You are on page 1of 55

EVALUASI DAN PENGEMBANGAN DISAIN

KAPAL POLE AND LINE DI PELABUHAN DUFA-DUFA


PROVINSI MALUKU UTARA
Umar Tangke
UMMU-Ternate, Email: khakafart@yahoo.com

ABSTRAK

Pembuatan kapal secara tradisional umumnya tidak didasari pada


perencanaan dan perhitugan hidrostatis sehingga dalam pembuatannya
selalu ada perubahan karakteristik pada bentuk kapal. Sama halnya
dengan pembuatan kapal, penentuan besarnya pompa mengail juga tanpa
melalui perhitungan mengenai daya yang akibatnya sistim penyemprot
tidak bekeja dengan baik, oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk
mengevaluasi bentuk disain, serta menghitung besarnya daya yang
dibutuhkan untuk pompa mengail pada kapal tipe pole and line di
Pelabuhan Dufa-dufa Provinsi Maluku Utara. Hasil Penelitian
menunjukan kapal sampel pole and line yang berada di Pelabuhan
Dufa-dufa Provinsi Maluku Utara mempunyai nilai rasio perbandingan
L/D dan L/B dan nilai koefisien bentuk kapal sudah sesuai dengan
standar nilai yang ideal, tetapi nilai rasio perbandingan B/D pada kapal
sampel tidak sesuai dengan standar nilai yang ideal untuk kapal ikan
jenis pole and line, dan dilihat bahwa penentuan pompa mengail pada
kapal sampel biasanya tidak sesuai karena daya yang dibutuhkan sesuai
dengan perhitungan adalah 1,61 KW tetapi daya pompa yang digunakan
melebihi yaitu dengan kisaran 1,7 - 3,7. Hal ini berpengaruh terhadap
penyemprotan air pada saat operasi penangkapan atau penyemprotan
untuk pengelabuan tidak sempurna.

Kata Kunci : Pole and line, Hidrostatis.

I. PENDAHUUAN sebelah baratdaya Sumatra Selatan, Bali,


1.1. Latar Belakang Nusa Tenggara dan Laut Banda, Laut
Indonesia adalah negara kepulauan, Maluku dan Laut Halmahera (Dahuri, 2001).
yang memiliki ± 17.508 pulau dengan luas Propinsi Maluku Utara merupakan
laut teritorial 0.366 juta km2. perairan wilayah kepulauan yang terdiri dari 395 buah
Nusantara 2.8 juta km2 dengan Zona pulau besar dan kecil, sebanyak 64 pulau
Ekonomi Eksklusif (ZEE) 2.7 juta km2 yang dihuni dan 331 pulau yang tidak
sehingga total luas keseluruhan perairan 5.8 dihuni, dengan luas daratan 31.814,36 Km2
juta km2. Perairan laut yang luas ini (22%) yang tersebar di atas perairan seluas
mengandung berbagai jenis ikan yang 108.441 Km2 (78%), sehingga luas wilayah
merupakan sumber pangan dan komoditi seluruhnya 140.256,36 Km2. Berdasarkan
perdagangan. Jenis ikan pelagis merupakan hasil penelitian Badan Riset Dep. Kelautan
janis ikan yang sangat potensial untuk dan Perikanan, dan Komisi Nasional Stock
dikembangkan. Khusus untuk ikan pelagis Assessment, wilayah perairan Maluku Utara
besar lebih didominasi oleh tuna (Thunnus berada dalam wilayah pengelolaan Laut
spp) dan cakalang (Katsuwonus pelamis). Seram dan Laut Maluku dengan jumlah
Potensi tuna dan cakalang diperairan potensi sumberdaya ikan (standing stock)
Indonesia adalah ± 780.040 ton. Ikan jenis yang diperkirakan mencapai 1.035.230,00
ini banyak ditangkap dilaut-laut dalam antara ton dengan jumlah potensi lestari (Maximum
lain : di perairan sebelah selatan Jawa, Sustainable Yield, MSY) yang dapat
dimanfaatkan sebesar 828.180,00 ton/tahun 1.2. Tujuan dan Kegunaan
terdiri dari, ikan pelagis 621.135,00 Penelitian ini bertujuan untuk
ton/tahun yang terdiri dari Tuna, cakalang, mengevaluasi dan mengembangkan kapal
tongkol, cucut, tenggiri dan jenis ikan pelagis perikanan tipe pole and line dari segi disain
kecil. Jumlah yang dieksplorasi tersebut kapal, serta menghitung besarnya daya
diatas menunjukan bahwa perlu adanya pompa mengail yang sesuai untuk pompa
upaya untuk peningkatan penangkapan tersebut.
untuk pemanfaatan MSY yang ada. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
Eksploitasi potensi perikanan sangat menjadi suatu masukan bagi pengusaha
tergantung pada tiga hal yaitu ; (1) penentuan khususnya yang bergerak dalam bidang
daerah penangkapan ikan yang tepat, (2) penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus
penggunaan unit, alat dan metode pelamis) serta kepada PEMDA setempat
penangkapannya, (3) Pemakai tenaga kerja dalam membuat suatu disain kapal
yang terampil, (Ayodhyoa, 1972). penangkapan ikan khususnya pole and line
Usaha penangkapan ikan merupakan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan
usaha yang beresiko tinggi sebab sumberdaya perikanan didaerah tersebut
kegiatannya dilakukan dilaut, sehingga untuk pada masa yang akan datang.
mengurangi resiko kerja dilaut agar manusia
nyaman bekerja dilaut maka perlu adanya II. METODE PENELITIAN
pengetahuan tentang teknologi perkapalan 2.1. Waktu dan Tempat
yang baik, karena kapal merupakan sarana Kegiatan penelitian telah dilaksanakan
dan tempat berlindung bagi manusia di laut. pada bulan November sampai Desember
Pencapaian optimalisasi usaha 2008, bertempat di Pelabuhan Dufa-dufa
penangkapan ikan, khususnya cakalang Provinsi Maluku Utara.
(Katsuwonus pelamis), sangat bergantung
pada armada penangkapan dengan disain 2.2. Bahan dan Alat
kapal serta alat bantu penangkapan yang Bahan dan alat yang digunakan pada
memadai. penelitian ini adalah dua unit kapal tangkap
Seperti diketahui bahwa hampir 85 % kapal tipe Pole and Line, tabel offset, meteran rol,
penangkap yang beroperasi diperairan penggaris, water pas, tali kasur, dua buah
Indonesia adalah milik rakyat serta pada tongkat kayu/bambu, pendulum, kertas untuk
umumnya kapal-kapal tersebut dibuat dengan menggambar, alat tulis menulis, meja gambar
mengandalkan keahlian secara turun- serta satu unit komputer untuk pengolahan
temurun, artinya kapal-kapal tersebut data dan perhitungan hidrostatik kapal.
dibangun berdasarkan pengalaman tanpa
perhitungan-perhitungan yang pasti 2.3. Metode Penilitian
sebagaimana layaknya pembuatan kapal Metode pengambilan data yang
secara modern. Pembuatan kapal secara dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan
tradisional biasanya tidak didasari pada melakukan pengukuran langsung terhadap
perencanaan dan perhitugan yang jelas seluruh ukuran-ukuran utama kapal Pole and
sehingga dalam pembuatannya selalu ada Line, wawancara dengan nakhoda dan ABK
perubahan karakteristik pada bentuk kapal. kapal untuk pengambilan data motor
Sama halnya dengan pembuatan kapal, penggerak dan pompa mengail serta hal-hal
penentuan besarnya pompa mengail juga yang berhubungan dengan penelitian.
biasanya tampa perhitungan mengenai daya Selanjutnya untuk pelaksanaan
sehingga seringkali sistim penyemprot tidak metode pengambilan data untuk
bekeja dengan baik, sehingga penelitian ini mendapatkan aspek teknik kapal, maka
dilakukan untuk mengevaluasi bentuk disain, dilakukan pengukuran seluruh besaran utama
serta menghitung besarnya daya yang kapal yakni :
dibutuhkan untuk pompa mengail pada kapal a. Pengukuran posisi badan
tipe pole and line di Pelabuhan Dufa-dufa kapal tegak dan horizontal
Provinsi Maluku Utara. menggunakan water pass
yakni luas kapal ditempatkan
pada posisi horzontal dan
garis lunas sebagai base line. Sjahrun (1988) yaitu :
b. Pengukuran untuk − Panjang dengan lebar
mendapatkan data ukuran = L/B
utama kapal dilakukan − Panjang dengan dalam
pengukuran terhadap ukuran = L/D
utama kapal yang terdiri dari: − Lebar dengan dalam
− Panjang = B/D
keseluruhan (LOA) B. Menghitung Gross Tonage kapal
adalah panjang dengan formulasi Nomura dan
badan kapal Yamazaki (1975) yaitu :
maksimum yang GT = L. B. D. Cb . 0,353
diukur dari ujung
Keterangan :
buritan sampai
GT = Gross tonage (Ton)
ujung haluan. L = Panjang kapal (m)
− Panjang pada garis B = Lebar kapal (m)
air (LWL) adalah D = Tinggi kapal (m)
jarak antara titik Cb = Koefisien block
potong garis air 0,353 = Volume muatan (metrik
bagian depan kapal = 1 m3 (ton))
dengan bagian C. Menghitung kecepatan kapal
belakang kapal. maksimum dengan formulasi
− Panjang garis tegak Nomura dan Yamazaki (1975) yaitu
lurus (LPP atau LBP) :
adalah jarak antara
AP dan FP.
− Lebar maksimum
(B) adalah lebar Keterangan :
maksimum pada c =
Admiralty coefficient (60 – 100) ;
tengah kapal yang 80.
diukur dari kulit ∆ = Displacement tonage (ton)
lambung kapal dari IHP = Indicate horse power
samping kiri IHP = BHP / 0,80
lambung kapal ke BHP = Brake horse power
samping kanan. D. Menghitung Volume displacement
− Tinggi kapal (D) tonnage kapal dengan formulasi
adalah tinggi yang Nomura dan Yamazaki (1975) yaitu
diukur dari bagian :
bawah pelat deck ∆ = L. B. d Cb γ
pada sisi tengah Keterangan :
kapal hingga garis ∆ = Displ. tonnage (ton)
geladak diukur L = Panjang kapal (m)
ditengah-tengah B = Lebar kapal (m)
panjang kapal. d = Draft kapal (m)
− Sarat (d) adalah Cb = Koefisien block
jarak dari dasar γ = BJair laut = 1,025
kapal hingga garis E. Menghitung Koefisian block kapal
air yang diukur dengan formulasi Nomura dan
pada tengah kapal. Yamazaki (1975) sebagai berikut :

2.4. Analisis Data Cb =
L. B. d
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah : Keterangan :
A. Menghitung nilai ratio ukuran utama Cb = Koefisien block
kapal dengan formulasi L = Panjang kapal (m)
B = Lebar kapal (m) Tamaela (1991) :
d = Draft kapal (m)
∇ = Displ. volume
F. Menghitung koefisien penampang
tengah (Cm) kapal dengan formulasi Keterangan :
Nomura dan Yamazaki (1975) yaitu ηp = Efisiensi pompa mengail
: berkisar antara 0,50 – 0,90
diambil 0,50

Cm = γ = massa jenis air laut = 1,025
B. d Q = Kapasitas aliran
atau dapat dihitung dengan Dihitung dengan formulasi Tahara dan
menggunakan rumus pendekatan Sularso (1986) yaitu :
untuk koefisien penampang tengah Q = A . V
(Cm) kapal formulasi Phoels (1973) A = Luas penampang pipa berbentuk
yaitu : cincin (m2)
A = π/4 . D2 (m2)
Cb = 0,08. Cb + 0,93 V = kecepatan aliran dalam pipa
Keterangan : Berkisar antara 2 – 2,5 m/det
Cm = Koefisien midship diambil 2,5 m/det.
B = Lebar kapal (m) H = Kerugian total pada pompa
d = Draft kapal (m) Kerugian total pada pompa dihitung
AΦ = Daerah pada bagian dengan formulasi Ibid dalam Sularso dan
tengah kapal dibawah Tahara (1983) yaitu :
garis air H = ha + hp + h1 + (V2 / 2.g)
Cb = Koefisien block Keterangan :
G. Menghitung koefisien prisma (Cp) ha = head statis total pompa = 4,50
menurut formulasi Nomura dan hp = perbedaan head tekanan yang bekerja
Yamazaki (1975) yaitu : pada kedua Permukaan zat cair = 0
∇ C . L. B. d C V = Kecepatan aliran air dalam pipa
Cp = = b = b = 2,5 m/det
AΦ. L Cm . B d L Cm g = Percepatan gravitasi = 9,81 m/det2
H. Menghitung koefisien penampang h1 = Berbagai kerugian pada pipa yang
garis air (Cw) dengan formulasi terdiri dari :
Nomura dan Yamzaki (1975) yaitu : 1. hf1 = Tahanan gesek disepanjang
Aw pipa
Cw =
L. B 10,666. Q1,85
hf1 = L
Keterangan : C1,85 D 4,85
Aw = Daerah horizontal pada kapal
yang berada dibawah garis air.
2. hf2 = Tahanan pada ujung masuk
L = Panjang kapal (m) pipa
B = Lebar kapal (m) V2
I. Menghitung luas bidang-bidang hf 2 = f2 ( m)
kapal dengan metode Shimpson 2g
dalam Nomura dan Yamazaki 3. hf3 = Tahanan pada belokan pipa
(1975) yaitu : V2
A = h/3 (1/2 yo + 2 y1/2 + 3/2 y1 + hf 3 = f3 ( m)
2g
4 y2 + 2y3 .... + 2yn-3 + 4yn-2
4. hf4 = Tahanan pada katup
+ 3/2yn-1 + 2yn-1/2 + 1/2 yn)
Keterangan : V2
hf 4 = f4 ( m)
A = Nilai integral dari hasil integral 2g
y dari xo - xn
5. hf5 = Tahanan pada titik
h = L/n
Fn = 1/2, 2, 3/2, 4, 2,... 2, 4, 3/2, 2, 1/2 percabangan
J. Menghitung daya pompa mengail
dengan formulasi Ibid dalam
V2 dengan air laut sebagai media untuk
hf 5 = f5 ( m) kelangsungan hidup umpan yang akan
2g digunakan dalam operasi penangkapan,
Keterangan : bak ini juga merupakan bagian yang
L = Panjang pipa (m) sangat penting oleh sebab itu perlu
C = Koefisien kerugian pipa = 125 mendapat perhatian, yang mana
D = Diameter dalam pipa (m)
kelangsungan hidup dari umpan harus
f2 = Koefisien tahanan masuk ujung pipa
dipertahankan, sehingga sirkulasi air
berbentuk lorong besarnya = 0,45 didalam bak penampung umpan hidup
f3 = Koefisien tahanan pada belokan
tersebut perlu dijaga. Untuk sirkulasi air
pipa = 0,149 kedalam bak dibuat lubang pada dinding
f4 = Koefisien tahanan pada katup putar
kiri kanan bak mengarah kearah
berkisar antara 0,09 – 0,26, belakang untuk memperkecil arus air bila
diambil 0,09
kapal sedang berjalan, sedangkan untuk
f5 = Koefisien tahanan percabangan
air keluar dibuat lubang pada bagian
besarnya adalah 0,35 bawah bak yang mengarah kebelakang
pula.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.4. Instalasi pipa penyemprot air
3.1. Gambaran Umum Kapal Pole and Pipa penyemprot air adalah susunan
Line pipa-pipa air yang berfungsi untuk
Kapal pole and line adalah kapal menyemprotkan air dengan bantuan
ikan yang digunakan khusus untuk pompa. Pipa-pipa ini dipasang pada sisi
menangkap ikan cakalang (katsuwonus kapal (platform) dan terus tersambung
pelamis), kapal jenis ini umumnya dijumpai pada flying deck. Penyemprotan air
pada perairan wilayah timur Indonesia dilakukan apabila kapal telah mendekati
(Sulawesi, Maluku dan Irian). Di Maluku, gerombolan ikan, pada saat
kapal ini dibuat secara tradisional yang pada disemprotkan maka terjadilah percikan-
awal pembuatannya tidak menggunakan percikan air dipermukaan laut. Percikan-
gambar-gambar disain seperti rencana garis, percikan ini berguna untuk menarik
pembagian tata ruang dalam kapal, perhatian ikan serta sekaligus
konstruksi kapal, perhitungan secara ilmiah, melindungi para pemancing dan kapal
tetapi dibuat berdasarkan pengalaman dari dari penglihatan ikan, selain itu manfaat
para pengrajin yang membuat kapal selama dari percikan air ini dapat menghemat
bertahun-tahun (Suruali, 1977). penggunaan umpan hidup.
Sebagai kapal penangkap dengan 3.1.5. Alat tangkap dan alat bantu
tipe alat tangkap pole and line, maka kapal penangkapan
ini dillengkapi dengan konstruksi khsusus Alat tangkap yang digunakanpada adalah
yaitu ; flying deck, platform, bak penampung pole and line atau biasa dikenal dengan
umpan, pipa penyemprot air Tuny (1987 nama huhate. Alat ini digunakan secara
dalam Suruali 1997). perorangan sehingga salah satu faktor
3.1.1. Flying deck yang mempengaruhi suksesnya
Flying deck adalah deck yang dibuat penangkapan adalah ketrampinlan
agak menonjol dibagian haluan kapal individu dari para pemancing, selain
dan merupakan tempat duduk bagi para masalah-masalah lain seperti tersedianya
pemancing. umpan yang cukup, banyak tidaknya
3.1.2. Platform gerombolan ikan didaerah penangkapan
Platform adalah merupakan sayap atau (Subani, 1982). Kemudian lebih lanjut
bagian yang menonjol dari deck kesisi dikatakan bahwa, beberapa keunikan dari
samping kapal, yang fungsinya hampir alat tangkap huhate yaitu bentuk mata
sama dengan flying deck. pancing tidak berkait dibandingkan mata
3.1.3. Bak penampung umpan hidup pancing lainnya. Mata pancing huhate
Kapal pole and line (huhate) dilengkapi ditutupi bulu-bulu ayam atau potongan
dengan bak khusus untuk menaruh tali rafia yang halus agar tidak tampak
umpan hidup selama operasi oleh ikan.
penangkapan. Bak umpan hidup ini diisi Menurut Subani (1982), alat bantu
penangkapan yang umum dipakai dalam penuh. Setelah diperkirakan bahwa jarak
operasi penangkapan dengan pole and antara kapal dengan gerombolan ikan
line adalah yang berfungsi untuk cukup dekat ± 20 m, maka posisi kapal
memikat dan mengelabui ikan, yaitu : terhadap gerombolan ikan, diatur sebagai
a. Umpan hidup berikut :
Fungsi dari umpan hidup adalah sebagai a. Kapal harus
penrik perhatian agar gerombolan ikan memotong arah renang
cakalang tetap berkumpul dan berenang ikan pada lambung kiri
disekitar kapal dengan demikian akan kapal.
mempermudah dalam pemancingan. b. Arah angin dari
b. Spayer bagian buritan kapal
Spayer adalah alat penyemprot air sehingga memudahkan
dengan bantuan pompa, fungsi alat ini pelemparan umpan,
adalah untuk mengelabui ikan agar penyemprotan air
pemancingan dapat berjalan dengan dapat berfungsi penuh
sukses. serta memudahkan
3.1.6. Operasi penangkapan proses pemancingan.
Penangkapan dengan huhate (pole and c. Sebaiknya posisi
line) biasanya ditujukan untuk kapal membelakangi
menangkap cakalang (Katsuwonus matahari.
pelamis), metode yang digunakan dalam Setelah jarak dan posisi kapal dengan
menangkap cakalang yaitu melihat gerombolan ikan sudah tepat, maka
lansung atau mencari gerombolan ikan mulailah umpan dilemparkan kearah
dengan teropong, dengan memperhatikan gerombolan ikan, pada saat itu kapal
tanda-tanda sebagai berikut : mulai bergerak dengan kecepatan 1 − 2
1. Adanya kelompok-kelompok knot dan para pemancing mulailah
burung laut (camar) yang sedang menurunkan alat pancingnya.
menyambar-nyambar permukaan
air laut. 3.2. Evaluasi Teknis Kapal Sampel dan
2. Adanya buih-buih yang muncul Kapal Rancangan
secara tiba-tiba akibat adanya 3.2.1. Ratio perbandingan ukuran utama
gerombolan ikan yang sedang kapal.
bermain pada permukaan laut. Nilai dari perbandingan L/B, L/D,
3. Benda besar (batang kayu) yang B/D, sangat penting dalam membuat atau
hanyut, hal ini sangat mendisain kapal karena nilai-nilai sangat
memungkinkan adanya berpengaruh misalnya :
gerombolan ikan yang turut - L/B mengecil maka
berlindung dibawahnya. kecepatan akan kecil.
4. Adanya ikan-ikan kecil yang - L/D membesar akan ber
berlompat-lompat dipermukaan pengaruh terhadap kekuatan
air laut. memanjang yakni kekuatan
5. Adanya ikan paus, lumba-lumba, memanjang kapal akan
dimana ikan cakalang berenang mengecil.
bersama-sama ikan tersebut, - B/D nilai ini akan
Pengintaian ini dilakukan oleh nakhoda berpengaruh terhadap
melalui tiang agung dan dibantu oleh Stabilitas dan gaya
awak kapal yang mengintai dari atas pendorong bila nilai ini
deck kapal, dengan berpatokan pada besar maka stabilitas kapal
tanda-tanda diatas. Apabila tanda-tanda akan membaik namun gaya
tersebut diatas telah kelihatan maka dorong dorong akan
kapal pole and line bergerak menuju memburuk.
tanda-tanda diatas dengan kecepatan

Tabel 1. Nilai Perbandingan Rasio Ukuran Utama (L/B, L/D, B/D) Kapal Pole and Line
Sampel dan Kapal Rancangan di Pelabuhan Dufa-dufa Provinsi Maluku Utara
Ratio
Ukuran Kapal
Kapal Sampel Pembanding Ayodhyoa (1972)
Utama Rancangan
Kapal
A B
LOA = 18 m LOA = 22.5 m LOA = 21,6 m
L > 20 20 <L< 25 25 <L< 30 30 < L
B = 3.6 m B = 4.5 m B = 4.0 m
D = 2.05m D = 2.56 m D = 2.17 m
L / D 7.23 7.25 7.9 < 9.50 < 10.00 < 10.50 < 11.0
L / B 4.11 4.14 4.34 < 4.60 < 4.80 < 5.00 < 5.50
B/ D 1.76 1.78 2.06 > 2.05 > 1.95 > 11.00 > 1.85
Sumber : Diolah dari data primer.
Keterangan : Kapal sampel A (KM. Sibela Star), Kapal Sampel B (KM. Cakalang 1), Kapal Rancangan (KM. Tohafart)

Tabel diatas menunjukan bahwa kapal 3.2.2. Koefisien Bentuk Kapal.


sampel pole and line yang berada di Pembahasan tentang kapal tidak
Pelabuhan Dufa-dufa Provinsi Maluku Utara terlepas dengan keadaan bentuk kapal itu
mempunyai nilai rasio perbandingan L/D sendiri, dimana untuk pelaksanaan
dan L/B sesuai dengan standar nilai yang perencanaan suatu kapal harus diarahkan
ideal, tetapi nilai rasio perbandingan B/D kepada bentuk lambung kapal yang
pada kapal sampel tidak sesuai dengan diinginkan, apakah lambung kapal bentuknya
standar nilai yang ideal untuk kapal ikan kurus (fine tipe), sedang (good tipe) atau
jenis pole and line. Hal ini akan gemuk. Bentuk-bentuk tersebut sangat
menimbukan pengaruh yang buruk terhadap berhubungan erat dengan koefisien-koefisien
stabilitas kapal dimana stabilitas kapal akan bentuk utama kapal dan berguna untuk
kecil. Kecilnya nilai stabilitas akibat membandingkan karakteristik-karakteristik
perbedaan dari B/D pada kapal tersebut, tertentu dari penampilan kapal tersebut yang
maka akan mengakibatkan sangat juga sangat terkait dengan perubahan-
beresikonya kegiatan penangkapan, apalagi perubahan hydrodinamc yang terjadi pada
pada saat cuaca kurang menguntungkan. kapal tersebut (Gillmer and Johnson, 1982).
Sedangkan kapal rancangan memiliki nilai Tabel berikut ini menunjukan besarnya
perbandingan B/D sudah sesuai dengan nilai koefisien-koefisien bentuk dari
standar yang ideal. kapal sampel yang diukur serta nilai
koefisien bentuk kapal rancangan.

