You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Lebih dari setahun lalu, Thailand dan Kamboja terlibat ketegangan yang

dipicu oleh klaim masing-masing pihak akan kepemilikan kuil Preah Vihear di

perbatasan kedua negara. Candi berusia delapan abad itu memicu ketegangan setelah

UNESCO menetapkannya sebagai Warisan Dunia. Tentara kedua negara di

perbatasan bahkan sempat terlibat aksi saling tembak yang menjatuhkan korban jiwa.

Namun berkat upaya sejumlah pihak, ketegangan akhirnya bisa diredakan setelah

Thailand mengakui bahwa kuil itu memang masuk dalam bagian wilayah Kamboja.

Ketenangan dalam hubungan kedua negara bertetangga di Asia Tenggara ini

tak berlangsung lama. Beberapa hari terakhir, kedua negara kembali terlibat

ketegangan setelah Perdana Menteri Kamboja Hun Sen melantik mantan Perdana

Menteri Thailand Thaksin Shinawatra sebagai penasehat seniornya di bidang

ekonomi. Bangkok merasa berhak mempersoalkan keputusan itu mengingat Thaksin

dianggap buron yang lari dari jeratan hukum.

Aksi saling tarik duta besar pun terjadi. Thailand memprotes sikap Kamboja

dengan memanggil pulang duta besarnya dari negara itu. Tindakan serupa juga

dilakukan Kamboja. Terdengar kabar bahwa Thailand kemungkinan akan meninjau

ulang seluruh kesepakatan kerjasama dengan Kamboja. Tak hanya itu, Perdana

Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva bahkan mengancam akan memutuskan hubungan


dengan Kamboja lantaran Phnom Penh telah melakukan intervensi dalam urusan

internalnya.

Jika di Bangkok kebijakan Hun Sen itu dipandang sebagai campur tangan dan

pelecehan, di Phnom Penh justeru Hun Sen didukung. Alasannya, terlepas dari siapa

Thaksin dan vonis pengadilan Thailand terhadapnya, secara prinsip memanfaatkan

kebolehan dan keahlian seseorang bukan tindakan yang patut dipersalahkan. Tak ada

yang memungkiri kepandaian Tahksin Shinawatra dalam soal ekonomi. Karena itu,

pemerintah Phnom Penh ingin memanfaatkan kebolehan mantan Perdana Menteri

Thailand itu untuk memajukan perekonomian Kamboja. Di mata Kamboja,

kemarahan Thailand jelas tak beralasan. Terbukti bahwa Jepang juga pernah

melontarkan ide mengundang Thaksin mengajar di perguruan tinggi negara itu.

Bagaimanapun juga, keputusan pemerintah Kamboja bisa diartikan sebagai sikap

mbalelo dari negara itu terhadap Thailand. Sebab, Thaksin adalah buronan yang harus

menjalani hukuman di Thailand.


BAB II

Konflik Bersenjata Thailand dan

Kamboja, Sebuah Pembuktian

1.2 Realisme dalam Hubungan Internasional

Thailand dan Kamboja. Kedua negara ini awalnya merupakan dua negara Asia

Tenggara yang memiliki hubungan yang baik. Keduanya sangat jarang terlibat

pertikaian. Hal ini mungkin dikarenakan kedua negara tersebut memiliki banyak

persamaan. Salah satu persamaan tersebut adalah persamaan agama, yaitu agama

Buddha yang merupakan agama mayoritas di kedua negara tersebut1. Persamaan

kedua adalah dari sistem pemerintahan mereka, yang sama-sama mengadopsi sistem

monarki absolut. Namun hubungan yang baik itu lantas menjadi merenggang selepas

konflik Perang Indochina pada 1975, selepas Perang Indochina tersebut hubungan

kedua negara terus-menerus merenggang. Memburuknya hubungan Thailand dan

Kamboja diperparah dengan konflik antara keduanya yang semakin memanas

belakangan ini.

Permasalahannya terletak pada satu tempat : Kuil Preah Vihear. Sebuah kuil

berusia kurang-lebih 900 tahun tersebut kini sedang ramai-ramainya diperbincangkan.

Penyebabnya adalah karena wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil tersebut kini

sedang diperebutkan dua negara ASEAN, Thailand dan Kamboja. Kedua negara itu

sama-sama mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya, dan kedua negara

tersebut sama-sama berpendapat penempatan tentara dari negara lainnya di wilayah

tersebut merupakan bukti pelanggaran kedaulatan nasional mereka. Juli 2008 lalu,
kedua negara yang bertikai tersebut sama-sama menempatkan tentaranya yang

keseluruhannya berjumlah lebih dari 4000 pasukan di kawasan Kuil Preah Vihear

tersebut.

Sebenarnya sejak dahulu, wilayah seluas 4,6 km2 ini memang sudah menjadi

perdebatan. Akan tetapi, perdebatan semakin memanas sejak dikeluarkannya

keputusan UNESCO yang memasukkan kuil itu ke dalam daftar warisan sejarah

dunia. Keputusan UNESCO ini kemudian mengundang dua reaksi berbeda, reaksi

gembira dari rakyat Kamboja, serta reaksi negatif dari rakyat Thailand. Sebenarnya,

masalah kepemilikan kuil tersebut sudah diatur oleh Mahkamah Internasional tahun

1962, yang menyatakan kuil tersebut adalah milik rakyat Kamboja namun yang

menjadi masalah di sini adalah wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil tersebut yang

tidak dijelaskan kepemilikannya oleh Mahkamah Internasional.

