You are on page 1of 42

ABORTUS, PERDARAHAN ANTEPARTUM,

& PERDARAHAN POSPARTUM

Disusun oleh :

Jacob Trisusilo Salean 05-045

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2009
ABORTUS

Latar Belakang

Abortus provocatus adalah istilah Latin yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran
dan hukum. Maksudnya adalah dengan sengaja mengakhiri kehidupan kandungan dalam rahim
seseorang perempuan hamil. Karena itu abortus provocatus harus dibedakan dengan abortus
spontaneus, dimana kandungan seorang perempuan hamil dengan spontan gugur. Jadi perlu
dibedakan antara “ abortus yang disengaja” dan “abortus spontan”.

Secara medis abortus dimengerti sebagai penghentian kehamilan selama janin belum viable,
belum dapat hidup mandiri di luar rahim, artinya sampai kira-kira 24 minggu atau sampai awal
trimester ketiga.

Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui macam-macam abortus,
efek samping/risiko, penatalaksanaan pasca abortus, diagnostik serta teknik pengeluaran
abortus.

A. ABORTUS

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.

Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan.

Berdasarkan variasi berbagai batasan yang ada tentang usia / berat lahir janin viable (yang
mampu hidup di luar kandungan), akhirnya ditentukan suatu batasan abortus sebagai
pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 g atau usia kehamilan 20 minggu.
(terakhir, WHO/FIGO 1998 : 22 minggu)

Etiologi

Hal-hal yang menyebabkan abortus dapat di bagi sebagai berikut :

1. kelainan pertumbuhan hasil konsepsi


kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian janin atau cacat. Faktor-
faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan ialah sebagai berikut :

a. kelainan kromosom.
Kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan ialah trisomi, poliploidi dan
kemungkinan pula kelainan kromosom seks.

b. Lingkungan kurang sempurna.


Bila lingkungan di endometrium disekitar tempat implantasi kurang sempurna
sehingga pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi terganggu.

c. Pengaruh dari luar.


Radiasi, virys, obat-obatan dan sebagainya dapat mempengaruhi baik hasil konsepsi
maupun lingkungan hidupnya dalam uterus. Pengaruh ini umumnya disebut
pengaruh teratogen.

2. kelainan pada plasenta


Endarteritis dapat terjadi dalam vili korialis dan menyebabkan oksigenisasi plasenta
terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin.

3. penyakit ibu
Penyakit mendadak, seperti pneumonia, tifus abdominalis, pielonefritis, malaria, dan lain-
lain dapat menyebabkan abortus. Toksin, bakteri, virus, atau plasmodium dapat melalui
plasenta masuk ke janin, sehingga menyebabkan kematian janin, dan kemudian terjadilah
abortus.

4. kelainan traktus genitalis


Retroversio uteri, miomata uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan abortus.
Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversio uteri gravidi inkarserata atau mioma
submukosa yng memegang peranan penting. Sebab lain abortus dalam trimester ke dua
adalah servis inkompeten yang dapat disebabakan oleh kelemahan bawaan pada serviks,
dilatasi serviks berlebihan, atau robekan serviks luas yang tidak di jahit.

Patogenesis

Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti nekrosis jaringan sekitar yang
menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus
berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut.
Pada kehamilan kurang dari 6 minggu, villi kotaris belum menembus desidua secara dalam, jadi
hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, penembusan
sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak
perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu, janin dikeluarkan lebih dahulu daripada
plasenta. Hasil konsepsi keluar dalam berbagai bentuk, seperti kantong kosong amnion atau
benda kecil yang tak jelas bentuknya (lighted ovum) janin lahir mati, janin masih hidup, mola
kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus papiraseus.

Manifetasi Klinis

 Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu.


 Pada pemeriksaan fisik : Keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan
darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal
atau meningkat.
 Perdarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi
 Rasa mulas atau keram perut di daerah atas simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat
kontraksi uterus
 Pemeriksaan ginekologi :

Inspeksi vulva : perdarahan pervaginam ada / tidak jaringan hasil konsepsi, tercium/tidak
bau busuk dari vulva

Inspekulo : perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup, ada/tidak
jaringan keluar dari ostium, ada/tidak cairan atau jaringan berbau busuk dario ostium.

Colok vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam
kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio
dogoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, kavum Douglasi, tidak menonjol dan tidak
nyeri.

Pemeriksaan Penunjang

 Tes kehamilan : positif bila janin masih hidup, bahkan 2 – 3 minggu setelah abortus
 Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup
 Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion

Komplikasi

1 Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengososngan uterus dari sisa-sisa konsepsi dan jika perlu
pemberian tranfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan
tidak diberikan pada waktunya.

2 Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamati dengan teliti.

3 Infeksi
4 Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi
berat.

B. JENIS –JENIS ABORTUS

Diagnosis

Berdasarkan keadaan janin yang sudah dikeluarkan, abortus dibagi atas :

Abortus iminens, perdarahan pervaginam pada kehamilan kurang dari 20 minggu, tanpa ada
tanda-tanda dilatasi serviks yang meningkat.

Abortus insipiens, bila perdarahan diikuuti dengan dilatasi serviks.

Abortus inkomplit, bila sudah sebagian jaringan janin dikeluarkan dari uterus. Bila abortus
inkomplit disertai infeksi genetalia disebut abortus infeksiosa

Abortus komplit, bila seluruh jaringan janin sudah keluar dari uterus

Missed abortion, kematian janin sebelum 20 minggu, tetapi tidak dikeluarkan selama 8 minggu
atau lebih.

Proses abortus dapat berlangsung spontan (suatu peristiwa patologis), atau artifisial /
terapeutik (suatu peristiwa untuk penatalaksanaan masalah / komplikasi).

Abortus spontan diduga disebabkan oleh :

- kelainan kromosom (sebagian besar kasus)

- infeksi (chlamydia, mycoplasma dsb)


- gangguan endokrin (hipotiroidisme, diabetes mellitus)

- oksidan (rokok, alkohol, radiasi dan toksin)

1. Abortus Iminens

Abortus imminens adalah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu, di mana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi
serviks. Ciri : perdarahan pervaginam, dengan atau tanpa disertai kontraksi, serviks masih
tertutup Jika janin masih hidup, umumnya dapat bertahan bahkan sampai kehamilan aterm
dan lahir normal. Jika terjadi kematian janin, dalam waktu singkat dapat terjadi abortus
spontan. Penentuan kehidupan janin dilakukan ideal dengan ultrasonografi, dilihat gerakan
denyut jantung janin dan gerakan janin. Jika sarana terbatas, pada usia di atas 12-16 minggu
denyut jantung janin dicoba didengarkan dengan alat Doppler atau Laennec. Keadaan janin
sebaiknya segera ditentukan, karena mempengaruhi rencana penatalaksanaan / tindakan.

Penatalaksanaan

 Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang mekanik
berkurang.
 Periksa denyut nadi dan suhu badan dua kali sehari bila pasien tidak panas dan tiap
empat jam bila pasien panas
 Tes kehamilan dapat dilakuka. Bila hasil negatif mungkin janin sudah mati.
Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.
 Berikan obat penenang, biasanya fenobarbiotal 3 x 30 mg, Berikan preparat
hematinik misalnya sulfas ferosus 600 – 1.000 mg
 Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C
 Bersihkan vulva minimal dua kali sehari dengan cairan antiseptik untuk mencegah
infeksi terutama saat masih mengeluarkan cairan coklat.

2. Abortus Insipiens

Abortus insipiens adalah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu, dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil
konsepsi masih berada di dalam uterus.
Ciri : perdarahan pervaginam, dengan kontraksi makin lama makin kuat makin sering,
serviks terbuka.

Penatalaksanaan :

 Bila perdarahan tidak banyak, tunggu terjadinya abortus spontan tanpa pertolongan
selama 36 jam dengan diberikan morfin
 Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai perdarahan, tangani
dengan pengosongan uterus memakai kuret vakum atau cunam abortus, disusul
dengan kerokan memakai kuret tajam. Suntikkan ergometrin 0,5 mg intramuskular.
 Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU dalam
deksrtose 5% 500 ml dimulai 8 tetes per menit dan naikkan sesuai kontraksi uterus
sampai terjadi abortus komplit.
 Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran
plasenta secara manual.

3. Abortus Inkomplit

Abortus inkompletus adalah peristiwa pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan
sebelum 20 minggu, dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.

Ciri : perdarahan yang banyak, disertai kontraksi, serviks terbuka, sebagian jaringan keluar.

Penatalaksanaan :

 Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl fisiologis atau
ringer laktat dan selekas mungkin ditransfusi darah
 Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret tajam lalu suntikkan ergometrin
0,2 mg intramuskular
 Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran
plasenta secara manual.
 Berikan antibiotik untuk mencegah infeks

4. Abortus Komplit

Abortus kompletus adalah terjadinya pengeluaran lengkap seluruh jaringan konsepsi


sebelum usia kehamilan 20 minggu.
Ciri : perdarahan pervaginam, kontraksi uterus, ostium serviks sudah menutup, ada keluar
jaringan, tidak ada sisa dalam uterus. Diagnosis komplet ditegakkan bila jaringan yang
keluar juga diperiksa kelengkapannya.

Penatalaksanaan :

 Bila kondisi pasien baik, berikan ergometrin 3 x 1 tablet selama 3 – 5 hari


 Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfusi darah
 Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi
 Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin dan mineral.

5. Abortus Abortion

kematian janin berusia sebelum 20 minggu tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8
minggu atau lebih.

Etiologi belum diketahui, tetapi diduga pengaruh hormon progesteron. Pemakaian hormon
progestreon pada abortus imminens mungkin juga dapat menyebabkan missed abortion
yang biasanya didahului oleh tanda –tanda abortus imminens yang kemudian menghilang
secara spontan atau setelah pengobatan.

Setelah janin meninggal, mungkin terjadi perdarahan per vaginam atau gejala lain yang
mengisyaratkan abortus iminens, mungkin juga tidak. Untuk suatu waktu, uterus tampaknya
tidak mengalami perubahan ukuran, tetapi perubahan- perubahan pada payudara biasanya
kembali ke semula. Wanita yang bersangkutan kemungkinan besar mengalami penurunan
berat beberapa kilogram. Setelah itu, menjadi jelas bahwa, uterus bukan saja tidak
bertambah besar tetapi malah mengecil. Banyak wanita yang tidak memperlihatkan gejala
selama periode ini kecuali amenorrea menetap. Apabila konseptus tertahan beberapa
minggu setelah kematiannya, konseptus tersebut akan menjadi kantung kisut yang
mengandung janin yang mengalami maserasi.

