You are on page 1of 10

KEPUTUSAN MUKTAMAR MUHAMMADIYAH KE-45

TENTANG

PERNYATAAN PIKIRAN
MUHAMMADIYAH JELANG SATU ABAD
(Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn)

Bismillahirrahmanirrahim

Bahwa keberhasilan perjuangan Muhammadiyah yang berjalan hampir satu abad pada hakikatnya merupakan
rahmat dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang patut disyukuri oleh seluruh warga Persyarikatan. Dengan modal
keikhlasan dan kerja keras segenap anggota disertai dukungan masyarakat luas Muhammadiyah tidak kenal lelah
melaksanakan misi da’wah dan tajdid dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Gerakan
kemajuan tersebut ditunjukkan dalam melakukan pembaruan pemahaman Islam, pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan sosial, serta berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa di negeri ini. Namun
disadari pula masih terdapat sejumlah masalah atau tantangan yang harus dihadapi dan memerlukan langkah-langkah
strategis dalam usianya yang cukup tua itu. Perjuangan Muhammadiyah yang diwarnai dinamika pasang-surut itu tidak
lain untuk mencapai tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya serta dalam rangka menyebarkan
misi kerisalahan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang terhampar luas ini.
Karena itu dengan senantiasa mengharapkan ridha dan pertolongan Allah SWT Muhammadiyah dalam usia
dan kiprahnya jelang satu abad ini menyampaikan pernyataan pikiran (zhawãhir al-afkãr/statement of mind) sebagai
berikut:
A. Komitmen Gerakan
1. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber
pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah sesuai jatidirinya senantiasa istiqamah untuk menunjukkan komitmen yang tinggi dalam
memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sebagai wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam
yang bercorak rahmatan lil-‘alamin. Misi kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut
secara nyata diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha, program, dan
kegiatan yang sebesar-besarnya membawa pada kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat bagi seluruh umat
manusia di muka bumi ini.
2. Muhammadiyah dalam usianya jelang satu abad telah banyak mendirikan taman kanak-kanak, sekolah,
perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal
usaha lainnya. Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-langkah da’wah dalam
berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan
tak pernah berhenti melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam dinamika
nasional dan global. Kiprah Muhammadiyah tersebut menunjukkan bukti nyata kepada masyarakat bahwa misi
gerakan Islam yang diembannya bersifat amaliah untuk kemajuan dan pencerahan yang membawa pada
kemaslahatan masyarakat yang seluas-luasnya. Peran kesejarahan yang dilakukan Muhammadiyah tersebut
berlangsung dalam dinamika yang beragam. Pada masa penjajahan sejak berdirinya tahun 1330 H/1912 M.,
Muhammadiyah mengalami cengkeraman politik kolonial sebagaimana halnya dialami oleh seluruh masyarakat
Indonesia saat itu, tetapi Muhammadiyah tetap berbuat tak kenal lelah untuk kemerdekaan dan kemajuan
bangsa. Setelah Indonesia merdeka pada masa awal dan era Orde Lama Muhammadiyah mengalami berbagai
situasi sulit akibat konflik politik nasional yang kompleks, namun Muhammadiyah tetap berkiprah dalam da’wah
dan kegiatan kemasyarakatan. Pada era Orde Baru di bawah rezim kekuasaan yang melakukan depolitisasi
(pengebirian politik), deideologisasi (pengebirian ideologi), dan kebijakan politik yang otoriter, Muhammadiyah
juga terus berjuang mengembangkan amal usaha dan aktivitas da’wah Islam. Sedangkan pada masa
reformasi, Muhammadiyah memanfaatkan peluang kondisi nasional yang terbuka itu dengan melakukan
revitalisasi dan peningkatan kualitas amal usaha serta aktivitas da’wahnya. Melalui kiprahnya dalam sejarah
yang panjang itu Muhammadiyah telah diterima oleh masyarakat luas baik di tingkat lokal, nasional, dan
internasional sebagai salah satu pilar kekuatan Islam yang memberi sumbangan berharga bagi kemajuan
peradaban umat manusia.
3. Kiprah dan langkah Muhammadiyah yang penuh dinamika itu masih dirasakan belum mencapai puncak
keberhasilan dalam mencapai tujuan dan cita-citanya, sehingga Muhammadiyah semakin dituntut untuk
meneguhkan dan merevitalisasi gerakannya ke seluruh lapangan kehidupan. Karena itu Muhammadiyah akan
melaksanakan tajdid (pembaruan) dalam gerakannya sehingga di era kehidupan modern abad ke-21 yang
kompleks ini sesuai dengan Keyakinan dan Kepribadiannya dapat tampil sebagai pilar kekuatan gerakan
pencerahan peradaban di berbagai lingkungan kehidupan.
B. Pandangan Keagamaan
1. Muhammadiyah dalam melakukan kiprahnya di berbagai bidang kehidupan untuk kemajuan umat, bangsa, dan
dunia kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai ajaran yang

Gerakan Tajdid dan Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah 1


membawa misi kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini.
Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para Rasul hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw.,
adalah ajaran yang mengandung hidayah, penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan
kebahagiaan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang fundamental itu
diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid
untuk kemaslahatan hidup seluruh umat manusia.
2. Misi da’wah Muhammadiyah yang mendasar itu merupakan perwujudan dari semangat awal Persyarikatan ini
sejak didirikannya yang dijiwai oleh pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104, yang artinya: ”Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Kewajiban dan
panggilan da’wah yang luhur itu menjadi komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi
kekuatan Khaira Ummah sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang ideal seperti itu sebagaimana
pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 110, yang
        
           
    
artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.”.
Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-Quran Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah
menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan multiaspek itu melalui da’wah untuk mengajak pada
kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar), sehingga umat manusia memperoleh keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini.
Da’wah yang demikian mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional; yakni
dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai
keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan
ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain.
3. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor gerakan tajdid (pembaruan).
Tajdid yang dilakukan pendiri Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah
kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas.
Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh
dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah
mu’amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid
Muhammadiyah tersebut didorong antara lain oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya:
”Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang yang
memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah). Karena itu melalui
Muhammadiyah telah diletakkan suatu pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan
yang berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang mampu membebaskan
manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang berkemajuan dan berkeadaban.
4. Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenarbenarnya yang menjadi tujuan
gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki
corak masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial-
budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang
memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan
muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang
mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan
keunggulan dalam segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika kehidupan, masyarakat Islam
semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan
pasar-bebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat ”berjuang menghadapi tantangan” (al-jihad li al-
muwajjahat) lebih dari sekadar ”berjuang melawan musuh” (al-jihad li al-mu’aradhah). Masyarakat Islam yang
dicitacitakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat
kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah, demokratis, berkeadilan,
otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah). Masyarakat Islam yang semacam itu
berperan sebagai syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia. Karena itu,
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak ”madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat
yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
Keunggulan kualitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan
dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan
(ilmu pengetahuan dan tekonologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai
keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang
lebih berkualitas. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi

Gerakan Tajdid dan Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah 2


terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun
perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjung tinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup.
Masyarakat Islam yang demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku yang membawa pada
kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.