Masalah kepemilikan yang tidak jelas inilah yang menyebabkan terjadinya

sengketa yang kemudian berlanjut dengan konflik bersenjata di wilayah itu. Konflik

bersenjata yang terjadi pada tanggal 15 Oktober yang lalu tersebut dikabarkan telah

menewaskan tiga tentara Kamboja dan membuat empat tentara Thailand luka-luka.

Hal ini tentu membuat warga Kamboja berang. Kemarahan warga Kamboja itu

menyebabkan kedutaan Thailand dan beberapa usaha milik warga Thailand dibakar dan

dijarah2 di Phnom Penh.

Perdebatan mengenai wilayah sekitar Kuil Preah Vihear itu sebenarnya sudah

dimulai sejak lama. Perdebatan ini muncul karena Kamboja, sebagai negara bekas jajahan

Perancis, dan Thailand menggunakan peta berbeda yang menunjukkan teritori masing-

masing negara. Dan karena peta yang digunakan kedua negara tersebut berbeda (Kamboja

menggunakan peta dari mantan penjajahnya, Perancis sementara Thailand menggunakan

petanya sendiri), tentu saja banyak terjadi salah penafsiran mengenai besar wilayah

masing-masing. Salah satu wilayah yang disalahtafsirkan itu adalah wilayah seluas 4,6
km2 di sekitar Kuil Preah Vihear tersebut. Dan apabila, misalnya klaim Kamboja tentang

wilayah 4,6 km2 ini lantas dikabulkan Thailand, Thailand khawatir Kamboja akan

semakin merajalela dan mencaplok pula wilayah-wilayah lain yang juga disalahtafsirkan.

Hal yang sama juga berlaku sebaliknya. Karena itu, tidak heran wilayah yang hanya

seluas 4,6 km2 itu begitu diperebutkan, baik oleh Kamboja maupun Thailand.

Akan tetapi, sebenarnya ada satu masalah lagi yang mendorong Kamboja maupun

Thailand untuk memiliki wilayah sekitar Kuil Preah Vihear tersebut. Alasan tersebut

adalah karena wilayah sekitar Kuil Preah Vihear adalah wilayah yang kaya akan sumber

daya mineral—minyak bumi dan gas alam. Kepemilikan akan wilayah sekitar Kuil Preah

Vihear itu berarti akan menjamin terpenuhinya kebutuhan energi negara pemiliknya, juga

sekaligus akan meningkatkan pemasukan negara tersebut dari sisi penjualan sumber

energi. Hal ini menambah alasan mengapa wilayah sekitar Kuil Preah Vihear merupakan

wilayah yang layak untuk diperebutkan, baik oleh Thailand dan Kamboja.

Mengenai perkembangan hubungan Thailand dan Kamboja sekarang, hubungan

kedua negara tersebut sudah tidak sehangat 15 Oktober lalu. Akan tetapi harus diakui

hubungan antar keduanya masih tegang. Walaupun usul untuk mengadakan pertemuan

antara kedua belah pihak yang bertikai tersebut telah disetujui oleh wakil Thailand dan

Kamboja, namun hingga kini Thailand dan Kamboja belum bertemu secara langsung

untuk menyelesaikan konflik perebutan wilayah sekitar Kuil Preah Vihear tersebut.

Menanggapi konflik yang terjadi antara Thailand-Kamboja tersebut, realisme

sebagai perspektif tertua dalam ilmu hubungan internasional menjelaskan berbagai asumsi

dasarnya dan hubungannya dengan konflik Thailand-Kamboja. Asumsi dasar realis yang

pertama, dan yang paling utama adalah bahwa negara dipandang sebagai satu-satunya

aktor utama dalam ilmu hubungan internasional, realis memandang bahwa aktor yang

paling berpengaruh dan paling penting dalam ilmu hubungan internasional adalah negara.

Dalam konflik Thailand-Kamboja, pentingnya peran negara sebagai aktor utama dalam
hubungan internasional sangat terasa. Hal ini dibuktikan dengan tidak signifikannya peran

aktor lain, selain negara dalam konflik Thailand-Kamboja ini. Semisal, keberadaan

Organisasi Internasional seperti PBB ataupun ASEAN, yang ternyata tidak mampu

memberi signifikansinya dalam penyelesaian masalah konflik bersenjata Thailand-

Kamboja. Masalah Thailand-Kamboja tersebut hanya akan dan mungkin dapat

diselesaikan bila negara-negara yang berkonflik, dalam hal ini Thailand dan Kamboja

bersedia untuk berdamai; yang sayangnya dalam kasus ini belum terlaksana.

