You are on page 1of 33

KONSEP MEMBANGUN

KETAHANAN PANGAN
NASIONAL
MELALUI REVITALISASI PERTANIAN DI
DAERAH TRANSMIGRASI SEBAGAI PENYEDIAN
PRODUKSI PANGAN LOKAL

Endang Sukara, Djoko Sidik Pramono


dan Ali Zum Mashar
Hak Cipta@ 2006 Endang Sukara dkk.
Hak Cipta Dilindungi Undang—undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penulis dan
penerbit
KATALOG DALAM TERBITAN

Endang Sukara dkk.


KONSEP MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN NASIONAL/Endang Sukara dkk.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
ISBN
Penerbit: LIPI Press

Desain sampul dan tata letak


Kredit Foto: Koleksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Cetakan pertama Desember 2006

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 1
A. PENDAHULUAN

1. Potret Kebijakan Pertanian Indonesia

Cina dan India berhasil memacu pertumbuhan ekonominya dan


menjadikan pertanian sebagai pondasinya. Sektor ini telah berhasil
menggerakkan “ekonomi” di akar rumput. Sekarang, Cina dan India
merupakan negara tujuan investasi yang menarik bagi para investor Asing.
Strategi ini kemudian diikuti pula oleh Thailand. Negeri gajah ini
mengeluarkan maklumat, bahwa negerinya akan menjadi dapur dunia pada
tahun 2020. Malaysia juga mempunyai tekad yang sama dan Pemerintahan
Badawi bertekad untuk menjadikan Malaysia sebagai Pusat Regional
Makanan Halal. Sangat disayangkan, Indonesia sebagai negara agraris
(sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani) dengan tanah volkanik
yang sangat subur dan sebagai negara maritim dengan laut yang luas dan garis
pantai terpanjang di dunia, belum mempunyai tekad seperti ditunjukkan oleh
Cina, India, Thailand ataupun Malaysia. Sebagai negara yang dianugerahi
kekayaan sumberdaya hayati terbesar di dunia, laut yang begitu luas, cahaya
matahari yang berlimpah, tanah volkanik yang sangat subur, sesungguhnya
jika dikelola dengan baik tidak mungkin Indonesia kurang pangan bahkan
sangatlah layak menjadi lumbung pangan dunia.
Membangun pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional. Pembangunan di sektor ini kenyataannya sangat memprihatinkan.
Sekalipun, upaya pemerintah melalui program revolusi hijau mampu
melipatgandakan produksi, khususnya, padi, yang menikmati hanya mereka
yang mempunyai lahan, modal dan yang mempunyai akses pada pasar.
Program ini tidak memberikan dampak nyata terhadap kesejahteraan petani.
Sebagian besar petani malah terpinggirkan. Budaya dan kearifan petani pun
bahkan ikut termarjinalisasi. Dalam banyak kasus, semakin besar upaya
pembangunan di sektor pertanian, semakin besar pula dampak negatifnya bagi
kesejahteraan petani. Dukungan pemerintah (kekuasaan), lembaga
internasional (World Bank dan IMF), dan dukungan pasar selama ini lebih
berpihak pada sistem monokultur, homogen, uniform, mengutamakan

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 2
komoditas yang menjadi kepentingan beberapa gelintir manusia. Sistem yang
diciptakan lebih berpihak kepada para konglomerat dan memberikan
keuntungan kepada produsen benih, pupuk dan pestisida (perusahaan raksasa
negara maju bukan industri Nasional). Sebaliknya, kegiatan ini secara nyata
telah memberikan kontribusi terhadap kerusakan alam pengkerdilan sistem
dan budaya tradisional yang dikembangkan berdasarkan kearifan masyarakat
tani secara turun menurun selama berabad-abad. Pertanian yang seharusnya
menjadi sarana mensejahterakan rakyat, justru menjadi objek segelintir orang
untuk mengeruk keuntungan. Kehidupan dan kesejahteraan hidup petani
merosot dan selalu bertambah miskin.
Petani kehilangan gairahnya untuk bertani dengan rumitnya tataniaga,
akses permodalan dan sulitnya mendapatkan fasilitas pertanian. Akibatnya,
impor pangan tidak dapat dihindarkan. Setiap tahun devisa Negara (tidak
kurang dari 22,8 triliun rupiah hilang. Pengangguran tidak dapat diserap
oleh sektor pertanian karena tidak ada dukungan kebijakan modal/bank yang
berpihak kepada petani untuk dapat membesarkan sekala usaha dan
pengembangan produksinya. Di sisi lain kebijakan harga dalam satu dasa
warsa telah membunuh pasar petani dan petani selalu mendapatkan harga
pasar produknya yang terus merugi sehingga berdampak nyata menurunnya
minat petani untuk bertanam komoditas pangan.

Tabel 1. Keragaan Impor Bahan Pangan Pokok Nasional dan


Nilai Devisa yang Dikeluarkan Setiap Tahun.
N0 KOMODITI JUMLAH Ton/Th NILAI DEVISA
1 SETARA PADI +/- 2,0 Juta Rp. 4,8 Triliun
2 JAGUNG +/- 1,5 Juta Rp. 1,3 Triliun
3 KEDELAI +/- 2,1 Juta Rp. 4,6 Triliun
4 GULA +/- 1,5 Juta Rp. 3,6 Triliun
5 TRIGU +/- 4,0 Juta Rp. 8.5 Triliun

Kebijakan pemerintah saat ini kurang memberikan insentif/subsidi


teknologi dan modal kepada petani untuk mengembangkan produksi
pertaniannya. Padahal di negara maju saja seperti Amerika Serikat, pemberian
insentif/subsidi kepada petani kapas, kedelai dan gandum masih menjadi
prioritas. Di Amerika Serikat pemberian subsidi pertanian diambil dari pajak
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 3
industri. Di India dan Brasil, pemerintah memberikan dukungan subsidi
teknologi, pembelian hasil (pemasaran) dan fasilitas lainnya kepada petani
kedelai sehingga pertanaman kedelai di India mampu mencapai 6 juta
hektar/tahun meskipun dengan produktivitas yang masih rendah (1,1 ton/ha),
dan sekarang India menjadi salah satu negara pemasok kedelai dunia.
Persoalan lain diantaranya: sektor agraria, masih menerapkan
kebijakan hukum kolonialis yang feodal, Aset produksi pertanian banyak yang
terbengkalai, Lahan kosong dan lahan marginal yang dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan perkebunan negara atau perorangan masih banyak
dijumpai terbengkelai di berbagai daerah di Indonesia. Petani sendiri hanya
memiliki hak pengelolaan lahan yang sangat kecil (0,2 ha per kepala keluarga
petani). Lebih ironisnya tingginya laju pertumbuhan penduduk menggeser
60.000 ha per tahun lahan pertanian subur di P. Jawa terkonversi menjadi
pemukiman dan industri, tidak imbang dengan baku progam pencetakan
sawah sebesar 8.000 ha (2006) dan 16.000 ha (2007). Nasib Petani berubah
menjadi buruh atau petani “gurem” yang miskin, tidak berdaya dan tidak
mungkin melakukan efisiensi produksi melalui mekanisasi. Konversi lahan
pertanian ke lahan industri, pemukiman, jalan berakibat langsung terhadap
menurunnya kinerja di sektor ini.
Jika tidak ada perubahan kebijakan yang memihak pada pembangunan
pertanian rakyat, maka pembangunan pertanian akan menjadi beban bagi
pembangunan nasional. Selanjutnya Isu-isu nasional yang akan mewarnai dan
mendominasi politik pembangunan masa sekarang dan yang akan datang
antara lain adalah: 1). Impor pangan nasional; 2). Tingginya angka
pengangguran dan kemiskinan; 3). Penurunan mutu lingkungan, produksi
pertanian dan stagnasi perluasan produksi pertanian dan menurunnya stok
pangan dunia 4). Meningkatkan PDB sektor non migas dan pemberdayaan
usaha produktif usaha kecil kenengah (UKM) dan 5). Pembangunan
agroindustri dan sumber energi alternatif.

