Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Toni Fradana 080401080106
PENDAHULUAN
2. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat yang efektif untuk dijadikan sebagai sarana
pemersatu bangsa yang sangat heterogen seperti Indonesia pada khususnya.
Dalam umurnya yang masih terbilang muda, bahasa Indonesia
mengalami banyak perkembangan walaupun tidak terlalu pesat. Pengaruh
budaya dan gesekan dengan berbagai bahasa lain-baik daerah maupun
asing-ikut memberikan warna tersendiri dalam perjalanannya. Selain itu,
faktor trial and error juga turut mempengaruhi dalam proses pembentukan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Belajar dari kesalahan demi
kesalahan dalam bahasa sementara ini memang masih menjadi primadona
dalam merumuskan setiap konsep dalam pengembangan bahasa. Tapi ada
saatnya, primadona ini harus diganti dengan trial and right. Ya, mencoba lalu
benar, dan bukannya salah. Kenapa? Tentu saja hal ini jauh lebih efektif baik
dari segi waktu, biaya, dan lain sebagainya. Untuk dapat mewujudkannya,
terlebih dahulu yang harus dibenahi adalah persepsi. Adagium trial and error
sudah terlanjur mendarah daging sehingga setiap percobaan selalu
memberikan toleransi kesalahan yang terlalu tinggi. Atau bahkan tidak sedikit
percobaan yang malah disengaja untuk salah, salah, dan salah karena
kepentingan dan tujuan tertentu. Persepsi yang harus dibenahi adalah bahwa
tidak harus setiap mencoba selalu salah dan salah. Di samping itu yang perlu
dirubah lagi adalah prosedur kerja. Dalam konsep trial and error asumsi yang
dibangun adalah bahwa setiap percobaan wajar salah atau bahkan memang
harus salah, sehingga tidak ada perencanaan sistematis dan jangka panjang
yang memungkinkan untuk meminimalisir kesalahan sampai mendekati titik
nol.
Tapi bagaimanapun juga tetap tidak dapat dipungkiri bahwa belajar dari
kesalahan apalagi sampai tingkat analisis memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam proses penyempurnaan bahasa. Oleh karenanya, setidaknya
sampai saat ini, model analisis kesalahan bahasa dapat menjadi jalan pintas
terpendek untuk memperbaiki kualitas bahasa.
2. Tujuan
Secara umum, penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Analisis kesalahan Bahasa yang dibimbing oleh bapak Edi Susilo sebagai.
Penelitian ini dapat dijadikan sarana belajar yang efektif sebagai bahan
evaluasi terhadap proses pembelajaran bahasa. Selain itu dapat juga dijadikan
sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan konsep perbaikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kelezatan Cerpen, Cerpen menjadi menu lezat, Wajah dan sapa menggoda, Cerpen
yang jadi godaan minta perhatian, Hormat dan nilai, Kepungan tanya, Laku
kreatif,Tak, Prosaik, Bincang, Cafe, Milis, Gairah atau gerah, Jadi, Nelangsa,
Olahan, tanya, sajian, Beda, Pada, Cecapan, Haru yang ungu, Naif, Pedih, pedih
perempuan,Cerpen-cerpen itupun ingin menyapa pembaca, Resah cinta,
Melenakan, cerpen adalah juru bicara.
a. Mistake:
-
b. Error:
(1) Cerpen adalah juru bicara, (2) Kelezatan Cerpen(3), Cerpen menjadi menu lezat,
(4) Wajah dan sapa menggoda, (5) Cerpen yang jadi godaan minta perhatian, (6)
Hormat dan nilai, (7) Kepungan tanya, (8) Laku kreatif , (9) Tak, (10) Prosaik, (11)
Bincang, (12) Cafe, (13) Milis, (14) Gairah atau gerah, (15) Jadi, (16) Nelangsa, (17)
Olahan, (18) Beda, (19) Pada, (20) Cecapan, (21) Haru yang ungu, (22) Naif, (23)
Pedih, (24) Pedih perempuan, (25) Cerpen-cerpen itupun ingin menyapa pembaca,
(26) Resah cinta, (27) Melenakan, (28) Sajian, (29) tanya, (30).