Asumsi kedua kaum realis yang terbukti dalam kasus ini adalah bahwa hubungan

antar negara adalah hubungan yang bersifat konfliktual dan konflik tersebut pada

akhirnya harus diselesaikan melalui perang. Thailand dan Kamboja yang pada awalnya

berhubungan baik, pada akhirnya juga akan berkonflik, seperti asumsi kaum realis. Realis

memandang setiap hubungan antar negara pastilah mendatangkan konflik, karena dalam

hubungannya tiap-tiap negara pasti akan mencari dan melakukan upaya-upaya

sehubungan pemenuhan keinginan dan kepentingan nasional, sementara kepentingan

nasional tiap negara tentulah berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan akan mudah

sekali terjadi benturan-benturan kepentingan dalam hubungan antar negara, yang pada

akhirnya akan berbuntut pada timbulnya konflik antar negara. Dan realis memandang,

satu-satunya jalan bagi penyelesaian itu adalah perang, di mana pihak yang kuat

kemudian akan mengalahkan pihak yang lemah, dan pihak yang kalah kemudian akan

melakukan apa yang diinginkan pihak pemenang perang. Konflik perebutan wilayah

seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil Preah Vihear antar Thailand-Kamboja kini sudah dapat

dikatakan mencapai tahap perang, yang terjadi dengan adanya gencatan senjata yang

kemudian menimbulkan tewasnya tiga korban dari tentara Kamboja. Perang ini, menurut

realis, dapat dianggap sebagai jalan bagi penyelesaian konflik Thailand-Kamboja, atau

dapat juga dianggap sebagai awal dari sebuah jalan panjang menuju terciptanya

penyelesaian konflik Thailand-Kamboja.


Asumsi dasar realis ketiga yang terbukti relevan digunakan dalam menganalisa

konflik bersenjata Thailand-Kamboja adalah bahwa (dalam hubungan internasional) ada

konflik kepentingan yang dalam, baik antar negara maupun antar masyarakat3.

Menjelaskan mengenai anggapan kaum realis ini, penulis kembali menyebutkan

kepentingan nasional Thailand dan Kamboja dalam wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil

Preah Vihear itu, yaitu bahwa baik Thailand maupun Kamboja ingin menguasai wilayah

yang kaya akan sumber daya energi tersebut. Penguasaan akan wilayah yang

menghasilkan minyak bumi dan gas alam4 tersebut merupakan unsur yang sangat penting

bagi pemenuhan power Thailand ataupun Kamboja, yang dapat dikatakan belum memiliki

power yang terlalu besar.

Kepemilikan akan sumber energi—terutama di masa-masa di mana energi

dipandang sebagai sesuatu yang langka dan diperjuangkan oleh setiap negara seperti

sekarang—merupakan hal yang dapat menaikkan bargaining position/posisi tawar suatu

negara dalam dunia internasional, yang kemudian akan meningkatkan power suatu

negara. Kepemilikan sumber energi tersebut juga kemudian akan membawa angin segar

bagi perekonomian negara (dalam hal ini bagi Thailand atau Kamboja, tergantung

wilayah itu akan jatuh ke tangan siapa), karena setiap negara akan berebut untuk membeli

energi dari negara pemilik sumber energi tersebut. Penaikkan bargaining position yang

kemudian berdampak pada peningkatan power yang dimiliki, serta kemajuan dalam

bidang ekonomi; ketiga-tiganya merupakan unsur yang penting untuk mencapai

kepentingan nasional setiap negara, dan ketiga unsur tersebut akan dapat dicapai dengan

penguasaan wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil Preah Vihear. Karena itu, tidak heran

wilayah tersebut begitu diperebutkan Thailand dan Kamboja—karena wilayah tersebut

sangat krusial perannya dalam upaya pencapaian kepentingan nasional kedua negara.

1.3 MASALAH DAN SOLUSI


Penulis berpendapat perspektif realisme sangat tepat jika digunakan untuk

menganalisa kasus konflik bersenjata Thailand-Kamboja, berdasarkan asumsi dasar realis

bahwa dalam interaksi internasional antar negara, suatu konflik pasti terjadi. Konflik itu

mutlak dan pasti ada dalam hubungan antar negara, karena setiap negara akan terus

memperjuangkan kepentingan nasionalnya masing-masing tanpa peduli pada negara lain,

inilah yang menyebabkan pandangan kaum realis sering dikatakan amoral—seperti

pandangan Joseph Frankel yang mengatakan bahwa kaum realis cenderung menolak nilai

moral universal, dan sebaliknya bertindak berdasarkan kepentingan diri dan lebih

mementingkan kekuasaan/power daripada keadilan.

Walaupun terdengar kejam, namun nyatanya hal inilah yang terjadi dalam

hubungan antar negara di dunia internasional. Faktanya, negara lebih sering bertindak atas

dasar dan dengan pengaruh power6, dan karena itu, hal-hal lain seperti moralitas dan nilai

universal seringkali tidak mendapat porsi semestinya dalam hubungan internasional.

Penekanan hubungan internasional dalam masalah perolehan dan peningkatan power juga

sangat cocok diterapkan dalam konflik bersenjata Thailand-Kamboja, dengan penjelasan

yang kurang-lebih mirip dengan penjelasan unsur kepentingan nasional di atas.