Penatalaksaan :

 Bila kadar fibrinogen normal, segera keluarkan jaringan konsepsi dengan cunam
ovum lalu dengan kuret tajam
 Bila kadar finrinogen rendah, berikan fibrinogen kering atau segar sesaat sebelum
atau ketika mengeluarkan konsepsi
 Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, lakukan pembukaan serviks dengan gagang
laminaria selama 12 jam lalu dilakukan dilatasi serviks dengan dalatator Hegar
kemudian hasil konsepsi diambil dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
 Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan dietilstilbestrol 3 x 5 mg lalu infus
oksitosin 10 IU dalam dektrose 5% sebanyak 500 ml mulai 20 tetes per menit dan
naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus. Oksitosin dapat diberikan sampai 100
IU dalam 8 jam. Bila tidak berhasil, ulang infus oksitosin setelah pasien istirahat
satu hari.
 Bila fundus uteri sampai 2 jari bawah pusat, keluarkan hasil konsepsi dengan
menyuntik larutan garam 20% dalam kavum uteri melalui dinding perut.

6. Abortus Septik

Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedang abortus septik
ialah abortus infeksiosa berat disertai penyebaran kuman atau toksin kedalam peredaran
darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus,
tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkomplet dan lebih sering pada abortus buatan
yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Umumnya pada abortus
infeksiosus infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi, dan
infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan peritoneum. Apabila infeksi
menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti
oleh syok.

Diagnosa abortus infeksiosa ditentukan dengan adanya abortus yang disertai gejala dan
tanda infeksi alat genital, seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam yang berbau,
uterus yang membesar, lembek serta nyeri tekan, dan leukositosis.

Apabila terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang-kadang menggigil, demam
tinggi dan tekanan darah menurun. Untuk mengetahui kuman penyebab perlu diadakan
pembiakan darah pada serviks uteri.

Penatalaksanaan :

Kepada penderita dengan abortus infeksiosa yang telah mengalami banyak pendarahan
hendaknya diberikan infus dan transfusi darah. Pasien segera diberi antibiotika (pilihan): a).
Gentamisin 3x 80 mg dan Penisislin 4x1,2 juta ; b). chloromycetin 4x500mg; c).
cephalosporin 3x1g; d). sulbenmisilin 3x1-2g. Kuretase dilakukan dalam 6 jam dan
penanganan demikian dapat dipertanggungjawabkan karena pengeluaran sisa-sisa abortus
mencegah perdarahan dan menghilangkan jaringan yang nekrosis, yang bertindak sebagai
medium pembiakan bagi jasat renik. Pemberian antibiotik diteruskan sampai febris tidak
ada lagi selama dua hari atau ditukar bila tidak ada perubahan dalam dua hari.

Pada abortus septik diperlukan pemberian antibiotik dalam dosis yang lebih tinggi. Sambil
menunggu hasil pembiakan supaya dapat diberikan antibiotika yang tepat dapat diberikan
sulbenisilin 3x2g. Antibiotika ini terbukti masih ampuh dan berspektrum luas untuk aerob
dan anaerob.

7. Abortus terapeutik

Dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 12 minggu, atas pertimbangan / indikasi
kesehatan wanita di mana bila kehamilan itu dilanjutkan akan membahayakan dirinya,
misalnya pada wanita dengan penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal, korban
perkosaan (masalah psikis). Dapat juga atas pertimbangan / indikasi kelainan janin yang
berat.

Pada pasien yang menolak dirujuk beri pengobatan sama dengan yang diberikan pada
pasien yang hendak dirujuk, selama 10 hari

Di rumah sakit :

1. Rawat pasien di ruangan khusus untuk kasus infeksi


2. Berikan antibiotik intravena, penisilin 10-20 juta IU dan streptomisin 2 g
3. Infus cairan NaCl fisiologis atau ringer laktat disesuaikan kebutuhan cairan
4. Pantau ketat keadaan umum, tekanan darah , denyut nadi dan suhu badan
5. Oksigenasi bila diperlukan, kecepatan 6 – 8 liter per menit
6. Pasang kateter Folley untuk memantau produksi urin
7. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, hematokrit, golongan darah serta reaksi
silang, analisi gas darah, kultur darah, dan tes resistensi.
8. Apabila kondisi pasien sudah membaik dan stabil, segera lakukan pengangkatan
sumber infeksi

8. Abortus rekuren atau habitualis


abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut.

Etiologi abortus habitualis sama dengan sebab musabab abortus spontan seperti yang telah
dibicarakan. Selain itu telah ditemukan sebab imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap
antigen lymphocyte trophoblast cross reaktive (TLX). Pasien dengan reaksi lemah atau
tidak ada akan mengalami abortus. Sistem TLS ini merupakan cara untuk melindungi
kehamilan. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau heparin. Dalam usaha
untuk mencari sebab itu perlu dilakukan penyelidikan yang teliti: anamnesis yang lengkap,
pemeriksaan golongan darah suami dan istri; ada tidaknya inkomptabilitas darah;
pemeriksaan PDRL, pemeriksaan tes toleransi glukosa, pemeriksaan kromosom dan
pemeriksaan mikloplasma. Aboetus habitualis yang terjadi dalam triwulan kedua dapat
disebabkan oleh serviks uteri yang tidak sanggup terus menutup, melainkan perlahan-lahan
membuka (inkompeten). Kelainan ini sering kali akibat trauma pada serviks, misalnya
karena usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas dan
sebagainya.

Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Gejalanya seperti
abortus immines yang kemudian menghilang secara spontan disertai kehamilan menghilang,
mamma agak mengendor, uterus mengecil, tes kehamilan negative. Dengan USG dapat
diketahui apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan. Dengan
human chorionic gonadotropin (hCG) tests bisa diketahui kemungkinan. Biasanya terjadi
pembekuan darah. Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia
menunjukkan gambaran klinik yang khas, yaitu dalam kehamilan triwulan kedua terjadi
pembukaan serviks tanpa disertai mules, ketuban menonjol dan pada suatu saat pecah.
Kemudian timbul mules yang selanjutnya diikuti oleh pengeluaran janin yang biasanya
masih hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam triwulan pertama maka gambaran
klinik tersebut dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita
tidak jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Diluar kehamilan
penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi yaitu ostium internum
uteri melebar lebih dari 8 mm.

Penatalaksanaan.

Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh karena itu,
penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang
sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Apabila pada
pemeriksaan histerosalpingografi yang dilakukan diluar kehamilan menunjukkan kelainan
seperti mioma submukosum atau uterus bikornis, maka kelainan tersebut dapat diperbaiki
dengan pengeluaran mioma atau penyatuan kornu uterus dengan operasi menurut strassman.
Pada serviks inkompeten, apabila penderita telah hamil maka operasi untuk mengecilkan
ostium uteri internum sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12 minggu atau lebih sedikit.
Dasar operasi ialah memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari daerah
ostium uteri internum dengan benang sutra atau dakron yang tebal. Bila terjadi gejala dan
tanda abortus insipien, maka benang harus segera diputuskan, agar pengeluaran janin tidak
terhalang.

C. DIAGNOSTIK

1. Anamnesis : perdarahan, haid terakhir, pola siklus haid, ada tidak gejala / keluhan lain, cari
faktor risiko / predisposisi. Riwayat penyakit umum dan riwayat obstetri / ginekologi.

2. Prinsip : wanita usia reproduktif dengan perdarahan per vaginam abnormal HARUS selalu
dipertimbangkan kemungkinan adanya kehamilan.

3. Pemeriksaan fisis umum : keadaan umum, tanda vital, sistematik. JIKA keadaan umum
buruk lakukan resusitasi dan stabilisasi segera !

4. Pemeriksaan ginekologi : ada tidaknya tanda akut abdomen. Jika memungkinkan, cari
sumber perdarahan : apakah dari dinding vagina, atau dari jaringan serviks, atau darah
mengalir keluar dari ostium ?

5. Jika diperlukan, ambil darah / cairan / jaringan untuk pemeriksaan penunjang (ambil sediaan
SEBELUM pemeriksaan vaginal touche)

6. Pemeriksaan vaginal touche : hati-hati. Bimanual tentukan besar dan letak uterus. Tentukan
juga apakah satu jari pemeriksa dapat dimasukkan ke dalam ostium dengan MUDAH / lunak,
atau tidak (melihat ada tidaknya dilatasi serviks). Jangan dipaksa. Adneksa dan parametrium
diperiksa, ada tidaknya massa atau tanda akut lainnya.

D. TEKNIK PENGELUARAN SISA ABORTUS

Pengeluaran jaringan pada abortus : setelah serviks terbuka (primer maupun dengan dilatasi),
jaringan konsepsi dapat dikeluarkan secara manual, dilanjutkan dengan kuretase.

1. Sondage, menentukan posisi dan ukuran uterus.


2. Masukkan tang abortus sepanjang besar uterus, buka dan putar 90o untuk melepaskan
jaringan, kemudian tutup dan keluarkan jaringan tersebut.
3. Sisa abortus dikeluarkan dengan kuret tumpul, gunakan sendok terbesar yang bisa masuk.
4. Pastikan sisa konsepsi telah keluar semua denganeksplorasi jari maupun kuret

 Faktor risiko / predisposisi yang (diduga) berhubungan dengan terjadinya abortus

1. Usia ibu yang lanjut


2. Riwayat obstetri / ginekologi yang kurang baik
3. Riwayat infertilitas
4. Adanya kelainan / penyakit yang menyertai kehamilan (misalnya diabetes, penyakit
Imunologi sistemik dsb).
5. Berbagai macam infeksi (variola, CMV, toxoplasma, dsb)
6. Paparan dengan berbagai macam zat kimia (rokok, obat2an, alkohol, radiasi, dsb)
7. Trauma abdomen / pelvis pada trimester pertama
8. Kelainan kromosom (trisomi / monosomi) Dari aspek biologi molekular, kelainan
kromosom ternyata paling sering dan paling jelas berhubungan dengan terjadinya
abortus.

Kesimpulan

Dari pembahasan makalah diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :

 Abortus hanya dipraktikkan dalam klinik atau fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh
pemerintah dan organisaso-organisasi profesi medis.
 Aborsi hanya dilakukan oleh tenaga profesional yang terdaftar dan memperoleh izin untuk
itu, yaitu dokter spesialis kebidanan dan genekologi atau dokter umum yang mempunyai
kualifikasi untuk itu.
 Aborsi hanya boleh dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 12 minggu (untuk usia
diatas 12 minggu bila terdapat indikasi medis).
 Harus disediakan konseling bagi perempuan sebelum dan sesudah abortus.
 Harus ditetapkan tarif baku yang terjangkau oleh segala lapisan masyarakat.

