You are on page 1of 50

Suku Minangkabau

Adnan Saidi, Hatta, Yusof Ishak, Muszaphar Shukor, Natsir, Tan


Malaka, Sutan Sjahrir, Hamka, Yamin, Marah Roesli, Chairil Anwar,
Agus Salim

Suku Minangkabau atau Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang


berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut
kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara
Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya
Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia[2]. Dalam percakapan awam,
orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada
nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Hal ini dapat
dikaitkan dengan kenyataan bahwa beberapa literatur Belanda juga telah
menyebut masyarakat suku ini sebagai Padangsche Bovenlanden[3].

Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem


kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal[4], walaupun
budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Saat ini
masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di
dunia.[rujukan?] Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-
demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk
menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat
Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara'
basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al
Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.

Orang-orang Minang dikenal menonjol dalam bidang pendidikan dan


perniagaan. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota suku ini berada
dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-
kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang,
dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di
Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia
dan bahkan di mancanegara masakan khas suku ini, yang populer dengan
sebutan masakan Padang, sangatlah digemari.

Tanah Minang pernah menjadi ajang perang Paderi yang terjadi pada tahun
1803 - 1838[5], dan merupakan salah satu perang penaklukan terlama yang
dilancarkan Belanda dalam politik ekspansinya di abad ke-19 di Nusantara.
Kekalahan dalam perang tersebut menyebabkan tanah Minang berada di
bawah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda sejak tahun 1838, dan
berakhir pada tahun 1942 seiring dengan penyerahan kekuasaan kepada
Jepang.

Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu
dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal sebagai tambo.
Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa
ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan
penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat
mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan
menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat
setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan
pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau itu menyangka
kerbau besar tersebut adalah induknya dan ingin menyusui maka anak
kerbau kecil langsung menanduk serta mencabik-cabik perut kerbau besar
tersebut. Kemenangan tersebut menginspirasikan masyarakat setempat
memakai nama Minangkabau[6] (dalam bahasa Indonesia yang maknanya
sama dengan Menang-Kerbau).

Nama "Minang" sendiri malah telah disebutkan dalam prasasti Kedukan


Bukit yang bertarikh 682 Masehi dan berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti
itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta
Hyang bertolak dari "Minānga" ...[7]. Beberapa ahli yang merujuk dari
sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5
(tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan
diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud
diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai
Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan[8]. Namun
pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan"
tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu juga dijumpai pada
prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya[9]. Oleh karena
itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu
sendiri.

Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama[10] bertarikh


1365 M, juga ada menyebutkan salah satu dari negeri Melayu yang bernama
Minangkabwa.

Asal Usul

Untuk sejarah narasi Minangkabau, lihat Tambo Minangkabau dan Tombo


Lubuk Jambi.

Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu


Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau
Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok
masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran
sungai Kampar sampai ke dataran tinggi, dan didaerah Menhir Mahat (nama
satu daerah yang terletak antara perbatasan Sumatera Barat dan Riau
sekarang) banyak dijumapi peninggalan megalit. Selanjutnya masyarakat ini
menyebar dari Luhak nan Tigo (darek). terus ke daerah pesisir (pasisie) di
pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di utara hingga
Kerinci di selatan.

Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang
berasal dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut
terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif
perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan
Portugis.
Sosial Kemasyarakatan
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan
daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada
kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah
nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat
yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari
pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini
disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan
mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat
untuk nagari itu dihasilkan.

Persukuan dalam kelompok Etnis Minangkabau


Seperti etnis lainnya, dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan yang
disebut dengan istilah suku. Di masa awal pembentukan budaya
Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan
Sebatang, hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku
tersebut adalah[4]:

 Suku Koto
 Suku Piliang
 Suku Bodi
 Suku Caniago

Dan jika melihat dari asal kata dari nama-nama suku induk tersebut, dapat
dikatakan kata-kata tersebut berasal dari Bahasa Sansekerta, sebagai contoh
koto berasal dari kata kotto yang berarti benteng atau kubu, piliang berasal
dari dua kata phi dan hyang yang digabung berarti pilihan tuhan, bodi
berasal dari kata bodhi yang berarti orang yang terbangun, dan caniago
berasal dari dua kata chana dan ago yang berarti sesuatu yang berharga.

Demikian juga untuk suku-suku awal selain suku induk, nama-nama suku
tersebut tentu berasal dari bahasa sansekerta dengan pengaruh agama Hindu
dan Buddha yang berkembang disaat itu. Sedangkan perkembangan
berikutnya nama-nama suku yang ada berubah pengucapannya karena
perkembangan bahasa minang itu sendiri dan pengaruh dari agama Islam
dan pendatang-pendatang asing yang menetap di Kerajaaan Pagaruyung.
Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan
suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari hubungannya dengan suku induk. Di
antara suku-suku tersebut adalah:

 Suku Piboda  Suku Kutianyie


 Suku Pitopang  Suku Mandailiang
 Suku Tanjung  Suku Sipisang
 Suku Sikumbang  Suku Mandaliko
 Suku Guci  Suku Sumagek
 Suku Panai  Suku Dalimo
 Suku Jambak  Suku Simabua
 Suku Panyalai  Suku Salo
 Suku Kampai  Suku Singkuang
 Suku Bendang
 Suku Rajo Dani
 Suku Malayu

Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan, Malaysia, membentuk 13


suku baru yang berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau, yaitu:

 Suku Biduanda (Dondo)


 Suku Batu Hampar (Tompar)
 Suku Paya Kumbuh (Payo Kumboh)
 Suku Mungkal
 Suku Tiga Nenek
 Suku Seri Melenggang (Somolenggang)
 Suku Seri Lemak (Solomak)
 Suku Batu Belang
 Suku Tanah Datar
 Suku Anak Acheh
 Suku Anak Melaka
 Suku Tiga Batu

# Suku Koto
Suku koto merupakan satu dari dua klan induk dalam suku Minangkabau.
Suku minangkanbau memiliki dua klan (suku dalam bahasa orang minang)
yaitu Klan/suku Koto Piliang dan Klan/suku Bodi Chaniago

Asal Usul Suku Koto


A. A. Navis dalam bukunya berjudul Alam Terkembang Jadi Guru
menyatakan bahwa nama suku Koto berasal dari kata 'koto' yang berasal dari
bahasa Sanskerta 'kotta' yang artinya benteng, dimana dahulu benteng ini
terbuat dari bambu. di dalam benteng ini terdapat pula pemukiman beberapa
warga yang kemudian menjadi sebuah 'koto' yang juga berarti kota, dalam
bahasa Batak disebut 'huta' yang artinya kampung. Dahulu Suku Koto
merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang tapi karena perkembangan
populasinya maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua suku yaitu suku
Koto dan suku Piliang. Suku Koto dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan
yang memiliki aliran Aristokratis Militeris, dimana falsafah suku Koto
Piliang ini adalah "Manitiak dari Ateh, Tabasuik dari bawah, batanggo naiak
bajanjang turun" Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan "Besar
karena diagungkan oleh orang banyak),sedangkan Datuk Perpatih Nan
Sebatang "tagak samo tinggi, duduka samo randah" Suku K

Sejarah
Gelar Datuk Suku Koto
Diantara gelar datuk Suku Koto adalah :

 Datuk Tumangguang, gelar ini diberikan kepada Ir. Tifatul Sembiring


oleh warga suku Koto Kanagarian Guguak-Tabek Sarojo, Bukittinggi
 Datuk Bandaro Kali, gelar ini pernah akan dinobatkan kepada Mentri
Pariwisata Malaysia, Dr. Yatim|Rais Yatim yang berdarah Minang
tapi beliau menolaknya lantaran akan sulit baginya untuk terlibat
dalam kegiatan suku Koto nagari Sipisang setelah beliau dinobatkan.
 Datuk Sangguno Dirajo
 Datuk Panji Alam Khalifatullah, gelar ini dinobatkan kepada Taufik
Ismail karena beliau seorang tokoh berdarah Minangkabau suku Koto
yang telah mempunyai prestasi di bidang seni dan kebudayaan.
 Datuk Patih Karsani
Pemekaran
Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:

 Tanjung Koto
 Koto Piliang di nagari Kacang, Solok
 Koto Dalimo,
 Koto Diateh,
 Koto Kaciak,
 Koto Kaciak 4 Paruaik di Solok Selatan
 koto Tigo Ibu di Solok Selatan
 Koto Kampuang,
 Koto Kerambil,
 Koto Sipanjang
 koto sungai guruah di Nagari Pandai Sikek (Agam)
 koto gantiang di Nagari Pandai Sikek (Agam)
 koto tibalai di Nagari Pandai Sikek (Agam)
 koto limo paruik di Nagari Pandai Sikek (Agam)
 koto rumah tinggi di nagari Kamang Hilir (Agam)
 koto rumah gadang, di nagari Kamang Hilir (Agam)
 kotosariak, di nagari Kamang Hilir (Agam)
 koto kepoh, di nagari Kamang Hilir (Agam)
 koto tibarau, di nagari Kamang Hilir (Agam)
 koto tan kamang/koto nan batigo di nagari Kamang Hilir (Agam)
 Koto Tuo di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu
 koto Baru di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu

# Suku Piliang
Suku Piliang adalah salah satu suku (marga) yang terdapat dalam kelompok
suku Minangkabau. Suku ini merupakan salah satu suku induk yang
berkerabat dengan suku Koto membentuk Adat Ketumanggungan yang juga
terkenal dengan Lareh Koto Piliang

Etimologi
Menurut AA Navis, kata Piliang terbentuk dari dua kata yaitu 'Pele' artinya
'banyak' dan 'Hyang' artinya 'Dewa atau Tuhan'.[1] jadi Pelehyang artinya
adalah banyak dewa. Ini menunjukkan bahwa di masa lampau, suku Piliang
adalah suku pemuja banyak dewa, yang barangkali mirip dengan
kepercayaan Hindu.
Pemekaran
Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:

 Piliang Guci (Guci Piliang di nagari Koto Gadang, Agam)


 Pili di Nagari Talang, Sungai Puar (Agam)
 Koto Piliang di nagari Kacang, Solok dan Lubuk Jambi, Kuantan
Mudik, Riau
 Piliang Laweh (Piliang Lowe) di ([[Kuantan Singingi))
 Piliang Sani (Piliang Soni) di Kuantan Singingi, Riau dan nagari
Singkarak, Solok
 Piliang Baruah
 Piliang Bongsu,
 Piliang Cocoh,
 Piliang Dalam,
 Piliang Koto,
 Piliang Koto Kaciak,
 Piliang Patar,
 Piliang Sati
 Piliang Batu Karang di nagari Singkarak, Solok
 Piliang Guguak di nagari Singkarak, Solok
 Piliang Atas (Kuantan Singingi))
 Piliang Bawah (Kuantan Singingi))
 Piliang Godang (Piliang Besar)
 Piliang Kaciak (kecil)

Persebaran
Suku ini banyak menyebar ke berbagai wilayah Minangkabau yaitu Tanah
Datar, Agam, Lima Puluh Kota, Solok, Riau, Padang dan beberapa daerah
lainnya.

Dari beberapa sumber, diketahui tidak terdapat suku ini di Pesisir Selatan
dan Solok Selatan.
Kerabat
Di bawah payung suku Koto-Piliang, terdapat banyak suku lain yang
bernaung, diantaranya adalah :

1. suku Tanjung
2. suku Guci
3. Suku Sikumbang
4. Suku Malayu
5. Suku Kampai
6. Suku Panai
7. Suku Bendang

Suku Piliang berdatuk kepada Datuk Ketumanggungan di zaman


Adityawarman.

Suku Bodi
Suku Bodi adalah salah satu suku (marga) dalam kelompok etnis Minang
yang juga merupakan sekutu Suku Caniago membentuk Adat Perpatih atau
Lareh Bodi Caniago. Kelarasan Bodi-Caniago ini didirikan oleh Datuk
Perpatih Nan Sebatang.

Etimologi
Bodi berasal dari bodhi (sansekerta) yang maknanya berarti yang telah
mendapat petunjuk[1]. Bodi dapat dirujuk kepada pohon Bodhi, sebuah
pohon yang sering dijadikan oleh pertapa Buddhist. Konon dulu suku ini
adalah penganut Buddha yang taat, suku ini sudah menempati wilayah
Minang jauh sebelumnya datangnya agama Islam. Bahkan dapat dikatakan
bahwa suku ini termasuk pendiri suku asal nenek moyang orang Minang.

Penghulu Adat
Diantara gelar datuk suku Bodi adalah Datuk Sinaro Nan Bandak, Datuk
Rambayan di Air Tabit.
Persebaran
Suku ini banyak tersebar di wilayah Minang yang lain seperti halnya saudara
dekatnya sendiri yaitu Suku Caniago, Suku Koto dan Suku Piliang. Suku ini
kebanyakan terdapat di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Lima Puluh
Kota.

Pemekaran
Suku Bodi dan suku Caniago tidak banyak melakukan pemekaran suku
sebagaimana suku lainnya. Suku ini terkenal kompak, barangkali disebabkan
faktor adat Perpatih yang mereka anut.

Suku Bodi di daerah lain ada yang disebut dengan Suku Budi Caniago atau
Suku Bodi Caniago, misalnya di Kenagarian Lubuk Jambi, Kuantan Mudik,
Riau.

Suku Caniago
Suku Caniago adalah suku asal yang dibawa oleh Datuk Perpatih Nan
Sebatang yang merupakan salah satu induk suku di Minangkabau selain
suku Piliang. Suku Caniago memiliki falsafah hidup demokratis, yaitu
dengan menjunjung tinggi falsafah "bulek aia dek pambuluah, bulek kato
dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan"
artinya: "Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat". Dengan
demikian pada masyarakat suku caniago semua keputusan yang akan
diambil untuk suatu kepentingan harus melalui suatu proses musyawarah
untuk mufakat.

Falsafah tersebut tercermin pula pada bentuk arsitektur rumah adat bodi
Caniago yang ditandai dengan tidak terdapatnya anjuang pada kedua sisi
bangunan Rumah Gadang. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat kasta
seseorang tidak membuat perbedaan perlakuan antara yang tinggi dengan
yang rendah. Hal yang membedakan tinggi rendahnya seseorang pada
masyarakat suku Caniago hanyalah dinilai dari besar tanggung jawab yang
dipikul oleh orang tersebut.

Salah satu falsafah lain untuk mencari kata kesepakatan dalam mengambil
keputusan pada suku caniago adalah "aia mambasuik dari bumi" artinya
suara yang harus didengarkan adalah suara yang datang dari bawah atau
suara itu adalah suara rakyat kecil, baru kemudian dirembukkan dalam
sidang musyawarah untuk mendapatkan sebuah kata mufakat barulah
pimpinan tertinggi baik raja maupun penghulu yang menetapkan keputusan
tersebut.

Gelar Datuk Suku Caniago


Diantara gelar datuk suku ini adalah :

 Datuk Rajo Penghulu


 Datuak Manjinjiang Alam
 Datuk Bandaro Sati
 Datuk Rajo Alam
 Datuk Kayo
 Datuk Paduko Jalelo
 Datuk Rajo Perak
 Datuk Paduko Amat
 Datuk Saripado Marajo

Minangkabau Perantauan

Jumlah Perantau

Rumah Gadang

Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk suku Minangkabau yang


hidup di luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos merantau orang
Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia.
Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim, pada tahun 1961
terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera
Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %.[11]
Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatera
Barat berjumlah 3,7 juta jiwa.[12] Dengan perkiraan 7 juta orang Minang di
seluruh dunia, berarti hampir separuh orang Minang berada di perantauan.
Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos
merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab
menurut sensus tahun 1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5%
dibawah orang Bawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).

Gelombang Rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah
mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, dimana banyak pedagang-
pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan
perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan
Malayu.[13] Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak
keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera hingga ke
Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah
timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat
Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang mendirikan koloni-
koloni dagang, seperti di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal
dengan sebutan Aneuk Jamee. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan
Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke
Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai
pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan
Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi. [14] Gelombang
migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau
mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.

Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada


tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur
mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak
mendiami kota-kota besar di Jawa, terutama Jakarta. Kini Minang
perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.

Perantauan Intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah
untuk mendalami agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan
Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat
gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh
Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur
Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim
Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi.

Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau


ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan
Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain, Tan
Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun
jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut,
yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang
kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia

Sebab Merantau
Faktor Budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah
sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka
dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini
cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih
untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak
hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti
karier dan melanjutkan pendidikan.

Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang,


yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka,
kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan
tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[16] Semangat
untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah
Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun,
marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau
karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk
pergi merantau sedari muda.

Faktor Ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan
bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian
dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi
keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan
utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan
bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah
tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan
pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang
Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan
pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu
di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru
ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.

Merantau Dalam Sastra


Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering
menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan.
Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman
hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan
Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga
bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di
kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang
merupakan induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya
Marah Rusli, Siti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis juga
menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut,
dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat
budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan
perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang
yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul
Kemarau, A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun
kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.

Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi


kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot dan
tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga
dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.

Orang Minangkabau dan Kiprahnya

Imam Bonjol, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, Fahmi Idris


Suku Minang terkenal sebagai suku yang terpelajar, oleh sebab itu pula
mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam
berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis,
ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang
relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah
satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi
khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di
abad ke-20 merupakan orang Minang.

Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di


perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah di
Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina.
Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Philipina
selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri
Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari
kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan
yang diangkat pada tahun 1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau
Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang, dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam
di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa. Setelah gagal merebut
tahta Kesultanan Johor, pada tahun 1723 putra Pagaruyung yang bergelar
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I mendirikan Kerajaan Siak di daratan
Riau.[17]

Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah


mempengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern
Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang
banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur,
Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.

Pada periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari
ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan
Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis
Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya
Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan
seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah
yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan
Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Mohammad Hatta, menjadi ko-
proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang
Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad
Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat),
seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi
pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di
antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim.
Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian
RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu
memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di
pemerintahan, di masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi
oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan
ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.

Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat,


orang-orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di
Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Muhammad Djosan
dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang
dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatra Selatan),
serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[18]

Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan
Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan
Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir,
Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain
mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-
buku yang menjadi bacaan wajib para aktifis pergerakan. Buku-buku bacaan
utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa
Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Yunani dan Demokrasi Kita karya
Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita Selecta karya Natsir, serta Perjuangan
Kita karya Sutan Sjahrir.

Penulis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa dan sastra


Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya
tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A Navis
berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang
lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling produktif.
Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Serta Sutan
Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan
modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa persatuan
nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Siti Nurbaya, Salah
Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan
Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah
di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula
dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro,
Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Di samping Abdul Rivai yang dijuluki
sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting
Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di
Indonesia.

Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga


terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses
berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan,
pendidikan, dan rumah sakit. Di antara figur pengusaha sukses adalah,
Abdul Latief (pemilik TV One), Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi
terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil
pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar
Corporation Malaysia)

Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai
sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser
ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan
menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan
karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah
dihasilkannya. Film-film karya sineas Minang, seperti Lewat Djam Malam,
Gita Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar Pintar Bodoh, dan Maju Kena
Mundur Kena, menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.

Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah


Ade Irawan, Dorce Gamalama, Eva Arnaz, Nirina Zubir, dan Titi Sjuman.
Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan
di Indonesia. Karya-karya beliau seperti kuis Berpacu Dalam Melodi, Gita
Remaja, Siapa Dia, dan Tak Tik Boom menjadi salah satu acara favorit
keluarga Indonesia. Di samping mereka, Soekarno M. Noer beserta putranya
Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di Indonesia,
baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Film
perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan
peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia, Si Doel Anak
Sekolahan.

Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia


dan Singapura, antara lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung
pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden pertama Singapura), Zubir
Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Sheikh
Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Tahir Jalaluddin Al-Azhari,
dan Adnan bin Saidi. Di negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili
Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah
duduk sebagai anggota parlemen.[19]. Di Arab Saudi, hanya Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, orang non-Arab yang pernah menjadi imam besar
Masjidil Haram, Mekkah.

Kerajaan Pagaruyung
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah
berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di
sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat
Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung.
Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan
sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam. Dan akhirnya
runtuh pada masa Perang Padri.
Replika Istana Pagaruyung di Sumatera Barat

Sejarah

Arca Amoghapasa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Berdirinya Pagaruyung
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat
diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat
Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-
peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai
pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya.
Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman,
menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri
tersebut.
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian
belakang Arca Amoghapasa[1] disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman
memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman
merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti
Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti
yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih
Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang[2].

Dan yang menarik dari Prasasti Suruaso yang beraksara Melayu


menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk
mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[3]
yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang
menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat
Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamananakan
(keponakan) telah terjadi pada masa tersebut[4].

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah


penting di Sumatera, seperti Kuntu dan Kampar yang merupakan penghasil
lada dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit. Namun dari
prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang
menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari
berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke
Tiongkok sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377 [4].

Kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menumpas


Adityawarman. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran
dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah
tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan
di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah


Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang
merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat
dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam
perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku
Minang).

Pengaruh Hindu-Budha
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira
pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu
oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman
dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan
cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya[5].
Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh
Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca
Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang
termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).

Prasasti Adityawarman

Pengaruh Islam
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu
melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh
dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf
Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah
ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di
Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah
menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat
Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat
diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang
terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya
adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam
bersendikan pada Al-Quran.

Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat
masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara
yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum
Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam
peperangan ini[6].

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan


Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan
beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam.

Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal
dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo
Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa
Arab atau Islam.

Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib),
Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah
yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah
Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris


Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat
tahun 1666[7]melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan
antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung
menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat
perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana.
Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk
menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684,
seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung
atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka[8] Namun setelah adanya
interaksi pihak Belanda maupun Inggris dengan kawasan pedalaman ini,
mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari
kawasan tersebut[9].

Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon
dimana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda
dan berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795
sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi
Pagaruyung di tahun 1818, dimana saat itu sudah mulai terjadi peperangan
antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa
ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi.
Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda di tahun 1814, maka
Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda
memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung,
dengan ditanda-tanganinya Traktat London di tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang
perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir
barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan
praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada
raja Pagaruyung.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan kaum Adat.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring
itu dibeberapa negeri dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan
puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada tahun 1815. Dan Sultan Muning Alamsyah terpaksa
menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan[10].

Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta


bantuan kepada Belanda. Pada tanggal 21 Februari 1821 Sultan Alam
Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Muning Alamsyah, beserta 19
orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian penyerahan kerajaan
Pagaruyung kepada Belanda[11]. Sebagai imbalannya, Belanda akan
membantu berperang melawan kaum Padri dan Sultan diangkat menjadi
Regent Tanah Datar mewakili pemerintahan Belanda.

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian


berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa,
Madura, Bugis dan Ambon[12]. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya
membuat kaum adat dan kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka
dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei
1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir
Kerajaan Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar
atas tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya
dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.
Wilayah kekuasaan
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat
hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini
dapat dilacak dari pernyataan tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini: [13]

Dari Sikilang Aia Bangih


Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat,
berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah
Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo,
Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau
Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam
tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung)
adalah sebagai berikut:

Nan salilik Gunuang Marapi Daerah Luhak nan Tigo


Saedaran Gunuang Pasaman Daerah di sekeliling Gunung
Sajajaran Sago jo Singgalang Pasaman
Saputaran Talang jo Kurinci Daerah sekitar Gunung Sago
Dari Sirangkak nan dan Gunung Singgalang
Badangkang Daerah sekitar Gunung Talang
Hinggo Buayo Putiah Daguak dan Gunung Kerinci
Sampai ka Pintu Rajo Hilia Daerah Pariangan Padang
Hinggo Durian Ditakuak Rajo Panjang dan sekitarnya
Sipisau-pisau Hanyuik Daerah di Pesisir Selatan
Sialang Balantak Basi hingga Muko-Muko
Hinggo Aia Babaliak Mudiak Daerah Jambi sebelah barat
Sailiran Batang Bangkaweh Daerah yang berbatasan dengan
Sampai ka ombak nan badabua Jambi
Sailiran Batang Sikilang Daerah sekitar Indragiri Hulu
Hinggo lauik nan sadidieh hingga Gunung Sailan
Ka timua Ranah Aia Bangih Daerah sekitar Gunung Sailan
Rao jo Mapat Tunggua dan Singingi
Gunuang Mahalintang Daerah hingga ke rantau pesisir
Pasisia Banda Sapuluah sebelah timur
Taratak Aia Hitam Daerah sekitar Danau
Sampai ka Tanjuang Simalidu Singkarak dan Batang Ombilin
Pucuak Jambi Sambilan Lurah Daerah hingga Samudra
Indonesia
Daerah sepanjang pinggiran
Batang Sikilang
Daerah yang berbatasan dengan
Samudra Indonesia
Daerah sebelah timur Air
Bangis
Daerah di kawasan Rao dan
Mapat Tunggua
Daerah perbatasan dengan
Tapanuli selatan
Daerah sepanjang pantai barat
Sumatra
Daerah sekitar Silauik dan
Lunang
Daerah hingga Tanjung
Simalidu
Daerah sehiliran Batang Hari

Sistem pemerintahan

Aparat pemerintahan
Pada awalnya Adityawarman menyusun sistem pemerintahannya mirip
dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit[14] pada masa itu dan
kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan
kerajaan Dharmasraya dan Sriwijaya yang pernah ada pada masyarakat
setempat. Dimana ibukota diperintah secara langsung oleh Raja, sementara
daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat[15].