2. Pergeseran Kultur Budaya Pangan Indonesia


Bangsa Indonesia terdiri atas segala macam etnis, suku bangsa. Indonesia
sangat kaya dengan adat istiadatnya termasuk adat istiadat makan dan cara
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 4
membuat makanan. Jenis makanan mulai dari Sabang hingga Marauke
sangatlah beragam. Setiap daerah mempunyai keunikan resep memasaknya
sehingga jenis masakan dari daerah ke daerah di seluruh nusantara ini sangat
bervariasi. Jika kita berkeinginan agar kearifan masyarakat lokal tentang
makanan khas dan asli Indonesia dengan segala jenis resep dan tata cara
mengolah, memasak termasuk cara menyajikannya tidak terlindas lebih jauh
oleh makanan asing, bangsa ini masih harus bekerja keras. Salah satu upaya
adalah dengan cara mengawinkan budaya dan kearifan leluhur bangsa ini
dengan ilmu pengetahuan modern. Dengan cara ini, tidak mustahil bangsa ini
dapat mengembangkan inovasi untuk mengantarkan berbagai jenis makanan
asli Indonesia menjadi makanan yang dibanggakan oleh bangsanya sendiri
dan tidak terus menerus terpinggirkan seperti saat ini tengah terjadi. Tidaklah
mustahil, melalui kerja keras dan saling percaya, bangsa ini dapat
menyodorkan berbagai jenis pangan yang mampu bersaing dengan produk
impor. Melalui inovasi dan sentuhan teknologi, berbagai jenis makanan lokal
dapat dikembangkan menjadi berbagai jenis makanan generasi kedua, ketiga
dan seterusnya. Berbagai jenis produk lokal seperti tempe, oncom, tauco, ode-
onde, lemper, sukro (suuk dijero) atau combro (oncom dijero) dan lain
sebagainya dapat dimodifikasi menjadi makanan yang lebih menarik, lebih
bergizi, lebih menyehatkan, lebih tahan lama, yang pada akhirnya dihargai
oleh bangsanya sendiri dan bahkan mampu bersaing dengan produk makanan
asing.
Pada saat ini, bangsa Indonesia sedang mengalami krisis kultural di
bidang pangan. Kita cenderung lebih menghargai jenis makanan asing.
Membeli dan mengkonsumsi makanan asing sekalipun belum tentu gizinya
baik sudah merasakan lebih bergengsi dibandingkan mengkonsumsi makanan
lokal. Sebagai akibat dari krisis ini, tercatat ada dua kelompok besar
masyarakat Indonesia. Kelompok pertama adalah kelompok kekurangan gizi
dan kelompok yang kedua adalah kelompok kelebihan gizi. Sementara itu
kelompok dengan gizi seimbang adalah kelompok minoritas. Jika hal ini
dibiarkan, maka tidak mustahil, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang
lemah, bangsa yang tidak produktif. Indikasi ini sudah dijelaskan oleh FAO
bahwa kualitas sumber daya manusia balita Indonesia tercatat paling
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 5
rendah di ASEAN. Terhadap ketahanan pangan Nasional, dikembangkannya
pola konsumsi yang berbasisi bahan baku pangan yang tidak dikembangkan
oleh petani Indonesia seperti gandum (terigu) justru meningkatkan
ketergantungan pangan dari Impor.

3. Urgensi Revitalisasi Ketahanan Pangan Melalui Program


Transmigrasi

Jumlah penduduk Indonesia mencapai 220 juta jiwa dengan asumsi


angka pertumbuhan di atas 1.7 % per tahun mempunyai arti bahwa
penyediaan bahan pangan yang cukup dan bergizi baik menjadi isu yang
sangat serius. Kebutuhan yang besar ternyata kurang diimbangi peningkatan
produksi pangan sehingga masalah bahaya latent yaitu laju peningkatan
produksi di dalam negeri yang terus menurun akan menjadi bom waktu.
Laju pertumbuhan produksi pangan nasional setiap tahunnya rata-rata
negative, sedangkan laju pertumbuhan penduduk selalu positif. Jika pada
tahun tahun 2003 kebutuhan padi sebesar 53 juta ton, jagung sebesar 12,5
juta ton dan kedelai sebesar 3,0 juta ton, maka kebutuhan yang terus
meningkat ini akan mengindikasikan peningkatan jumlah impor bahan
pangan, dan kita semakin tergantung pangan pada negara asing
Pembangunan pertanian Pangan harus dipandang dari sisi strategis dan
politis yang menjadi bagian mendasar dari ketahanan dan kemandirian
pangan nasional sebagai bagian dari Keahanan Nasional dan jangan hanya
dipandang dari sisi untung rugi ekonomi saja. Belajar dari sukses negara-
negara yang swasembada pangan yang pada umumnya memprioritaskan
kebijakan perluasan lahan pertanian dan penerapan teknologi serta insentif
sektor pertanian, maka dengan paradigma baru program trasmigrasi yang
salah prioritasnya adalah mendukung revitalisasi ketahanan pangan, dengan
pembukaan lahan pertanian baru (ekstensifikasi), penempatan tenaga kerja
pertanian (lapangan kerja) dan penerapan teknologi pertanian (intensifikasi)
sangatlah tepat. Sebagai program percepatan ketahanan pangan yang
berkesinambungan pelaksanaan transmigrasi melalui pola Kota Terpadu
Mandiri (KTM-Trans) sangatlah tepat sebagai solusi program utama
percepatan tercapainya ketahanan pangan yang tersebar di seluruh wilayah
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 6
Indonesia khususnya dalam mengatasi di daerah rawan pangan di luar Jawa
melalui penyediaan produksi pangan lokal.
Menurut Undang Undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, merata, dan terjangkau. Sebagai penjabaran Undang-Undang tentang
pangan tersebut, pemerintah sudah menetapkan Peraturan Pemerintah No
68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang menyatakan bahwa
penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
pangan, rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu melalui (a)
pengembangan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumbernya (b)
pengembangan efisiensi sistem usaha pangan (c) pengembangan teknologi
produksi pangan (d) pengembangan sarana dan prasarana produksi pangan
(e) mempertahankan dan
Diakui oleh banyak kalangan bahwa sentra produksi pangan (beras,
jagung, kedelai, singkong, dll) di luar Jawa yang ada daerah transmigrasinya
umumnya terdapat di daerah transmigrasi baik yang masih di bina (UPT)
maupun eks permukiman Transmigrasi yang berkembang menjadi lahan
produktif pangan. Meskipun tidak seluruh permukiman transmigrasi pola
pangan daerah transmigrasi telah memberikan kontribusi yang berarti
terhadap produksi bahan pangan di luar Jawa. Sejak Pra Pelita, lebih dari
70% merupakan transmigran yang berada pada permukiman transmigrasi
pola pangan, dan sudah lebih dari 1,5 juta kepala keluarga bekerja dan
hidup dari sektor ini.
Sekarang (2006), masih terdapat 368 UPT yang masih di bina dengan
78.488 KK (sekitar 156.976 Ha) berpotensi sebagai kantong pangan daerah.
Melihat besarnya impor pangan Nasional dan cepatnya degradasi (konversi)
lahan pertanian di Jawa setiap tahunnya adalah peluang bagi pentingnya
program transmigrasi memberikan solusi bagi penyediaan pangan dan lahan
produksinya. Relevansi dengan kondisi saat ini dan tantangan ke depan,
melalui paradigma barunya transmigrasi memberikan prioritas dalam
mendukung ketahanan pangan nasional dan menghidupkan kembali program
pembukaan lahan tidur untuk pertanian yang berteknologi sehingga
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 7
kemandirian dan swasembanda pangan nasional akan cepat tercapai.

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 8
B. PERMASALAHAN PRODUKSI PANGAN NASIONAL
DAN KENDALA PRODUKSI DI DAERAH
TRANSMIGRASI

Masih rendahnya peningkatan produksi pangan di Indonesia dan terus


menurunnya laju peningkatan produksi pangan dari tahun ke tahun secara
teknis lebih di dominasi oleh dua penyebab utama yaitu: (1) Produktivitas
pangan yang masih rendah dan terus menurun; dan (2) Peningkatan luas areal
penanaman/panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan
pertanian produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor di atas
mempertajam penurunan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun.
Kondisi ini akan terus menjadi “endemic” ke daerah-daerah dan tentunya akan
semakin parah dengan seringnya diberitakan kondisi rawan pangan.
Disamping dua masalah klasik di atas, hambatan produksi pangan dipacu
pula oleh beberapa isu nasional yang merupakan bagian dari “propaganda
dagang” para importir pangan dan lemahnya pranata pertanian sehingga
menurunkan gairah produksi oleh petani, antara lain:
1. Misalnya pada Kedelai, bahwa rata-rata kedelai nasional rendah yaitu
1,28 ton/ha, sedangkan di Amerika mampu mencapai 2,3 ton/ha yang
kemudian banyak para ahli pertanian latah dan menjustifikasi bahwa
tanaman kedelai identik sebagai tanaman subtropik yang hanya cocok
tumbuh dan berproduksi tinggi di Negara-negara subtropik dan kurang
cocok jika di tanam di Indonesia. Hal ini tidak sepenuhnya benar
karena di India dan Cina ternyata rata-rata produktivitas nasionalnya
sama dengan Indinesia bahkan lebih rendah. Pada kenyataannya
dengan teknologi yang tepat tanaman kedelai di Indonesia mampu
mencapai produksi lebih dari 3 ton/ha dan bahkan dalam beberapa
pengujian sekala lapangan produksi kedelai di Indonesia dapat
melampaui 4,5 ton/ha. Beberapa jenis kedelai temuan baru saat ini
telah berhasil pula ditanam dan berproduksi dengan baik pada
ketinggian 1.300 m dpl dengan produktivitas lebih dari 3 ton/ha yang
selama ini dan selama ini banyak ahli dan pihak-pihak pesimis.