Saran

Abortus hendaknya dilakukan jika benar-benar terpaksa karena bagaimanapun didalam


kehamilan berlaku kewajiban untuk menghormati kehidupan manusia dan abortus hendaknya
dilakukan oleh tenaga profesional yang terdaftar.
PERDARAHAN ANTEPARTUM

PERDARAHAN ANTEPARTUM

Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang berbahaya.
Perdarahan pada kehamilan muda disebut keguguran atau abortus, sedangkan pada kehamilan tua
disebut perdarahan antepartum. Batas teoretis antara kehamilan muda dan kehamilan tua ialah
kehamilan 22 minggu, mengingat kemungkinan hidup janin di luar uterus.

Definisi dan klasifikasi

Perdarahan antepartum biasanya dibatasi pada perdarahan jalan-lahir setelah kehamilan 22


minggu, walaupun patologi yang sama dapat pula terjadi pada kehamilan sebelum 22 minggu.
Perdarahan setelah kehamilan 22 minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada
sebelum kehamilan 22 minggu; oleh karena itu, memerlukan penanganan yang berbeda. Perdarahan
antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta, sedangkan perdarahan
yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan serviks biasanya tidak seberapa
berbahaya. Pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu
bersumber pada kelainan plasenta.

Perdarahan antepartum yang bersumber pada kelainan plasenta, yang secara klinis biasanya
tidak terlampau sukar untuk menentukannya, ialah plasenta previa, dan solusio plasenta (atau
abrupsio plasenta). Oleh karena itu, klasifikasi klinis perdarahan antepartum dibagi sebagai berikut:
(l)plasenta previa; (2) solusio plasenta; dan (3) perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya.

Perdarahan antepartum "yang belum jelas sumbernya" itu mungkin disebabkan oleh ruptura
sinus marginalis yang biasanya tanda dan gejalanya tidak seberapa khas. Mungkin ,uga karena
plasenta letak rendah atau vasa previa. Plasenta letak rendah baru menimbulkan perdarahan
antepartum pada akhir kehamilan atau pada permulaan persalinan. Vasa previa baru menimbulkan
perdarahan antepartum setelah pemecahan selaput ketuban. Perdarahan yang bersumber pada
kelainan serviks dan vagina biasanya dapat diketahui apabila dilakukan pemeriksaan dengan
spekulum yang seksama, Kelainan-kelainan yang mungkin tampak ialah erosio porsionis uteri,
karsinoma porsionis uteri, polipus servisis uteri, varises vulva, dan trauma.

Frekuensi

Perdarahan antepartum terjadi pada kira-kira 3% dari semua persalinan, yang terbagi kira-
kira rata antara plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.

Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, antara tahun 1971 -1975, terjadi 2114 kasus
perdarahan antepartum di antara 14824 persalinan, atau kira-kira 14%. Sebagaimana tampak pada
tabel 1, perdarahan antepartum terutama sangat membahayakan kehidupan janinnya.

Gambaran klinik

Pada umumnya penderita mengalami perdarahan pada triwulan ketiga, atau setelah
kehamilan 28 minggu.

Perdarahan antepartum tanpa rasa nyeri merupakan tanda khas plasenta previa, apalagi
kalau disertai tanda-tanda lainnya, seperti bagian terbawah janin belum masuk ke dalam pintu-atas
panggul, atau kelainan letak janin, Karena tanda pertamanya adalah perdarahan, pada umumnya
penderita akan segera datang untuk mendapatkan pertolongan. Beberapa penderita yang mengalami
perdarahan sedikit-sedikit, mungkin tidak akan tergesa-gesa datang untuk mendapatkan pertolongan
karena disangkanya sebagai tanda permulaan persalinan biasa. Baru setelah perdarahannya
berlangsung banyak, mereka datang untuk mendapatkan pertolong-an.

Lain halnya dengan solusio plasenta. Kejadiannya tidak segera ditandai oleh perdarahan per
vaginam, sehingga mereka tidak segera datang untuk mendapatkan pertolongan. Gejala pertamanya
ialah rasa nyeri pada kandungan yang makin lama makin hebat, dan berlangsung terus-menerus.
Rasa nyeri yang terus-menerus ini sering kali diabaikan, atau disangka sebagai tanda permulaan
persalinan biasa. Baru setelah penderita pingsan karena perdarahan retroplasenter yang banyak, atau
setelah tampak perdarahan per vaginam, mereka datang untuk mendapatkan pertolongan. Pada
keadaan demikian biasanya janin telah meninggal dalam kandungan.

Pengawasan antenatal

Pengawasan antenatal sebagai cara untuk mengetahui atau menanggulangi kasus-kasus


dengan perdarahan antepartum memegang peranan yang terbatas. Walaupun demikian, beberapa
pemeriksaan dan perhatian yang biasa dilakukan pada pengawas-an antenatal dapat mengurangi
kesulitan yang mungkin terjadi. Pemeriksaan dan perhatian yang dimaksud ialah penentuan
golongan darah ibu dan golongan darah calon donornya, pengobatan anemia dalam kehamilan,
seleksi ibu untuk bersalin di rumah sakit, memperhatikan kemungkinan adanya plasenta previa, dan
mencegah serta mengobati penyakit hipertensi menahun dan pre-eklampsia.

Penentuan golongan darah ibu dan golongan darah calon donornya akan sangat
memudahkan untuk mendapatkan darah yang cocok apabila sewaktu-waktu diperlukan. Tidak pada
semua tempat di tanah air kita ini terdapat bank donor darah. Sejak tahun 1975, setiap penduduk
DKI Jakarta, pada Kartu Tanda Penduduknya tercantum golongan darahnya. Hal itu akan sangat
membantu dalam usaha pemindahan darah bagi mereka yang memerlukannya.

Para ibu yang menderita anemia dalam kehamilan akan sangat rentan terhadap infeksi dan
perdarahan, walaupun perdarahan hanya sedikit. Pengalaman membuktikan bahwa kematian ibu
karena perdarahan lebih sering terjadi pada para ibu yang menderita anemia kehamilan sebelumnya.
Anemia dalam kehamilan, yang pada umumnya disebabkan oleh defisiensi besi, dapat dengan
mudah diobati dengan jalan memberikan preparat besi selama kehamilan. Oleh karena itu,
janganlah mengabaikan pengobatan anemia dalam kehamilan untuk mencegah kematian ibu apabila
nantinya mengalami perdarahan.

Walaupun rumah sakit yang terdekat letaknya jauh, para ibu hamil yang dicurigai akan
mengalami perdarahan antepartum hendaknya diusahakan sedapat mungkin untuk mengawaskan
kehamilannya dan bersalin di rumah sakit itu. Para ibu hamil yang patut dicurigai akan mengalami
perdarahan antepartum ialah para ibu yang umurnya telah lebih dari 35 tahun, paritasnya 5 atau
lebih, bagian terbawah janin selalu terapung di atas pintu-atas panggul, atau menderita pre-
eklampsia.

Janin yang letaknya melintang dan sukar diperbaiki dengan versi-luar, atau kalau berhasil
juga, mutiah kembali kepada letak semula, atau bagian terbawah janin belum masuk pintu-atas
panggul pada minggu-minggu terakhir kehamilan, patut pula dicurigai kemungkinan adanya
plasenta previa.

Pre-eklampsia atau penyakit hipertensi menahun sering kali dihubungkan dengan terjadinya
solusio plasenta. Apabila hal ini benar, pencegahan dan pengobatannya secara seksama akan
mengurangi kejadian solusio plasenta.

Pertolongan pertama

Setiap perdarahan pada kehamilan lebih dari 22 minggu yang lebih banyak dari perdarahan
yang biasanya terjadi pada permulaan persalinan biasa, harus dianggap sebagai perdarahan
antepartum. Apa pun penyebabnya, penderita harus segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki
fasilitas untuk transfusi darah dan operasi. Jangan sekali-sekah melakukan pemeriksaan dalam di
rumah penderita atau di tempat yang tidak memungkinkan tindakan operatif segera karena
pemeriksaan itu dapat menambah banyaknya perdarahan. Pemasangan tampon dalam vagina tidak
berguna sama sekali untuk menghentikan perdarahan, malahan akan menambah perdarahan karena
sentuhan pada serviks sewaktu pemasangannya. Selagi penderita belum jatuh ke dalam syok, infus
cairan intravena harus segera dipasang, dan dipertahankan terus sampai tiba di rumah sakit.
Memasang jarum infus ke dalam pembuluh darah sebelum terjadi syok akan jauh lebih
memudahkan transfusi darah, apabila sewaktu-waktu diperlukan.

Segera setelah tiba di rumah sakit, usaha pengadaan darah harus segera dilakukan, walaupun
perdarahannya tidak seberapa banyak, Pengambilan contoh darah penderita untuk pemeriksaan
golongan darahnya, dan pemeriksaan kecocokan dengan darah donornya harus segera dilakukan.
Dalam keadaan darurat pemeriksaan seperti itu mungkin terpaksa ditunda karena tidak sempat
dilakukan sehingga terpaksa langsung mentransfusikan darah yang golongannya sama dengan
golongan darah penderita, atau mentransfusikan darah golongan O rhesus positif, dengan penuh
kesadaran akan segala bahayanya.

Pertolongan selanjutnya di rumah sakit tergantung dari paritas, tuanya kehamilan,


banyaknya perdarahan, keadaan ibu, keadaan janin, sudah atau belum mulainya persalinan, dan
diagnosis yang dhegakkan.

PLASENTA PREVIA

Definisi dan klasifikasi

Plasenta previa ialah placenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen-bawah uterus
sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan-lahir. Pada keadaan normal
plasenta terletak di bagian atas uterus.

Klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan
jalan lahir pada waktu tertentu. Disebut plasenta previa totalis apabila seluruh pembukaan tertutup
oleh jaringan plasenta; plasenta previa parsialis apabila sebagian pembukaan tertutup oleh jaringan
plasenta; dan plasenta previa marginals apabila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir
pembukaan. Plasenta yang letaknya abnormal pada segmen-bawah uterus, akan tetapi belum sampai
menutupi pembukaan jalan lahir, disebut plasenta letak rendah. Pinggir plasenta berada kira-kira 3
atau 4 cm di atas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan-lahir.

Karena klasifikasi ini tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan fisiologik, maka
klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Umpamanya, plasenta previa totalis pada pembukaan 4
cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa parsiaiis pada pembukaan 8 cm. Tentu saja
observasi seperti ini tidak akan terjadi dengan penanganan yang baik.

Frekuensi

Plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 di antara 200 persalinan. Di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo, antara tahun 1971 — 1975, terjadi 37 kasus plasenta previa di antara 4781
persalinan yang terdaftar, atau kira-kira 1 di antara 125 persalinan terdaftar.

