You are on page 1of 11

Nama : Henki Wisnu Subakti

No : 20

Kelas : X TKJ C

REOG PONOROGO
Pertunjukan reog di Ponorogo tahun 1920. Selain reog, terdapat pula penari kuda
kepang dan bujangganong.Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang
di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling
terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada
masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki
Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam
pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan
Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan
dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu
kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari
kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk
melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui
pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan
kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan
masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Topeng barong reog yang dipakai sebagai atraksi penutup.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal
sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya
ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan
pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan,
yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan
menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan
kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi
simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang
mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya. Populernya Reog Ki
Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang
perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang
untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap
melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih
diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara
masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-
karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and
Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo
yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia
dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak
dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya
Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan
warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang
antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara
keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya .

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan
leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni
Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang
ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang
tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang
jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Pementasan Seni Reog

Reog Ponorogo
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan,
khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa
rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8
pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para
penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang
dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya
diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran
kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian
pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan
adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya
bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan
maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan,
biasanya cerita pendekar,

Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi.
Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan)
dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas
dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih
dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada
penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk
kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa
mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi.
Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat,
juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Kontroversi

Foto tari Barongan di situs resmi Malaysia, yang memicu kontroversi.


Tarian sejenis Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari
Barongan. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, yaitu topeng berkepala
harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak. Deskripsi dan foto tarian ini
ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia.

Kontroversi timbul karena pada topeng dadak merak di situs resmi tersebut terdapat
tulisan "Malaysia", dan diakui sebagai warisan masyarakat dari Batu Pahat, Johor dan
Selangor, Malaysia. Hal ini memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk
seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah
dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian
diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Ditemukan pula informasi
bahwa dadak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin
Ponorogo. Ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di
Jakarta. Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut.

Pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal
Abidin Muhammad Zain menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah
mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut
“Barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor, karena dibawa oleh rakyat
Jawa yang merantau ke negeri tersebut

SEKATEN
]

Sekaten merupakan pasar malam yang diselenggarakan setiap bulan Mulud ( bulan
Jawa/Hijriyah) untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW berlangsung di
alun alun Utara komplek Kraton Surakarta Hadiningrat.
Upacara pembukaannya ditandai dengan prosesi dikeluarkannya dua gamelan besar milik
kraton yang dibawa ke Masjid Agung untuk ditabuh. Event Sekaten ini ditutup dengan
upacara Grebeg Maulud yang ditandai dengan disajikannya dua tumpeng besar oleh
keluarga kraton Kasunanan Surakarta. Tumpeng dibawa dengan diiringi prajurit kraton
menuju Masjid Agung. Seusai selamatan tumpeng dibawa ke luar Masjid dan dibagikan
kepada para pengunjung . Masyarakat sekitar mempercayai barang siapa yang
mendapatkan bagian dari tumpeng tersebut akan mendapatkan keberuntungan.

SEKATEN
Sekaten adalah upacara tradisional yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Maulud
untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad. Sejarah sekaten dimulai sejak lebih 500
tahun yang lalu, untuk pertamakalinya pada tahun 1478 pada masa pemerintahan
Kerajaan Demak. Puncak acara dari perayaan Sekaten adalah keluarnya sepasang
gunungan dari Mesjid Agung seusai didoakan oleh ulama Kraton. Masyarakat percaya
bahwa siapapun yang mendapatkan gunungan tersebut, biarpun sedikit akan dikaruniai
kebahagiaan dan kemakmuran. Menjelang dibukanya Sekaten diadakan pesta rakyat yang
berlangsung selama dua minggu.

Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatein) adalah acara peringatan
ulang tahun nabi Muhammad s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud
(Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun Yogyakarta (dan juga di alun-alun Surakarta
secara bersamaan). Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri
keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama
Islam.

Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem
(punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan
Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid
Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan
menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di
Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara
bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada
malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.

