You are on page 1of 7

A.

PENGANTAR

Perbudakan telah menjadi isu yang memisahkan negara-negara bagian utara dan
negara-negara bagian selatan di Amerika baik secara ekonomi maupun wilayah. Karena
merasa tersaingi oleh keuntungan besar yang diraih oleh pihak utara, negara-negara bagian
selatan menuduh bahwa keterbelakangan mereka disebabkan oleh perluasan wilayah oleh
negara-negara bagian utara. Sebaliknya pihak utara menyebut bahwa perbudakan yang
disebut sebagai “institusi ganjil” sebagai penyebab dari keterbelakangan dari wilayah selatan.
Di selatan, perbudakan memang telah menjadi bagian penting dalam perekonomian.

Pada tahun 1830an, masalah perbudakan mulai dipertanyakan secara luas. Di


negara-negara bagian utara, kaum pendukung penghapusan perbudakan (abolisionis) yang
merasa berkembang lebih kuat, berkumpul untuk mengadakan gerakan pembebasan tanah,
dan melawan kelangsungan perbudakan di daerah barat. Di selatan perbudakan masih menjadi
kondisi dimana para pemilik tidak bertanggungjawab atasnya. Perbudakan masih sama
dengan situasi 200 tahun yang lalu, yakni sebagai bagian tak terpisah dari ekonomi
fundamental wilayah.

B. PERTENTANGAN KAUM ABOLISIONIS DAN PEMILIK BUDAK SERTA


CAMPUR TANGAN PIHAK GEREJA DI DALAMNYA

Penyebaran propaganda Deisme, filosofi tentang hak asasi dan humanitarianisme


telah mempengaruhi opini publik dalam isu perbudakan. Tahun 1787, Rhode Island, Vermont,
Massachusetts, New York, Connecticut, New Jersey, dan Pennsylvania telah menghapuskan
prbudakan atau melakukan penghilangan secara perlahan-lahan. Beberapa negara-negara
bagian di selatan telah melarang pengimporan budak lebih lanjut atau membatasinya. Kongres
juga telah mengeluarkan penghapusan jual beli budak pada tahun 1808.

Sementara itu ada keyakinan banyak kependetaan Protestan bahwa perbudakan


adalah kejahatan moral dan sosial. Namun hal itu tidak merupakan pendapat bahwa orang
negro mempunyai kedudukan yang sama dengan orang kulit putih. Mereka percaya bahwa
setelah emansipasi, kaum negro akan melanjutkan misinya untuk mewakili orang-orang yang
direndahkan derajatnya dan ditolak karena mereka adalah ras minoritas. Keadaan ini akan
mengacaukan kestabilan sosial negara. Jawaban dari kekhawatiran ini adalah kembalinya
orang-orang negro ke Afrika.

Pada tahun 1815, jumlah orang negro di Amerika meningkat pada kisaran angka
2.000.000, kira-kira setengah dari populasi ysng berlokasi di pinggiran negara bagian
Delaware, Maryland, Virinia, dan North Carolina. Sebagai tujuan dari memindahkan orang-
oarang negro ke Afrika dan membantu mereka mendirikan kehidupan baru, para pendeta dan
orang-orang biasa lainnya dari negara-negara bagian di Atlantik Tengah membentuk
Masyarakt Koloni Amerika. Dalam paruh pertama dekade dari sejarak kelompok itu, merekan
didukung oleh kaum Presbyterian, Methodist,Babtist, dan Episcopal. Tidak lama setelah itu,
mereka berhasil menyelaesaikan program mereka, yaitu pendirian negara Liberia. Kapal
imigran pertama yang membawa 89 negro mendarat di Sierra Leone pada tahun 1821.
Perkumpulan ini didukung dengan dana oleh pemerintah pusat dan negara bagian tertentu
dengan sukarela. Perkumpulan itu mendapatkan dukungan tidak hanya dari kaum pendukung
penghapusan perbudakan di masa depan seperti William Lloyd Garisson tetapi juga dari
pemilik budak di negara-negara bagian di selatan seperti Henry Clay. Banyak yang
mendukungnya karena mereka percaya bahwa hal itu akan mampu mendatangkan perubahan
di Afrika. Yang lain berpikir bahwa hal itu akan mengurangi problem sosial, mengontrol
populasi kaum negro yang berkembang cepat, dan mengemabangkan persatuan ngara.