Etiologi

Mengapa plasenta bertumbuh pada segmen-bawah uterus tidak selalu jelas dapat
diterangkan. Bahwasanya vaskularisasi'yang berkurang, atau perubahan atrofi pada desidua akibat
persalinan yang lampau dapat menyebabkan plasenta previa, tidaklah selalu benar, karena tidak
nyata dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar pada penderita dengan
paritas tinggi. Memang dapat dimengerti bahwa apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup atau
diperlukan lebih banyak seperti pada kehamilan kembar, plasenta yang letaknya normal sekalipun
akan memperluaskan permukaannya, sehingga mendekati atau menutupi sama sekali pembukaan
jalan-lahir.

Menurut Kloosterman (1973), frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur
lebih dari 35 tahun kira-kira 10 kali lebih sering dibandingkan dengan primigravida yang berumur
kurang dari 25 tahun; pada grande multipara yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 4 kali lebih
sering dibandingkan dengan grande multipara yang berumur kurang dari 25 tahun.

Angka-angka dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa frekuensi
plasenta previa meningkat dengan meningkatnya paritas dan umur. Berlainan dengan angka-angka
yang dikemukakan oleh Kloosterman (1973), di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo frekuensi
plasenta previa pada primigravida yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 2 kali lebih besar
dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari 25 tahun; pada para 3 atau lebih yang
berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 3 kali lebih besar dibandingkan dengan para 3 atau lebih yang
berumur kurang dari 25 tahun.

Gambaran klinik
Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari
plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi selagi penderita tidur atau bekerja biasa. Perdarahan
pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak akan berakibat fatal. Akan tetapi, perdarahan
berikutnya hampir selalu lebih banyak daripada sebelumnya, apalagi kalau sebelumnya telah
dilakukan pemeriksaan dalam. Walaupun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada triwulan
ketiga, akan tetapi tidak jarang pula dimulai sejak kehamilan 20 minggu karena sejak itu segmen-
bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah tuanya
kehamilan, segmen-bawah uterus akan lebih melebar lagi, dan serviks mulai membuka. Apabila
plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan
serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat di situ tanpa terlepasnya sebagian plasenta
dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan. Darahnya berwarna merah segar,
berlainan dengan darah yang disebabkan oleh solusio plasenta yang berwarna kehitam-hitaman.
Sumber perdarahannya ialah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya plasenta dari dinding
uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahannya tak dapat dihindarkan
karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan
perdarahan itu, tidak sebagaimana serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala III
dengan plasenta yang letaknya normal. Makin rendah letak plasenta, makin dini perdarahan terjadi.
Oleh karena itu, perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi lebih dini daripada plasenta
letak rendah, yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai.

Turunnya bagian terbawah janin ke dalam pintu-atas panggul akan terhalang karena adanya
plasenta di bagian bawah uterus. Apabila janin dalam presentasi

kepala, kepalanya akan didapatkan belum masuk ke dalam pintu-atas panggul yang
mungkin karena plasenta previa sentralis; mengolak ke samping karena plasenta previa parsialis;
menonjol di atas simfisis karena plasenta previa posterior; atau bagian terbawah janin sukar
dkentukan karena plasenta previa anterior. Tidak jarang terjadi kelainan letak, seperti letak-lintang
atau letak-sungsang.

Nasib janin tergantung dari banyaknya perdarahan, dan tuanya kehamilan pada waktu
persalinan. Perdarahan mungkin masih dapat diatasl dengan transfusi darah, akan tetapi persalinan
yang terpaksa diselesaikan dengan janin yang masih prematur tidak selalu dapat dihindarkan.

Apabila janin telah lahir, plasenta tidak selalu mudah dilahirkan karena sering mengadakan
perlekatan yang erat dengan dinding uterus. Apabila plasenta telah lahir, perdarahan postpartum
sering kali terjadi karena kekurang-mampuan serabut-serabut otot segmen-bawah uterus untuk
berkontraksl menghentikan perdarahan dari bekas insersio plasenta; atau, karena perlukaan serviks
dan segmen-bawah uterus yang rapuh dan mengandung banyak pembuluh darah besar, yang dapat
terjadi bila persalinan berlangsung per vaginam.
Diagnosis

Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa penyebabnya ialah
plasenta previa sampai kemudian ternyata dugaan itu salah.

Anamnesis. Perdarahan jalan-lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa


nyeri, tanpa alasan, terutama pada multigravida. Banyaknya perdarahan tidak dapat dmilai dan
anamnesis, melainkan dari pemeriksaan hematokrit.

Pemeriksaan luar. Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu-atas panggul.
Apabila presentasi kepala, biasanya kepalanya masih terapung di atas pintu-atas panggul atau
mengolak ke samping, dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul. Tidak jarang terdapat
kelainan letak janin, seperti letak-lintang atau letak-sungsang.

Pemeriksaan in spekulo. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan


berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina, seperti erosio porsionis
uteri, karsmoma porsionis uteri, polipus servisis uteri, varises vulva, dan trauma. Apabila
perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.

Penentuan letak plasenta tidak langsung. Penentuan letak plasenta secara tidak langsung
dapat dilakukanxlengan radiografi, radioisotopi, dan ultrasonografi Nilai diagnostiknya cukup
tinggi di tangan yang ahli, akan tetapi ibu dan janin pada pemeriksaan radiografi dan radioisotopi
masih dihadapkan pada bahaya radiasi yang cukup tinggi pula, sehingga cara ini mulai ditinggalkan.

Ultrasonografi. Penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat, tidak
menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya, dan tidak menimbulkan rasa nyeri.

Penentuan letak plasenta secara langsung. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat
tentang adanya dan jenis plasenta previa ialah secara langsung meraba plasenta melalui kanalis
servikalis. Akan tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan perdarahan
banyak. Oleh karena itu pemeriksaan melalui kanalis servikalis hanya dilakukan apabila
penanganan pasif ditinggalkan, dan ditempuh penanganan aktif. Pemeriksaannya harus dilakukan
dalam keadaan siap operasi. Pemeriksaan dalam di meja operasi dilakukan sebagai berikut.

Perahaan fornises. Pemeriksaan mi hanya bermakna apabila janin dalam presentasi kepala.
Sambil mendorong sedikit kepala janin ke arah pintu-atas panggul, perlahan-lahan seluruh fornises
diraba dengan jari. Perabaannya terasa lunak apabila antara jari dan kepala janin terdapat plasenta;
dan akan terasa padat (keras) apabila antara jari dan kepala janin tidak terdapat plasenta. Bekuan
darah dapat dikeKrukan dengan plasenta. Plasenta yang tipis mungkin tidak terasa lunak.
Pemeriksaan ini harus selalu mendahului pemeriksaan melalui kanalis servikalis, untuk mendapat
kesan pertama ada tidaknya plasenta previa.

Pemeriksaan melalui kanalis servikalis. Apabila kanalis servikalis telah terbuka, perlahan-
lahan jari telunjuk dimasukkan ke dalam kanalis servikalis, dengan tujuan kalau-kalau meraba
kotiledon plasenta. Apabila kotiledon plasenta teraba, segera jari telunjuk dikeluarkan dan kanalis
servikalis. Jangan sekali-kali berusaha menyelusuri pinggir plasenta seterusnya karena mungkin
plasenta akan terlepas dari insersionya yang dapat menimbulkan perdarahan banyak.

Penanganan

Di negara yang sedang berkembang, perdarahan hampir selalu merupakan malapetaka besar
bagi penderita maupun penolongnya. Keadaan yang serba kurang akan memaksa penolong
menangani setiap kasus secara individual, tergantung pada keadaan ibu, keadaan janin, dan keadaan
fasilitas pertolongan dan penolongnya pada waktu itu.

Ibu yang menderita anemia sebelumnya akan sangat rentan terhadap perdarahan, walaupun
perdarahannya tidak terlampau banyak. Darah sebagai obat utama untuk mengatasi perdarahan
belum selalu ada atau cukup tersedia di rumah sakit. Kurangnya kesadaran akan bahaya perdarahan,
atau sukarnya pengangkutan cepat ke rumah sakit mengakijaatkan terlambatnya penderita
mendapatkan pertolongan yang layak. Semua keadaan tersebut di atas, ditambah dengan fasilitas
pertolongan dan tenaga penolong yang kurang, akan sangat melipatgandakan beban pekerjaan para
penolongnya. Dengan demikian penanggulangannya pun tidak selalu akan berhasil dengan baik.

Prinsip dasar penanganan. Setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim
ke rumfch sakit yang memiliki fasilitas melakukan transfusi darah dan operasi.

Perdarahan yang terjadi penama kali jarang sekali, atau boleh dikatakan tidak pernah
menyebabkan kematian, asal sebelumnya tidak diperiksa-dalam. Biasanya masih terdapat cukup
waktu untuk mengirimkan penderita ke rumah sakit, sebelum terjadi perdarahan berikutnya yang
hampir selalu akan lebih banyak daripada sebelumnya. Jangan sekali-kali melakukan pemeriksaan-
dalam kecuali dalam keadaan siap operasi.

Apabila dengan penilaian yang tenang dan jujur ternyata perdarahan yang telah
berlangsung, atau yang akan berlangsung tidak akan mem bah ay akan ibu dan/atau janinnya (yang
masih hidup); dan kehamilannya belum cukup 36 minggu, atau taksiran berat janin belum sampai
2500 gram, dan persalinan belum mulai, dapat dibenarkan untuk menunda persalinan sampai janin
dapat hidup di luar kandungan lebih baik lagi. Penanganan pasif ini, pada kasus-kasus tertentu
sangat bermanfaat untuk mengurangi angka kematian neonatus yang tinggi akibat prematuritas, asal
jangan dilakukan pemeriksaan-dalam. Sebaliknya, kalau perdarahan yang telah berlangsung atau
yang akan berlangsung akan membahayakan ibu dan atau janinnya; atau kehamilannya telah cukup
36 minggu, atau taksiran berat janin telah mencapai 2500 gram; atau persalinan telah mulai, maka
penanganan pasif harus ditinggalkan, dan ditempuh penanganan aktif. Dalam hal ini pemeriksaan
dalam dilakukan di meja operasi dalam keadaan siap operasi.

Penanganan pasif. Pada tahun 1945 Johnson dan Macafee mengumumkan cara baru
penanganan pasif beberapa kasus plasenta previa yang janinnya masih prematur dan perdarahannya
tidak berbahaya, sehingga tidak diperlukan tindakan pengakhiran kehamilan segera. Pengalamannya
membuktikan bahwa perdarahan pertama pada plasenta previa jarang sekali fatal apabila
sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan-dalam; dan perdarahan berikutnya pun jarang sekali fatal
apabila sebelumnya ibu tidak menderita anemia dan tidak pernah dilakukan pemeriksaan-dalam.
Atas dasar pengalaman itu, tindakan pengakhiran kehamilan untuk beberapa kasus tertentu dapat
ditunda, sehingga janin dapat hidup dalam kandungan lebih lama, dan dengan demikian,
kemungkinan janin hidup di luar kandungan lebih besar lagi.

