You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia
itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan
memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Sejarah
perkembangan dan kehancurannya ditentukan pula oleh tanah, masalah tanah dapat
menimbulkan persengketaan dan peperangan dahsyat karena manusia-manusia atau
suatu bangsa ingin menguasai tanah orang atau bangsa lain karena sumber-sumber
alam yang terkandung di dalamnya (G. Kartasapoetra dkk, 1990 : 1).

Meningkatnya jumlah penduduk yang semakin pesat sangat mempengaruhi


cepatnya laju pertumbuhan peningkatan kebutuhan atau permintaan terhadap tanah,
apalagi keadaan luas tanah yang tetap semakin berkurang karena melebarnya wilayah
perairan. Tanah dibutuhkan dari kepentingan yang sifatnya pribadi (tempat tinggal)
sampai hal besar (pembangunan).

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah maka akibat logisnya


adalah semakin meningkat pula sengketa pertanahan yang terjadi di masyarakat
karena tanah menjadi sangat berharga dan menjadi perebutan di kalangan masyarakat.
Pelayanan publik ditegaskan untuk melayani masyarakat dengan tanpa
mempersulit birokrasi dan administrasi. Tapi kenyataan yang timbul saat ini berbeda
dengan yang diinginkan.Pelayanan BPN yang sangat menuntut keadilan baik
konsumen, kepastian, kemudahan administrasi dan birokrasi sehingga dapat
memberikan kemakmuran telah tergantikan oleh pelayanan yang berjalan seperti
pelayanan yang tanpa pengawasan atau tanpa tuntutan, tanpa tujuan sehingga yang
tersisa hanya pelayanan yang menguntungkan dan merugikan bagi pihak-pihak
tertentu.

Ini sangat bertentangan dengan tujuan pemerintah yang tercantum dalam


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Pasal 13 ayat 4, “.Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan
jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria”
dan Pasal 15, “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah

1
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang
ekonomis lemah”.Disini sudah sangat jelas bahwa pemerintah melindungi masyarakat
dalam mengurus administrasi pertanahan , menginginkan masyarakat dapat
memanfaatkan tanah dengan semaksimal mungkin dan dapat menikmati pelayan
administrasi pertanahan yang baik. Namun yang terjadi malah sebaliknya, mereka
kesulitan dalam mendapatkan pelayanan administrasi di kantor BPN.
Hal ini sangat dipengaruhi dari masing-masing personal yang bertugas
memberikan pelayanan. Dan yang paling berperan dalam mempengaruhi kinerja dari
personal tersebut adalah faktor moral yang masing-masing dimiliki. Karena moral
dapat mempengaruhi tingkah laku dan sifat personal.

Bahkan kasus di BPN yang intinya adalah merosotnya moral petugas dan
akibatnya petugas menyalahgunakan wewenangnya. Bukan hanya dari staf-staf
pekerja di BPN tetapi juga kepala BPN yang seharusnya mengawasi bawahannya
dalam kinerjanya juga ikut terperosok mendorong terhadap bertambahnya stigma
buruk di kalangan BPN.

Hal ini sangat dimungkinkan salah satu faktor penyebabnya adalah tidak
diawasinya BPN itu sendiri oleh instansi yang resmi sehingga semua staff bahkan
kepala BPN bekerja dengan semestinya.

Mereka merasa aman-aman saja saat melakukan penyelewengan yang


diorentasikan untuk memperoleh keuntungan pibadi sehingga penyimpangan yang
dilakukan semakin bertambah karena memang dirasa tidak ada yang mengawasinya.

Sehingga masyarakatlah yang kedudukannya sebagai konsumen yang akan


sangat dirugikan akibat dari buruknya pelayanan di BPN. Padahal seharusnya
masyarakat sangat berhak mendapatkan kepuasan mereka saat mereka perlu
pelayanan di BPN, karena BPN diadakan memang tugasnya untuk melayani
masyarakat atau konsumen. Tetapi saat ini yang tertinggal adalah kerugian dari rakyat
atas pelayanan yang diberikan, keuntungan oleh pejabat-pejabat BPN, sehingga sudah
tidak tercipta kondisi yang saling membutuhkan antara rakyat dengan pihak yang
memberikan pelayanan.
B. Rumusan Masalah

1. Tuntutan apa yang harus dipenuhi oleh lembaga pelayanan publik khususnya
BPN?

2. Bagaimana fenomena pelayanan publik di BPN saat ini?

3. Contoh tentang bagaimana pelayanan publik yang terjadi di BPN?

4. Bagaimana usaha untuk memulihkan pelayanan BPN yang sedang memburuk


menjadi lebih baik?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui harapan publik mengenai pelayanan administrasi pertanahan di


BPN.

2. Untuk mengetahui proses pelayanan administrasi pertanahan di BPN yang terjadi


sekarang ini.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya perbaikan yang harus dilakukan BPN untuk


memperbaiki pelayanan administrasi pertanahan.

4. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang pertanahan,


khususnya pelayanan administrasi pertanahan yang dilakukan oleh BPN

5. Untuk melengkapi persyaratan maju menjadi Mahasiswa Berprestasi Fakultas


Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (MAWAPRES FISIP) tahun 2010

D. Dasar Teori

D.1. Pelayanan Publik

Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang mendapat dukungan


penuh dari rakyatnya. Dalam hal ini, rakyat berperan penting dalam rangka
melanggengkan kekuasaan pemerintahan. Oleh karena itu sebagai wujud rasa
terima kasih atas dukungan rakyat tersebut, sudah sepantasnyalah pemerintah

3
(melalui aparat birokrasi) memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada
masyarakat/publik. Pelayanan yang diwujudkan adalah pelayanan yang
berorientasi pada rakyat. Salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting
adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itu,
organisasi pemerintah sering pula disebut “Pelayanan Masyarakat” (Public
Servant).