C. Pandangan tentang Kehidupan


1. Muhammadiyah memandang bahwa era kehidupan umat manusia saat ini berada dalam suasana penuh
paradoks. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat luar biasa dibarengi dengan
berbagai dampak buruk seperti lingkungan hidup yang tercemar (polusi) dan mengalami eksploitasi
besarbesaran yang tak terkendali, berkembangnya nalar-instrumental yang memperlemah naluri-naluri alami
manusia, lebih jauh lagi melahirkan sekularisasi kehidupan yang menyebabkan manusia kehilangan
keseimbangankeseimbangan hidup yang bersifat religius. Kemajuan kehidupan modern yang melahirkan
antitesis post-modern juga diwarnai oleh kecenderungan yang bersifat serba-bebas (supra-liberal), serba-boleh
(anarkhis), dan serba-menapikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang semakin terbuka bagi
kemungkinan anti-agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara sistematis. Demokrasi, kesadaran
akan hak asasi manusia, dan emansipasi perempuan juga telah melahirkan corak kehidupan yang lebih
egaliter dan berkeadilan secara meluas, tetapi juga membawa implikasi pada kebebasan yang melampau
batas dan egoisme yang serba liberal, yang jika tanpa bingkai moral dan spiritual yang kokoh dapat merusak
hubungan-hubungan manusia yang harmoni.
2. Dalam memasuki babak baru globalisasi, selain melahirkan pola hubungan positif antarbangsa dan
antarnegara yang serba melintasi, pada saat yang sama melahirkan hal-hal negatif dalam kehidupan umat
manusia sedunia. Di era global ini masyarakat memiliki kecenderungan penghambaan terhadap egoisme
(ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid
al-syahawãt), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasiyyah) yang menggeser nilai-nilai fitri
(otentik) manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam kebaikan di dunia dan
akhirat. Globalisasi juga telah mendorong ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik,
dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan.
Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga ditandai dengan pesatnya pengaruh
Neo-liberalisme yang semakin mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan
berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas
(mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidak-adilan global yang baru. Namun globalisasi dan alam kehidupan
modern yang serba maju saat ini juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam seperti Muhammadiyah
untuk memperluas solidaritas umat manusia sejagad baik sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah) maupun
dengan kelompok lain (‘alãqah insãniyyah), yang lebih manusiawi dan berkeadaban tinggi.
3. Karena itu Muhammadiyah mengajak seluruh kekuatan masyarakat, bangsa, dan dunia untuk semakin
berperan aktif dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar pencerahan di berbagai lapangan dan lini kehidupan sehingga
kebudayaan umat manusia di alaf baru ini menuju pada peradaban yang berkemajuan sekaligus bermoral
tinggi.

D. Tanggungjawab Kebangsaan dan Kemanusiaan


1. Muhammadiyah memandang bahwa bangsa Indonesia saat ini tengah berada dalam suasana transisi yang
penuh pertaruhan. Bahwa keberhasilan atau kegagalan dalam menyelesaikan krisis multiwajah akan
menentukan nasib perjalanan bangsa ke depan. Masalah korupsi, kerusakan moral dan spiritual, pragmatisme
perilaku politik, kemiskinan, pengangguran, konflik sosial, separatisme, kerusakan lingkungan, dan masalah-
masalah nasional lainnya jika tidak mampu diselesaikan secara sungguh-sungguh, sistematik, dan fundamental
akan semakin memperparah krisis nasional. Wabah masalah tersebut menjadi beban nasional yang semakin
berat dengan timbulnya berbagai musibah dan bencana nasional seperti terjadi di Aceh, Nias, dan daerah-
daerah lain yang memperlemah dayatahan bangsa. Krisis dan masalah tersebut bahkan akan semakin
membebani tubuh bangsa ini jika dipertautkan dengan kondisi sumberdaya manusia, ekonomi, pendidikan, dan
infrastruktur nasional maupun lokal yang jauh tertinggal dari kemajuan yang dicapai bangsa lain.
2. Bangsa Indonesia juga tengah berada dalam pertaruhan ketika berhadapan dengan perkembangan dunia yang
berada dalam cengkeraman globalisasi, politik global, dan berbagai tarik-menarik kepentingan internasional
yang diwarnai hegemoni dan ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan. Indonesia bahkan menjadi lahan
paling subur dan tempat pembuangan limbah sangat mudah dari globalisasi dan pasar bebas yang berwatak
neo-liberal. Jika tidak memiliki daya adaptasi, filter, dan integritas kepribadian yang kookoh maka bangsa ini
juga akan terombang-ambing dalam hegemoni dan liberalisasi politik global yang penuh konflik dan
kepentingan. Pada saat yang sama bangsa ini juga tengah berhadapan dengan relasi-relasi baru yang dibawa
oleh multikulturalisme yang memerlukan orientasi kebudayaan dan tatanan sosial baru yang kokoh.
3. Dalam menghadapi masalah dan tantangan internal maupun eksternal itu bangsa Indonesia memerlukan
mobilisasi seluruh potensi dan kemampuan baik berupa sumberdaya manusia, sumberdaya alam, modal
sosial-kultural, dan berbagai dayadukung nasional yang kuat dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Dalam
kondisi yang sangat penuh pertaruhan dan sarat tantangan tersebut maka sangat diperlukan kepemimpinan