Berhasilnya Macafee menurunkan angka kematian perinatal pada plasenta previa ini berkat
kepatuhannya menjalankan penanganan pasif seperti tersebut di atas, dan berkat tindakan seksio
sesarea yang lebih liberal.

Tampaknya penanganan pasif ini sangat sederhana, akan tetapi dalam kenyataan-nya, kalau
dilakukan secara konsekuen, menuntut fasilitas rumah sakit dan perhatian dokter yang luar biasa.
Penderita harus dirawat di rumah sakit sejak perdarahan penama sampai pemeriksaan menunjukkan
tidak adanya plasenta previa, atau sampai bersalin. Transfusi darah dan operasi harus dapat
dilakukan setiap saat apabila diperlukan. Anemia harus segera diatasi mengingat kemungkinan
perdarahan berikutnya. Menilai banyaknya perdarahan harus lebih didasarkan pada pemeriksaan
hemoglobin dan hematokrit secara berkala, daripada memperkirakan banyaknya darah yang hilang
per vaginam. Ada atau tidaknya plasenta previa diperiksa dengan penentuan letak plasenta secara
tidak langsung.

Menurut Pedowitz (1965), penanganan pasif ini tidak akan berhasil menurunkan angka
kematian perinatal pada kasus-kasus plasenta previa sentralis.

Memilih cara persalinan. Pada umumnya memilih cara persalinan yang terbaik tergantung
dari derajat plasenta previa, paritas, dan banyaknya perdarahan. Beberapa hal lam yang harus
diperhatikan pula ialah apakah terhadap penderita pernah dilakukan pemeriksaan dalam, atau
penderita sudah mengalami infeksi seperti seringkali terjadi pada kasus-kasus kebidanan yang
terbengkalai.
Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesarea, tanpa menghiraukan
faktor-faktor lainnya. Plasenta previa parsialis pada primigravida sangat cenderung untuk seksio
sesarea. Perdarahan banyak, apalagi yang berulang, merupakan indikasi mutlak untuk seksio
sesarea karena perdarahan itu biasanya disebabkan oleh plasenta previa yang lebih tinggi derajatnya
daripada apa yang ditemukan pada pemeriksaan-dalam, atau vaskularisasi yang hebat pada serviks
dan segmen-bawah uterus.

Multigravida dengan plasenta letak rendah, plasenta previa marginalis, atau plasenta previa
parsialis pada pembukaan lebih 'dari 5 cm dapat ditanggulangi dengan pemecahan selapjut ketuban.
Akan tetapi, apabila ternyata pemecahan selaput ketuban tidak mftngurangi perdarahan yang timbul
kemudian, maka seksio sesarea harus dilakukan. Dalam memilih cara persalinan per vaginam
hendaknya dihindarkan cara persalinan yang lama dan sulit karena akan sangat membahayakan ibu
dan janinnya.

Pada kasus yang terbengkalai, dengan anemia berat karena perdarahan atau infeksi
intrauterin, baik seksio sesarea maupun persalinan per vaginam sama-sama tidak mengamankan ibu
maupun janinnya. Akan tetapi, dengan bantuan transfusi darah dan antlbiotika secukupnya, seksio
sesarea masih lebih aman daripada persalinan per vaginam untuk semua kasus plasenta previa
totalis dan kebanyakan kasus plasenta previa parsialis. Seksio sesarea pada multigravida yang telah
mempunyai anak-hidup cukup banyak dapat dipertimbangkan dilanjutkan dengan histerektomia
untuk menghmdarkan perdarahan postpartum yang sangat mungkin akan terjadi, atau sekurang-
kurangnya dipertimbangkan untuk dilanjutkan dengan sterilisasi untuk menghmdarkan kehamilan
berikutnya.

Terdapat 2 pilihan cara persalinan, yaitu persalinan per vaginam, dan persalinan per
abdominam (seksio sesarea), Persalinan per vaginam bertujuan agar bagian terbawah janin menekan
plasenta dan bagian plasenta yang b'erdarah selama persalinan berlangsung, sehingga perdarahan
berhenti. Seksio sesarea bertujuan untuk secepatnya mengangkat sumber perdarahan; dengan
demikian, memberikan kesempatan kepada uterus untuk berkontraksJ menghentikan perdarahannya,
dan untuk menghindarkan perlukaan serviks dan segmen-bawah uterus yang rapuh apabila
dilangsungkan persalinan per vaginam.

Persalinan per vaginam. Pemecahan selaput ketuban adalah cara yang terpilih untuk
melangsungkan persalinan per vaginam, karena (1) bagian terbawah janin akan menekan plasenta
dan bagian plasenta yang berdarah; dan (2) bagian plasenta yang berdarah itu dapat bebas
mengikuti regangan segmen-bawah uterus, sehingga pelepasan plasenta dari segmen-bawah uterus
lebih lanjut dapat dihindarkan.
Apabila pemecahan selaput ketuban tidak berhasll menghentikan perdarahan, maka terdapat
2 cara lainnya yang lebih keras menekan plasenta dan mungkin pula lebih cepat menyelesalkan
persalinan, yaitu pemasangan cunam Willett, dan versi Braxton-Hicks. Kedua cara ini sudah
ditinggalkan dalam dunia kebidanan mutakhir karena seksio sesarea jauh lebih aman bagi ibu dan
janinnya daripada kedua cara itu. Akan tetapi, kedua cara ini masih mempunyai tempat tertentu
dalam dunia kebidanan, umpamanya dalam keadaan darurat sebagai pertolongan pertama untuk
mengatasi perdarahan banyak, atau apabila seksio sesarea tidak mungkin dilakukan.

Semua cara ini mungkin mengurangi atau menghentikan perdarahan; dengan demikian,
menolong ibu, akan tetapi tidak selalu menolong janinnya. Tekanan yang ditimbulkan terus
menerus pada plasenta akan mengurangi sirkulasi darah antara uterus dan plasenta, sehingga dapat
menyebabkan anoksia sampai kematian janin. Oleh karena itu, cara ini cenderung dilakukan pada
janin yang telah mati, atau yang prognosisnya untuk hidup di luar uterus tidak baik. Cara ini,
apabila akan dilakukan, lebih tepat dilakukan pada multipara karena persalinannya dijamin lebih
lancar; dengan demikian tekanan pada plasenta berlangsung tidak terlampau lama, Seksio sesarea.
Di rumah sakit yang serba lengkap, seksio sesarea akan merupakan cara persalinan yang terpilih.
Nesbitt (1962) melaporkan 65% dan semua kasus plasenta previanya diselesaikan dengan seksio
sesarea. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, antara tahun 1971 — 1975, seksio sesarea
dilakukan pada kira-kira 90% dari semua kasus plasenta previa, yang kebanyakan terdiri dari kasus-
kasus yang tidak terdaftar. Gawat janin, atau kematian janin tidak boleh merupakan halangan untuk
melakukan seksio sesarea, demi keselamatan ibu. Akan tetapi, gawat ibu mungkin terpaksa
menunda seksio sesarea sampai keadaannya dapat diperbaiki, apabila fasilitas memungkinkan.
Apabila fasilitasnya tidak memungkinkan untuk segera memperbaiki keadaan ibu, jangan ragu-ragu
untuk melakukan seksio sesarea jika itu satu-satunya tindakan yang terbaik, seperti pada plasenta
previa totalis dengan perdarahan banyak.

Dalam keadaan gawat, laparotomi dengan sayatan kulit median jauh lebih cepat dapat
dilakukan daripada dengan sayatan Pfannenstiel yang lebih kosmetik itu. Sayatan pada dinding
uterus sedapat mungkin menghindarkan sayatan pada plasenta, agar perdarahan dari pihak ibu dan
janin jangan lebih banyak lagi. Perdarahan dari pihak janin akan sangat membahayakan
kehidupannya, apabila tidak segera ditemukan tali pusatnya untuk kemudian dijepit.

Walaupun diakui bahwa seksio sesarea transperitonealis profunda merupakan jenis operasi
yang terbaik untuty melahirkan janin per abdominam, akan tetapi hendaknya jangan ragu-ragu
untuk melakukan seksio sesarea korporalis apabila ternyata plasenta pada dinding-depan uterus,
untuk menghindarkan sayatan pada plasenta, dan menghindarkan sayatan pada segmen-bawah
uterus yang biasanya rapuh dan penuh dengan pembuluh darah besar-besar; dengan demikian,
menghindarkan perdarahan postpartum.
Perdarahan yang berlebihan dari bekas insersio plasenta tidak selalu dapat diatasi dengan
pemberian uterotonika, apalagi kalau penderita telah sangat anemis. Memasukkan tampon ke dalam
uterus untuk menghentikan perdarahan dari segmen-bawah uterus selagi melakukan seksio sesarea
merupakan suatu tindakan yang tidak adekuat. Histerektomia totalis merupakan tindakan yang cepat
untuk menghentikan perdarahan, dan dapat menyelamatkan jiwa penderita; namun sebelumnya
sebaiknya dicoba terlebih dahulu untuk menghentikan perdarahan itu dengan jahitan. Apabila cara-
cara tersebut tidak berhasil mengatasi perdarahan, dianjurkan untuk menghentikan perdarahan
demikian itu dengan jalan mengikat arteria hipogastrika.

Prognosis

Dengan penanggulangan yang baik seharusnya kematian ibu karena plasenta previa rendah
sekali, atau tidak ada sama sekali. Sejak diperkenalkannya penanganan pasif pada tahun 1945,
kematian perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun demikian, hingga kini kematian
perinatal yang disebabkan prematuritas tetap memegang peranan utama.

Penanganan pasif maupun aktif memerlukan fasilitas tertentu, yang belum dicukupi pada
banyak tempat di tanah air kita, sehingga beberapa tindakan yang sudah lama ditinggalkan oleh
dunia kebidanan mutakhir masih terpaksa dipakai juga seperti pemasangan cunam Willett, dan versi
Braxton-Hicks. Tindakan-tindakan ini sekurang-kurangnya masih dianggap penting untuk
menghentikan perdarahan di mana fasilitas seksio sesarea belum ada. Dengan demikian tindakan-
tindakan itu lebih banyak ditujukan demi keselamatan ibu daripada janinnya.

SOLUSIO PLACENTA

A. Definisi

Solusio plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh jaringan plasenta yang berimplantasi
normal pada kehamilan di atas 22 minggu dan sebelum anak lahir.

