Professional Documents
Culture Documents
PENGANTAR
Perbudakan telah menjadi isu yang memisahkan negara-negara bagian utara dan
negara-negara bagian selatan di Amerika baik secara ekonomi maupun wilayah. Karena
merasa tersaingi oleh keuntungan besar yang diraih oleh pihak utara, negara-negara bagian
selatan menuduh bahwa keterbelakangan mereka disebabkan oleh perluasan wilayah oleh
negara-negara bagian utara. Sebaliknya pihak utara menyebut bahwa perbudakan yang
disebut sebagai “institusi ganjil” sebagai penyebab dari keterbelakangan dari wilayah selatan.
Di selatan, perbudakan memang telah menjadi bagian penting dalam perekonomian.
Pada tahun 1815, jumlah orang negro di Amerika meningkat pada kisaran angka
2.000.000, kira-kira setengah dari populasi ysng berlokasi di pinggiran negara bagian
Delaware, Maryland, Virinia, dan North Carolina. Sebagai tujuan dari memindahkan orang-
oarang negro ke Afrika dan membantu mereka mendirikan kehidupan baru, para pendeta dan
orang-orang biasa lainnya dari negara-negara bagian di Atlantik Tengah membentuk
Masyarakt Koloni Amerika. Dalam paruh pertama dekade dari sejarak kelompok itu, merekan
didukung oleh kaum Presbyterian, Methodist,Babtist, dan Episcopal. Tidak lama setelah itu,
mereka berhasil menyelaesaikan program mereka, yaitu pendirian negara Liberia. Kapal
imigran pertama yang membawa 89 negro mendarat di Sierra Leone pada tahun 1821.
Perkumpulan ini didukung dengan dana oleh pemerintah pusat dan negara bagian tertentu
dengan sukarela. Perkumpulan itu mendapatkan dukungan tidak hanya dari kaum pendukung
penghapusan perbudakan di masa depan seperti William Lloyd Garisson tetapi juga dari
pemilik budak di negara-negara bagian di selatan seperti Henry Clay. Banyak yang
mendukungnya karena mereka percaya bahwa hal itu akan mampu mendatangkan perubahan
di Afrika. Yang lain berpikir bahwa hal itu akan mengurangi problem sosial, mengontrol
populasi kaum negro yang berkembang cepat, dan mengemabangkan persatuan ngara.
Namun dalam dekade 1830an, perkumpulan itu menghadapi persoalan yang tidak
juga dapat dipecahkan. Kemiskinan dan wabah penyakit di Liberia telah membuat para negro
kolonis berhenti berspekulasi. Sementara para filantropis dari utara telah menemukan bahwa
beban finansial lebih besar daripadakeuntungan yang didapat.Kemudian, para pemilik budak
di selatan tidak lagi tertarik dengan emansipasi antara komunitas mereka dengan kaum budak
negro. Usaha perkumpulan itu untik mengambil posisi di tngah-tengah kedua pihak
(abolisionis dan pemilik budak) hanya menambah pertikaian.Orang-orang di selatan
menganggap bahwa mereka adalah pendukung penghapusan perbudakan, sementara pihak
utara menganggap mereka bukan benar-benar abolisionis.Sehingga dalam dekade tersebut,
perkumopulan itu mulai kehilangan peran dalam isu perbudakan. Yang mencuat adalah
pendukung penghapusan atau pendukung eksistensi perbudakan.
Dalam pandangan tentang perubahan kondisi ekonomi di selatan dari 1790 sampai
dengan 1830, hal ini terasa tidak mengejutkan bahwa program-program yang bersifat sukarela
atau kemanusiaan seperti pengupayaan emansipasi telah gagal. Perbudakan yang telah muncul
menjasi institusi ysng mati secar perlahan si sekitar abad 18 karena ketidakmampuan dalam
menghasilkan untung tiba-tiba saja menjadi nilai-nilai baru dengan penemuan mesin pemisah
bijih kapas oleh Whitney pada tahun 1792 dan juga pembangunan pasar-pasar kapas di
Inggris. Kapas menjadi bahan baku utama yangdiproduksi di selatan. Sekali lagi, sektor
perkebunan kembali menjadi lahan yang menguntungkan.Karena budak sangat diperlukan
dalam perekonomian, pemikiran-pemikiran tentang emansipasi dengan cepat menjadi
dilupakan. Akibatnya jumlah budak menjadi terus meningkat sampai 4 juta dalam tahun
1860an.
William Lloyd Garison, seorang tokoh abolisionis yang masih muda dari
Massachusetts mengumumkan sebuah kampanye besar-besaran untuk pembebasan
kaumnegro dengan segera dari perbudakan dalam surat kabar miliknya yang terkenal, yaitu
Liberator (1831). Dalam artikelnya itu, dia mengatakan “Secara serius saya akan menentang
pengambilan hak untuk menjual budak-budak itu. Dalam hal ini, saya tidak ingin berpikir,
berkata atau menulis dengan setengah-setengah. Saya sangat serius. Saya tidak akan berbelit-
belit-hal Itu takkan saya maafkan-Saya tidak akan menarik kembali atau mundur sedikitpun,
dan hal ini akan didengar”. Pada tahun yang sama perkumpulannya membentuk Masyarakat
Anti Perbudakan di New England. Perkumpulannya itu kemudian menjadi berskala nasional
dengan munculnya Masyarakat Anti Perbudakan Amerika yang mencanagkan cita-citanya
untuk seluruh orang Amerika ke dalam filosofi “Perbudakan adalah kejahatan keji dalam
pandangan Tuhan” dan harus segera ditinggalkan. Segera setelah itu muncul perkumpulan-
perkumpulan serupa di penjuru utara dan tengah-barat. Perlahan gerakan ini menyebar ke
gereja-gereja yang beberapa diantaranya dikelola oleh perkumpula-perkumpulan tersebut.