Konsep dasar mengenai ”pelayanan” sudah banyak dijelaskan oleh para


ahli. Antara lain menurut Supriyanto dan Sugiyanti, dalam buku Otonomi
Daerah ’Capacity Building dan Penguatan Demokrasi Lokal’(2003 : 68), ádalah
upaya untuk membantu menyiapkan, menyediakan/mengurus keperluan orang
lain. Selain itu, dalam buku yang sama, Moenir (2003 : 68) juga mengemukakan
pendapatnya mengenai ’pelayanan’ yaitu proses dalam berbuat baik. Pendapat
lain dikemukakan oleh Boediono (2003 : 60) tentang pengertian ’pelayanan’
yaitu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang
memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan
dan keberhasilan.

Pelayanan yang dilakukan oleh aparat birokrasi (pemerintah), dapat


dikatakan sebagai pelayanan publik. Sebab aparatur pemerintah bertanggung
jawab memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, dalam rangka
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Perihal ’pelayanan publik’ ini, menurut
Sianipar dalam buku Otonomi Daerah ’Capacity Building dan Penguatan
Demokrasi Lokal’ (2003 : 68) adalah segala bentuk pelayanan sektor publik yang
dilaksanakan aparat pemerintah, termasuk pelaku bisnis BUMN/BUMD dan
swasta dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, dan undang-undang berlaku. Sedangkan ’pelayanan publik’ menurut
Mahmudi (2005 : 229) adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik
dan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Pengertian ’pelayanan publik’
yang dikemukakan oleh Mahmudi tersebut senada dengan pengertian ’pelayanan
publik’ yang terdapat dalam Keputusan MENPAN No. 63 tahun 2003.

Berdasarkan atas definisi-definisi/pengertian-pengertian di atas, jelaslah bahwa


yang dimaksud dengan pelayanan adalah suatu proses dalam berbuat baik yang
dilandasi dengan kecepakaan dan hubungan interpesonal dalam membantu orang
lain. Pelayanan publik adalah segala bentuk pelayanan yang diberikan oleh
aparat birokrasi/pemerintah, dalam upaya memenuhi kebutuhan dan mencapai
kesejahteraan masyarakat.

Yang dimaksud dengan penyelenggara pelayanan publik adalah instansi


pemerintah, meliputi (Mahmudi, 2005 : 29) :

 Satuan kerja/satuan organisasi Kementrian;

 Departemen;

 Lembaga Pemerintah Non Departemen;

 Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara ,


misalnya: Sekretariat Dewan (Setwan), Sekretariat Negara
(Setneg),dan sebagainya;

 Badan Usaha Milik Negara (BUMN);

 Badan Hukum Milik Negara (BHMN);

 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);

 Instansi pemerintah lainnya, baik Pusat maupun Daerah termasuk


dinas-dinas dan badan.

Dalam memberikan pelayanan publik, instansi/aparat penyelenggara


pelayanan publik harus memperhatikan asas-asas pelayanan publik yang terdapat
pada Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik (Keputusan MENPAN
No.63/2003), yaitu:

1. Transparansi

Pemberian pelayanan publik harus bersifat terbuka, mudah, dan dapat


diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara
memadai serta mudah mengerti.

2. Akuntabilitas

5
Pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Kondisional

Pemberian pelayanan publik harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan


pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip
efesiensi dan efektifitas.

4. Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan


publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat.

5. Tidak Diskriminatif (Kesamaan Hak)

Pemberian pelayanan publik tidak boleh bersifat diskriminatif, dalam arti


tidak membedakan suku ras, agama, golongan, gender, status sosial dan
ekonomi.

6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan


kewajiban masing-masing pihak.

D.2. Standar Pelayanan Publik

Pelayanan publik diberikan kepada masyarakat berdasarkan pada standar


tertentu. Standar (Mahmudi, 2005 : 236) adalah spesifikasi teknis atau sesuatu
yang dibakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan. Jadi, standar
pelayanan publik (Mahmudi, 2005 : 236) yaitu spesifikasi teknis pelayanan yang
dibakukan sebagai patokan dalam melakukan pelayanan publik.

Adapun cakupan standar pelayanan publik yang ditetapkan (Keputusan


MENPAN No. 63/2003) meliputi:

1. Prosedur Layanan
Harus ditetapkan standar prosedur pelayanan yang dibakukan bagi
pemberi dan penerima pelayanan termasuk prosedur pengaduan.

2. Waktu Penyelesaian

Harus ditetapkan pula standar waktu penyelesaian pelayanan yang


ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian
pelayanan termasuk pengaduan.

3. Biaya Pelayanan

Harus ditetapkan standar biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang


ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.

4. Produk Pelayanan

Haruas ada penetapan standar produk/hasil pelayanan yang akan diterima


sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

5. Sarana dan Prasarana

Penetapan standar sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh


penyelenggara pelayanan publik.

6. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan

Perlu adanya penetapan standar kompetensi petugas pemberi pelayanan


berdasarkan pengetahuan, keahlian, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.

Sementara kriteria pelayanan publik menurut Keputusan MENPAN No.


63/2003 adalah :

1. Kesederhanaan Prosedur

Prosedur pelayanan hendaknya mudah dan tidak berbelit-belit.