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 9
2. Hama dan penyakit komoditi pangan cukup besar karena kondisi iklim
di Indonesia yang tropis (panas dan lembab) dan atas dasar teori dan
fenomena parsial tersebut diklaim bahwa bertani pangan tidak efisien
dan rugi ditanam di Indonesia. Padahal hal di Negara sub tropis
sendiri dahulu mengalami masalah yang sama sebelum menerapkan
tanaman GMO (genetically modified organism) dan Hibrida. Di
negara maju seperti Amerika, Canada dan Australia, lebih dari 80 %
tanaman Jagung dan Kedelai yang ditanam adalah GMO. Teknik
pengendalian hamanya dilakukan secara total dengan penyemprotan
pestisida dalam hamparan yang luas (dengan pesawat) sehingga
kemungkinan hama di areal hamparan tersebut musnah termasuk
burung dan satwa alam lainnya ikut musnah.
3. Negara maju lebih banyak memberikan produk dan teknologi olahan
pangan yang berbasis pada bahan baku impor seperti Biji kedelai,
gandum dan kentang, untuk memacu pemakaian konsumsinya, tetapi
segi teknologi budidaya pangan kurang diperkenalkan sehingga dalam
produksi komoditi pangan di dalam negeri tidak lebih efisien dan kalah
bersaing, dan impor semakin besar. Kondisi ini justru tidak memihak
ke pembangunan pertanian rakyat dan jika scenario kebijakan
pemerintah berpihak kepada kepentingan industri Negara maju di atas,
maka Indonesia menjadi pasar produk pangan mereka dan makin besar
ketergantungannya dan terjajah pangannya.
4. Sentra perbenihan pangan kurang di kembangkan sebagai industri
benih Nasional yang utama dan berkelanjutan. Para produsen benih
baik swasta maupun petani penangkar kuang mampu menghasilkan
benih yang unggul dan berdaya hasil tinggi dalam jumlah yang cukup.
Oleh karena itu perlu perhatian yang serius terhadap jaminan
ketersediaan benih, pemberian insentif produsen benih, teknologi
produksi, keterjaminan akan konsumsi benih dan tata perbenihan
komoditi pangan yang bermutu (pengadaan, persebaran dan
ketersediaan, dll.) merupakan titik awal untuk memulai bangkit
Pangan.
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 10
5. Permasalah lain adalah lemahnya permodalan petani untuk
menanam dalam lahan yang lebih luas. Kredit yang dapat menjamin
usaha di sektor ini tidak ada. Kalaupun ada hanya sebatas diwacanakan,
milsalnya kebijakan KKP kedelai. Lemahnya modal untuk membiayai
usaha tani kedelai berdampak langsung pada rendahnya produktivitas
dimana ketiadaan modal petani tidak melakukan budidaya dengan
tepat seperti tidak dipupuk (tidak mampu beli benih unggul, pupuk
dan pestisida), tidak diurus/diberi air irigasi, tidak mampu menahan
saat harga turun (stock gudang), bahkan petani terbelilit ijon (tanaman
dijual/digadai sebelum panen) dengan harga murah.

Dari banyaknya persoalan dalam produksi pangan nasional serta isu-isu


yang makin menjatuhkan posisi produsen (petani), sebenarnya masih ada
“optimisme” jika Negara, pemerintah dan para pelaku bisnis pangan serius
untuk membangun produksi dan membangun Agribisnis yang berbasis pada
ketahanan pangan.
Salah satu hal yang dapat diharapkan dalam percepatan kemandirian
pangan nasional adalah adanya hasil-hasil penelitian di dalam negeri yang
cukup memberikan harapan. Seperti telah ditemukannya teknologi Bio P
2000 Z oleh anak bangsa telah membuktikan bahwa teknologi ini mampu
meningkatkan produktivitas seperti kedelai, padi dan tanaman pangan lain.
Hasil sementara ini pada berbagai kedelai unggul lokal dan unggul Nasional
yang dapat dicapai adalah rata-rata di atas 3 ton/ha, dan bahkan dalam
riset, potensi kedelai Indonesia yang diperlakukan dengan teknologi Bio P
2000 Z ini secara akademik mampu mencapai 20 ton/ha suatu hasil yang
belum pernah terjadi pada hasil riset di Negara maju manapun. Teknologi ini
telah dipatenkan di National Patent maupun pada International Patent
Organization (International Beureu (IB) , World Intellectual Property
Organization (WIPO)) serta telah di Industrikan dalam fabrikasi dan
diperdagangkan secara komersial.
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI juga telah berhasil mendapatkan
berbagai jenis bakteri yang bekerja sangat efektif untuk meningkatkan
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 11
produktivitas seperti kedelai. Bakteri ini adalah bakteri penambat nitrogen
(Rhizobium dan Azospirillum, Spirillum) serta bakteri pengurai pelarut fosfat.
Berbagai jenis bakteri ini telah berhasil disisipkan ke dalam benih kedelai.
Dengan teknik yang dikembangkannya, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI ini
berhasil mengembangkan benih kedelai plus dan mensinergikan penemuan
teknologinya dengan teknologi seperti Bio P 2000 Z untuk lebih mendongkrak
produksi. Sementara itu, berbagai varitas kedelai unggul telah berhasil dirakit
oleh BATAN, DEPTAN, Perguruan Tinggi dan riset perusahaan swasta
menunjukkan kemajuan yang positif: potensi produktivitas varietas/galur
meningkat, keseragaman dan ukuran lebih disukai pasar, lebih toleran
terhadap cekaman anasir biotic dan abiotik seperti kemasaman lahan,
keracunan Al3+ dan kekeringan atau genangan air sementara.
Melihat peluang dan harapan di atas maka tidak diragukan lagi bahwa
pengembangan pertanian pangan di daerah transmigrasi yang selama ini
terkendala karena rendahnya produktivitas di daerah transmigrasi akan dapat
segera diatasi. Banyaknya anasir penghambat produksi pada lahan bukaan
baru seperti pH yang rendah, tanah beracun, bahan organik yang tidak
seimbang maupun lingkungan mikro ekosistem yang kurang ideal bagi
tanaman yang bersangkutan bukan lagi sebagai permasalahan utama.
Tentunya untuk mendapatkan hasil maksimal, dalam budidaya tanaman
pangan ini memerlukan persyaratan-persyaratan khusus yang “Presisi” dalam
pengelolaannya. Diyakini melalui pemanfaatan dan pengembangan lahan-
lahan transmigrasi yang telah ada dan yang baru/akan dibuka, jika didukung
teknologi, modernisasi (mekanisasi), infrastruktur dan tataniaga produksi
yang jelas melalui pola baru pembangunan transmigrasi (KTM Trans) akan
memberikan kontribusi yang berarti bagi percepatan swasembada pangan dan
ketahanan pangan nasional.

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 12
C. MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN MELALUI
KEMANDIRIAN PRODUKSI DATRANS

Program transmigrasi sebagai pendukung ketahanan pangan nasional


yang utama sangatlah tepat dan dapat dijadikan prioritas dalam percepatan
swasembada dan kemandirian pangan, sebagai scenario dalam mengatasi
rawan pangan di daerah luar Jawa dan penyediaan lapangan kerja yang
berkesinambungan melalui sector pertanian pangan. Relevansi pelaksanaan
program transmigrasi paradigma baru yang dikemas dalam pola KTM-Trans
menjadi sangat bermakna multi dimensi karena tercakup di dalamnya prinsip-
prinsip membangun pertanian pangan secara nyata melalui penggerakan
(mobilisasi) dan pemberdayaan secara positif potensi sumber daya alam dan
manusia dengan penerapan kaidah-kaidah pokok pembangunan pertanian
yang berkelanjutan yang diantaranya sebagai berikut:

1. Pembukaanan Lahan Pertanian Melalui Program Transmigrasi


Untuk mencapai swasembada pangan di Indonesia, diperlukan tambahan
luas tanam sekurangnya 1 juta hektar dengan proporsi komoditi untuk
perluasan tanaman kedelai: 5oo.ooo ha, Padi: 150.000 ha dan Jagung:
350.000 ha dengan asumsi pada produktivitas rata-rata saat ini. Disadari
bahwa Salah satu penyebab sulitnya melakukan peningkatan produksi pangan
nasional adalah karena pengembangan lahan pertanian pangan yang baru
secara umum tidak berimbang dengan konversi lahan pertanian produktif
yang berubah menjadi fungsi lain seperti pemukiman. Di sisi lain potensi
lahan di Indonesia yang tersedia untuk pertanian masih besar seperti lahan
tidur/terlantar (alang-alang) seluas 1,08 juta ha, Lahan pasang surut
potensial seluas 9,5 juta ha dan lahan kering/tidur marginal 11 juta ha.
Dilaporkan oleh Suhartanto (2006) bahwa di Indonesia sebenarnya terdapat
45,79 juta ha tanah PMK (Ultisol), 14,11 juta Ha tanah Oxisol dan
27,06 juta ha Gambut (histosol) yang merupakan tantangan dan sekaligus
peluang akan ketersediaan lahan yang bisa diupayakan untuk pertanian.
Lahan irigasi/Sawah di Indonesia adalah sebesar 10.794.221 hektar.