B. Etiologi

Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui pasti. Meskipun demikian ada
beberapa faktor yang diduga mempengaruhi nya, antara lain :

1. penyakit hipertensi menahun


2. pre-eklampsia
3. tali pusat yang pendek
4. trauma
5. tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior
6. uterus yang sangat mengecil ( hidramnion pada waktu ketuban pecah, kehamilan ganda
pada waktu anak pertama lahir )
7. defisiensi asam folat
8. ketuban pecah sebelum waktunya
9. merokok, alcohol, kokain
10. mioma uteri
11. umur ibu yang tua
12. multiparitas

C. Klasifikasi

Secara klinis solusio plasenta dibagi dalam :

1. solusio placenta ringan


2. solusio placenta sedang
3. solusio placenta berat

Tiga Kelas Solusio Plasenta Berdasarkan Gejala dan Tanda


Kelas Gejala
Kelas 0 – asimtomatik Gejala tidak ada
Diagnosis dibuat dengan menemukan pembekuan darah yang
terorganisasi atau bagian yang terdepresi pada plasenta yang
sudah dilahirkan
Kelas 1 – ringan Tidak ada atau sedikit perdarahan dari vagina yang warnanya
(Rupturan sinus marginalis kehitam-hitaman
atau sebagian kecil plasenta Rahim yang sedikit nyeri atau terus menerus agak tegang
yang tidak berdarah banyak) Tekanan darah dan frekuensi nadi ibu yang normal
Tidak ada koagulopati
Tidak ada gawat janin
Kelas 2 – sedang Tidak ada hingga adanya perdarahan dari vagina dalam jumlah
(Plasenta lepas lebih dari 1/4- yang sedang
nya tetapi belum sampai 2/3 Nyeri pada uterus yang bersifat sedang hingga berat, bisa
luas permukaannya) disertai kontraksi tetanik. Nyeri perut dirasakan terus
menerus, uterus teraba tegang dan nyeri tekan
Takikardi pada ibu dengan perubahan ortostatik pada tekanan
darah dan frekuensi nadi. Ibu dapat jatuh ke dalam keadaan
syok
Gawat janin
Hipofibrinogenemia (50 – 250 mg/dL), mungkin terjadi
kelainan pembekuan darah
Kelas 3 – berat Tidak ada hingga perdarahan vagina yang berat
(Plasenta telah terlepas lebih Kontraksi tetanik uterus yang sangat nyeri
dari 2/3 luas permukaannya) Syok pada ibu
Hipofibrinogenemia (<150 mg/dL)
Koagulopati
Kematian janin
Pada solusio placenta, darah dari tempat pelepasan mencari jalan keluar antara selaput janin dan
dinding rahim dan akhirnya keluar dari serviks dan terjadilah solusio placenta dengan
perdarahan keluar / tampak. Kadang-kadang darah tidak keluar tapi berkumpul di belakang
placenta membentuk hematom retroplasenta. Perdarahan ini disebut perdarahan ke dalam/
tersembunyi. Kadang- kadang darah masuk ke dalam ruang amnion sehingga perdarahan tetap
tersembunyi.

D. Patologi

Solusio placenta dimulai dengan perdarahan dalam desidua basalis, kemudian terjadi hematom
dalam desidua yang mengangkat lapisan-lapisan di atasnya. Hematom ini makin lama makin
besar sehingga placenta terdesak dan akhirnya terlepas. Jika perdarahan sedikit, hematom yang
kecil itu hanya akan mendesak jaringan placenta, belum mengganggu peredaran darah antara
uterus dan placenta, sehingga tanda dan gejalanya pun tidak jelas. Setelah placenta lahir baru
didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna
kehitaman.

Perdarahan akan berlangsung terus menerus karena otot uterus yang teregang oleh kehamilan
itu tak mampu untuk berkontraksi lebih untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya hematoma
retroplasenter akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya seluruh placenta akan
terlepas. Sebagian akan menyelundup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina atau
menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban, atau mengadakan ekstravasasi di
antara serabut otot uterus. Bila ekstravasasi berlangsung hebat, maka seluruh permukaan uterus
akan berbercak ungu atau biru, disebut uterus couvelaire. Uterus seperti ini sangat tegang dan
nyeri.

Akibat kerusakan jaringan miometrium dan pembekuan retroplasenter, banyak romboplastin


akan masuk ke dalam peredaran darah ibu, sehingga terjadi pembekuan intravaskuler dimana-
mana, menyebabkan sebagian besar persediaan fibrinogen habis.

Akibatnya, terjadi hipofibrinogenemi yang menyebabkan gangguan pembekuan darah pada


uterus maupun alat-alat tubuh lainnya. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan
pembekuan intravaskuler. Oliguria dan proteinuria akan terjadi akibat nekrosis tubuli ginjal
mendadak yang masih dapat sembuh kembali, atau akibat nekrosis korteks ginjal mendadak
yang biasanya berakibat fatal. Nasib janin tergantung dari luasnya placenta yang lepas. Apabila
sebagian besar atau seluruhnya terlepas, anoksia akan mengakibatkan kematian janin. Apabila
sebagian kecil yang lepas, mungkin tidak berpengaruh sama sekali atau mengakibatakan gawat
janin.

Waktu adalah hal yang sangat menentukan dalam beratnya gangguan pembekuan darah,
kelainan ginjal dan nasib janin. Makin lama sejak terjadinya solusio placenta sampai persalinan
selesai, makin hebat komplikasinya.

E. Gejala klinis

1. Perdarahan yang disertai nyeri, juga diluar his.

2. Anemi dan syok, beratnya anemi dan syok sering tidak sesuai dengan banyaknya darah yang
keluar.

3. Uterus keras seperti papan dan nyeri dipegang karena isi uterus bertambah dengan darah
yang berkumpul di belakang placenta sehingga uterus teregang (uterus en bois).

4. Palpasi sukar karena rahim keras.

5. Fundus uteri makin lama makin naik.

6. Bunyi jantung biasanya tidak ada

7. Pada toucher teraba ketuban yang tegang terus menerus (karena isi uterus bertambah

8. Sering ada proteinuri karena disertai preeclampsia

F. Diagnosis

 Diagnosis solusio plasenta didasarkan adanya perdarahan antepartum yang bersifat nyeri, uterus

yang tegang dan nyeri atau sakit perut yang terus menerus, pendarahan pervaginam. Dengan

pemeriksaan USG sangat membantu diagnosis. Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan

antara lain :

 Terlihat daerah terlepasnya plasenta

 Janin dan kandung kemih ibu

 Darah

 Tepian plasenta
G. Gambaran klinik

Solusio plasenta ringan

Ruptura sinus marginalis sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu ataupun janinnya. Apabila
terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitaman dan jumlahnya sedikit sekali. Perut
mungkin terasa agak sakit atau terus menerus agak tegang. Uterus yang agak tegang ini harus
diawasi terus menerus apakah akan menjadi lebih tegang karena perdarahan terus menerus. Bagian
bagian janin masih mudah teraba.

Solusio plasenta sedang

Plasenta telah lepas lebih dari seperempatnya tapi belum sampai duapertiga luas permukaannya.
Tanda dan gejalanya dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, atau mendadak
dengan gejala sakit perut terus menerus, yang disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun
perdarahan pervaginam tampak sedikit, mungkin perdarahan telah mencapai 1000ml. Dinding
uterus teraba tegang terus menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar diraba. Bila
janin masih hidup, bunyi jantungnya sukar didengar dengan stetoskop biasa, harus dengan stetoskop
ultrasonic. Tanda-tanda persalinan biasanya telah ada dan akan selesai dalam waktu 2 jam. Kelainan
pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun biasanya terjadi pada solusio
plasenta berat.

Solusio plasenta berat.

Plasenta telah lepas lebih dari duapertiga permukaannya. Terjadi sangat tiba-tiba. Biasanya ibu
telah jatuh dalam syok dan janin telah meninggal. Uterus sangat tegang seperti papan, sangat nyeri,
perdarahan pervaginam tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, malahan mungkin , perdarahan
pervaginam belum sempat terjadi. Besar kemungkinan telah terjadi kelainan pembekuan darah dan
kelainan ginjal.

J. Komplikasi

Komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dan lamanya
solusio plasenta berlangsung. Komplikasinya antara lain :

1. Perdarahan

Perdarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah,
kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Persalinan dapat dipercepat dengan
pemecahan ketuban dan pemberian infus dengan oksitosin. Bila persalinan telah selesai,
penderita belum bebas dari bahaya perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak
kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala 3, dan kelainan pembekuan darah. Kontraksi
uterus yang tidak kuat itu disebabkan oleh ekstravasasi darah diantara otot-otot miometrium,
seperti yang terjadi pada uterus couvelaire. Apabila perdarahan postpartum itu tidak dapat
diatasi dengan kompresi bimanual uterus, pemberian uterotonika, maupun pengobatan kelainan
pembekuan darah, maka tindakan terakhir adalah histerektomia atau pengikatan arteri
hipogastrika.

2. Kelainan pembekuan darah.

Kelainan pembekuan darah biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemi. Page (1951) dan
Schneider (1955) menerangkan dengan masuknya tromboplastin ke dalam peredaran darah ibu
akibat terjadinya pembekuan darah retroplasenta, sehingga terjadi pembekuan darah
intravascular dimana-mana, yang akan menghabiskan faktor-faktor pembekuan darah lainnya,
terutama fibrinogen. Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah
450mg% , berkisar antara 300-700mg% dalam 100cc. Di bawah 150mg per 100cc disebut
hipofibrinogenemi. Apabila kadar fibrinogen lebih rendah dari 100mg% per 100cc, akan terjadi
gangguan pembekuan darah.

Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan
secara laboratorium.

 Penentuan kuantitatif kadar fibrinogen

 Pengamatan pembekuan darah untuk menentukan :

o Waktu pembekuan darah

o Besarnya dan kemantapan bekuan darah

o Adanya factor seperti heparin (antikoagulansia) dalam peredaran darah

o Adanya fibrinolisin dalam peredaran darah

 Hitung trombosit

 Penentuan waktu protrombin

 Penentuan waktu tromboplastin


Penentuan fibrinogen secara laboratoris memakan waktu yang lama. Oleh karena itu untuk
keadaan akut baik dilakukan clot observation test,dengan cara:

Kira-kira 5ml darah ibu dimasukkan ke dalam tabung reaksi berukuran 15 ml,
kemudian digoyang perlahan-lahan setiap semenit sekali. Apabila dalam 6 menit
tidak terjadi bekuan, ataupun terjadi bekuan tapi bentuknya tidak padat dan mencair
1 jam kemudian, hal itu menunjukkan adanya kelainan pembekuan darah.

Besar bekuannya abnormal bila hanya menempati kurang dari 35-45% dari volume darah
semula, dan kemantapannya abnormal apabila bekuannya tidak tahan kocokan beberapa kali
setelah setengah jam.