2. Kejelasan

Kejelasan dalam hal persyaratan teknis dan administrasif pelayanan


publik, unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan, persoalan, sengketa,

7
dan tuntutan dalam pelaksanaan pelayanan publik, serta rincian biaya
pelayanan publik dan tata cara pembayarannya.

3. Kepastian Waktu

Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu


yang telah ditentukan. Dalam hal ini harus ada kejelasan berapa lama
proses pelayanan diselesaikan.

4. Akurasi Produk Pelayanan Publik

Produk pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat harus akurat,


benar, tepat, dan sah.

5. Kelengkapan Sarana dan Prasarana

Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung


lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi informasi
dan komunikasi.

6. Keamnan

Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan


kepastian hukum.

7. Tanggung Jawab

Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk


bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan publik dan
penyelesaiaan keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan
publik.

8. Kemudahan Akses

Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah


terjagnkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi
telekomunikasi dan informatika.

9. Kedisiplinan, Kesopanan, dan Keramahan


Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah,
serta memberikan pelayanan dengan sepenuh hati (ikhlas)

10. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang
nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi
dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti toilet, parkir, tempat
ibadah,dsb.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh yang sesuai dengan aturan

baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam

penyusunan penulisan makalah. Adapun sistematika penulisan terdiri dari 3 (tiga) bab,

yaitu pendahuluan, pembahasan, serta penutup yang berisi kesimpulan dan saran

ditambah dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang disusun dengan

sistematika sebagai berikut :

Bab I PENDAHULUAN

Dalam bab I ini diuraikan mengenai gambaran awal penulisan yang meliputi

latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika

penulisan.

Bab II PEMBAHASAN

Dalam bab II, diuraikan mengenai pembahasan mengenai penyebab pelayanan

administrasi pertanahan yang buruk di BPN dan upaya-upaya pemulihan

pelayanan tersebut.

Bab III PENUTUP

9
Dalam bab III, diuraikan mengenai kesimpulan dan saran dari hasil penulisan
mengenai upaya-upaya yang harus dilakukan BPN dalam memperbaiki
pelayanan administrasi pertanahan terhadap masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tuntutan Kepada Lembaga Pelayanan Publik Khususnya Pada BPN

Pemerintah dalam memberikan pelayanan bertujuan untuk mencapai kondisi


yang maksimal yaitu pelayanan terhadap siapa saja yang berhak menikmati atau
menggunakan pelayanan tersebut. Pelayanan maksimal ditujukan untuk mencapai
kepuasan dalam waktu penyelesaian, biaya, kelancaran, dan hasil dari pelayanan
(administrasi pelayanan).

Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional


Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor
Pertanahan, Pasal 3, “h. pelaksanaan urusan tata usaha,
kepegawaian, keuangan, sarana, dan prasarana, perundang-
undangan serta pelayanan pertanahan” dan Pasal 21 : “Bidang
Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat
mempunyai tugas mengkoordinasikan dan melaksanakan
penyusunan program pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah
negara, tanah terlantar dan tanah kritis serta pemberdayaan
masyarakat”. Disini sudah jelas sekali apa yang menjadi tugas dari
BPN untuk melayani masyarakat dalam rangka administrasi
pertanahan.
Begitu juga pelayanan dalam bidang pertanahan yang membutuhkan
pelayanan maksimal dengan memberikan kepastian hukum dalam pelayanan yang
mencakup transparansi dari administrasi pelayanan, memberikan system informasi
yang dibutuhkan masyarakat, memberikan kemudahan, keadilan, kemakmuran dan
yang paling penting adalah lebih mengutamakan konsumen. Sehingga dapat tercipta
suasana, “Konsumen adalah Raja” di dalam pelayanan tersebut sehingga dapat
menciptakan dan menumbuhkan kepercayaan instansi atau badan yang bertugas
memberikan pelayanan terhadap masyarakat umum.

Dengan demikian masyarakat bisa puas dengan pelayanan yang diberikan


tanpa harus adanya administrasi yang tidak tansparan atau beban tambahan untuk

11
memperlancar pelayanan. Dengan adanya hal tersebut maka tidak akan mengundang
paradigma pelayanan yang buruk di kalangan instansi yang bertuga memberikan
pelayanan khususnya BPN. Untuk itu setiap pejabat di dalam setiap lembaga
pelayanan, publik, khususnya BPN dituntut untuk memiliki komitmen yang tinggi
untuk membeikan pelayanan yang terbaik terhadap publik/ masyarakat.

B. Fenomena Pelayanan Publik (BPN) Sekarang Ini

Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa fenomena paradigma pelayanan


publik di bidang BPN semakin memburuk dengan adanya bukti atau fakta berbagai
aspek moral yaitu dengan adanya calo yang marak di kalangan / lingkungan
pelayanan karena mereka ingin mengambil keuntungan dalam proses pelayanan
tersebut. Tetapi calo itu sendiri ada karena terdorong oleh masyarakat dan petugas
pelayanan itu sendiri. Masyarakat tentunya tidak ingin dipersulit dalam urusannya dan
petugas BPN juga menginginkan adanya administrasi yang ekstra agar mereka dapat
mengambil keuntungan dengan cara memanipulasi waktu, mempersulit proses
sehingga masyarakat dapat terdorong untuk memilih jalan pintas yang lebih mudah
hanya cukup memberikan biaya ekstra terhadap calo untuk menyelesaikan proses
administrasi yang harus dilalui oleh konsumen.