Gerakan Tajdid dan Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah 3


yang handal dan visioner baik yang didukung kemampuan masyarakat yang mandiri baik di ingkat nasional
maupun lokal agar berbagai masalah, tantangn, dan potensi bangsa ini mampu dihadapi serta dikelola dengan
sebaik-baiknya.
4. Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim juga tidak lepas dari perkembangan yang dihadapi saudara-
saudaranya di dunia Islam. Mayoritas dunia Islam selain dililit oleh masalah-masalah nasional masing-masing,
pada saat yang sama berada dalam dominasi dan hegemoni politik Barat yang banyak merugikan kepentingan-
kepentingan dunia Islam. Sementara antar dunia Islam sendiri selain tidak terdapat persatuan yang kokoh, juga
masih diwarnai oleh persaingan dan konflik yang sulit dipertemukan, sehingga semakin memperlemah posisi
umat Islam dalam percaturan internasional. Kendati begitu, masih terdapat secercah harapan ketika Islam
mulai berkembang di neger-negeri Barat dan terjadi perkembangan alam pikiran baru yang membawa misi
perdamaian, kemajuan, dan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
E. Agenda dan Langkah Ke Depan
1. Dalam menghadapi masalah bangsa, umat Islam, dan umat manusia sedunia yang bersifat kompleks dan
krusial sebagaimana digambarkan itu Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan nasional akan terus
memainkan peranan sosialkeagamaannya sebagaimana selama ini dilakukan dalam perjalanan sejarahnya.
Usia jelang satu abad telah menempa kematangan Muhammadiyah untuk tidak kenal lelah dalam berkiprah
menjalankan misi da’wah dan tajdid untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Jika selama ini
Muhammadiyah telah menorehkan kepeloporan dalam pemurnian dan pembaruan pemikrian Islam,
pengembangan pendidikan Islam, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan, serta dalam pembinaan
kecerdasan dan kemajuan masyarakat; maka pada usianya jelang satu abad ini Muhammadiyah selain
melakukan revitalisasi gerakannya juga berikhtiar untuk menjalankan peran-peran baru yang dipandang lebih
baik dan lebih bermasalahat bagi kemajuan peradaban.
2. Peran-peran baru sebagai wujud aktualisasi gerakan da’wah dan tajdid yang dapat dikembangkan
Muhammadiyah antara lain dalam menjalankan peran politik kebangsaan guna mewujudkan reformasi nasional
dan mengawal perjalanan bangsa tanpa terjebak pada politik-praktik (politik kepartaian) yang bersifat jangka
pendek dan sarat konflik kepentingan. Dengan bingkai Khittah Ujung Pandang tahun 1971 dan Khittah
Denpasar tahun 2002, Muhammadiyah secara proaktif menjalankan peran dalam pemberanrasan korupsi,
penegakan supremasi hukum, memasyarakatkan etika berpolitik, pengembangan sumberdaya manusia,
penyelamatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, memperkokoh integrasi nasional, membangun karakter
dan moral bangsa, serta peran-peran kebangsaan lainnya yang bersifat pencerahan. Muhammadiyah juga
akan terus menjalankan peran dan langkah-langkah sistematik dalam mengembangkan kehidupan masyarakat
madani (civil society) melalui aksi-aksi da’wah kultural yang mengrah pada pembentukan masyarakat
Indonesia yang demokratis, otonom, berkeadilan, dan berakhlak mulia.
3. Dalam pergaulan internasional dan dunia Islam, Muhammadiyah juga terpanggil untuk menjalankan peran
global dalam membangun tatanan dunia yang lebih damai, adil, maju, dan berkeadaban. Muhammadiyah
menyadari pengaruh kuat globalisasi dan ekspansi neo-liberal yang sangat mencengkeram perkembangan
masyarakat dunia saat ini. Dalam perkembangan dunia yang sarat permasalahan dan tantangan yang
kompleks di abad ke-21 itu Muhammadiyah dituntut untuk terus aktif memainkan peran kerisalahannya agar
umat manusia sedunia tidak terseret pada kehancuran oleh keganasan globalisasi dan neo-liberal, pada saat
yang sama dapat diarahkan menuju pada keselamatan hidup yang lebih hakiki serta memiliki peradaban yang
lebih maju dan berperadaban mulia.
4. Khusus bagi umat Islam baik di tingkat lokal, naional, maupun global Muhammadiyah dituntut untuk terus
maminkan peran da’wah dan tajdid secara lebih baik sehingga kaum muslimin menjadi kekuatan penting dan
menentukan dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban di era modern yang penuh tantangan ini. Era
kebangkitan Islam harus terus digerakkan ke arah kemajuan secara signifikan dalam berbagai bidang
kehidupan umat Islam. Umat Islam harus tumbuh menjadi khaira ummah yang memiliki martabat tinggi di
hadapan komunitas masyarakat lain di tingkat lokal, nasional, dan global. Di tengah dinamika umat Islam yang
semacam itu Muhammadiyah harus tetap istiqamah dan terus melakukan pembaruan dalam menjalankan dan
mewujudkan misi Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang tercinta ini.
Demikian Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad sebagai ungkapan keyakinan, komitmen,
pemikiran, sikap, dan ikhtiar mengenai kehadiran dirinya sebagai Gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan
tajdid dalam memasuki usianya hampir seratus tahun. Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad tersebut
menjadi bingkai dan arah bagi segenap anggota dan pimpinan Persyarikatan baik dalam menghadapi perkembangan
kehidupan maupun dalam melaksanakan usaha-usaha menuju tercapainya tujuan Muhammadiyah yaitu menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Akhirnya, dengan
senantiasa memohon ridha dan karunia Allah SWT., semoga kiprah Muhammadiyah di pentas sejarah ini membawa
kemasalahatn bagi hidup umat manusia dan menjadi rahmat bagi alam semesta.
Nashr min Allah wa fath qarib
.

Gerakan Tajdid dan Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah 4


Selasa, 24 Juni 2003
Tafsir Dakwah Muhammadiyah (Bagian Pertama dari Empat Tulisan)
Syamsul Hidayat Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran

Salah satu agenda penting dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Makassar, 25-29 Juni 2003, adalah
penyempurnaan konsep Dakwah Kultural yang pencetusan awalnya dilakukan pada Sidang Tanwir di Bali awal 2002
lalu. Munculnya ide dan gagasan Dakwah Kultural dilatarbelakangi oleh dorongan yang kuat dari dalam "hati nurani"
Muhammadiyah untuk memperluas jaringan dakwah dan kiprahnya dalam mencerdaskan umat dan bangsa. Namun,
dalam proses pembahasan sangat dirasakan bahwa dorongan tersebut kurang memperhatikan ideologi gerakan
Muhammadiyah yang telah lama memposisikan diri sebagai gerakan tajdid yang berintikan pemurnian pemahaman
dan pengamalan ajaran Islam dan dinamisasi pemikiran dan penerapan ajaran Islam dalam masyarakat yang selalu
berubah. Sehingga banyak terjadi resistensi di kalangan Muhammadiyah baik di pusat maupun dan apalagi di daerah.
Menurut hemat penulis, perumusan konsep dan strategi Dakwal Kultural harus melibatkan kerangka ideologi
Muhammadiyah tersebut, yang diformulakan dalam bentuk tafsir kebudayaan Muhammadiyah.
Tulisan ini ingin memberikan kontribusi dalam memformulakan tafsir kebudayaan Muhammadiyah sebagai
bagian integral bagi perumusan konsep dan strategi Dakwah Kultural tersebut. Purifikasi dan tajdid Dari semula,
paham keagamaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran ke sumber Alquran dan
Sunnah al-Maqbulah dengan dimensi ijtihad dan tauhid dalam satu kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang
logam, paham keagamaan tersebut mempunyai dua permukaan, yaitu dua sisi permukaan yang dapat dibedakan di
antara keduanya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Dua sisi tersebut adalah ajaran kembali kepada Alquran dan Sunnah
al-Maqbulah yang dikenal dengan sisi purifikasi atau pemurnian, dan sisi ijtihad dan tajdid, yakni pengembangan dan
pembaruan pemahaman terhadap ajaran Islam dengan mempertimbangkan perkembangan masyarakat dan ilmu
pengetahuan. (M. Amin Abdullah, 2000:164.) Dalam studi agama-agama, pemahaman yang utuh melibatkan dimensi
keagamaan dan keilmuan sekaligus, meminjam istilah Mukti Ali, disebut pendekatan yang bersifat scientific *****
doctrinaire. (A. Mukti Ali, 1996: 88) Perpaduan antara purifikasi dan pembaruan yang menjadi pendekatan
Muhammadiyah memang diakui menjadi ciri khas (dengan segala kelebihan dan kekurangannya) bagi
Muhammadiyah, terutama bila dikaitkan dengan pergumulannya dengan pluralitas masyarakat dan pluralitas budaya.
Ini terlihat dari penerimaan masyarakat yang cukup luas terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki
perwakilan hampir di setiap kota besar dan kecil di seluruh Indonesia, bahkan menjangkau pelosok pedesaan yang
terpencil sekalipun. Meski Muhammadiyah memiliki prinsip pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada ajaran
Alquran dan Sunnah al-Maqbulah, tetapi tetap memiliki kelenturan dan kebijakan dalam menghadapi realitas sosio-
kultural masyarakatnya. (James L. Pecock, 1986:130).
Dengan pendekatan seperti disebutkan di atas, dalam melakukan interaksi dengan pluralitas sosio-kultural
yang ada, Muhammadiyah senantiasa mengedepankan sikap purifikasinya, yakni melakukan pemurnian dalam
masalah-masalah yang terkait dengan masalah akidah dan ibadah mahdhah. Dalam hal ini, Muhammadiyah bersikap
tegas terhadap fenomena kebudayaan yang berbeda, apalagi bertentangan dengan akidah shahihah dan tuntunan
ibadah mahdhah, karena perbedaan terhadap prinsip ini akan mengarah kepada syirik, tahayul, bidah, dan khurafat,
yang memang selama ini menjadi "musuh besar" Muhammadiyah. Namun, pada saat yang sama ia juga melakukan
rasionalisasi, dengan cara melakukan desakralisasi, demistifikasi, dan demitologisasi atas fenomena budaya yang
tidak berada pada lingkaran akidah dan ibadah mahdhah. (M. Amin Abdullah, 1996). Menafsir realitas sosial Sebagai
gerakan dakwah dan tajdid, Muhammadiyah selalu menjadikan Islam hanya bersumber dari Alquran dan Sunnah al-
Maqbulah sebagai titik tolak pergerakannya, dan sekaligus menjadikannya sebagai tolok ukur untuk melihat perjalanan
dan hasil kerjanya. Namun dalam perjalanan sejarahnya, pola tersebut semakin sulit untuk dipertahankan, karena nas-
nas dalam Alquran dan Sunnah al-Maqbulah yang dipahami secara tekstual tidak lagi memadai untuk merespon
perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya penajaman makna tajdid dengan cara
menggali semangat dan esensi Alquran dan Sunnah al-Maqbulah yang dipahami secara kontekstual. Dengan demikian
perkembangan yang ada (termasuk di dalamnya perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan, serta pengalaman
spiritual yang dimiliki manusia, baik secara individu maupun kolektif) juga harus dijadikan bahan dan rujukan bagi
pemecahan problematika modernitas di satu sisi, dan sekaligus penafsiran ajaran agama di sisi lain.
Dalam Musyawarah Nasional XXIV Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas
Muhammadiyah Malang pada bulan Januari 2000 yang lalu telah diputuskan agar manhaj tarjih dan pemikiran Islam
dalam Muhammadiyah tidak hanya didominasi oleh pengkajian masalah-masalah akidah dan fikih yang dianalisa
dengan pendekatan tekstual, tetapi harus menembus ke berbagai wilayah pemikiran keislaman, baik teologi (kalam),
falsafah, fikih, tasawuf, dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Sementara itu, pendekatan dan metode yang digunakan juga dikembangkan dengan ilmu-ilmu bantu, seperti
sejarah, sosiologi, antropologi, fenomenologi, filsafat dan sebagainya. Di samping itu, kajian-kajian yang dikembangkan
hendaknya membawa warga Muhammadiyah mendalami dimensi-dimensi spiritualnya. Dengan kata lain,
pengembangan pemikiran keislaman yang dilakukan oleh Majelis Tarjih (khususnya) dan Muhammadiyah (pada
umumnya) hendaknya memadukan aspek-aspek pikir dan zikir. Hasil-hasil Musyawarah Nasional tersebut kemudian
disempurnakan dalam Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pemikiran Islam dan Ijtihad Hukum Islam ala
Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada bulan April 2000. Hasil seminar dan lokakarya tersebut
merumuskan bahwa pengembangan metode dan pendekatan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah, sebagaimana

Gerakan Tajdid dan Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah 5


diisyaratkan dalam rekomendasi Musyawarah Nasional XXIV Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam,
dilakukan dengan mengintroduksi pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Selama ini, pemikiran keislaman dalam
Muhammadiyah masih terfokus pada pendekatan bayani, di mana teks-teks keagamaan (Alquran, Sunnah, dan kitab-
kitab karya ulama terdahulu) merupakan titik tolak dan tolok ukur. Setiap upaya pemikiran yang dilakukan oleh akal
hanya semata-mata untuk menjelaskan, dan pada akhirnya melakukan justifikasi terhadap teks, yang selanjutnya
diakui bersama, bahkan seringkali juga berkembang menjadi sakralisasi atas hasil pemikirannya (taqdis al-fikr al-dini).
Hal ini terlihat jelas di kalangan sebagian warga Muhammadiyah, bahwa putusan tarjih adalah satu-satunya
kebenaran. Mereka yang berbeda dengan tarjih dianggap salah. Dengan melengkapi secara terpadu pendekatan
bayani dengan pendekatan burhani dan irfani, diharapkan pemikiran keislaman dalam Muhammadiyah menjadi lebih
terbuka terhadap adanya pluralitas, lebih responsif terhadap perkembangan peradaban, sekaligus mendalami makna
spiritualitas setiap pemikiran dan pengalaman keagamaannya.
Namun demikian, hasil putusan seminar dan lokakarya tersebut dirasa perlu adanya pengkajian ulang,
khususnya pada pendekatan burhani dan irfani yang selama ini terlalu kecil porsinya dalam pemikiran keislaman di
kalangan Muhammadiyah, untuk tidak mengatakan belum ada. Ada kekhawatiran, dengan pendekatan burhani
pemikiran keislaman Muhammadiyah akan menjadi sekular, lepas dari ajaran agama, atau terlalu jauh memisahkan
agama dari masalah-masalah kemasyarakatan. Sementara pendekatan irfani dianggap tidak jelas tolok ukurnya,
karena didasarkan pada pengalaman batiniyah yang lebih bersifat individual, subjektif, dan eksklusif. Bahkan,
pendekatan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Muhammadiyah akan jatuh pada tarekat dan pengasingan diri dari
masalah keduniaan, sehingga Muhamadiyah justru mengalami kemunduran dan terjerumus kepada amaliyah yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syar'iyah. Dari berbagai problematika di atas, memang harus dipahami
dulu mengenai definisi dan mekanisme kerja ketiga pendekatan tersebut, dan bagaimana keterpaduannya dalam
konteks pengembangan manhaj tarjih dan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah.

