Professional Documents
Culture Documents
SATU
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai
penghalang? Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud
dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa
kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda,
Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para
wali menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu
tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali diadakan setelah Dewan
Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan
ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang
diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan
mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti
Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, di
mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang
menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu
adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, “Allah itu
adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”; Sunan Bonang
berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak
bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil
tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah
seumpama memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu
meliputi segala sesuatu.”; Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu
bukan disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh Bentong menyuarakan,
“Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh
Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan
konsep dasar teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti
Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah
menangkap makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur
bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu
dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali
memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid
sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi
DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain
dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan
memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of
ebolek, hlm. 103).
TIGA
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah
Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak
ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo:
Walisanga, hlm. 124)
EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana
anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi
sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang
nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada
LIMA
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah
yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama
Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas
ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak
ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita
membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]”
(Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya
ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata,
ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. ….
Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya
kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada.
Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang
dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah
tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada
perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan
tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar,
Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah
sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu
bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang
DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya
aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi
Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon
Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
SEPULUH.
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian
hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni
wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu
Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa
darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku)
ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
SEBELAS
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan
hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang
melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah.
Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan
demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
DUA BELAS
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang
menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan
yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan
dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat
wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima
keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh
III Dandanggula, 44).
TIGA BELAS
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka
bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak
enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini.
Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti
raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang
tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang
diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh
Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
EMPAT BELAS
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia.
Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi.
Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi,
selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan
wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur
dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di
sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang
sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka
bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan
anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang
sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan
kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya
menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya
mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat
asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi.
Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan
Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau
memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat,
itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak
dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah.
Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi
dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi
diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia
penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau
raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu.
Sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan
kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada
terdapat tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi. Karena
tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan,
sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang
kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga
kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan
manusia beserta makhluk lainnya…allahu akbar.
LIMA BELAS
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam
alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan
dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain
halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya
akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar
Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
ENAM BELAS
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam
alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak
kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi
TUJUH BELAS
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini
dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia.
Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia
mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak
tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong
kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar,
tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam
patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad
Pajang, hlm. 74).
DELAPAN BELAS
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal
usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga,
tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian
yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu
akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
SEMBILAN BELAS
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran
amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan
Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku
rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling
tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing
kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji,
iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora
kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora
karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi
ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita,
WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali
VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche &
Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Kemanunggalan Ke-Iman-an
DUA PULUH
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya
jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian
di bawah ini:
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah
dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat
menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang Pribadi
(manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh adalah
pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-
Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan
bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi
memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak merumuskan hanyalah
“perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki
Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga
pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti
Jenar mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan
mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas,
agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi
dirinya sendiri.
Syahadat
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan
mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu
minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati,
kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.”
Syahadat Sunan Bonang, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat
TIGA PULUH
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi
empat perkara :
1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada
pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad
rasulullah.”
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa
Huwa”.
4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak
mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut.
Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan
hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan
seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan
kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama
dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap mendominasi
kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh
adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut
shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah,
diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang
yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling
Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus
sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim
merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual.
Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih
Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang
memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah
terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-
nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini
adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam
kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh
Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah syari’at
adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab
221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan
dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan
yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman.
Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli
dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman
dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan
shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at
sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja
terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at,
anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian
kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping
tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut,
tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis,
telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa;
unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya
dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada
keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri.
Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya
dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan
TIPULUH SATU
Shalat Subuh
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat,
iya iku rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku
sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma
ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling,
pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir
[rahasia]-ku).
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena
pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali.
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya
iku rohing Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat
iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa
ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Pangeranku.” (Aku berniat shalat, roh Idlafi yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati
ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti
terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah,
nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya
tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku),
Seratus kali.
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat,
iya iku rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat
iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa
ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Rasulku.”
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah,
nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya
tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena
pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali.
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya
iku rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan,
shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning
nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar,
tetep mantep weruh ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
tekadku).
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah,
nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya
tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali.
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat,
iya iku rohing urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku
sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana
urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing uripku.”
(Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
keinginanku).
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali.
Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian
dari shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang
ganjil).
Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah
shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan
dalam rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal
Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas
model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya
berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas,
dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang tanpa
spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan
shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat
yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-
karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi
pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali
adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak
ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan
orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak
syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut.
Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg
Makna Ihsan
EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik
dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh
Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan
sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih
Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam
keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud.
Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg
kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam
menyerukan kebenaran.
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah
pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan
melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-
buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau
Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling
memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta
kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan
peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab
diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas
eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan
manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali
mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah,
maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang
lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk
upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi
Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat
tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang
mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan
demi penegakan syari’at Islam.
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar
yang maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat
kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di
kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut mir’ah al-
haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa
mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut
akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan segala
perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai rohani
juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-
Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan
jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa
Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana, dan
sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu
disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan
Nama-Nya.
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti
Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan
mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan
barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami
kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga
memiliki muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal
dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti
Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi
penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya
pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka,
mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran
adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya
ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan
raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera,
berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua
aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu
saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini,
akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang
menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-
an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga
af’al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana
af’al itu dipancarkan.
LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat
Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak
akan menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan sukma,
mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang
dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam
bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik
kembali saja.” <Pupuh XIII Sinom, 29; Falsafah Sitidjenar, hlm. 34>.
Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan,
bukanlah unsur yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana
umumnya dipahami manusia. Nur Muhammad dan malaikat adalah
termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat dengan
pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada
manusia (seperti pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan
dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah, maksudnya adalah
apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal dengan Allah
atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti
tidak akan berhasil menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang
akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang Maha Tunggal,
karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud
dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat
menuju kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan
keikhlasan.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis
terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan
bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini
tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan
sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah
yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau
kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan
bentuk penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang salah
kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang
ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan kedua,
“di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa
akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi
melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir
yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu
dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati,
sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-
salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha
Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja
ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang
merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih
berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal
salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi
berhala.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha
Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan
Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan
merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-
benar seorang mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan
“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian.
Oleh karena itu, dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta
malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada di alam kehidupan
saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah, di situ
saya akan bersembahyang.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak
menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan Syari’at palsu,
yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba, pikirkanlah semua
yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai atau
tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” <Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 8-18>.
“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali
mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta
Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan menuntun
serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba
ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang
dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha,
tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan
pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-
mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal
bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan
dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha,
buktinya mereka masih sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua,
hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan
mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan
mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya
bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab
Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada
untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang
mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan
memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat
pertanyaan paduka.”<Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh
V Pangkur, 22-45>.
3. Sedikit tidur.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal,
jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan
dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah
sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang
baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
<Ajaran Syekh Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan
manusia di dalam menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut
Syekh Siti Jenar sebagai alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran
tersebut, hendaknya jangan terjebak dalam segi kontekstualnya saja,
namun hendaknya diselami dengan segenap nalar dan rasa batin.
“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang
ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana
asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-
Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud
“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan
nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak
tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya satu ilmunya,
melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal
akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah.
Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma
Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur
juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena
sukmaitu adalah Allah.” <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2>.
Nuwun