Tabel 2. Nilai Koefisien Bentuk Kapal Pole And Line Sampel Yang Diukur dan Kapal
Rancangan.
Kapal Rancangan Pembanding
Form Coefficient Kapal Sampel
(KM. Tohafart) Traung (1978)
A B
Koefisien Blok (Cb) 0,564 0,568 0,481 0,2 - 0,84
Koefisien Midship (Cm) 0,900 0,720 0,690 0,44 - 0,90
Koefisien Prismatic (Cp) 0,627 0,790 0,697 0,55 - 0,75
Koefisien Waterplane (Cw) 0,804 0,805 0,749 0,72 - 0,80
Sumber : Diolah dari data primer.
Keterangan : Kapal sampel A (KM. Sibela Star), Kapal Sampel B (KM. Cakalang 1), Kapal Rancangan (KM. Tohafart)

Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat artinya bila nilai Cb mengecil maka kapal
bahwa semua nilai kofisien-koefisien bentuk tersebut akan bergerak cepat sedangkan
dari kapal sampel dan kapal rancangan sudah kapal dengan nilai Cb yang besar atau
sesuai dengan standar nilai yang ideal dan mendekati 1,0 merupakan kapal yang
digolongkan dalam kapal dengan bentuk bergerak dengan kecepatan yang lambat.
lambung yang kurus (fine tipe karena Cb
kurang dari 0,5750). Nilai Cb merupakan 3.2.3. Volume Cerena (∇), Displacement
koefisien bentuk lambung kapal yang (∆), Dan GT Kapal Sampel dan
Rancangan.
Faktor lain yang mempengaruhi volume (∆), dan GT dari kapal sangat
pembuatan kapal adalah kapasitas muat dari berkaitan erat dengan dimensi utama kapal,
kapal tersebut. Khusus untuk kapal ikan karena ketiga aspek diatas merupakan hasil
kapsitas muat juga harus bergantung pada perkalian dari dimensi utama kapal dengan
jumlah rata-rata hasil tangkapan tiap trip koefisien berat jenis air laut yang merupakan
karena bila daya muat besar tetapi rata-rata wadah tempat kapal tersebut berlayar.
hasil tangkapan lebih kecil dari daya muat Dimana hasil berat jenis benda yang
maka akan terdapat ruang kosong yang juga terapung diatas air juga harus sebanding
bisa berpengaruh terhadap komponen lain dengan massa air yang dipindahkan oleh
dari kapal itu sendiri misalnya bila daya benda tersebut. Berikut adalah tabel yang
muat membesar berarti Cb kapal akan besar menunjukan besarnya nilai volume carena
pula ini sangat berpengaruh terhadap (∇), displacement volume (∆), dan GT dari
kecepatan kapal. kapal sampel dan kapal rancangan.
Volume carena (∇), displacement

Tabel 3. Nilai Volume Carena (∇), Displacement Volume (∆) dan GT Dari Kapal Sampel Dan
Kapal Rancangan.
Kapal Rancangan
Parameter Kapal Sampel
(KM. Tohafart)
A B
Volume Carena (∇) (m3) 41,15 80,73 54,66
Displacement Volume (∆) (Ton) 42,18 82,38 56,03
GT (Ton) 26,45 51,971 36,75
Sumber : Diolah dari data primer.
Keterangan : Kapal sampel A (KM. Sibela Star), Kapal Sampel B (KM. Cakalang 1), Kapal Rancangan (KM. Tohafart)

3.2.4. Kecepatan Kapal. ikan tetapi kapal pole and line umumnya di
lengkapi dengan bak pendingin yang
Kecepatan maksimal kapal Pole and
menggunakan es sebagai bahan pengawet.
Line sangat berkaitan erat dengan
Pemelihan mesin induk/utama dengan
kemampuan kapal tersebut untuk berangkat
menggunakan biasanya menggunakan insting
ke fishing ground (FG), mengejar
atau perkiraan dan tanpa berdasarkan
gerembolan ikan dan kecepatan maksimal
perhitungan hydrostatis. Ini berakibat pada
juga di butuhkan untuk mengangkut hasil
kecepatan kapal yang biasanya tidak sesuai
tangkapan dari fishing ground ke fishing
dengan yang diinginkan.
base karena pada umumnya ikan cakalang
Tabel berikut merupakan hasil analisis data
(Katsuwonus pelamis) merupakan ikan yang
dari kecepatan kapal sampel dilokasi
daya tahannya sangat kecil serta kapal tidak
penelitian dan kapal sampel yang dirancang.
dilengkapi dengan frezer untuk membekukan

Tabel 5. Nilai IHP dan Kecepatan Kapal Sampel dan Kapal Rancangan.
Kapal Rancangan
Nilai Kapal Sampel
(KM. Tohafart)
A B
IHP (Hp) 106,25 237,5 237,5
V (Knot) 8,9 10 11
Sumber : Diolah dari data primer.
Keterangan : Kapal sampel A (KM. Sibela Star), Kapal Sampel B (KM. Cakalang 1), Kapal Rancangan (KM. Tohafart)

Tabel diatas dapat dilihat bahwa kapal


rancangan mempunyai kecepatan lebih besar
3.3. Motor Bantu
dari kapal sampel, ini dikarenakan nilai Cb
pada kapal rancangan yang lebih kecil dari Motor bantu yang dibutuhkan oleh kapal
kapal sampel sehingga bentuk dari kapal pole line adalah Generator dan pompa.
rancangan lebih langsing dari kapal sampel Generator dibutuhkan untuk memberikan
yang ada pada daerah tersebut. daya listrik untuk instalasi penerangan lampu
navigasi dan sebagai penyedian daya untuk pipa, katup/kran, serta ujung masuk pipa
instalasi ketenagaan yaitu pompa mengail berbentuk corong.
dan pompa sirkulasi untuk bak umpan. Pada
Tabel berikut adalah besarnya daya yang di
pembahasan mengenai motor bantu hanya
butuhkan oleh pompa mengail dan jenis dan
dibatasi pada perhitungan besarnya daya
jenis pompa yang dipakai dan yang sesuai
listrik yang disediakan oleh generator yang
pada kapal sampel serta jenis pompa yang di
disesuaikan dengan besarnya daya pompa
rencanakan untuk di pakai pada kapal
mengail melalui perhitungan komponen pada
rancangan.
instalasi pompa mengail diantaranya instalasi

Tabel 6. Data Daya Pompa Yang Dipakai Oleh Kapal Sampel Serta Penetuan Daya Pompa
Yang Sesuai Dengan Perhitungan Komponen Intalasi Pipa Semprot.
Kapal Rancangan
Data Pompa Kapal Sampel
(KM. Tohafart)
A B
Daya Pompa yang
1,61 1,387 1,817
dihitung (KW)
HEISHIN HEISHIN HEISHIN
Merk daya pompa yang PK - 15D
PK – 15D PK – 15D
dipakai (KW) (1,7 - 3,7)
(1,7 - 3,7) (1,7 - 3,7)
Merk dan daya pompa HEISHIN HEISHIN HEISHIN
yang sesuai PSY – 6G PK – 15D PK – 15D
(KW) (0,5 - 1,6) (1,7 - 3,7) (1,7 - 3,7)
Sumber : Diolah dari data primer.
Keterangan : Kapal sampel A (KM. Sibela Star), Kapal Sampel B (KM. Cakalang 1), Kapal Rancangan (KM. Tohafart)

kapal pole and line di Pelabuhan


Tabel 6 dilihat bahwa penentuan Dufa-dufa Provinsi Mauku Utara
pompa mengail pada kapal sampel B sudah sesuai dengan standar nilai
sudah sesuai tetapi pada kapal sampel A ideal dan tergolong dalam kapal ikan
pemelihan pompa tidak sesuai karena dengan bentuk lambung kurus (fine
tipe), karena Cb kurang dari 0,575.
daya yang dibutuhkan sesuai dengan
perhitungan adalah 1,61 KW tetapi daya 3. Disain kapal rancangan yang tetap
pompa yang digunakan melebihi yaitu mengacu pada standar nilai
perbandingan dimensi utama dan
dengan kisaran 1,7 - 3,7. Hal ini
koefisien block yang sesuai dapat
berpengaruh terhadap penyemprotan air dijadikan sebagai patokan awal
pada saat operasi penangkapan atau untuk perencanaan lanjutan bagi
penyemprotan untuk pengelabuan tidak kapal-kapal pole and line yang akan
sempurna (Tamaela, 1991). dibuat selanjutnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.2. Saran


4.1. Kesimpulan Disarankan agar dalam pembuatan
1. Kapal ikan tipe pole and line yang suatu kapal, terutama untuk jenis kapal ikan
terdapat di Pelabuhan Dufa-dufa tipe pole and line hendaknya disertai dengan
Provinsi Mauku Utara memiliki perencanaan yang matang, dimana yang
standar nilai L/B dan L/D, pada harus diperhatikan adalah aspek utama teknis
umumnya sudah sesuai dengan dan aspek-aspek peubah teknis lainnya yang
standar nilai yang ideal. Tetapi nilai bekerja pada kapal tersebut, sehingga dalam
perbandingan antara B/D (lebar perencanaan dan pembuatannya akan
dengan tinggi) masih sangat kecil menghasilkan suatu bentuk kapal yang ideal
atau tidak sesuai dengan standar untuk kegiatan penangkapan ikan, serta
ideal. Yang pengaruhnya sangat sesuai dengan standar nilai yang ideal yang
besar terhadap stabilitas. telah ditetapkan oleh BKI (Biro Klasifikasi
2. Nilai koefisien bentuk kapal dari Indonesia).
DAFTAR PUSTAKA

Ayodhya, M.Sc, 1972. Kapal-Kapal Prikanan. Institut Pertanian Bogor.

Dahuri, R, 2001. Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan Dalam Rangka Pemulihan
Ekonomi Menuju Bangsa Yang Maju, Makmur dan berkeadilan. Pidato dalam
Rangka Temu Akrab CIVA-FPIK-IPB. Tanggal 25 Agustus 2001. Bogor.

Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1982. Teori Bangunan Kapal I. Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Fyson, J., 1958. Design of Small Fishing Vessels. Fishing News Books Ltd. Farham. Surey.
England.

Iskandar, B. H dan Y. Novita, 1997. Penentun Praktikum Kapal Perikanan. Jurusan


Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Mulyanto, 1988. Defenisi dan Klasifikasi Bentuk Kapal Niaga. Akademi Ilmu Pelayaran
Republik Indonesia. Jakarta.

Nomura, M and T. Yamazaki, 1975. Fishing Techniques I. Japan International Coorperation


Agency. Tokyo Jepang.

Pasaribu, B. P dan M. Imron, 1990. Disain dan Konstruksi Kapal Penangkap Ikan Untuk
Perairan Laut Dalam di Perairan Timur Indonesia. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.

Rumagia, F., 2001. Evaluasi dan Pengembangan Kapal Purse Seine yang di Gunakan di
Perairan Namlea Kabupaten Buru Propinsi Maluku.Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Muslim Indonesia. Makassar.

Sjahrun, T., 1987. Membangun Kapal Penunjang Secara Praktis. Penerbit Ikhwan. Jakarta.

Subani, W., 1982. Penangkapan Cakalang dengan Pole and Line. LPPL. No. 24. Jakarta.

Sularso, Ir dan Haruo Tahara, 1983. Pompa dan Kompresor. PT. Paradaya. Jakarta.
Suruali. N., 1997. Penentuan Daya Motor Induk dan Kapasitas Motor Bantu KM. Zamirun.
Fakultas Teknik Universitas Pattimura Ambon. Ambon.

Tamaela, M.J., Ir.1991. Sistim Dalam Kapal. Fakultas Teknik Universitas Pattimura Ambon.
Ambon.

Tangke, M., 2001. Tinjauan Kecepatan Operasional dari Kapal-kapal Kayu yang Beroperasi
di Perairan Maluku. Fakultas Teknik Universitas Hasanudin. Makassar.

Tuny, J. Ir., 1987. Pengantar Teori Kapal Bagian I, Buoyancy. Fakultas Teknik Universitas
Pattimura. Ambon.

Tuny, J. Ir, 1992. Bouyancy. Pengantar Teori Kapal. Fakultas Teknik Universitas Pattimura
Ambon.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

ANALISIS USAHATANI PADA SISTEM PERTANIAN ALAMI


PADI LADANG DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA
Ranita Rope
Staf Pengajar Fakultas Pertanian UMMU-Ternate

ABSTRAK

Konsep pertanian alami yang dilahirkan oleh Fukuoka seorang professor


mikrobiologi yang berasal dari Jepang pada tahun 1978 dalam bukunya “The
One Straw Revolution, An Introduction to Natural Farming”, sebenarnya adalah
sistem pertanian yang merupakan tradisi pertanian petani dahulu (primitif).
Disadari memang total produksi yang dicapai sangat rendah, tetapi apakah
sudah sesuai dengan data di lapangan dan seperti apa krakteristik sesungguhnya
tentang sistem pertanian alami yang masih dilestarikan tersebut belum pernah
diteliti oleh pihak manapun, bahkan pemerintah daerah juga tidak memberikan
perhatian dalam pengembangannya, karena sering dikecam sebagai sistem
pertanian yang primitif, sia-sia, dan dan tidak sesuai dengan perkembangan
teknologi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan perbedaan
efisiensi teknik dalam penggunaan input terhadap produksi sistem pertanian
alami padi ladang dengan sistem pertanian tidak alami padi sawah, biaya dan
pendapatannya, serta efisien alokatif pertanian alami padi ladang di kabupaten
Halmahera Utara, propinsi Maluku Utara. Metode yang digunakan adalah
deskriptif analisis melalui wawancara pada petani sampel padi ladang
berjumlah 48 orang, dan petani padi sawah berjumlah 17 orang. Fungsi
Produksi diestimasi menggunakan fungsi produksi tipe Cobb-Douglas dengan
alat analisis eviews 4.0, biaya dan pendapatan dengan uji T.Tess Mean Sampel
Independen dengan alat SPSS 12, dan efisiensi alokatif dengan uji t ki dengan
fasilitas exel. Analisis data diperoleh ; 1)Penggunaan jumlah dan jenis input
yang berbeda berpengaruh terhadap tingkat produksi perusahatani;
2)Penggunaan jumlah dan jenis biaya input minimal, menjadikan pendapatan
perhektar pada sistem pertanian alami padi ladang tidak berbeda dengan sistem
pertanian tidak alami padi sawah.; 3)Penggunaan benih pada sistem pertanian
alami padi ladang perhektar menunjukkan sudah efisien alokatif sedangkan
penggunaan tenaga kerja tidak efisien.

Kata kunci: Efisiensi, Pertanian alami, Produksi.

I. PENDAHULUAN dan Kenya (Bergeret, 1977).


Konsep pertanian alami yang Kesadaran pentingnya mengelola
dilahirkan oleh Fukuoka seorang professor sistem pertanian yang berdasarkan kebiasaan
mikrobiologi yang berasal dari Jepang pada setempat, bukan saja disadari dan diselidiki
tahun 1978 dalam bukunya “The One Straw oleh para pakar geografi dan antropologi,
Revolution, An Introduction to Natural melainkan para pakar ekonomi dan pembuat
Farming”, sebenarnya adalah sistem kebijakan mulai menyadari bahwa sistem
pertanian yang merupakan tradisi pertanian pertanian tersebut perlu mendapat perhatian
petani dahulu (primitif), sangat ekonomis penuh (Clarke, 1978). Kabupaten Halmahera
karena meminimalkan penggunaan input. Utara, adalah salah satu wilayah yang masih
Berusahatani alami seperti ini juga dikenal di melestarikan sistem pertanian alami hingga
India dengan istilah Rishi kheti. Di saat ini. Total produksi yang dicapai tahun
beberapa Negara lainnya, pertanian alami 2006 tanaman padi ladang mencapai luas
juga merupakan tradisi sistem pertanian yang panen 1.041 ha dengan produksi sebesar
tetap dikembangkan, misalnya di Hanunoo 1.456 ton. Padi sawah tahun 2006 mencapai
Philipina (Visser, 1984), Tanzania, Rwanda, luas panen 2.492 ha dengan produksi sebesar

11
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

10.424 ton (BPS, 1997). Disadari memang 2.2.1. Fungsi Produksi


total produksi yang dicapai sangat rendah, Dugaan penggunaan jumlah dan jenis input
tetapi apakah sudah sesuai dengan data di yang berbeda berpengaruh dan terdapat
lapangan dan seperti apa krakteristik perbedaan efisien teknik pada produksi
sesungguhnya tentang sistem pertanian alami pertanian alami padi ladang dan pertanian
yang masih dilestarikan tersebut belum tidak alami padi sawah dianalisis dengan
pernah diteliti oleh pihak manapun, bahkan menggunakan fungsi produksi tipe Cobb-
pemerintah daerah juga tidak memberikan Douglas yang ditransformasikan dahulu ke
perhatian dalam pengembangannya, karena dalam bentuk logaritma natural (ln) yang
sering dikecam sebagai sistem pertanian selanjutnya diestimasi dengan OLS, sehingga
yang primitif, sia-sia, dan dan tidak sesuai model persamaannya.
dengan perkembangan teknologi, sehingga
untuk mengetahui apakah sistem pertanian
alami yang dilestraikan tersebut efisien atau
tidak, layak dikembangkan atau tidak, perlu Keterangan :
ada penelitian tentang masalah pertanian ln Q = produksi padi (Gabah kering
alami tersebut. panen=kg)
Secara umum, tujuan penelitian ini A = intersep
X1 = jumlah benih (kg)
adalah untuk mengetahui analisis usahatani
sistem pertanian alami padi ladang yang X2 = jumlah pupuk urea,KCL,TSP (kg)
dilestarikan di Kabupaten Halmahera Utara. X3 = jumlah pestisida (lt )
Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut. X4 = jumlah tenaga kerja (HOK)
1) Mengetahui pengaruh dan perbedaan X5 = luas lahan (Ha)
efisiensi teknik pada penggunaan jumlah X6 = pengalaman responden dalam
input terhadap produksi pertanian alami berusahatani (Tahun)
padi ladang dan yang tidak alami pada Bi = koefisien regresi variabel ( i = 1...6)
padi sawah. d = koefisien dummy
2) Mengetahui perbedaan pendapatan D = Sistem pertanian
usahatani antara pertanian alami padi D = 1, artinya pertanian alami (padi
ladang dan pertanian tidak alami padi ladang)
sawah. D = 0, artinya tidak alami (padi sawah)
3) Mengetahui efisiensi alokatif pada
pertanian alami padi ladang 2.2.2. Pendapatan
Dugaan terdapat perbedaan
II. METODE PENELITIAN pendapatan antara pertanian alami padi
2.1. Waktu dan Tempat ladang dan pertanian tidak alami padi sawah,
Penelitian dilaksanakan di maka digunakan analisis perhitungan
Kabupaten Halmahera Utara, Propinsi pendapatan terlebih dahulu terhadap masing-
Maluku utara, di Desa Wewemo, dan Mira masing sistem pertanian tersebut, dengan
kecamatan Morotai Timur. Pemilihan daerah menggunakan formula sebagai berikut
kecamatan Morotai Timur sebagai daerah
penelitian dilakukan secara purposive NR = TR – TC
sampling, karena didaerah tersebut TR = Py . Y
merupakan persentase terbanyak untuk Keterangan
TC = Total Cost (total biaya ekplisit)
petani yang melestarikan sistem pertanian
TR = Total Revenue (penerimaan total)
padi ladang secara alami, sedangkan NR = Net Return (pendapatan bersih)
pemilihan petani sebagai sampel diawali Py = Harga Produksi
dengan cara sensus (complete enumeration). Y = Jumlah produksi
Diperoleh data jumlah petani padi ladang
berjumlah 48 responden, maka semuanya Setelah dilakukan perhitungan pendapatan
dijadikan sampel. Sampel petani padi sawah pada masing-masing sistem pertanian baik
diambil secara random sebagai pembanding sistem pertanian alami padi ladang dan
berjumlah 17 0rang. sistem pertanian tidak alami padi sawah,
maka dilakukan analisis lanjutan untuk
2.2. Analisis Data

12
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

mengetahui nilai rata-rata perbedaan dengan formula sebagai berikut (Kountur dan
pendapatan antara sistem pertanian tersebut. Usman, 2005).
Analisis yang digunakan adalah analisis uji t
−−
X1 − X 2
t=
2 2
(n1−1)S1 +(n2−1)S2
+nn −2
12


Keterangan:
X1 −
= nelai rata-rata pendapatan petani pertanian alami
X2 padi ladang
= nilai rata-rata pendapatan petani pada pertanian tidak alami padi
sawah
S1 = standar deviasi pendapatan petani pada pertanian alami padi ladang
S2 = standar deviasi pendapatan petani pada pertanian tidak alami padi sawah

2.2.3. Efisiensi Alokatif lebih besar dari nilai hasil produksi


Efisiensi alokatif merupakan perbandingan marginal, tidak akan menguntungkan untuk
nilai produksi marjinal (NPM) dengan biaya menggunakan input berapapun juga. Lebih
input marjinal (MIC) atau harga input (Px). lanjut ditegaskan bahwa ada tiga faktor yang
Sehingga alokasi penggunaan input menjadi syarat yang mempengaruhi tingkat
dikatakan efisien apabila nilai produksi input yang paling menguntungkan
marginal (NPMxi) sama dengan harga diantaranya 1). Harga hasil (PY1), harga
inputnya (Pxi). Lebih lanjut dijelaskan oleh input (PX1) dan hubungan produksi fisik
Bishop dan Tousaint (1979) bahwa jika yang mempengaruhi hasil produksi marginal
seorang produsen (petani) mengetahui harga (ΔY1/ΔX1). Dapat dirumuskan model
input dan daftar nilai produksi marginal, ia matematika sebagai berikut
dapat menentukan tingkat input yang paling (Soekartawi,1994).
menguntungkan. Sebaliknya jika harga input

NPMxi
NPMxi = Pxi atau = = ki = 1
Pxi
apabila :

1). NPMxi > 1 artinya penggunaan input X belum efisien


Pxi

2). NPMxi = 1 artinya penggunaan input X efisien


Pxi

3). NPMxi < 1 artinya penggunaan input X tidak efisien.


Pxi
III. HASIL DAN PEMBAHASAN varietas lokal dan tenaga kerja. Apakah
3.1. Fungsi Produksi jumlah dan jenis input minimal merupakan
Pemahaman bahwa kegiatan usahatani input optimal dalam memberikan pengaruh
adalah suatu kegiatan yang tergantung pada terhadap produksi maksimal? perlu
penggunaan input. Untuk dapat dilakukan pembuktian terhadap penggunaan
menghasilkan output maksimal maka harus input tersebut. Nilai pembanding yang
diikuti dengan penggunaan input optimal. mestinya adalah padi ladang yang
Sistem pertanian alami padi ladang yang menggunakan teknologi modern, karena
dilestarikan di Morotai Timur adalah sistem petani di daerah Morotai tidak ada yang
pertanian yang mengandalkan input minimal. melakukannya, maka dibandingkan dengan
Input yang digunakan terdiri dari benih padi sawah yang menggunakan input yang

13
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

berbeda dan sangat tergantung pada multikolinearitas, tetapi bebas


teknologi modern. Hasil penelitian telah diuji heteroskedastisitas dan autokorelasi (lihat
dengan menggunakan alat analisis eviews lampiran1.1, 1.2 dan 1.3). Keterbatasan data
4.0, dan hasil analisis menunjukkan bahwa sehingga analisis dibiarkan mengandung
model yang digunakan mengandung multikolinearitas.
Tabel 5. 1. Analisis Regresi Fungsi Produksi
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1.9172 1.2644 1.5163 0.1350
Benih(x1) 1.4536*** 0.2580 5.6330 0.0000
Pupuk(x2) 0.0620ns 0.0487 1.2742 0.2077
Pestisida(x3) 0.3608ns 0.3949 0.9137 0.3647
Tenaga Kerja(x4) 0.2508* 0.1454 1.7249 0.0900
Luas Lahan(x5) -0.7848*** 0.2709 -2.8963 0.0053
Pengalaman(x6) 0.0314ns 0.0299 1.0465 0.2997
DUMMY 0.7997ns 0.4942 1.6182 0.1111
R-squared 0.8284 Mean dependent var 8.4462
Adjusted R-squared 0.8073 S.D. dependent var 0.3972
S.E. of regression 0.1744 Akaike info criterion -0.5405
Sum squared resid 1.7330 Schwarz criterion -0.2729
Log likelihood 25.5656 F-statistic 39.3092
Durbin-Watson stat 1.5979 Prob(F-statistic) 0.0000
Sumber: Analisis data primer(2008)
Ket: ***) signifikan α 1%; *)signifikan α 10 %; ns) tidak signifikan

Hasil analisis regresi fungsi produksi menjelaskan penggunaan benih dan tenaga
tabel 5.1. menunjukkan nilai koefisien kerja berpengaruh positif terhadap output
korelasi atau R2 adalah 0,8284, artinya artinya apabila jumlah penggunaan benih
penggunaan jumlah dan jenis input yang ditambah maka total produksi akan
berbeda mampu menjelaskan jumlah bertambah, dan apabila penambahan jumlah
produksi yang dihasilkan pada sistem tenaga kerja maka akan diikuti dengan
pertanian alami padi ladang dan sistem peningkatan produksi. Tetapi koefisien
pertaian tidak alami padi sawah sebesar variabel luas lahan bernilai negatif, artinya
82,84 %, dan 17,16 % dijelaskan oleh faktor jika lahan diperluas maka total produksi akan
lain diluar model. menurun. Hal ini disebabkan karena adanya
Uji F menunjukkan bahwa secara multikolinearitas, yang menunjukkan
keseluruhan penggunaan input baik jumlah korelasi yang sangat tinggi antara variabel
benih, jumlah pupuk, jumlah pestisida, independen jumlah benih, jumlah
jumlah tenaga kerja, luas lahan dan tenaga kerja dan luas lahan. Keterbatasan
pengalaman berusahatani serta sistem dalam menyelesaikan permasalahan
pertanian yang digunakan berpengaruh nyata multikolinearitas dalam analisis tersebut
dan terdapat perbedaan efisiensi teknik sehingga model tetap dibiarkan mengandung
terhadap output karena F hitung (39.31) lebih multikolinearitas. Widarjono (2005)
besar dari F tabel pada taraf kesalahan 1 %. menjelaskan bahwa adanya multikolinearitas
Uji t menunjukkan bahwa hanya jumlah menyebabkan adanya varian yang besar,
benih, jumlah tenaga kerja dan luas lahan tetapi masih menghasilkan estimator yang
yang berpengaruh nyata dan terdapat baik (Best Linier Un Bias). Alasan lainnya
perbedaan efisiensi teknik terhadap output adalah belum tercukupinya tenaga kerja
dan pada taraf kesalahan yang berbeda. untuk mengelolah lahan sehingga bila lahan
Jumlah benih berpengaruh nyata pada taraf diperluas akan menyebabkan tanaman
kesalahan 1 %, Tenaga kerja berpengaruh kurang terpelihara sehingga produksi
pada taraf kesalahan 10 %, dan luas lahan menurun.
pada taraf kesalahan 5 %. Penggunaan pupuk, pestisida, pengalaman
Analisis regresi dengan uji t tersebut berusahatani dan sistem pertanian yang