Rabu, 25 Juni 2003


Tafsir Dakwah Muhammadiyah (Bagian Kedua dari Empat Tulisan)
Oleh : Syamsul Hidayat Pengasuh Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran

Kerangka dasar pemikiran keislaman dalam Muhammadiyah adalah al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah al-
Maqbulah (kembali kepada Alquran dan Sunnah Nabi) dan tajdid al-din (pembaruan pemikiran keagamaan). Akan
tetapi, kerangka dasar tersebut belum dikembangkan dalam metodologi dan manhaj yang jelas dan konkret dalam
perkembangan Muhammadiyah. Rumusan-rumusan ideologis Muhammadiyah, seperti Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, dan beberapa
keputusan Tarjih Muhammadiyah yang mencoba menuangkan pokok-pokok pikiran tentang penetapan masalah-
masalah keagamaan, seperti masa'il al-khams dan ushul fiqh, serta rumusan yang disebut sebagai Pokok-pokok
Manhaj Tarjih sebagaimana dirasakan oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah belum dapat memberikan jalan yang
jelas sebagai implementasi dari kerangka dasar di atas.
Ketika kerangka dasar di atas dikembangkan dalam rumusan-rumusan ideologis Muhammadiyah, ternyata
baru memuat prinsip-prinsip pemikiran Islam yang bersifat global dan terkesan kering dari nuansa sejarah (meminjam
istilah Syafii Maarif) dan kering dari nuansa spiritualitas. Apabila dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan dan
metodologi pemikiran Islam sebagaimana direkomendasikan oleh Musyawarah Nasional Tarjih XXIV, yang dipertajam
oleh Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pemikiran Islam dan Ijtihad Hukum ala Muhammadiyah, rumusan-
rumusan ideologis dan rumusan pokok-pokok manhaj penetapan masalah-masalah keagamaan dalam Muhammadiyah
selama ini sangat didominasi oleh pendekatan bayani. Kalaupun melibatkan pendekatan burhani, kemungkinan itu
masih sangat kecil porsinya. Sementara dari segi corak pemikirannya, pemikiran keagamaan dalam Muhammadiyah
sangat didominasi oleh pemikiran fiqhiyah yang sangat tekstual dan berorientasi kepada asas legal-formal, sehingga
sangat sedikit menyentuh substansi. Ketiga pendekatan ini -- bayani, burhani, irfani -- dalam khazanah pemikiran
Islam mulai dikenalkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri, terutama dengan karyanya Bun-yah al-'Aql al-'Arabi, yang
dimaksudkan sebagai analisis kritis terhadap nidham al-ma'rifah (epistemologi) dalam pemikiran dan kebudayaan
Islam.
Pendekatan Bayani
Pendekatan bayani merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan
teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Adapun akal hanya menempati kedudukan sekunder yang bertugas
menjelaskan dan membela teks yang ada. Dengan kata lain, kaum bayani hanya bekerja pada dataran teks (nidham
al-kitab), bukan pada dataran akal (nidham al-'aql). Oleh karenanya, kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa,
baik pada dataran gramatikal dan struktur (nahwu-sharaf) maupun sastra (balaghah: bayan, mani', dan badi'). Dalam
konteks ini, bahasa tidak semata-mata sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai media transformasi budaya.
Bahasa Arab sebagai media transformasi budaya Arab (termasuk dalam pengertian mode of thought dalam tradisi
Arab) dan membentuk kerangka rujukan asasi kaum bayani. Salah satu implikasinya, lafad dan makna mendapatkan
posisi yang cukup terhormat, terutama dalam diskursus ushul fiqh. Dalam ilmu kalam, diskursus tentang lafad-makna
dapat dijumpai dalam perdebatan tentang "kemakhlukan Alquran", atau tentang sifat-sifat Allah (antara itsbat al-sifat
dan ta'til), dan juga tentang takdir. Bagi Muhammadiyah, pendekatan bayani ini tetap sangat diperlukan dalam rangka
komitmennya kepada teks ajaran Islam, yaitu Alquran dan Sunnah al-maqbulah, sebagai al-wahyu al-matluw dan al-

Gerakan Tajdid dan Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah 6


wahyu ghairu al-matluw, serta warisan intelektual Islam, baik salaf maupun khalaf. Dengan pendekatan ini pula,
Muhammadiyah akan menangkap kandungan teks ajaran agama sebagaimana bunyi lafadnya dan makna yang
dikandung di dalamnya secara lughawi (ilmu-ilmu kebahasaan) dan budaya bahasa yang digunakan oleh teks tersebut.
Namun demikian, dominasi dan orientasi pemahaman bayani yang berlebihan akan menimbulkan persoalan
dalam pemikiran keislaman dalam Muhammadiyah. Kecenderungan kepada eksklusifisme dan truth-claim adalah
merupakan salah satu efek negatif yang selama ini dilakukan oleh sebagian warga Muhammadiyah. Himpunan
Putusan Tarjih akhirnya menjadi segala-galanya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan berikutnya, yaitu pendekatan
burhani dan Irfani. Pendekatan Burhani Pendekatan burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah
pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Pendekatan ini
menjadikan realitas teks maupun konteks sebagai sumber kajian. Dalam pendekatan burhani tercakup metode ta'lili
yang berupaya memahami realitas teks berdasarkan rasionalitas; dan metode istishlahi yang berusaha mendekati dan
memahami realitas objektif atau konteks berdasarkan filosofi. Realitas tersebut meliputi realitas alam (realitas
kauniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtima`iyyah) maupun realitas budaya (tsaqafiyyah). Dalam
pendekatan ini, teks dan konteks - sebagai dua sumber kajian - berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial keislaman menjadi lebih
memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (ijtima`iyyah), antropologi (antrupulujiyyah),
kebudayaan (tsaqafiyyah), dan sejarah (tarikhiyyah). Dalam model pendekatan burhani, keempat metode - sosiologi,
historis, kebudayaan, dan antropologi -- berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektis dan saling
melengkapi membentuk jaringan keilmuan. (Keputusan Munas Tarjih XXIV, 2000).
Pendekatan Irfani
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada pengalaman batiniyyah, dzauq, qalb,
wijdan, basirah, dan intuisi. Pendekatan irfani (pengetahuan) ini menekankan hubungan antara subjek dan objek
secara direct experience, tidak lewat medium bahasa atau teks dan tidak lewat logika rasional, sehingga objek
menyatu dengan dalam diri subjek. Objek hadir dalam diri subjek (al-'ilm al-huduri) . Pengetahuan irfani sebenarnya
adalah pengetahuan pencerahan (iluminasi), sebagaimana dikembangkan dalam filsafat isyraqi (al-hikmah al-
isyraqiyyah). Di sini perlu dibedakan dengan filsafat emanasi yang cenderung pantheistik. Filsafat isyraqi (iluminasi)
menyatakan bahwa pengetahuan diskursif (al-hikmah al-bahthiyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan
pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyyah). Dzauq berfungsi menyerap misteri segala esensi yang menimbulkan
pengetahuan dan rasa damai pada jiwa yang resah-gelisah dan membuang skeptisisme. Dengan pemaduan tersebut
pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-
haqiqiyyah (al-haqq al-yaqin). Pengetahuan irfani dapat dicapai melalui tiga tingkatan. Pertama, tahap membersihkan
diri dari ketergantungan terhadap dunia (al-ihsan wa al-ikhlas). Kedua, ditandai dengan pengalaman-pengalaman
eksklusif menghampiri dan merasakan pancaran nur Ilahi. Ketiga, ditandai dengan perolehan pengetahuan yang
seolah-olah tak terbatas dan tak terikat oleh ruang dan waktu, karena bersatunya al-'aql, al-'aqil, dan al-ma'qul. (M.
Amin Abdullah, 2001: 376-377). Pengalaman bathiniyyah Rasulullah dalam menerima wahyu Alquran merupakan
contoh konkret dari pengetahuan irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi selama ini, pengetahuan irfani
yang akan dikembangkan mungkin dalam kerangka ittiba' al-rasul (mengikuti jejak Rasulullah). Dalam hal ini, konsep-
konsep Qurani, seperti qalb (qulub), fu'ad, basirah, fitrah, dan ulul albab dapat dicermati lebih lanjut. Dapat dikatakan,
meski pengetahuan irfani bersifat subjektif dan bathiniyyah, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya.
Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya
akan bersifat inter-subjektif. Objek pengetahuan irfani berupa "cahaya", yakni "cahaya-cahaya penyingkap" (al-anwar
al-kasyifah), yang mengantarkan kepada pengetahuan yang sebenarnya (al-'ulum al-haqiqiyyah). Simbolisasi cahaya
itu adalah Tuhan itu sendiri, yang bersifat trans-historis, dan trans-kultural. Implikasi berikut dari pengetahuan irfani
dalam konteks pemikiran keislaman adalah menghampiri agama pada tataran substantif, esensi spiritualitasnya, dan
mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain yang berbeda
aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan
diimbangi rasa empati dan simpati kepada adanya "orang lain" secara elegan dan setara, termasuk di dalamnya
kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya, dan peradaban yang disinari oleh
pancaran fitrah ilahiyah. 