Dan kemudian setelah masuknya Islam, raja Pagaruyung, yang disebut juga
sebagai Raja Alam, melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya dengan
bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat yang
berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur
Kudus. Bersama, mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo, yang artinya tiga
orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-
masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama.
Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung.

Selain kedua raja tadi, Raja Alam dibantu pula oleh Basa Ampek Balai,
artinya "orang besar" (menteri-menteri utama) yang berempat. Mereka
adalah:

1. Bandaro (bendahara) atau Tuanku Titah yang berkedudukan di Sungai


Tarab. Kedudukannya hampir sama seperti Perdana Menteri.
Bendahara ini dapat dibandingkan dengan jabatan bernama sama di
Kesultanan Melaka
2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik. Ia bertugas memelihara
hubungan dengan rantau dan kerajaan lain.
3. Indomo yang berkedudukan di Saruaso. Ia bertugas memelihara adat-
istiadat
4. Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh. Ia bertugas sebagai
panglima perang

Namun belakangan pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang


berkedudukan di Padang Ganting. Ia bertugas menjaga syariah agama masuk
menjadi Basa Ampek Balai mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya


daerah-daerah tertentu di mana mereka berhak menagih upeti sekedarnya.
Daerah-daerah ini disebut rantau masing-masing. Bandaro memiliki rantau
di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo
punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di
Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.
Cap Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung

Pemerintahan Darek dan Rantau

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 Nagari, yang merupakan


satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar
kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu
nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya
sendiri. Beberapa buah nagari terkadang membentuk persekutuan. Misalnya
Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala
persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja.
Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Darek
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung (Luhak Nan Tigo,
yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Tanah Data, Luhak Agam
dan Luhak Limopuluah), umumnya nagari-nagari ini diperintah oleh para
penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari
tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari
mengendalikan pemerintahan melalui para penghulu mereka. Keputusan
pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu, setelah
dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung ini,
Raja Pagaruyung hanya bertindak sebagai penengah meskipun ia tetap
dihormati.
Pembagian daerah darek adalah sebagai berikut:

Luhak Tanah Data Luhak Agam Luhak Limo Puluah


Koto
 Alam Surambi  Ampek-Ampek
Sungai Pagu Angkek  Hulu
 Batipuah Sapuluah  Lawang nan Tigo  Lareh
Koto Balai  Luhak
 Kubuang  Ranah
Tigobaleh  Nagari-nagari
 Langgam nan Danau Maninjau  Sandi
Tujuah
 Limokaum
Duobaleh Koto
 Lintau Sambilan
Koto
 Lubuak nan Tigo
 Nilam Payuang
Sakaki
 Pariangan
Padangpanjang
 Sungai Tarab
Salapan Batua
 Talawi Tigo
Tumpuak
 Tanjuang nan Tigo

 Sapuluah Koto di
Ateh

Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh
membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Daerah-daerah rantau ini
meliputi Pasaman, Kampar, Rokan, Indragiri dan Batanghari. Wilayah
rantau pada awalnya merupakan tempat mencari kehidupan bagi suku
Minangkabau.

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah


Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke
arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah Koto merantau ke
daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar Kiri dan Rantau
Kampar Kanan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan
rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau
seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-
raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil
gelar sultan.

Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:

Rantau Luhak Tanah Rantau Luhak Agam Rantau Luhak Limo


Data Puluah Koto
 Nagari-nagari
Rantau Nan Kurang Aso pantai barat  Mangilang
Duo Puluah Sumatera  Tanjuang Balik
 Pasaman Barat  Pangkalan
 Lubuak Ambacang  Pasaman Timur  Koto Alam
 Lubuak Jambi  Panti  Gunuang
 Gunuang Koto  Rao Malintang
 Benai  Lubuak Sikapiang  Muaro Paiti
 Pangian  dll.  Rantau Barangin
 Basra  Rokan Pandalian
 Sitinjua Ujuang Darek Kapalo  Kuatan Singingi
 Kopa Rantaunya  Gunuang Sailan
 Taluak Ingin  Kuntu
 Inuman  Palembayan  Lipek Kain
 Surantiah  Silareh Aia  Ludai
 Taluak Rayo  Lubuak Basuang  Ujuang Bukik
 Simpang Kulayang  Kampuang Pinang  Sanggan
 Aia Molek  Simpang Ampek  Tigo Baleh Koto
 Pasia Ringgit  Sungai Kampar
 Kuantan Garinggiang  Sibiruang
 Talang Mamak  Lubuak Bawan  Gunuang Malelo
 Kualo Thok  Tigo Koto  Tabiang
 Garagahan  Tanjuang
Rantau Pasisia Panjang  Gunuang Bungsu
(Rantau Banda Sapuluah)  Manggopoh  Muaro Takuih
 Pangkai
 Batang Kapeh
 Binamang
 Kuok
 Tanjuang Abai
 Surantiah
 Pulau Gadang
 Ampiang Perak
 Kambang  Baluang Koto
 Lakitan Sitangkai
 Punggasan  Tigo Baleh
 Aia Haji  Lubuak Aguang
 Painan Banda  Limo Koto
Salido atau dikenal Kampar Kuok
juga Bungo Pasang  Salo
 Tarusan, awalnya  Bangkinang
tidak termasuk  Rumbio
karena ia bukan  Aia Tirih
rantau orang  Taratak Buluah
Sungai Pagu tapi  Pangkalan
rantau orang Indawang
Muaro Paneh,  Pangkalan Kapeh
nagari anggota  Pangkalan Sarai
konfederasi
Kubuang Tigo  Koto Laweh
Baleh
 Tapan
 Lunang
 Silauik
 Indropuro

Nagari Tarusan, Tapan,


Lunang, Silauik dan
Indropuro awalnya tidak
dimasukkan sebagai
anggota Bandar Sepuluh.
Begitu pula Bayang.

Ujuang Darek Kapalo


Rantaunya

 Anduriang Kayu
Tanam
 Guguak Kapalo
Hilalang
 Sicincin
 Toboh
Pakandangan
 Duo Kali Sabaleh
Anam Lingkuang
 Tujuah Koto

 Sungai Sariak.

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang
terletak di wilayah Malaysia sekarang, yaitu Rantau Nan Sambilan (Negeri
Sembilan). Nagari-nagarinya adalah

 Jelai
 Jelebu
 Jehol
 Kelang
 Naning
 Pasir Besar
 Rembau
 Segamat
 Sungai Ujong

Datuk
Datuk adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah orang di berbagai
kebudayaan.

Asal Usul
Datuak atau Datuk atau Dato' berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu datu
yang bermakna sama dengan raja. Hal ini dapat dirujuk dari Prasasti Telaga
Batu, dimana pada baris 11 terdapat kata kedatuan yang ditafsirkan sama
dengan kedaton atau keraton yakni istana raja, sehingga kedatuan dapat
disamakan dengan wilayah datu.[1]. Selanjutnya kata datu ini berubah
penuturan menjadi "datuk", suatu gelaran yang masih digunakan sampai saat
ini di Minangkabau, Malaysia, dan Brunei.