Grebeg Muludan

Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan
pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 8:00 pagi.
Dengan dikawal oleh 10 macam prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh,
Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah
Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan
akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid
Agung. Setelah dido'akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan
Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari
Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap
sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi
subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
SYAWALAN

Perayaan syawalan dimulai 1 hari setelah Hari Raya Idul Fitri, diselenggarakan di Taman
Jurug yang terletak di tepi sungai Bengawan Solo. Ribuan orang menghadiri perayaan ini
untuk memperoleh ketupat yang dibagikan. Berbagai pertunjukan tradisional
diselenggarakan seperti dangdut, keroncong dan seni-seni tradisional lain.

SURO

Setiap 1 Suro diadakan kirab pusaka di Puro Mangkunegaran yang dimulai pukul 19.00,
sedangkan di Kraton Surakarta kirab pusaka dimulai pada pukul 24.00. Barisan terdepan
Kirab Pusaka Kraton Surakarta adalah kerbau bule keramat yang disebut Kyai Slamet,
yang kemudian diikuti para abdi dalem dan prajurit Kraton. Upacara ini telah
berlangsung selama lebih dari 250 tahun, berawal pada tahun 1633 ketika kerajaan
Mataram dipimpin oleh Sultan Agung, salah satu raja Jawa yang paling populer.

TARIAN

Seni Tari yang ada di wilayah Surakarta sangatlah beragam dan mempunyai tingkatan-
tingkatan. Tarian-tarian yang ada mempunyai karakteristik yang halus. Untuk tari yang
berkembang di kalangan kraton adalah tari bedoyo srimpi. Tari ini diajarkan turun
temurun untuk para penghuni istana atau abdi dalem kraton.

KETOPRAK

Merupakan sebuah drama yang dipadukan dengan unsur tari, biasanya alur cerita diambil
dari sejarah atau kisah-kisah yang ada dalam cerita rakyat.