14
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

digunakan tidak berpengaruh terhadap dihasilkan, sehingga dapat diartikan bahwa


produksi karena nilai probability tingkat baik sistem pertanian alami padi ladang
kesalahan lebih dari 10 %. Dengan demikian maupun pertanian tidak alami padi sawah
sistem pertanian yang berbeda tidak tidak terdapat perbedaan efisiensi teknik.
berpengaruh pada tingkat produksi yang

Tabel 5.2. Penggunaan jumlah dan jenis input per hektar pada produksi pertanian alami
padi ladang dan padi sawah yang tidak alami
Uraian Mean Standar Deviasi t hitung
Padi Padi Padi Padi
Ladang Sawah Ladang Sawah
total produksi (ha) 3.629,65 6.354,44 674,99 2.110,02 -7,96***
jumlah benih (kg) 29,19 35,33 1,76 5,28 -7,09***
jumlah pupuk(kg) 0 127,81 0 258,37 -3,48***
jumlah pestisida(lt) 0 0,68 0 0,27 -15,32***
jumlah tenaga kerja(HOK) 361,18 534,61 51,22 165,35 -6,51***
pengalaman berusahatani(tahun) 16,54 16 11,41 0 0,19ns
Sumber: Analisis data primer(2008)
Ket: ***) signifikan α 1% dan *)signifikan α 10 % , dan ns) tidak signifikan

Perbedaan penggunaan input pada alami padi ladang merupakan sistem


masing-masing sistem pertanian per hektar pertanian yang ramah terhadap lingkungan.
telah menunjukkan bahwa keduanya 3.2. Biaya dan Pendapatan Usahatani
memiliki jumlah rata-rata penggunaan input Hasil analisis uji beda biaya dan
berbeda dan terlihat pada tabel 5.2 bahwa pendapatan perusahatani menunjukkan
sistem pertanian alami padi ladang sangat penerimaan kotor (TR) tidak berbeda secara
minimal dalam menggunakan input statistik antara sistem pertanian alami padi
dibandingkan dengan sistem pertanian tidak ladang dengan sistem pertanian tidak alami
alami padi sawah. padi sawah, namun pendapatan bersih(NR)
Sistem pertanian alami yang perusahatani berbeda dengan signifikan pada
mengandalkan benih varietas lokal, jumlah taraf 5%. Pendapatan sistem pertanian
tenaga kerja yang rendah, dan tidak alami padi ladang lebih tinggi daripada
menggunakan bahan kimia menunjukkan pendapatan sistem pertanian tidak alami padi
jumlah produksi yang lebih rendah dibanding sawah. Lebih tingginya pendapatan sistem
dengan sistem pertanian tidak alami padi pertanian alami padi ladang karena total
sawah yang tergantung pada benih varietas produksi perusahatani tidak berbeda nyata
unggul, jumlah tenaga kerja yang banyak, antara keduanya. Hal ini dapat dilihat pada
dan penggunaan jenis bahan kimia seperti tabel 5.3. Luas lahan yang digunakan
pupuk kimia dan pestisida. Sistem pertanian perusahatani pada sistem pertanian alami
tidak alami memberikan produksi yang lebih padi ladang lebih luas dibanding dengan luas
tinggi. Manfaat lingkungan sekalipun tidak lahan yang digunakan pada sistem pertanian
diteliti secara spesifik tetapi dari hasil tidak alami padi sawah. Luas lahan sistem
wawancara dengan petani tentang pertanian alami padi ladang rata-rata 1,34
karakteristik sistem pertanian alami padi hektar perusahatani, sedangkan luas lahan
ladang dijelaskan bahwa petani tidak sistem pertanian tidak alami padi sawah
menggunakan input luar yang mengandung hanya 0,94 hektar perusahatani. Nilai jual
bahan kimia sejak dulu (nenek moyang) gabah kering panen(GKP) kedua sistem
hingga saat ini. Terlihat dalam table 5.2 pertanian berbeda, dan harga jual gabah
bahwa sistem pertanian alami padi ladang kering panen ditingkat petani lebih tinggi
tidak menggunakan pupuk dan pestisida. pada produk padi ladang.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem pertanian

15
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

21 Tabel 5.3. Biaya dan pendapatan perusahatani


Uraian Mean Standar Deviasi t hitung
Padi Ladang Padi Sawah Padi Ladang Padi Sawah
luas lahan 1,34 0,94 0,52 0,47 2,833***
produksi 4.839 5.729 1.895 3.450 -1,322 ns
penerimaan
kotor 15.600.313 12.705.882 6.258.945 9.468.152 1,422 ns
biaya tenaga
kerja 1.656.042 1.442.941 845.006 1.213.053 0,793 ns
biaya saprodi 551.552 1.119.059 222.002 1.899.456 -2,06**
penyusutan
peralatan 24.033 56.812 14.130 17.623 -7,695***
biaya total 2.231.627 2.618.812 1.036.269 2.983.142 -0,784 ns
pendapatan
bersih 13.368.685 10.087.070 5.395.380 6.630.147 2,028**
Sumber: Analisis data primer(2008)
Ket: ***) signifikan α 1%; *) signifikan α 10 %; ns) tidak signifikan

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari nilainya sangat tinggi atau sangat mahal upah
tabel 5.3 terlihat biaya tenaga kerja tidak tenaga kerja pada saat panen yang
signifikan, artinya tidak terdapat perbedaan dikeluarkan petani padi ladang dalam biaya
secara statistik pada biaya tenaga kerja yang tenaga kerja.
dikeluarkan petani antara kedua sistem Apabila ada pemberlakuan upah tunai pada
usahatani tersebut. Hal ini disebabkan oleh upah tenaga kerja pada sistem pertaniana
bentuk pemberian upah yang berbeda antara alami padi ladang, maka ada kemungkinan
kedua sistem pertanian, pada sistem biaya tenaga kerja yang dikeluarkan jauh
pertanian alami pada ladang tidak lebih rendah. karena ada kaitannya dengan
diberlakukan upah tunai, tetapi upah dalam jumlah tenaga kerja luar yang digunakan
bentuk memberi makan pada tenaga kerja perusahatani pada sistem pertanian alami
yang ikut membantu dalam proses lebih sedikit dibanding dengan jumlah tenaga
penanaman dan upah bagi hasil panen pada kerja luar yang digunakan pada sistem
tahapan panen. Upah bagi hasil panen pada pertanian tidak alami padi sawah. Pada padi
tahapan panen dan jumlah pembagian sawah suda diberlakukan upah tunai yang
tersebut apabila dinilai dalam harga jual berlaku sejak awal adanya sistem pertanian
gabah kering panen (GKP=Rp/kg) maka tidak alami padi sawah.
Tabel 5.4. Biaya dan pendapatan perhektar
Uraian Mean Standar Deviasi t hitung
Padi Ladang Padi Sawah Padi Ladang Padi Sawah
Luas Lahan 1 1 .00000(a) .00000(a)
produksi 3.630 6.354 674,98 2.109,98 -7,96***
penerimaan kotor 11.714.618 13.592.699 2.772.407,47 4.769.032,91 -1,96*
biaya tenaga kerja 1.201.927 1.428.406 356.884,79 413.787,62 -2,16**
biaya saprodi 409.758 983.271 50.147,69 1.170.926,69 -3,43***
nilai penyusutan
peralatan 20.782 72.972 15.371,52 36.444,64 -8,16***
biaya total 1.632.467 2.484.649 359.811,21 1.351.857,35 -4,03***
pendapatan bersih 10.082.151 11.108.049 2.697.127,74 3969477,86 -1,18 ns
Sumber: Analisis data primer(2008)
Ket: ***) signifikan α 1%; **) signifikan α 5 %; **) signifikan α 5 %; ns) tidak signifikan

Terlihat pada tabel 5.4 total produksi sehingga penerimaan kotor (TR) perhektar
perhektar pada sistem pertanian alami padi juga berbeda yakni padi sawah lebih tinggi
ladang dan sistem pertanian tidak alami padi dibanding padi ladang. Namun pendapatan
sawah terdapat perbedaan dan signifikan bersih (NR) pada sistem pertanian perhektar
pada taraf kesalahan 1 % dan total produksi tidak berbeda antara kedua sistem pertanian
perhektar lebih tinggi pada padi sawah tersebut. Hal ini disebabkan karena biaya

16
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

total kedua sistem pertanian baik pertanian padi ladang rata-rata perhektar lebih rendah
alami padi ladang dengan pertanian tidak tetapi total biaya yang dikeluarkan sangat
alami padi sawah terdapat perbedaan dan rendah sehingga pendapatan bersih menjadi
secara statistik berbeda pada taraf tidak berbeda antara kedua sistem pertanian
kesalahan 1 %. tersebut, dan pendapatan perusahatani lebih
Biaya total pada pertanian tidak tinggi pada sistem pertanian alami padi
alami padi sawah lebih tinggi dibandingkan ladang
dengan pertania alami padi ladang. Hal ini
3.3. Efisiensi Alokatif
juga terkait dengan jumlah dan jenis biaya
Analisis jumlah penggunaan input
input yang digunakan antara kedua sistem
antara kedua sistem pertanian menunjukkan
pertanian berbeda. Jumlah biaya saprodi dan
tidak terdapat perbedaan efisiensi teknik.
nilai penyusutan alat yang lebih tinggi pada
Lebih lanjut dianalisis penggunaan nilai
pertanian tidak alami padi sawah dibanding
input usahatani padi ladang, apakah tidak
dengan pertanian alami padi ladang,
terdapat perbedaan efisiensi teknik dan
misalnya benih unggul lebih mahal daripada
penggunaan input minimal serta biaya rendah
benih lokal karena benih unggul
juga menunjukkan sistem pertanian alami
didatangkan dari luar daerah. Pada pertanian
padi ladang efisien secara alokatif?
alami padi ladang tidak menggunakan bahan
Hasil analisis yang terlihat pada tabel
kimia seperti pupuk dan pestisida sehingga
5.5 tentang efisiensi alokatif padi ladang
jumlah biaya tersebut tidak dikeluarkan oleh
perusahatani menunjukkan bahwa
petani padi ladang. Secara otomatis beban
penggunaan nilai input berupa jumlah benih
biaya saprodi yang ditanggung juga tinggi
belum efisien secara alokatif. Hasil uji t
oleh petani padi sawah.
menunjukkan nilai t hitung lebih besar dari t
Sekalipun jumlah produksi usahatani
tabel.
Tabel 5.5. Analisis efisiensi alokatif usahatani padi ladang perusahatani
Usahatani Padi Ladang
rata-rata harga ki t hitung
Variabel py/pxi ki-1 se ki

input output
Benih(X1) 8.000 3.219 0,40 79,39 78,39 18,66 4,20ns

Tenaga Kerja(X4) 9.363 3.219 0,34 0,47 -0,53 1,88 -0,28***


Sumber: Analisis data primer(2008)
Ket: ***) signifikan α 1%; ns) tidak signifikan
Agar penggunaan benih efisien Analisis efisiensi alokatif pada penggunaan
alokatif perlu penambahan jumlah yang input perhektar ternyata menunjukkan
sesuai dengan anjuran pemerintah. bahwa penggunaan benih sudah efisien
Penggunaan tenaga kerja pada usahatani padi karena nilai t hitung kurang dari t tabel dan
ladang signifikan pada taraf kesalahan 1%, signifikan pada taraf kesalahan 1%
artinya penggunaan tenaga kerja efisien sebaliknya penggunaan tenaga kerja tidak
alokatif secara statistik. efisien. Hal ini terlihat dalam table 5.6.
Tabel 5.6. Analisis efisiensi alokatif usahatani padi ladang perhektar
Usahatani Padi Ladang
Variabel rata-rata harga py/pxi ki ki-1 se ki t hitung
input output

Benih (X1) 8.000 3.219 0,40 1,55 0,55 0,37 1,49***


Tenaga Kerja (X4) 9.363 3.219 0,34 0,06 -0,94 0,08 -11.97ns
Sumber: Analisis data primer(2008)
Ket: ***) signifikan α 1%; ns) tidak signifikan

Penggunaan tenaga kerja pada sistem pertanian alami padi ladang perhektar

17
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

tidak efisien alokatif dan nilai ki kurang dari merupakan sistem pertanian yang fisibel
satu menunjukkan berapapun jumlah tenaga secara ekonomi.
kerja yang ditambah atau dikurangi tidak
akan mempengaruhi penggunaan tenaga IV. KESIMPULAN
kerja untuk efisien alokatif (Bishop dan Hasil analisis penelitian yang
Tousaint,1979). Penggunaan tenaga kerja dilakukan terhadap analisis usahatani pada
tidak efisien alokatif karena kemungkinan sistem pertanian alami padi ladang
tradisi pemberlakuan upah dengan sistem memberikan beberapa kesimpulan.
memberi makan pada saat penanaman dan 1). Penggunaan jumlah dan jenis input yang
bagi hasil panen saat kegiatan panen maka berbeda berpengaruh terhadap tingkat
perlu ada penelitian yang spesifik pada produksi perusahatani dan tidak terdapat
penerapan upah tunai sistem pertanian alami perbedaan efisiensi teknik antara sistem
padi ladang. pertanian alami padi ladang dan sistem
Secara umum dapat disimpulkan pertanian tidak alami padi sawah.
bahwa analisis usahatani pada sistem 2). Penggunaan jumlah dan jenis biaya input
pertanian alami padi ladang menunjukkan minimal, menjadikan pendapatan
bahwa sistem yang telah diusahakan petani perhektar pada sistem pertanian alami
di daerah Morotai Timur Kabupaten padi ladang tidak berbeda dengan sistem
Halmahera Utara merupakan sistem yang pertanian tidak alami padi sawah.
perlu dijaga kelestariannya, dan perlu Pendapatan perusahatani pertanian alami
dipertahankan keasliannya, serta dapat padi ladang lebih tinggi dibanding
dikembangkan karena dari aspek ekonomi dengan sistem pertanian tidak alami padi
pertanian dengan melihat fungsi produksi sawah.
yang tidak berbeda efisiensi teknik dengan 3). Penggunaan benih pada sistem pertanian
sistem pertanian lain (padi sawah), alami padi ladang perhektar
penggunaan biaya minimal dan pendapatan menunjukkan sudah efisien alokatif
yang menguntungkan serta efisien alokatif sedangkan penggunaan tenaga kerja
pada penggunaan benih perhektar dan tidak efisien.
penggunaan tenaga kerja perusahatani

DAFTAR PUSTAKA

Bareta,J.M. 1917. Halmahera En Morotai, Bewerk near memorie van den Kapitein van den
Generalen Staf, Laporan Encylopedisc Bureau,Nederland.
Bergeret, A. 1977. Sistem Produksi Menurut Pendekatan Ekologis, dalam Metzner, J., dan
Daldjoeni, N.,(eds), Ekofarming, Bertani selaras alam, Yayasan Obor Indonesia
Jakarta., hal: 55.
Bishop, C. E., dan Toussaint, W.D.,1979. Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian,
Diterjemahkan Oleh Tim Fakultas Ekonomi UGM (Wisnuaji, Harsono, dan
suparmoko). Penerbit :Mutiara, Jakarta
Fukuoka, M. 1978. Revolusi Sebatang Jerami; sebuah pengantar menuju pertanian
alami,.Judul asli The One-straw revolution :an introduction to natural farming, alih
bahasa, Yayasan obor Indonesia , Cet.I; Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-
Douglas,Edisi 1, Cet 2,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Visser,L.E. 1984., Mijn Tuin Is Mijn Kind., Een antropologische studie van de droge rijstteelt
in Sahu (Indonesia-Halut)., diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan judul My
Rice Field Is My Child, Social And Territorial Aspect of Swidden Cultivation in sahu,
eastern Indonesia., oleh De Coursey, R., Foris publications Dorrecht-Holland/
Providenc U.S.A.

18
PENGELOLAAN ASPEK LINGKUNGAN SUMBERDAYA
PESISIR BERBASIS SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Arman Drakel
Staf Pengajar Fakultas Pertanian UMMU-Ternate

ABSTRAK

Pengelolaan lingkungan Sumberdaya pesisir yang berhubungan langsung


dengan manusia atau mahluk hidup lain yang ada diwilayah pesisir. Sebab
interaksi manusia atau mahluk hidup lain ditinjau dari aspek daya guna
lingkungan sumberdaya pesisir dari berbagai aspek manfaatnnya diperuntukan
untuk kelangsungan hidup baik aspek ekologis, ekonomi dan sosial masyarakat
yang mendiami wilayah pesisir. Karena pengelolaan sumberdaya pesisir dengan
karasteristik ekologi yang memiliki keanekaragaman jenis dengan
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan sumberdaya yang ada dan
dilakukan secara terpadu dan berkesenambungan, akan mengurangi resiko
ekologi antar kepentingan sosial ekonomi manusia maupun mahluk hidup
lainnya. Sebab aspek kepentingan manusia pemanfaatan sumberdaya pesisir
dengan karasteristik wilayah yang ada tetap berlangsung, akan menguras
keanekaragaman sumberdaya yang ada, baik aspek ekologi, ekosistem, dan
social budaya dan ekonomi masyarakat.

Kata Kunci : Lingkungan, Sumberdaya, Pesisir.

menyusun perencanaan pengelolaan wilayah


I. PENDAHULUAN pesisir, sebab pada umumnya dinamika
Perencanaan pengelolaan wilayah masyarakat pesisir yang berkaitan dengan
pesisir merupakan suatu proses atau upaya pemanfaatan sumberdaya alam sudah banyak
mengendalikan kegiatan manusia yang ditemukan antara satu wilayah dengan
secara tidak langsung dapat menjamin wilayah di Indonesia. Antara lain
keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemanfaatan sumberdaya hutan bakau
masyarakat baik sekarang maupun di masa dikawasan pesisir untuk pertambakan udang
mendatang. Karena fungsi perencanaan di Pantai Utara Kota Indramayu dan Kota
pengelolaan ini harus didasarkan pada hasil Cirebon. Batasan wilayah pesisir dengan
evaluasi aspek ekologi, ekonomi dan sosial berbagai sumberdaya dan tingkat
budaya yang ada di wilayah pesisir. pemanfaatannya berhubungan dengan
Disamping itu kaitan dengan perspektif tipologi masyarakat di wilayah pesisir,
kepentingan kawasan pesisir sebagai sumber permasalahan sosial budaya dan ekonomi
konflik dan arah datangnya ancaman akibat pengembangan wilayah pesisir.
(Siregar, 1996). Peningkatan sumberdaya
alam sebagai produktifitas biologik, II. Pengelolaan Lingkungan Sumberdaya
kawasan pesisir merupakan filter sebagai Pesisir
“Parabolic domain” Karena mengandung Tantangan dalam pengelolaan wilayah
produktifitas yang paling tinggi namun pesisir secara terpadu adalah belum
rentan terhadap tekanan dari darat maupun mendapatkan kesepakatan tentang batasan
laut (Guekorget and Perhuisot, 1992). wilayah pengelolaan berdasarkan
Wilayah pesisir dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Untuk memperoleh
harus dilandasi dengan kebutuhan dan batasan yang tepat dan dapat diterima
dilihat dari kearifan budaya masyarakat berbagai pihak yang terkait membutuhkan
setempat. Jika didalam perencanaan suatu perencanaan dengan kekuatan hukum
pengelolaan kawasan pesisir tidak melihat yang mengatur batas wilayah pesisir dengan
aspek ini, akan menjadi tantangan bagi para berbagai aspek peruntukan dan
perencana dan pengambil keputusan dalam pelestariannya. Dalam kaitan ini
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

pengelolaan sumberdaya sesuai dengan bahari (marineculture), seperti budidaya


daya dukung lingkungan ekologi wilayah rumput laut, teripang, ikan kerapu. Kegiatan
pesisir diperkirakan akan menghadapi perikanan rakyat itu tidak saja dilakukan di
berbagai masalah yaitu (1) karasteristik perairan bahari, tetapi juga di perairan
wilayah dengan fungsi ekologisnya bersifat estuaria, rawa asin, payau atau tawar yang
dinamis, dan (2) ekologi pada umumnya ditemukan di wilayah pesisir seperti yang
tidak berimpit dengan batas-batas wilayah dilakukan oleh petani ikan tambak di
peruntukan (Indrawan, 2000). kawasan pesisir Kabupaten Subang.
Karasteristik ekosistem pesisir dapat Sumberdaya pesisir dengan kondisi hutan
bersifat alami atau buatan (man made) mangrove yang tumbuh dengan berbagai
(Dahuri et al, 2001). Dalam hubungan ini species. Selain sebagai hutan pesisir, hutan
wilayah pesisir yang selamanya berada mangrove juga sebagai estetika lingkungan
dibawah permukaan air, mencakup pesisir, penahan ombak dan angin terdapat
ekosistem litoral (seperti pantai berpasir, berbagai satwa liar dan peruntukan fungsi
berlumpur atau berbatu, dan terumbu lain sebagai bahan bangunan, bahan bakar.
karang), hutan mangrove, rawa asin, payau sedangkan perairan yang berada di dalam
atau tawar, dan rawa bertanah gambut. kawasan hutan itu mendukung potensi
Kondisi wilayah pesisir pada umumnya perikanan dengan berbagai fungsi ekologik
merupakan ekosistem yang mengemban yang penting untuk daur kehidupan.
berbagai fungsi ekologik dengan sifat Perairan pesisir rnerupakan daerah
keragaman yang ada. Ekosistem ini terdiri penangkapan (fishing ground) bagi perikanan
atas berbagai komponen yang saling rakyat (artisanal fisheries) produksi
berkaitan, menjadikannya suatu sistem yang perikanan laut mencapai 90 % (Soegiarto
majemuk (kompleks) dan rentan terhadap 1996). Dalam kurun waktu tersebut, hasil
perubahan. Untuk diperlukan analisa dan perikanan laut meningkat dan sekitar 970
evaluasi ketegangan (stress) atau gangguan ribu ton menjadi sekitar 2.400 ribu ton
terhadap wilayah pesisir perlu dilakukan (Dirjen Perikanan 1999). Kenaikan produksi
untuk menjamin terlaksananya proses-proses itu di satu sisi disebabkan karena
ekologis dan eksistensi ekosistem wilayah “modernisasi” armada perikanan, di sisi lain
pesisir. akibat penemuan dan pemanfaatan potensi
sumberdaya “baru”. Pengembangan daerah
III. Sumberdaya Alam dan penangkapan perikanan rakyat merupakan
Pemanfaatanya ciri sebagian besar armada perikanan yang
Sumberdaya pesisir dengan berada di wilayah pesisir. Daerah
keragaman jenis, baik flora maupun fauna, penangkapan armada itu, pada umumnya
menjadikan wilayah pesisir sebagai wilayah adala perairan estuaria, perairan pasang surut
terkaya dengan sumberdaya alam yang (tidal swamps), dan daerah literal yang
pulih. Kaitan dengan sumberdaya alam berada di wilayah pesisir di bagian “dalam”
tersebut akan dibahas tentang sumberdaya Kepulauan Indonesia.
perikanan, pertanian, hutan pesisir, tipologi Terumbu karang (coral reefs) pada
masyarakat pesisir, antara lain sebagai umumnya merupakan salah satu sumberdaya
berikut: pesisir yang penting, tidak saja sebagai
habitat berbagai jenis ikan komoditi ekspor,
3.1. Sumberdaya Perikanan baik ikan konsumsi maupun ikan hias, tetapi
Kondisi sumberdaya perairan di juga sebagai obyek pariwisata (wisata
wilayah pesisir merupakan potensi yang bahari). Selain terumbu karang, di wilayah
sebagian besar dalam pengelolaannya untuk pesisir ditemukan berbagai obyek wisata
kebutuhan manusia, sebab ketergantungan lainnya, yang memiliki nilai sejarah, budaya,
manusia yang mendiami kawasan pesisir agama, dan estetika. Potensi-potensi ini,
tidak terlepas dari pemanfaatan sumberdaya apabila dikonservasi merupakau aset yang
perikanan dalam mempertahankan tidak ternilai, dan pada saatnya potensi
kelangsungan hidupnya, bahkan kehidupan tersebut akan merupakan salah satu tumpuan
masyarakat dalam mengelola potensi penghasilan masyarakat pesisir.
perikanan dalam dasawarsa terakhir mulai Selain itu beberapa daerah pesisir di
berkembang dengan kegiatan budidaya pulau Bali dan Nusa Tenggara Barat,

