You are on page 1of 60

TENTANG ALLAH,

TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI

SATU
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai
penghalang? Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud
dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa
kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda,
Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).

Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para
wali menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu
tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali diadakan setelah Dewan
Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan
ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang
diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan
mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti
Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, di
mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang
menciptakan.

Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu
adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, “Allah itu
adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”; Sunan Bonang
berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak
bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil
tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah
seumpama memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu
meliputi segala sesuatu.”; Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu
bukan disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh Bentong menyuarakan,
“Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh
Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan
konsep dasar teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti
Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah
menangkap makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur
bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu
dengan sesama.”

Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali
memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid
sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 1


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai masa
persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan
dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku
nyataning sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,”
(bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam
dzahir dan batin) . Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam
Babad Cerbon, terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait
1-8.

DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain
dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan
memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of
ebolek, hlm. 103).

Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa


saat setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali mendengar suara yang
berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa ungkapan mistik
tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan terakhir dari sang
sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh
apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya,
yakni kehidupan sejati dalam kesatuan; manunggaling kawula-Gusti.

TIGA
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah
Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak
ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo:
Walisanga, hlm. 124)

Maksud bebas ungkapan tersebut adalah “tidak usah kebanyakan


bicara tentang teori ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati)
inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati, juga bergelar
Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui segala-
galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya
mengarah kepada Allah sebagai Tuhan”.

EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana
anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi
sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang
nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 2


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-
sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).

Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta


kemantapan hati dalam merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-
apa kecuali menjadikan menunggal sebagai niat dan yang mewarnai
segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan af’al Pribadi.
Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas
ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan.
Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan
perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at lahiriyah
(nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati
dan keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh
Allah pada awalnya ditiupkan atas setiap pribadi manusia.

LIMA
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah
yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama
Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas
ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak
ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita
membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]”
(Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).

ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya
ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata,
ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. ….
Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya
kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada.
Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang
dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah
tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada
perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan
tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar,
Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).

TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah
sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu
bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 3


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R.
Tanaja, hlm. 42-46).

Ungkapan no. 5, 6, dan 7.


Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri
bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya
bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang
bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti
Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara
radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara
dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya
yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga
meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda,
firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan
Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan
kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti
Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan
kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah,
orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.

DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya
aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi
Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon
Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).

Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa


dalam teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses
kefanaan antara hamba dan pencipta sebagaimana apa yang dialami
oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus
pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan
syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan.

Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi


kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman
spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9,
yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana
al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani,
dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya
menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-
Gusti Syekh Siti Jenar.

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 4


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
SEMBILAN
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang
tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena
diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya
yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah
itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang
dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi
kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir
berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur
tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah
berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu
Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat
wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat
abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi
bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula
kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud
saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana
saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar.
Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga
pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari
jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan
masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).

Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang


menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi
kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan
lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan
fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah
kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai
dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu
mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam
diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik
dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah
cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai
alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat
dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara Allah, Rasul dan
manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing
mengasingkan.

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 5


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Kesejatian Hidup dan Kehidupan

SEPULUH.
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian
hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni
wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu
Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa
darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku)
ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).

Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian


hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan
antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal
itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti
Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.

SEBELAS
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan
hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang
melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah.
Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan
demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).

Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam


menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang
terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam
hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia,
bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang
menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran
manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan
yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani
kehidupan di dunia ini.

Dan Allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar


mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya
saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar
tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan
Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. ”
Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini,
memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 6


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara
Pribadinya tetap suci.

Tuhan dan Kemanusiaan

DUA BELAS
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang
menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan
yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan
dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat
wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima
keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh
III Dandanggula, 44).

Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada


derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah
pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan
Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka
kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam Al-
Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split
personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan
kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana
dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di
dalam kedirian manusia, bukan di luarnya.

TIGA BELAS
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka
bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak
enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini.
Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti
raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang
tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang
diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh
Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).

Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi


oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat
keberadaan segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya
keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama dengan
ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka
sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang baru”

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 7


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk
kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai
tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya
menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas
untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari
wadah.

EMPAT BELAS
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia.
Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi.
Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi,
selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan
wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur
dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di
sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang
sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka
bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan
anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”

“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang
sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan
kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya
menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya
mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat
asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”

“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi.
Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan
Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau
memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat,
itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak
dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah.
Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi
dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).

Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi
diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia
penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau
raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu.

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 8


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia
untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak
kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter
bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan
matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan
raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin
kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu
ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu
keliru dan sesat.

Sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan
kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada
terdapat tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi. Karena
tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan,
sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang
kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga
kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan
manusia beserta makhluk lainnya…allahu akbar.