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 13
Kawasan ini telah menyumbangkan produksi padi sebesar 48.201.136 ton
dan 50 %-nya lebih disumbangkan dari pulau jawa (BPS, 2000). Namun,
seiring dengan bertambah padatnya penduduk di pulau Jawa, keberadaan
lahan sawah yang ada sekarang tinggal 7,8 juta ha (Pusbangtanak, 2001)
sehingga berimbas pada luas tanaman terus mengalami tekanan akibat
meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman. Petani lebih memilih
komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti hortikultura.
Jika tidak ada upaya khusus untuk meningkatkan produktivitas secara nyata
dan/atau membuka areal baru sudah pasti produksi pangan dalam negeri
tidak akan mampu mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.
Memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut, mengoptimalkan lahan
tidur dan lahan tidak produktif di atas mutlak harus disertai dengan
menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian besar lahan tersebut
tidak subur untuk tanaman pangan. Menurut Puslitbangtanak (2001) potensi
lahan yang sesuai untuk sawah di indonesia ada sekitar 23 juta hektar.
Membuka dan mencetak daerah industri pertanian pangan di luar pulau Jawa
melalui pengembangan lahan pertanian potensialnya adalah solusi kecukupan
pangan di daerah dan ketahanan pangan nasional.
Transmigrasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan warga melalui pembukaan lahan untuk kawasan usaha
pertanian yang di dalamnya terkandung unsur membangun infrastruktur
pertanian, penyediaan tenaga kerja, memberikan kemudahan dan kebijakan
yang kondusif bagi masuknya investasi swasta yang bergerak dibidang
produksi pangan serta memberikan rangsangan kepada petaninya untuk
bertani secara intensif membangun pertanian modern di kawasan tersebut.
Diharapkan paradigma baru transmigrasi mengundang minat para pelaku
produksi bersama-sama menjadikan daerah tersebut sebagai pusat industri
pangan produktif dan pusat pertumbuhan ekonomi baru yang berbasis
pertanian (pangan) di daerah luar Jawa.
Wilayah pertanian pangan potensial di Indonesia yang dapat di buka
melalui program transmigrasi tersebut meliputi: daerah rawa kering/irigasi di
Sumatera, daerah Gambut pasang surut/tadah hujan di Kalimantan, daerah
landai tadah hujan non padi (untuk palawija kedelai dan jagung) di Nusa
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 14
Tenggara daerah persawahan dan lahan kering di Irian Jaya. Lahan-lahan
pertanian ini jika diberdayakan dengan teknologi yang tepat dan dikelola
dengan baik adalah penyedia daerah pangan yang jutaan hektar luasnya,
cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan Nasional seperti kedelai bahkan
bisa menjadikan Indonesia surplus.
Luas lahan pasang surut dan lebak di Indonesia diperkirakan
mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk
pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto,
E.,2002). Memanfaatkan lahan lebak dan Pasang Surut dipandang sebagai
peluang terobosan untuk memacu produksi meskipun disadari bahwa
produktivitas di lahan tersebut masih rendah. Produktivitas rata-rata
tanaman kedelai di lahan lebak/pasang surut dengan penerapan teknologi
konvensional hasilnya masih rendah yaitu 0,5 - 0,8 ton/ha, padi 1,5 – 3,0
ton/ha, dan jagung 2 – 3 ton/ha. Kendala utama pengembang di lahan ini
adalah keragaman sifat fisiko-kimia seperti pH yang rendah, kesuburan
rendah dan keracunan tanah dan kendala Bio fisik seperti pertumbuhan
gulma yang pesat, OPT dan cekaman Air.
Melihat besarnya anasir penghambat di atas, maka teknologi menjadi
factor penting dalam meningkatkan produktivitas kedelai pada lahan-lahan
marginal di atas. Ditemukannya teknologi baru misalnya Bio P 2000 Z dengan
memanfaatkan mikroba penyubur dan pengendali kesuburan alami tanah di
lahan lebak dan pasang surut memberikan bukti bahwa produktivitas
tanaman pangan kedelai mampu melebih produktivitas kedelai secara
konvensional di lahan subur di Jawa yaitu: 2,5 – 4,5 ton/ha, padi mampu
mencapai 7,9 ton/ha Gabah Kering Simpan (GKS) dan jagung 9,0 ton/ha.
Budidaya dengan menerapkan teknologi ini secara baik di lahan jenis
tersebut mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi sehingga usaha tani
pangan di lahan tersebut akan dapat bersaing. Menjadikan lahan lebak
dan pasang surut untuk usaha pertanian harus didukung dengan teknologi,
infrastruktur dan pasca panen yang memadai sehingga luasan lahan ini dapat
menjadi pendukung dan buffer untuk peningkatan produksi kedelai dan
swasembada.

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 15
Lahan kering di Indonesia sebesar 11 juta hektar yang sebagian besar
berupa lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif untuk
tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat penduduk rata-rata pemilikan
lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK. Sekitar 300.000 ha lahan kering
di Pulau Jawa yang berasal dari kawasan hutan, menjadi tanah kosong,
terbengkelai dan terlantar. Masyarakat sekitar hutan dengan desakan
ekonomi dan tuntutan lapangan kerja tidak ada pilihan lain untuk
memanfaatkan lahan-lahan kritis dan lahan kering untuk usaha tani pangan
seperti jagung, padi huma dan kedelai serta kacang tanah. Secara alamiah hal
ini membantu penambahan luas lahan pertanian pangan, meskipun disadari
bahwa produktivitas kedelai di lahan tersebut masih rendah yaitu 0,6 – 1,1
ton/ha dan jagung 3,5 ton/ha tetapi pemanfaatannya berdampak positif bagi
peningkatan produksi pangan. Untuk pembukaan lahan pertanian baru
khususnnya di luar Jawa, maka ekstensifikasi pertanian melalui program
”transmigrasi yang modern” dipandang relevan.
Dengan menerapkan teknologi penyubur tanah untuk memberdayakan
jutaan hektar lahan tidur di atas diharapkan produktivitas di lahan-lahan
tersebut akan menjadi lebih baik dan menjadi subur produktif. Multiple effek
dari usaha tani tanaman kedelai ini sangat berarti dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan petani dan masyarakat sekitar dan bagi kepentingan nasional
yang bersinergi dengan upaya pemerintah untuk mencapai ketahanan,
kemandirian dan bahkan kedaulatan pangan di Negeri sendiri.