a. Morfologi:
(1) Tanya , (2) Hormat dan nilai, (3) Prosaik, (4)Bincang, (5) Cafe, (6) Milis, (7)
Gairah atau gerah, (8) Jadi, (9) Olahan, (10) Beda, (11) pada, (12) Naif, (13)
Pedih,(14) Sajian, (15) laku kreatif,
b. Semantik :
(1) Kelezatan Cerpen, (2) Cerpen menjadi menu lezat, (3) Wajah dan sapa
menggoda, (4) Cerpen yang jadi godaan minta perhatian, (5) Kepungan tanya, (6)
Nelangsa, (7) Cecapan, (8) Haru yang ungu, (9) Cerpen-cerpen itupun ingin
menyapa pembaca, (10) Resah cinta, (11) Melenakan, (12) cerpen adalah juru
bicara.
c. Sintaksis:
(1) Pedih perempuan.
d. Fonologi:
(1) Tak.
a. Interlingual:
(1) Cafe, (2) Milis, (3) Tak.
b. Intralingual:
(1) Tanya, (2) Hormat dan nilai, (3) Laku kreatif, (4) Prosaik, (5)Bincang, (6) Gairah
atau gerah, (7) Jadi, (8) Olahan, (9) Beda, (10) pada, (11) Naif, (12) Pedih, (13)
Kelezatan Cerpen, (14) Cerpen menjadi menu lezat, (15) Wajah dan sapa
menggoda, (16) Cerpen yang jadi godaan minta perhatian, (17) Kepungan tanya,
(18) Nelangsa, (19) Cecapan, (20) Haru yang ungu, (21) Cerpen-cerpen itupun ingin
menyapa pembaca, (22) Resah cinta, (23) Melenakan, (24) Pedih perempuan,(25)
cerita mungkin, (26) Sajian, (27) cerpen adalah juru bicara.
a. Pengurangan:
(1) Tanya, (2) Hormat dan nilai, (3) Tak, (4) Bincang, (5) Gairah atau gerah, (6)
Olahan, (7) sajian, (8) Beda, (9) pada, (10) Naif, (11) Pedih, (12) Pedih perempuan.
b. Penambahan:
(1) Laku kreatif, (2) Haru yang ungu.
c. Penggantian:
(1) Cafe, (2) Milis, (3) Prosaik, (4) Kelezatan Cerpen, (5) Cerpen menjadi menu
lezat, (6) Wajah dan sapa menggoda, (7) Cerpen yang jadi godaan minta perhatian,
(8) Kepungan tanya, (9) Nelangsa, (10) Cecapan, (11) Cerpen-cerpen itupun ingin
menyapa pembaca, (12) Resah cinta, (13) Melenakan, (14) Cerpen adalah juru
bicara.
d. Urutan:
-
2.3 Pembahasan.
Kalimat “Kelezatan cerpen” bila dikaji secara baku dalam artikel yang resmi,
tentu saja tidak baku. Pada kata kelezatan, seharusnya tidak dikombinasikan
dengan cerpen. Kelezatan umumnya dipakai untuk menyatakan “enak atau
nikmat” yang digunakan untuk mengapresiasi suatu makanan/yang dapat
dimakan. Sedangkan cerpen bukanlah makanan. Lebih tepatnya lagi, kalau
kelezatan disini diubah menjadi keindahan. Kesalahan ada pada error, ada
pada tataran semantik, karena ketidak sesuaian makna kalimat ini. Pada
sumber kesalahan ada pada tataran intralingual dan bentuk kesalahan ada
pada tataran penggantian kata keindahan dengan kelezatan.
Ketiga adalah kalimat “cerpen menjadi menu lezat”. Hampir sama dengan
kalimat “kelezatan cerpen”, karena ketidak sesuaian dengan makna yang
akan ditunjukkan.
Selain itu, kata “tanya” seharusnya mendapat imbuhan peN- an. Bentuk kata
dasar yang diawali fonem /t/ tidak menimbulkan penghilangan fonem tersebut
hingga bentuk dasar tetap dan menjadi /pertanyaan/. Kesalahan pada tataran
error dan pada tingkat kebahasaan pada morfologi dan sumber kesalahan
pada intralingual dna menurut wujud dan bentuknya pada penghilangan.
Kalimat “laku kreatif” menimbulkan kesan yang berlebih, saat laku dan kreatif
di satukan. Kreatif memiliki makna memiliki daya cipta, atau hasil pemikiran.