Untuk menyimpulkan, penulis kembali menyebutkan berbagai asumsi dasar realis

yang kemudian telah dibuktikan kebenarannya dalam konflik bersenjata Thailand-

Kamboja ini. Pertama, bahwa negara adalah satu-satunya aktor utama dalam hubungan

internasional—yang dibuktikan dengan minimnya peran aktor non negara seperti

Organisasi Internasional dalam konflik bersenjata Thailand-Kamboja ini. Kedua, bahwa

hubungan antar negara adalah hubungan yang bersifat konfliktual dan konflik antar

mereka hanya dapat diselesaikan melalui perang—yang lantas kebenarannya dibuktikan

dengan pecahnya konflik bersenjata pada 15 Oktober 2008 lalu yang kemudian

menewaskan dua tentara Kamboja sebagai akibat konflik perebutan wilayah yang
berkepanjangan. Ketiga, asumsi bahwa adanya konflik kepentingan yang dalam antar

negara dan antar masyarakat—yang kemudian dijelaskan dengan menyebutkan rasa sama-

sama ingin memenuhi kepentingan nasional terkait dengan wilayah kaya minyak bumi

dan gas alam yang sedang diperebutkan Thailand dan Kamboja, serta implikasi

kepemilikan itu pada bargaining position dan power mereka. Serta keempat, pandangan

bahwa kaum realis cenderung menolak nilai moral universal dan lebih mementingkan

power daripada keadilan—yang terbukti dengan memburuknya hubungan Thailand dan

Kamboja sebagai negara tetangga yang seharusnya menerapkan good neighbour policy,

dan sebaliknya mulai saling menggunakan power-nya untuk menekan pihak yang lain.

Berbagai asumsi realis di atas terbukti benar dan terjadi dalam konflik bersenjata

Thailand-Kamboja, dan asumsi di atas kembali mengingatkan kita pada pandangan kaum

realis yang menurut penulis paling mewakili seluruh pandangan lain, yaitu bahwa dalam

dunia internasional, konflik merupakan hal yang mutlak dan pasti ada. Dan bahwa

hubungan internasional akan selalu berkisar pada usaha saling menjatuhkan antar negara,

demi tercapainya national interest masing-masing.

Kamboja

Kerajaan Kamboja adalah sebuah negara berbentuk monarki konstitusional

di Asia Tenggara. Negara ini merupakan penerus Kekaisaran Khmer yang pernah

menguasai seluruh Semenanjung Indochina antara abad ke-11 dan 14.

Kamboja berbatasan dengan Thailand di sebelah barat, Laos di utara, Vietnam

di timur, dan Teluk Thailand di selatan. Sungai Mekong dan Danau Tonle Sap

melintasi negara ini.


Menjelang kemerdekaannya, Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak

membantu negara Kamboja ini. Buku - buku taktik perang karangan perwira militer

Indonesia banyak digunakan oleh militer Kamboja. Oleh karenanya, para calon

perwira di militer Kamboja, wajib belajar dan dapat berbahasa Indonesia.

Sejarah

Perkembangan peradaban Kamboja terjadi pada abad 1 Masehi. Selama abad

ke-3,4 dan 5 Masehi, negara Funan dan Chenla bersatu untuk membangun daerah

Kamboja. Negara-negara ini mempunyai hubungan dekat dengan China dan India.

Kekuasaan dua negara ini runtuh ketika Kerajaan Khmer dibangun dan

berkuasa pada abad ke-9 sampai abad ke-13.

Kerajaan Khmer masih bertahan hingga abad ke-15. Ibukota Kerajaan Khmer

terletak di Angkor, sebuah daerah yang dibangu pada masa kejayaan Khmer. Angkor

Wat, yang dibangun juga pada saat itu, menjadi simbol bagi kekuasaan Khmer.

Pada tahun 1432, Khmer dikuasai oleh Kerajaan Thai. Dewan Kerajaan

Khmer memindahkan ibukota dari Angkor ke Lovek, dimana Kerajaan mendapat

keuntungan besar karena Lovek adalah bandar pelabuhan. Pertahanan Khmer di

Lovek akhirnya bisa dikuasai oleh Thai dan Vietnam, dan juga berakibat pada

hilangnya sebagian besar daerah Khmer. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1594. Selama

3 abad berikutnya, Khmer dikuasai oleh Raja-raja dari Thai dan Vietnam secara

bergilir.
Pada tahun 1863, Raja Norodom, yang dilantik oleh Thai, mencari

perlindungan kepada Perancis. Pada tahun 1867, Raja Norodom menandatangani

perjanjian dengan pihak Perancis yang isinya memberikan hak kontrol provinsi

Battambang dan Siem Reap yang menjadi bagian Thai. Akhirnya, kedua daerah ini

diberikan pada Kamboja pada tahun 1906 pada perjanjian perbatasan oleh Perancis

dan Thai.

Daerah

Kamboja dibagi menjadi 20 provinsi (khett) and 4 kota praja (krong). Daerah

Kamboja kemudian dibagi menjadi distrik(srok), komunion (khum), distrik besar

(khett), and kepulauan(koh).

1. Kota Praja (Krong):


o Phnom Penh
o Sihanoukville (Kampong Som)
o Pailin
o Kep
2. Provinsi (Khett):
o Banteay Meanchey, Battambang, Kampong Cham, Kampong
Chhnang, Kampong Speu, Kampong Thom, Kampot, Kandal, Koh
Kong, Kratié, Mondulkiri, Oddar Meancheay, Pursat, Preah Vihear,
Prey Veng, Ratanakiri, Siem Reap, Stung Treng, Svay Rieng and
Takéo
3. Kepulauan (Koh):
o Koh Sess
o Koh Polaway
o Koh Rong
o Koh Thass
o Koh Treas
o Koh Traolach
o Koh Tral
o Koh Tang
Geografi

Kamboja mempunyai area seluas 181.035 km2. Berbatasan dengan Thailand di

barat dan utara, Laos di timurlaut dan Vietnam di timur dan tenggara. Kenampakan

geografis yang menarik di Kamboja ialah adanya dataran lacustrine yang terbentuk

akibat banjir di Tonle Sap. Gunung tertinggi di Kamboja adalah Gunung Phnom

Aoral yang berketinggian sekitar 1.813 mdpl.