Kamis, 26 Juni 2003


Tafsir Dakwah Muhammadiyah Bagian Ketiga dari Empat Tulisan
Syamsul Hidayat Pengasuh Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran

Tiga pendekatan itu -- bayani, burhani, dan irfani -- adalah warisan yang tak ternilai harganya dalam pemikiran
Islam. Ada perkembangan yang cukup menarik dalam sejarah pemikiran Islam, di mana terdapat upaya-upaya
sejumlah sarjana muslim dari berbagai kalangan untuk mengupayakan adanya proses pemaduan pemahaman.
Mereka melihat ada peluang dan kemungkinan-kemungkinan untuk menghubungkan ketiga pendekatan ini dalam
memahami Islam. Sebagaimana yang dipahami, dalam pemikiran Islam klasik dan pertengahan, wilayah pemikiran
keislaman hanya bertumpu pada wilayah kalam, falsafah, tasawuf, dan hukum. Wilayah dan kategorisasi problem
dalam pemikiran Islam kontemporer tidak hanya meliputi empat wilayah di atas, tetapi jauh lebih kompleks.

Gerakan Tajdid dan Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah 7


Kompleksitas itu tercermin pada wilayah historisitas praktik-praktik sosial keislaman, serta tekanan pada nilai-nilai di
wilayah etik dan moralitas (akhlak).
Oleh karena itu, pemikiran Islam kontemporer perlu memahami semua realitas persoalan keislaman
kontemporer dalam rangka mengantisipasi gerak perubahan zaman era industrialisasi dan globalisasi budaya serta
agama. Pembaruan dan pengembangan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah meliputi persoalan sosial
keagamaan, sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, sains dan teknologi, lingkungan hidup, etika dan rekayasa
genetika/bioteknologi, serta isu-isu yang berkaitan dengan masalah keadilan dalam bidang hak asasi manusia (HAM),
demokrasi, hubungan pria dan wanita dalam Islam, civil society, agama dan kekerasan sosial, spiritualitas keagamaan,
penguatan kesadaran moralitas publik, pemecahan KKN, dialog dan hubungan antarumat beragama, integrasi dan
disintegrasi nasional, kepekaan pluralitas keagamaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain.
Hubungan tiga pendekatan
Apabila peta wilayah pengembangan pemikiran keislaman kontemporer jauh berkembang sebagaimana
dijelaskan di atas, maka bagaimana bentuk hubungan antara ketiga pendekatan, yaitu antara bayani, burhani, dan
irfani. Setelah diperoleh pemahaman kerangka metodologis di atas, langkah penting lain yang tidak kalah strategisnya
adalah penentuan bentuk hubungan antara ketiganya. Ketepatan dan kekeliruan penentuan pola hubungan antara
ketiganya menentukan hasil yang akan dicapai. Ada tiga jenis hubungan antara ketiganya, yaitu paralel, linear, dan
spiral. Jika bentuk hubungan antara ketiganya dipilih dalam bentuk paralel, di mana ketiga pendekatan berjalan
sendiri-sendiri, tanpa ada hubungan antara satu pendekatan dengan pendekatan yang lain, maka nilai manfaat praktis
dan kegunaan pengembangan keilmuan yang akan diraih juga akan minim sekali. Bentuk hubungan paralel
mengasumsikan bahwa dalam diri seorang muslim terdapat tiga jenis metodologi keilmuan agama Islam sekaligus,
tetapi masing-masing metodologi berdiri sendiri dan tidak saling berdialog dan berkomunikasi, tergantung pada situasi
dan kondisi. Jika ia berada pada wilayah bayani, ia gunakan pendekatan bayani sepenuhnya, dan tidak "berani"
memberi masukan dari hasil temuan dari pendekatan metodologi keilmuan keislaman yang lain. Meskipun begitu,
seminim-minimnya hasil yang diperoleh dari model hubungan yang bersifat paralel ini, masih jauh lebih baik daripada
hanya hasil dari salah satu metodologi dan tidak mengenal jenis metodologi yang lain. Sedangkan hubungan linear,
pada ujung-ujungnya adalah "kebuntuan" karena tidak memberi ruang bagi yang lain. Pola pendekatan linear akan
mengasumsikan bahwa salah satu dari ketiga metodologi tersebut akan menjadi primadona. Seorang muslim akan
menepikan masukan yang diberikan atau disumbangkan oleh metodologi yang lain, karena ia telah telanjur hanya
mengakui salah satu dari ketiga pendekatan yang ada. Pendekatan yang ia pilih dianggap sebagai suatu pendekatan
yang ideal dan final. Jenis pilihan semacam ini pada gilirannya akan mengantarkan seseorang pada "kebuntuan",
karena dogma keilmuan di mana tradisi berpikir bayani tidak mengenal tradisi berpikir burhani atau irfani dan begitu
sebaliknya. Kedua bentuk hubungan itu -- baik yang paralel maupun yang linear -- bukan merupakan pilihan yang
baik yang dapat memberikan petunjuk untuk umat Islam era kontemporer. Pendekatan paralel tidak dapat membuka
wawasan dan gagasan-gagasan baru. Masing-masing pendekatan macet, terhenti, dan bertahan pada posisinya
sendiri-sendiri, dan itulah yang disebut "truth-claim" (klaim kebenaran, atau monopoli kebenaran). Sedang pendekatan
linear -- yang mengasumsikan adanya finalitas -- akan menjebak seseorang atau kelompok pada situasi-situasi
eksklusif-polemis. Pendekatan pemikiran keislaman kontemporer baru dapat mengantarkan seorang muslim pada
pemilihan antara salah satu dari kedua pendekatan keilmuan di atas. Kedua pilihan tersebut masing-masing kurang
kondusif untuk mengantarkan "kematangan religiusitas" seseorang, apalagi kelompok.
Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan pola hubungan antara ketiga metodologi yang ada yang lebih
memberi kemungkinan dirumuskan angin segar di lingkungan komunitas Muhammadiyah. Hubungan yang baik
antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat spiral-sirkular, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan
yang digunakan dalam pemikiran keislaman sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang
melekat pada diri masing-masing, serta sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya.
Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, dan kesalahan yang melekat pada masing-masing metodologi
dapat dikurangi dan diperbaiki setelah memperoleh masukan dan kritik dari jenis pendekatan dari luar dirinya, baik
masukan dari pendekatan bayani, burhani, maupun irfani. Corak hubungan yang bersifat spiral tidak menunjukkan
adanya finalitas dan eksklusifitas, karena finalitas -- untuk kasus-kasus tertentu -- hanya akan mengantarkan
seseorang dan kelompok muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan
hubungan antar-sesama muslim, lebih-lebih hubungan ekstern antar-umat beragama. Finalitas tidak memberikan
kesempatan munculnya new possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk
menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer.
Prinsip-prinsip
Berbagai upaya pengembangan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah di atas dilakukan di atas prinsip-
prinsip sebagai berikut: (1) istimrariyyah (muhafadhah)/kontinuitas, yaitu upaya untuk melanjutkan berbagai produk
pemikiran yang telah ada, baik di lingkungan Muhammadiyah maupun produk intelektual Islam secara menyeluruh.
Dengan demikian pengembangan ini tidak bisa meninggalkan kekayaan pengalaman Muhammadiyah dalam mengkaji
dan mendakwahkan Islam yang senantiasa berpedoman kepada Alquran dan Sunnah al-maqbulah sebagai landasan
utama; (2) tanwi' (tanawu'iyyah), yakni memberikan ruang dan tasamuh akan adanya berbagai kemungkinan hasil
kajian, sehingga pluralitas pemahaman dan hasil kajian di lingkungan Muhammadiyah sangat dimungkinkan; (3)
syumuliyyah (universalisme), yaitu usaha untuk menghadirkan Islam yang kaffah (menyeluruh dan sempurna),
sehingga hasil-hasil pengkajian, baik dalam tataran pedoman praktis (practical guidance) maupun pengembangan

