskan oleh liberal institusionalis yang mengatakan
bahwa kerjasama dimungkinkan dalam situasi yang anarki dimana institusi memberikan
kejelasan informasi dan mencegah kecurigaan apabila pihak lain berbuat curang. Buzan
mengakhiri banyaknya perbedaan ini dengan mengatakan bahwa dunia yang ideal bukan pada
saat semua orang dengan sukses memperoleh keamanan melainkan ketika tidak ada lagi
pembicaraan mengenai keamanan.

                    Realisme memfokuskan analisisnya pada pengejaran terhadap power dan otonomi
dalam interaksi internasional dan tidak adanya keharmonisan interest diantara negara-negara
sehingga konsep self help menjadi penting dan kemampuan yang paling relevan adalah
kemampuan dibidang militer. Realis tidak menafikan prinsip-prinsip moral, hanya saja dalam
prakteknya moralitas individual dikalahkan oleh kelangsungan hidup negara dan penduduknya
serta pencapaian kepentingan nasional. Neo-realisme mengasumsikan sistem internasional yang
anarki memberikan pengaruh terhadap perilaku negara. Neo-realisme berpandangan bahwa
dimungkinkan adanya kerjasama didalam sistem yang anarki namun relative gain adalah tujuan
dari negara-negara yang terlibat di dalamnya bukan absolute gain seperti yang dikatakan oleh
neoliberal. Mengapa demikian? karena dalam suatu kerjasama dalam sistem anarki tidak ada
badan supranasional yang bisa memberikan jaminan bahwa anggotanya tidak melakukan
kecurangan satu dengan yang lainnya juga negara-negara yang terlibat didalamnya tidak dapat
meramalkan apakah teman di masa sekarang tetap menjadi teman di masa yang akan datang, ada
kemungkinan teman kita hari ini menjadi musuh kita di keesokan hari. Maka dengan demikian
negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut tidak akan rela apabila negara lain mengambil
keuntungan yang lebih besar dari apa yang ia dapatkan, terutama bagi negara-negara yang
memiliki power kuat, dia akan mempertahankan kondisi anarki dan kerjasama yang demikian,
karena ia diuntungkan.

                    Disimpulkan dari pandangan yang berbeda-beda, bahwa karakteristik dari hubungan
internasional adalah : (1) kompetisi negara-negara untuk mendapatkan power tidak terhindarkan
dan hal tersebut membawa pada kondisi insecurity, (2) pencarian terhadap keamanan berbasis
pada self help, (3) kecenderungan untuk bersandar pada penggunaan kekerasan dan ancaman
yang menguatkan insecurity, (4) aplikasi yang terbatas terhadap konsep moralitas karena
perilaku negara lain yang tidak dapat diprediksi, (5) eksistensi dari dilemma keamanan dimana
apabila suatu negara berusaha meningkatkan sekuritasnya, hal tersebut berjalan beriringan
dengan perasaan insekuritas negara lain. Balance of power menjadi penting untuk mencegah
adanya hegemoni regional maupun global, menciptakan keamanan dan stabilitas dalam sistem,
dan memperkecil kemungkinan terjadinya perang dengan berkoalisi meng-counter potensi
agresi. Metode untuk menciptakan ataupun mempertahankan balance of power ini adalah : (1)
kebijakan untuk membagi dan memerintah, mengurangi power dari yang kuat dengan aliansi
diatara yang lemah, (2) kompensasi teritori setelah perang untuk mengurangi keuntungan
pemenang perang, (3) membuat negara penyangga (buffer state), (4) formasi aliansi, (5)
mempertahankan pengaruh, (6) intervensi, (7) diplomatic bargaining, (8) menyelesaikan
sengketa lewat cara-cara legal dan damai, (9) mengurangi persenjataan atau diadakan perjanjian
mengenai persenjataan, (10) berperang untuk menciptakan atau mempertahankan preferred
balance.