Bahkan pengambilan keputusan tidak hanya dilakukan oleh orang luar (calo)
tetapi juga dilakukan secara langsung oleh orang intern. Hal ini terjadi terdorong oleh
keinginan masyarakat yang menghendaki pelayanan yang maksimal, karena
masyarakat menilai pelayanan yang ada di BPN sekarang ini sudah tidak seperti yang
diharapkan lagi.

Paradigma yang buruk yang lain di BPN yaitu adanya pelayanan dengan
birokrasi yang berbelit-belit di berbagai segi yaitu mencakup waktu, yang seharusnya
jika dilaksanakan pelayanan yang intensif sungguh-sungguh dapat diminimalkan
dengan adanya birokrasi yang berbelit-belit menjadi lama karena sebernanya petugas
itu sendiri menginginkan pelayanan tersebut tidak intensif lagi. Kedua biaya yang
dikeluarkan untuk administrasi pelayanan publik jumlahnya harus lebih karena
memang dari petugas menginginkan hal tersebut yang sebenarnya tidak difungsikan
untuk memaksimalkan pelayanan tapi hanya difungsikan untuk kebutuhan pribadi
yang seharusnya tidak dilakukan oleh petugas yang mempunyai wewenang
memberikan pelayanan.

Keterbatasan informasi juga merupakan faktor yang ikut menentukan baik


atau tidaknya suatu pelayanan. Di dalam BPN saat ini tidaklah mudah bagi
masyarakat yang memiliki kepentingan di bidang pertanahan untuk mengetahui
sejauhmana pemrosesan tanah miliknya. Disamping masih terbatasnya teknologi yang
memungkinkan dapat memberikan pelayanan informasi terhadap masyarakat luas,
pejabat-pejabat yang terkaitpun juga dirasa masih belum optimal dalam memberikan
informasi terhadap masyarakat.

Para birokrat di BPN masih cenderung belum memiliki komitmen yang tinggi
dalam memberikan pelayanan informasi. Sehingga tidaklah mengherankan jika
masyarakat ketika ingin memperoleh informasi mengenai tanahnya di BPN justru
diputar-putarkan, dilimpahkan kesana-kesini, dan kadang justru pejabat terkait masa
bodoh terhadap kebutuhan masyarakat tersebut.

Seperti yang diuraikan di atas, buruknya pelayanan di BPN dimungkinkan


juga ditimbulkan oleh proses awal pejabat tersebut memasuki lembaga ini, yaitu pada
proses rekruitmen. Kebiasaan yang sampai saat ini masih banyak terjadi yaitu
penitipan-penitipan seseorang terhadap pejabat-pejabat yang telah memiliki
kedudukan di dalam badan-badan pelayanan publik dengan harapan orang tersebut
bisa dengan mudah untuk diterima dan bekerja di dalam lembaga tersebut. Proses
rekruitmen yang seperti ini tentu memperhatikan aspek-aspek individu. Bahkan tidak
menutup kemungkinan bahwa sesungguhnya orang tersebut tidak memilih kecakapan
di bidang kerja yang akan digeluti. Hal ini akan berimbas besar terhadap kinerja
seseorang di dalam bidang kerjanya, khususnya bidang-bidang pelayanan publik,
tidak terkeduali di tubuh BPN.

Faktor-faktor yang buruk terjadi di BPN dan diberbagai instansi yang


berwenang memberikan pelayanan. Hal ini sangat didorong oleh keadaan atau faktor
pribadi yang dimiliki oleh pejabat yang berwenang memberikan pe;layanan tersebut.
Kemrosotan moral, yang telah menimbulkan perubahan mendasar dalam birokrasi
BPN. Mereka beranggapan dapat bertindak sesuai yang diinginkan karena mereka
bisa memberikan pelayanan dan karena mereka mempunyai jabatan yang sangat
dibutuhkan masyarakat luas sebagai konsumen. Sehingga dengan adanya hal ini

13
mereka adapat memanfaatkan situasi yang ada untuk mencari keuntungan tanpa
mempertimbangkan hak dan kewajiban yang seharusnya mereka jalankan dan norma
hukum yang harus mereka patuhi. Selain hal tersebut juga rendahnya kesadaran
mereka akan asas pelayanan yaitu seharusanya lebih melihat kepada masyarakatlah
yang seharusnya diutamakan, masyarakatlah yang dinutuhkan bukan masyarakat yang
membutuhkan petugas.

Hal tersebut semakin mendasar di kalangan BPN karena memang tidak adanya
atau lemahnya koordinasi pengawasan dari yang berwenang sehingga memungkinkan
tidak pulihnya budaya dan moral yang buruk di kalangan BPN.

C. Contoh Tentang Pelayanan Publik Yang Terjadi Di BPN

Salah satu responden polling Kepuasan Warga Surabaya terhadap Layanan


Umum yang dilakukan Litbang Surabaya Post, misalnya, mengaku, waktu reformasi
sekitar tahun 1999 hanya butuh waktu setengah hari untuk mengurus peningkatan
status HGB rumahnya menjadi SHM. Pagi dia datang ke kantor BPN Surabaya, siang
harinya sertifikat HGB-nya sudah mendapat stempel status baru sebagai SHM.
Ongkosnya juga sesuai harga resmi, tak ada pungutan liar. “Saya lupa persisnya, tapi
cuma puluhan ribuan,” tuturnya.