Gerakan Tajdid dan Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah 8


wacana keilmuan, senantiasa memasuki berbagai wilayah kehidupan dengan mempertimbangkan aspek ta'abuddi dan
ta'aqquli, dhahir dan batin, normatifitas dan historisitas, ritual, sosial, dan spiritual; (4) Alamiyyah dan mahalliyyah,
yaitu mengupayakan pemahaman Islam yang menyentuh masalah-masalah global universal dan lokal partikular; (5)
ibtikariyyah, yaitu kreatifitas pemikiran yang konstruktif dan responsif terhadap problem kemanusiaan dengan tetap
memiliki komitmen terhadap nilai-nilai Islam, sehingga akan menimbulkan sikap adaptif dan sekaligus selektif; (6)
ilahiyyah dan rabbaniyyah, yakni selalu menjadikan prinsip islam (tunduk), istislam (pasrah dan berserah diri kepada
Allah), dan ihsan (senantiasa dekat dan mendekatkan diri kepada Allah dan senantiasa merasakan kehadiran Tuhan
dalam dirinya) dalam berpikir dan bertindak, dengan diikuti dengan upaya menangkap, merumuskan dan membumikan
nilai-nilai ilahiyyah pada tataran sosio-historis.
Dengan pengembangan manhaj di atas diharapkan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
Muhammadiyah lebih kokoh, responsif, dan aktual dengan berbagai produk pemikirannya dan memperoleh tempat
yang proporsional dalam memberi napas gerak Persyarikatan Muhammadiyah.
Berkembangnya pendekatan sosio-kultural yang mendampingi ideologi purifikasi di atas merupakan
konsekuensi logis dari meluasnya dakwah Muhammadiyah. Hasil dari interaksi Muhammadiyah dengan kenyataan
sosio-kultural menyebabkan Muhammadiyah dapat tampil secara inklusif dan penuh toleran dengan gagasan segar di
bidang sosial dan kebudayaan. Kekayaan pengalaman dakwah Muhammadiyah di atas telah mengkristal dalam
metodologi pemikiran keagamaannya, yaitu paham yang memadukan antara pendekatan tekstual dan kontekstual,
pendekatan legal-formal dan pendekatan substansial dalam satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Pendekatan
tersebut kemudian dikenal dengan nalar bayani, nalar burhani, dan nalar irfani. Nalar pikir bayani dimaknai sebagai
pendekatan yang lebih tekstual, seperti berkembang pada ilmu-ilmu tauhid dan fikih klasik, serta pada pemikiran Islam
klasik pada umumnya. Sementara pendekatan burhani adalah upaya memahami Islam dengan mengintegrasikan ilmu-
ilmu sosial humaniora dan ilmu-ilmu alam sebagai kelengkapan ilmu keislaman. Adapun nalar irfani adalah penalaran
dengan perenungan yang mendalam dengan melibatkan pengalaman langsung dan penghayatan keagamaan yang
lebih esoterik (spiritual intuitif). (Keputusan Muktamar Muhammadiyah 44, 2000)

Jumat, 27 Juni 2003


Tafsir Dakwah Muhammadiyah
Bagian Terakhir dari Empat Tulisan
Oleh : Syamsul Hidayat

Strategi kebudayaan Muhammadiyah menyatakan, bahwa dimensi ajaran al-ruju ila al-Quran wa al-Sunnah
berjalan seiring dengan dimensi ijtihad dan tajdid sosial keagamaan. Dan, ciri khas strategi kebudayaan
Muhammadiyah adalah adanya hubungan yang erat dan timbal balik antara sisi normativitas Alquran dan Sunnah Nabi
dengan historisitas pemahamannya pada wilayah kesejarahan tertentu. Secara teoretis, manusia memiliki empat
kemampuan dasar untuk mengembangkan kebudayaannya. Yaitu rasio untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, imajinasi untuk mengembangkan kemampuan moralitasnya, sensus numinis untuk mengembangkan
kesadaran ilahiyah-nya, dan kemampuan fisik untuk mewujudkan potensi-potensi tersebut dalam karya nyata. Agama
Islam adalah wahyu Allah yang merupakan sistem nilai yang mengandung empat potensi di atas dan mengakuinya
sebagai fitrah manusia. Keempat potensi tersebut secara bersama-sama dapat dipakai untuk menemukan kebenaran
tertinggi, yaitu kebenaran Allah sebagai acuan dari kebudayaan yang dikembangkan manusia. Seni budaya
Muhammadiyah Seni budaya merupakan penjelmaan rasa seni yang sudah membudaya, termasuk dalam aspek
kebudayaan, dan sudah dapat dirasakan oleh orang banyak dalam rentang waktu perjalanan sejarah peradaban
manusia. Rasa seni adalah perasaan keindahan yang ada pada setiap orang normal yang dibawa sejak lahir. Ia
merupakan sesuatu yang mendasar dalam kehidupan manusia yang menuntut penyaluran dan pengawasan baik
dengan melahirkannya maupun dengan menikmatinya. Dengan demikian, proses penciptaan seni selalu bertitik tolak
dari pandangan seniman tentang realitas (Tuhan, alam, dan manusia). Bila seni dapat dijadikan alat dakwah untuk
membina, mengembangkan dan meningkatkan mutu keimanan dan ketakwaan, maka menciptakan dan menikmatinya
dianggap sebagai amal saleh yang bernilai ibadah sepanjang mematuhi ketentuan-ketentuan dalam proses penciptaan
maupun dalam menimati hasil karya seni tersebut. Sejalan dengan keputusan Musyawarah Nasional Tarjih
Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami untuk Warga Muhammadiyah (PHIM) hasil keputusan Muktamar
Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta memuat tujuh pokok pikiran sebagaimana berikut : Pertama, Islam
adalah agama fitrah, yaitu agama yang berisi ajaran yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Islam bahkan
menyalurkan, mengatur, dan mengarahkan fitrah tersebut untuk kemuliaan dan kehormatan manusia sebagai makhluk
Allah. Kedua, rasa seni sebagai penjilmaan rasa keindahan dalam diri manusia yang dianugerahkan Allah. Ketiga,
berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah ke-23 tahun 1995 bahwa karya seni hukumnya
mubah (boleh) selama tidak mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dlarar (bahaya), 'ishyan (kedurhakaan),
dan ba'id 'an Allah (terjauhkan dari Allah). Keempat, seni rupa dengan objek makhluk bernyawa, seperti patung,
hukumnya mubah bila untuk kepentingan sarana pengajaran, ilmu pengetahuan, dan sejarah, tetapi menjadi haram
bila mengandung unsur yang membawa 'ishyan (kedurhakaan) dan syirik. Kelima, seni suara (baik seni vokal maupun
instrumental), seni sastra, dan seni pertunjukan pada dasarnya mubah, dan menjadi haram (terlarang) manakala seni
dan ekspresinya, baik dalam wujud penandaan tekstual maupun visual tersebut menjurus pada pelanggaran norma-
norma agama. Keenam, setiap warga Muhammadiyah, baik dalam menciptakan maupun menikmati seni dan budaya,