WAYANG KULIT

Merupakan sebuah pertunjukan drama boneka. hampir sama dengan ketoprak,


perbedaannya terletak dari pemain-pemainnya yang terdiri dari boneka-boneka yang
terbuat dari kulit binatang yang di bentuk menjadi karakter-karakter yang unik. Boneka-
boneka ini mempunyai karakter-karakter yang berbeda-beda, dan seorang dalang atau
orang yang mengerakan boneka harus dapat memainkan dengan baik. Wayang kulit
biasanya dimainkan semalam suntuk atau kurang lebih sejak pukul 9 malam sampai
pukul 5 pagi. Kesenian ini merupakan warisan budaya nenek moyang dan masih diminati
banyak generasi muda pada saat iniKisah-kisah yang diceritakan dalam wayang kulit ini
diangkat dari kisah-kisah buku mahabarata. kisah yang paling populer dan sering
diangkat adalah kisah Rama Shinta.
Budaya Ngaben
Nah, kali ini kita akan belajar untuk mengenal tradisi atau budaya umat Hindu di Bali
yaitu prosesi Ngaben. Upacara ini ditujukan untuk orang yang sudah meninggal.Upacara
Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia,
dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga
dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju
sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi. Karena upacara ini
memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan
begitu lama setelah kematian. Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya,
kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang
meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi
beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan
menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang
baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak
tenang dan selalu ingin kebebasan.Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah
melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum
hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan “bade dan lembu” terbuat
dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau
kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.Pagi hari sebelum upacara Ngaben
dimulai, segenap keluarga dan handai taulan datang untuk melakukan penghormatan
terakhir dan biasanya disajikan sekedar makan dan minum. Pada tengah hari, jasad
dibersihkan dan dibawa ke luar rumah diletakkan di Bade atau lembu yang disiapkan oleh
para warga Banjar, lalu diusung beramai-ramai, semarak, disertai suara gaduh gambelan
dan “kidung” menuju ke tempat upacara. Bade diarak dan berputar-putar dengan maksud
agar roh orang yang meningal itu menjadi bingung dan tidak dapat kembali ke keluarga
yang bisa menyebabkan gangguan, dll.Sesampainya di tempat upacara, jasad ditaruh di
punggung lembu, pendeta mengujar mantra - mantra secukupnya, kemudian menyalakan
api perdana pada jasad. Setelah semuanya menjadi abu, upacara berikutnya dilakukan
yakni membuang abu tersebut ke sungai atau laut terdekat lalu dibuang, dikembalikan ke
air dan angin. Ini merupakan rangkaian upacara akhir atas badan kasar orang yang
meninggal, kemudian keluarga dapat dengan tenang hati menghormati arwah tersebut di
pura keluarga, setelah sekian lama, arwah tersebut diyakini akan kembali lagi ke
dunia.Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan
karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang
Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran
keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali
adalah karena hubungannya dengan leluhurnya. Setiap orang tahu bahwa di satu saat
nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalanannya di dunia lain harus
dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali
menjelma ke Pulau yang dicintainya ; Pulau Bali.
Tedhak Siten
TEDAK Siten. Inilah salah satu tradisi masyarakat Jawa yang mulai digerus zaman.
Tedak Siten sendiri berasal dari kata Tedak yang berarti menapakkan kaki atau langkah,
dan Siten yang berasal dari kata siti berarti tanah. Maka, Tedak Siten adalah turun (ke)
tanah atau mudhun lemah. Lengkapnya, tradisi ini diperuntyukkan bagi bayi berusai 7
lapan atau 7 x 35 hari (245 hari). Jumlah selapan adalah 35 hari menurut perhitungan
Jawa berdasarkan hari pasaran, yaitu Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Pada usia
245 hari, si anak mulai menapakkan kakinya pertama kali di tanah, untuk belajar duduk
dan belajar berjalan. Ritual ini menggambarkan kesiapan seorang anak (bayi) untuk
menghadapi kehidupannya.
Biasanya, kesempatan bahagia ini harus diselenggarakan pada pagi hari, di bagian depan
dari pekarangan rumah. Kecuali orang tua dan keluarga, beberapa orang tua juga hadir
untuk memberikan berkat kepada anak. Yang diperlukan sajen / korban tidak boleh
dilupakan. Ianya melambangkan permintaan dan berdoa kepada Allah Maha Kuasa
untuk menerima berkat dan perlindungan dari HIM, untuk menerima berkat dari nenek
moyang, untuk memberantas kejahatan dari perbuatan buruk manusia dan semangat. T
Upacara ritual dapat dilaksanakan dalam rangka dan keselamatan.

Tedak Siten juga sebagai bentuk pengharapan orang tua terhadap buah hatinya agar si
anak kelak siap dan sukses menampaki kehidupan yang penuh dengan rintangan dan
hambatan dengan bimbingan orang tuanya. Ritual ini sekaligus sebagai wujud
penghormatan terhadap siti (bumi) yang memberi banyak hal dalam kehidupan manusia.