Datuk di Minangkabau
Datuk dilafalkan dengan dialek Minang sebagai "Datuak", adalah
merupakan gelar adat yang diberikan kepada seseorang melalui kesepakatan
suatu kaum atau suku yang ada di Negeri Minangkabau (provinsi Sumatra
Barat sekarang) dan selanjutnya disetujui sampai ke tingkat rapat adat oleh
para tokoh pemuka adat setempat (Kerapatan Adat Nagari biasa disingkat
dengan KAN). Gelar ini sangat dihormati dan hanya dipakai oleh kaum
lelaki Minang yang akan atau telah menjadi pemangku adat/tokoh pemuka
adat atau Penghulu (nama lain dari Datuk) bagi suatu suku atau kaum
tertentu di Minangkabau. Dan sebelum gelar ini disandang seseorang, mesti
dilakukan suatu upacara adat atau malewa gala (Bahasa Minang), dengan
sekurangnya memotong seekor kerbau dan kemudian diadakan jamuan
makan. Dan jika calon Datuk tersebut tidak mampu untuk mengadakan acara
tersebut, maka dia tidak berhak untuk menyandang gelar Datuk tersebut.

Seseorang yang bergelar Datuk dapat juga disamakan dengan pemimpin


suatu kaum atau suku dan gelar tersebut juga khusus untuk kaum atau suku
tersebut, namun kadangkala ada juga gelar Datuk diberikan kepada
seseorang (lelaki) hanya sebagai gelar kehormatan saja.

Seseorang yang telah menyandang gelar Datuk dan di-lewa-kan, maka


masyarakat setempat tidak diperkenankan lagi memanggil nama sebelumnya
tetapi mesti memanggil dengan nama kebesarannya itu, jika ada masyarakat
setempat yang diketahui menghina dan merendahkan seseorang yang
bergelar Datuk, maka orang tersebut akan dikenai sanksi adat.

Pewarisan Gelar Datuk dalam Tradisi Minangkabau


Berbeda dengan tradisi Melayu yang lain, gelar datuk dapat diwariskan
menurut sistem matrilinial. Bila seorang Datuk meninggal dunia, gelar
Datuk tersebut dapat diberikan kepada saudara laki-lakinya, atau keponakan
(kemenakan) yang paling dekat hubungan kekerabatannya dari garis ibu.
Namun dapat juga diberikan kepada selain kepada kerabat dekatnya asal
masih dalam satu suku, dan biasanya seluruh warga suku tersebut juga
menyetujuinya. Datuk yang baru dinobatkan tetap memakai gelar yang
sama, tanpa ada tambahan lain digelar tersebut. Jadi misal sebelumnya A
Datuak Bandaro jika kemudian diganti oleh si B, maka gelar berikutnya B
Datuak Bandaro.

Jika suatu suku telah berkembang dengan banyak, dan kemudian telah
berpencar secara kelompok ke daerah lain, dan jika suku tersebut merasa
perlu mengangkat Datuk yang baru, maka biasanya gelar Datuk sebelumnya
tetap dipakaikan dengan menambah satu atau dua kata lagi sesudah nama
Datuk sebelumnya. Misalnya nama Datuk sebelumnya adalah Datuak
Bandaro maka gelar Datuk belahannya adalah Datuk Bandaro Putiah atau
Datuak Bandaro nan Putiah. Dan setiap suku dapat melakukan pemekaran
bergantung dari kesepakatan suku masing-masing.

Gelar-gelar Datuk dalam Tradisi Minangkabau


Gelar Datuk tergantung pada masing-masing suku yang ada di
Minangkabau. Berdasarkan tingkat status sosial dari gelar masing-masing
Datuk dapat dilihat dari gelar kebesaran yang diikuti setelah gelar Datuk
tersebut. Untuk gelar Datuk yang awal atau tertua biasanya terdiri dari satu
suku kata dan berasal dari bahasa sansekerta, misalnya Datuak
ketemanggungan. Sedangkan bila terdiri dari dua kata atau lebih, biasanya
dianggap gelar belahan atau pecahan, misalnya Datuak Parpatiah nan
Sabatang. Dan kemudian setelah masuknya pengaruh Islam, maka gelar
Datuk ada diserap dari bahasa Arab. Berikut daftar gelar Datuk yang utama
dalam tambo dan tradisi umum Wilayah Minang:

1. Datuak Ketumanggungan
2. Datuak Parpatiah nan Sabatang
3. Datuak Bandaro
4. Datuak Mangkudun
5. Datuak Indomo
6. Datuak Sinaro

Datuk di Malaysia
Di Malaysia, Datuk atau Dato' adalah gelar kehormatan yang
dianugerahkan oleh Sultan atau Raja atau Yang di-Pertuan Besar. Gelar ini
setaraf dengan gelaran "Sir" di Britania Raya. Gelar ini dapat juga diberikan
selain kepada laki-laki tetapi juga kepada perempuan, dan tak jarang
ditambahkan dengan gelar yang lain seperti sri, maka jadilah "datuk sri...".
Dan yang agak bergeser sedikit adalah pemakaian gelar datuk atau dato' di
Malaysia tidak lagi diberikan hanya bagi orang asli Melayu tapi juga dapat
diberikan pada etnis yang lain, seperti dari etnis China, India ataupun lain
sebagainya.

Perbedaan lain penggunaan gelar antara datuk Minangkabau dengan


Malaysia adalah gelar datuk di Minang ditambahkan sesudah nama asli, tapi
di Malaysia istilah datuk atau dato' ditempatkan sebelum nama asli.
Datuk di Moro Philippina
Gelar Datto juga digunakan oleh masyarakat Muslim Moro di Philippina.
Gelar ini disandang oleh para pimpinan dari satu klan atau marga.

Datuk dalam pengertian yang lain


Dalam pengertian yang lain, seorang kakek juga dipanggil datuk atau
disingkat atuk atau atuak dalam bahasa Minang.

Pedagang Minangkabau
Pedagang Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat
yang berasal dari ranah Minangkabau. Disamping profesi dokter, guru, dan
ulama, menjadi pedagang merupakan mata pencarian bagi sebagian besar
masyarakat Minangkabau. Biasanya profesi ini menjadi batu loncatan bagi
perantau Minangkabau setibanya di perantauan.

Sejarah
Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah menjejakan kakinya sejak
abad ke-7.[1] Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di
pantai barat dan pantai timur Sumatra. Pedagang Minang banyak menjual
hasil bumi seperti lada, yang mereka bawa dari pedalaman Minangkabau ke
Selat Malaka melalui sungai-sungai besar seperti Kampar, Indragiri, dan
Batang Hari. Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang
Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Di sepanjang pantai barat
Sumatra, para pedagang ini membuka pos-pos perdagangannya di kota-kota
utama dari Aceh hingga Bengkulu, seperti Meulaboh, Barus, Tiku,
Pariaman, Padang, dan Bengkulu. Peranan pedagang Minangkabau mulai
menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh.[2]

Munculnya kaum Paderi di Sumatera Barat pada akhir abad ke-18,


merupakan kebangkitan kembali pedagang Minangkabau yang dirintis oleh
para ulama Wahabi. Pedagang ini kembali mendapatkan ancaman dari
Kolonial Hindia Belanda sejak dibukanya pos perdagangan Belanda di
Padang. Perang Paderi yang berlangsung selama 30 tahun lebih telah
meluluhlantakan perdagangan Minangkabau sekaligus penguasaan wilayah
ini dibawah kolonial Hindia-Belanda.[3]

Di tahun 1950-an, banyak pedagang Minangkabau yang sukses berbisnis


diantaranya Hasyim Ning, Rahman Tamin, Agus Musin Dasaad, dan Sidi
Tando. Pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada
pedagang Tionghoa sangat merugikan pedagang Minangkabau. Kesulitan
berusaha dialami oleh pedagang Minang pada saat itu, terutama masalah
pinjaman modal di bank serta pengurusan ijin usaha.

Kultur
Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat
Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, berdagang tidak hanya sekedar
mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk
eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang
yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin.
Menjadi sub-ordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah,
bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Prinsip "lebih baik menjadi pemimpin
kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar" (elok jadi
kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar
masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara
memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan
berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan
kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang
mengekang. Sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih
berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada
harus kerja kantoran, yang acap kali di suruh dan di marah-marahi.

Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan


adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan
keberlangsungannya bagi setiap kaum di Minangkabau. Dengan kepemilikan
tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak
penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual
hasil-hasilnya ke pasaran.