Tapi sayang itu hanya sementara. Dalam hitungan bulan, birokrasi BPN mulai
menemukan kembali “rasa percaya dirinya”. Pungutan liar mulai digelar lagi, dan
makelar termasuk yang diperankan “orang dalam” beroperasi lagi. Dampaknya wajah
layanan di instansi ini kembali ke bentuk semula: menyebalkan, bebelit-belit, rumit,
penuh makelar dan pungli. Bandingkan dengan apa yang terjadi dengan sekian tahun
kemudian, tepatnya pada tahun 2004. Seorang responden lain mengaku perlu waktu
sekitar setahun untuk mengubah sertifikat HGB-nya menjadi SHM. Selain ongkos
resmi yang ada di kisaran Rp 700 ribu, dia masih harus merogoh kocek sampai Rp 1
juta untuk “orang dalam” agar urusannya segera beres. “Tanpa pelican itu, mungkin
sampai sekarang sertifikat saya belum jadi,” katanya. Awalnya, responden ini berniat
mengurus sendiri sertifikatnya melalui jalur resmi. Tapi yang terjadi kemudian adalah
“lagu lama”: berkasnya ngendon tak terjamah di meja-meja staf BPN. Setelah capek
sekian bulan hilir-mudik ke kantor BPN Surabaya yang sudah pindah ke kawasan
Citraraya, akhirnya dia menyerah. Suatu pagi, dia ke kantor BPN Surabaya dengan
membawa uang Rp 1 juta. Diserahkannya uang itu ke orang dalam, dengan pesan
urusan cepat selesai. Dan abrakadabra, sebulan kemudian sertifikat sudah ada di
tangan.“Sampai sekarang saya masih hapal nama oknum orang dalamnya, yang sejak
awal pengurusan memang sudah minta uang. Jangan-jangan dia yang membuat berkas
saya macet, sehingga saya terpaksa menyerah,” kata responden tersebut. Seorang
respnden lain bahkan mengaku mesti menggelontorkan dana Rp 8 juta, juga untuk
mengurus perubahan HGB menjadi SHM.

Tertangkap basahnya Kepala BPN Surabaya, Khudlori, dalam kasus uang


pelicin pengurusan tanah, 13 Agustus 2007 lalu, ternyata tak juga membuat BPN
berubah. Khudlori ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lobi Hotel
Somerset, Surabaya, saat memeras seseorang yang hendak mengurus sertifikat
kepemilikan tanah. Khudlori sendiri akhirnya divonis 15 bulan penjara.

Hasil survei Litbang Surabaya Post memang menunjuk BPN sebagai institusi
layanan umum yang dirasakan paling tidak memuaskan dan paling banyak dikeluhkan
warga Surabaya. Proses pengurusan sertifikat masih saja dianggap rimba belantara
yang penuh pungutan liar, berbelit-belit, dan lamban. Setelah itu disusul layanan
keimigrasian –seperti paspor--, layanan pengurusan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB). Sementara layanan yang paling sedikit mendapat keluhan dan dinilai paling
memuaskan adalah layanan Telkom, pengurusan kartu tanda penduduk (KTP), kartu
keluarga (KK), serta surat izin mengemudi (SIM). (Lihat tabel)
Tingginya ketidakpuasan terhadap layanan BPN ini selaras dengan hasil survei
Transparency International Indonesia (TII) terhadap persepsi kalangan pengusaha
Indonesia dan asing di 32 kota/kabupaten di Indonesia pada tahun 2004 dan 2006.
BPN berada di peringkat keempat sebagai institusi yang dinilai paling koruptif setelah
kepolisian, militer, dan peradilan.

Survei bertajuk Integritas Sektor Publik yang dihelat Komisi Pemberantasan


Korupsi (KPK) pada 2007 di Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bogor, juga
memperlihatkan hasil serupa. Hasilnya, selaras dengan hasil survei Litbang Surabaya
Post, BPN dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum dan HAM,
yang di antaranya membawahi layanan keimigrasian) menempati urutan teratas
sebagai instansi dengan tingkat pelayanan paling buruk.

15
Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jatim juga pernah melansir laporan yang
menyebutkan BPN sebagai institusi layanan publik yang paling dikeluhkan. Hal
senada juga dihasilkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang)
Surabaya tahun lalu, yang memasukkan BPN Surabaya ke dalam klasifikasi “kurang
baik.”

Seperti tertera dalam tabel hasil polling Litbang Surabaya Post, responden
yang menyatakan ketidakpuasannya terhadap pelayanan pengurusan sertifikat
memang menduduki posisi tertinggi (50%), disusul layanan pengurusan
paspor/keimigrasian (41,66%), Izin Mendirikan Bangunan (38,46%), dan PDAM
(36%). Sementara layanan yang paling sedikit dikeluhkan dan dianggap paling
memuaskan adalah layanan Telkom (18,5%), KTP (20,6%), dan katu keluarga
(20,62%). Layanan pengurusan SIM juga tak terlalu banyak dikeluhkan hanya
dikeluhkan 27,78% responden. Sementara layanan admistrasi kependudukan –seperti
KTP dan kartu keluarga-- agaknya dinilai responden sudah memuaskan. Pemkot
Surabaya beserta jajarannya (mulai Dispenduk Capil, kecamatan, sampai kelurahan
yang ditunjang pengurus RT dan RW) dinilai sudah menyuguhkan layanan yang
cepat, murah, tak berbelit-belit, ramah, dan relatif minim pungli. Hanya layanan
pengurusan akte kelahiran yang dinilai masih belum memuaskan. Persentase
responden yang tidak puas pada layanan ini masih tergolong tinggi (34,62%).