Pada zaman dulu, masih banyak masyarakat Jawa yang melakukan ritual ini untuk
anaknya. Sejumlah perlengkapan untuk ritual ini adalah Jadah (tetel) tujuh warna, jadah
merupakan makanan yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa
muda dengan ditambahi garam agar rasanya gurih, warna jadah 7 rupa itu yaitu warna
merah, putih, hitam, kuning, biru, jingga dan ungu. Makna yang terkandung dalam jadah
ini merupakan simbol kehidupan yang akan dilalui oleh si anak, mulai dia menapakkan
kakinya pertama kali di bumi ini sampai dia dewasa, sedangkan warna-warna tersebut
merupakan gambaran dalam kehidupan si anak akan menghapai banyak pilihan dan
rintangan yang harus dilaluinya. jadah 7 warna disusun mulai dari warna yang gelap ke
terang, hal ini menggambarkan bahwa masalah yang dihadapi si anak mulai dari yang
berat sampai yang ringan, maksudnya seberat apapun masalahnya pasti ada titik
terangnya yang disitu terdapat penyelesaiannya.
Tumpeng dengan perlengkapannya, tumpeng merupakan nasi yang dibentuk seperti
kerucut yang disajikan dengan urap sayur (hidangan yang terbuat dari sayur kacang
panjang, kangkung dan kecampah yang diberi bumbu kelapa yang telah dikukus atau
disangrai) dan ingkung ayam. Tumpeng melambangkan permohan orang tua kepada sang
Maha Pencipta aga si anak kelak menjadi anak yang berguna, sayur kacang panjang
bermakna simbol umur agar si anak berumur panjang, sayur kangkung bermakna
dimanapun si anak hidup dia mampu tumbuh dan berkembang, sayur kecambah
merupakan simbol kesuburan dan ayam mengartikan kelak si anak dapat hidup mandiri.
Kurungan ayam yang dihiasi janur dan kertas warna-warni, kurungan ayam ini isinya
bukan ayam tapi anak manusia. kurungan ayam yang dihiasi mempunyai makna di dunia
nyata si anak akan di hadapkan dengan berbagai macam pilihan pekerjaan.
Tangga yang terbuat dari tebu jenis arjuna, menyiratkan harapan agar si anak mampu
berjuang layaknya Arjuna yang terkenal dengan tanggung jawabnya dan sifat
perjuangannya. Dalam adat Jawa tebu kependekan dari antebing kalbu yang bermakna
agar si anak dalam menjalni kehidupan ini dengan tejad yang kuat dan hati yang mantap.
Prosesi ‘Tedak Siten’ di awali dengan membimbing anak menapaki jadah 7 warna yang
telah disusun berdasarkan warn gelap ke terang. kemudian si anak diarahkan untuk
menaiki tangga yang terbuat dari tebu arjuna, selanjutnya si anak di masukkan kedalam
kurungan ayam yang telah dihiasi dan didalamnya terdapat cincin, alat tulis, kapas dan
lain sebagainya, mungkin tergantung dengan perkembangan zaman kalau zaman sekarang
ini bisa di masukkan barang-barang IT (HP,notenbook,PDA atau lainnya). kemudian si
anak di suruh mengambi salah satu dari barang tersebut, barang yang dipilih si anak
merupakan gambaran dari kegemaran dan juga pekerjaan yang diminatinya kelak setelah
dewasa.
Prosesi selanjutnya yaitu sebar beras kuning yang telah dicampur dengan uang logam
untuk di perebutkan, prosesi ini menggambarkan agar si abak kelak menjadi anak yang
dermawan dalam lingkungannya. Prosesi terakhir yaitu si anak dimandikan dengan bunga
setaman lalu mengenakan mengenakan baju yang baru. tujuannya yaitu agar si anak tetap
sehat, membawa nama harum bagi keluarga, punya kehidupan yang layak, makmur dan
berguna bagi lingkungannya.
Dalam acara ‘tedak siten’ sesaji yang biasa digunakan antara lain kembang boreh, bubur
baro-baro, macam-maca bumbu dapur dan kinangan (bahan menginang). bubur baro-baro
adalah bubur yang terbuat dari bekatul, sesaji ini ditujukan untuk kakek nini among
(plasenta/ari-ari). sedangkan kembang boreh, macam-macam bumbu dapur dan kinangan,
sesaji ini ditujukan untuk nenek moyang.
Selain sesaji juga ada pelengkap pedukung yaitu bubur merah, bubur putih bubur merah
putih (sengkolo) yang melambangkan darah (=bubur merah) dan air mani (=bubur putih),
kemudian ada juga jajanan pasar (jongkong,centil,grontol jagung,lopis,gatot dan tiwul)
yang melambangkan dalam berkehidupan kita akan banyak berinteraksi dengan banyak
orang dengan berbagai macam karakter sehingga si anak dapat mudah bersosialisasi
dengan masyarakatnya. kamudian juga terdapat aneka pala pandem (aneka umbi-umbian)
yang mempunyai makna agar si anak mempunyai sifat adap asor atau tidak sombong.