Rasanya kurang tepat bila disandingkan dengan kata laku. Ada beberapa
bentuk yang mungkin bisa dipakai, pertama dengan menghilangkan kata
“laku” dan menembahkan kata “kreatif” menjadi “kreatifitas”. Sehingga kalimat
pada artikel akan berbunyi demikian:
“prolog ini jadi pengesahan untuk memerkarakan cerpen sebagai realisasi
kreatifitas yang hidup dalam...”
Kedua bentuk “laku” diubah menjadi “kelakuan” dengan menghilangkan kata
“kreatif”.
Kesalahan berdasar pada sistematis dan tidaknya, ada pada tataran error,
sedangkan pada tingkat kebahasaan ada pada tataran morfologi. Sumber
kesalahan ada pada tingkatan intralingual dan berdasar wujud dan bentuk
ada pada tataran pengurangan.
Kata “tak’ sering digunakan dalam kalimat yang formal. Entah pada artikel,
makalah dan pada tuturan.kesan yang ditimbulkan bahwa penggantian “tidak”
menjadi “tak” seolah sudah baku. Kesalahan berdasarkan sistematis dan
tidaknya, ada pada tataran error. Tingkat kebahasaan merupakan kesalahan
fonologi dan sumber kesalahan ada pada intralingual, yakni kurang
menguasainya penulis pada kaidah kebahasaan. Pada kesalahan wujud atau
bentuk ada pada tataran pengurangan kata “tidak” menjadi “tak”.
Pada kata prosaik ada dua kemungkinan. Pertama adalah prosais yang
berarti bersifat prosa dan kedua adalah prosaik (prosaic) yang berasal dari
kosa kata bahasa Inggris yang berarti membosankan atau menjenuhkan.
Kalimat yang ada pun memungkin kan dua artian ini benar, yakni:
“ketika lohika hidup, imaji publik, atau peristiwa-peristiwa rutin sudah begitu
prosaik...”
Bila pembenarannya pada kata “prosais”, kesalahan ada pada tingkat error,
bila di lihat dari sistematis dan tidaknya. Pada tataran morfologi bila ditilik dari
segi kebahasaannya dan intralingual bila dilihat dari segi sumber
kesalahannya. Pada tataran wujud atau bentuk, ada pada tataran
penggantian.
Bila yang dimaksudkan penulis adalah prosaic, maka harus dijadikan prosaic
(huruf miring/italic) dengan pemaknaan membosankan, menjenuhkan.
Kesalahan pada sistematis dan tidaknya, di error sedangkan dilihat dari segi
tingkat kebahasaannya, pada tataran morfologi, mempertahankan
keasliannya. Sumber kesalahan pada tataran interlingual, yakni kontak antara
dua bahasa. Dilihat dari wujud atau bentuknya, pada tataran penggantian
fonem/c/ menjadi /k/.
Bincang sama dengan kalimat tanpa imbuhan ada kesalahan di atas. Sama
juga dengan kata “jadi” dan “beda”. Kesalahan berdasarkan sistematis dan
tidaknya pada tataran error dengan kesalahan pada tingkat kebahasaan
morfologi. Sumber kesalahan pada tataran intralingual, kesalahan pada
penulis sendiri yang tidak menguasai kaidah kebahasaan. Sedangkan dari
wujud atau bentuk kesalahan pada tataran pengurangan. Masing-masing ber-
pada kata “bincang” dan “beda”, meN- pada kata “jadi”.
Sering kali pada kata “kafe”, atau “kopi” dalam kalimat foto kopi menggunakan
bentuk asalnya atau aslnya, seperti Cafe atau Copy. Kalau dalam situasainya
benar, bukanlah masalah, namun pada artikel ini, kata Cafe tidak digaris
miring atau menggunakan kata serapan dari bahasa asing itu sendiri, Kafe.
Sama halnya dengan kata Copy, biasanya di tulis dengan Foto Copy, dengan
pembenaran Photo Copy atau Foto Kopi.
Kesalahan pada kata “gairah dan gerah” sama, yakni tidak adanya
afiks(imbuhan) yang melengkapi. Afiks yang dimaksud adalah afiks meN-an.
Diaman seharusnya untuk membentuk kalimat “cerpen memang terus ada
dengan tegangan-tegangan untuk gairah atau gerah” dengan seharusnya
“cerpen memang terus ada dengan tegangan-tegangan untuk menggairahkan
atau menggerahkan”.
Kesalahan pada tataran sistematis dan tidaknya adalah secara error.
Sedangakan tingkat kebahasaan pada morfologi. Sumber kesalahan di
intralingual sedangkan secara wujud dan bentuk pada pengurangan.