20
dilakukan kegiatan budidaya air payau. pasang surut, besarnya debit air sungai dan
Usaha itu menarik perhatian pihak swasta, intrusi air laut. Selanjutnya, pembenihan
karena hasil usaha budidaya air payau sangat dilakukan di tanggul sungai agar terjamin
menguntungkan dan udang merupakan salah pasokan air tawar, dan juga untuk mencegah
satu komoditi ekspor non migas (Dirjen gangguan dari tikus atau hama lainnya.
Perikanan 1999). Keberhasilan Selain sistem persawahan pasang
pengembangan budidaya air payau dapat surut, juga ditemukan kebun kelapa dan
dilihat dan peningkatan peran produksi berbagai jenis tanaman buah-buahan antara
udang dari tambak terhadap produksi udang. lain pisang, dan jambu, dan secara sporadis
Pada tahun 1997, produksi udang dari juga sayur-sayuran. Sistem pertanian di
tambak hanya mencakup sekitar 31%. wilayah pesisir umumnya bersifat subsistem.
Keadaan sebaliknya terlihat pada tahun 1998,
dimana produksi udang tambak mencakup 3.3. Sumberdaya Hutan Pesisir
60% dari produksi udang penaeid nasional Potensi sumberdaya hutan yang
(Bailey 1998; Muluk 1999). Perkembangan ditemukan di wilayah pesisir terdiri dari
peran produksi tambak tidak saja disebabkan vegetasi mangrove yang pada tahun 1996
pelarangan operasi pukat harimau, tetapi juga diperkirakan mencakup areal sekitar 4 juta
karena penguasaan teknologi produksi masal hektar, dan sekitar 60% potensi itu
benih udang (benur) dan pakan, serta merupakan hutan mangrove (Naamin dm
konversi hutan bakau menjadi tambak. Hardjamulia 1995). Usaha perlindungan
Selanjutnya, kecenderungan memperluas potensi hutan bakau untuk mempertahankan
areal tambak didorong oleh keinginan politik fungsi ekologik yang majemuk telah banyak
pemerintah untuk mengupayakan diupayakan (Koesoebiono, Collier, dan
diversifikasi komoditi ekspor (Muluk 1994). Burbridge 1994). Dengan demikian konversi
hutan mangrove menjadi pertambakan udang
3.2. Sumberdaya Pertanian terjadi secara pesat (seperti yang terjadi di
Kegiatan pengembangan sumberdaya Lampung, Sumatera Selatan, Samatera Utara,
lahan diwilayah pesisir ditemukan berbagai Aceh, Kalimantan Barat, Selatan dan Timur,
sistem buatan, antara lain sistem tambak dan Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan)
yang berada lebih ke arah laut uutuk (Muluk 1994). Bahkan areal tambak yang
menunjang kehidupan masyarakat pesisir. ditemukan di beberapa propinsi telah
Pengembangan sistem buatan itu terdiri dari melampaui potensi areal mangrove yang
sistem produksi tanaman pangan dan sistem diperkirakan oleh Naamin dan Hardjamulia
produksi perkebunan. Di daerah yang masih (1995),
dipengaruhi air tawar, walaupun hanya
dalam musim hujan, dapat dikembangkan 3.4. Tipologi Masyarakat Pesisir
persawahan pasang surut yang Dalam kenyataannya faktor
memanfaatkan energi arus pasang untuk pembedaan kebutuhan masyarakat atau
pengairan. Karenanya, sistem ini ditemukan pemukiman sukar dilaksanakan, karena sifat
di sepanjang sungai sejauh mana pengaruh masyarakat pesisir yang memiliki mata
pasang masih berpengaruh. Saluran drainasi pencaharian yang saling tumpang tindih.
sederhana yang pada umumnya kecil, Klasifikasi masyarakat dapat dilakukan
digunakan untuk mengairi lahan persawahan berdasarkan mata pencarian utamanya atau
tersebut. Peluang musim tanam per tahun berdasarkan sifat masyarakat yang bermukim
dipengaruhi oleh letak sawah terhadap dikawasan pesisir. Dengan kombinasi
sungai dan besarnya debit air tawar sungai kriteria itu, masyarakat wilayah pesisir dapat
itu. Diperkirakan hanya 25% dari areal dibagi ke dalam (a) masyarakat nelayan,
sawah pasang surut dapat di tanaman dua (b) masyarakat petani dan nelayan,
kali dalam satu tahun (Knox dan Miyabara (c) masyarakat petani, (d) masyarakat
1996). pengumpul atau penjarah (collector,
Derngan cara bercocok tanam yang forager), (e) masyarakat perkotaan dan
diterapkan di wilayah pesisir merupakan perindustrian, dan (f) masyarakat tidak
adaptasi terhadap keadaan setempat. Faktor- menetap/sementara atau pengembara
faktor lingkungan yang mempengaruhi cara (migratory). Berikut ini dikemukakan
bercocok tanam itu adalah besarnya fluktuasi kombinasi kriteria sebagai berikut :
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

a. Masyarakat Nelayan pencaharian tambahan dari masyarakat


Pemukiman dan masyarakat petani di wilayah pesisir ini umumnya dari
nelayan/perikanan merupakan pemukiman eksploitasi sumberdaya alam lainnya, seperti
dan masyarakat yang dominan di wilayah menangkap ikan di sungai dan/atau rawa,
pesisir. Mata pencaharian ini umumnya serta mengumpul bahan makanan atau
bersifat musiman, sekalipun merupakan mata hangunan dari hutan mangrove. Pemukiman
pencaharian utama. Pada musim baratan masyarakat ini biasanya berkelompok, dan
misalnya, nelayan sepanjang pantai utara letaknya yang terpisah dari pusat kegiatan
Jawa terhambat melaut. Tidak saja akibat bertani (ladang, sawah, tambak atau kebun
cuaca yang buruk dan gelombaug yaug kelapa), dan ummnya memiliki kebun
relatif lebih besar, akan tetapi juga karena pekarangan.
hasil tangkapan yang tidak memadai. d. Masyarakat Pengumpul atau Penjarah
Pada umumnya, masyarakat nelayan Pada dasarnya, masyarakat yang
ini bersifat tradisional yang mengoperasikan bermata pencaharian utama sebagai
alat tangkap yang sederhana, tanpa atau pengumpul tidak ditemukan di wilayah
dengau motor. Karenanya, wilayah operasi pesisir. Pekerjaan ini umumnya merupakan
mereka terbatas di sekitar perairan pesisir. mata pencaharian tidak tetap atau pelengkap
Kampung nelayan bervariasi masyarakat nelayan dan petani. Pada musim
ukurannya. Nelayan tradisional umumnya paceklik, baik bagi nelayan maupun petani,
menempati pemukiman yang relatif kecil, umumnya mereka mengembara di hutan
terpencar-pencar, dan sulit dijangkau melalui bakau dan rawa, mengumpulkan bahan
jalan darat. Tidak jarang perkampungan pangan atau bangunan. Diantara masyarakat
nelayan ini terletak di pulau-pulau atau pesisir ini, tidak jarang ditemukan pedagang
daerah estuaria yang hanya dapat dicapai hasil hutan, benih ikan atau udang bahan
dengan menggunakan perahu. bakar (kayu atau arang), dan bahan
b. Masyarakat Petani dan Nelayan bangunan. Namun, mata pencaharian itu
Masyarakat nelayan dengan mata sangat dipengaruhi musim.
pencaharian kedua bertani merupakan hal e. Masyarakat Perkotaan/Perindustrian
yang umum. Kegiatan pertanian biasanya Perkembangan masyarakat kota,
dilakukan pada saat tidak melaut (pada biasanya terkait dengan pengembangan
musim paceklik), dan bahkan ada yang wilayah pesisir, seperti pembangunan
menjadi buruh petik di perkebunan kopi (di kawasan pelabuhan, industri, pariwisata dan
daerah pegunungan), atau karena fasilitas peuunjang lainnya, seperti
“kewajiban” sosial masyarakat itu. Pada pemukiman jalan raya, air minum, listrik dan
musim panen padi misalnya, tidak jaraug lain sebagainya. Selain kota-kota pelabuhan,
masyarakat petani sawah mendapat bantuan di wilayah pesisir ini juga berkembangan
dari masyarakat nelayan dengan imbalan kota-kota industri dan dapat disertai oleh
sebagian dari hasil panen. Selain itu, tidak perkembangan pusat-pusat administrasi dan
jarang sebagian dari masyarakat nelayan ekonomi lainnya, serta pusat-pusat
terlibat dalam kegiatan pertanian lainnya pemukiman. Perkembangan wilayah
seperti di kebun kelapa, bertani sayuran, atau perkotaan dan industri di wilayah pesisir
menjadi buruh kasar di kota/industri. terjadi sangat pesat.
c. Masyarakat Petani f. Masyarakat Pengembara
Perkampungan masyarakat pertanian Masyarakat pengembara tidak
wilayah pesisir terletak lebih jauh ke arah memiliki pemukiman yang tetap. Mereka
darat bila dibandingkan dengan mengembara dari satu tempat ke tempat
perkampungan nelayan. Tergolong ke dalam lainnya untuk menangkap ikan. Bila hasil
kategori ini adalah masyarakat wilayah penangkapan di satu daerah menurun,
pesisir yang terlibat dalam kegiatan budidaya mereka pindah ke daerah lainnya. Tidak
kelapa, padi, ikan dan/atau udang. Selain itu, jarang mereka menebas hutan untuk bertani,
ke dalam kelompok ini juga termasuk akan tetapi tidak pernah menetap di satu
masyarakat yang menghasilkan garam daerah untuk waktu yang lama.
(rakyat) pada musim kemarau, dan selama
musim hujan tambak garam itu digunakan
untuk memelihara ikan/udang. Mata

22
masyarakat pesisir diatur oleh adat/tradisi
IV. Pengembangan Wilayah Pesisir dan yang berlaku. Luas lahan garapan setiap
Dampaknya keluarga biasanya sangat sempit. Bagi
Konsepsi dalam pengembangan masyarakat nelayan sumberdaya lahan dan
lingkungan hidup, terutama diwilayah pesisir perairan dipandang sebagai “milik bersama”
dilakukan secara terpadu. Strategi (communal atau common property), dan
pengelolaan lingkungan pesisir merupakan seperti halnya dengan lahan pertanian,
usaha untuk mempertahankan dan pemanfataannya diatur oleh adat. Dalam hal
menciptakan lingkungan yang berkualitas ini, seseorang dapat menempati, menguasai,
dengan cara meningkatkan daya dukung atau menggarap sebidang lahan yang tidak
wilayahh pesisir melalui kebijakan yang ditempati, dikuasai atau digarap orang lain
didasari oleh kondisi masing-masing dengan seisin kepala adat setempat.
kawasan dengan pengembangan yang Perbedaan persepsi antara masyarakat pesisir
dilakukan secara terpadu dan sektoral, yang secara turun-temurun aktif
(Kebijakan dan Strategi Pengelolaan memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir,
Lingkungan Hidup, Kementrian Negara dan pemerintah yang menguasai lahan itu
Lingkungan Hidup, 2001). Adanya sering terjadi. Pada umumnya, perbedaan
sumberdaya kawasan pesisir terutama persepsi ini merupakan pangkal pertikaian
perkembangan penduduk, pengembangan kepentingan antara masyarakat di satu pihak,
wilayah di bagian hilir/darat dan juga dan di pihak lain, pemerintah atau swasta
pengembangan di wilayah pesisir sendiri (investor) yang secara hukurn mendapat izin
akan berdampak kepada wilayah seluruh untuk memanfaatkannya. Masyarakat pesisir,
ekosistem pesisir. Dampak perkembangan menganggap dirirya sebagai “pemilik” yang
dan berbagai kegiatan itu dapat berdampak sah atas lahan dan perairan yang telah
langsung atau tidak langsung terhadap ditempati dan diusahakan mereka secara
masyarakat pesisir. Penilaian dampak ini turun-temurun. Akan tetapi, pemerintah di
dapat dimulai dari penilaian kemungkinan pihak lain, tidak mengakui hak itu, dan
pemanfaatan wilayah pesisir. Pada akibatnya pemerintah dapat memberikan hak
umumnya, sumberdaya alam wilayah pesisir usaha atas lahan/perairan kepada swasta
kurang termanfaatkan (under-utilized). Hal (investor). Pengalihan hak usaha kepada
itu disebabkan karena hambatan kondisi masyarakat luar merupakan salah satu
alam wilayah itu, seperti jalan dan sarana ketegangan (stress) dan merupakan dampak
transportasi (aksesibilitas), ketersediaan negatif pembangunan yang dapat dialami
tenaga kerja, dan sebagainya. masyarakat pesisir.
Kondisi ini belum termasuk Secara sederhana, mekanisme
pengembangan tambak berpola Perusahaan timbulnya kctegangan adalah akibat
Inti Rakyat (PIR) di Propinsi Lampung peningkatan jumlah penduduk yang
(Kepala Dinas Perikanan Propinsi Lampung, selanjutnya mengakibatkan meningkatnya
kompri. 2001), Sumatera Utara dan permintaan bnahan pangan, dan pada
Kalimantan Barat (Direktur Bina Program, gilirannya menuntut perluasan areal produksi
Direktorat Jenderal Perikanan, kompri. bahan pangan atau penerapan teknologi
2002). “Peledakan” luas tambak udang budidaya/bercocok tanam yang hemat lahan.
dalam dua dasawarsa terakhir ini sebagai Fenomena itu jelas terliliat pada dua produk
akibat keinginan politik pemerintah dalam pertanian, yaitu padi dan udang. Dalam
diversivikasi komoditi ekspor, sebagian upaya berswasembada bahan pangan, pada
merupakan konversi hutan mangrove, dan tahun 70-an terjadi desakan untuk
sebagian lagi merupakan transformasi meningkatkan produksi padi, melalui
tambak ikau atau garam, dan lahan marjinal pemanfaatan daerah pasang surut di wilayah
lainnya, sepeni lahan berpasir, lahan pasang pesisir. Walaupun pada saat itu masih
surut (tidal mudflats). terdapat pihak yang kurang menyetujui
kajian ini tapi secara kenyataan ribuan hektar
V. Pengalihan Hak Usaha dan lahan pesisir berhutan mangrove di Sumatera
Aksessibilitas Sumberdaya dan Kalimantan telah dikonversi menjadi
Keberadaan lahan pesisir merupakan daerah pemukiman transmigran dan
tanah negara dan penggunaan oleh pesawahan pasang surut (Koesoebiono,
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

Collier dan Burbridge 1995; Hanson dan sumber pertikaian/ketegangan (stress).


Koesoebiono 1996). Dalam jangka pendek, Kesenjangan ekonomi dan sosial yang
upaya itu tidak sia-sia, akan tetapi dengan mudah terlihat dari perbedaan
keberlanjutan usaha itu sangat diragukan dan kesempatan bersekolah, berusaha, atau dari
perlu ditinjau kembali (Knox dan Miyabara status sosial anggota masyarakat merupakan
1994), baik dari aspek teknis, ekonomi, sumber ketegangan yang melekat (inherent)
maupuu sosial. Hal yang serupa terulang pada masyarakat pesisir. Sebagai contoh,
kemhali pada tahun 90-an, dimana anggota masyarakat dengan kedudukan
permintaan pasar internasional akan udang sosial yang “lebih tinggi” memiliki
makin meningkat. Bahkan komoditi udang aksesibilitas yang lebih besar terhadap
“dinobatkan” sebagai komoditi primadona pendidikan (ilmu dan pengetahuan), modal
abad ini, dan tercatat sebagai salah satu (kredibilitas tinggi), teknologi (bermodal
komoditi ekspor Indonesia peringkat atas untuk menerapkan teknologi yang mutakhir),
(Direktorat Jenderal Perikanan 1997, dan dan juga politik (umumnya menjadi pemuka
2000), dan juga telah mengangkat Indonesia masyarakat). Kelompok masyarakat ini juga
sebagai salah satu negara pengekspor udang merupakan kelompok dengan mobilitas
terbesar di dunia (Rosenberry 1991). tinggi, dan tidak jarang mereka membawa
Ketegangan yang dialami masyarakat pesisir dan menerapkan temuan baru yang
bukan saja akibat “hilangnya” penguasaan dipeolehnya dari kunjungannya ke lain
lahan yang “diperolehnya” secara turun- daerah. Karenanya, mereka juga sering
temurun, tetapi juga kehilangan akses dikenal sebagai “inovator” untuk daerahnya.
terhadap lahan-lahan yang biasanya dijarahi Selanjutnya, selain keberuntungan ini mereka
untuk mendapat bahan pangan, hewan dapat pula menikmati berbagai kegiatan
buruan atau bahan bangunan. (proyek) pemerintah. Kesempatan yang
Kegiatan perikanan rakyat yang masih diperoleh kelompok “tingkat atas”
dilakukan dengan cara-cara tradisional mempertebal keirian sosial dari masyarakat
menggunakan peralatan dan kadangkala yang tidak memiliki peluang ini. Berbagai
dengan perahu yang sederhana, hanya upaya pemerintah telah dilakukan untuk
mampu beroperasi di sepanjang pesisir. memperkecil kesenjangan sosial dan
Usaha perikanan rakyai ini, yang merupakan mengikis keirian sosial tersebut, misalnya
ciri sebagian besar dari usaha perikanan di melalui program pengentasan kemiskinan,
Indonesia, bersifat subsisten yang hasil Inpres Desa Tertinggal, tetapi perbedaan
tangkapannya hanya sebatas mencukupi persepsi diantara para pelaksana kegiatan ini
keperluan sehari-hari. Ketegangan yang dan lemahnya koordinasi di lapangan, hasil
dialami masyarakat nelayan adalah akibat kegiatan ini belum memadai. Kondisi sosial
tangkap lebih (over-fishing) yang timbul masyarakat yang saling berinteraksi
akibat penambahan atau modernisasi kepentingan maupun kebutuhan pada strata
kapal/perahu dan alat tangkap. Sebagai sosial ekonomi tidak dapat dihindari antara
contoh adalah introduksi pukat harimau hubungan masyarakat kota dan pedesaan
(trawl) dan motonsasi dalam rangka maupun bencana alam dan dampak kegiatan
modernisasi armada perikanan rakyat. Upaya masyarakat sebagai berikut :
ini memang telah mengarahkan dan
meningkatkan peranan perikanan Indonesia 6.1. Hubungan Masyarakat Kota dan
di pasar internasional (hasil tangkapan Pedesaan
utamanya adalah udang). Akan tetapi, karena Masyarakat pedesaan pada umumnya
jalur operasi kapal trawl ini bertumpang dikendalikan masyarakat kota. Pasar dan
tindih dengan yang digunakan nelayan harga produk yang dihasilkan masyarakat
tradisional, kegiatan kapal trawl tersebut pedesaan, umumnya ditentukan oleh
ditentang oleh para nelayan tradisional. permintaan masyarakat kota. Keadaan
semacam ini dapat dan telah berubah dengan
VI. Kesenjangan Antar Kelompok menciptakan lapangan kerja dan usaha baru
Masyarakat di daerah pedesaan. Kesempatan kerja yang
Perbedaan adat-istiadat dan strata tercipta dengan introduksi industri rumah
sosial masyarakat penghuni wilayah pesisir tangga dan pembentukan kelompok usaha
sangat beragam, dan merupakan salah satu misalnya, dapat menyebabkan diversifikasi

24
dalam struktur tenaga kerja dan ekonomi Selain pengaruh hulu ke hilir, seperti
pedesaan. Selanjutnya, peningkatan pencemaran misalnya, dapat pula terjadi
kesempatan kerja dan usaha di daerah pengaruh yang sebaliknya, seperti intrusi air
pedesaan, akan meningkatkan interaksi antar laut atau garam (salt intrusion), dan abrasi
masyarakat kota dan pedesaan. Namun pantai. Perusakan terumbu karang,
interaksi ini juga menimbulkan tekanan penggalian/penambangan bijih besi atau
ekonomi dan sosial baru, antara lain timah, di satu sisi menunjang pembangunan
disebabkan karena perbedaan pendapatan, ekonomi, tetapi di sisi lain merusak habitat
kesejahteraan, serta perbedaan persepsi wilayah pesisir yang menjadi tumpuan
tentang teknologi tepat guna, modernisasi, kehidupan masyarakat pesisir.
dan pembangunan.
Akibat lain yang mungkin timbul, VII. Penutup
adalah peningkatan interaksi antara Pengelolaan lingkungan sumberdaya
masyarakat kota, bahkan mancanegara, dan pesisir sebagai bagian integral aspek
pedesaan misalnya melalui kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat yang
pariwisata di wilayah pesisir. Adopsi tata berhubungan dengan aspek ekologi wilayah.
cara hidup, kegiatan ekonomi, dan nilai dan Kondisi dari keragaman fisik wilayah ini
norma sosial baru dapat menimbulkan terjadi akibat dari interaksi manusia dalam
ketegangan sosial. Cagar budaya (cultural memenuhi kebutuhan hidup terhadap
shock) semacam ini dapat dipandang sebagai sumberdaya wilayah pesisir. Dengan latar
salah satu sisi negatif dari pembangunan belakang budaya dan sosial yang berbeda,
wilayah pesisir melalui kegiatan itu. Keadaan telah memaafaatkan atau menikmati
semacam ini dapat dikurangi akibatnya kekayaan sumberdaya alam wilayah pesisir.
apabila dalam tahap perencana telah Aspek pemanfaatan dan pengelolaan
difikirkan kemungkinan timbulnya kejadian wilayah pesisir merupakan salah satu
tersebut. Aspek-aspek sosial. ironisnya, baru keuntungan sesuai dengan kebutuhan hidup
dipertimbangkan setelah dampak negatif itu bagi masyarakat. Untuk itu, diperlukan
terjadi. kajian aspek-aspek sosial dan budaya agar
6.2. Bencana Alam dan Dampak Kegiatan memperoleh perhatian yang sama yang
Manusia berhubungan dengan aspek-aspek teknis dan
Salah satu kerusakan yang terjadi dan ekonomis. Sementara dalam kebijakan
tidak bisa dihindari adalah factor bencana perancangan pengelolaan lingkungan
alam di wilayah pesisir antara lain banjir wilayah pesisir merupakan salah satu aspek
sebagai fenomena dan sering mengikuti pola penting yang berhubungan langsung terhadap
tertentu. Karena sifatnya yang terpola, kondisi sosial ekonomi masyarakat sesuai
masyarakat pesisir mengadopsi pola ini dengan potensi dan sumberdaya alam yang
dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan ada.
ini menentukan pola kegiatan usaha tani dan Sumberdaya lingkungan pesisir merupakan
perikanan mereka. Selain banjir, yang suatu wilayah yang memiliki potensi
bersifat musiman, terjadi pula ketegangan- sumberdaya dan keanekaragaman jenis yang
ketegangan lain yang timbul akibat kegiatan cukup banyak. Dibandingkan dengan
manusia, seperti perusakan habitat dan kawasan lainnya, wilayah pesisir dengan
pencemaran. Ketegangan ini makin berbagai ekosistem yang saling berkaitan dan
meningkat intensitasnya dengan terjalin dalam satu sistem ekologis yang
meningkatnya kegiatan di bagian hulu dan majemuk (kompleks). Di sisi lain diperlukan
juga di wilayah pesisir itu sendiri. berbagai upaya untuk menjamin
Konservasi sumberdaya alam, penerapan keberlangsungan peran ekologik yang
cara bercocok tanam, dan eksploitasi diemban wilayah pesisir, sehingga
sumberdaya perikanan yang benar perlu pemanfaatan sumberdaya alam perlu
dipertimbangkan dalam tahap perencanaan memperhatikan aspek kelestarian
demi keberlanjutan usaha di wilayah pesisir. lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Bailey, C. 1986. Government Protection of Traditional Resource Use Rights: The Case of
Indonesian Fisheries. Hal. 292-308 dalam D.C. Korten ed. Community Management:
Asian Experience and Perspectives. Kumarian Press, West Hartford, CN, USA.

Csavas, I. 1992. Impact of Aquaculturc on the Shrimp Industry. Makalah disajikan dalam
Shrimp ‘92 Global Conference, Hong Kong. FAO Regional Office for Asia and
Pacific, Bangkok, Thailand.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1987. Shrimp Culture in Indonesia: Its. Prospect. Directorate
General of Fisheries, Jakarta, Indonesia.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1990. Statitistik Perikanan Indonesia, 1988. Direktorat


Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian, Jakarta, Indonesia.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1992. Statitistik Perikanan Indonesia, 1990. Direktorat


Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian, Jakarta, Indonesia.

Driessen, P.M. dan Soepraptohardjo. 1974. Soils for Agricultural Expansion in Indonesia.
Soil Research Institute, Bogor, Indonesia.

Hanson A.J. dan Koesoebiono. 1977. Settling Coastal Swamplands in Sumatra: A Case Study
for Integrated Resource Management. PSPSL/Research Report/004, Bogor
Agricultural University. Bogor, Indonesia.

Kartawinata, K. dan S. Soemodihardjo. 1976. Klasifkasi Daerah Pesisir Berdasarkan


Komunitas Hayati. LIPI. Jakarta, Indonesia.

Koesoebiono, W.L. Collier dan P.R. Burbridge. 1982. Indonesia: Resources’ Use and
Management in the Coastal Zone. Hal. 115-133 dalam C. Soysa, L.S. Chia, dan W.L.
Collier eds. Man, Land and Sea: Coastal Resource Use and Management in Asia and
the Pacific. The Agricultural Development Council. Bangkok. Thailand.

Muluk, C. 1994. Social and Environmental Impacts of Shrimp Culture in West Java. PhD’s
Dissertation. Auburn University, Auburn, AL, USA.

Namin, N. daa A. Hardjamulia. 1990. Potensi, Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya


Perikanan Indonesia. Hal. 89-127 dalam F. Cholik et al. (eds.) Prosiding Forum I
Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, Indonesia.
Petersen, S. dan LJ. Smith. 1982. Social and Economic Impediment to Artisanal Fisheries.
Hal. 299-307 dalam C. Soysa, L.S. Chia, dan W.L. Collier eds. Man, Land and Sea:
Coastal Resource Use and Management in Asia and the Pacific. The Agricultural
Development Council, Bangkok, Thailand.

Rosenberry, R. 1991. Eastern Hemisphere. Hal. 10-19. dalam World Shrimp Farming 1991.
San Diego, CA, USA.