Selain itu, kultur merantau yang menanamkan budaya mandiri, menjadikan


profesi berdagang sebagai pekerjaan pemula untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Oleh karenanya menjadi pedagang kaki lima sering menjadi
pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang.
Jenis usaha

Restoran
Usaha rumah makan merupakan jenis usaha yang banyak digeluti oleh
pedagang Minang. Jaringan restoran Minang atau yang biasa dikenal dengan
restoran Padang tersebar ke seluruh kota-kota di Indonesia, bahkan hingga
ke Malaysia dan Singapura. Disamping itu terdapat juga usaha restoran yang
memiliki ciri khas dan merek dagang yang dijalani oleh pedagang dari
daerah tertentu. Pedagang asal Kapau, Agam biasanya menjual nasi ramas
yang dikenal dengan Nasi Kapau. Pedagang Pariaman banyak yang menjual
Sate Padang. Sedangkan pedagang asal Kubang, Lima Puluh Kota menjadi
penjual martabak, dengan merek dagangnya Martabak Kubang. Restoran
Sederhana yang dirintis oleh Bustamam menjadi jaringan restoran Padang
terbesar dengan lebih dari 60 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. [4] Di
Malaysia, Restoran Sari Ratu yang didirikan oleh Junaidi bin Jaba, salah
satu restoran Padang yang sukses.

Tekstil
Di pasar tradisional kota-kota besar Indonesia, pedagang Minangkabau
banyak yang menggeluti perdagangan tekstil. Di Jakarta, pedagang
Minangkabau mendominasi pusat-pusat perdagangan tradisional, seperti
Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Pasar Blok M, Pasar Jatinegara, dan Pasar
Bendungan Hilir. Dominansi pedagang tekstil Minangkabau juga terjadi di
Medan dan Pekan Baru. Jika di Medan pedagang Minangkabau
mendominasi Pasar Sukaramai, maka di Pekan Baru mereka dominan di
Pasar Pusat dan Pasar Bawah. Di Surabaya, pedagang tekstil asal Minang
banyak dijumpai di Pasar Turi.

Kerajinan
Orang Minang banyak melakukan perdagangan dari hasil kerajinan. Para
pedagang ini banyak yang menggeluti kerajinan perak, emas, dan sepatu.
Kebanyakan dari mereka berasal dari Silungkang, Sawahlunto dan Pandai
Sikek, Tanah Datar.

Disamping juga banyak yang menggeluti usaha jual-beli barang-barang


antik, dimana usaha ini biasanya digeluti oleh pedagang asal Sungai Puar,
Agam.[5] Pedagang barang antik Minangkabau banyak ditemui di Cikini,
Jakarta Pusat dan Ciputat, Tangerang Selatan

Percetakan
Bisnis percetakan merupakan jenis usaha yang banyak dijalankan oleh
pedagang Minang. Usaha percetakan yang mereka jalani meliputi percetakan
undangan dan buku. Bahkan dari usaha percetakan ini berkembang menjadi
usaha penerbitan buku dan toko buku. Usaha percetakan banyak digeluti
oleh pedagang asal Sulit Air, Solok. Salah satu tokoh sukses yang
menggeluti bisnis percetakan ini ialah H.M Arbie yang berbasis di kota
Medan.[6]

Hotel dan Travel


Bisnis pariwisata terutama jaringan perhotelan dan travel juga banyak
digeluti oleh pengusaha Minangkabau. Di Jakarta, hotel milik pengusaha
Minang banyak dijumpai antara lain Hotel Ambhara, Hotel Sofyan, dan
Hotel Gran Mahakam. Di samping itu, jaringan Hotel Grand Menteng
merupakan jaringan bisnis hotel terbesar milik orang Minang. Di Pekan
Baru, disamping Best Western Hotel milik Basrizal Koto, ada Hotel
Pangeran yang dimiliki oleh Sutan Pangeran. Bisnis travel di geluti oleh
pengusaha asal Payakumbuh, Rahimi Sutan di bawah bendera Natrabu Tour.
[7]

Pendidikan
Bisnis pendidikan juga menjadi pilihan bagi orang Minang. Usaha ini
biasanya digeluti oleh para pendidik yang pada mulanya bekerja pada
sekolah negeri atau swasta. Dari pengalaman tersebut, mereka bisa
mengembangkan sekolah, universitas, atau tempat kursus sendiri yang
akhirnya berkembang secara profesional. Di Jakarta, setidaknya terdapat tiga
universitas milik orang Minang, yaitu Universitas Jayabaya didirikan oleh
Moeslim Taher, Universitas Persada Indonesia YAI didirkan oleh Julius
Sukur, dan Universitas Borobudur didirikan oleh Basir Barthos.

Media
Bakat menulis dan ilmu jurnalistik yang dimiliki oleh orang Minang, telah
melahirkan beberapa perusahaan media besar di Indonesia. Antara lain ialah
koran Oetoesan Melajoe yang didirikan oleh Sutan Maharaja pada tahun
1915, majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh Hamka, koran Pedoman
yang didirikan oleh Rosihan Anwar, koran Waspada yang didirikan oleh Ani
Idrus, majalah Kartini yang didirikan oleh Lukman Umar, majalah Femina
yang didirikan oleh putra-putri Sutan Takdir Alisjahbana, dan jaringan
televisi TV One yang didirikan oleh Abdul Latief.

Keuangan
Bisnis di industri keuangan, seperti perbankan, sekuritas, dan asuransi juga
merupakan pilihan bagi pengusaha Minang. Bahkan pengusaha Minang,
Sutan Sjahsam yang juga adik perdana menteri pertama Indonesia Sutan
Sjahrir, merupakan perintis pasar modal di Indonesia. Sjahsam juga seorang
pialang saham dan mendirikan perusahaan sekuritas, Perdanas. Disamping
Sjahsam, ekonom Syahrir juga aktif dalam bisnis sekuritas dengan
mendirikan perusahaan Syahrir Securities. Di bisnis perbankan, ada
pengusaha Minang lainnya, Anwar Sutan Saidi, yang mendirikan Bank
Nasional pada tahun 1930.[8]

Silaturahmi pedagang
Untuk membangun jaringan dan silaturahmi antar pedagang Minangkabau,
maka diadakanlah pertemuan yang dikenal dengan Silaturahmi Saudagar
Minang. Silaturahmi ini pertama kali diadakan di Padang pada tahun 2007
yang dihadiri tak kurang dari 700 pengusaha Minang dari seluruh dunia.[9]

Pedagang sukses
 Djohor Soetan Perpatih, menjadi seorang pedagang sukses di tahun
1930-an. Bersama saudaranya Djohan Soetan Soelaiman, dia
mendirikan toko Djohan Djohor yang terkenal dengan aksi mendiskon
barang yang menyebabkan toko-toko Tionghoa di Pasar Senen, Pasar
Baru, dan Kramat (ketiganya berada di Jakarta) menurunkan harga
dagangannya.[10]
 Hasyim Ning merupakan pengusaha Minang sejak era Orde Lama.
Bisnisnya bergerak di bidang otomotif, yaitu sebagai agen tunggal
pemegang merek mobil-mobil asal Eropa dan Amerika Serikat.
Hasyim pernah dijuluki pers sebagai "Raja Mobil dan Henry Ford
Indonesia". Dia sempat dituding sebagai boneka kapitalis ketika pada
tahun 1954 perusahan yang dipimpinnya, Indonesia Service
Company, mendapat kredit lunak sebesar 2,6 juta dollar AS dari
Development Loan Fund.[11] Selain itu bisnis Hasyim juga merambah
perhotelan dan biro perjalanan.[12]
 Abdul Latief merupakan sosok sukses pengusaha Minangkabau di
Jakarta. Bisnis Abdul Latief meliputi properti dan media dibawah
bendera ALatief Corporation. Pasaraya dan TV One merupakan
perusahaan terbesar milik Latief. Selain sukses sebagai pengusaha,
Latief juga menjabat sebagai menteri Tenaga Kerja di pemerintahan
Orde Baru.
 Basrizal Koto merupakan pengusaha asal Pariaman yang menggeluti
bisnis media, hotel, pertambangan, dan peternakan. Basrizal yang
dikenal dengan Basko memiliki hotel yang berbasis di Pekan Baru dan
Padang. Selain itu dia memiliki peternakan sapi terbesar di Asia
Tenggara.[13]
 Rahimi Sutan, pengusaha Minangkabau yang sukses menggeluti
bisnis travel, biro perjalanan, dan rumah makan. Saat ini Natrabu
Tour, perusahaan travel miliknya, bertebaran di seluruh daerah tujuan
wisata di Indonesia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.[14]
 Fahmi Idris merupakan salah satu pengusaha Minang yang juga
seorang politisi. Fahmi mendirikan grup bisnis Kodel yang bergerak
dibidang perdagangan, industri, dan investasi. Fahmi yang telah
berbisnis sejak tahun 1967, sempat berhenti kuliah dari FEUI untuk
mulai berwirausaha.[15]
 Datuk Hakim Thantawi, merupakan pengusaha yang bergerak di
bidang pertambangan dan perdagangan di bawah bendera Grup
Thaha.
 Tunku Tan Sri Abdullah, merupakan pengusaha Minang-Malaysia
yang cukup sukses. Dibawah bendera Melewar Corporation, bisnisnya
meliputi produksi baja dan manufaktur.