Namun dalam dekade 1830an, perkumpulan itu menghadapi persoalan yang tidak
juga dapat dipecahkan. Kemiskinan dan wabah penyakit di Liberia telah membuat para negro
kolonis berhenti berspekulasi. Sementara para filantropis dari utara telah menemukan bahwa
beban finansial lebih besar daripadakeuntungan yang didapat.Kemudian, para pemilik budak
di selatan tidak lagi tertarik dengan emansipasi antara komunitas mereka dengan kaum budak
negro. Usaha perkumpulan itu untik mengambil posisi di tngah-tengah kedua pihak
(abolisionis dan pemilik budak) hanya menambah pertikaian.Orang-orang di selatan
menganggap bahwa mereka adalah pendukung penghapusan perbudakan, sementara pihak
utara menganggap mereka bukan benar-benar abolisionis.Sehingga dalam dekade tersebut,
perkumopulan itu mulai kehilangan peran dalam isu perbudakan. Yang mencuat adalah
pendukung penghapusan atau pendukung eksistensi perbudakan.
Dalam pandangan tentang perubahan kondisi ekonomi di selatan dari 1790 sampai
dengan 1830, hal ini terasa tidak mengejutkan bahwa program-program yang bersifat sukarela
atau kemanusiaan seperti pengupayaan emansipasi telah gagal. Perbudakan yang telah muncul
menjasi institusi ysng mati secar perlahan si sekitar abad 18 karena ketidakmampuan dalam
menghasilkan untung tiba-tiba saja menjadi nilai-nilai baru dengan penemuan mesin pemisah
bijih kapas oleh Whitney pada tahun 1792 dan juga pembangunan pasar-pasar kapas di
Inggris. Kapas menjadi bahan baku utama yangdiproduksi di selatan. Sekali lagi, sektor
perkebunan kembali menjadi lahan yang menguntungkan.Karena budak sangat diperlukan
dalam perekonomian, pemikiran-pemikiran tentang emansipasi dengan cepat menjadi
dilupakan. Akibatnya jumlah budak menjadi terus meningkat sampai 4 juta dalam tahun
1860an.

William Lloyd Garison, seorang tokoh abolisionis yang masih muda dari
Massachusetts mengumumkan sebuah kampanye besar-besaran untuk pembebasan
kaumnegro dengan segera dari perbudakan dalam surat kabar miliknya yang terkenal, yaitu
Liberator (1831). Dalam artikelnya itu, dia mengatakan “Secara serius saya akan menentang
pengambilan hak untuk menjual budak-budak itu. Dalam hal ini, saya tidak ingin berpikir,
berkata atau menulis dengan setengah-setengah. Saya sangat serius. Saya tidak akan berbelit-
belit-hal Itu takkan saya maafkan-Saya tidak akan menarik kembali atau mundur sedikitpun,
dan hal ini akan didengar”. Pada tahun yang sama perkumpulannya membentuk Masyarakat
Anti Perbudakan di New England. Perkumpulannya itu kemudian menjadi berskala nasional
dengan munculnya Masyarakat Anti Perbudakan Amerika yang mencanagkan cita-citanya
untuk seluruh orang Amerika ke dalam filosofi “Perbudakan adalah kejahatan keji dalam
pandangan Tuhan” dan harus segera ditinggalkan. Segera setelah itu muncul perkumpulan-
perkumpulan serupa di penjuru utara dan tengah-barat. Perlahan gerakan ini menyebar ke
gereja-gereja yang beberapa diantaranya dikelola oleh perkumpula-perkumpulan tersebut.

Pada pertengahan dekade tersebut, reaksi terhadap gerakan anti perbudakan di


negara-negara bagian utara begitu gencar. Orang-orang moderat di utara yang telah
bekerjasama untuk kolonisasi menyesalkan kampanye penghapusan perbudakan tersebut
sebagai sesuatu yang mengancam kedamaian dan stabilitas. Charles Hodge, seorang ahli
theologi dari Princeton mengomentari kelompok tersebut dengan mengatakan bahwa kaum
abolisionis akan menimbulkan permusuhan baik diantara orang-orang selatan dengan orang-
orang utara yang bersimpati pada nasib kaum negro maupun pertikaian diantara orang-orang
utara sendiri. Dia tidak menemukan pengutukan perbudakan dalam kitab injil. Dia juga tidak
menemukan bukti bahwa yesus an nabi-nabi lainnya datang untuk penghapusan perbudakan.
Namun demikian dia berharap bahwa perbudakan akan berakhir sejalan dengan perbaikan
yang bertahap pada nasib kaum negro.

Pada saat kaum abolisionis melanjutkan polemik agresif mereka, serangan balik
secara verbal disertai dengan teror fisik dilakukan oleh pebisnis yang takut akan kerugian
dalam perdagangan dengan pihak selatan dan juga pekerja yang khawatir dengan persaingan
ekonomi secara bebas yang mungkin terjadi bila buruh-buruh negro menjadi kaum merdeka.
Banyak pertemuan kaum abolisionis yang dibubarkan kaum pengacau di utara dan tengah-
barat. Pemimpin-pemimpin gerakan juga banyak diteror.