Ruddle, K. 1982. Environmental Pollution and Fishery Resources in Southeast Asia Coastal
Waters. Hal. 15-35 dalam C. Soysa, L.S. Chia, dan W.L. Collier eds. Man, Land and
Sea: Coastal Resource Use and Management in Asia and the Pacific. The Agricultural
Development Council, Bangkok, Thailand.
Soegiarto, A. 1976. Indonesia. Makalah disajikan dalam International Seminar on
Development and Management or resources in Coastal Areas, West Berlin, Hamburg
and Coxhaven.
AGRIBISNIS AREN : PRODUK USAHA YANG MENJANJIKAN
DI MALUKU UTARA
Sandra L. Hiariey
Staf Pengajar Fakultas Pertanian UMMU - Ternate

ABSTRAK

Hampir di seluruh wilayah Nusantara ini terdapat tanaman aren (Arenga


pinnata). Semua bagian atau produk tanaman ini dapat dimanfaatkan dan
memiliki nilai ekonomi. Tanaman aren ini memiliki banyak manfaat, termasuk
didalamnya sebagai penghasil gula dan bioethanol. Tanaman aren selain bisa
diproses menjadi subtitusi bensin juga baik dalam hal menyimpan air tanah
serta mencegah bencana banjir dan longsor. Akan tetapi, tanaman ini kurang
mendapat perhatian untuk dikembangkan atau dibudidayakan secara sungguh-
sungguh oleh berbagai pihak. Berdasarkan survei lapangan bahwa terdapat
banyak industri rumah tangga yang memanfaatkan nira dari aren untuk produksi
gula merah di Maluku Utara. Industri skala kecil ini paling banyak terdapat di
Kabupaten Halmahera Selatan, khususnya Bacan dan Kabupaten Halmahera
Utara yaitu Galela. Hal mana menjadi bukti bahwa Maluku Utara memiliki
potensi yang cukup besar untuk pengembangan pertanian aren serta
agroindustri aren selain sebagai gula merah, untuk peningkatan pendapatan
daerah serta pendapatan petani dan dapat mengentaskan kemiskinan dan
pengangguran.

Kata Kunci : Agribisnis, Aren.


I. PENDAHULUAN besar penduduk Indonesia yang berada di
Memasuki abad 21 negara-negara pedesaan. Sejak Pelita VI pembangunan
yang sedang berkembang termasuk Indonesia sektor pertanian bukanlah semata-mata
mengalami krisis moneter yang meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian,
berkepanjangan. Krisis ini memberi dampak tetapi juga diarahkan untuk mewujudkan
yang sangat signifikan terhadap dunia kesejahteraan petani beserta keluarganya
industrialisasi yaitu banyaknya industri- dengan landasan konsep agribisnis. Seirama
industri yang pailit akibat krisis ekonomi dengan pengembangan agribisnis tersebut
serta naiknya biaya-biaya prpduksi. Namun selayaknya perlu diperhatikan kegiatan pasca
pada sektor pertanian, khususnya sub sektor panen dan pengolahan hasil-hasil pertanian
perkebunan, mulai dari hasil-hasil pertanian (Sutanto, 1996).
menjadi lebih berpeluang baik di pasaran Industrialisasi pedesaan merupakan
dalam maupun luar negeri. Meskipun sektor suatu proses yang dicirikan dengan
pertanian telah terbukti menjadi tumpuan penggunaan alat-alat mekanis dalam sektor
hidup bagi masyarakat yang sedang pertanian dan semakin berkembangnya
mengalami krisis ekonomi, tetapi untuk industri pengolahan hasil-hasil pertanian.
menjadikan sektor pertanian sebagai leading Dampak dari industrialisasi tersebut dapat
sector dalam proses pembangunan bukanlah diwujudkan melalui keterkaitan yang saling
hal yang mudah. Untuk membentuk suatu menguntungkan antara petani produsen
agroindustri yang mampu menjadi mesin dengan industri pengolahan dalam
pendorong dalam sektor ekonomi dibutuhkan mewujudkan pembangunan ekonomi
investasi yang mahal atau memerlukan pedesaan.
modal yang sangat besar (Soetrisno,1999). Sejalan dengan hal tersebut salah satu
Dinamika pembangunan telah sasaran pembangunan pertanian Provinsi
menyebar sampai ke pelosok desa di seluruh Maluku Utara adalah meningkatkan nilai
Indonesia. Pembangunan pertanian tetap tambah dan daya saing komoditas pertanian
menjadi tumpuan harapan bagi sebagian yang meliputi meningkatnya mutu produk
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

primer pertanian, meningkatnya keragaman lilin.


pengolahan produk pertanian, meningkatnya Aren (Arenga pinnata) mempunyai
ekspor (Dinas Pertanian PDP. Maluku banyak nama daerah seperti : bakjuk/bakjok
Utara, 2006). (Aceh), pola/paula (Karo), bagot (Toba),
Propinsi Maluku Utara sebagai salah agaton/bargat (Mandailing),
satu daerah dengan potensi sumberdaya alam anau/neluluk/nanggong (Jawa), aren/kawung
yang sangat besar, khsususnya sektor (Sunda), hanau (dayak,Kalimantan), Onau
perkebunan. Sesuai kebijakan pengembangan (Toraja, Sulawesi), mana/nawa-nawa
pertanian di propinsi ini bahwa kota Ternate (Ambon, Maluku)
akan dijadikan sebagai kota agribsnis, maka
komoditi agribisnis tanaman aren akan IV. TANAMAN AREN di INDONESIA
membuka peluang bisnis serta keuntungan Tanaman aren (Arenga pinnata Merr)
yang besar untuk daerah ini. Hal ini dapat merupakan tanaman dari suku Palmae yang
dilihat dengan banyaknya produksi tersebar pada hampir seluruh wilayah di
agroindustri tanaman aren yang sudah Indonesia, terutama terdapat di 14 provinsi,
terkenal di daerah ini yaitu gula merah. seperti: Papua, Maluku, Maluku Utara,
Dimana produksi gula aren masih banyak Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat,
dilakukan dalam skala industri kecil atau Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Utara,
home industry yang perlu perhatian khusus Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
dan pendampingan dari pemerintah, dan juga Bengkulu, Kalimantan Selatan dan Nangroe
dilihat dari manfaat seluruh bagian tanaman Aceh Darussalam. Total luas di 14 provinsi
aren yang dapat dijadikan produk yang sekitar 70.000 Ha (Balai Penelitian Kelapa
bernilai jual yang tinggi, seperti etanol. dan Palma Lain, Manado).
Pemanfaatan tanaman aren di
II. TUJUAN PENULISAN Indonesia sudah berlangsung lama. Namun
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk agak lambat perkembangannya menjadi
memperkenalkan aren sebagai komoditi komoditi agribisnis karena sebagian tanaman
agribisnis yang dapat memberi peluang aren yang diusahakan adalah tumbuh secara
usaha yang menjanjikan di Maluku Utara. alamiah atau belum dibudidayakan (Balai
Semoga penulisan ini dapat menjadi Penelitian Kelapa dan Palma Lain, Manado).
masukan bagi pemerintah khususnya yang Tanaman enau yang tumbuh ataupun yang
terkait dengan pengembangan agroindustri dibudidayakan, tidak pernah diperhatikan
aren di Maluku Utara. secara khusus oleh petani enau. Terutama
untuk pemupukkan, biasanya petani tidak
III. BOTANI TANAMAN AREN pernah memupuknya dan juga tidak pernah
Aren termasuk suku Aracaceae diperhatikan gulma yang tumbuh disekitar
(pinang-pinangan). Batangnya tidak berduri, enau karena dianggap tidak akan
tidak bercabang, tinggi dapat mencapai 25 mengganggu tanaman enau tersebut..
meter dan diameter pohon dapat mencapai 65 Budidaya tanaman aren baru mendapat
cm. Aren merupakan tumbuhan berbiji perhatian mulai tahun 2002, yaitu bantuan
tertutup dimana biji buahnya terbungkus pemerintah untuk mendapat teknologi
daging buah. Tanaman ini hampir mirip tentang aren. Teknogi tanaman aren yang
dengan pohon kelapa. Perbedaannya,, jika sudah diteliti antara lain teknik pembibitan,
pohon kelapa batang pohonnya bersih teknik penyadapan dan pengawetan nira,
(pelepah daun yang tua mudah lepas), maka teknik pengolahan gula cetak, gula semut dan
batang pohon aren ini sangat kotor karena teknik pengolahan "palm wine". Pengelolaan
batangnya terbalut oleh ijuk sehingga dan pembudidayaan tanaman aren perlu
pelepah daun yang sudah tua sulit diambil dilakukan mengingat tanaman aren
atau lepas dari batangnya. Oleh karena mempunyai kegunaan bagi kehidupan
itulah, batang pohon aren sering ditumbuhi manusia, juga merupakan tanaman yang
oleh banyak tanaman jenis paku-pakuan. dapat berperan dalam mencegah erosi tanah
Tangkai daun aren panjangnya dapat terutama daerah-daerah yang terjal karena
mencapai 1,5 meter, helaian daun akar tanaman aren dapat mencapai kurang
panjangnya dapat mencapai 1.45 meter, lebar lebih 6 meter pada kedalam tanah.
7 cm dan bagian bawah daun ada lapisan Tanaman Aren atau enau (Arenga

28
pinnata Merr.) merupakan salah satu jenis akan sangat efektif untuk menahan turunnya
tanaman palmae yang syarat tumbuhnya air hujan yang langsung kepermukaan tanah.
memerlukan udara tropis seperti Indonesia. Disamping itu pohon aren yang dapat
Sama halnya dengan kelapa, hampir seluruh tumbuh baik pada tebing-tebing, akan sangat
bagian tanaman aren bernilai ekonomis. baik sebagai pohon pencegah erosi longsor.
Akar, batang, daun, buah, ijuk dan tandan
b. Fungsi Produksi
bunga jika dimanfaatkan secara optimal akan
Fungsi produksi dari pohon aren dapat
mampu mengangkat taraf ekonomi para
diperoleh miulai dari akar, batang, daun,
petani dan pedagangnyanya. Salah satu hasil
bunga dan buah. Di Jawa akar aren
produksi aren yang terkenal adalah gulanya.
digunakan untuk berbagai obat tradisional.
Disadap dari tandan bunga jantan untuk
Akar segar dapat menghasilkan arak yang
diambil niranya, dikentalkan melalui proses
dapat digunakan sebagai obat sembelit, obat
pemanasan kemudian dicetak. Hampir semua
disentri dan obat penyakit paru-paru.
bagian atau produk tanaman ini dapat
Batang yang keras digunakan sebagai bahan
dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi.
pembuat alat-alat rumah tangga dan ada pula
Namun tanaman ini kurang mendapatkan
yang digunakan sebagai bahan bangunan.
perhatian untuk dikembangkan atau
Batang bagian dalam dapat menghasilkan
dibudidayakan secara sungguh-sungguh oleh
sagu sebagai sumber karbohidrat yang
berbagi pihak. Padahal permintaan produk-
dipakai sebagai bahan baku dalam
produk yang dihasilkan tanaman ini, baik
pembuatan roti, soun, mie dan campuran
untuk kebutuhan ekspor maupun kebutuhan
pembuatan lem. Sedangkan ujung batang
dalam negri terus meningkat. Kelapa ( Cocos
yang masih muda (umbut) yang rasanya
nucifera ), pinang ( Areca catchecu ), dan
manis dapat digunakan sebagai sayur mayur.
aren ( Arenga pinnata ) adalah tanaman yang
Daun muda, tulang daun dan pelapah
termasuk dalam famili palmae telah
daunnya, juga dapat dimanfaatkan untuk
digunakan dalam pengobatan tradisional
pembungkus rokok, sapu lidi dan tutup botol
secara turun-temurun.
sebagai pengganti gabus.
Tangkai bunga bila dipotong akan
V. KANDUNGAN GIZI DAN MANFAAT
menghasilkan cairan berupa nira yang
AREN
mengandung zat gula dan dapat diolah
Kandungan gizi tanaman aren
menjadi gula aren atau tuak dan etanol.
khususnya gula aren (Palm Sugar) sangat
Buahnya dapat diolah menjadi bahan
tinggi yaitu mengandung Potassium,
makanan seperti kolang-kaling yang banyak
Magnesium, Seng dan Besi alami serta
digunakan untuk campuran es, kolak atau
merupakan sumber vitamin B1, B2, B3, B6
dapat juga dibuat manisan kolang-kaling.
dan C. Menurut riset yang dilakukan oleh
Food and Nutrition Research Institute
VI. POTENSI AGRIBISNIS AREN di
(FNRI), gula aren (Palm Sugar) memiliki
MALUKU UTARA
tingkat glycemic (GI) indeks yang sangat
Salah satu pembangunan sistem
rendah. Dengan perbandingan, jika GI Madu
agribsinis adalah pembangunan sub sistem
adalah 55 dan GI gula tebu adalah 68, angka
pengolahan (down-stream agribusiness)
35 untuk palm sugar memang menjadi GI
yakni industri yang mengolah komoditas
indeks yang terendah sebagai unprocessed
pertanian primer (agroindustri) menjadi
sweeteners yang tersedia saat ini.
produk olahan baik produk antara
Pohon aren banyak manfaatnya, baik
(intermediate product) maupun produk akhir
berfungsi sebagai konservasi, maupun fungsi
(finish product). Termasuk di dalamnya
produksi yang menghasilkan berbagai
industri makanan, industri minuman, industri
komoditi yang mempunyai nilai ekonomi.
barang-barang serat alam (barang-barang
a. Fungsi Konservasi karet, karet, plywood, pulp, kertas, bahan-
Pohon aren dengan perakaran yang dangkal bahan bangunan terbuat dari kayu, rayon,
dan melebar akan sangat bermanfaat untuk benang dari kapas/sutera, barang-barang
mencegah terjadinya erosi tanah. Demikian kulit, tali dan karung goni), industri
pula dengan daun yang cukup lebat dan biofarmaka, industri agrowisata dan estetika.
batang yang tertutup dengan lapisan ijuk, Gula aren atau gula merah sudah tidak
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

asing lagi di Maluku Utara. Hampir di gulanya 12 %, sedangkan tebu rata-rata


seluruh wilayah Propinsi ini terdapat industri hanya 7 %. Gula aren dinilai baik dan dapat
rumah tangga yang mengolah nira pohon dijadikan gula kristal yang dapat diekspor.
aren sebagai agroindustri gula aren. Hal ini Harga ekspornya dapat mencapai
sesuai dengan data hasil survei di lapangan Rp.50.000/kg dan pada tingkat konsumen di
bahwa gula aren yang banyak terdapat di Belanda mencapai harga Rp.90.000/kg,
pasaran adalah berasal dari Kabupaten bandingkan dengan harga gula pasir sekitar
Halmahera Selatan khususnya Kecamatan Rp.7.000/kg. Dari gula aren itu juga bisa
Bacan dan Kabupaten Halmahera Utara didapatkan 30 % berupa molase untuk
khususnya Kecamatan Galela, yang membuat etanol bahan biofuel.
merupakan daerah-daerah sentra produksi Pemerintah Inodonesia juga sudah
gula aren Maluku Utara. Menurut data BPS, melihat perkembangan komoditi aren ini,
2003 diketahui bahwa untuk wilayah sehingga untuk membantu perdagangan
Kecamatan Bacan Tengah luas lahan komoditi ini dengan negara luar, pemerintah
perkebunan aren adalah 41,5 ha dengan telah menjalin kerja sama antara Indonesia
produksi sebesar 29,2 ton. Dengan potensi dengan Jepang dan Negara Uni Eropa dalam
alam yang sangat besar ini maka sudah ekspor produk agroindustri aren. Untuk
sepatutnya pemerintah melirik usaha tani mengembangkan ekspor gula aren ke Jepang
aren sebagai satu komoditi unggulan di perlu mencari mitra di Jepang, seperti
propinsi ini. produsen makanan khas Jepang,
Pengembangan produk gula aren ini produsen gula pasta atau pemilik kedai kopi.
sangat besar disebabkan permintaan yang Harga jenis gula aren di Jepang
bertambah, bukan hanya untuk pasaran lokal sebulan terakhir, seperti dikutip
Maluku Utara saja tetapi juga bahkan www.divafood.indonetwork.co.id, palm
pasaran di luar daerah seperti Kendari dan sugar Y735 per 200 gram, apple sugar
Ambon. Potensi permintaan gula aren makin Y1000-2000 per kg, brown sugar Y240 per
tinggi, mengingat industri makanan dan 0,5 kg, crystal sugar JPY160 per 0,5 kg, gula
minuman terus bertumbuh. Gula aren bisa pasta Y500 per 0,5 kg. Pemasok gula aren di
menjadi substitusi gula rafinasi bahan baku Jepang saat ini didominasi Thailand yang
yang selama ini masih diiimpor. Masalahnya, menguasai pasar 49%, Australia 39%, dan
memang ada pada harga yang belum Afrika Selatan 12%. Bila saja, potensi gula
komptetitif. Disisi lain terdapat hambatan aren ini dikembangkan, maka Maluku Utara
dalam memproduksi gula aren ini yaitu lahan khususnya dan Indonesia umumnya tentu
perkebunan yang alami sehingga bakal meraup devisa lebih besar lagi.
menyebabkan petani produsen hanya Daerah pengolahan aren dalam skala
mengusahakan gula aren sebagai produk besar di Indonesia adalah Tomohon,
sampingan dan bukan produk utama, masih Sulawesi Utara. Pabrik modern yang
terbatasnya teknologi pengolahan gula aren diusahakan Yayasan Masarang itu sekarang
yang masih menggunakan cara-cara sudah mengolah nira menjadi gula semut
tradisonal, faktor modal dan bahan baku berkualitas tinggi untuk ekspor. Pabrik Gula
yang terbatas. Aren Masarang ini mulai berproduksi sejak
Agribisnis berbasis aren menghasilkan 2006. Saat ini produksi rata-rata 3,5 ton gula
produk utama gula merah atau gula kristal kristal atau gula semut per hari. Mereka
yang bisa menjadi sumber gula alternatif. berhubungan dengan petani pemasok nira
Sedangkan nira aren dapat diolah menjadi sebanyak 3.500 orang yang tersebar di 35
etanol, sumber energi yang bisa diperbarui. desa di Kota Tomohon. Petani menerima
Gula aren berbeda dengan gula biasa. harga jual nira Rp2.000/liter. Dan ketika nira
Dibandingkan dengan gula pasir, gula dari telah diolah menjadi gula semut, petani juga
pohon enau ini dapat digunakan untuk semua memperoleh bagian keuntungan sehingga
keperluan, mulai dari pemanis minuman dan pabrik dan petani sama-sama beroleh
bumbu masakan. keuntungan. Pabrik gula aren modern
Aren jauh lebih produktif dari tanaman pertama di Indonesia bahkan di dunia ini
tebu dalam menghasilkan kristal gula dan pada tanggal 15 Januari 2007, diresmikan
biofuel per satuan luas. Produktivitasnya bisa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
4 - 8 kali dibandingkan tebu. Dan rendemen Presiden juga sekaligus melepas ekspor

30
perdana gula aren sebanyak 12,5 ton ke cara perbanyakannya. Kedua, pengetahuan
Belanda. mengenai proses panen yang efisien dan
Potensi aren di Indonesia, khususnya efektif. Ketiga, transportasi nira dari pohon
Maluku Utara luar biasa besar yang tersebar ke pabrik agar tidak rusak. Dan keempat,
mulai dari daerah pantai sampai ke sistem pengolahan hasil yang modern. Serta
pegunungan. Potensi yang luar biasa tak kalah pentingnya masalah organisasi dan
besarnya ini dapat di ukur dari berbagai segi, manajemen. Mulai dari organisasi petani,
yaitu ekonomi, pemerataan pendapatan, dan organisasi pabrik, dan organisasi distribusi
penanggulangan kemiskinan, serta dari petani ke pabrik, serta manajemen yang
pelestarian lingkungan. mengelola sistem agribisnis berbasis aren
Dari segi ekonomi, aren melalui suatu tersebut. Tetapi kini Puslit Biologi LIPI telah
proses sangat sederhana menghasilkan nira mampu membudidayakannya dan
sebagai produk utama yang bisa diproses jadi menyediakan bibitnya. Dari mulai bibit
gula merah sebagai pengganti gula putih dan hingga menjadi tanaman aren yang
etanol yang sangat penting untuk energi. menghasilkan memerlukan 6-8 tahun, namun
Dari segi pemerataan pendapatan, aren demikian angka itu tidak terlalu lama jika
diusahakan petani-petani kecil dan dibandingkan dengan tanaman lain seperti
kebanyakan masih belum dibudidayakan dan kelapa sawit yang memerlukan waktu 5-6
tumbuh liar di hutan-hutan sekitar tahun untuk menghasilkan minyak sawit.
pemukiman. Karena itu produk-produk Selain penghasil gula merah tanaman
ekonomis tadi dimanfaatkan rakyat yang aren sangat potensial menghasilkan biofuel,
berpenghasilan rendah. Jadi aren ini dapat sehingga perlu dikembangkan sebagai
dijadikan program penanggulangan perkebunan besar seperti halnya kelapa sawit
pengangguran dan kemiskinan di pedesaan. atau jarak pagar. Kelebihan tanaman aren ini
Dari segi kelestarian lingkungan, aren bisa dipanen setiap hari sepanjang tahun,
tumbuh subur bersama-sama pohon lain. menghasilkan lebih banyak dan cepat bahan
Oleh karena itu, aren mampu menciptakan bakar terbarukan dibanding tanaman lain.
ekologi yang baik sehingga tercipta Pohon aren tidak seperti tanaman lain
keseimbangan biologi. Di samping itu, penghasil bioethanol (bahan bakar pengganti
karena tumbuh bersama-sama pohon lain, bensin) yaitu singkong yang memiliki masa
tanaman aren dapat menjadi penahan air panen enam bulan atau tebu tiga bulan untuk
yang baik dan aren relatif sulit untuk sekali panen saja serta keterbatasan lainnya.
terbakar. Berbeda dengan kelapa sawit dan Getah nira yang menetes dari bunganya,
kelapa yang membutuhkan kondisi lebih mudah dijadikan bioethanol dibanding
monokultur. Tanaman aren tidak dijadikan gula aren. Getahnya cukup
membutuhkan pemupukan untuk tumbuh, difermentasi (diberi ragi/mikroba) lalu
tidak terserang hama dan penyakit yang setelah menjadi alkohol dipisahkan dari
mengharuskan penggunaan pestisida airnya.
sehingga aman bagi lingkungan. Bahkan Aren bisa dipanen terus-menerus di
boleh dikatakan produknya organik. Aren mana setiap satu pohon aren bisa
dapat tumbuh pada lahan marginal di lereng menghasilkan nira 1-20 liter per hari yang
gunung atau berbukit-bukit bersama tanaman 10% bisa diproses menjadi ethanol. Setiap
lain. Sedangkan tebu harus ditanam di lahan hektar bisa ditanami 75-100 pohon sehingga
subur yang datar sehingga dalam setiap hektar bisa menghasilkan 1.000 liter
penggunaan lahan bersaing dengan tanaman nira per hari atau sekitar 100 liter ethanol per
lain seperti padi dan jagung. hari. Bandingkan dengan sawit yang satu
Masalah dalam pengembangan hektarnya hanya menghasilkan maksimal
tanaman aren disini adalah pengetahuan kita enam ton biodiesel per tahun.
mengenai aren yang sangat minim Pengelolaan dan pembudidayaan
dibandingkan kelapa sawit, kelapa, dan tebu. tanaman aren perlu dilakukan mengingat
Kalau kita mau mengembangkan dalam skala tanaman aren memiliki keunggulan dalam
regional dan nasional, pengetahuan tentang mencegah erosi tanah terutama pada daerah-
aren harus ditambah. Pengetahuan yang daerah yang terjal karena akar tanaman aren
mendesak adalah mengenai seleksi tanaman dapat mencapai kurang lebih enam meter
yang mempunyai produktivitas tinggi dan pada kedalam tanah. Nira aren juga
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

berpeluang untuk diolah menjadi salah satu dalam agroindustri aren ini. Dengan
alternatif biofuel, yaitu menjadi etanol. Aren demikian maka dari tanaman aren diharapkan
juga memiliki nilai ekonomis jika dapat meningkatkan pendapatan asli daerah,
diusahakan secara serius, karena seluruh meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan
bagian dari tanaman ini baik batang, daun, peningkatan ekonomi petani, mengentaskan
buah, mayang, ijuk yang dihasilkan dapat kemiskinan, dan membuka lahan kerja baru
digunakan untuk keperluan kehidupan sehingga dapat mengurangi penggangguran
manusia. Aren ternyata dapat menghasilkan di daerah ini.
60 jenis produk bernilai ekonomi dan
beberapa produk berpotensi untuk diekspor, VII. PENUTUP
bahkan aren berperan sebagai penyuplai Prospek agribisnis aren ini sangat
energi dan untuk pelestarian lingkungan menjanjikan disamping nilai nutrisinya yang
hidup. tinggi serta manfaatnya yang banyak, baik
Kiranya Pemerintah Propinsi Maluku untuk industri makanan, minuman,
Utara dapat mengikuti jejak Propinsi perumahan maupun industri biofuel. Sangat
Sulawesi Utara dalam menggalakan usaha diharapkan upaya pemerintah daerah untuk
budidaya aren, dikarenakan masih luasnya melihat dan mengusahakan budidaya aren,
lahan-lahan pertanian yang belum diolah di sehingga aren dapat menjadi komoditi
bumi Moloko Kie Raha ini. Pengembangan unggulan Maluku Utara untuk kesejahteraan
budidaya aren perlu menjadi perhatian masyarakat, dengan meningkatkan
utama, sehingga selain sebagai daerah yang pendapatan petani, mengurangi angka
sudah terkenal dengan gula merahnya kemiskinan serta membuka lahan kerja baru.
khususnya dari aren, budidaya ini juga dapat Dan diharapkan juga agar pihak perbankan
menghasilkan energi biofuel. Pemerintah dapat juga melirik usaha ini dalam
juga perlu menjalin kerjasama dengan para memberikan bantuan berupa kredit usaha
investor untuk mau menanamkan modal kepada para petani aren.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Komentar “Potensi Besar Agribisnis Aren”. Center for Entrepreneurship
Development and Studies. http://ceds.files.wordpress.com.