Ekonomi

Perekonomian Kamboja sempat turun pada masa Republik Demokratik

berkuasa. Tapi, pada tahun 1990-an, Kamboja menunjukkan kemajuan ekonomi yang

membanggakan. --202.151.10.162 10:22, 3 Februari 2010 (UTC)<nowiki>Teks ini

tidak akan diformat<nowiki>Teks ini tidak akan diformatTeks ini tidak akan

diformat</nowiki></nowiki> Kamboja memiliki industri unggulan yaitu pertanian

dan turisme.

Budaya
Budaya di Kamboja sangatlah dipengaruhi oleh agama Buddha Theravada.

Diantaranya dengan dibangunnya Angkor Wat. Kamboja juga memiliki atraksi

budaya yang lain, seperti, Festival Bonn OmTeuk, yaitu festival balap perahu nasional

yang diadakan setiap November. Rakyat Kamboja juga menyukai sepak bola

Thailand

Kerajaan Thailand (nama resmi: ราชอาณาจักรไทย Ratcha Anachak Thai;

juga Prathēt Thai), kadangkala juga disebut Mueang Taek, adalah sebuah negara di

Asia Tenggara yang berbatasan dengan Laos dan Kamboja di timur, Malaysia dan

Teluk Siam di selatan, dan Myanmar dan Laut Andaman di barat. Thailand dahulu

dikenal sebagai Siam sampai tanggal 11 Mei 1949. Kata "Thai" (ไทย) berarti

"kebebasan" dalam bahasa Thailand, namun juga dapat merujuk kepada suku Taek,

sehingga menyebabkan nama Siam masih digunakan di kalangan orang Thai terutama

kaum minoritas Tionghoa.

Sejarah

Asal mula Thailand secara tradisional dikaitkan dengan sebuah kerajaan yang

berumur pendek, Kerajaan Sukhothai yang didirikan pada tahun 1238. Kerajaan ini

kemudian diteruskan Kerajaan Ayutthaya yang didirikan pada pertengahan abad ke-14

dan berukuran lebih besar dibandingkan Sukhothai. Kebudayaan Thailand

dipengaruhi dengan kuat oleh Tiongkok dan India. Hubungan dengan beberapa negara

besar Eropa dimulai pada abad ke-16 namun meskipun mengalami tekanan yang kuat,

Thailand tetap bertahan sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak

pernah dijajah oleh negara Eropa, meski pengaruh Barat, termasuk ancaman

kekerasan, mengakibatkan berbagai perubahan pada abad ke-19 dan diberikannya

banyak kelonggaran bagi pedagang-pedagang Britania.


Ekonomi

Setelah menikmati rata-rata pertumbuhan tertinggi di dunia dari tahun 1985

hingga 1995 - rata-rata 9% per tahun - tekanan spekulatif yang meningkat terhadap

mata uang Thailand, Baht, pada tahun 1997 menyebabkan terjadinya krisis yang

membuka kelemahan sektor keuangan dan memaksa pemerintah untuk

mengambangkan Baht. Setelah sekian lama dipatok pada nilai 25 Baht untuk satu

dolar AS, Baht mencapai titik terendahnya pada kisaran 56 Baht pada Januari 1998

dan ekonominya melemah sebesar 10,2% pada tahun yang sama. Krisis ini kemudian

meluas ke krisis finansial Asia.

Thailand memasuki babak pemulihan pada tahun 1999; ekonominya menguat

4,2% dan tumbuh 4,4% pada tahun 2000, kebanyakan merupakan hasil dari ekspor

yang kuat - yang meningkat sekitar 20% pada tahun 2000. Pertumbuhan sempat

diperlambat ekonomi dunia yang melunak pada tahun 2001, namun kembali menguat

pada tahun-tahun berikut berkat pertumbuhan yang kuat di RRC dan beberapa

program stimulan dalam negeri serta Kebijakan Dua Jalur yang ditempuh pemerintah

Thaksin Shinawatra. Pertumbuhan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai 6,3%, dan

diperkirakan pada 8% dan 10% pada tahun 2004 dan 2005.

Sektor pariwisata menyumbang banyak kepada ekonomi Thailand, dan

industri ini memperoleh keuntungan tambahan dari melemahnya Baht dan stabilitas

Thailand. Kedatangan wisatawan pada tahun 2002 (10,9 juta) mencerminkan kenaikan

sebesar 7,3% dari tahun sebelumnya (10,1 juta).