Haru yang ungu digunakan dengan menekankan kata aslinya, Haru. Dengan
penekanan ini untuk menimbulkan kesan yang lebih. Namun tak seharusnya
ada kata tambahan “yang ungu”. Pertama tidak ada warna haru berwarna
“ungu”, artinyapun cenderung tidak ada. Kedua, artinya bisa dikatakan kesan.
Kesalahan pada tataran kebeahasaannya terletak pada semantik, tentang
makna dan tingkat sistematis tidaknya pasa error. Sumber kesalahan pada
intralingual dan bedasarkan wujud dan bentuknya pada tingkat penembahan.
Kata “naif” seharusnya menjadi kenaifan yang berarti “keadaan naif” dan kata
Pedih yang seharusnya “kepedihan”. Kesalahan ada pada tataran error,
morfologi, intralingual dan melihat kesalahannya dengan mengurangi
imbuhan ke-an, maka berdasarkan wujud dan bentuknya adalah
pengurangan.
Melenakan pada kalimat “kefasihan itu ada tapi terkadang melenakan karena
kurang mengurusi kelezatan untuk pengekalan reflektif”. Maknanya tidak
terlalu jelas dan terkesan menggunakan bahasa yang tidak semua orang
mengerti (kalangan tertentu).
Dari kata dasar “lena”, tidak ada kata “melenakan”, mungkin bisa diartikan
membosankan, bila di lihat dari kalimat yang menyertainya.
Kesalahan ada pada tingkatan error, intralingual dan penembahan.
Sedangkan pada tingkat kebahasaan ada pada tataran semantik.
2.4 Klarifikasi
2.5 Evaluasi
Artikel yang ditulis oleh Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo, kurang
memperhatikan asas bahasa yang baku dan tidak. Dimana Bandung Mawardi
bahasanya “terkontaminasi” dengan gaya bahasa sastra. Ada beberapa hal yang
membuktikan misalnya bagaimana keindahan diungkapkan dengan “kelezatan”,
gaya bahasa yang membutuhkan tafsiran lain, dsb.
Banyak juga kata yang menunjukkan ia seorang akademisi yang
membutuhkan “kamus” untuk menerjemahkan beberapa kata yang jarang kita
dengar.
Selain itu, mungkin juga terpengaruh dengan gaya bahasa non baku pada
sastra, banyak kata yang tidak baku dalam artikel ini terutama juga yng sering
digunakan dalam penulisasn karya / sastra.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan bisa diambil dari menganalis artikel dari Jawa Pos ini,
tentu saja dari beberapa kesalahan yang saya temukan.
Lebih banyak kesalahan berdasarkan tingkat sistematis dan tidaknya, 100%
atau 29 data pada jenis error, yakni kesalahan karena ketidak menguasainya
terhadap kaidah berbahasa. Sedangkan pada jenis mistake yang pada
pengertiannya adalah semata-mata karena kekeliruan, tidak ada.
Kesalahan ditingkat kebahasaan lebih banyak pada tataran morfologi, yakni
15 data dari 30 data. Ditingkat kedua adalah kesalahan pada tataran semantik,
yakni urusan makna, ada 13 data dari 30 data. 2 data ada di tingkat sintaksis dan
sisanya (1 data) ada di tataran fonologi.
Pada sumber kesalahan, 3 data merupakan interlingual dan lainnya adalah
intralingual. Berdasarkan wujud atau bentuk, 12 data ada pada kesalahan
pengurangan, penambahan hanya ada 2 data dan 14 lainnya ada pada penggantian.
Sementara pada urutan tidak ada.
3.2 Saran
Dalam situasi resmi, pemaknaan ganda dan mungkin juga pemaknaan yang
sulita akn timbul apabila menggunakan bahasa yang sulit atau yang berbau sastra.
Pada artikel ini, tidak banyak kata-kata kiasan dan gaya bahasa khas sastra yang
digunakan, mungkin karena penulis berasal dari kalangan pecinta sastra dan dalam
artikel ulasan sastra (cerpen).
Untuk situasi resmi, lebih baik menyesuaikan dengan situasi dan
menggunakan bahasa yang baku. Bahasa tidak baku yang digunakan
pengarangpun banyak, dengan menggunakan bahasa dengan baik (penggunaan
bahasa baku yang benar) mungkin akan membuat artikel ini bernilai lebih dijadikan
referensi.