, 2008. Aren Sangat Potensial Hasilkan Biofuel. http://www.inilah.com

, 2008. Gula Aren Laris Manis. http://web.bisnis.com

, 2008. Nama-nama Aren di berbagai Daerah, Penyebaran dan Aneka Kegunaan.


Kebun Aren. http://kebunaren.blogspot.com.

, 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/Morfologi_Tanaman_Aren.

Kadis Pertanian KPD Provinsi Maluku Utara, 2007. Kuliah Perdana Faperta UMMU “Peran
Agribisnis Dalam Pembangunan Daerah”

Soetrisno L, 1999. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian, Sebuah Tinjauan Sosiologis,


Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta.

Suhdan Kasuba, 2008. Analisis Marjin dan Saluran Pemasaran Gula Aren di Desa Kampung
Makian, Kecamatan Bacan Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan. Skripsi UMMU-
Ternate (tidak dipublikasikan).

Sutanto Edy N, BE, 1996. Manisan Buah-buahan 2, Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta.

32
DINAMIKA JUMLAH BAKTERI SELAMA MASA
PENYIMPANAN PETIS IKAN LAYANG
Vanessa N. J. Lekahena
Staf Pengajar UMMU-Teranate, Email : enchalekahena@yahoo.com

ABSTRAK

Petis ikan adalah olahan ikan berbentuk pasta, berbahan dasar ekstrak
ikan hasil pengolahan pindang atau rebusan daging ikan bercampur
garam yang diberi tambahan bumbu dan gula merah, direbus hingga
mengental dan diberi pengemulsi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dinamika jumlah bakteri selama masa penyimpanan petis
ikan layang (Decapterus sp). Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian UMMU-
Ternate pada bulan November 2008 sampai Desember 2008. Metode
penelitian yang digunakan adalah percobaan deskriptif dengan cara
isolasi. Perhitungan jumlah bakteri dilakukan dengan metode TPC (Total
Plate Count) atau ALT (Angka Lempeng Total). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa jumlah bakteri selama masa penyimpanan
mengalami peningkatan dari 1.13 x 104 pada penyimpanan hari 3 menjadi
2.83 x 104 pada penyimpaan hari 6 untuk petis ikan dengan konsentrasi
garam 20%, sementara petis ikan dengan garam 40% jumlah bakteri
meningkat dari 1.67 x 104 pada penyimpanan hari ke 3 menjadi 2.2 x 104
pada penyimpanan hari ke-6, sedangkan untuk petis ikan dengan
konsentrasi garam 40% jumlah bakteri pada hari ke-3 adalah 1.73 x 104
dan menjadi 4.43 x 104. Secara umum jumlah bakteri mengalami
peningkatan akan tetapi peningkatan jumlah pertumbuhan bakteri lebih
besar peningkatannya pada petis ikan dengan konsentrasi garam 60%.

Kata kunci : ALT, Bakteri, Petis Ikan.

I. PENDAHULUAN proses penanganan limbah, yaitu


1.1. Latar Belakang mengadakan perlakuan yang tepat terhadap
Pengolahan ikan secara pemindangan limbah tersebut dengan biaya serendah
adalah salah satu alternatif pengolahan dan mungkin; memberikan perlakuan terhadap
pengawetan ikan dengan cara yang limbah sehingga produknya dapat
sederhana, sehingga mampu untuk dimanfaatkan kembali, dan mengusahakan
memperpanjang daya awet ikan dan cara kombinasi dari cara pengolahan yang
mempertahankan mutu ikan. Pemindangan ada.
ikan adalah pengolahan dengan suhu tinggi Untuk meminimalkan limbah hasil
melalui proses perebusan yang bertujuan pemindangaan, maka perlu adanya bentuk
untuk membunuh dan memusnahkan upaya diversifikasi olahan. Petis dan kecap
mikroba yang dapat mempengaruhi mutu dan ikan adalah bentuk olahan ikan yang diolah
daya simpan produk olahan pindang yang dengan memanfaatkan limbah ekstrak ikan
dihasilkan. hasil pengolahan pindang, dimana proses
Dalam pengolahan pindang ikan, pengolahannya diberi tambahan bumbu-
biasanya dihasilkan sisa hasil rebusan bumbu dan gula merah, yang direbus hingga
(residu) yang bergaram yang biasanya mengental dan diberi tambahan air tajin
menjadi limbah olahan proses pemindangan sebagai pengemulsi untuk membentuk pasta
dan jarang dimanfaatkan. Secara umum ada ikan.
tiga alternatif yang dapat digunakan selama Petis Ikan merupakan komoditi hasil
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

pengolahan ikan yang cukup dikenal, Laboratorium Pembinaan dan Pengujian


terutama di dalam masyarakat di Pulau Jawa, Mutu Hasil Perikanan (PPN Bastiong)
dan biasanya digunakan sebagai lauk atau Ternate. Metode penelitian yang digunakan
campuran makanan rakyat yang khas. Petis merupakan percobaan deskriptif dengan cara
berasal dari cairan tubuh ikan yang telah isolasi.
terbentuk selama proses penggaraman
kemudian diuapkan melalui proses perebusan 2.1. Prosedur Penelitian
lebih lanjut sehingga menjadi larutan yang 1. Air sisa hasil rebusan ikan pindang
lebih padat seperti pasta (Afrianto dan layang yang diberi kosentrasi garam
Liviawaty, 1989). Sedangkan menurut yang berbeda (20% ; 40%; 60%).
Rahayu et al. (1992) petis ikan atau pasta Kemudian ekstrak ikan disaring
ikan adalah salah satu produk olahan dengan untuk memisahkan kotoran-kotoran
bahan baku ikan. Produk ini berupa padatan yang tersisa. Lakukan perebusan
berwarna coklat, abu-abu atau merah karena awal, sebelumnya ditambahkan 1000
adanya tambahan bahan pewarna. ml air selama 30 menit dan dibiarkan
Petis ikan layang dibuat dengan dingin.
menggunakan sisa perebusan pindang ikan 2. Buatlah bubur encer untuk diambil
layang yang direbus menggunakan garam air tajinnya. Saring air rebusan
sehingga menghasilkan residu hasil rebusan (ekstrak daging) ditambahkan air
memiliki aroma ikan dan karakteristik yang tajin dengan perbandingan 1:1
khas. Ciri khas petis ikan antara lain aroma (ekstrak : air tajin).
harum yang disebabkan adanya degradasi 3. Buatlah larutan gula merah dengan
protein dan lemak yang menghasilkan perbandingan 500 gr gula dilarutkan
senyawa metil keton, butilaldehid, amonia, dengan 500 ml air, tambahkan
asam amino, dan senyawa anonim lainnya. larutan gula ke dalam ekstrak yang
Selain itu kandungan asam amino nitrogen sudah dicampurkan dengan air tajin
yang tinggi mempengaruhi cita rasa petis. (lakukan penyaringan larutan gula
Kekhasan lainnya adalah tekstur empuk dan sebelum dicampurkan) dan
kompak sebagai hasil kerja enzim proteolitik kemudian panaskan kembali hingga
yang dihasilkan oleh mikroorganisme mengental dan berbentuk pasta.
(Rahayu et al., 1992). Petis yang telah jadi didinginkan dan
Kualitas aroma dan tekstur petis ikan disimpan didalam botol kaca.
dipengaruhi oleh proses pengolahan yang 4. Pada hari ke-3 ambillah masing-
terdiri dari tahap penggaraman, perebusan, masing sampel petis ikan dengan
pengentalan, dan penyimpanan. Proses konsentrasi garam yang berbeda
perebusan dan penggaraman merupakan (20%, 40% dan 60%), sebanyak 10
faktor paling menentukan karena pada tahap ml cairan petis tersebut diambil pada
ini terjadi prekursor cita rasa dan aroma khas untuk pengamatan jumlah bakteri
petis ikan tersebut yang ditimbulkan oleh total.
pertumbuhan mikroorganisme. 5. Lakukan hal yang sama pada hari ke-
6 untuk pengamatan jumlah bakteri
1.2. Tujuan Penelitian total.
Penelitian ini bertujuan untuk 6. Pengamatan jumlah bakteri total
mengetahui dinamika jumlah bakteri selama dilakukan untuk mengetahui jumlah
masa penyimpanan petis ikan layang dengan bakteri yang berperan selama masa
konsentrasi garam yang berbeda. penyimpanan petis ikan. Bakteri
diisolasi menggunakan media
II. METODE PENELITIAN spesifik untuk bakteri halofilik yaitu
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan media Synthetic Sea Water (SSW)
November – Desember 2008 di dengan komposisi antara lain: 5 g
Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan, MgSO4.7H2O; 30 g NaCl; 1.4 g
Fakultas Pertanian Universitas MgCl2.H2O; 0.7 g CaCl2.2H2O; 0.5
Muhammadiyah Maluku Utara di Kelurahan g ekstrak khamir; 0.5 g pepton; 3 ml
Sasa – Kota Ternate Selatan, Ternate dan gliserol; 1 L akuades, dan 10 g bacto.
pengujian mikrobiologi dilakukan di Selanjutnya diambil 1 ml lalu

34
ditambahkan NaCl fisiologis 10 ml, 30-300 koloni pada setiap cawan
kemudian dihomogenisasi dan biakan
disterilisasi. Tahap berikutnya
dilakukan pengenceran sampai III. HASIL DAN PEMBAHASAN
pengenceran dengan 10-4. Sebanyak Pada hari ke-0, daging dan cairan
1 ml dari masing-masing tubuh ikan layang segar pada umumnya steril
pengenceran dituang ke dalam secara alamiah, namun pada kulit, lendir,
cawan petri steril, kemudian insang, dan saluran pencernaan biasanya
ditambahkan media SSW sebanyak mengandung mikroorganisme terutama
20 ml dan diikubasi pada 37 °C bakteri. Kebanyakan bakteri ini berperan
selama 24 jam, dan dihitung jumlah dalam pembusukan ikan. Jumlah bakteri
total bakterinya. (Hadioetomo RS, pada ikan berkisar antara 102 -106 percm2
1993). pada kulit; 103-105 pada insang; dan
7. Metode perhitungan Jumlah Bakteri beberapa sampai 107 atau lebih pada usus
Total berdasarkan Fardiaz (1993) (Rahayu et al. 1992). Petis ikan hasil olahan
dengan menggunakan cawan pada hari ke-0, dikarenakan kondisi ikan
pembiakan (plate count), caranya masih segar, maka diduga petis ikan yang
semua koloni yang tumbuh di dalam dihasilkan tidak mengandung jumlah bakteri,
cawan media SSW dihitung. walaupun demikian akan tetapi proses
Misalnya, pada pengenceran 10-3 penanganan dan pengolahan dengan
terdapat 280 koloni, kemudian pada menggunakan peralatan yang menggunakan
pengenceran 10-4 terdapat 96 koloni, seperti pisau pada proses penyiangan, periuk
dan pada pengenceran 10-5 terdapat tanah yang digunakan untuk perebusan,
32 koloni, maka perhitungannya wadah penampungan dan waktu penanganan
adalah sebagai berikut: Jumlah dapat berpotensi mengkontaminasi produk
bakteri/ml bahan yang diperiksa = yang dihasilkan. Hal ini dapat terlihat pada
(280 x 10-3 ) + (96 x 10-4) + (32 x 10- hasil perhitungan jumlah total bakteri dapat
5
). Hasil hitungan koloni bakteri pada hari ke-3 dan hari ke-6, yang disajikan
yang dapat diandalkan adalah antara pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:

Tabel 1. Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri Jumlah Bakteri Pada Petis Ikan Layang Pada Hari
ke-3
Perlakuan Ulangan No. Pengenceran ALT/Gram
-2 -3 -4
Konsentrasi 1 190 85 25 1.4 x 104
Garam 20%
2 155 45 21 9 x 103
3 163 50 27 1.1 x 104
Konsentrasi 1 190 173 35 1.8 x 104
Garam 40%
2 199 143 40 1.7 x 104
3 161 137 27 1.5 x 104
Konsentrasi 1 135 67 34 1.1 x 104
Garam 60%
2 197 164 40 1.8 x 104
3 229 189 80 2.3 x 104

Tabel 2. Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri Jumlah Bakteri Pada Petis Ikan Layang Pada Hari
ke-6
Perlakuan Ulangan No. Pengenceran ALT/Gram
-2 -3 -4
Konsentrasi
1 280 212 35 2.4 x 104
Garam 20%
2 340 230 29 2.7 x 104
3 392 325 28 3.4 x 104
Konsentrasi
1 345 213 45 2.7 x 104
Garam 40%
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

2 241 184 37 2.1 x 104


3 190 181 34 1.8 x 104
Konsentrasi
1 520 399 178 5.0 x 104
Garam 60%
2 385 295 90 3.5 x 104
3 457 413 182 4.8 x 104

Pada hari ke-3, terlihat bahwa petis jumlah garam yang ditambahkan akan
ikan yang dihasilkan dengan konsentrasi menekan jumlah pertumbuhan bakteri akan
garam 20% mempunyai jumlah bakteri yang tetapi jika konsentrasi garam yang berlebihan
berkisar antara 9 x 103 sampai dengan 1.4 x mengakibatkan jumlah bakteri yang bersifat
104 atau rata-ratanya adalah 1.13 x 104. haloteran dapat tumbuh dan meningkat hal
Sedangkan jumlah bakteri meningkat pada ini terlihat pada petis ikan yang dihasilkan
hari ke-6 hal ini terlihat pada jumlah bakteri dengan menggunakan konsentrasi garam
antara 2.4 x 104 sampai dengan 3.4 x 104 atau 60%.
dengan rata-ratanya adalah 2.83 x 104. Pada Fungsi garam selain untuk
petis ikan dengan konsetrasi garam 40% meningkatkan cita rasa ikan, membentuk
terlihat jumlah bakteri pada hari ke-3 berada tekstur yang diinginkan, juga dapat
pada kisaran 1.5 x 104 sampai dengan 1.8 x mengontrol pertumbuhan bakteri dengan cara
104 atau dengan rata-rata jumlah bakteri merangsang pertumbuhan bakteri yang
adalah 1.67 x 104, sementara pada hari ke-6 diinginkan dalam fermentasi dan
kisaran jumlah bakteri adalah 1.8 x 104 menghambat pertumbuhan mikroba
sampai dengan 2.7 x 104 dengan rata-rata pembusuk. Dengan kadar garam yang cukup
jumlah pertumbuhan bakteri adalah 2.2 x 104. tinggi akan mampu menghambat bakteri
Untuk petis yang dihasilkan dengan pembusuk dan hanya mikroba halofilik yang
konsentrasi garam 60% jumlah bakteri pada tumbuh. Bakteri halofilik tersebut diharapkan
hari ke-3 pada kisaran 1.1 x 104 sampai dapat menghasilkan enzim proteolitik.
dengan 2.3 x 104, dengan rata-rata Dengan dihasilkannya enzim proteolitik
pertumbuhan bakteri 1.73 x 104 dan pada hari maka senyawa-senyawa utama pada ikan
ke-6 kisaran pertumbuhan bakterinya adalah dapat diubah menjadi senyawa-senyawa
3.5 x 104 sampai dengan 5.0 x 104 dengan yang lebih sederhana.
rata-rata jumlah pertumbuhan bakteri 4.43 x Peranan garam untuk mengontrol
104. proses pertumbuhan bakteri juga dinyatakan
Dari hasil perhitungan jumlah bakteri oleh Moeljanto (1982) yaitu bahwa ikan
pada petis ikan dengan konsentrasi garam merupakan bahan pangan yang banyak
yang berbeda terlihat petis ikan pada mengandung air (sekitar 80%) sehingga
konsentrasi garam 20% pada masa pertumbuhan mikroba yang berperan dalam
penyimpanan hari ke-6 jumlah bakteri proses fermentasi (seperti jamur) terhambat
meningkat menjadi 2 kali lipat dari jumlah oleh bakteri pembusuk. Garam pun akan
bakteri pada masa penyimpanan hari ke-3 meningkatkan tekanan osmotik substrat,
atau mengalami peningkatan 100% dari sehingga terjadi penarikan air dari dalam
jumlah bakteri sebelumnya, sementara petis bahan pangan keluar. Akibatnya, kadar air
konsentrasi garam 40% peningkatan jumlah daging ikan menurun karena sel akan
bakteri pada hari ke-6 yaitu mengalami kehilangan air dan mengalami pengerutan
peningkatan ¼ kali dari jumlah bakteri pada sehingga mikroba yang tidak tahan garam
hari ke-6 atau hanya mengalami peningkatan tidak dapat tumbuh. Garam dapat
25% dari jumlah bakteri sebelumnya. Hal mengganggu kerja enzim proteolitik karena
yang berbeda ditunjukkan pada jumlah dapat mengakibatkan denaturasi protein.
bakteri pada petis ikan dengan konsentrasi Pada proses penyimpanan hari ke-6,
garam 60% dimana dimana jumlah bakteri terjadi peningkatan asam-asam amino yang
pada hari ke-6 mengalami peningkatan 2.5 mencerminkan adanya pemecahan protein
kali dari jumlah bakteri pada hari ke-3 atau selama fermentasi telah berjalan optimal.
150% dari jumlah bakteri sebelumnya. Hal Hal ini ditandai dengan jumlah bakteri total
ini menunjukkan adanya peranan garam yang meningkat. Pemecahan protein ini
untuk menekan jumlah mikroba, makin besar lebih disebabkan oleh enzim-enzim protease

36
yang dihasilkan oleh bakteri halofilik Hasil penelitian ini dapat disimpulkan
daripada oleh enzim-enzim protease yang bahwa jumlah bakteri selama proses
dihasilkan oleh cairan ekstrak daging ikan itu penyimpanan dari hari ke-0 sampai dengan
sendiri. Hal ini disebabkan pada saat hari ke-6, dengan jumlah peningkatan yang
perebusan enzim-enzim dari ikan telah larut berbeda pada setiap petis ikan yang
dalam ekstrak cairan yang dihasilkan dihasilkan. Jumlah pertumbuhan bakteri yang
sehingga enzim-enzim tersebut dapat mengalami peningkatan tertnggi yaitu pada
meningkatkan jumlah bakteri jika hasil petis ikan dengan konsentrasi garam 60%
olahan tersebut disimpan pada suhu ruang. pada hari ke-6 hal ini disebabkan oleh
Menurut Rahayu et al, (1992) enzim aktivitas bakteri halofilik yang optimal
proteolitik dari bakteri terutama dihasilkan dalam memproduksi enzim proteolik.
oleh bakteri yang bersifat halofilik antara Untuk mengetahui jenis mikroba
lain enzim n-asetilmuramidase yang dapat yang berperan dalam proses penyimpanan
mendegradasi protein pembentuk dinding sel petis ikan maka disarankan untuk penelitian
bakteri. isolasi dan identifikasi lebih lanjut
mencakup sifat fisik dan biokimiawinya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, Eddy dan Evi Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Penerbit
Kanisius, Cetakan ke-14, Yogyakarta.

Burgess, G.H.O., C.L. Cutting, J.A. Lovern dan J.J. Waterman. 1965. Fish Handling and
Processing. Her majesty’s Stationary Office. Edinburg.

Fardiaz S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta. 200
hal.

Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar
Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.

Moeljanto, R. 1982. Penggaraman dan Pengeringan Ikan. PT Penebar Swadaya. Jakarta. 31


hal.
Rahayu WP., Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk
Perikanan. Depdibud. Dirjen Dikti. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.140 hal.
ANALISIS USAHA TERNAK AYAM BROILER
STUDI KASUS UD. HARAPAN TERNAK DI DESA GAMBESI
TERNATE SELATAN
Fatmawati Kaddas
Staf Pengajar Agribisnis, FAPERTA UMMU-Ternate

ABSTRAK

Perkembangan pengetahuan teknis dan teknologi, diikuti dengan


berkembangnya budi daya ayam yang cukup pesat. Semula hanya untuk
memenuhi kebutuhan sendiri kini berkembang dengan kegiatan usaha yang
beriorentasi pasar dan memberikan hasil yang menguntungkan. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2008 pada UD Harapan
Ternak di Desa Gambesi Ternate Selatan, bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana tingkat pendapatan dan kelayakan usaha yang diperoleh para peternak
ayam broiler. Metode Penelitian ini menggunakan metode stratified purposive
random sampling. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha pemeliharaan
ayam broiler sangat menguntungkan dengan besar pendapatan diperoleh Rp.
7.806.000,- dalam satu siklus produksi. Angka 1,4 pada analisis R/C Ratio
menunjukkan tingkat kelayakan usaha pemeliharaan ayam broiler. Berarti tiap
penambahan biaya sebesar Rp. 1,00 berarti akan memperoleh penerimaan
sebesar Rp.1,4.

Kata Kunci : Analisis Usaha, Ayam Broiler.

I. PENDAHULUAN sejenis, pertumbuhan penduduk tinggi,


1.1. Latar Belakang peningkatan pendapatan, peningkatan
Daging ayam merupakan pilihan kesadaran pemenuhan gizi dan ketersediaan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan produk.
protein hewani keluarga. Daging ayam Untuk konsumsi rumah tangga sampai
banyak dipilih karena harganya lebih murah akhir tahun 2002 konsumsi daging ayam
dibandingkan jenis daging lainnya dan sesuai masyarakat mencapai 964,1 Ribu ton
dengan selera masyarakat. Salah satu jenis dibanding pada tahun 1969 hanya 339,2 ribu
ayam yang permintaan dagingnya cukup ton atau kenaikan sebesar 60 % dari 13 %
banyak adalah ayam broiler. Ayam terhadap konsumsi daging nasional (Kartika,
potong/broiler merupakan ayam ras yang 2003). Usaha pemeliharaan ayam potong di
memiliki karakteristik ekonomi sabagai kota Ternate dan sekitarnya telah lama
penghasil daging dengan ciri khas dilaksanakan, bahkan baik secara perorangan
pertumbuhan yang cepat, konversi makanan (rumah tangga) dalam jumlah yang relatif
irit, dan siap dipotong pada relatif muda. kecil maupun secara kemitraan tentunya
Pada umumnya ayam ini dipelihara sampai dalam jumlah yang relatif besar.
berusia 5 – 7 minggu dan berat tubuh sekitar Tabel 1. Populasi Ayam Broiler Menurut
1,3 Kg - 1,8 Kg (Murtidjo, 2003). Kab/Kota di Maluku Utara.
Peranan ayam broiler di Indonesia Tahun 2007
No Kab/Kota
mulai menonjol sejak tahun 1980 untuk (Ekor)
memenuhi kebutuhan daging ayam 1. Halmahera Barat 3.221
2. Halmahera Tengah -
dimasyarakat. Hingga saat inipun usaha
3. Kep.Sula 698
tersebut tetap bersprospek dan permintaan 4. Halmahera Selatan 2.500
ayam broiler terus meningkat. Menurut 5. Halmahera Utara 3.114
Kartika (2003) bahwa beberapa faktor yang 6. Halmahera Timur 1.288
mempengaruhi permintaan ayam pedaging 7. Ternate 119.175
/broiler terus meningkat karena harga yang 8. Tidore Kepulauan 17.404
relatif lebih rendah dibanding dengan daging
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

Total 147.400 Harapan Unggas dari berbagai peternakan


Sumber: BPS Propinsi Maluku Utara (2008). yang ada di Ternate.
Banyaknya para peternak ayam potong
merupakan suatu nilai yang positif 2.4. Metode Analisis Data
untuk menunjang kontribusi kepada Untuk mengetuhui besarnya
pemerintah dan masyarakat dalam rangka pendapatan peternak ayam broiler degunakan
ikut memenuhi permintaan pasar terhadap analisis dengan rumus :
protein hewani asal ternak dari hari
ke hari sejalan dengan semakin Π = TR − TC
bertambahnya kebutuhan masyarakat. Hal Ket :
ini juga yang menjadi Tantangan dan ∏ : Profit (Keuntungan)
problema yang dihadapi oleh para peternak TR : Total Revenue (Total Penerimaan)
ayam potong mulai dari segi teknis yaitu TC : Total Cost (Total Pengeluaran)
menyangkut dengan sistem, metode dan
tatalaksana pemeliharaan juga masalah Total penerimaan di hitung dengan rumus:
non-teknis yaitu menyangkut segi
manajemen bisnis ekonomi yang TR = pi x Hpi
menguntungkan atau pendapatan yang Ket :
diperoleh peternak. Pi : Jumlah Produksi
Berdasarkan uraian di atas penulis Hpi : Harga Jual
tertarik untuk melakukan suatu penelitian Total biaya di hitung dengan rumus :
tentang sejauh mana pendapatan yang
diperoleh peternak ayam broiler dan TC = FC + VC
tingkat kelayakan usaha pemeliharaan ayam Ket :
broiler di kota ternate, maluku Utara. FC : Fixed Cost (Biaya Tetap)
VC : Variable Cost (Biaya Variabel)
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk Untuk Mengetahui Layak tidaknya
mengetahui sejauh mana tingkat pendapatan usaha pemeliharaan ayam broiler
dan kelayakan usaha yang diperoleh menggunakan rumus :
para peternak ayam potong di kota Ternate
khususnya pada lokasi penelitian. Total Revenue
R / C Ratio =
Total Cost
II. METODE PENELITIAN Ket :
2.1. Waktu dan Tempat R/C Ratio > 1 Mendapatkan Keuntungan
Penelitian ini dilaksanakan di Desa R/C Ratio = 1 Usaha Tidak Untung dan Rugi
Gambesi, Ternate Selatan, Maluku Utara, R/C Ratio < 1 Usaha Rugi
yang berlangsung pada bulan September
sampai Oktober 2008 selama satu kali siklus IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
produksi. Selama penelitian berlangsung
dilanjutkan dengan penyusunan kalkulasi
2.2. Jenis dan Sumber Data biaya dan jumlah produksi pemeliharaan
Data yang digunakan dalam penelitian ayam broiler, maka berdasarkan alat analisis
ini yaitu data primer dan data sekunder. yang di dapat yaitu diperoleh pendapatan
Data primer didapat dengan wawancara sebesar Rp. 7.806.000. Nilai R/C
langsung dengan sipeternek sedangkan Ratio sebesar 1,4. Dengan angka tersebut
data sekunder diperoleh dari lembaga atau maka usaha tersebut layak untuk
instansi yang terkait. dikembangkan, berarti bahwa setiap
penambahan biaya sebesar Rp. 1,00
2.3. Metode Pengambilan Sampel akan memperoleh penerimaan sebesar
Pengambilan sampel dipergunakan Rp. 1,4. Berikut dapat dilihat kalkulasi
metode stratified purposive random biaya, penerimaan dan pendapatan
sampling, Pengambilan sampel secara pemeliharaan ayam broiler.
sengaja pada perusahaan peternakan UD.