Pada saat kaum abolisionis melanjutkan polemik agresif mereka, serangan balik
secara verbal disertai dengan teror fisik dilakukan oleh pebisnis yang takut akan kerugian
dalam perdagangan dengan pihak selatan dan juga pekerja yang khawatir dengan persaingan
ekonomi secara bebas yang mungkin terjadi bila buruh-buruh negro menjadi kaum merdeka.
Banyak pertemuan kaum abolisionis yang dibubarkan kaum pengacau di utara dan tengah-
barat. Pemimpin-pemimpin gerakan juga banyak diteror.
Pada permulaan dekade 1840an, kaum Protestan di utara terbagi dalam tiga
kelompok yang terkait dengan isu perbudakan di Amerika. Di pihak sayap kiri, ada kaum
minoritas yang mendukung penghapusan dengan segera dan juga bermaksud mengorbankan
persatuan negara-negara di utara dan selatan demi kebebasan kaum negro. Di sayap kanan ada
kaum konservatif yang selalu mendorong penbenaran perbudakan dengan dalih menjaga
persatuan tersebut. Di tengah-tengah ada kaum evangelis yang masih berusaha
memperlihatkan kasih dan rasa hormat kepada pemilik budak di selatan, tetapi mereka tidak
merasa bahwa mereka telah mengabaikan sentimen anti perbudakan mereka. Dengan
bergantinya waktu, masih dalam dekade yang sama, banyak diantara orang-orang tersebut
terdorong untuk mengenal peningkatan usaha-usaha untuk mempertajankan perbudakan.
Setelah posisi mereka yang tifdak jelas sebelumnya, mereka kemudian menjadi kelompok
yang turut menentang perbudakan. Kecenderubgan ini bertambah setelah diloloskannya
Fugitive Slave Act yang mewajibkan warga negara untuk bekerja sama dengan pihak yang
berwenang untuk menangkap mengembalikan budak yang melarikan diri kepada tuannya.
Tekanan kaum anti perbudakan makin meningkat setelah Harriet Beecher Stowe berhassil
merebut hati publik lewat penderitaan dan emosi dalam Uncle Tom’s Cabin. Karya
sentimentil ini memotret kekejaman yang diderita kaum budak, dan konflik fundamental
antara masyarakat yang merdeka dengan budak. Para pendukung di utara benar-benar
terpengaruh dengan karya itu. Hak itu menyebabkan antusiasme yang meluas pada gerakan
anti perbudakan sebagai akibat munculnya rasa emosi yang manusiawi karena melihat
ketidak adilan, kepincangan hukum, dan ketidakberdayaan kaum budak akibat eksploitasi
yang tanpa mengenal perikemanusiaan.
Keputusan Dred Scott yang terkenal dalam pengadilan tinggi pada tahun 1857,
yang mengatur tentang budak yang dimiliki oleh tuannya dalam suatu wilayah dan tidak
merupakan suatu kebebasan telah membangkitka kemarahan di penjuru wilayah utara. Para
evangelis moderat menjadi yakin waktu untuk bersabar dan mentolerir perbudakan telah
habis, sehingga pihak-pihak yang semula menetang radikalisme kaum penentang perbudakan
menjadi kaum pendukung penghapusan samasekali perbudakan. Mereka tidak lagi
menggunakan cara-cara damai tetapi justru menggunakan jalur konfrontasi, kalau perlu
dengan kekerasan, untuk mencapai tujuan diatas dan juga memurnikan negara ini demi misi
sucinya pada dunia.
Banyak pembenaran secara moral tentang perbudakan yang berasal dari pendeta-
pendeta di selatan yang mengambil dalil-dalil dari ajaran-ajaran kitab Injil. Dari Perjanjian
Lama, mereka berargumen bahwa Tuhan telah membuat aturan tentang perbudakan dan
menyetujuinya diantara orang-orang Yahudi sejak zaman patriarkhis. Dari Perjanjian Baru,
mereka berpendapat bahwa karena Yesus telah diutus lebih untuk menyempurnakan hukum-
hukum itu daripada untuk menggantinya, maka pranata-pranata yang ada pada zamannya
tidaklah menolak perbudakan. Murid-murid Yesus lain juga tidak mengajarkan hal selain apa
yang telah mereka peroleh dari sang guru.
Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa perbudakan memang selalu
mandapatkan tantangan hebat dari kelompok yang menginginkan penghapusannya.
Perbudakan tidak dianggap manusiawi karena budak tidak memiliki hak atas dirinya. Dia
harus menurut pada tuan yang memilikinya yang sewktu-waktu bisa menjualnya. Mereka
diperlakukan semaunya oleh para pemilik. Eksploitasi tenaga kerja pada kaum buruh
dipandang sebagai kejahatan oleh kaum abolisionis, tetapi dianggap wajar oleh kelompok pro-
perbudakan.