2. Paket Teknologi Meningkatkan Produktivitas Daerah Trans.


Diketahui bahwa rata-rata produktivitas tanaman pangan nasional
masih rendah. Rata-rata nasional produktivitas padi 4,4 ton/ha, Jagung 3,2
ton/ha dan kedelai 1,28 ton/ha. Seperti padi Jika dibanding dengan negara
produsen Padi di dunia, produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke
–29 yaitu 4,4 ton/ha separuh dibawah produktivitas padi di Australia yang
memiliki produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha dan cina 6,35
ton/ha. Melihat potensi yang ada Indonesia masih berpeluang untuk dapat
meningkatkan produktivitas yang berarti pada luasan yang sama total
produksi masih dapat ditingkatkan untuk dapat mensubstitusi/menutup
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 16
impornya. Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas di Indonesia
antara lain adalah sebagai berikut: (a) Penerapan teknologi budidaya di
lapangan yang masih rendah; (b) Tingkat kesuburan lahan yang terus
menurun. (c) Eksplorasi potensi genetik kedelai yang masih belum optimal.
Di daerah transmigrasi yang membuka lahan baru, rendahnya
penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi
produksi bila dibandingkan dengan di Jawa. Dalam paket buka-bina
kurangnya pemahaman pemberian paket teknologi dan penerapan paket
teknologi budidaya yang harus dikembangkan transmigran melalui kegiatan
intensifikasi dan percontohan serta kawalan budidaya diperlukan. Penggunaan
pupuk yang tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaannya belum optimal
diterapkan petani karena masih lemahnya sistem pembinaan dan sosialisasi
teknologi serta lemahnya modal dan pengetahuan petani itu sendiri.
Kecenderungan menggunakan input pupuk kimia yang terus menerus, tidak
menggunakan pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen yang masih tinggi 15 –
20 % dan memakai air irigasi yang tidak efisien merupakan beberapa faktor yang
mengakibatkan rendahnya produktivitas yang diperolehnya.
Untuk mengatasi permasalahan di atas seharusnya dalam program
transmigrasi memberikan subsidi paket teknologi kepada petani dan
melibatkan berbagai pihak yang kompeten (lembaga riset, universitas dan pihak
swasta) dalam melakukan percepatan perubahan. Subsidi teknologi yang dimaksud
adalah adanya modal bagi petani untuk memperoleh atau dapat membeli/memakai
teknologi dan membiayai pengawalannya sehingga teknologi budidaya dapat
dikuasai secara utuh dan efisien oleh petani mulai dari penyiapan benih sampai ke
pasca panennya mengunakan kaidah agribisnis. Sebagai contoh petani dapat
memperoleh kesempatan untuk menggunakan benih kedelai unggul (hasil penelitian
Badan Litbang Pertanian, BATAN, perguruan tinggi dll.), menerapkan teknologi
benih PLUS (hasil penelitian LIPI), teknologi budidaya produktivitas tinggi secara
organic (Bio P 2000 Z, Vamindo/OG-VAM, BIOMIX) kultur hayati, mekanisasi,
pasca panen dan sekaligus mendapatkan pengawalan dan pendampingannya.

3. Menangani Kerusakan Lahan akibat pembukaan lahan baru

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 17
Tingkat kesuburan lahan pertanian produktif terus menurun. Revolusi
hijau dengan mengandalkan pupuk dan pestisida sintetis (kimia)
memberikan dampak negatif pada kesuburan tanah. Penggunaan pupuk dan
pestisida sintetis juga mengakibatkan terjadinya mutasi hama dan penyakit
tanaman. Hama dan penyakit tanaman semakin sukar untuk dikendalikan.
Sebagai contoh lahan yang terus dipupuk dengan urea (N) cenderung
menampakkan respon kesuburan tanaman seketika, tetapi berdampak pada
cepat habisnya bahan organik tanah karena memacu berkembangnya
dekomposer dan bahan organik cepat habis terurai menyisakan bahan organik
kurang dari 1% saja. Sebaliknya, pemakaian pupuk dan pestisida kimia yang
terus menerus menyebabkan tumpukan residu yang melebihi daya dukung
lingkungan yang jika tidak terurai akan menjadi “racun tanah” dan tanah
menjadi “sakit”. Akibatnya mikroba pengendali keseimbangan daya dukung
kesuburan tanah hilang. Ketidak-seimbangan mineral tanah memacu
munculnya mutan-mutan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang
kontra produktif. Di lahan bukaan baru transmigrasi fenomena yang sering
terjadi seperti keracunan tanaman akibat ketidakseimbangan unsur hara dan
terbukanya zona akumulasi logam berat di lapisan sub soil, pH rendah, miskin
bahan organik merupakan permasalahan penghambat produksi tersendiri.
Upaya yang harus dilakukan adalah melakukan Soil Management
untuk mengembalikan kesuburan tanah. Memasukkan berbagai jenis mikroba
pengendali yang mempercepat keseimbangan alami dan meningkatkan bahan
organik tanah yang diikuti dengan pemberian pupuk yang jenis dan jumlahnya
tepat serta berimbang dan teknik pengolahan tanah yang tepat merupakan
langkah yang tepat untuk memulihkan produktivitas pertanian Indonesia.
Telah diketahui bahwa mikro-organisme unggul dan berguna dapat
diintroduksikan ke dalam tanah dan dapat diberdayakan agar mikroba ini
berfungsi mengendalikan keseimbangan kesuburan tanah sebagaimana
mestinya. Selain itu, sekumpulan mikro-organisme diketahui menghuni
permukaan daun dan ranting. Sebagian ada juga yang hidup mandiri, bahkan
dapat menguntungkan tanaman. Prinsip-prinsip hayati yang demikian telah
diungkapkan dalam kaidah-kaidah penerapan Enzim dan pupuk hayati (Bio P
2000 Z).
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 18
4. Membangun Primordia Seed Centre dan Eksplorasi Benih
Eksplorasi potensi genetik tanaman pangan di Indonesia masih belum
optimal dilakukan. Hal ini tampak pada adanya kesenjangan pencapaian hasil
dan produktivitas pertanian Indonesia bila dibandingkan dengan hasil dan
produktivitas pertanian di luar negeri. Di luar negeri, teknologi pemuliaan
telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan mampu menciptakan
berbagai varietas unggul dengan produktivitas tinggi. Penggunaan varietas
unggul di Indonesia seringkali hasilnya di lapangan masih jauh dari harapan.
Penyebabnya adalah masih belum dipahaminya teknik budidaya tersebut di
tingkat petani.
Daerah-daerah sentra produksi yang dibangun transmigrasi pola KTM-
Trans hendaknya memiliki lahan perbenihan yang dapat diharapkan sebagai
penyedia benih. Melalui system pusat perbenihan yang modern benih
unggul akan tersedia. Guna mendapatkan performa hasil maksimal dari
tanaman unggul memerlukan persyaratan-persyaratan khusus “presisi”
dalam budidayanya seperti kesuburan lahan, pemupukan, mengamankan dari
OPT dan/atau perlakuan spesifik lainnya. Hal ini berarti pada tanaman
unggul yang memiliki produktivitas tinggi penerapannya harus dilakukan
bersama kawalan dan menejemen teknologi penyerta dengan baik dan
diterapkan secara paripurna. Untuk hal tersebut petani harus diberikan
dampingan dan memejemen budidaya secara intensif yang berarti harus
melakukan pembinaan dan kawalan budidaya untuk meningkatkan dan
memberdayakan petani dengan sesungguhnya.
Bibit/benih unggul merupakan bagian penting dalam proses budidaya
(on farm) untuk membangun kawasan sentra produksi yang
berkesinambungan. Bibit/benih yang unggul dan bermutu berikut paket
teknologinya menjadi penggerak pengembangan komoditi unggulan dan dapat
menjadi pembatas atau pengendali produksi bahan baku industri lanjut.
Untuk itu sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan perlu dukungan
pemerintah kepada Industri/produsen benih berupa asistensi maupun
fasilitasi berbagai kegiatan pasca panen seperti silo, gudang (cold storage),
processing, dan packaging. Bantuan dan insentif kepada petani juga sangat
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 19
dibutuhkan agar mampu menumbuhkan kondisi kondusif bagi
berkembangnya komoditi-komoditi unggulan di suatu kawasan sentara
produksi. Sistem pembenihan dalam seed centre digambarkan dalam
kerjasama kemitraan inti-plasma transmigrasi dan antar UKM atau kelompok
petani penangkar sebagai berikut:

Daerah
Kawasan
Pengembangan
Pengemba
A: 5 – 10%
Kawasan Pusat ngan B: 5 –
10 %
Produksi
Unggulan I ± 60 -70%
Daerah Kawasan
Penge I N T I 60% Pengemba
mba-
Inti 60%
Pemda + ngan C: 5 –
ngan PRODUSEN
Swasta
10%
E: 5 – PLASMA 40%
10%
Daerah Pengembangan
D: 10 - 20 %

Gambar 1. Pola Seed Centre penyediaan benih kedelai pada


kawasan
sentra pengembangan Produksi daerah
transmigrasi.

Petani plasma berpartisipasi secara berkelompok di lahan seluas 10 –


50 hektar di sekitar lahan inti/pusat benih. Pusat benih inti seyogyanya
dibangun oleh pemerintah bersama swasta dengan proporsi inti : plasma =
60% inti dan 40% plasma dengan kwajiban inti seluas 400 – 600 ha agar
kontinuitas dan kuantitas akan kebutuhan benih terjamin. Dengan demikian
akan dijamin ketersediaan benih sebesar 1.200 ton – 1.800 ton cukup untuk
pengembangan di suatu kawasan sentra produksi on farm seluas 10.000 –
30.000 hektar Satu kawasan KTM.