Waktu pembekuan seperti diperiksa pengamatan pembekuan darah itu menunjukkan kira-
kira kadar fibrinogen darahnya. Apabila waktu pembekuannya kurang dari 6 menit, kadar
fibrinogen darahnya kira-kira lebih dari 150mg%. Apabila waktu pembekuannya lebih dari
6 menit dan bekuannya kurang baik, kadar fibrinogen darahnya kira-kira 100-150mg%.
Apabila tidak terbentuk bekuan dalam waktu 30 menit, kadar fibrinogen darahnya mungkin
lebih rendah dari 100mg%.

Terjadinya hipofibrinogenemi :

Biasanya koagulopati terjadi dalam 2 fase yaitu :

Fase 1: Pada pembuluh darah terminal (arteriol, kapiler, venol) terjadi


pembekuan darah, disebut disseminated intravascular clotting.
Akibatnya peredaran darah kapiler terganggu. Jadi, pada fase 1 turunnya

kadar fibrinogen disebabkan pemakaian zat tersebut maka fase 1 disebut

juga koagulopati konsumtif.

Diduga bahwa hematom retroplasenta mengeluarkan tromboplastin yang

menyebabkan pembekuan intravascular tersebut. Akibat gangguan

mikrosirkulasi, terjadi kerusakan jaringan pada alat-alat yang penting

karena hipoksia. Kerusakan ginjal menyebabkan oliguri / anuri dan akibat

gangguan mikrosirkulasi ialah syok.


Fase 2: Fase ini sebetulnya fase regulasi reparative ialah usaha badan untuk
membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan
dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan,akan menurunkan kadar fibrinogen
hingga terjadi perdarahan patologis.

3. Oliguria

Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita biasanya masih baik. Oleh karena itu, oliguria
hanya dapat diketahui dengan pengukuran teliti pengeluaran urin yang harus secara rutin
dilakukan pada solusio plasenta sedang, dan solusio plasenta berat, apalagi yang disertai
perdarahan tersembunyi, pre eklampsia, atau hipertensi menahun.

Terjadinya oliguria belum dapat diterangkan dengan jelas. Mungkin berhubungan dengan
hipovolemi dan penyempitan pembuluh darah ginjal akibat perdarahan yang banyak.
Adapula yang menerangkan bahwa tekanan intrauterin yang tinggi menimbulkan reflex
penyempitan pembuluh darah ginjal. Kelainan pembekuan darah berperan pula dalam
terjadinya kelainan fungsi ginjal ini.

4. Gawat janin

Jarang kasus solusio plasenta datang dengan janin yang masih hidup. Kalaupun masih
hidup,biasanya keadaannya sudah sedemikian gawat, kecuali pada kasus solusio plasenta
ringan.

K. Penanganan solusio plasenta

Solusio plasenta ringan

Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu, perdarahannya kemudian berhenti, perutnya


tidak menjadi sakit, uterusnya tidak menjadi tegang maka penderita dapat dirawat secara
konservatif di rumah sakit dengan observasi ketat.

Solusio plasenta sedang dan berat

Apabila perdarahannya berlangsung terus, dan gejala solusio plasenta bertambah jelas, atau
dalam pemantauan USG daerah solusio plasenta bertambah luas, maka pengakhiran
kehamilan tidak dapat dihindarkan lagi. Apabila janin hidup, dilakukan sectio caesaria.
Sectio caesaria dilakukan bila serviks panjang dan tertutup, setelah pemecahan ketuban dan
pemberian oksitosin dalam 2 jam belum juga ada his. Apabila janin mati, ketuban segera
dipecahkan untuk mengurangi regangan dinding uterus disusul dengan pemberian infuse
oksitosin 5 iu dalam 500cc glukosa 5% untuk mempercepat persalinan.

Pengobatan Umum :

a. Transfusi darah.

Transfusi darah harus segera diberikan tidak peduli bagaimana keadaan umum
penderita waktu itu. Karena jika diagnosis solusio placenta dapat ditegakkan itu
berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000ml.

b. Pemberian O2

c. Pemberian antibiotik.

d. Pada syok yang berat diberi kortikosteroid dalam dosis tinggi.

- Khusus :

a. Terhadap hipofibrinogenemi : substitusi dengan human fibrinogen 10gr atau darah


segar dan menghentikan fibrinolisis dengan trasylol (proteinase inhibitor) 200.000 iu
diberikan IV, selanjutnya jika perlu 100.000 iu / jam dalam infus. Pemberian 1 gram
fibrinogen akan meningkatkan kadar fibrinogen darah 40 mg%.

Jadi apabila kadar fibrinogen sangat rendah atau tidak ada sama sekali, diperlukan
sekurangnya 4 gram fibrinogen untuk menaikkan di atas kadar kritis fibrinogen
darah 150mg%.

Biasanya diperlukan 4-6 gram fibrinogen yang dilarutkan dalam glucosa 10%,
diberikan IV perlahan-lahan selama 15-30 menit. Apabila tidak ada fibrinogen,
transfusikan darah segar yang mengandung kira-kira 2 gram fibrinogen per
1000ml.Sehingga dengan transfusi darah lebih dari 2000ml, kekurangan fibrinogen
dalam darah dapat diatasi.

b. Untuk merangsang diuresis : manitol, diuresis yang baik lebih dari 30-40cc/jam.

c. Pimpinan persalinan pada solusio plasenta bertujuan untuk mempercepat persalinan


sedapat-dapatnya kelahiran terjadi dalam 6 jam. Apabila persalinan tidak selesai
atau diharapkan tidak akan selesai dalam waktu 6 jam setelah pemecahan selaput
ketuban dan infus oksitosin , satu-satunya cara adalah dengan melakukan sectio
caesaria.

d. Histerektomi dilakukan bila ada atonia uteri yang berat yang tidak dapat

diatasi dengan usaha-usaha yang lazim.

Alasan :

Bagian placenta yang terlepas meluas

Perdarahan bertambah

Hipofibrinogenemi menjelma atau bertambah

L. Prognosis

Prognosis ibu tergantung dari luasnya placenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya
perdarahan, derajat kelainan pembekuan darah, ada tidaknya hipertensi menahun atau pre
eklampsia, tersembunyi tidaknya perdarahannya dan jarak waktu antara terjadinya solusio
placenta sampai pengosongan uterus.

Prognosis janin pada solusio placenta berat hampir 100% mengalami kematian. Pada solusio
placenta ringan dan sedang kematian janin tergantung dari luasnya placenta yang terlepas dari
dinding uterus dan tuanya kehamilan. Perdarahan yang lebih dari 2000ml biasanya
menyebabkan kematian janin.Pada kasus solusio placenta tertentu sectio caesaria dapat
mengurangi angka kematian janin. Persediaan darah secukupnya akan sangat membantu
memperbaiki prognosis ibu dan janinnya

PERDARAHAN POSTPARTUM

Pada pelepasan plasenta selalu terjadi perdarahan karena sinus-sinus maternalis di tempat
insersinya pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab kontraksi dan
retraksi otot-otot uterus menekan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka, sehingga lumennya
tertutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah. Seorang wanita sehat dapat
kehilangan 500 ml darah tanpa akibat buruk. Istilah perdarahan postpartum digunakan apabila
perdarahan setelah anak lahir melebihi 500 ml. Perdarahan primer terjadi dalam 24 jam pertama dan
sekunder sesudah itu. Hal-hal yang menyebabkan perdarahan postpartum mlah: 1) atonia uteri; 2)
perlukaan jalan lahir; 3) terlepasnya sebagian plasenta dari uterus; 4) tertinggalnya sebagian dari
plasenta umpamanya kotiledon atau plasenta suksenturiata.

Kadang-kadang perdarahan disebabkan kelainan proses pembekuan darah akibat dari


hipofibrinogenemia (solusio plasenta, retensi janin mati dalam uterus, emboli air ketuban). Apabila
sebagian plasenta lepas sebagian lagi belum, terjadi perdarahan karena uterus tidak bisa
berkontraksi dan beretraksi dengan baik pada batas antara dua bagian itu, Selanjiytnya, apabila
sebagian besar plasenta sudah lahir, tetapi sebagian kecil masih mtlekat pada dinding uterus, dapat
timbul perdarahan dalam masa nifas. Perlukaan pada jalan lahir yang juga menjadi sebab
perdarahan dibahas dalam bab (sesuaikan). Sebab terpenting perdarahan post partum lalah atonia
uteri. Ini dapat terjadi sebagai akibat: a) partus lama; b) pembesaran uterus yang berlebihan pada
waktu hamil, seperti pada hamil kembar, hidramnion atau janin besar; c) multipantas; d) anestesi
yang dalam; e) anestesi lumbal.

Atonia juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat
uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum
terlepas dari uterus.

Diagnosis

Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu
pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita telah kehilangan
banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan
darah menurun. Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari
volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik; gejala-gejala baru tampak pada kehilangan
darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Diagnosis perdarahan post
partum dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan - setelah anak lahir - secara rutin diukur
pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya.

Apabila terjadi perdarahan postpartum dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk
melahirkan plasenta dengan segera. Jikalau plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan
akibat atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan karena atonia,
uterus membesar dan lembek pada palpasi; sedang pada perdarahan karena perlukaan, uterus
berkontraksi dengan baik. Dalam hal uterus berkontraksi dengan baik perlu diperiksa lebih lanjut
tentang adanya dan di mana letaknya perlukaan dalam jalan lahir. Pada persalinan di rumah sakit,
dengan fasilitas yang baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya kematian karena
perdarahan post partum dapat dicegah. Tetapi kematian tidak selalu dapat dihindarkan, terutama
apabila penderita masuk rumah sakit daiam keadaan syok karena sudah kehilangan darah banyak.
Karena persalinan di Indonesia sebagian besar terjadi di luar rumah sakit, perdarahan postpartum
merupakan sebab utama (terpenting) kematian dalam persalinan.

Di samping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan


infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa
menyebabkan sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga
terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejala-gejalanya ialah astenia, hipotensi, anemia, turunnya berat
badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital,
kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabohsme dengan hipotensi, amenorea dan
kehilangan fungsi lakfiasi.