Setelah semua perlengkapan siap, maka ritual ini pun dimulai. Si anak dimandikan
dengan air kembang setaman. Setelah memakai pakaian baru, sang anak dibimbing
ibunya menginjak jadah (semacam nasi ketan tumbuk) 7 warna. Untuk selanjutnya sang
anak dibimbing menaiki tangga yang dibuat dari tebu wulung berwarna ungu. Sang anak
kemudian dimasukkan kedalam kurungan ayam berhias janur kuning dan hiasan lainnya.
Dalam kurungan tersebut terdapat beberapa benda yang harus dipilih sang anak. Acara
tersebut merupakan tradisi Jawa yang disebut Tedak Siten, peringatan di mana seorang
anak mulai dilatih berjalan dengan menapakkan kedua kakinya di bumi.
Posisi beberapa bintang mempunyai pengaruh terhadap kelahiran seorang bayi.
Perhitungan tahun matahari dibuat berdasarkan lamanya waktu bumi beredar
mengelilingi matahari dengan masa 1 tahun. Tahun berdasar pengaruh matahari tersebut
dirinci dalam bulan, minggu dan hari, dimana harinya berjumlah tujuh. Perhitungan
kalender berdasar bulan dihitung berdasarkan lamanya waktu bulan mengelingi bumi
yaitu 1 bulan. Satu tahun dalam kalender bulan ada 12 bulan dan tiap bulan dirinci
menjadi pasar, pekan dan hari dimana 1 pasar ada 5 hari. Peringatan yang mendasarkan
kombinasi posisi matahari dan bulan akan berulang setiap 7 x 5 hari.
Leluhur kita telah mengetahui bahwa posisi matahari dan bulan mempunyai pengaruh
terhadap bumi. Seorang anak yang lahir pada weton, kelahiran tertentu mempunyai
potensi tertentu. Dan weton, hari kelahiran yang berulang setiap 35 hari tersebut perlu
dihormati. Bagi orang dewasa pada hari weton tersebut dibiasakan mengendalikan diri
dengan cara puasa yang disebut puasa apit weton, yang dimulai sehari sebelum dan
berakhir sehari sesudah weton. Puasa pada bulan purnama juga dilakukan karena
pengaruh bulan purnama terhadap bumi dan diri manusia cukup besar. Demikian pula
pada waktu gerhana, formasi matahari dan bulan akan mempunyai pengaruh khusus
terhadap bumi dan manusia.