LIMA BELAS
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam
alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan
dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain
halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya
akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar
Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).

Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang


sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan
wadagnya. Dengan badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi
dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh dengan
api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah
manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam
kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan
kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna,
dengan segala kehidupan yang juga sempurna.

ENAM BELAS
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam
alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak
kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 9


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun
saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah
Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan
wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya.
Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam
kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh
VIII Dandanggula, 14-16).

Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang


sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak
terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu,
kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa
dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang muncul dengan
kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada
dalam kondisi manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem teologi
Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau
“dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal
mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan.
Pintu kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela,
ikhlas, dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan
saatnya ia menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang
memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau
mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak
mengerti apa yang sedang dialami.

TUJUH BELAS
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini
dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia.
Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia
mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak
tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong
kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar,
tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam
patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad
Pajang, hlm. 74).

Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar


dari ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh
Dewan Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke tanah melukis
kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan mistik
tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya terkejut

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 10


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
campur bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah
dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar darah kembali ke
jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa
kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati ada
dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati,
kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan
mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti
Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya
gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke
dalam al-Ghaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya
bersinar cemerlang, berkilau gemilang, berkobar menyala,
menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang semua orang
yang menyaksikan.

Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar


sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi,
sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang
dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling
Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –
sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan
‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang
menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau syahid bagi
kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai
syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh
Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu
Kasampurnan.

AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN


IHSAN

Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar

DELAPAN BELAS
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal
usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga,
tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian
yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu
akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).

Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu ma’rifat

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 11


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
secata bertahap, yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin
menjadi manusia sempurna (al-insan al-kamil), serta bagi yang ingin
menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1) Pertama-tama Syekh
Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu sangkan-
paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang
berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai
pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan
tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham
keempat, ia menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang
dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai
kiat cara menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar
mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang
menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan akhir bagi
kemanunggalan dan keabadian.

Sasahidan: Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar

SEMBILAN BELAS
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran
amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan
Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku
rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling
tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing
kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji,
iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora
kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora
karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi
ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita,
WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali
VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche &
Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).

Terjemahan, “Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri,


sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi
sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut
Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku,
Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena
mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat
yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak
ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang
Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 12


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya
Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.”

Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat


Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R.
Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut
merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII yang dimaksud adalah
Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan
Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6,
dimana wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian. Oleh
Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali dalam dua
angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan
angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat
pernyataan ini, logis jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan
pada tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan
Demak tidak berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.

Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan


keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam
waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh
Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran tersebut,
konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar.
Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka
demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa
disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus
ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syari’at. Dan
akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti
Jenar tersimpul.

Kemanunggalan Ke-Iman-an

DUA PULUH
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya
jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian
di bawah ini:

a. Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.

b. Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan


jangan mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 13


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
manunggalnya) Allah.

c. Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).

d. Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah.

e. Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.

f. Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.

g. Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.

h. Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.

i. Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah.

j. Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah.

k. Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat
dan anugerah) Allah.

l. Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah.

m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan


jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.

n. Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah.

o. Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan


mensekutukan, engkau adalah wujudullah, yaitu tempat

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 14


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga
neraka, ‘arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia,
jin, belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa
semua, itu berkumpul di pucuknya jantung yang disebut alam kiyal
(‘alam al-khayal), maksudnya adalah angan-angannya Tuhan, itulah
yang agung yang disebut alam barzakh, yang dimaksudnya adalah
pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang dimaksudnya
adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma af’al, yang
disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah
dipenuhi sifat kamal jamal.” (Wedha Mantra, hlm. 54-55).

Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari


aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti
tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai khalifatullah (wakil
real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia adalah cermin
dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang
berimbang. Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud
implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui
tingkah lahiriyahnya.

Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan,


maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah berhasil
“dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan
ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
Melalui doktrin utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak
untuk membuktikan keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya
memahami “keberadaan” dari sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa
sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan
neraka). Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama “merasakan”
Allah dalam diri pribadi masing-masing.

DUA PULUH SATU


Adapun yang menjadi maksud:

a. Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.

b. Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 15


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
manunggal) roh.

c. Ma’rifat, penglihatan roh.

d. Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.

e. Akal, pembicaraannya roh.

f. Niat, pakaremaning roh.

g. Shalat, menghadapnya roh.

h. Syahadat, keadaan roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).

Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud


Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar
menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid dan
fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, ma’rifat, qalbu,
dan akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat
serta syahadat adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar
semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia, sehingga
masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat menggerakkan
seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah
makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam
dan ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang
membentuk kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.

DUA PULUH DUA


“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang
menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada
baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam.
Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk
mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak
gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh III Dandangula, 31).

Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah
dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat
menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang Pribadi
(manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh adalah
pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 16


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Nya. Pribadi adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar
mengemukakan bahwa dirinya adalah sang pemilik dua puluh sifat
ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat
yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng.
Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.

Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan
bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi
memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak merumuskan hanyalah
“perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki
Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga
pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti
Jenar mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan
mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas,
agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi
dirinya sendiri.

Syahadat

DUA PULUH TIGA


“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian
rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud,
Pangeran; kesejatian kehidupan.”

Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai


macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya,
manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran shalat
daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh, bukan
sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan
hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan
bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam
mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan
gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan
mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.

Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan
mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu
minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati,
kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.”
Syahadat Sunan Bonang, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 17


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
kencana, linggih ing maligi mas, ulir sjroh-ning geni muskala, ilang
ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna kurungan tanpa kerana.”
Dan syahadat Sunan Kalijaga, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat
kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati,
sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane,
dap lap ilang,” (Wejangan Walisanga, hlm. 50).

Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar.


Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh
Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya)
untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam
akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng
Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.

Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah


dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan
laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa (kesejatian rasa), di
mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh al-Haqq (Allah).
Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni
pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu”
dengan sarana ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini
memunculkan tenaga dan energi kreativitas positif, dalam bentuk
karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya guna, serta
bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad
(Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari
sang Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai ”Pangeran”
(Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan.
Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya
sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan
syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang
teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan
kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-
karya yang bermanfaat.

DUA PULUH EMPAT


“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak
tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan
matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah :
“Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang
waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya
sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 18


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa,
tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak
sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).

(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan


proses datangnya pintu kematian], sudah nyata penuh kesempatan
hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan
kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup,
hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti
dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat
sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam
dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena
kerusakan sukma mulia Maha Suci).

Syahadat Sakarat adalah syahadat atau persaksian menjelang


kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti
Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri dengan
iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa
yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang
manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-
Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam
kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk
menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang terpapar di
atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih
ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti
Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur,
agar dalam kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi
kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang
ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan harus disertai
dengan laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya cipta,
rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut,
menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.

DUA PULUH LIMA


“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa
dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa
dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang
langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur
menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna
kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi
tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 19


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan =
samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari
pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung
kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah
semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf.

DUA PULUH ENAM


“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun,
satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa
kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah –
Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan
nyawa seluruhnya).

Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah


ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana
ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari ungkapan
yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya (tauhid
dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar
pengenalan akan nama-nama Allah.

DUA PULUH TUJUH


“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-
meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma
sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman
kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar,
Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang
kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula
tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).

“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas


munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam,
yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag,
kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah
sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang
berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad
sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah
Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang
tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”

Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 20


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
sudah melihat akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk
memperbanyak melafalkan dan mengamalkan “syahadat sakarat
wiwitane pati” ini.

DUA PULU DELAPAN


“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan
kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya
rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep
jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep
ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).

(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang


hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran
yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran
yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah Rasulullah,
selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang
musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-
tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu
menghadap Tuhan).

Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur


Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian
dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa kematian
manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif, dalam
arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam
pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju
kemanunggalan, dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad.
Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang tersebut
tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang
buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan
kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian
makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafa’at sang
Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat
Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi
dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad
itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti
Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian yang negatif,
dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang
terjadi terhadap hewan.

Kematian itu adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 21


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
pintu menuju keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar
yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang belum mampu
mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas,
nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan
kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia
tetap sadar dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang
menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui lorong itulah
kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian
manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup),
sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah,
manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup
yang tidak terkena kematian.

DUA PULUH SEMBILAN


“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana
telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep
marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining
manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun,
jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad
Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).

(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada


di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi
bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah
roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang
sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah
ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).

Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki


fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan
dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat
yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk
meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.

TIGA PULUH
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi
empat perkara :

1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada
pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad
rasulullah.”

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 22


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat
rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.

3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa
Huwa”.

4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak
mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut.
Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan
hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan
seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan
kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama
dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap mendominasi
kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh
adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).

Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh


Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku
manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang
berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu
menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan
Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga
bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu agenda
manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya.

Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang


dikhususkan bagi kalangan ‘awam (yang tidak mampu mengalami
Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut hampir sama
dengan ajaran Syuhrawardi.

Shalat (tarek dan Daim)

Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut
shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah,
diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang
yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling
Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus
sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim
merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual.
Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 23


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek.
Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang
shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat,
teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan,
mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran );
pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.

Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang
memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah
terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-
nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini
adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam
kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh
Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah syari’at
adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.

Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab
221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).

Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan
dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan
yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman.
Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli
dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman
dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan
shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at
sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja
terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at,
anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian
kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping
tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut,
tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis,
telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa;
unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya
dengan mandi besar (junub/jinabat).

Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada
keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri.
Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya
dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 24


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan
ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan
di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub
(penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai
tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau
iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam
kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan,
maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya
jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi
manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu
ini, sudah menjadi manusia sejati.

Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan,


cara mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam
khalwat (meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan
Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).

Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak


diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada diri kita
masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita
sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu
jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi
dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.

TIPULUH SATU
Shalat Subuh

Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat,
iya iku rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku
sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma
ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling,
pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”

(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah


rohnya Allah. Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di
dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam sukma
ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan
terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu
akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 25


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya
dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu


akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku.”

(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir
[rahasia]-ku).

Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-


Mulku). Seratus kali.

Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur


gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya
tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena
pada Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali.

TIGA PULUH DUA


Shalat Luhur

Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya
iku rohing Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat
iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa
ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Pangeranku.” (Aku berniat shalat, roh Idlafi yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati
ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti
terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 26


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat
Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Niatnya, “Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu


akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing osikku.” (Aku
berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti
akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-


Mulku). Seratus kali.

Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah,
nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya
tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”

(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada


Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku),
Seratus kali.

TIGA PULUH TIGA


Shalat ‘Ashar

Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat,
iya iku rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat
iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa
ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Rasulku.”

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 27


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
(Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat,
yaitulah rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang menempati ujung lidah,
shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat
sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh,
kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti
akan Utusanku).

Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.”


Seratus kali.

Niatnya, “Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu


ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing angen-
angenku.”

(Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah


ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti
akan angan-anganku).

Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-


Mulku). Seratus kali.

Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah,
nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya
tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena
pada Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali.

TIGA PULUH EMPAT

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 28


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Shalat Maghrib

Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya
iku rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan,
shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning
nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar,
tetep mantep weruh ing Muhammadku.”

(Aku berniat shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah


rohnya Muhammad. Muhammad yang menempati ujung telinga,
shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat
sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh,
kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti
akan Muhammadku).

Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.”


Seratus kali.

Niatnya, “Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala


Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.”

(Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
tekadku).

Malaikatnya Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-


Mulku). Seratus kali.

Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah,
nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya
tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 29


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali.

TIGA PULUH LIMA


Shalat ‘Isya’

Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat,
iya iku rohing urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku
sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana
urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing uripku.”

(Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat,


yaitulah rohnya kehidupan. Utusan Tuhan yang menempati napas,
shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat
sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh,
kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti
akan kehidupanku).

Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.”


Seratus kali.

Niatnya, “Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala


Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku.”

(Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
keinginanku).

Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.

Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-


Mulku). Seratus kali.

Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 30


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah,
nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala
puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya
tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.

Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”

(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada


Allahku).Seratus kali.

Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali.

TIGA PULUH ENAM


“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal
(bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :

a. Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat


melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).

b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan


menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma).

c. Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah”


(Kehidupan abadi dzatullah).

d. Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.

e. Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah


tan kena pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena
kematian).

f. Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.

g. Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.

h. Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan


sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma).

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 31


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
I. Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang
memelihara kehidupan yang tidak terkena kema-tian.

j. Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip


tan kena pati” (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi
hidup yang tak pernah terkena mati).

k. Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang


wisesa suci dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang
memelihara, suci diriku sendiri [ingsun]).

Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian
dari shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang
ganjil).

Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah
shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan
dalam rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.

Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa


Arab, hanya lafazh takbir dan al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca
satu madzhab fiqih Islam sekalipun (yakni madzhab Imam Hanafi,
dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri), bacaan dalam
shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa
‘ajam (selain bahasa Arab).

TIGA PULUH TUJUH


“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan
dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri
yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).

Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu


hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang
sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara
total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam
tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak
masing-masing pribadi.

Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang


lima waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama.

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 32


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi
perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja
masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.

TIGA PULUH DELAPAN


“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir,
budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-
kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah
yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana
yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat
dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 37).

Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal
Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas
model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya
berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas,
dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang tanpa
spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan
shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat
yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-
karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi
pesan shalat dalam kehidupan keseharian.

Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun


tetap memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan
kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa
neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-
Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11
disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang
yang shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ itu adalah shalat
yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal
yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta
tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya;
(3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji
dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam
kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat
tinggal abadi; kemanunggalan.

Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 33


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika
melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran
yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran
yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu
adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah
eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam,
penyerahan diri <Wong Jowo ngomonge’ Pasrah Bongkoan>.
Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau
jabariyah, fana’ atau ittihad.

Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan


konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya
salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti
Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan
dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model
shalatnya para pencuri.

Puasa Zakat dan Haji

TIGA PULUH SEMBILAN


“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi
tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong
kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan
terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia,
karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya
keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.
Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid
mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi
tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di
dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami
suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan
yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal
saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 38-39>.

Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali
adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak
ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan
orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak
syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut.
Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 34


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini
berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu
semua.”

Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa


syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan
pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya
menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat
menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang
muncul dari aplikasi formal syariat tsb.

Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan


pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti
dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah,
bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan
hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan
keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi
kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya
menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga).Yang
mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat
syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi
syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa
makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.

Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan


makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata
bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn
bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara
benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat
sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan
selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk
dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula
yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu
bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini
menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.

Makna Ihsan

EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik
dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus.

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 35


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia
berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya,
kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui
ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar
berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat
rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”

EMPAT PULUH SATU


“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa
maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-
NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia,
maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa
cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia
sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam
semesta, Ngidraloka”.

Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh
Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan
sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih
Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam
keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud.
Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg
kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam
menyerukan kebenaran.

Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan


haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan
dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan
sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.

Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri


kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya
dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian
langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.

EMPAT PULUH DUA


“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas
untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh
siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya,
selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita
sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 36


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa
Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja.
Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa
memerintah sesama bangkai.” <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki
Sasrawijaya, Pupuh VII Asmarandana, 50-51>.

Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah
pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan
melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-
buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau
Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling
memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta
kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan
peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab
diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas
eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan
manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali
mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).

Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah,
maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang
lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk
upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi
Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat
tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang
mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan
demi penegakan syari’at Islam.

EMPAT PULUH TIGA


“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia
sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg
tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa
cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan
kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu
yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”

Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan


Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah,
Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid.
Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu
sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 37


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau
kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan
ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi
terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.

Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia


berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil
sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa
sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.

Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti


adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah.
Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan
manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan
kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat
ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan
terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat
perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga
pasti tidak akan terjadi.

EMPAT PULUH EMPAT


“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang
sinembah Allah, kang murba amisesa.” <Kitab Mantra Yoga, hlm.
63>.

Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam


bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari
mutiara ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya adalah,
“Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang
menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala
sesuatu.”

Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar
yang maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat
kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di
kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut mir’ah al-
haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa
mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut
akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan segala
perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai rohani
juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 38


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang
menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai
kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi
keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat
kawula-Gusti.

EMPAT PULUH LIMA


“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera.
Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta
oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur
bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai
pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan
kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai
pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur,
dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak
dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula
menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya
jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya.
Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan
perbuatannya.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 42-44>.

Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal


tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu
bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yang bisa dijadikan
gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat Yang
Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah
pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang
Wajib Memimpin.

Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi


pencaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang
Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.

Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan
jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa
Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana, dan
sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu
disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan
Nama-Nya.

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 39


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
EMPAT PULUH LIMA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang,
sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya?
Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga.
Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga.
Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali
dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam
semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan
juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru
hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang
terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” <Suluk Wali
Sanga R. Tanaja, hlm. 44, 51>.

Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti
Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan
mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan
barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami
kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.

Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga
memiliki muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal
dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti
Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi
penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya
pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka,
mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran
adanya jagat besar termasuk semesta.

Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya
ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan
raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera,
berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua
aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu
saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini,
akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang
menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.

Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-
an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga
af’al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana
af’al itu dipancarkan.

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 40


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
EMPAT PULUH LIMA
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya
adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun
buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat
pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang
buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan
luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi
perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah
kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di
situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS.
Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan
segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna
mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud.
Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya
itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ
berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS.
Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar,
melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun
pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu,
yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi
Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku
dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu
dzarah pun melainkan atas izin Allah.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I,
hlm. 182-283>.

EMPAT PULUH DELAPAN


Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah
satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah).
Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah.
Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang
paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah
Syekh Siti Jenar. <Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 26-27>.

Bis………………………… kedudukannya…………. ubun-ubun.


Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan
(lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu
(manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 41


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan
napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan
jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita
suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang
punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya
(pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya
nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya………
…….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan
perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.

Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling


Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag manusia sampai
kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing
dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan
penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan
dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan
ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai
dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.

Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa


al-Qur’an merupakan “kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya
adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan
semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar
menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 42


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).

EMPAT PULUH SEMBILAN


“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan
menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang
dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia
biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam
diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka.
Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni
selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan
kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman
langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran
kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih
terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak
hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan
hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat
pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung
kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang
terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam
kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali
kepada kehidupan.” <Serat Syekh Siti Jenar, Sinom, Widya Pustaka;
hlm. 25-26 bait 30-36>.