Adat Minangkabau
Adat Minangkabau adalah peraturan dan undang-undang atau hukum adat
yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, terutama
yang bertempat tinggal di Ranah Minang atau Sumatera Barat. Dalam batas
tertentu, Adat Minangkabau juga dipakai dan berlaku bagi masyarakat
Minang yang berada di perantauan di luar wilayah Minangkabau.

Adat adalah landasan bagi kekuasaan para Raja dan Penghulu, dan dipakai
dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Semua peraturan hukum dan
perundang-undangan disebut Adat, dan landasannya adalah tradisi yang
diwarisi secara turun-temurun serta syariat Islam yang sudah dianut oleh
masyarakat Minangkabau.

Seorang Raja atau Penghulu memegang kekuasaan karena keturunan, dan


kekuasaan itu menjadi sah karena didukung oleh para ulama yang
memegang otoritas agama dalam masyarakat. Dari ide ini muncul adagium
Adat basandi syarak; Syarak basandi Kitabullah.

Sesudah kedatangan kolonialis Eropa, wilayah hukum Adat dibatasi hanya


pada pengaturan jabatan Penghulu, kekuasaan atas Tanah Ulayat, peraturan
waris, perkawinan, dan adat istiadat saja. Kekuasaan hukum, keamanan dan
teritorial diambil alih oleh pemerintah kolonial.

Keadaan ini berlanjut sampai pada zaman kemerdekaan.

Setelah berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan


gerakan Kembali ka Nagari, Adat Minang mendapat tempat yang lebih baik
dan dimasukkan sebagai salah satu dasar pemerintahan Nagari,
Pemerintahan Daerah Kabupaten, dan Pemerintahan Daerah Provinsi,
sesudah UUD 1945.

Di bawah ini adalah ikhtisar Adat Minang, sering disebut Undang nan
Empat, sebagaimana dipahami dan hidup dalam masyarkat Minangkabau.

Undang nan Empat


Adat Minangkabau sebagai peraturan dapat diringkas dalam sistematika
yang disebut Undang nan Emapat yaitu:

1. Undang-undang Luhak dan Rantau


2. Undang-undang Nagari
3. Undang-undang dalam Nagari
4. Undang-undang nan Duapuluh

Undang-undang Luhak dan Rantau


Bunyi undang-undang ini adalah sebagai berikut:

Luhak bapangulu
Rantau barajo
Bajalan samo indak tasundak
Malenggang samo indak tapampeh

Masyarakat Minangkabau meyakini adanya kesatuan genealogis semua


Nagari-nagari dalam wilayah Minangkabau dan juga kesatuan genealogis
penduduknya. Karena itu Adat Minang sebagai produk budaya adalah satu
kesatuan juga. Nenek moyang orang Minangkabau diyakini turun dari
puncak Gunung Marapi, dan Nagari tertua di Minangkabau adalah nagari
Pariangan di Kabupaten Tanah Datar sekarang.

Orang-orang yang satu keturunan menurut garis keturunan Ibu berkelompok


membentuk sebuah suku, dan dipimpin oleh seorang laki-laki yang disebut
Penghulu.

Aturan ini berlaku di wilayah Minangkabau yang lebih dahulu berkembang,


yaitu di Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limapuluh Koto.

Dalam perkembangannya, di daerah Rantau, meskipun terdapat juga suku-


suku dan Penghulu, tiap-tiap Rantau dipimpin oleh seorang Raja yang
biasanya berasal dari daerah Luhak juga, atau mendapat mandat dari Raja
Pagaruyung.

Undang-undang Nagari
Nagari bakaampek suku
Dalam suku babuah paruik
Basawah baladang
Babalai bamusajik
Balabuah batapian

Undang-undang Nagari berisi aturan dasar dan syarat-syarat berdirinya


sebuah Nagari, yaitu syarat-syarat yang menunjukkan kemampuan penduduk
beberapa kampung untuk mendirikan suatu susunan masyarakat yang lebih
teratur. Syarat-syarat ini meliputi kemampuan ekonomi, prasarana dan
jumlah penduduk atau suku.

Disyaratkan paling kurang ada empat suku yang akan bergabung dalam
Nagari dan masing-masing suku itu harus cukup besar -- dikatakan terdiri
dari beberapa paruik atau kelompok yang satu keturunan dari seorang nenek.
Para Penghulu keempat suku itu secara kolektif menjadi Pimpinan Nagari.
Perkawinan hanya berlaku secara eksogami, yaitu antara warga suku yang
berlainan.
Harta benda tidak bergerak seperti sawah ladang dan rumah dimiliki secara
bersama-sama oleh kaum perempuan dalam suatu suku, dan menjadi pusaka
yang dimiliki secara turun temurun menurut garis keturunan ibu. Laki-laki
mengawasi dan mendayagunakan harta benda. Semua warga suku dapat
mengambil manfaat dari harta benda.

Selain prasarana ekonomi seperti sawah dan ladang, jalan dan jembatan,
serta sarana kebersihan, Nagari juga harus mampu mendirikan sebuah
Masjid unutuk tempat ibadah dan sebuah Balairung tempat para Penghulu
bersidang.

Undang-undang dalam Nagari


Barek samo dipikue, ringan samo dijinjing
Saciok bak ayam, sadanciang bak basi,
Sakik basilau, mati bajanguak
Salah batimbang, hutang babayie

Undang-undang dalam Nagari mengatur tata hubungan warga masyarakat


dalam sebuah nagari. Sistem yang dipakai adalah tipikal masyarakat
komunal, dengan ciri-ciri:

 Setiap orang secara alami langsung menjadi warga Nagari


 Demokrasi langsung, karena para Penghulu sangat dekat dengan
masyarakatnya, musyawarah dan mufakat dilaksanakan tanpa
diwakilkan.
 Gotong royong. Kebersamaan dalam menghadapi segala masalah
dalam Nagari
 Social safety net, semua warga Nagari, dapat mengandalkan bahwa
dirinya akan dibantu secara bersama-sama oleh masyarakat jika dia
mengalami kesusahan yang mendesak.

Untuk menjaga hubungan yang harmonis dan saling tolong menolong antar
semua warga, anggota masyarakat Nagari selalu berusaha berkomunikasi
dengan semua orang dengan bahasa yang tidak langsung, disebut baso-basi.

Selain itu, pada rites of passage seperi kelahiran, khitanan, perkawinan, dan
kematian selalu diadakan acara adat dengan format yang khusus dan baku,
tetapi dapat sedikit berbeda antara satu Nagari dengan Nagari lainnya, sesuai
dengan prinsip adat selingkar Nagari.
Termasuk dalam undang-undang dalam Nagari adalah adat-istiadat yang
menyangkut hiburan dan rekreasi, seperti Randai, pertandingan layang-
layang dan buru babi.

Undang-undang nan Duapuluh


Undang-undang nan Duapuluh adalah duapuluh fasal yang dipakai oleh para
Penghulu dalam mengadali dan memutus perkara kejahatan yang terjadi
dalam Nagari. Delapan fasal yang pertama merinci nama-nama tindak
kejahatan, sedang duabelas fasal berikutnya berisi nama-nama tuduhan dan
dugaan tindak kejahatan.

 Salah nan Salapan yaitu:

1. Dago-dagi, perbuatan yang menimbulkan kekacauan umum


2. Sumbang-salah, perbuatan tidak senonoh
3. Samun-sakar, perampokan
4. Maling-curi, pencurian
5. Tikam-bunuh, penyerangan dan pembunuhan
6. Lacung-kicuh, penipuan
7. Upeh-racun, pemberian bahan yang mengandung racun untuk
membunuh atau menyebabkan sakit
8. Siar-bakar, pembakaran rumah atau bangunan dengan sengaja

 Tuduh nan Enam berisi nama-nama tuduhan


 Cemo nan Enam berisi nama-nama kecurigaan atau dugaan tindak
kejahatan

Kejahatan yang dituduhkan atau diduga dilakukan hanya dapat dihukum jika
terbukti secara meyakinkan.