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 20
D. STRATEGI MENCAPAI SWASEMBADA PANGAN UNTUK
MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL

Melihat kondisi saat ini dan kecenderungan produksi pangan yang


semakin menggantungkan diri kepada impor, maka yang perlu ditekankan
adalah: peningkatan produktivitas melalui penerapan teknologi bio
enzim/hayati organik, perluasan areal pertanian pangan dan optimalisasi
pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya, kebijakan tataniaga kedelai
dan pembatasan impor kedelai, pemberian kredit produksi dan subsidi bagi
petani Kedelai, pemacuan kawasan sentra produksi dan fasilitas pasca panen
serta ketersediaan silo untuk stock pangan sampai tingkat terkecil. Untuk
mewujudkan usaha ini, setiap daerah di Indonesia yang memungkinkan harus
turut mendukung dan memfasilitasi pembukaan lahan pertanian melalui
transmigrasi dengan kemudahan kebijakan di daerah. Untuk itu pemacuan
peningkatan produksi pangan nasional harus ditunjang dengan kesiapan
dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat (petani) dan
infrastrukturnya yang dijadikan sebagai kebijakan ketahanan dan
kemandirian pangan nasional.
Terdapat 30 – 50 juta hektar lahan kering di Indonesia yang dapat
dimanfaatkan untuk lahan cadangan pangan. Meskipun pola pertanaman
tidak semaksimal lahan irigasi, dari luasan tersebut diperkirakan secara
potensial masih mampu menyumbangkan 20% – 35% luasan untuk
produksi tanaman pangan (kedelai/palawija). Lahan tersebut antara lain
perkebunan tembakau, perkebunan tebu, replanting perkebunan Sawit,
replanting Hutan Tanaman Industri dll. Diperlukan program yang serius
gerakan pertanian pangan berteknologi dan pendampingan untuk pemerintah
dapat memacu produksi pangan khususnya kedelai sebagai program
Ketahanan Pangan berskala Nasional.

1. Pencanangan Target Produksi Nasional Menuju Swasembada


Masalah penyediaan pangan untuk penduduk harus dipandang secara
utuh, bukan sekedar dinilai secara untung rugi saja tetapi lebih jauh dicermati
pada aspek politik dan sosialnya karena ketahanan, kemandirian dan
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 21
keaulatan pangan harus merupakan bagian dari ketahanan nasional.
Menempatkan pangan sebagai bagian menempatkan kepentingan
rakyat, bangsa dan negara serta rasa nasionalisme untuk melindungi,
mencintai dan memperbaiki produksi pangan lokal harus terus dikembang-
majukan. Pertanian pangan hendaknya jangan dipandang sebagai lahan untuk
menyerap tenaga kerja atau petani dikondisikan untuk terus memberikan
subsidi/penopang bagi pertumbuhan ekonomi sektor lain seperti dengan
kenyataan nilai jual hasil panen harus rendah dan biaya sarana produksi untuk
tanam terus melambung. Tetapi seharusnya petani pangan mendapatkan
prioritas perlindungan oleh pemerintah melalui harga jual yang layak dan
mendapat subsidi produksi karena petani membawa amanah bagi ketahanan
pangan; petani perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak. Dalam hal ini
adalah wajar jika pemerintah berpihak kepada petani dan pelaku produksi
pertanian pangan karena merupakan golongan terbesar dari masyarakat
Indonesia, penyerap 45 % lapangan kerja di Indonesia.
Impor yang menonjol sebagai solusi instant untuk mengatasi
kekurangan produksi pangan justru membuat petani semakin terpuruk dan
tidak berdaya atas sistem pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas.
Akibat over supplied pangan dari impor seringkali memaksa harga jual hasil
panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya
sehingga petani terus menanggung kerugian. Oleh karena itu dalam kurun
waktu satu dasa warsa ke depan Indonesia harus mampu mandiri dalam
memenuhi kebutuhan padi, jagung dan kedelai bagi masyarakatnya.
Keragaan pemacuan produksi dan pengurangan impor pangan yang rasional
pada tabel 2 dan Tabel 3.
Keragaan dalam Tabel 2 dan Tabel 3. secara akademis adalah ideal
untuk dapat dicapai, tetapi bisa jadi pencapaian swasembada lebih cepat
tercapai jika pemerintah menerapkan skim yang sinergi antara penambahan
luas areal tanam dengan laju pertumbuhan seperti di atas (yaitu untuk padi 2
% per tahun, kedelai 14% - 18% per tahun) diikuti paket teknologi peningkatan
produktivitas padi dari 4,5 ton/th menjadi 5,5 ton/ha; jagung dari 4,4 ton/ha
menjadi 6 ton/ha; kedelai dari 1,28 ton/ha menjadi 2,5 ton/ha sebagai rata-
rata nasional.
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 22
Tabel 2. Proyeksi Kebutuhan, Target Capaian Produksi dan Impor
Padi (beras) Dalam Rangka Mandiri Padi Nasional

KEBUTUHAN TARGET LAJU


JUMLAH PANGAN PRODUKSI PENINGKATAN IMPOR
PANGAN PRODUKSI KONVERSI
TAHUN PENDUDUK POKOK NASIONAL (SEHARUSNYA) NAS. PADI
(Jiwa) (ton/th) (Ton/th) PER TAHUN (ton)
2000*) 210,485,600 52,055,390 49,429,613 2,625,777
2001*) 213,642,884 52,064,586 49,144,586 (0,57) 2,920,000
2002*) 216,847,527 52,078,800 50,078,000 1,80 2,000,800
2003*) 220,100,240 52,755,824 50,984,412 1.81% 1,771,413
2004 223,401,744 53,547,162 51,912,328 1.82% 1,634,834
2005 226,797,450 54,361,079 52,862,324 1.83% 1,498,755
2006 230,290,131 55,198,239 53,834,990 1.84% 1,363,249
2007 233,905,686 56,064,852 54,847,088 1.88% 1,217,763
2008 237,648,177 56,961,889 55,944,030 2.00% 1,017,859
2009 241,450,548 57,873,279 57,090,883 2.05% 782,397
2010 245,313,756 58,799,252 58,284,082 2.09% 515,170
2011 249,238,777 59,740,040 59,508,048 2.10% 231,992
2012 253,226,597 60,695,881 60,757,717 2.10% -61,836
2013 257,278,223 61,667,015 61,972,871 2.00% -305,856
2014 261,394,674 62,653,687 62,964,437 1.60% -310,750
2015 265,576,989 63,656,146 63,971,868 1.60% -315,722
2016 269,826,221 64,674,644 64,995,418 1.60% -320,774
2017 274,143,440 65,709,439 66,035,345 1.60% -325,906
2018 278,529,735 66,760,790 67,091,910 1.60% -331,121
2019 282,986,211 67,828,962 68,165,381 1.60% -336,419
2020 287,513,990 68,914,226 69,256,027 1.60% -341,801
2021 292,114,214 70,016,853 70,364,123 1.60% -347,270
2022 296,788,042 71,137,123 71,489,949 1.60% -352,826
2023 301,536,650 72,275,317 72,633,788 1.60% -358,472
2024 306,361,237 73,431,722 73,795,929 1.60% -364,207
2025 311,263,017 74,606,629 74,976,664 1.60% -370,034
KETERANGAN :
*) = SUMBER DATA DIOLAH DARI BPS 2002-2003, dan DATA STATISTIK DEPTAN

Namun dalam menciptakan pertumbuhan tersebut tidaklah sederhana


dan mudah. Untuk mencapai angka laju pertumbuhan seperti dalam tabel 2.
dan 3. diperlukan keseriusan yang luar biasa khususnya bagi pihak
pemerintah dan para pelaku bisnis pangan karena meningkatkan laju
pertumbuhan produksi sebesar 14 % - 18 % pertahun pada kedelai misalnya
memerlukan rangsangan-rangsangan insentif seperti penyediaan benih dan
subsidi teknologi kepada petani produsen kedelai dan regulasi pertanian
kedelai. Jika hal ini dapat dicapai dan di laksanakan maka Indonesia dalam
waktu dekat dapat mandiri kedelai. Hanya dengan regulasi dan kebijakan
yang tegas dan ”berani” dari pemerintah dalam mengatur dorongan
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 23
budidaya dan tataniaga kedelai, Indonesia dapat kecukupan pangan dan tidak
perlu lagi Impor mengingat teknologi produktivitas yang tepat telah ada,
ketersediaan lahan pengembangan dan pasar di dalam negeri berpotensi
mendukung.