Syekh Siti Jenar menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai


Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta
menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan
konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap
perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil
dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia
selama masih berada di dunia ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia
dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan
ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya
sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan
Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci
terjerat badan wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang
menguburkan kebenaran sejati, dan berusaha mengubur kesadaran
Ingsun Sejati.

LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat
Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 43


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan
dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang
pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah
dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu
pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”

“Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal


dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal
dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan sering kali tidak
jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan
merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju
perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh
dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya.”
<Serat Syekh Siti Jenar, Ki Sasrawijaya, Pupuh III : Dandang Gula,
27-28; Falsafah Sitidjenar, hlm. 33>.

“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak
akan menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan sukma,
mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang
dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam
bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik
kembali saja.” <Pupuh XIII Sinom, 29; Falsafah Sitidjenar, hlm. 34>.

Ini adalah pandangan Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan


pengetahuan. Menurut Syekh Siti Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu
terdiri atas tiga macam; pancaindera, akal-nalar, dan intuisi (wahyu).
Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa dijadikan pedoman pasti.
Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah manunggallah yang
betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.

Oleh karenanya, konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti


Jenar menegaskan bahwa baginya Muhammad bukan semata sosok
utusan fisik, yang hanya memberikan ajaran Islam secara
gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa,
kecuali hanya untuk diimani.

Justru Syekh Siti Jenar menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad


sebagai roh yang bersifat aktif. Dalam memahami konsep syafa’at,
Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa syafa’at tidak bisa dinanti dan
diharap kehadirannya kelak di kemudian hari. Justru syafa’at
Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 44


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
Muhammad, me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan
asmanya. Rahasia asma Allah dan asma Rasulullah adalah bukan
hanya untuk diimani, tetapi harus merasuk dalam Pribadi, menyatu-
tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk menyatu
cahaya dengan Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses
Manunggaling Kawula-Gusti.

LIMA PULUH SATU


“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa
nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan.
Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat
busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia,
tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru.
Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini
disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan
seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya
sebelum saya lahir tidak ada.

Syekh Siti Jenar menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah,


dengan konteks kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan
alam mencerminkan kebebasan manusia. Segala sesuatu harus
berlangsung dan mengalami hal yang natural (alami), tanpa rekayasa,
tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya
memenuhi penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik
Dirinya Sendiri. Jadi seluruh manusia masing-masing mamiliki hak
mengelola alam. Alam bukan milik negara atau raja, namun milik
manusia bersama. Maka setiap orang harus memiliki dan diberi hak
kepemilikan atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan ada
juga yang harus dimiliki secara kolektif.

Dari wejangan Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa


hakikat seluruh alam semesta adalah tajaliyat Tuhan (penampakan
wajah Tuhan). Adapun mengenai alam yang kemudian memiliki
nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala sesuatu yang
ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama
Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh
manusia. Dan nama-nama itu seluruhnya akan kembali kepada Sang
Pemilik Nama yang sesungguhnya. <Untuk sejarah pemberian nama
Tuhan, lihat buku Karen Armstrong, The History of God: The 4.000
Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballatine,
1993>. Maka memang nama itu perlu, namun jangan sampai

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 45


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
menjebak manusia hanya untuk memperdebatkan nama.

Tarekat dan Jalan Mistik Syekh Siti Jenar

LIMA PULUH DUA


“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman,
seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan,
penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.

Inilah maksud dari lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya


semua itu akan rusak kecuali dzat Allah yang tidak rusak. <Sang
Indrajit, Wedha Mantra : 1979, Bab 203, hlm. 51>.

Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi,


al-Samarqandi, yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti
Jenar.

Kalimat “kulusyaun halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu


syai-in halikun illa wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah,
kecuali wajah-Nya (penampakan wajah Allah)) [QS : Al-
Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar
mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur
mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti
“illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini juga menjadi salah satu inti
dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan Syekh Siti Jenar.
Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.

Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan,
bukanlah unsur yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana
umumnya dipahami manusia. Nur Muhammad dan malaikat adalah
termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat dengan
pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada
manusia (seperti pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan
dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah, maksudnya adalah
apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal dengan Allah
atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 46


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian
dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.

LIMA PULUH TIGA


“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir
papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak
memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” <Suluk
Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292>.

Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari


dunia. Zuhud adalah perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap
makhluk lain, sebab teologi kepemilikan itu hakikatnya tunggal.
Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah berhasil Manunggal
dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis
Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia
ini, sikap yang realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena
sebatas itu antara makhluk (manusia) dengan makhluk lain (apa pun
yang bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa saling memiliki dan dimiliki.
Karena semua itu merupakan aspek dari ketunggalan.

Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti
tidak akan berhasil menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang
akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang Maha Tunggal,
karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud
dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat
menuju kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan
keikhlasan.

LIMA PULUH EMPAT


“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali
Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan
perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap
kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap,
tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya
saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma
beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali
benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang
wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal
pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah
pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang
dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 47


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.

Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan


sekali terangnya. Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata
kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat
cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta tidak bisa
melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang
yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian
yang memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.”
<Suluk Syekh Siti Jenar, II, hlm. 246-248>.

Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin


kewalian orang Islam pada umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang
menentukan seseorang itu wali atau bukan hanyalah pemilik nama al-
Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah peduli
dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain
terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang memandang
kewalian seseorang.

Syekh Siti Jenar menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan


menetukan kewalian hanya karena perilaku serta kewajiban yang
muncul darinya. Yang harus diingat adalah bahwa para auliya’ Allah
adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun yang
lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya,
namun itu adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan
Syekh Siti Jenar tidak lain adalah manusia yang manunggal dengan
al-Waliy dan itu berlangsung terus-menerus. Hanya saja perlu diingat,
setiap tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali tersebut, namun tidak
semua sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan atau af’al al-Waliy.

Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis
terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan
bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini
tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan
sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah
yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau
kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan
bentuk penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang salah
kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang
ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan kedua,
“di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 48


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
dianggap benar, dan jelas keliru.

Teologi Manunggaling Kawula Gusti bukanlah teologi Fir’aun yang


menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan, sekaligus dengan
keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini. Jadi kita harus
ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih naskah-naskah tersebut.,
sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada Syekh Siti
Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar.

Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang

“Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang


malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya
napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi shalat. Karena
tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari angan-
angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam
alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”

“Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang


menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di dunia
ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat pada bangkai,
meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur lebur
bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”

“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak


memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia
sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti budak, disembarang
tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak dikabulkan.
Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan.
Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru
saya yang bijaksana.”

“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari


kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat
u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap Hyang Widi.”

“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk


menjadi orang kaya tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya
disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat waktu ia
berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid
berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 49


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu
diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi
gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak
bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat
lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal
itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam
kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada
mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia
terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih,
haus, dan lapar”. <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI
Pangkur, 9-20>.

“Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah


jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu menjalankan
penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak ditertawakan
orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak
barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra
yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi.
Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan
kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah
bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang
ketiga, jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja
musnahkan dengan api. Saya berbelas kasihan kepada keturunanmu,
sebab tidak urung mereka menuruti kamu, mabuk do’a, tersesat
mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”

“…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah.


Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” <Serat
Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 25-36>.

Khotbah Perpisahan Sunan Panggung

“Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum


pernah berguru maka semua itu dipahami dalam konteks dualitas.
Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng melihat
sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang.
Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang
dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan
dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 50


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan
kesejatian Tuhan.”

“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya,


sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya sibuk
menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal kufur
kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih
mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang,
puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak
menaati yang sudah ditentukan Tuhan.

Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa
akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi
melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir
yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu
dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati,
sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-
salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha
Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja
ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang
merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih
berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal
salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi
berhala.”

“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam


tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan
baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran saya, yang
dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau
haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan
selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu
selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di
dunia seperti itu keberadaannya.”

“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif


menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama.
Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif
merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat.
Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya,

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 51


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud.
Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku
tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud
mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif
mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”

“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha
Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan
Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan
merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”

“Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat


yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan
cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya
yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan
cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh
kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal,
napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang
mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa
ilaaha illallah.” <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 4>.

Kematian di Mata Sunan Geseng

“Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak


menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan
sudah ditahan, napas sudah tergulung dan angan-angan sudah
diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia
menemukan yang serba indah.”

“Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia


adalah orang yang tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan
dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih
senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang
ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah
pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat
gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu
bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah
dunia ini neraka.”

“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-
benar seorang mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 52


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain. Tarkumasiwalahu
(Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur dengan
kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.” <Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 29-31>

Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula

“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian.
Oleh karena itu, dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta
malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada di alam kehidupan
saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah, di situ
saya akan bersembahyang.”

“Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau,


meskipun saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya orang terlantar
akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya yang ada di
sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan Allah,
buta lagi tuli.”

“Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak
menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan Syari’at palsu,
yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba, pikirkanlah semua
yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai atau
tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” <Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 8-18>.

Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh

Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan


Demak:

“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam


semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu
barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang berwujud
menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak
menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta
ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam
semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya
kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang
baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 53


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang
Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa
dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah tempat tinggalnya,
seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau
hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian
hamba.”

“Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam,


sampai habis ke manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah
untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat berkurang, maka
nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus, rusak
dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba
uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata
bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang
dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat
menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus
hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang
hanya tahu sedikit tentang ilmu.”

“Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti


Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari kesusasteraan dan
menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid Syekh Siti Jenar
menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk
menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”

“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah


rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan :
walahu lahir insan, wabatinul insani baitu-baytullahu (Arab asli : wa
Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu baytullahu), artinya
lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah
rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab
Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka,
Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak
dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba
seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah
hamba terima.”

“Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah


diterima oleh para siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung.
Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang menjelaskan tentang
dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai alam

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 54


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan
dibuktikan dengan nyata.”

“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada


memakai tirai selubung, tiada pula memakai lambang-lambang.
Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya dan tanpa
mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala
tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan
untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang
dilakukan para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara
diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib,
disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang
menguntungkan untuk dirinya.”

“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali
mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta
Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan menuntun
serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba
ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang
dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha,
tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan
pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-
mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal
bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan
dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”

“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha,
buktinya mereka masih sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua,
hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan
mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan
mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya
bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab
Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada
untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang
mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan
memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat
pertanyaan paduka.”<Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh
V Pangkur, 22-45>.

Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 55


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
”Syekh Amongraga adalah salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti
Jenar pada masa Sultan Agung Hanyokusumo (1645). Mengenai
rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat dibaca di serat
Centini”.

Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi


(Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):

1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).

2. Mencegah dan berlebihnya makanan.

3. Sedikit tidur.

4. Sabar dan tawakal dalam hati.

5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.

6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.

7. Mengasihi fakir dan miskin.

8. Menolong orang yang kesusahan.

9. Memberi makan kepada orang yang lapar.

10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.

11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.

12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.

13. Memberikan minum kepada orang yang haus.

14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.

15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.

16. Menyadarkan orang yang lupa.

17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 56


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.

19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung,


saudara, dan semua manusia.

20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal,
jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan
dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah
sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang
baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
<Ajaran Syekh Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan
manusia di dalam menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut
Syekh Siti Jenar sebagai alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran
tersebut, hendaknya jangan terjebak dalam segi kontekstualnya saja,
namun hendaknya diselami dengan segenap nalar dan rasa batin.

Ajaran Syekh Siti Jenar Menurut Pangeran Panggung

“….Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal


dan tujuan hidup, dan itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut
saya , untuk mengharapkan hidayah hanyalah bias didapat dengan
kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai gejolak jiwa,
saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”

“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah


bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang salah. Karena
perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman dalam
memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang
seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan.
Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya
menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut
gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan
semua isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan.
Lahir batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk
Malang Sumirang, Pupuh 1-2).

“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang
ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana
asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-
Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 57


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata keseluruh
alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan
janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika belum
berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk
ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak
berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”

“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan
nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak
tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya satu ilmunya,
melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal
akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah.
Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma
Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur
juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena
sukmaitu adalah Allah.” <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2>.

” Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya


berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat
dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia diciptakan dengan
dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at juga,
adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan
punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita
memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat
‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah
mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang
dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih
adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya
oleh yang melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan
dan kiri.”

“Adapun waktu yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang


memilikinya. Shalat Subuh, yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika
diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan istrinya Hawa menjadi
sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui malaikat
Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam,
“Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi
Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan
shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati
istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat
Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 58


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak
dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi,
disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat raka’at. Nabi
Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun shalat
Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan
ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam
perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan
melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera
melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati,
kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat
Maghrib pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh.
Ketika musibah banjir bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa
bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh mengerjakan shalat.
Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga raka’at, maka
banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang
memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga
disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua
kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah.
Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat
Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan
melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua
kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang
membalaskan kepada Pendeta Balhum.” <Serat Suluk Malang
Sumirang, Pupuh 2>.

“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu,


anasir itu ada empat yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama,
anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al
(perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah
bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada
yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau
yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya
sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat
sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil,
seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan
Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua
ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih
Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah seluruh
gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini
adalah tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian
maksud anasir Gusti.”

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 59


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT
“Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang
dinamai cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai
berikut : pertama, yang disebut wujud sesungguhnya adalah hidup
sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih perawan
itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang
disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya
kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang
kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora.
Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala
memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir.
Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada
kecenderungan hati.”

“Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu


terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api
menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi napas keluar masuk, air,
menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik secara ghaib.
Demikianlah penjelasan saya tentang anasir. <Serat Suluk Malang
Sumirang, Pupuh 3>.

Nuwun

TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI 60


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT

You might also like