Alasan keluhan mengapa responden mengeluh? Secara umum (untuk semua


jenis layanan), alasan yang paling sering adalah berbelit-belit. Di luar berbelit-belit,
ada alasan lain seperti pungli, keramahan layanan, mahal, dan lamban. Berbelit-belit
menjadi alasan yang paling sering muncul di kalangan responden yang merasa tidak
puas saat mengurus sertifikat tanah (72,73%), akte kelahiran (77,78%), SIM (60%),
SKCK (63,64%), PLN (62,5%), dan Telkom (40%).
Alasan ketidakpuasan yang paling sering muncul kemudian adalah kelambanan
proses. Alasan ini paling sering diungkapkan responden yang tidak puas saat
mengurus KK (64,71%), KTP (60%), kartu kuning (100%), paspor/keimigrasian
(100%), dan PDAM (33,33%). Sementara mayoritas responden yang dikecewakan
saat mengurus IMB (80%) menyebut alasan mahalnya biaya pengurusan.
“Mengurus IMB memang rumit. Biayanya sangat mahal, Rp 500 ribu per kavling.
Belum lagi pungutan lain untuk mempermudah birokrasi,” kata seorang responden.
Hasil polling tersebut menunjukkan, warga kota lebih mementingkan aspek
kecepatan pengurusan ketimbang misalnya biaya (bahkan ketika sampai harus berujud
pungli). Faktor kecepatan pengurusan dinilai lebih penting ketimbang faktor pungli,
meski cukup banyak pula responden yang menyebut pungli sebagai alasan utama
ketidakpuasan.

Seperti kata salah satu responden: “Kalau melayani masyarakat mbok ya yang
ikhlas, jangan mbulet. Masak tiap ngurus KK atau KTP selalu dimintai pungutan yang
nggak jelas. Katanya restribusi sampahlah, PBB-lah, wis pokoknya macem-macem.
Nanti saat keluarga saya yang lain ngurus izin lagi, ya dikenai macam-macam lagi.
Dan pegawainya itu kalau melayani kok nggak pernah senyum, padahal bayarannya
besar, tapi buat senyum aja susah. Kalau dikasih duit baru senyum-senyum.”

D. Upaya Yang Dilakukan Untuk Memulihkan Stigma Buruk Dalam Tubuh BPN

Adanya krisis moral akan mengakibatkan krisis norma hukum dan akan
menghancurkan substansi norma hukum yang selama ini diyakini oleh masyarakat.
Seharusnya moral lebih dikedepankan daripada hukum karena jika hukum lebih
dikedepankan akan timbul unsur terpaksa dari orang-orang yang mematuhinya, beda
halnya jika moral lebih dikedepankan maka mereka akan membangun pribadi terlebih
dahulu sehingga dalam melaksanakan hukum benar-benar diupayakan dengan
sungguh-sungguh tanpa ada unsur paksaan sehingga hasilnya juga akan lebih baik.

Dengan adanya ketercapaian hal tersebut maka visi BPN akan tercapai. Hal
tersebut maka pelaksanaan pelayanan diawali dengan moral. Maka apabila moral itu
baik kedepannya / tahap selanjutnya juga akan lebih baik dan sebaliknya.

Maka untuk mewujudkan tercapainya kembali visi pelayanan perlu solusi-


solusi yang dimungkinkan bisa untuk menangani / memulihkan stigma pelayanan
BPN yang buruk menjadi baik. Hal ini sangat penting karena untuk memulihkan
kembali kepercayaan masyarakat kepada BPN yang bertugas dan berwenang
memberikan pelayanan. Karena tanpa adanya perbaikan dari sektor intern BPN, tidak
akan bisa lagi mewujudkan tugasnya yang baik yaitu memberikan pelayanan yang
maksimal dan memberikan kepuasaan pada konsumen karena konsumen sangat
membutuhkan pelayanan yang adil, transparan dan memberikan kemakmuran dan
kepastian hukum agar tercipta suasana yang saling membutuhkan antara pejabat BPN

17
sebagai pelayan dan rakyat sebagai konsumen.

Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Antara Lain:

1. Upaya Pemberantasan Calo

Keberadaan calo di tubuh BPN selain adanya keinginan untuk mencari


keuntungan oleh oknum-oknum tertentu yang telah terkoordinasi oleh petugas-
petugas yang berkepentingan di dalam hal pemrosesan pelayanan. Bahkan
masyarakat yang mengetahui ketimpangan ini justru terkesan mengiyakan
upaya percaloan karena mengharapkan kemudahan-kemudahan dalam
mendapatkan pelayanan sesingkat mungkin, meskipun harus membayar lebih.

Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan kerjasama oleh semua pihak.


Mulai dari masyarakat sampai pejabat-pejabat BPN. Masyarakat harus
menolak upaya pencaloan dengan tidak mengikuti ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dan bila perlu
melaporkan upaya pencaloan ini kepada pimpinan di lembaga tersebut.
Pimpinan memiliki andil yang besar di dalam upaya ini perlu adanya kontrol
terhadap bawahannya dan oknum-oknum yang ada di sekitar petugas-petugas
tersebut perlu adanya sangsi terhadap petugas serta yang tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik, khususunya yang bekerja sama dengan calo atau
bahkan menjadi calo Sehingga dihaapkan lembaga pelayanan publik ini bebas
dari penyimpangan-penyimpangan.

2. Diadakannya Tolak Ukur Kerja Agar Mutu Pelayanan Tetap Terjaga

Tolak ukur kerja dapat dijadikan suatu target yang harus dipenuhi oleh
BPN. Karena tanpa tolak ukur, pelayanan akan berjalan tanpa standar baik
sehingga akibatnya akan menurunkan mutu pelayanan di kalangan BPN itu
sendiri dengan berbagai tahapan-tahapan yang semakin menurun, meliputi
ketidaktranspaansian pelayanan, lambannya proses pelayanan dan akhirnya
tidak dapat memberikan kepuasan kepada konsumen.