Tabel 3. Proyeksi Kebutuhan, Target Capaian Produksi dan Impor


Kedelai
Dalam Rangka Mandiri Kedelai Nasional

T Jumlah Konsumsi Target Pertumbu


ahun Penduduk Nasional Produk han Impor
(Jiwa) 1) (ton) 2) si Nas. Produksi/t (ton)
(ton) h (%) 3)
2000 210,485,6 2,295,319 1,017,63 (8,71) 1,277,68
00 4 5
2001 213,642,8 1,963,351 826,932 -18.74 1,136,41
84 9
2002 216,847,5 2,355,540 743,272 -10.12 1,612,26
27 8
2003 220,100,2 2,417,997 671,600 -9.64 1,502,60
40 1
2004 223,401,7 2,460,312 723,483 7.73 1,450,30
44 1
2005 226,752,7 2,497,217 797,135 10.18 1,700,08
70 2
2006 230,154,0 2,534,675 885,000 11.02 1,649,67
61 5
2007 233,606,3 2,572,695 1,008,90 14.00 1,563,79
72 0 5
2008 237,110,4 2,611,285 1,160,23 15.00 1,451,05
68 5 0
2009 240,667,1 2,650,455 1,345,87 16.00 1,304,58
25 3 2
2010 244,277,1 2,690,212 1,581,40 17.50 1,108,81
32 0 1
47,941,28 2,730,565 1,866,05 18.00 864,512
2011 9 2
51,660,40 2,771,523 2,201,94 18.00 569,581
2012 8 2
255,435,3 2,813,096 2,576,27 17.00 236,824
2013 14 2
59,266,84 2,855,293 2,988,47 16.00 -133,183
2014 4 5
263,155,8 2,898,122 3,436,74 15.00 -538,625
2015 47 7
2,941,594 3,952,25 15.00 -
267,103,1 9 1,010,66
2016 85 5
Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 24
Keterangan:
1)
Rata-rata peningkatan jumlah penduduk = 1,5 %/tahun (BPS).
2)
Rata-rata konsumsi kedelai =8, 54 kg/kapita/tahun (Deptan).
3)
Laju pertumbuhan peningkatan produksi dalam negeri 14 % - 18 %.

Dalam menunjang program ini pemerintah dapat menetapkan sistem


kuota produksi di tiap-tiap kabupaten di Indonesia, serta memacu
pertumbuhan kawasan produksi sebagai penyangga yang memiliki tingkat
kesesuaian dan luasan pengembangan paling besar. Hakekat ketahanan
pangan adalah mandiri dan kecukupan pangan dari unit lingkup terkecil yang
dalam strata administratif adalah desa, dan dalam lingkup kawasan daerah
adalah Kabupaten, maka sebagai simulasi jika di tiap Kabupaten di Indonesia
(misalnya dari 300 Kabupaten) memiliki pengembangan produksi seluas rata-
rata 4000 ha/tahun maka akan tercapai luasan tanam 1,2 juta hektar/tahun,
yang berarti hasil produksinya akan cukup memenuhi kebutuhan di dalam
negeri
Mengingat bahwa Pangan adalah komoditas strategis maka
pengembangannya tidak dapat dilepas begitu saja kepada para petani. Oleh
karena itu harus ada penekanan produksi dari pemerintah sehingga dapat
berjalan, meskipun selanjutnya akan dikerjakan oleh para pelaku swasta.
Trobosan ini harus diupayakan dengan melalui:

1. Meningkatkan produktivitas yaitu dengan penerapan teknologi

produktivitas (menciptakan keunggulan kompetitif),

2. Pengembangan daerah sentra produksi (Keunggulan Komperatif)

3. Dukungan perbenihan kedelai unggul (melalui subsidi research

activities dan pasar benih),

4. Perlindungan pasar opkoop produksi lokal (di daerah) dan jaminan

harga.

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 25
5. Menciptakan Industri Hilir Berkemitraan,

6. Pemberlakuan tarif Bea Masuk Impor 15 – 25 % & mengatur kepada

”Importir – Grower”

7. Stake Holder Insentif bagi petani/produsen yang dikontrol melalui

kelembagaan nasional atau asosiasi.

Simulasi program dan pengembangan dapat dupayakan melalui:


Program Seed Centre dan pengembangan di tiap Kabupaten atau kawasan
KTM dilakukan dengan menyediakan lahan benih 150 - 200 ha untuk
pengembangan lanjut 4000 - 5000 ha. Sedangkan untuk perusahaan
perbenihan Nasional dapat menjadi intinya yang berkemitraan dalam
teknologi, menejemen dan pasar.
Untuk memulai skenario di atas perlu disiapkan petani penangkar
binaan dan lahan perbenihan sebagai penyediaan sumber benih. Untuk
penangkaran binaan (petani plasma) pada kelompok hamparan perbenihan
50 ha dimulai dengan penyiapan swakelola menejemen sumber benih induk;
sebagai contoh asumsi dapat dikembangkan sebagai berikut:

Tabel 4. Skenario Penyiapan Sumber Untuk Luas 50 Ha bagi Petani


Penangkar

Musim Hujan 1 Musim Hujan 2 Musim Kering 1


(Oktb-Des) (Pebruari – (Mei/Juni– Agust)
April)
Sumber Benih
4 Kg
Luas Tanam: Hasil Benih MH 1:
15 Are 80 Kg
Luas Tanam: Hasil Benih MH 2:
2 Ha 2000 Kg
Luas Tanam :
50 Ha

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 26
Simulasi pada kedelai ini misalnya, Kebutuhan biaya dan dampak dari
program upaya kemandirian kedelai nasional dapat digambarkan dalam tabel
5. di bawah ini sbb:

Tabel 5. Seed Centre dan Lahan Pengembangan serta Pembiayaan,


Keuntungan Ekonomis, Penyelamatan Devisa dan Lapangan Kerja
dari Upaya Swasembada Kedelai Nasional.

Sasaran Produksi Sasaran Produksi Sasaran Produksi


KEBUTUHAN 0,85 Juta Ha 1 Juta Hektar 1,5 Juta Hektar
(Skenario 1) (Skenario 2) (Skenario 3)
1. Lahan Seed
Centre (ha) 22.666 ha 26.666. ha 40.000 ha
2. Biaya Seed
Centre (.000) Rp. 125.718.102 Rp. 147.904.302 Rp. 221.856.453
3. Hasil
produksi 34.000 ton 40.000 ton 60.000 ton
Benih (ton)
4. Nilai Hasil Rp. 220.993.500 Rp.259.993.500 Rp.398.990.250
Benih (.000)

5.
3.513.230 HOK 4.155.230 HOK 6.200.000 HOK

Serapa
n Tenaga
Kerja HOK
6. Pengembang
an Luas tan. 850.000 ha 1.000.000 ha 1.500.000 ha
(ha)
7. Biaya Rp. 3.675.400.000 Rp. 4.324.000.000 Rp. 6.486.000.000
produksi
Tanam (000) 1.700.000 ton 2.000.000 ton 3.000.000 ton
8. Hasil 2.125.000 ton 2.500.000 ton 3.750.000 ton
Produksi Nas.
(ton) Rp. 5,95 Trilliun Rp. 7,00 Trilliun Rp. 10,50 Trilliun
Rp. 7.44 Trilliun Rp. 8,75 Trilliun Rp. 13,13 Trilliun
9. Nilai Hasil
Produksi Nas. Rp. 84.362.852 Rp. 99.250.852 Rp. 148.876.278

10.
Keuntungan
Rp. 3,76 Trilliun

117,3 Juta HOK


Rp. 4,43 Trilliun

138 Juta HOK


Rp. 6,64 Trilliun

207 Juta HOK

Benih (.000)

11. Keuntungan
Pengembang
an
12. Serapan
Tenaga Kerja
HOK
Asumsi :
a. Produktivitas rata-rata 2 - 2,5 ton/ha, Asumsi Kebutuhan benih = 40 kg/ha
b. Harga jual benih produsen kedelai Rp. 6.500,-/kg;
c. Harga jual kedelai konsumsi Rp. 3.500,-/kg
d. Serapan Tenaga Kerja Hari Orang Kerja (HOK) di perbenihan = 155 HOK/Ha.
e. Serapan Tenaga Kerja Hari Orang Kerja (HOK) di on farm (budidaya) = 138 HOK/Ha.