                    Dominasi realisme juga ditunjukkan dengan tidak hanya memberikan jawaban
mengenai konsep keamanan namun juga strategi mewujudkan keamanan itu lewat pemanfaatan
power militer yang terbagi menjadi the continental school, the maritime school, dan the
aerospace school. Dimulai dengan pengertian strategi, yang seiring perkembangannya bukan lagi
merupakan sesuatu yang rigid dalam hubungannya dengan militer. Strategy is the art of
mobilizing and directing the total resources of a nation or community of nations, including the
armed forces to safeguard and promote its interest against its enemies, actual or potential.
Dalam the continental school, Mohan Malik membahas mengenai strategi pemikiran Niccolo
Machiavelli, Carl Von Clausewitz, Antonie Henri de Jomini, Sun Tzu, dan Basil Liddell-Hart.
Machiavelli, Clausewitz dan Jomini merupakan pemikir strategi perang offensif sementara Sun
Tzu dan Liddell-Hart merupakan pemikir strategi perang defensif. Pokok pemikiran Machiavelli
antara lain : (1) perang merupakan aktivitas yang penting dalam kehidupan politik, (2)
keberadaan dari struggles dan ketidakpastian memberikan bentuk pada karakter dan metode
perang, (3) tujuan dari perang haruslah kekalahan total dari musuh, (4) perang harus dilakukan
dengan singkat dan tajam, (5) segala sesuatu yang mungkin, dilakukan untuk mempertahankan
kemenangan termasuk kekuatan penuh dari pasukan, (6) perang harus terencana dan
terkoordinasi dengan baik, (7) perintah haruslah dipegang oleh satu orang, (8) kesuksesan militer
bergantung pada perintah dan kedisiplinan, (9) haruslah ada hubungan yang dekat dan harmonis
antara kewenangan otoritas politik dan militer. Clausewitz dan Jomini memandang perang
sebagai sesuatu yang fluid, dan berubah-ubah dan keduanya menempatkan fokus pada
konsentrasi fokus terhadap titik yang paling menentukan bagi musuh. Perbedaan keduanya
adalah bila Clausewitz adalah seorang pemikir maka Jomini adalah seorang praktisi. Meskipun
terdapat beberapa perbedaan, pada kenyataannya Jomini melengkapi analisis filosofis dari
Clausewitz dan banyak konsep dari Clausewitz yang menjadi basic pemikiran strategis masa
kini  yaitu friksi, peran perilaku manusia ketika menghadapi perang, ranah politik dalam perang,
pusat dari kekuatan (center of gravity), dan poin kulminasi dari kemenangan.

                    Liddell-Hart da Sun Tzu terkenal dengan strategi indirect approachnya. Keduanya
memilih strategi defensif dengan menempatkan pasukan secara menyebar dan
mengkonsentrasikan kekuatan pasukan pada titik kelemahan lawan. Pemikirannya menekankan
pada bagaimana menyerang psikologis lawan dengan membuatnya tidak berani untuk
menyerang. Strategi ini dituangkan dalam tiga hal : (1) memotong jalur komunikasi lawan
sehingga melumpuhkan pembangunan fisik, (2) mengunci/menyegel musuh dari garis
pertahanannya sehingga merusak moral dan keinginan musuh untuk berperang, (3) menyerang
pusat administrasi dan mengacaukan komunikasinya sehingga bagian otak dan anggota badannya
jadi terpotong. Kunci penting yang lainnya terletak pada surprise, speed, deception, manoeuvre,
penghancuran elemen supply, fleksibilitas, kekuatan ekonomi, mobilitas, moral, dan penggunaan
lines of least expectation dan least resistance. Pemikiran Liddel Hart dan Sun Tzu
mengutamakan kehancuran yang minimum dengan pertumpahan darah yang minimum, Bagi
mereka kemenangan merupakan pencapaian akhir tanpa pertempuran atau dengan kekalahan
seminimal mungkin.

                    Maritime school merupakan strategi peperangan dengan konsep menguasai laut
untuk membantu kontrol yang ada di darat. Fokusnya lebih kepada penghancuran kapal-kapal
dagang dan pembatasan maneuver musuh bukan untuk menghancurkan pasukan musuh.
Tokohnya adalah Alfred Mahan yang berpendapat sama dengan Clausewitz bahwa peperangan
merupakan subordinasi dari politik dan angkatan laut merupakan instrument dari kebijakan
nasional. Strategi ketiga adalah aerospace school dengan tokohnya Guilo Douhet, Billy Mitchel,
Hugh Trenchard, dan Alexander de Seversky. Kesemua pemikir ini yakin bahwa dengan
pemboman strategis dan power di udara dapat merusak moral penduduk dan menghancurkan
industry pertahanan musuh sehingga perang dapat diakhiri dengan cepat. Sangat penting untuk
disadari bahwa peperangan seharusnya tidak berlangsung berkepanjangan dan hasil yang
diinginkan dalam perang ini harus diperoleh secepat mungkin. Kekuatan paling hebat dalam
peperangan adalah dengan komprehensif strategi yakni penggabungan ketiga kekuatan baik
darat, laut, dan udara.