Gerakan Tajdid dan Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah 9


selain dapat menumbuhkan perasaan halus dan keindahan, juga menjadikan seni dan budaya sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai media atau sarana dakwah untuk membangun kehidupan yang
berkeadaban. Ketujuh, menghidupkan sastra Islam sebagai bagian dari strategi membangun peradaban dan
kebudayaan muslim.
Memahami pluralitas
Dakwah kultural sebagai strategi perubahan sosial diwujudkan secara bertahap sesuai dengan kondisi
empirik. Arahnya adalah untuk pengembangan kehidupan islami sesuai dengan paham Muhammadiyah yang
bertumpu para pemurnian pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Hal itu dilakukan dengan menghidupan ijtihad
dan tajdid, sehingga purifikasi dan pemurnian ajaran Islam tidak menjadi kaku, rigid, dan eksklusif. Tetapi menjadi
lebih terbuka dan memiliki rasionalitas yang tinggi untuk dapat diterima oleh semua pihak. Dengan memfokuskan pada
penyadaran iman melalui potensi kemanusiaan, diharapkan umat dapat menerima dan memenuhi seluruh ajaran Islam
yang kaffah secara bertahap sesuai dengan keragaman sosial, ekonomi, budaya, politik, dan potensi yang dimiliki oleh
setiap kelompok ummat. Atas dasar pemikiran tersebut, dakwah kultural dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu
pengertian umum (makna luas) dan pengertian khusus (makna sempit).
Dakwah kultural dalam arti luas dipahami sebagai kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan
kecenderungan manusia sebagai makhluk berbudaya dalam rangka menghasilkan kultur alternatif yang bercirikan
Islam. Yakni berkebudayaan dan berperadaban yang dijiwai oleh pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran
Islam yang murni bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi, dan melepaskan diri dari kultur dan budaya yang dijiwai
oleh syirik, tahayul, bid'ah, dan khurafat. (Tim Majelis Tabligh, 2002).
Adapun dalam pengertian khusus, dakwah kultural adalah kegiatan dakwah dengan memperhatikan,
memperhitungkan, dan memanfaatkan adat-istiadat, seni, dan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran
Islam dalam proses menuju kehidupan islami sesuai dengan manhaj Muhammadiyah yang bertumpu pada prinsip
salafiyyah (purifikasi) dan tajdidiyyah (pembaharuan).
Munculnya konsep dakwah kultural, sebagaimana diputuskan oleh Sidang Tanwir Muhammadiyah, Januari
2002 di Bali, didorong oleh keinginan Muhammadiyah untuk mengembangkan sayap dakwahnya menyentuh ke
seluruh lapisan umat Islam yang beragam kondisi sosio-kulturalnya. Dengan dakwah kultural, Muhammadiyah ingin
memahami pluralitas budaya, agar dakwah yang ditujukan kepada mereka dilakukan dengan dialog kultural, sehingga
akan mengurangi benturan-benturan yang selama ini dipandang kurang menguntungkan. Adapun dakwah itu sendiri
tetap berpegang pada prinsip pemurnian (salafiyyah) dan pembaruan (tajdidiyah). Dengan demikian, dakwah kultural
sebenarnya akan mengokohkan prinsip-prinsip dakwah dan amar makruf nahi munkar Muhammadiyah yang bertumpu
pada tiga prinsip : tabsyir, islah, dan tajdid.
Tabsyir, islah, tajdid
Prinsip tabsyir adalah upaya Muhammadiyah untuk mendekati dan merangkul setiap potensi umat Islam
(umat ijabah) dan umat non-muslim (umat dakwah) untuk bergabung dalam naungan petunjuk Islam dengan cara-cara
yang bijaksana, pengajaran dan bimbingan yang baik, dan mujadalah (diskusi dan debat) yang lebih baik. Kepada
umat ijabah, tabsyir ditekankan pada peningkatan dan penguatan visi/semangat dalam ber-Islam. Sementara kepada
umat dakwah, tabsyir ditekankan pada pemberian pemahaman yang benar dan menarik tentang Islam, serta
merangkul mereka untuk bersama-sama membangun masyarakat dan bangsa yang damai, aman, tertib, dan
sejahtera. Dengan cara ini, dakwah kepada non-muslim tidak diarahkan untuk memaksa mereka memeluk Islam,
tetapi membawa mereka pada pemahaman yang benar tentang Islam, sehingga mereka tertarik kepada Islam, bahkan
dengan sukarela memeluk ajaran Islam. (M. Djindar Tamimy, 1985, A. Rosyad Sholeh dkk., 1980) Prinsip islah ialah
upaya membenahi dan memperbaiki cara ber-Islam yang dimiliki oleh umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah,
dengan cara memurnikannya sesuai petunjuk syar'i yang bersumber pada Alquran dan Sunnah Nabi. Prinsip tajdid,
sesuai dengan maknanya, ialah mengupayakan pembaruan, penguatan, dan pemurnian atas pemahaman dan
pengamalan Islam yang dimiliki oleh umat ijabah, termasuk pelaku dakwah itu sendiri. Dakwah kultural Terminologi
dakwah kultural memberikan penekanan makna yang berbeda dari dakwah konvensional yang disebut juga dengan
dakwah struktural. Dakwah kultural memiliki makna dakwah Islam yang cair dengan berbagai kondisi dan aktivitas
masyarakat, sehingga bukan dakwah verbal yang sering dikenal dengan dakwah bi al-lisan (atau tepatnya dakwah bi
lisan al-maqal, seperti ceramah di pengajian-pengajian), tetapi dakwah aktif dan praktis melalui berbagai kegiatan dan
potensi masyarakat sasaran dakwah yang sering dikenal dengan dakwah bi al-hal (atau tepatnya dakwah bi lisan al-
hal). Pengasuh Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran Note:
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=129912&kat_id=16

Gerakan Tajdid dan Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah 10

You might also like