Penanganan

Terapi terbaik ialah pencegahan. Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan
dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila
sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan postpartum, persalinan harus
berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian
janin dalam uterus dan solusio plasenta. Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah
sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah
perdarahan post partum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak lahir
untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg
ergometrin, intramuskulus. Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir
pada presentasi kepala, menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir; dengan
tekanan pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan.
Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu lahir adalah kemungkinan
terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gemelli yang tidak diketahui
sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal harus dilakukan, yakni
menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Jika plasenta belum
lahir, segera dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya. Hal ini akan dibahas febih lanjut dalam
pembicaraan tentang retensio plasenta. Setelah plasenta lahir, perlu ditentukan apakah di sini
dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan atonik
dengan segera dilakukan massage uterus dan suntikan 0,2 mg ergometrin intravena. Jika tindakan
ini tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu yang singkat, perlu dilakukan kompresi
bimanual pada uterus. Tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam vagina dan sambil membuat
kepalan diletakkan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita
dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-jari
lain di belakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang antara 2 tangan; tangan kanan
melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri.
Kompresi bimanual melelahkan penolong sehingga jika tidak lekas memberi hasil, perlu
diganti dengan perasat yang lain. Perasat Dickinson mudah diselenggarakan pada seorang multipara
dengan dinding perut yang sudah lembek. Tangan kanan diletakkan melintang pada bagian-bagian
uterus, dengan jari kelingking sedikit di atas simfisis melingkari bagian tersebut sebanyak mungkin,
dan mengangkatnya ke atas. Tangan kiri memegang korpus uteri dan - sambil melakukan massage -
menekannya ke bawah ke arah tangan kanan dan ke belakang ke arah promontorium. Akhirnya
masih dapat dilakukan tamponade uterovaginal. Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak
dilakukan lagi karena umumnya dengan usaha-usaha tersebut di atas perdarahan yang disebabkan
oleh atonia uteri sudah dapat diatasi. Lagi pula dikhawatirkan bahwa tamponade yang dilakukan
dengan teknik yang tidak sempurna tidak menghindarkan perdarahan dalam uterus di belakang
tampon. Dengan seorang pembantu memegang dan menahan fundus uteri, tangan kiri penolong
diletakkan di vagina dengan ujung-ujung jari untuk sebagian masuk ke serviks uteri. Tangan kanan
dengan petunjuk tangan kiri memasukkan tampon kasa panjang ke dalam uterus sampai kavum uteri
terisi penuh. Untuk menjamin bahwa tampon benar-benar mengisi kavum uteri dengan padat,
kadang-kadang usaha memasukkan tampon dihentikan sebentar untuk memberi kesempatan kepada
tangan dalam uterus untuk menekan tampon pada dinding kavum uteri. Dengan mengisi kavum
uteri secara padat, dapat dihindarkan terjadinya perdarahan di belakang tampon. Tekanan tampon
pada dinding uterus menghalangi pengeluaran darah dari sinus-sinus yang terbuka; selain itu
tekanan tersebut menimbulkan rangsangan pada miometrium untuk berkontraksi. Sesudah uterus
diisi, tampon dimasukkan juga ke dalam vagina. Tampon diangkat 24 jam kemudian.

Pada perdarahan di atas masih ada kemungkman untuk dengan laparotomi melakukan
ikatan arteria hipogastrika kanan dan kiri atau histerektomi. Sebab-sebab hipofibrinogenemi sudah
dikemukakan di atas; berhubung dengan itu perlu dipikirkan perdarahan yang disebabkan oleh
gangguan pembekuan, jika terdapat solusio plasenta, retensi janm maiii dalam uterus dan emboli air
ketuban. Terapi yang terbaik terhadap perdarahan disebabkan oleh hipofibrinogenemi ialah
transfusi darah segar, ditambah dengan pemberian fibrinogen jikalau ada persediaan.

RETENSIO PLASENTA

Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah jan ;n lahir, hal itu dinamakan retensio
plasenta. Sebab-sebabnya ialah: a) plasenta belum lepas dari dinding uterus; atau b) plasenta sudah
lepas, akan tetapi belum dilahirkan.

Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi
perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding
uterus karena: a) kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva); b)
plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus desidua sampai
miometrium - sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta - perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh
tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi
lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio
plasenta).

Penanganan

Apabila plasenta belum lahir l/2 jam setelah anak lahir, harus diusahakan untuk
mengeluarkannya. Dapat dicoba dahulu perasat menurut Crede. Tindakan ini sekarang tidak banyak
dianjurkan karena memungkinkan terjadinya inversio uteri; tekanan yang keras pada uterus dapat
pula menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras dengan kemungkinan syok.
Akan tetapi, dengan teknik yang sempurna hal-hal itu dapat dihindarkan. Salah satu cara lain untuk
membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt. Dengan salah satu tangan, penolong memegang
tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan pada dinding perut di atas simfisls sehingga
permukaan palmar jari-jari tangan terletak di permukaan depan rahim, Idra-kira pada perbatasan
segmen bawah dan badan rahim. Dengan melakukan tekanan ke arah atas belakang, maka badan
rahim akan terangkat. Apabila plasenta telah lepas, maka tali pusat tidak tertarik ke atas. Kemudian
tekanan di atas simfisis diarahkan ke bawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan
ringan pada tali pusat untuk membantu mengeluarkan plasenta. Yang selalu tidak dapat dicegah
ialah bahwa plasenta tidak dapat dilahirkan seluruhnya, melainkan sebagian masih ketinggalan yang
harus dikeluarkan dengan tangan. Pengeluaran plasenta dengan tangan kini dianggap cara yang
paling baik. Dengan tangan kiri menahan fundus uteri supaya uterus jangan naik ke atas, tangan
kanan dimasukkan ke dalam kavum uteri. Dengan mengikuti tali pusat, tangan itu sampai pada
plasenta dan mencari pinggir plasenta. Kemudian jari-jari tangan itu dimasukkan antara pinggir
plasenta dan dinding uterus. Biasanya tanpa kesulitan plasenta sedikit demi sedikit dapat dilepaskan
dari dinding uterus untuk kemudian dilahirkan.

Banyak kesulitan dialami dalam pelepasan plasenta pada plasenta akreta. Plasenta hanya
dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahan serta perforasi mengancam.
Apabila berhubungan dengan kesulitan-kesulitan tersebut di atas akhirnya diagnosis plasenta
inkreta dibuat, sebaiknya usaha mengeluarkan plasenta secara bimanaal dihentikan, lalu dilakukan
histerektomi.

Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk dilahirkan karena lingkaran
konstriksi (inkarserasio plasenta} tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam vagina dan ke bagian
bawah uterus dengan dibantu oleh anestesla umum untuk melonggarkan konstriksi. Dengan tangan
tersebut sebagai petunjuk dimasukkan cunam ovum melalui lingkaran konstriksi untuk memegang
plasenta, dan perlahan-lahan plasenta sedikit demi sedikit ditarik ke bawah melalui tempat sempit
itu.

INVERSIO UTERI

Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah
dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam
kala III atau segera setelah plasenta keluar. Menurut perkembangannya inversio uteri dapat dibagi
dalam beberapa tingkat.

Gejala-gejala klinik

Inversio uteri bisa terjadi spontan atau sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia
uteri kenaikan tekanan intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau meneran, dapat
menyebabkan masuknya fundus ke dalam kavum uteri yang merupakan permulaan inversio uteri.

Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri ialah perasat Crede pada korpus uteri
yang tidak berkontraksi baik, dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari
dinding uterus.

Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila kelainan
itu sejak awalnya tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa
menyebabkan syok. Rasa nyeri keras disebabkan karena fundus uteri menarik adneksa serta
ligamentum infundibulopelvikum dan ligamentum rotundum kanan dan kiri ke dalam terowongan
inversio dan dengan demikian mengadakan tarikan yang kuat pada peritoneum parietal. Kecuali jika
plasenta yang seringkaK belum lepas dari uterus masih melekat seluruhnya pada dinding uterus,
terjadi juga perdarahan.

Diagnosis

Diagnosis tidak sukar dibuat jika diingat kemungkinan inversio uteri. Pada penderita
dengan syok, perdarahan, dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III
atau setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak di atas
serviks uteri atau dalam vagina, sehingga diagnosis inversio uteri dapat dibuat.

Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam vagina terdapat pula tumor yang serupa,
akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam bentuk dan pada tempat biasa, sedang konsistensi mioma
lebih keras daripada korpus uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang sekali mioma submukosum
ditemukan pada persalinan cukup bulan atau hampir cukup,, bulan.

Prognosis
Walaupun inversio uteri kadang-kadang bisa terjadi tanpa banyak gejala dengan penderita
tetap dalam keadaan baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat dengan
angka kematian tinggi (15—70%). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk
keselamatan penderita.

Penanganan

Dalam memimpin persalinan harus dijaga kemungkinan timbulnya inversio uteri. Tarikan
pada tali pusat sebelum plasenta benar-benar lepas, jangan dilakukan dan apabila dicoba melakukan
perasat Crede harus diindahkan sepenuhnya syarat-syaratnya.

Apabila terdapat inversio uteri dengan gejala-gejala syok, gejala-gejala itu perlu diatasi
lebih dahulu dengan infus mtravena cairan elektrolit dan transfusi darah, akan tetapi segera sesudah
itu reposisi harus dilakukan, Makin kecil jarak waktu antara terjadinya inversio uteri dan
reposisinya, makrn mudah tindakan ini dapat dilakukan. Untuk melakukan reposisi, yang perlu
diselenggarakan dengan anestesia umum, tangan seluruhnya dimasukkan ke dalam vagina sedang
jari-jari tangan dimasukkan ke dalam kavum uteri melalui serviks uteri yang mungkin sudah mulai
menciut, telapak tangan menekan korpus perlahan-lahan tetapi terus menerus ke arah atas agak ke
depan sampai korpus uteri melewati serviks dan inversio ditiadakan. Suntikan intravena 0,2 mg
ergomtrin kemudian diberikan dan jika dianggap masih perlu, dilakukan tamponade uterovaginal.

Apabila reposisi per vaginam gagal, sebaiknya dilakukan pembedahan menurut Haultem.
Dikerjakan laparotomi, dinding belakang lingkaran konstriksi dibuka, sehingga memungkinkan
penyelenggaraan reposisi uterus sedikit demi sedikit, kemudian luka di belakang uterus dijahit dan
luka laparotomi ditutup.

Pada inversio uteri menahun, yang ditemukan beberapa lama setelah persalinan, sebaiknya
ditunggu berakhlrnya involusi untuk kemudian dilakukan pembedahan per vaginam (pembedahan
menurut Spinelli).
DAFTAR PUSTAKA

Arif Manjoer, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan, Kapita
Selekta Kedokteran, Fakultas Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2002

K. Bertens, Aborsi sebagai Masalah Etika PT. Gramedia, Jakarta : 2003

Sarwono, Pengantar Ilmu Kandungan, 1991, Yayasan Pustaka.

Sarwono. Pengantar Ilmu Acuan Nasional, 2002 Yayasan Pustaka

Internet, Catatan Kuliah Obstetri dan Ginekologi Plus buat ko-as FKUI

You might also like