Budaya Minangkabau
Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di
Minangkabau serta daerah rantau Minang. Hal ini merujuk pada wilayah di
Indonesia meliputi propinsi Sumatera Barat, bagian timur propinsi Riau,
bagian selatan propinsi Sumatera Utara, bagian timur propinsi Jambi, bagian
utara propinsi Bengkulu, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Berbeda dengan
kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau
menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan
dan sebagainya.
Wilayah budaya
Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo,
yang meliputi Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, dan Kabupaten
Lima Puluh Kota sekarang. Kemudian budaya tersebut menyebar ke wilayah
rantau di sisi barat dan timur Luhak Nan Tigo. Batas-batasnya biasa
dinyatakan dalam ungkapan Minang berikut ini :

Dari Sikilang Aia Bangih


hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
hingga Sialang Balantak Basi

Jika merujuk pada ungkapan tersebut, maka wilayah budaya Minangkabau


meliputi :

1. Sumatera Barat
2. Bagian barat Riau : Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelalawan,
Inderagiri Hulu
3. Bagian selatan Sumatera Utara : Natal, Kabupaten Mandailing Natal
4. Bagian timur Jambi : Kabupaten Kerinci, Bungo
5. Bagian utara Bengkulu : Kabupaten Mukomuko

Ditambah daerah rantau yang menerapakan budaya Minangkabau, yaitu :

1. Negeri Sembilan, Malaysia


2. Bagian barat Aceh : Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan,
Nagan Raya

Sistem Adat
Semenjak zaman kerajaan Pagaruyung, ada tiga sistem adat yang dianut oleh
suku Minangkabau yaitu :

1. Sistem Kelarasan Koto Piliang


2. Sistem Kelarasan Bodi Caniago
3. Sistem Kelarasan Panjang
Pakaian adat Minangkabau

Dalam pola pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut pola
matrilineal yang mana hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat
dunia yang menganut pola patrilineal. Terdapat kontradiksi antara pola
matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang
menjadi anutan orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku
Minang, dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta
pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan
garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta
pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam.

Sistem Kelarasan Koto Piliang


Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk
Ketumanggungan. Ciri yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi
atau kepemimpinan menurut garis keturunan yang dalam istilah adat disebut
sebagai "menetes dari langit, bertangga naik, berjenjang turun" Sistem adat
ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan sekitarnya.
Ciri-ciri rumah gadangnya adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-
tingkat.

Sistem Kelarasan Bodi Caniago


Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk
Perpatih Nan Sebatang. Sistem adatnya merupakan antitesis terhadap sistem
adat Koto Piliang dengan menganut paham demokrasi yang dalam istilah
adat disebut sebagai "yang membersit dari bumi, duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi". Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah
Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai rumah gadang yang rata.
Sistem Kelarasan Panjang
Sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh diatas yang bernama
Mambang Sutan Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya
dipantangkang pernikahan dalam nagari yang sama. Sistem ini banyak
dianut oleh luhak Agam dan sekitarnya.

Namun dewasa ini semua sistem adat diatas sudah diterapkan secara
bersamaan dan tidak dikotomis lagi.

Reformasi Budaya
Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18,
telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan
hukum Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum
tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama
yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh
mendesak kaum adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang
sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha,
untuk berkiblat kepada syariat Islam.

Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah perang Paderi yang


berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di
Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cerdik pandai. Mereka
bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam. Hal
ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat
bersendikan kepada Al Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad
ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau
berlandaskan pada nilai-nilai islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau
jorong di Minangkabau memiliki mesjid, disamping surau yang ada di tiap-
tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa,
diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka
juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.

Harta Pusaka
Dalam budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni harta
pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan
warisan turun-temurun yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum,
sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang
diwariskan menurut hukum Islam.

Harta Pusaka Tinggi


Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota keluarga yang
diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan. Harta ini berupa
rumah, sawah, ladang, kolam, dan hutan. Anggota kaum memiliki hak pakai
dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Hak pakai dari
harta pusaka tinggi ini antara lain; hak membuka tanah, memungut hasil,
mendirikan rumah, menangkap ikan hasil kolam, dan hak menggembala.

Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh


digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan
setelah dimusyawarahkan di antara petinggi kaum, diutamakan di gadaikan
kepada suku yang sama tetapi dapat juga di gadaikan kepada suku lain.

Tergadainya harta pusaka tinggi karena empat hal:

 Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang belum bersuami)

Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya
sudah telat.

 Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah)

Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.

 Rumah gadang katirisan (rumah besar bocor)

Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak
dan lapuk sehingga tidak layak huni.

 Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu yang terendam)

Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan penghulu (datuk) atau biaya
untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.
Kontroversi Hukum Islam
Menurut hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan faraidh yang
sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di
Minangkabau, seluruh harta pusaka tinggi diturunkan kepada anggota
keluarga perempuan dari garis keturunan ibu. Hal ini menimbulkan
kontoversi dari sebagian ulama.

Ulama Minangkabau yang paling keras menentang pengaturan harta pusaka


tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi, Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Agus Salim.[1]
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam dan khatib Masjidil Haram
Mekkah, menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat
sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau konsisten dengan pendapatnya
itu dan tidak mau kembali ke ranah Minang. [2] Sikap Abdul Karim Amrullah
berbeda dengan ulama-ulama diatas. Beliau mengambil jalan tengah dengan
memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf, yang
boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun tidak boleh diperjualbelikan.

Produk Budaya

Masjid khas Minangkabau di tahun 1895

Demokratis
Produk budaya Minangkabau yang cukup menonjol ialah sikap demokratis
pada masyarakatnya. Sikap demokratis pada masyarakat Minang disebabkan
karena sistem pemerintahan Minangkabau terdiri dari banyak nagari, dimana
pengambilan keputusan haruslah berdasarkan pada musyawarah mufakat.
Selain itu tidak adanya jarak antara pemimpin dan rakyat, menjadi faktor
lain tumbuh suburnya budaya demokratis ditengah masyarakat Minang. Hal
ini terdapat dalam pernyataan adat bahwa "pemimpin itu didahulukan
selangkah dan ditinggikan seranting". Abdurrahman Wahid dan Nurcholish
Madjid pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang dalam budaya
politik Indonesia. Sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
ditengarai berasal dari semangat demokrasi Minangkabau, yang mana
rakyat/masyarakatnya hidup ditengah-tengah permusyawaratan yang
terwakilkan.

Novel
Novel yang beredar luas serta menjadi pengajaran bagi pelajar di seluruh
Indonesia dan Malaysia, merupakan novel-novel berlatarbelakang budaya
Minangkabau. Seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke
Deli dan Dibawah Lindungan Ka'bah karya Hamka, Salah Asuhan karya
Abdul Muis, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Robohnya Surau Kami
karya Ali Akbar Navis.

Disamping itu terdapat pula produk budaya Minangkabau seperti upacara,


festival, kesenian, tambo, pepatah-petitih, hingga makanan.

Upacara dan Festival


 Tabuik
 Turun mandi
 Batagak pangulu
 Turun ka sawah
 Manyabik
 Hari Rayo

Foto foto bisa dilihat di www.West-Sumatra.com [1] ET Hadi Saputra Katik


Sati 13:17, 27 Februari 2010 (UTC)

Kesenian
 Randai
 Rabab Pasisie
 Silek (Silat Minangkabau)
 Saluang
 Talempong
 Tari Piring
 Tari Payung
 Tari Pasambahan
 Tari Indang
 Sambah Manyambah

Ukiran
Seni ukir dahulunya dimiliki oleh banyak Nagari di Minangkabau, namun
saat ini seni ukir ini berkembang di Pandai Sikek (Pandai Sikat). Nagari
Pandai Sikek terletak di antara Kota Padang Panjang dan Bukittingi,
tepatnya di kaki Gunung Singgalang, termasuk ke dalam wilayah Kecamatan
X Koto, Kabupaten Tanah Data.

Kain Sungkik (Songket)


Kain songket dahulunya sama dengan seni ukir, kerajinan ini dimiliki oleh
beberapa Nagari di Minangkabau, namun sekarang yang masih bertahan
adalah Nagari Pandai Sikek dan Silungkang.

You might also like