39
biaya pengeluaran lainnya.

4.2. Analisis Penerimaan dan


Pendapatan Pemeliharaan Ayam
3.1. Kalkulasi Biaya Pemeliharaan Broiler.
Ayam Broiler Hubungan antara Penerimaan total
dengan total biaya di analisis dengan
Tabel 2. Biaya Tetap yang dikeluarkan menggunakan analisis pendapatan. Untuk
peternak ayam broiler menghitung penerimaan usaha ternak ayam
UD. Harapan Unggas broiler diperlukan data produksi. Untuk
No Uraian Nilai (Rp) lebih jelas lihat analisis berikut:
1. Kandang 200.000
Tabel 4. Analisis Penerimaan dan Pendapatan
2. Tempat Minum Besar 252.000
Pemeliharaan Ayam Broiler
3. Tempat Makan Besar 252.000 No Uraian Nilai
A Produksi (ekor) 1.075
4. Tempat minum DOC 15.000
B Harga (Rp) 25.000
5. Tempat Makan DOC 15.000 C Total Biaya (Rp) 19.069.000
D Total Penerimaan
6. Kompor 367.000 26.875.000
(A x B) (Rp)
7. Baskom 20.000 E Total Pendapatan
7.806.000
(D – C) (Rp)
8. Drom 60.000 Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2008
9. Gayung 8.000
Pendapatan peternak ayam broiler UD.
Total 1.189.000 Harapan Unggas di Desa Gambesi Ternate
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2008 Selatan, selama satu kali produksi
menberikan hasil bersih sebesar
Tabel 3. Biaya Variabel yang Dikeluarkan
Rp. 7.806.000. Usaha ini memberikan
Peternak Ayam Broiler
UD. Harapan Unggas keuntungan yang cukup besar dan perlu
penambahan skala usaha serta penanganan
No Uraian Nilai (Rp)
yang lebih baik.
1. DOC 6.000.000
2. Pakan 10.000.000 4.3. Analisis Kelayakan Usaha
3. Vaksin B1 55.000 Untuk mengetahui tingkat
kelayakan usaha pemeliharaan ayam
4. Sekam 57.000
broiler maka dapat dihitung dengan salah
5. Minyak Tanah 96.000 satu parameter yaitu R/C Ratio yang
6. Gula Pasir 7.000 dilihat dari sisi tingkat penerimaan dan
7. Obat-obatan 400.000
biaya, dimana usaha peternakan ayam
broiler UD HarapanUnggas mendapatkan
8. Listrik 65.000 nilai R/C Ratio sebesar 1,4. Nilai 1,4
9. Tenaga kerja 1.000.000 berarti usaha ini layak untuk dilakukan.
10. Transportasi 200.000 Setiap penambahan biaya Rp. 1,00 akan
Total 17.880.000 memperoleh penerimaan sebesar Rp. 1,4.
Sumber: Data Primer Setelah Dioleh, 2008
V. PENUTUP
Biaya yang terdiri biaya tetap dan Kesimpulan
biaya variabel (Tabel 3) di peroleh biaya 1. Pendapatan diperoleh UD Harapan
yang sangat besar pada pembelian pakan dan Unggas sebesar Rp. 7.806.000
DOC. Hal ini menandakan bahwa pengaruh selama satu siklus produksi. Nilai ini
yang paling besar terhadap produksi ayam di peroleh setelah mengurangi
broiler. Dengan bibit DOC yang berkualitas jumlah penerimaan dengan total
dan pemberian pakan sesuai dosis kebutuhan biaya produksi.
maka dapat meningkatkan hasil produksi 2. Menghitung Tingkat kelayakan
peternak sehingga dapat menutupi biaya-
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

usaha UD Harapan Unggas diperoleh biaya Rp. 1,00 akan memperoleh


nilai R/C Ratio sebesar 1,4 berarti penerimaan atau keuntungan sebesar
usaha peternakan ini layak untuk Rp. 1,4.
dilakukan dengan setiap penambahan
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. Poultry Indonesia Vol III Agustus 2008 Ancaman Pakan Global, Jakarta.

Murtidjo Bambang A, 1987. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta.

, 2003. Pemotongan, Penanganan dan Pengolahan Daging Ayam.


Kanisius, Yogyakarta.

Mulyono Subangkit, 2004. Memelihara Ayam Buras Beriorentasi Agribisnis. Swadaya,


Jakarta.

Tobing Vick, 2004. Beternak Ayam Broiler Bebas Antibiotika: Murah & Bebas Residu,
Penebar Swadaya, Jakarta.

Widjaja, Kartika, 2003. Peluang Bisnis Ayam: Ras dan Buras. Penebar Swadaya, Jakarta.

41
PENGARUH PENAMBAHAN EMULSIFIER LEMAK
DALAM PEMBUATAN SOSIS IKAN TENGGGIRI
(Scomberomuros comerson)
Ahmad Talib
Staf Pengajar FAPERTA UMMU-Ternate
email: madoks75@yahoo.co.id

ABSTRAK

Ikan tenggiri merupakan bahan pangan yang mudah mengalami


kemunduran mutu (high perishable food). Kemunduran mutu terjadi
disebabkan oleh kondisi penangkapan yang kurang baik, penanganan
pasca panen yang tidak mampu mempertahankan mutu ikan serta
pengolahan pengolahan pasca panen yang kurang baik. Komponen kimia
ikan tenggiri adalah sebagai berikut, air 66-84%, protein, 16-22%,
karbohidrat, 1-3%, lemak 0,1-2,2% dan bahan organik lain adalah 0,8-
2%. Proses pengolahan ikan tenggiri sebagai bahan sosis di Indonesia
sudah banyak dimanfaatkan. Karena tenggiri mempunyai daging yang
putih yang sangat baik dimanfaatkan untuk berbagai aneka produk. Salah
satu bentuk diversifikasi produk adalah pembuatan sosis ikan. Sosis
adalah makanan yang dipersiapkan dari daging yang digiling dan diberi
bumbu, kemudian dimasukkan kedalam selongsong yang berbentuk
silinder. Pengolahan sosis ikan merupakan salah satu usaha diversifikasi
produk olahan hasil perikanan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Pengolahan Hasil Perikanan IPB dan bertujuan untuk melihat pengaruh
pemberian emulsifier pada produk sosis selain itu untuk meningkatkan
konsumsi ikan masyarkat Indonesia yaitu dengan memberikan lebih
banyak pilihan produk yang dapat dibeli dan dikonsumen.

Kata kunci: emulsifier, ikan tenggiri, sosis.

I. PENDAHULUAN penanganan dan pasca panen. Guna


1.1. Latar Belakang mempertahankan mutu ikan, penanganan
Ikan merupakan bahan pangan yang atau diversifikasi pengolahan yang tepat
memiliki nilai gizi tinggi dan umumnya perlu diperhatikan sejak ikan tertangkap
disukai oleh masyarakat, baik dari golongan sampai ke tangan konsumen karena ikan
ekonomi lemah sampai golongan ekonomi merupakan bahan pangan yang mudah
kuat, karena harganya yang relatif busuk atau high perishable. Sejak ikan
terjangkau. Di balik keunggulan kandungan ditangkap harus tidak lepas dari rantai dingin
gizinya, ikan merupakan bahan pangan yang untuk mempertahankan mutu ikan agar
mudah mengalami kemunduran mutu (high kesegarannya dapat terjaga atau menghambat
perishable food). Kemunduran mutu yang proses kemunduran mutu ikan sebelum
terjadi dapat disebabkan oleh kondisi diolah menjadi produk perikanan.
penangkapan yang kurang baik, penanganan Potensi ikan tenggiri di Indonesia
pasca panen yang tidak mampu cukup besar, yaitu penyebarannya di Laut
mempertahankan mutu ikan serta pengolahan Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan
pengolahan pasca panen yang kurang baik. Maluku. Selain dijual dalam bentuk segar
Untuk memanfaatkan potensi tersebut, ikan tenggiri diolah menjadi berbagai
diperlukan upaya alternatif dalam produk. Proses pengolahan ikan tenggiri
memberikan nilai tambah terhadap ikan sebagai bahan sosis di Indonesia sudah
yang kurang diminati yaitu perbaikan banyak dimanfaatkan. Karena tenggiri
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

mempunyai daging yang putih yang sangat Sedangkan bahan pembantu yang digunakan
baik dimanfaatkan untuk berbagai aneka dalam pembuatan sosis adalah minyak sayur,
produk. Salah satu bentuk diversifikasi lemak gajih, gelatin, tepung tapioka, lada
produk adalah pembuatan sosis ikan. bubuk, jahe, bawang putih, bawang merah,
Sosis adalah makanan yang garam halus dan dan gula secukupnya.
dipersiapkan dari daging yang digiling dan Sebagai bahan pembungkus sosis digunakan
diberi bumbu, kemudian dimasukkan cassing dengan tipe edible dari collagen.
kedalam selongsong yang berbentuk silinder.
Pengolahan sosis ikan merupakan salah satu 2.3. Prosedur kerja
usaha diversifikasi produk olahan hasil Dalam proses pembuatan sosis,
perikanan. Usaha ini sangat diperlukan tahapan yang dilakukan meliputi penyiangan,
terutama dalam rangka untuk meningkatkan pemfiletan, penggilingan, penimbangan,
konsumsi ikan masyarkat Indonesia yaitu pengadonan, pengisian kedalam casing,
dengan memberikan lebih banyak pilihan pengikatan, perebusan dan pendinginan.
produk yang dapat dibeli dan dikonsumsi. Daging merah ikan tenggiri diambil, dicuci
Salah satu alasan dibuatnya sosis pada dengan air bersih untuk menghilangkan
praktikum ini adalah sebagai bentuk darah dan kotoran yang masih melekat pada
penerapan atau aplikasi teknologi formulasi, daging. Selanjutnya daging ikan digiling
dalam hal ini adalah formulasi produk dengan menggunakan grinder (untuk
emulsi. Sosis merupakan salah satu bentuk pelumatan daging). Pada saat pelumatan
produk emulsi dimana terdapat fase minyak daging, selalu disertai atau di lakukan
dalam air. Selain itu sebagai bentuk penambahan es batu (disekelilingi daging
diversifikasi produk hasil perikanan. lumat) untuk mempertahankan suhu sekitar
5-10 °C. Setelah daging lumat terjadi,
1.2. Tujuan Penelitian disertai pula penambahan bahan pembantu
Penelitian ini bertujuan untuk : lain seperti minyak sayur, lemak gajih,
1. Membuat produk emulsi tepung tapioka, air es, garam halus, bawang
2. Melihat pengaruh pemberian merah, bawang putih, lada bubuk, jahe bubuk
emulsifier pada sosis dan gula secukupnya jka diinginkan.
3. Membedakan penggunaan Untuk kelompok lemak gajih dan
sumber lemak yang berbeda minyak sayur, penambahan minyak sayur
pada sosis kedalam daging lumat sebesar 4% sedangkan
penambahan lemak gajih sebesar 4% dari
II. METODOLOGI daging lumat. Formulasi yang digunakan
2.1. Waktu dan Tempat dapat dilihat pada Tabel 1.
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 Tabel 1. Formulasi sosis ikan tenggiri
bulan (Maret 2009) di Laboratorium
Bahan Jumlah
Pengolahan Hasil Perikanan Institut
Daging lumat 250 g
Pertanian Bogor (IPB) Tepung tapioka 50 g
Lada 5g
2.2. Alat dan Bahan Air es 200 ml
Alat-alat yang digunakan dalam Kondimen
praktikum adalah wadah plastik, timbangan, - bawang 12 g
grinder, talenan, pisau, baskom, gilingan merah 5g
daging, blender, thermometer, panci, kain - bawang putih 3g
kasa, pemanas, pan pencetak, kompor, - - jahe
mixer, dan stuffer. Gula 5g
Bahan yang digunakan dalam Garam 15 g
pembuatan sosis adalah ikan tenggiri segar.
Adonan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam stuffer, bagian ujung cassing diikat
dengan benang, lalu adonan dimasukkan kedalam cassing. Setelah itu dilakukan pengikatan
dilanjutkan dengan perebusan. Sosis direbus dengan dua tahap. Perebusan pertama pada suhu
60 °C selama 15-20 menit, dan perebusan kedua pada suhu 80-90 oC selama 15 menit.
Diagram alir proses pembuatan sosis dari daging ikan tenggiri dapat dilihat pada Gambar

43
1.Daging ikan tenggiri

Penyiangan sekaligus pencucian

Skinless filet

penggrinderan

Minced Fish

Penambahan tepung dan bumbu

Stuffering - Cassing

Perebusan
Suhu 50-60 °C (15-20 menit)
Suhu 80-90 °C (15 menit)

Sosis Ikan Tenggiri

Gambar 1. Alur Proses Pembuatan Sosis Ikan Tenggiri

3.3. Pengamatan Uji Fisik Kekuatan Gel


Sosis 3.3.1. Uji Lipat (folding test) (Suzuki, 1981)
Pengamatan terhadap produk sosis Uji lipat (folding test) merupakan salah
yang dilakukan meliputi uji fisik kekuatan satu pengujian mutu gel ikan yang dilakukan
gel (uji gigit dan uji lipat) dan uji dengan cara memotong sampel dengan
organoleptik. ketebalan 3 mm. Potongan sample tersebut
diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk,
kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya
retakan pada gel ikan. Contoh lembar
penilaian uji lipat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tingkatan Mutu Uji Lipat


Mutu Keterangan
5 Tidak retak setelah dilipat menjadi seperempat lingkaran
4 Tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran
3 Retak berangsur-angsur setelah dilipat menjadi setengah lingkaran
2 Langsung retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran
1 Pecah apabila ditekan dengan jari

3.3.2. Uji gigit (Suzuki, 1981) ketebalan 5 mm dan berdiameter ±20 mm.
Pengujian dilakukan dengan cara Nilai (skor) sebagai atribut pengujian dalam
menggigit sampel antara gigi seri atas dan hubungannya dengan uji gigit dapat dilihat
bawah. Sampel yang diuji mempunyai pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Mutu Uji Potong


Nilai Sifat Kekenyalan (Springness)
10 Amat sangat kuat
9 Sangat kuat
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

8 Kuat
7 Cukup kuat
6 Dapat diterima
5 Dapat diterima, sedikit kuat
4 Lemah
3 Cukup lemah
2 Sangat lemah
1 Tekstur seperti bubur, tidak ada kekuatan
Sumber : Suzuki (1981).

3.3.3. Uji Organoleptik (Soekarto, 2000) Pengamatan dilakukan dengan skala hedonic
Uji organoleptik pada produk sosis bernilai satu sampai sembilan. Contoh
meliputi penampakan, aroma, tekstur, warna lembar penilaian organoleptik dapat dilihat
dan rasa. Uji tekstur dilakukan dengan cara pada Tabel 4.
ditekan dengan tangan dan digigit.

Tabel 4. Lembar Penilaian Uji Organoleptik dengan Skala Hedonic (Soekarto, 2000)
Skala Numerik Skala Hedonik
9 Amat sangat kuat
8 Sangat suka
7 Suka
6 Agak suka
5 Biasa
4 Kurang suka
3 Tidak suka
2 Sangat tidak suka
1 Amat sangat tidak suka

HASIL DAN PEMBAHASAN Hal ini dikarenakan warna sosis yang


4.1. Uji Hedonik dihasilkan yaitu putih tulang, tidak terdapat
Hasil uji hedonik panelis terhadap dalam daftar pilihan di dalam score sheet
produk sosis yang dihasilkan dapat dilihat yang tersedia, dimana pilihan berkisar warna
pada Tabel 5. coklat dan kemerahan. Warna putih tulang
4.1.1. Warna disebabkan oleh warna asli daging ikan,
Hasil pengamatan warna pada Tabel 8 tanpa penambahan pewarna seperti halnya
panelis tidak memberikan penilaian berapa sosis komersil pada umumnya.
pun berdasarkan score sheet yang diberikan.

Tabel 5. Nilai rata-rata pengamatan sensori panelis terhadap sosis Ikan Tenggiri
Perlakuan Warna Penampakan Tekstur Aroma Rasa
Kelompok 1
Gelatin+minyak 6 5 5 6
Gelatin+ lemak gajih 7 3 4 5
Kelompok 2
ISP + minyak 6 6 5 6
ISP + lemak gajih 8 6 5 5
Kelompok 3
Kontrol + minyak 6 4 7 5
Kontrol + lemak gajih 7 5 6 6
Ket: ISP = Isolat Soybean Protein

Warna merupakan efek atau hasil dari minyak dan gaih yang ditambahkan. Namun
pengamatan indra penglihatan. Warna sosis demikian penambahan gajih dan minyak
ini dipengaruhi oleh warna daging lumat, serta emulsifier tidak begitu memberikan
dimana daging ikan tenggiri merupakan pengaruh pada warna yang dihasilkan karena
daging putih, ditambah pengaruh dari warna hampir semua nilai menunjukkan kesamaan.

45
4.1.2. Penampakan ditambahkan dan interaksi antara sumber
Penampakan, nilai tertinggi diperoleh lemak yang berbeda, bisa jadi menghasilkan
pada sampel sosis dengan emulsifier ISP dan tekstur yang berbeda pula. Tetapi, dalam
menggunakan gajih. Dibandingkan dengan masing-masing kelompok tidak
kontrol, penambahan emulsifier ini sedikit menunjukkan perbedaan skor yang jauh.
meningkatkan nilai penampakan dimana Tekstur sosis dengan pemberian
penampilan sosis lebih utuh, rapi, dan emulsifier dan penggunaan sumber lemak
ketebalan merata. Sementara itu, yaitu minyak sayur dan gajih memberikan
penggunaan gajih sebagai sumber lemak hasil yang sedikit elastis. Elastisitas
ternyata menghasilkan penampakan yang merupakan parameter penting dari mutu
lebih bagus dibandingkan minyak sayur. produk termasuk sosis. Pembentukan gel
Hampir semua kelompok panelis sangat berpengaruh terhadap elastisitas yang
memberikan satu point nilai lebih tinggi pada dihasilkan. Kadar protein dalam daging
sosis dengan penambahan gajih lumat yang digunakan memberikan
dibandingkan dengan penambahan minyak kontribusi pada pembentukan gel dan
sayur. Penambahan lemak pada sosis ikan elastisitas produk. Protein miosin dari
bertujuan untuk memperoleh produk sosis daging ikan memegang peranan utama dalam
yang kompak (Amano, 1965). Selain itu pembentukan gel tersebut. Titik kritis proses
untuk shorteningnya yang tinggi. Namun pembuatan sosis yang berhubungan dengan
demikian, dari data di atas ternyata tekstur yaitu pada saat formulasi bahan dan
perbedaan sumber lemak ini tidak terlalu suhu setting yang digunakan. Jika formulasi
jauh berpengaruh terhadap penampakan tidak tepat dan suhu setting terlalu tinggi
sosis. maka pembentukan gel akan kurang bagus.
Minyak sayur dan lemak gajih Tepung tapioka berperan sebagai
memberikan dampak yang hampir sama pada bahan pengisi sosis, dimana berperan sebagai
penampakan, dengan penambahan emulsifier pengisi protein myofibril. Tepung
yang berbeda. Fungsi emulsifier di sini berinteraksi dengan protein secara tidak
adalah sebagai agen yang penstabil dan langsung maupun mempengaruhi formasi
pembentuk gel, sehingga penampakan akhir protein dimana proses pemasakan yang
dari sosis utuh, rapi, dan ketebalan merata. terlebih dahulu adalah gelasi protein diikuti
Penambahan lemak gajih terlihat lebih dengan mengembangnya tapioka.
lembab (moist) dan spongy (berongga). 4.1.4. Aroma
Selain itu daya kerja masing-masing Dari Tabel 5. di atas menunjukkan
emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk bahwa nilai tertinggi dimiliki oleh kontrol,
molekulnya yang dapat terikat baik pada tanpa penambahan emulsifier. Hal ini diduga
minyak maupun air, maka dapat membantu pengaruh interaksi antara emulsifier dengan
terjadinya dispersi minyak dalam air bahan yang lain menghasilkan aroma baru
sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air yang cenderung lebih tidak disukai
(o/w) atau sebaliknya emulsi air dalam dibandingkan dengan aroma ketika belum
minyak (w/o). ditambahkan emulsifier. Perbedaan aroma
4.1.3. Tekstur ini juga disebabkan oleh perbedaan cara
Dari Tabel 5 di atas, dtunjukkan memasak.
bahwa, penambahan emulsifier berupa Untuk emulsifier gelatin dan ISP,
minyak sayur dan lemak gajih berpengaruh memiliki nilai 5 (untuk minyak sayur, yang
terhadap tekstur yang dihasilkan. Pada berarti aromanya netral) dan 4 (untuk lemak
kontrol yang ditambahkan minyak sayur, gajih, yang berarti agak tidak suka). Hal ini
medapatkan nilai 4 yang berarti kriterianya dapat disebabkan oleh karena sifat lemak
agak kurang disukai, namun pada kontrol yang mudah menyerap bau. Kemungkinan
yang ditambahkan lemak gajih memberikan lain adalah jika bahan pembungkus sosis
hasil yang lebih baik, yaitu nilai 7 dapat menyerap lemak yang terserap ini akan
dibandingkan dengan gelatin dan ISP (nilai teroksidasi oleh udara sehingga rusak dan
tertingginya adalah 6). Fenomena pada berbau. Bau dari bagian lemak yang rusak ini
kelompok kontrol menunjukkan bahwa akan diserap oleh lemak yang ada dalam
tekstur yang dimiliki sosis adalah suka. Hal bungkusan yang mengakibatkan seluruh
ini di duga bahwa perbedaan emulsifier yang lemak menjadi rusak.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

4.1.5. Rasa berbagai komponen dalam sosis, suhu, dan


Tabel 5. menunjukkan bahwa nilai rasa interaksi antar bahan yang lain (Winarno,
menunjukkan kecenderungan yang sama 1997).
untuk semua perlakuan. Artinya bahwa
penambahan emulsifier dan jenis lemak yang 4.2. Uji Tingkat Kesukaan
berbeda tidak memberikan pengaruh yang Tingkat kesukaan panelis terhadap
berbeda terhadap penerimaan konsumen. sosis yang dihasilkan dapat dilihat pada
Beberapa faktor yang mempengaruhi rasa Tabel 6.
adalah senyawa kimia, dalam hal ini

Tabel 6. Tingkat kesukaan panelis terhadap sosis yang dihasilkan


Perlakuan Warna Penampakan Tekstur Aroma Rasa
Kelompok 1
Gelatin+minyak 6 6 7 7 7
Gelatin+gajih 4 5 4 6 6
Kelompok 2
ISP + minyak 6 6 5 6 6
ISP + gajih 6 7 6 6 5
Kelompok 3
Kontrol + minyak 7 6 6 6 5
Kontrol + gajih 6 7 6 7 5

4.2.1. Warna oleh sosis dengan penambahan gelatin


Hasil uji tingkat kesukaan panelis sebagai emulsifier. Namun demikian, secara
terhadap warna sosis yang dihasilkan umum semua perlakuan tidak begitu
menunjukkan bahwa penambahan emulsifier berpengaruh berdasarkan tingkat kesukaan
tidak begitu berpengaruh terhadap tingkat panelis dimana nilai yang didapatkan tidak
kesukaan warna. Nilai tertinggi dicapai oleh begitu jauh.
kontrol yaitu tanpa penambahan emulsifier, Tujuan penambahan gelatin sebagai
meskipun dengan penambahan emulsifier emulsifier dan interaksi lemak bisa yang
nilai yang didapatkan tidak jauh berbeda. memperbaiki tekstur dan cita rasa produk
Sementara itu, secara umum pemakaian (sosis). Namun hasilnya ternyata tidak
minyak sayur terhadap warna sosis yang demikian, karena biasanya reaksi dari lemak
dihasilkan ternyata lebih disukai panelis sebagai emulsifier terhadap bahan pangan
daripada penggunaan lemak gajih. (ikan) sebagai lemak tersembunyi (invisible
4.2.2. Penampakan fat), sehingga nilainya menjadi 4 yang berarti
Nilai kesukaan pada penampakan sosis produk tidak disukai.
tertinggi adalah pada perlakuan penggunaan 4.2.4. Aroma
ISP dengan gajih sebagai sumber lemak. Tingkat kesukaan panelis terhadap
Nilai 7 yang berarti pada tingkatan suka aroma yang dihasilkan juga tidak ada tren
terhadap produk tersebut. Panelis lebih tertentu. Secara umum tingkat kesukaan
menyukai sosis dengan penampakan yang terhadap semua perlakuan hampir sama,
agak lembab karen pengaruh lemak gajih. meskipun ada beberapa yang agak berbeda
Meskipun demikian, perlakuan yang lain yaitu untuk gelatin dan kontrol yang lebih
tidak berbeda jauh, dengan melihat nilai tinggi. Namun nilai yang didapat tidak
yang didapatkan dalam Tabel 8. Sedangkan berbda jauh. Dengan demikian dianggap
untuk kelompok kontrol yang ditambahkan bahwa penggunaan emulsifier dan sumber
lemak gajih juga menunjukkan nilai tertinggi lemak yang berbeda tidak begitu
yaitu angka 7 yang berarti suka terhadap berpengaruh terhadap tingkat kesukaan
sosis. Hal ini bisa di duga bahwa interaksi panelis akan warna yang dihasilkan.
antara bahan baku dan emulsifier berjalan 4.2.5. Rasa
secara kompak dan menyatu sehingga Berbeda dengan hasil uji hedonik, pada
menghasilkan penampakan yang lebih baik, tingkat kesukaan akan rasa, nilai tertinggi
4.2.3. Tekstur dimiliki oleh sosis dengan penggunaan
Nilai kesukaan tertinggi didapatkan emulsifier. Di sini jelas bahwa nilai kontrol