Sekedar catatan, pada tahun 1855, karena penanggalan bulan dianggap tidak memadai
sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka kalender berdasarkan rasi
bintang yang berpengaruh pada musim tanam yang disebut sebagai Pranata Mangsa,
dikodifikasikan oleh Mangkunegara IV dan digunakan secara resmi. Contohnya adalah
rasi bintang Waluku (Orion) sebagai tanda musim tanam. Sebenarnya Pranata Mangsa ini
adalah pembagian bulan yang asli Jawa dan sudah digunakan pada jaman pra-Sultan
Agung. Oleh Sri Paduka Mangkunagara IV tanggalnya disesuaikan dengan penanggalan
tarikh Kalender Gregorian yang merupakan kalender matahari.
Kembali ke Tedak Siten, manusia mempunyai beberapa tahap perkembangan diri.
Pertama, tahap bayi yang sangat tergantung terhadap ibu dan orang lain, bisanya hanya
meminta. Tahap kedua adalah anak muda yang mandiri, bisa melakukan sendiri. Tahap
ketiga adalah seorang yang dewasa, yang sudah sadar walau mandiri tetapi tidak egoistis
dan menyadari bahwa seseorang mempunyai saling ketergantungan dengan orang lain,
tidak bisa hidup sendiri. Awal dari tahap kedua dimulai, ketika seorang anak mulai
belajar berjalan, sehingga apabila menginginkan sesuatu seorang anak sudah dapat
mengambil sendiri tanpa minta pertolongan orang lain. Pada waktu berjalan, kedua kaki
sang anak menapak langsung dengan bumi, tidak lagi dalam gendhongan seorang ibu.
Kita hidup-mati berada di bumi, makan minum, rumah, kendaraan semua berasal dari
bumi, maka kita perlu menghormati bumi.
Bayi lahir dengan naluri awal, naluri dasar, untuk makan. Apa saja yang dipegangnya
akan dimasukkan mulut. Berlainan dengan kesadaran seorang anak manusia yang terus
berkembang, kesadaran hewan tidak berkembang, yang ada dibenaknya hanya makan.
Babi yang diberikan makanan basi dan permata, jelas memilih makanan yang basi.
Wajarlah seorang Gusti Yesus bersabda, Jangan berikan permata kepada babi-babi! Pada
waktu seorang anak berusia 7×35 hari, 245 hari, kira-kira 8 bulan, insting-naluri bawaan
genetiknya masih ada, tetapi dalam perkembangan diri selanjutnya, insting bawaan akan
terdorong ke dalam bawah sadar, tertutup oleh kegiatan-kegiatan baru. Pada saat anak
berusia sekitar 8 bulan tersebut, potensi anak dapat diketahui. Di Tibet pada saat usia
anak yang lebih tua, kepada beberapa anak yang diperkirakan menjadi reinkarnasi dari
seorang Dalai Lama, akan diberikan beberapa benda yang merupakan milik Dalai Lama
yang telah meninggal sebelumnya. Mereka
yang dapat memilih dengan tepat, berdasar naluri, instingnya yang terbawa dari
kehidupan lalu akan dipilih sebagai Dalai Lama yang baru. Konon, Tiga Orang Suci dari
Timur datang ke Timur Tengah setelah melihat posisi rasi bintang dan untuk
memverifikasi apakah yang anak yang lahir betul seorang Masiha dengan cara yang
hampir sama. Bagi yang percaya, seseorang yang mati dan masih punya keterikatan
dengan keduniawian, jiwanya masih akan meneruskan evolusi yang belum diselesaikan
dalam kehidupannya. Dia akan lahir lagi mendapatkan orang tua, lingkungan yang
menunjang evolusi jiwanya. Pemilihan beberapa benda dalam Tedak Siten seperti buku
tulis, dompet, perhiasan, gunting, kitab sastra, ataupun alat bela diri, selaras dengan
pengetahuan itu. Potensi anak akan nampak dengan jelas, sehingga orang tua paham
bagaimana meningkatkan potensi anak sebaik-baiknya.
Pada dasarnya kita hidup di dunia, terkurung, terbelenggu oleh dunia. Dalam Tedak
Siten, dapat dilihat anak yang sebenarnya tidak senang dimasukkan ke dalam kurungan
dan menangis minta pertolongan pada ibunya. Manusia yang sadar pun ingin kembali
kepada Bunda Ilahi. Bagi penganut spiritual, baik harta, tahta ataupun ilmu pengetahuan
adalah modal awal untuk membebaskan diri dari belenggu dunia. Seorang Guru datang
untuk membebaskan diri manusia dari kurungan. Tetapi yang diharapkan manusia adalah
Guru yang memberikan pengetahuan untuk hidup sukses dalam kurungan. Diri yang
lepas dari kurungan dunia tidak berarti melarikan diri dari dunia, hanya tidak terikat
dengan dunia. Hidup semata-mata hanya berupa persembahan, ibadah. Sepi dari Pamrih,
keinginan dunia dan Rame ing Gawe, tetap berkarya sepanjang hidupnya.
Tentu saja ada makna dalam mandi kembang setaman dan menginjak jadah 7 warna,
demikian pula dengan upacara yang dilakukan di alam terbuka dan lain sebagainya.
Terima kasih para leluhur.

You might also like