Tetapi jika hanya standar / tolak ukur saja yang bagus belum tentu
menjamin mutu pelayanan akan bagus, melainkan juga harus ada standar
mentalitas pegawai dan mentalitas orang-orang BPN harus dibenahi.

Rendahnya pelayanan tidak akan terjadi jika instansi tersebut menerbitkan


ISO (Internasional Organization for Standarization) untuk standar mutu
pealayanannya yang lebih jelas, transparan, terukur dan adanya evaluasi yang
dilakukan secara periodic (setiap 3 tahun sekali). Evaluasi kerja dilakukan
baik secara internal maupun melalui survey langsung kepada pengguna
layanan. Jika lembaga pelayanan tersebut tidak mampu menunjukkan kriteria
kinerja yang sesuai mutu yang telah disepakati, sertipikat ISO akan dicabut.

3. Perlu Teknologi Transparansi

Agar BPN sebagai lembaga yang bertugas memberikan pelayanan publik


tidak dapat / kesulitan untuk berhak bertindak mencari keuntungan maka perlu
pengadaan teknologi yang difungsikan untuk memperlancar proses pelayanan
dengan tahap-tahap sebenarnya.

Perlu diadakan melalui proses komputerisasi atau internet dalam berbagai


bidang meliputi : waktu, biaya, persyaratan untuk mengurus administrasi agar
selalu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Agar BPN dapat merumuskan
anggaran biaya yang harus dibentuk Departemen Agraria atau lembaga yang
sekiranya setingkat dengan kementrian aga dapat leluasa dalam menyusun
anggaran untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga
masyarakat sebagai konsumen dapat mengetahui melalui internet mengenai
biaya, waktu, dan persyaratan yang harus dipenuhi sebelum mengurus /
meminta pelayanan ke BPN.

Selain hal tersebut juga perlu diadakan peradilan pertanahan. Persoalan


administrasi pertanahan yang mendesak untuk dilakukan pembenahan dan di
tata dengan baik serta menajemen pertanahan dan akses informasi pertanahan
peradilan yang khusus menangani permasalahan pertanahan guna untuk
mendukung peradilan yang dididik secara khusus dan dibekali dengan
pengetahuan tentang pertanahan yang mendalam. Dengan adanya peradilan
dan sistem peradilan pertanahan yang memadai diharapkan dapat memulihkan
pelayanan publik menjadi lebih baik dengan cara pemberantasan calo dan
pemberantasan pegawai-pegawai yang mentalitasnya jelek.

19
Untuk mendukung upaya tersebut maka BPN mengeluarkan program
Layanan Rakyat untuk Sertipikat Tanah (Larasita). Layanan bergerak Larasita
dilakukan dengan unit-unit mobil BPN yang dilengkapi peraltan canggih,
seperti peralatan internet, perangkat komputer, dan GPRS dengan petugas
operator tujuh orang termasuk petugas ukur sehingga proses pembuatan
sertipikat bisa dituntaskan satu hingga dua hari saja. Program ini bertujuan
untuk mengadakan pensertifikatan tanah secara langsung ke lingkungan
masyarakat. Memudahkan masyarakat yang tidak harus datang ke kantor BPN
tapi hanya mendatangi saja mobil-mobil Larasita yang terparkir di pinggir
jalan. Ini juga dapat menghambat calo yang selama ini beredar di kantor BPN
dalam hal pengurusan sertipikat. Larasita sangat membantu masyarakat,
dikarenakan biaya lebih murah, waktu lebih cepat, dan prosesnya yang
singkat dan tidak berbelit-belit.

4.Peningkatan SDM Akan Sadarnya Atau Pentingnya Memberikan


Pelayanan Yang Baik Kepada Masyarakat

Tanpa adanya kesadaran dari pihak pejabat yang memberikan pelayanan


akan pentingnya mengutamakan masyarakat / konsumen akan terjadi
ketidaktransparansian dalam pelayanan berbelit-belit birokrasi pelayanan dan
akan banyak menyita waktu dalam proses pemberian pelayanan.

Sudah tidak ada alasan lagi untuk melakukan peningkatan / reformasi


SDM. Jika tiadak segera dilakukan perubahan dan pembenehan menghambat
pembangunan dan menghambat pertumbuhan ekonomi, menimbulkan
kerugian yang antara lain: pertama pemborosan waktu karena pengurusan
tidak berjalan pada standar pelayanan mutu yang baku. Kedua terjadi
pemborosan biaya baik yang berkaitan dengan perlengkapan administrasi
maupun yang dibutuhkan pribadi untuk transportasi.

Ketiga dapat menimbulkan trauma kepada konsumen yang benar-benar


mengurus pelayanan secara pribadi (tanpa calo), karena merasa dipersulit oleh
petugas dan juga oleh calo-calo yang ada di sekitar. Keempat banyak
pengusaha yang menjalankan usahanya dengan biaya yang ekstra karena ada
pelipatan ongkos saat mengurus sertipikat. Kelima kerugian dari lembaga
keuangan (bank). Bila suatu saat pihak bank membutuhkan sertipikat ternyata
sertipikatnya bermasalah dan sulit untuk dipastikannya. Keenam bagi yang
ingin mendapatkan permodalan untuk usaha ekonomi dengan menjadikan
sertipikat tanahnya sebagi jaminan akhirnya hanya berangan-angan saja ketika
sertipikatnya tidak segera beres / jadi.