47
lebih rendah dibandingkan dengan kurang bagus.
penambahan emulsifier. Artinya, interaksi Uji gigit tertinggi juga dimiliki oleh
yang ada antara bahan dan emulsifier sosis dengan penambahan ISP sebagai
memberikan dampak pada rasa, yang emulsifier. Meskipun nilai yang didapatkan
mempengarihi tingkat kesukaan konsumen. masih relatif rendah yaitu 5 yang berarti
Jenis emulsifier terlihat tidak begitu jauh dapat diterima, sedikit kuat. Namun itu sudah
memberikan efek yang berbeda terhadap menunjukkan bahwa penggunaan emulsifier
tingkat kesukaan panelis. mampu meningkatkan elastisitas sosis yang
dihasilkan.
4.3 Uji Fisik
Uji fisik disini meliputi uji lipat dan uji V. PENUTUP
gigit sosis yang dihasilkan dapat dilihat pada 5.1. Kesimpulan
Tabel 7. Dari hasil praktikum yang dilakukan,
Tabel 7. Hasil uji lipat dan uji gigit sosis maka ada beberapa kesimpulan yang dapat
Perlakuan Uji Lipat Uji Gigit diambil, yaitu :
Kelompok 1 1. Emulsifier yang digunakan dalam
Gelatin+minyak 3 5 pembuatan sosis seperti gelatin dan
Gelatin+gajih 2 3
ISP, berpengaruh terhadap
Kelompok 2
ISP + minyak 3 5
penampakan, tekstur, rasa dan aroma
ISP + gajih 3 5 yang dihasilkan secara hedonik dan
Kelompok 3 uji kesukaan maupun uji fisik.
Kontrol + minyak 1 4 2. Penggunaan ISP cenderung
Kontrol + gajih 2 5 memberikan hasil lebih baik
Hasil uji lipat selaras dengan hasil uji dibandingkan gelatin meskipun
hedonik dimana nilai tertinggi dimiliki oleh tidak jauh berbeda dengan kontrol
sosis dengan penambahan ISP sebagai (tanpa penambahan emulsifier).
emulsifier. Di sini menunjukkan bahwa 3. Lemak hewan dan lemak nabati yang
dengan interaksi yang ada dengan semua ditambahkan menghasilkan
bahan, ISP cenderung memberikan hasil komponen adonan yang berbeda
pembentukan gel yang lebih baik. dalam sosis.
Kemampuan pembentukan gel ini tercermin
dalam tekstur yang dihasilkan. Uji lipat 5.2. Saran
dengan nilai 3 artinya bahwa sosis retak 1. Perlu penelusuran lebih mendalam
berangsur-angsur setelah dilipat menjadi tentang pengaruh dan peranan lemak
setengah lingkaran. Pengaruh penggunaan dan minyak dalam diversifikasi
emulsifier jelas terlihat dari nilai kontrol produk hasil perikanan lainnya.
dimana nilai uji lipat hanya 1 dan 2 dari jenis 2. Dengan teknologi pangan yang
lemak yang berbeda. Nilai yang cenderung sudah maju dan modern, perlu
masih sedang atau belum pada tahap baik dikembangkannya sumberdaya alam
(nilai 5) kemungkinan disebabkan juga oleh hasil laut yang belum dimanfaatkan
proses pemasakan yang kurang tepat secara optimal sehingga dapat
sehingga kemampuan pembentukan gel juga menghasilkan nilai ekonomis.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

DAFTAR PUSTAKA

Amano, K.1963. Fish Sausage Manufacturing. G. Borgstrom (Eds.) Dalam Fish as Food
Volume III. New York. Academic Press.

Afrianto, E. 1995. Pengaruh Jenis Bahan Baku, Lama Penyimpanan Beku Dan Metode
Pengasapan Terhadap Karakteristik sosis Ikan. Tesis. Program Pasca Sarjana, IPB.
Bogor.

Bacus J., 1984. Utilization of Microorganisms in Meat Processing. Reasearch Studies Press
Ltd. England

Cheng, C.S., D.D. Hamann, N.E. Webb and V. Sidwell. 1979. Effect Of Species And Storage
Time In Minced Fish Gel Texture. Journal Food Science. 44 (4) : 1087-1092.

Fennema, O.R. 1976. Principle of Food Science. New York. Marcel Deker Inc.

Forrest JC, Alberen ED, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA., 1975. Principle of Meat
Science. W.H. Freeman and Co. San Francisco.

Haq, N., Ninoek I., N. E. Irianto and Suparno. 1994. Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap
Mutu Sosis Ikan Fermentasi. Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan, No. 78: 60 -
65.

Hall. G.M dan N.H. Ahmad. 1992. Surimi and Fish Mince Products. Dalam G.M. Hall (Eds).
Fish Processing Tecnology. New York . Blackie Academic and Profesional.

Ilyas S., 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan : Teknik Pendinginan Ikan. C.V.
Paripurna. Jakarta.

Ilyas, S. dan Suparno, 1993. Penelitian dan Pengembangan Limbah Pertanian dalam Limbah,
F.G. Winarno, A.F.S.Boedimen, T. Silitonga dan B.Soewardi (Eds). Jakarta. Kantor
Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan.

Kramlich WE., Pearson, AM, dan F.W Tauber. 1973. Processed Meats. AVI Connecticut.
Publishing Company, Westport.

Kramlich WE., Pearson, AM, dan F.W Tauber. 1971. Processed Meats. AVI Connecticut.
Publishing Company, Westport.

Kateren S.1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Romans JR.William JC, Carlos W, Marion LG, Jones KK. 1994. The Meat We Eat 3rd ed.
Illinois: Interstate Publishers, Inc.

Okada, M. 1990. Chemistry of Meat Tissue. Animal Science Departement. The Ohio State
University dalam Surimi Tecnology. Editor: T.C. Lanier dan C.M.Lee. New York.
Marcel Dekker, Inc.

Radley JA. 1976. Starch Production Technology. London: Applied Science Publishher Ltd.

Soeparno. 1994. Ilmu dan technology Daging. Yogayakarta: Gadjah Mada University Press.

Soeparno. 1992. Ilmu dan technology Daging. Yogayakarta: Gadjah Mada University Press.

Soekarto, Hubest. 2000. Metodologi Penelitian Organoleptik. Program Studi Ilmu Pangan.
IPB.

Standar Nasional Indonesia. 1992. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.01-2728-1992.

49
Standar Nasional Indonesia. 1995. Sosis Daging. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.01-
3820-1995.

Suzuki, T.1981. Fish and krill protein. Dalam Processing Tecnology. London. Applied
Science Publishing. Ltd.

Winarno, F.G.,S.Fardiaz. 1989. Pengantar Teknology Pangan.. Jakarta. PT.Gramedia.

Winarno, F.G. 1993. Kimia Pangan Dan Gizi. Gramedia. Jakarta.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Gramedia. Jakarta.


Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

Analisis Finansial Usaha Ayam Ras Pedaging Pada Kelompok


Tani Tunas Inti Di Kelurahan Kalumata Kota Ternate Selatan
Rukiyati Usman
Staf Pengajar FAPERTA UMMU-Ternate

ABSTRAK

Daging ayam merupakan pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan


protein hewani keluarga. Daging ayam banyak dipilih karena harganya
lebih murah dibandingkan jenis daging lainnya dan sesuai dengan selera
masyarakat dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dari segi Finansial yang
terdiri dari jumlah produksi dan kelayakan usaha ayam ras pedaging di
Peternakan Kelompok Tani Tunas Inti di Kelurahan Kalumata Kota
Ternate Selatan. Penelitian ini dilaksanakan dari Maret sampai Mei
2008, dengan menggunakan metode survai. Hasil analisis usaha ayam ras
pedaging diperoleh pendapatan sebesar Rp. 8.911.974, Selama 2 bulan.
Jumlah populasi ternak 1200 ekor dengan jumlah penerimaan Rp.
24.500.000 dan total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 15,588.026,
layak untuk di kembangkan dimana BEP adalah Rp. 12.990, B/C Ratio
adalah 0,57 dan R/C Ratio adalah 1,57.

Kata Kunci : Analisis finansial, ayam ras pedaging.

I. PENDAHULUAN dan berwawasan lingkungan, dan


1.1 . Latar Belakang mewujudkan ketahanan pangan melalui
Perkembangan Agribisnis dari tahun peningkatan produksi komoditi pertanian dan
ke tahun semakin menunjukan pertumbuhan penganekaragaman konsumsi pangan.
yang menggembirakan, baik secara kualitas Peningkatan kontribusi sektor pertanian
maupun kuantitas (Johari, 2004). Namun, terhadap perekonomian nasional melalui
sering para pemula atau calon usahawan baru peningkatan Pendapatan Domestik Bruto
di bidang agribisnis masih kebingungan (PDB), ekspor, penciptaan lapangan kerja,
untuk memilih bidang usaha agribisnis yang penanggulangan kemiskinan dan peningkatan
akan dijalankannya. Banyak tawaran usaha kesejahteraan masyarakat, memfasilitasi
bidang agribisnis yang menjanjikan tingkat pelaku usaha melalui pengembangan
keuntungan besar, bahkan di luar logika, teknologi, pembangunan sarana prasarana,
sehingga banyak masyarakat yang tergiur pembiayaan, akses pasar dan kebijakan
dengan tawaran tersebut. Namun, pendukung lainnya, memperjuangkan
kenyataannya para investor tersebut sering kepentingan dan perlindungan terhadap
menuai kerugian, keadaan ini terjadi karena petani dan pertanian Indonesia dalam system
mereka tidak memahami karakteristik bidang perdagangan nasional (Apriantono 2005)
usaha agribisnis yang dipilih. Mereka juga Pembangunan sub sektor
tidak paham bahwa bisnis yang menjanjikan peternakan merupakan bagian dari
tingkat keuntungan tinggi dan mudah diikuti pembangunan pertanian yang bertujuan
oleh kebanyakan orang. untuk menyediakan pangan hewani berupa
Misi pembangunan pertanian telur, daging, susu, yang bernilai gizi tinggi,
periode 2005 - 2009 adalah mewujudkan meningkatkan pendapatan ternak,
pertanian yang profesional yang memiliki meningkatkan devisa serta memperluas
integrasi moral yang tinggi, mendorong kesempatan kerja di pedesaan. Hal tersebut
pembangunan pertanian menuju pertanian yang diperlukan mendorong pembangunan
yang tangguh, berdaya saing, berkelanjutan sub sektor peternakan, sehingga pada masa

51
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

yang akan datang diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu


memberikan kontribusi yang nyata dalam pegangan atau catatan untuk usaha
pembangunan bangsa. berikutnya.
Banyak peternakan di Indonesia Berdasarkan uraian diatas sebagai latar
yang belum memahami proses pemasaran belakang masalah maka penulis tertarik
hasil peternakan, sehingga lebih banyak untuk mengadakan penelitian dengan judul
mengarah pada aktifitas proses produksi. Analisis Finansial Usaha Ayam Ras
Seorang peternakan akan berhasil apabila Pedaging Pada Kelompok Tani Tunas Inti Di
dapat merangkai antara teknis produksi, Kelurahan Kalumata Kota Ternate
pemasaran dan manajemen. Ketiga unsur Selatan.Propinsi Maluku Utara.
tersebut memang harus dimiliki seorang
peternak yang ingin menjadikan kegiatan 1.2 Rumusan Masalah
sebagai suatu usaha (Rasyaf, 1999) Berdasarkan pembahasan di atas maka
Usaha daging ayam ras dapat diangkat permasalahan sebagai berikut
merupakan salah satu pilihan yang cukup :
menjanjikan dan bersifat low risk (resiko 1. Berapa banyak jumlah produksi ayam
rendah). Dengan syarat, usaha ini di lakukan ras pedaging.
secara profesional dengan memperhatikan 2. Kelayakan usaha ayam ras pedaging di
aspek kualitas manajemen dan teknis yang peternakan ayam ras pedaging tunas inti
terus berkembang. Dari teknis pemeliharaan, di Kelurahan Kalumata.
resiko kematian dapat diminimalkan karena
pola bisnis daging ayam ras yang 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
berkembang saat ini berupa pemeliharaan 1.3.1 Tujuan Penelitian
pullet. Pullet adalah istilah untuk anak ayam Sesuai dengan permasalahan diatas
yang siap bertelur (dara) atau berumur 91 – tujuan dari penelitian ini adalah
112 hari (Johari, 2004). Dengan populasi 1. Untuk mengetahui berapa banyak jumlah
yang berkembang dari tahun ke tahun produksi ayam ras pedaging di
(kecuali pada saat krisis nasional tahun Kelurahan Kalumata.
1998), secara perlahan tetapi pasti, bisnis 2. Menganalisis Usaha ayam ras pedaging
daging ayam ini cukup menjanjikan. di peternakan Tunas Inti di Kelurahan
Permasalahannya hanya pada modal karena Kalumata.
bisnis ini relatif padat modal. 1.3.2 Kegunaan Penelitian
Usaha daging ayam ras di Adapun kegunaan penelitian yaitu :
Kelurahan Kalumata Kota Ternate Selatan 1. Sebagai bahan masukan bagi
belum dikelola secara optimal karena kelompok tani tunas inti untuk dapat
peternak dihadapkan pada keterbatasan memecahkan masalah yang
pengetahuan pengelolaan biaya produksi, berkaitan dengan produksi ayam ras
sehubungan dengan hal tersebut maka pedaging.
dipandang perlu adanya analisis usaha ayam 2. Sebagai bahan informasi bagi
ras pedaging yang dilakukan oleh peternak kelompok tani tunas inti untuk lebih
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : meningkatkan produksi sehingga
1. Sebelum kegiatan usaha berlangsung, dapat diperoleh pendapatan yang
analisis usaha dapat memberikan maksimal dan dapat menentukan
gambaran atau kepastian mengenai kelayakan usaha.
untung ruginya suatu usaha 3. Sebagai informasi bagi peneliti
2. Pada saat kegiatan berlangsung, lanjutan yang masalahnya berkaitan
analisis ini merupakan pedoman dengan produksi dan pendapatan
dalam menjalankan usaha ternak serta kelayakan usaha ayam ras
ayam ras pedaging, dalam hal ini pedaging.
berfungsi sebagai rencana kegiatan
usaha. 1.4 Hipotesa.
3. Setelah kegiatan berlangsung analisis Berdasarkan latar belakang
ini merupakan bagian dari evaluasi masalah dan tujuan penelitian maka hipotesa
kegiatan yang telah dilaksanakan. yang diajukan sebagai dasar dalam
Hasil analisis dari usaha ternak dapat pemecahan masalah yang akan di teliti

52
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

adalah : TR = Total Revenue ( Total Penerimaan )


Semakin banyak jumlah produksi ayam ras TC = Total Cost ( Total Pengeluaran )
pedaging yang dihasilkan maka akan
meningkatkan pendapatan yang diterima Untuk menghitung kelayakan suatu usaha
sehingga usaha ini layak untuk maka digunakan rumus :
dikembangkan. TR = Pi x Hpi
Keterangan :
II. METODE PENELITIAN Pi = Jumlah Produk
HPi = Harga Jual Produk
2.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
Untuk mengetahui Total Cost ( TC ) dengan
Kelurahan Kalumata Kota Ternate Selatan,
menggunakan rumus :
Propinsi Maluku Utara pada Bulan Maret
sampai dengan bulan Mei 2008. Lokasi ini
TC = VC + FC
dipilih karena Kelurahan Kalumata Kota
Ternate Selatan Merupakan salah satu sentra Keterangan :
produksi dan pemasaran telur ayam ras VC = Biaya Variable ( Variable Cost )
pedaging di Kota Ternate FC = Biaya Tetap ( Fixed Cost )

2.2. Jenis dan Sumber Data 2.4.2. Analisis Kelayakan Usaha


Data yang digunakan dalam penelitian Untuk menghitung kelayakan usaha
ini adalah data primer dan data sekunder. digunakan rumus :
Data primer diperoleh di Kecamatan 2.4.2.1. BEP (Break Even Point)
langsung atau observasi dan wawancara
menggunakan kuisioner di ketua kelompok
tani tunas inti. Data sekunder diperoleh di
kantor Kelurahan Kalumata yang
berhubungan langsung dengan penelitian,
maupun referensi lainnya.

2.3. Metode Pengambilan Data


Responden yang diambil dalam 2.4.2.2. R/C (Return Cost Ratio)
penelitian ini langsung ke Ketua Kelompok
Tani Tunas Inti yang terlibat dilokasi Total Penerimaan
R/C Ratio =
penelitian. Total Biaya

2.4. Metode Analisa Data Keterangan :


Penelitian ini data diperoleh R/C Ratio adalah perbandingan antara
kemudiaan dianalisis secara statistik total penerimaan dengan total biaya
deskriftif kuantitatif. Analisis deskriftif Dimana :
kuantitatif digunkan untuk melihat kelayakan R/C Ratio > 1 usaha mendapat laba
usaha ditinjau dari aspek ekonomi. Adapun R /C Ratio = 1 usaha seimbang
rumus yang digunakan dalam menganalisis R /C Ratio < 1 usaha rugi
data dalam kajian ini adalah sebagai berikut :
2.4.1. Analisis Pendapatan 2.4.2.3. B/C Ratio
Untuk menghitung hipotesa yang pertama
Total Keuntungan
atau menghitung besarnya Pendapatan Usaha B/C =
Total Biaya
Produksi ayam ras petelur digunakan analisis
dengan menggunakan rumus yang III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Analisis usaha ayam ras pedaging
dikemukakan oleh (Mosher, 1998). Memulai usaha ayam ras pedaging
∏ = TR – TC perlu diketahui besarnya biaya yang
Keterangan : dibutuhkan. Berikut disajikan analisis
∏ = Profit ( Keuntungan ) disertai asumsi dan harga-harga yang berlaku

53
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

saat ini. Sekam (240 Karung) Rp. 810.250


1. Jumlah ayam yang dipelihara sebanyak
Total Biaya Rp. 15.588.026
1200 ekor.
3.1.2.2. Penerimaan
2. Periode pemeliharaan dilakukan selama
Analisis penerimaan usaha ayam ras
2 bulan. Pemeliharaan dimulai dari DOC
pedaging di peternakan Tunas Inti di
dengan harga Rp. 4500 per ekor.
Kelurahan Kalumata terdiri dari hasil
3. Pemeliharaan ayam dilakukan dikandang
penjualan ayam pedaging dan penjualan
ren secara intensif.
kotoran ayam. Untuk lebih jelasnya dapat
4. Modal yang digunakan merupakan
dilihat pada Tabel 2.
modal kelompok tani. Demikian halnya
dengan tanah yang digunakan untuk
areal peternakan. Tabel 2. Analisis Penerimaan usaha
5. Masa pakai kandang lima tahuan, peternakan ayam ras
sedangkan masa pakai peralatan tiga pedaging
tahun. Aktivitas Jumlah
6. Harga jual ayam saat bobot potong Penjualan ayam 1.200 ekor Rp. 18.000.000
mencapai 1 kg dengan harga Rp. 17.000 Penjualan Kotoran 1.200 karung Rp. 6.500.000
per kg.
7. Pakan yang digunakan adalah pakan Rp. 24.500.000,-
komersial dengan kebutuhan pakan Total Penerimaan
sebanyak 2,5 kg per ekor per dua bulan.
Besarnya keuntungan yang diperoleh
3.1.1. Biaya kandang dan peralatan. merupakan selisih antara total penerimaan
Biaya pembuatan kandang untuk dikurangi total biaya (b-a). Dengan demikian
1200 ekor ayam adalah Rp. 7.500.000. Masa total keuntungan yang diperoleh selama dua
pakai kandang adalah 5 tahun. Dengan bulan adalah Rp. 8.911.974.
demikian, besarnya penyusutan per bulan
adalah Rp. 125.000. Peralatan yang 3.2. Analisis kelayakan usaha
digunakan terdiri dari tempat pakan, tempat Dalam suatu usaha tani diperlukan
minum, sekop, alat vaksinasi, dan lain-lain. Evaluasi Kelayakan Usaha. Begitu juga
Total biaya peralatan adalah Rp. 500.000 untuk usaha peternakan Tunas Inti di
dengan masa pakai 3 tahun. Besarnya biaya Kelurahan Kalumata Kota Ternate Selatan.
penyusutan peralatan per bulannya adalah Hal ini untuk menentukan usaha tani tersebut
Rp. 13.888. dikatakan layak untuk dikembangkan .
Evaluasi Kelayakan Usaha berdasarkan
3.1.2. Biaya dan penerimaan usaha. beberapa katagori antara lain :
Biaya dan pendapatan dari usaha ayam 3.2.1. BEP (break even point)
pedaging ras menggunakan 1200 ekor induk Break Even Point (BEP) untuk volume
selama dua bulan sebagai berikut : produksi diperoleh dari selisih total biaya
3.1.2.1. Biaya sebesar Rp.15.588.026 dan harga jual produk
Biaya dan pendapatan dari usaha Rp.15.000 dan hasilnya 1.039,2. ekor ayam
ayam ras pedaging menggunakan 1200 pedaging.
Break Event Point (BEP) untuk harga
ekor induk selama dua bulan dapat dilihat
produksi diperoleh dari selisih total biaya
pada Tabel 1. Rp.15.588.026 dan Total Produksi Rp.1200
dan hasilnya Rp.12.990.
Tabel 1. Besarnya biaya-biaya dari usaha
Titik impas bisa tercapai jika harga Rp.
ayam ras pedaging.
Nilai 12.990 per ekor atau jumlahnya mencapai
Biaya-biaya 1.039,2 ekor ayam.
Penyusutan
3.2.2. R/C (Return Cost ratio)
Penyusutan Kandang (2 bulan) Rp. 250.000 Return Cost Ratio (R/C) diperoleh dari
Penyusutan Pealatan (2 bulan) Rp. 27.776
Pakan (3.000 kg) Rp. 7.450.000
selisih total penerimaan sebesar
Obat-obatan Rp. 300.000 Rp.24.500.0000 dan total biaya
Pembelian 1.200 ekor DOC Rp. 5.400.000 Rp.15.588.026 dan hasilnya 1,57.
Tenaga Kerja Rp. 1.200.000 Dengan nilai R/C 1,57 berarti usaha ini

54
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)

dinilai layak untuk dikembangkan. Setiap Dengan nilai B/C > 0, berarti usaha ini
penambahan biaya Rp. 1,00 akan layak dan dapat memberikan tambahan
memperoleh penerimaan Rp. 1,57. keuntungan sebesar Rp. 0.57 dari setiap
3.2.3. B/C (Benefit Cost Rasio) penambahan biaya Rp. 1,00. Keuntungan
Benefit Cost Ratio (B/C) diperoleh dari mencapai 29% dari biaya yang dikeluarkan
selisih total keuntungan sebesar
Rp.8.911.974 dan Total biaya Rp.15.588.026 IV. KESIMPULAN
dan hasilnya 0,57.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Usaha ayam ras pedaging Pada
Kelompok Tani Tunas Inti di Kelurahan Kalumata Kota Ternate Selatan diperoleh BEP
(Break Event Point) Untuk volume produksi sebesar Rp. 1.039,2 , untuk harga produksi
sebesar Rp. 12.990, Return Cost Rasio 1,57 dan Benefit Cost Rasio sebesar 0,57.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym, 1976. Pemeliharaan Ayam Ras, Yayasan Kanisius Yogyakarta.

Apriantono, 2005. Visi dan Masi Pengembangan Pertanian 2005-2009.

Daniel. M., 2002, Pengantar Ekonomi Pertanian PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia 2007, Media Budidaya Ternak Unggas dan
Aneka Ternak.

Johari. S., 2004, Sukses Beternak Ayam Ras Petelur, PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Nasheim, N.S, And E.Le. Card, 1972. Poultry Production Phyladelphia.

Nuraeni I., M.Ed, 2002. Manajemen Agribisnis, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor.

Rasyaf. M., 1999, Memasarkan Hasil Peternakan Penebar Swadaya. Jakarta.

Siagian. M., 2002, Pengantar Manajemen Agribisnis Gajah Mada University Press.

Soekartawi., 2003, Teori Ekonomi Produksi, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

., 2002, Analisis Usaha Tani Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Suharno. B, 2003 Agribisnis Ayam Ras, Penebar Swadaya Jakarta.

Suratiyah K, 2006, Ilmu Usaha Tani, Penebar Swadaya, Jakarta.

Widjaja. K, Ir 2003, Peluang Bisnis Ayam Ras, Penebar Swadaya, Jakarta.

Wiharto., 1986. Petunjuk Beternak Ayam, Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya


Malang.

55

You might also like