2. Kebijakan Makro Tata Niaga Pangan Nasional


Fasilitasi kebijakan yang memberikan kemudahan patani pangan untuk

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 27
mendapatkan subsidi teknologi, mekanisasi dan fasilitas penunjang budidaya
(seperti infrastruktur untuk pertanian seperti irigasi, transportasi, dan kredit
produksi), perlindungan pasar serta kebijakan impor terbatas diperlukan
untuk kembali menggairahkan pertanian pangan. Dalam hal ini perlu adanya
rencana dan program yang jelas dan sistematis serta komitmen terhadapnya
yang mengikat stake holder khususnya dari pemerintah melalui Departemen
Pertanian dan departemen terkait dalam mewujudkan kemandirian pangan
nasional yang tangguh sebagai keputusan nasional (presiden) yang didukung
oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana di lapangan. Hadirnya
kelembagaan seperti Assosiasi Grower dan kelembagaan pertanian lain seperti
KTNA, HKTI dan lain-lain yang turut memperjuangkan dan mengawal
program kedelai memegang peranan yang penting.
Kebijakan tataniaga khususnya penerapan tarif bea masuk,
pembatasan kuota impor, kebijakan harga panen di tingkat petani
melalui mekanisme penyerapan program dan insentif harga panen
di konsumen dalam negeri perlu di atur sedemikian rupa untuk melindungi
petani. Disamping itu, pemerintah harus melindungi petani dari ancaman
importer dengan adanya fasilitas-fasilitas yang diberikan di masa lalu kepada
importer dari Negara produsen/eksporter seperti: fasilitas kredit Impor dan
“Triple C”, PL-480, LC mundur dan lain-lain.

3. Paket Teknologi Bagian dari Kebijakan Produksi Nasional


Teknologi harus merupakan bagian dari upaya terpadu dalam mencapai
sasaran peningkatan produksi yang efisien dan terencana dalam program
ketahanan pangan. Teknologi akan memberikan efisiensi dan kesinambungan
produksi sehingga perlu “presisi” dalam implementasinya baik di sektor hulu –
proses (on farm) dan hilirnya di dalam system pengelolaan agribisnis yang
merupakan satu kesatuan sistem agribisnis dalam budidaya sebagai berikut:

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 28
Subsidi teknologi menjadi bagian penting dari ketahanan pangan yang
tangguh, oleh karenanya harus mengutamakan teknologi produktivitas yang
ramah lingkungan dan berkesinambungan. Teknologi harus teruji dalam
memberikan kontribusi bagi peningkatan produktivitas, tetapi juga mampu
menjaga kelestarian produksi dan ramah lingkungan atau bersifat organik.
Disamping itu teknologi yang diterapkan harus sederhana, mudah dimengerti
dan dilaksanakan petani sehingga dapat diterapkan di lapangan secara utuh
dan memiliki kawalan/pendampingan di lapangan untuk menjamin
keberhasilannya.
Teknologi Bio Enzim (Bio P 2000 Z) sebagai salah satu contoh, telah
berhasil dikembangkan penerapannya didalam mengatasi sifat-sifat negative
lahan bukaan baru seperti daerah transmigrasi. Di Balai pelatihan transmigrasi
KALTENG aplikasi teknologi ini terbukti membooster produktivitas kedelai
rata-rata 3,4 ton/ha dari hal yang dianggap mustahil sebelumnya pada tanah
yang didominasi pasir kuarsa. Uji coba lanjut yang dilakukan bersama petani
di kebun percobaan dihasilhkan rata-rata dari petak perlakuan sebesar 2,5 - 6,5
ton/ha (telah di ekspose Sinar Tani edisi 17 Maret 1999). Pembuktian teknis
oleh penemunya di lahan masam gambut, sulfat masam dan berpirit di PLG
Kapuas telah teruji sejak tahun 1998-2000, mampu melipatgandakan produksi
lebih dari 250% dari rata-rata setempat. Bahkan di lahan kritis yang memiliki
tipe tanah marginal pasir kuarsa (di Palangka Raya dan UPT Sei Gohong),

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 29
teknologi ini mampu memberikan hasil produksi dengan kisaran hasil
mencapai 3,8 ton/ha jauh lebih tinggi dari hasil cara konvensional (umum
petani) hanya mampu 0,4 - 0,6 ton/ha. Pada tipe lahan sejenis, peningkatan
produksi juga tercapai oleh petani di Gagutur, Barito Selatan (Kalteng).
Hasil produksi Riil dari penanaman bulan Juni 2000 di lahan Gambut PLG
Kapuas Kalteng dan lahan pasang surut bergambut Masuji-Lampung telah
dipanen oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan produksi rata-rata
2,5 ton/ha hingga mencapai 5,1 ton/ha dari penanaman 300 ha yang tersebar di
dua kawasan transmigrasi di atas; dan di Air Kubang Padang, Musi Banyuasin –
Palembang pada lahan pasang-surut mampu menghasilkan 4,2 ton/ha
sementara bila dibandingkan rata-rata umum produksi konvensional di PLG
hanya 0,6 - 0,8 ton/ha. Di Majalengka (2001) BAGAIMANA CARA BUDIDAYA
3,2 – 3,8 ton/ha; potensi di hamparan perak KEDELAI DENGAN TEKNOLOGI BIO
Sumut 3,5 – 5 ton/ha dari rata-rata umum setempat 0,8 – 1 ton/ha serta panen
di Tanjung Morawa-Deli Serdang (Sumut, 21 juni 2001) berhasil di ubin oleh
wakil gubernur mencapai panen dengan hasil 2,58 – 4,16 ton/ha pada varietas
kedelai lokal kipas putih. Untuk kedelai edamame basah, potensi yang
dihasilkan 8 -11 ton/ha dibanding rata-rata umum petani 4 - 5 ton/ha basah
(hasil penerapan di parung-bogor).
Di Jambi (Agustus 2002) di Tanjung Jabung Timur, telah di Panen
Gubernur Jambi hasil rata-rata mencapai 3,5 ton/ha (2,6 ton/ha – 4,6 ton/ha)
dari kedelai uji coba 100 Ha; bahkan untuk Padi pada ujicoba di lahan gambut
masam di UPT sungai rambutan Ogan Ilir (Sumsel, 2006) mampu
menghasilkan padi kering simpan sebesar 7,9 ton/ha. Uji coba maupun uji
komersial lain juga telah dilakukan di daerah-daerah sentra kedelai seperti di
Jawa Timur (1.300 Ha), Jagung di Grobogan Jateng 3000 Ha, di Lombok NTB,
Andonara NTT, Gorontalo, Makassar (Sulsel), Maluku Tengah, Nabire dan
Merauke (Papua) yang semuanya menunjukkan pelipat gandaan hasil yang
nyata. Teknologi yang demikian dipandang perlu untuk di adopsi untuk
mendukung suksesnya KTM Trans yang akan mendukung revitalisasi pangan
nasional dalam ketahanan pangan.

4. Sinergi Revitalisasi Ketahanan Pangan Prioritas KTM Trans


Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah
Transmigrasi 30
Konsepsi paradigma baru transmigrasi untuk mendukung ketahanan
pangan Nasional memandang perlu kesinergian yang saling mendukung lintas
sector di dalam dan antar departemen terkait. Sesuai dengan peraturan
pemerintah tentang Dewan ketahanan pangan dimana semua departemen
pemerintah terlibat dan memiliki tanggung jawab atas ketahanan pangan
nasional, maka Depnakertrans melalui program transmigrasi pola KTM trans
telah merumuskan bahwa program transmigrasi dalam mendukung ketahanan
pangan adalah prioritas.
Implementasi ketahanan pangan bukanlah hal yang sederhana jika
harus melibatkan multi stake holder yang terkait. Sebagai gambaran dalam
implementasi merealisasikan tercapainya swasembada keterlibatan komponen
stake holder yang menunjang digambarkan dalam skema gambar 3.

INVESTOR
ASSOSIAS
I
BURSA
KTM dll
Transmigra
si

Gambar 2. Stake holder yang terlibat dalam Ketahanan Pangan yang


dibangun melaui program trasmigrasi pola KTM Trans

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 31
Dukungan koordinasi program perlu diupayakan melalui pembukaan
lahan baru transmigrasi dengan sasaran 1.000.000 ha sebagai strategi
swasembada pangan untuk mendukung ketahanan pangan Naional.
Transmigrasi pola KTM Trans sebagai bagian utama ekstensifikasi pertanian
pangan perlu di dukung oleh lintas sector stake holder terkait terutamanya
komponen system pembiayaan, sarana produksi, teknologi dan kawalannya
serta fasilitas kebijakan dalam konsep hulu-hilir diilustrasikan sebagaimana
dalam skema gambar 3. berikut:

KETAHAN
AN
PANGAN

KONSO
RSIUM

KTM Trans

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 32
Gambar 3. Keterkaitan lintas sektor dalam penyediaan biaya, sarana produksi,
teknologi, infrastruktur serta sektor pendukung lain pembangunan
kawasan sentra produksi pangan di KTM Trans.

Membangun Ketahanan Pangan Nasional melalui Revitalisasi Pertanian Daerah


Transmigrasi 33

You might also like