Provinsi
Utara • Lampang • Phichit
• Lamphun • Phitsanulok
• Chiang Mai • Mae Hong Son • Phrae
• Chiang Rai • Nakhon Sawan • Sukhothai
• Kamphaeng • Nan • Tak
Phet • Phayao • Uthai Thani
• Phetchabun • Uttaradit

Timur

• Chachoengsao
• Chanthaburi
• Chonburi
• Rayong
• Prachinburi
• Srakaeo
• Trat

Selatan • Ranong
• Satun
• Chumphon • Songkhla
• Krabi • Surat Thani
• Nakhon Si Thammarat • Trang
• Narathiwat • Yala
• Pattani
• Phang Nga
• Phattalung
• Phuket

Timur Laut • Nongbua Lamphu


• Nong Khai
• Amnat Charoen • Roi Et
• Buriram • Sakhon Nakhon
• Chaiyaphum • Sisaket
• Kalasin • Surin
• Khon Kaen • Ubon Ratchathani
• Loei • Udon Thani
• Maha Sarakham • Yasothon
• Mukdahan
• Nakhon Phanom
• Nakhon Ratchasima

Tengah • Kanchanaburi
• Lopburi
• Ang Thong • Nakhon Nayok
• Ayutthaya • Nakhon Pathom
• Bangkok • Nonthaburi
• Chainat • Pathumthani
• Phetchaburi • Saraburi
• Prachuap Khiri Khan • Sing Buri
• Ratchaburi • Suphanburi
• Samut Prakan
• Samut Sakhon
• Samut Songkhram

Geografi

Thailand merupakan tempat terletaknya beberapa wilayah geografis yang

berbeda. Di sebelah utara, keadaannya bergunung-gunung, dan titik tertingginya

berada di Doi Inthanon (2.576 m). Sebelah timur laut terdiri dari Hamparan Khorat,

yang dibatasi di timur oleh sungai Mekong. Wilayah tengah negara didominasi

lembah sungai Chao Phraya yang hampir seluruhnya datar, dan mengalir ke Teluk

Thailand. Di sebelah selatan terdapat Tanah Genting Kra yang melebar ke

Semenanjung Melayu.
Cuaca setempat adalah tropis dan bercirikan monsun. Ada monsun hujan,

hangat dan berawan dari sebelah barat daya antara pertengahan Mei dan September,

serta monsun yang kering dan sejuk dari sebelah timur laut dari November hingga

pertengahan Maret. Tanah genting di sebelah selatan selalu panas dan lembab. Kota-

kota besar selain ibu kota Bangkok termasuk Nakhon Ratchasima, Nakhon Sawan,

Chiang Mai, dan Songkhla.

Thailand berbatasan dengan Laos dan Myanmar di sebelah utara, dengan

Malaysia dan Teluk Siam di selatan, dengan Myanmar dan Laut Timur di barat dan

dengan Laos dan Kamboja di timur. Koordinat geografisnya adalah 5°-21° LU dan

97°-106° BT

Demografi

Populasi Thailand didominasi etnis Thai dan Lao, yang berjumlah 3/4 dari

seluruh penduduk. Selain itu juga terdapat komunitas besar etnis Tionghoa yang

secara sejarah memegang peranan yang besar dalam bidang ekonomi. Etnis lainnya

termasuk etnis Melayu di selatan, Mon, Khmer dan berbagai suku orang bukit.

Sekitar 95% penduduk Thailand adalah pemeluk agama Buddha aliran

Theravada, namun ada minoritas kecil pemeluk agama Islam, Kristen dan Hindu.

Bahasa Thailand merupakan bahasa nasional Thailand, yang ditulis menggunakan

aksaranya sendiri, tetapi ada banyak juga bahasa daerah lainnya. Bahasa Inggris juga

diajarkan secara luas di sekolah.


Budaya

Muay Thai, sejenis kickboxing ala Thailand, adalah olahraga nasional di

Thailand dan merupakan seni beladiri setempat. Popularitasnya memuncak di seluruh

dunia pada tahun 1990-an. Ada pula seni beladiri yang mirip dengan muay Thai di

negara-negara lain di Asia Tenggara.

Ucapan penyambutan yang umum di Thailand adalah isyarat bernama wai,

yang gerakannya mirip dengan gerakan sembahyang. Hal-hal yang tabu dilakukan di

antaranya menyentuh kepala seseorang dan menunjuk dengan kaki, karena kepala dan

kaki masing-masing merupakan bagian tubuh yang paling atas dan bawah.

Masakan Thailand mencampurkan empat macam rasa yang dasar: manis, pedas, asam

dan asin.

1.4 Akankah ASEAN Charter Berhasil: Refleksi Melalui Konflik

Thailand-Kamboja

Perkembangan terakhir konflik Kamboja-Thailand adalah sikap Thailand yang

menolak intervensi pihak ketiga, dalam hal ini ASEAN, di dalam penyelesaian konflik

perbatasan. Sikap Thailand ini dapat memberikan gambaran apa yang sesungguhnya

terjadi di kawasan Asia Tenggara, khususnya di dalam tubuh negara-negara anggota

ASEAN. Dimana pada akhirnya fenomena tersebut dapat menjelaskan mengapa

upaya kerjasama ASEAN yang lebih erat sulit untuk dijalankan.

Perspektif-Perspektif Dominan di dalam Hubungan Internasional


Pola interaksi sebuah negara ditentukan oleh bagaimana cara pandang negara

tersebut dalam melihat sistem internasional. Ini artinya, bagaimana sebuah negara

bertindak ditentukan oleh perspektif apa yang digunakan oleh negara tersebut untuk

memandang atau menilai dinamika internasional yang berkembang. Dimana pada

akhirnya, hasil penilaian tersebut akan diimplementasikan oleh negara dalam bentuk

kebijakan luar negeri.

Di dalam Ilmu Hubungan Internasional dikenal 2 perspektif dominan yang

mempengaruhi negara dalam menyusun kebijakan luar negerinya. Kedua perspektif

ini memiliki pandangan yang saling bertolak belakang satu sama lain.