5.Harus Ada Lembaga Yang Bertugas Untuk Mengawasi Kinerja Dari


BPN

Sampai saat ini belum ada lembaga khusus yang difokuskan untuk
mengawasi, mengkoordinasi jalannya kinerja BPN maka sangat diperlukan
pembentukan lembaga baru yang tugasnya sebagai pengawas BPN agar hasil
kerja dari BPN benar-benar bisa terevaluasi dan terkontrol sehingga tujuan
dari pelayanan BPN akan terpenuhi. Termasuk didalamnya melakukan
pelayanan terhadap proses rekruitmen. Pengawasan bukan hanya dilakukan
dari lembaga instansi kepada kepala BPN namun juga harus ada pengawasan
sampai staf-staf BPN yang menduduki jabatan-jabatan atas sampai bawah,
sehingga dapat diwujudkan kondisi BPN sebagai instansi yang bertugas
memberikan pelayanan benar-benar bisa melaksanakan tugasnya dengan baik
tanpa ada stigma-stigma buruk di BPN dalam memberikan pelayanan.

BAB III

PENUTUP

21
A. Kesimpulan

Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga Negara yang bertugas


memberikan pelayanan kepada masyarakat dituntut untuk dapat menjalankan
tugasnya secara maksimal di dalam memberikan kemudahan-kemudahan bagi
masyarakat yang berkepentingan untuk melakukan proses administrasi pertanahan.

Buruknya pelayanan yang diberikan BPN saat ini didominasi oleh buruknya
mentalitas para pejabat di dalam lembaga ini. Budaya-budaya untuk memperkaya diri
sendiri masih tertanam kuat tanpa memperhatikan hak dan kewajibannya terhadap
masyarakat yang harus dinomor satukan, pejabat-pejabat BPN belum memiliki
komitmen yang kuat untuk memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat.
Ditambah lagi dengan belum adanya lembaga khusus yang bertugas melakukan
pengawasan terhadap kinerja BPN memberikan ruang terhadap suburnya
penyimpangan-penyimpangan yang dapat dilakukan oleh pejabat-pejabat BPN.

Untuk itu perlu dilakukan pembenahan-pembenahan mentalitas para pejabat


BPN agar kembali kepada fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Setiap individu
harus memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan pelayanan yang maksimal
tanpa harus melakukan penyimpangan-penyimpangan di dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pelayan masyarakat.

Upaya untuk membenahi mentalitas para pejabat tersebut dilakukan dengan


berbagai langkah secara nyata. Diantaranya mengupayakan pengahapusan calo di
dalam lingkungan BPN, ditetapkannya standarisasi kinerja masing-masing petugas,
memiliki standar baku kinerja sebagai control terhadap kinerja petugas-petugas BPN,
diperlukan teknologi yang memungkinkan dapat meningkatkan transparansi dari
proses-proses pelaksanaan administrasi pertanahan. Juga diperlukan peningkatan
SDM dan lembaga yang bertugas mengkoordinasi dari kinerja pejabat BPN sehingga
dapat tercipta kinerja yang tertib dan terkendali.

B. Saran

Untuk meningkatkan mentalitas petugas-petugas pelayanan masyarakat


diperlukan perbaikan atau pembenahan moral pada individu petugas tersebut.
Diperlukan penanganan secara nyata dan konsisten melalui upaya-upaya penyadaran
dan meningkatkan komitmen terhadap tugasnya sebagai pelayan masyarakat melalui
dijatuhkannya sangsi-sangsi tegas terhadap setiap penyimpangan. Untuk itu juga
diperlukan pembentukan lembag-lembaga khusus yang dapat mengawasi kinerja BPN
secara menyeluruh, mulai dari pimpinannya sampai pejabat-pejabat terendah.

Upaya penyimpangan yang dilakukan petugas-petugas BPN, khususnya upaya


memperkaya diri sendiri dimungkinkan. Karena kurangnya kesejahteraan para
petugas-petugas tersebut. Sehingga perlu adanya peningkatan insentif bagi petugas-
petugas tersebut sehingga tidak terjadi lagi upaya-upaya korupsi maupun percaloan.

Selain itu perekrutan pegawai yang melalui penitipan-penitipan seharusnya


tidak diterima lagi. Perekrutan pegawai yang melalui proses dan prosedur yang telah
ditentukan oleh pemerintah. Dan perlu diajtuhkannya sangsi terhadap pejabat yang
bersedia dititipi pihak-pihak tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

23
Dari Buku

F. Kartasapoetra, dkk. 1991. Hukum Tanah, Jaminan Bagi Keberhasilan


Pendayagunaan Tanah. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta : Unit Penerbit &
Percertakan Akademi Manajemen Bersih.

Purnaweni, Hartuti. 2003. Capacity Building dalam Pelayanan Prima, dalam Warsito, SU
dan Teguh Yuwono (ed), Otonomi Daerah : Capacity Building dan Penguatan
Demokrasi Lokal. Semarang : Puskodak (CLoGAPPS) Undip.
Dari Internet

http://www.surya.co.id/

http://www.surabayapost.com/

http://www.jabarprov.go.id/jabar/public/33417/berita_detail.

http://humas-trenggalek.blogspot.com/2009/05/bimbingan-teknis-administrasi.html

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/02/27/0010.html

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/16/15050668/bpn.pelayanan.publik.terbur
uk..

http://elibrary.mb.ipb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=mbipb-
12312421421421412-retnogunad-642

Dari Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.

Keputusan MENPAN No. 63/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan


Pelayanan Publik.

You might also like