                    Kemampuan dominasi perspektif realisme mengenai keamanan ini juga ditunjukkan
dengan caranya untuk beradaptasi dan menjawab kritik yang diberikan kepadanya. Kritik
pertama adalah realisme dinilai tidak mampu menjelaskan perubahan-perubahan penting dalam
sistem internasional seperti perubahan ide mengenai kedaulatan dari jaman medieval ke jaman
modern, realist menjawab bahwa konsep kedaulatan boleh saja mengalami pergeseran namun
pola mengenai struggle for security, pentingnya power, ancaman dan balance of power tetap
sama dan signifikan. Kritik kedua adalah realisme dianggap mengabaikan pentingnya budaya
dan identitas dalam politik internasional, realist merespon dengan menggarisbawahi bahwa
biarpun terdapat perbedaan dalam budaya dan identitas, hal tersebut tidak menghalangi suatu
negara untuk berperilaku sama seperti asumsi-asumsi realist. Kritik ketiga menyatakan bahwa
realisme mengabaikan implikasi moral, realist merespon dengan penolakannya terhadap konsep
kerjasama internasional dan realist menggarisbawahi bahwa mengenali batas-batas percobaan
untuk mengubah politik internasional lebih baik daripada merubah sistem yang telah ada. Kritik
keempat adalah mengutuk teori realist yang mengatakan bahwa negara adalah aktor penting
dalam politik internasional padahal MNC dan aktor-aktor transnasional banyak bermunculan,
realist menjawabnya dengan membuat perbandingan bahwa British East India Company dimasa
lalu lebih hebat dibanding MNC-MNC yang ada sekarang dan bahwa negaralah yang membuat
regulasi untuk perusahaan multinasional, ditambahkan bahwa realis tidak menyatakan negara
sebagai satu-satunya aktor namun sebagai aktor utama.

                    Realist juga dikritik dengan konsep democratic peace milik liberalis, namun realis
menjawab demikian apabila negara demokrasi tidak saling serang dengan negara demokrasi
lainnya poin pentingnya bukan karena mereka menyelesaikan sengketa dengan cara-cara
demokrasi melainkan karena mereka menghadapi ancaman keamanan yang sama sehingga
tercipta common security. Ketika realist diserang karena ketidakmampuannya dalam
memprediksi peristiwa besar di akhir perang dingin yakni kehancuran Uni Soviet dan
kehancuran tembok Berlin, realist menjawab bahwa toh tidak ada satu teori pun dalam politik
internasional yang mampu memprediksi hal tersebut. Liberalist berpendapat bahwa dengan
adanya ketergantungan di bidang ekonomi akan tercipta perdamaian, realist memberikan
jawaban bahwa boleh saja negara tertarik pada kemakmuran dibanding power militer, namun
pada kenyataannya, negara-negara Asia Timur misalnya setelah makmur tetap memperkuat
kekuatan militernya. Realist juga tidak menolak keberadaan ancaman-ancaman baru yang lebih
popular yakni polusi lingkungan, pengungsi, kemiskinan, kelaparan yang dinilai lebih
signifikandari permasalahan keamanan. Realist menekankan bahwa perspektifnya masih relevan
mengenai masalah-masalah tersebut dengan mengambil contoh apabila terjadi degradasi
lingkungan, masalah tersebut akan memicu dan mempertajam persaingan internasional untuk
mendapatkan sumber-sumber daya alam yang semakin langka.

                    Kesimpulannya, terdapat dua alasan mengapa realisme dapat bertahan dan
mendominasi persoalan keamanan dalam hubungan internasional. Alasan pertamanya adalah
tidak ada peradigma lain yang mampu menawarkan sebuah paket teori dan hipotesis yang kaya
mengenai politik internasional yang bisa diaplikasikan lintas waktu dan batas. Kedua adalah
realisme bertahan karena ia pesimis terhadap self-interest, konflik dan power tampaknya mampu
menggambarkan elemen yang penting dari kondisi manusia. Kita mungkin tidak menyukai
realisme yang menekankan pada tragedi dan kejahatan, tetapi kita tetap belum menemukan cara
untuk melarikan diri dari hal-hal tersebut.

You might also like