Perspektif pertama adalah Perspektif Realis. Perspektif ini menyatakan bahwa

1) state of nature dari sistem internasional adalah anarki atau tidak adanya satu

otoritas pun yang mampu mengatur negara negara dan memiliki kedudukan di

atas negara;

2) Dengan demikian negara memiliki kedaulatan mutlak di dalam sistem

internasional;

3) Pendekatan militer merupakan metode penyelesaian utama di dalam setiap

konflik yang terjadi, dan;

4) Persepektif Realis tidak mempercayai kerjasama internasional.

Perspektif kedua adalah Perspektif Liberalis. Berbeda dengan Realisme, Liberalisme

menyatakan bahwa
1) di dalam sistem internasional terdapat norma dan hukum yang mengatur

aktivitas negara-negara;

2) Dialog atau diplomasi merupakan metode penyelesaian konflik yang utama,

dan;

3) Perspektif Liberalis mempercayai bahwa kerjasama internasional

memberikan hasil yang positif bagi negara dan sistem internasional.

Konflik Thailand-Kamboja dan ASEAN Charter

Perkembangan terakhir dari konflik Thailand-Kamboja adalah penolakan

Thailand bagi keterlibatan pihak ketiga di dalam penyelasaian konflik. Thailand

menginginkan konflik diselesaikan secara bilateral antara Thailand dan Kamboja saja.

Tidak dapat disangkal kebijakan Thailand ini bersumber dari pandangannya bahwa

keterlibatan pihak ketiga akan mengancam kedaulatan Thailand sebagai sebuah

negara.

Melalui sikap Thailand tersebut dapat dilihat perspektif apa yang digunakan

oleh Thailand dalam menyusun kebijakan luar negerinya, yaitu perspektif realis yang

menempatkan kedaulatan sebagai hak mutlak sebuah negara dimana keterlibatan

pihak lain dalam penyelesaian masalah dianggap sebagai ancaman atas kedaulatan

negara.

Diantara negara-negara ASEAN, Thailand bukanlah negara satu-satunya

yang menggunakan Realisme sebagai perspektif luar negerinya, melainkan seluruh

negara anggota ASEAN. Realisme merupakan perspektif dominan yang digunakan

oleh negara-negara anggota ASEAN dalam menyusun kebijakan luar negerinya. Hal
ini dapat dilihat dari kesepakatan negara-negara anggota menerapkan prinsip non-

intervensi di dalam mekanisme kerjasama ASEAN. ASEAN tidak diperbolehkan ikut

campur di dalam penyelesaian masalah (konflik) yang dihadapi oleh negara-negara

anggotanya. Campur tangan ASEAN dipandang sebagai campur tangan pihak ketiga

yang mengancam kedaulatan negara.

Salah satu mimpi besar ASEAN saat ini adalah mewujudkan regionalisme di

kawasan Asia Tenggara. Upaya ini salah satunya dilakukan dengan menyusun Piagam

ASEAN (ASEAN Charter) yang akan digunakan sebagai landasan penyatuan

kerjasama ASEAN yang lebih erat.

Jika kita berbicara mengenai kerjasama multilateral ataupun regionalisme

maka hal itu pasti erat kaitannya dengan perspektif Liberalis yang mengakui

keberadaan kerjasama internasional dan memandang bahwa kerjasama internasional

akan memberikan sumbangan positif bagi negara. Dengan kata lain, kerjasama

multilateral/regionalisme merupakan produk dari perspektif Liberalis.

Pandangan liberalis ini bertolak belakang dengan pandangan Realis yang

melihat sebaliknya. Bagi realisme, kerjasama internasional, apapun bentuknya, tidak

akan memberikan keuntungan bagi sebuah negara dan juga tidak akan memberikan

sumbangan apapun bagi sistem internasional karena di dalam sistem internasional

yang anarki, prinsip yang berlaku adalah self help, yaitu setiap negara hanya akan

mementingkan dirinya masing-masing dan berbagai hal hanya dapat diusahakan oleh

negara bersangkutan itu sendiri. Dengan kata lain, bagi perspektif Realis, kerjasama

multilateral/regionalisme dilihat sebagai ancaman dibandingkan peluang.


Indonesia Dorong Thailand-Kamboja Selesaikan Konflik Secara Dwipihak

Singapura ( Berita ) : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai masih

ada peluang bagi Thailand dan Kamboja untuk menyelesaikan masalah sengketa

berbatasan kedua negara secara dwipihak.

Kepala Negara mengatakan bahwa ia melakukan pertemuan dwipihak dengan

Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva dan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen

secara berturut-turut di sela-sela pertemuan puncak APEC ke-17 di Singapura selama

masing-masing 30 menit sehingga banyak pihak menduga Indonesia menjadi mediator

dalam sengketa perbatasan itu.

Dwipihak

Presiden mengatakan bahwa ia menyampaikan kepada dua pemimpin ASEAN

itu untuk menyelesaikan permasalahan itu secara dwipihak. Kepala Negara bertemu

dengan kedua pemimpin ASEAN itu sebagai seorang saudara sesama ASEAN

sehingga dapat bertukar pikiran dari hati ke hati.

Lebih bagus selesai secara bilateral tanpa harus dibawa ke forum ASEAN

apalagi diinternasionalisasikan. Itu tidak baik bagi keluarga besar ASEAN.

Menurut Presiden Yudhoyono, pertemuan tersebut berlangsung dengan baik, apalagi

kedua kepala pemerintahan menyatakan ingin menyelesaikan permasalahannya secara

dwipihak.

