You are on page 1of 8

JILBAB DAN KHIMAR, BUSANAH MUSLIMAH DALAM KEHIDUPAN

UMUM
Friday, 09 September 2005
Oleh :Ust. M. Shiddiq Al Jawi

1. Pengantar
Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak
sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal
tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31
disebut dengan istilah khimar (jamaknya : khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang
terdapat dalam surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh
tubuh perempuan dari atas sampai bawah.

Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu
yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau
memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau
bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah
menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu.
Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti
yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah
satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya
misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau
mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau
mencetak tubuh alias ketat –atau menggunakan bahan tekstil yang transparan-- tetap belum
dianggap busana muslimah yang sempurna.

Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada
ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat
rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam,
terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya).
Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date,
jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak
seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.

Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih,
apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung
perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan
hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang
dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam
limbah dosa dan kesesatan.

Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam
akan menjadi sesuatu yang asing –termasuk busana jilbab-- sebagaimana awal kedatangan
Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang
Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan in sya-allah, dalam
kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang
berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat.
Sabda Nabi SAW :

“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing.
Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim no. 145)

“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran


pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu
amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal
amalan itu. Ada yang berkata,’Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara
mereka ?” Rasululah SAW menjawab,”Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para
shahabat).” (HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan)

2. Aurat dan Busana Muslimah

Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-
masalah yang berbeda-beda.

Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.

dua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-
tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah
pribadi, atau tempat kost.

Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di
mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-
jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan
umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.

a. Batasan Aurat Wanita

Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya.
Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun
cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib
ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT :

'Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya.' (QS An Nuur : 31)

Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan


perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka
menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan). (Lihat Abu
Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz III hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada
anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua
telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan
Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab
tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an Juz XVIII hal. 84, mengenai apa yang dimaksud
dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha) : “Pendapat
yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan,’Yang dimaksudkan adalah wajah
dan dua telapak tangan.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam
kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz XII hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).

Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak
tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di
hadapan Nabi SAW sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang
nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat
di masa Rasulullah SAW, yaitu di masa masih turunnya ayat Al Qur`an (An-Nabhani, 1990 :
45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita
adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah SAW kepada
Asma` binti Abu Bakar :

'Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh
baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak
tangannya.' (HR. Abu Dawud)

Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu
adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk
menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.

b. Busana Muslimah dalam Kehidupan Khusus

Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak
menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan
secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-
Nya (QS An Nuur : 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda
Nabi SAW “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) (HR.
Abu Dawud). Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak
tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan
daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos
juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.

Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu
yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar'i, tanpa
melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.

Namun demikian syara' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan
dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak
diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila
kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui
apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh
dijadikan penutup aurat.

Mengenai dalil bahwasanya syara' telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui
warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti
Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu
Rasulullah SAW berpaling seraya bersabda :

'Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh
baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.' (HR. Abu Dawud)

Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap
menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya
menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.

Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai
oleh Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada
Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada
isterinya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :

'Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya
aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.'(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan
sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, Juz I hal.
441) (Al-Albani, 2001 : 135).

Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW mengetahui
bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai
di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu,
sehingga beliau bersabda : 'Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah
itu.'

Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara'
telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar
inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak
tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.

c. Busana Muslimah dalam Kehidupan Umum

Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan
khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan
umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian
pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas
dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum,
atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan
umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan
umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau
baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan
mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.

Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat
menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki
yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya
(tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki
asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104).
Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj,
sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.

Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang
disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua
pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus,
supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.

Apakah pengertian jilbab ? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo
: Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi
kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal
milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju
terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah” (pakaian luar yang digunakan untuk
menutupi seluruh tubuh wanita).

Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari
kepala sampai bawah) (Arab : milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di
bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu
diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.

Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya
yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini
harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum
(An-Nabhani, 1990 : 48).

Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya
keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju
kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia
tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis
pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh
keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT
mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :

'Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan


perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.' (QS An Nuur : 31)

Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab) :

'Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri


orang mu'min: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.' (QS Al Ahzab : 59)

Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang
diriwayatkan dari Ummu 'Athiah RA, bahwa dia berkata :

'Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka
Ummu ‘Athiyah berkata,’Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Maka
Rasulullah SAW menjawab: 'Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya
kepadanya!'(Muttafaqun ‘alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82).

Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya
Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan : “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab
itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika
tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).

Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam
kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas
yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian
yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu
'Athiah RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab –untuk keluar di lapangan
sholat Ied (kehidupan umum)—maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama
muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak akan memerintahkan wanita mencari
pinjaman jilbab.

Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai
menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna”
(Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.).

Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal
(mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini –yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila
asfal-- diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah SAW telah
bersabda :

“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan
melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus
diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi SAW
menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’(yakni dari
separoh betis). Ummu Salamah menjawab,’Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’
Lalu Nabi menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an)
dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” (HR. At-Tirmidzi Juz III, hal. 47; hadits sahih)
(Al-Albani, 2001 : 89)

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang
dikenakan wanita di atas pakaian rumah --yaitu jilbab-- telah diulurkan sampai ke bawah
hingga menutupi kedua kaki.

Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur
sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah
dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah
mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan
min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan
(menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan
sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka
mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).(An-Nabhani, 1990 : 45-
51)

3. Penutup

Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju
terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah
mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam Al Qur`an.

Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah
berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang
terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu
dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya
dipandang berdosa di sisi Allah. [ ]

DAFTAR BACAAN

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an dan
As Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa As-Sunnah). Alih Bahasa Hawin
Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan ke-6. (Solo : At-Tibyan).

----------. 2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim ‘Ala Man Khalafa
Al-‘Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi Satri Wajhiha wa
Kaffayha wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Media
Hidayah).

Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu Tinjauan Syariat
Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta : Gema Insani Press).

Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah. Cetakan
ke-1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).

Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan Kewajiban. Cetakan
Ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).

Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul Ma’arif)

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam. Cetakan ke-3. (Beirut :


Darul Ummah).

Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat Islam. Cetakan
ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).

Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang Memandang, Berkhalwat, dan
Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar wa al-Khalwah wa Al-Ikhtilath). Alih
Bahasa Team At-Tibyan. Cetakan ke-5. (Solo : At-Tibyan).

Taimiyyah, Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Sholat (Hijab Al-Mar`ah
wa Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Alih Bahasa
Hawin Murtadlo. Cetakan ke-2. (Solo : At-Tibyan).

Sumber:
http://www.pengajianbc.org/index.php?option=com_content&task=view&id=27&Itemid=29

You might also like