Pertikaian antara Kamboja dan Thailand –kedua negara yang berbatasan

darat– berpusat pada semak belukar seluas 4,6 km persegi di dekat kuil kuno berusia

900 tahun, Preah Vihear, di hutan tebing curam yang memisahkan kedua negara.
Kedua negara sudah terlibat pertikaian sejak berabad-abad lalu ketika kerajaan

Thailand dan Khmer saling berperang memperebutkan wilayah dan kekuasaan.

Pada tahun 1962, pengadilan internasional memutuskan Kamboja sebagai

pemilik candi itu, namun tanah yang mengelilinginya masih menjadi wilayah yang

diperebutkan.

Keputusan PBB memasukkan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia

UNESCO menghidupkan kembali ketegangan atas masalah itu.

Ketegangan makin meningkat awal Juli 2008 ketika tentara Kamboja menahan

tiga pengunjuk rasa Thailand yang masuk ke situs itu tanpa izin. Hal itu diikuti

dengan penempatan militer masing-masing negara di sekitar kuil itu. Sekalipun kedua

kubu sudah melakukan serangkaian putaran perundingan atas masalah itu, ternyata

hingga kini mereka gagal mencapai kesepakatan. Bahkan tentara dari kedua negara

telah beberapa kali melakukan baku tembak sehingga jatuh korban jiwa. Tahun 2003,

Kedutaan Besar Thailand di Phnom Penh dibakar para perusuh yang marah karena

komentar yang diduga dikeluarkan oleh seorang artis Thailand bahwa kompleks candi

Angkor Wat harus dikembalikan ke Thailand.

Pekan lalu ketegangan antara kedua negara memburuk, dimana masing-masing

negara menarik pulang duta besarnya karena keputusan Perdana Menteri Kamboja

Hun Sen menunjuk mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra sebagai

penasihat ekonominya.

Kamboja kemudian menolak permintaan Thailand untuk mengekstradisi

Thaksin Shinawatra, sehingga memperkeruh sengketa kasus pengangkatan Phnom

Penh atas pengusaha besar itu, yang ditumbangkan dalam kudeta 2006 dan kini
tinggal di pengasingan untuk menghindari hukuman penjara karena kasus korupsi.

Thaksin dan Hun Sen bersahabat cukup erat selama beberapa tahun dan juga

terkadang bermain golf bersama. ( ant )


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan perbedaan pandangan yang sedemikian jauh sangat sulit dibayangkan

bahwa negara-negara yang mengadopsi prinsip-prinsip realis dapat membangun dan

menjalin kerjasama yang erat di antara mereka. Namun kondisi inilah yang terjadi di

Asia Tenggara. Dengan fakta yang demikian sangat sulit mengharapkan kerjasama

yang lebih erat akan tercapai di antara negara-negara anggota ASEAN sekalipun

Piagam ASEAN telah diberlakukan. Piagam ASEAN yang berciri liberalis akan selalu

berbenturan dengan kebijakan negara-negara anggotanya yang bercirikan realis.

Dengan demikian upaya selanjutnya yang harus menjadi prioritas ASEAN,

setelah menyusun Piagam ASEAN, adalah membongkar pola pikir negara-negara

anggotanya untuk lebih liberalis sehingga mau melepaskan sebagian kedaulatannya

kepada entitas yang lebih tinggi (ASEAN) dan menjalin kerjasama yang lebih erat

diantara negara-negara anggota.


DAFTAR REFERENSI

Archer, Clive. International Organizations. London : Routledge, 2000.


Frankel, Benjamin. Roots of Realism. London: Frank Cass and Company, 1996.
Jackson, Robert dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Rujukan dari internet :

Brady, Brendan and Thet Sambath. Preah Vihear and Oil. http://preahvihear.com/?p=6,
diakses pada 28 Oktober 2008, pukul 03.30.
Manangka, Derek. Bara Dendam Thailand-Kamboja, Konflik Thailand dan Kamboja (1).
http://www.inilah.com/berita/politik/2008/10/18/55775/bara-dendam-thailand-kamboja/,
diakses pada 27 Oktober 2008, pukul 15.05.
400-an Warga Thailand Tinggalkan Kamboja.
http://www.inilah.com/berita/politik/2008/10/16/55350 /400-an-warga-thailand-
tinggalkan-kamboja/, diakses pada 27 Oktober 2008, pukul 15.19.
Bentrok, Anggaran Militer Kamboja Ditingkatkan.
http://www.inilah.com/berita/politik/2008 /10/17/55545/bentrok-anggaran-militer-
kamboja-ditingkatkan/, diakses pada 28 Oktober 2008, pukul 06.20.
Oil and Gas Resources. http://www.moc.gov.kh/national_data_resource/ Mine%20And
%20Energy%20Resources/Oil%20and%20Gas%20Resources.html, diakses pada 28
Oktober 2008, pukul 06.20.
Preah Vihear for Koh Kong and Natural Gas /
Oil.http://antithaksin.wordpress.com/2008/10 /16/preah-vihear-for-koh-kong-and-
natuaral-gasoil/, diakses pada 28 Oktober 2008, pukul 06.20.
MAKALAH

KELOMPOK

TENTANG KONFLIK THAILAND KAMBOJA

OLEH :

RIZKY NOVID H 90801/2007

PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


2010

You might also like