Pada permulaan dekade 1840an, kaum Protestan di utara terbagi dalam tiga
kelompok yang terkait dengan isu perbudakan di Amerika. Di pihak sayap kiri, ada kaum
minoritas yang mendukung penghapusan dengan segera dan juga bermaksud mengorbankan
persatuan negara-negara di utara dan selatan demi kebebasan kaum negro. Di sayap kanan ada
kaum konservatif yang selalu mendorong penbenaran perbudakan dengan dalih menjaga
persatuan tersebut. Di tengah-tengah ada kaum evangelis yang masih berusaha
memperlihatkan kasih dan rasa hormat kepada pemilik budak di selatan, tetapi mereka tidak
merasa bahwa mereka telah mengabaikan sentimen anti perbudakan mereka. Dengan
bergantinya waktu, masih dalam dekade yang sama, banyak diantara orang-orang tersebut
terdorong untuk mengenal peningkatan usaha-usaha untuk mempertajankan perbudakan.
Setelah posisi mereka yang tifdak jelas sebelumnya, mereka kemudian menjadi kelompok
yang turut menentang perbudakan. Kecenderubgan ini bertambah setelah diloloskannya
Fugitive Slave Act yang mewajibkan warga negara untuk bekerja sama dengan pihak yang
berwenang untuk menangkap mengembalikan budak yang melarikan diri kepada tuannya.
Tekanan kaum anti perbudakan makin meningkat setelah Harriet Beecher Stowe berhassil
merebut hati publik lewat penderitaan dan emosi dalam Uncle Tom’s Cabin. Karya
sentimentil ini memotret kekejaman yang diderita kaum budak, dan konflik fundamental
antara masyarakat yang merdeka dengan budak. Para pendukung di utara benar-benar
terpengaruh dengan karya itu. Hak itu menyebabkan antusiasme yang meluas pada gerakan
anti perbudakan sebagai akibat munculnya rasa emosi yang manusiawi karena melihat
ketidak adilan, kepincangan hukum, dan ketidakberdayaan kaum budak akibat eksploitasi
yang tanpa mengenal perikemanusiaan.
Keputusan Dred Scott yang terkenal dalam pengadilan tinggi pada tahun 1857,
yang mengatur tentang budak yang dimiliki oleh tuannya dalam suatu wilayah dan tidak
merupakan suatu kebebasan telah membangkitka kemarahan di penjuru wilayah utara. Para
evangelis moderat menjadi yakin waktu untuk bersabar dan mentolerir perbudakan telah
habis, sehingga pihak-pihak yang semula menetang radikalisme kaum penentang perbudakan
menjadi kaum pendukung penghapusan samasekali perbudakan. Mereka tidak lagi
menggunakan cara-cara damai tetapi justru menggunakan jalur konfrontasi, kalau perlu
dengan kekerasan, untuk mencapai tujuan diatas dan juga memurnikan negara ini demi misi
sucinya pada dunia.

Orang-orang di negara-negara bagian di selatan telah menemukan hal penting


bahwa perbudakan memang berguna bagi mereka secara ekonomi. Setelah memperhatikan
keuntungannya, hal itu mereka jadikan pertahanan secara moral dan religius. Jawaban paling
nyata dari pertanyaan orang-orang utara tentang masalah itu dikemukakan oleh Thomas R.
Dew, seorang profesor dari William and Maryland College. Dalam “Essay on Slavery”, dia
telah menghitung bahwa umur perbudakan sama tuanya dengan usia peradaban manusia.
Perbudakan telah ditempatkan dalam posisi yang terhormat, bahkan dalam bangsa Yahudi.
Dikatakannya perbudakan telah menandai sebuah “desain yang penuh dengan kebaikan di
dalamnya” dan “dimaksudkan oleh Sang pencipta untuk tujuan-tujuan yang berguna”.
Perbudakan cenderung mengurangi jumlah peperangan dengan memperkenalkan masyarakat
yang beradab pada negara-negara terbelakang. Para budak dilatih untuk menjadi tenaga kerja
yang produktif dan diberi standar hidup yang lebih tinggi daripada yang telah diperoleh di
daerah asalnya.

Banyak pembenaran secara moral tentang perbudakan yang berasal dari pendeta-
pendeta di selatan yang mengambil dalil-dalil dari ajaran-ajaran kitab Injil. Dari Perjanjian
Lama, mereka berargumen bahwa Tuhan telah membuat aturan tentang perbudakan dan
menyetujuinya diantara orang-orang Yahudi sejak zaman patriarkhis. Dari Perjanjian Baru,
mereka berpendapat bahwa karena Yesus telah diutus lebih untuk menyempurnakan hukum-
hukum itu daripada untuk menggantinya, maka pranata-pranata yang ada pada zamannya
tidaklah menolak perbudakan. Murid-murid Yesus lain juga tidak mengajarkan hal selain apa
yang telah mereka peroleh dari sang guru.

Ketika pendeta-pendeta di utara melakukan balasan dengan keberatan-kebeatan


bahwa argumen tentang perbudakan tersebut cenderung literal dan tidak sesuai dengan
semangat Injil sebenarnya, petinggi Old School Presbyterian yang berpengaruh, James Henry
Thornwell berkata bahwa rasionalisme mereka telah menetang literalisme dan hal itu tidak
akan bisa melawan ajaran-ajaran Injil yang sesungguhya sederhana. Namun argumen tersebut
gagal mempengaruhi kaum abolisionis di utara dan hal ini tidaklah mengejutkan karena
intinya adalah semakin besarnya perbedaan dan semakin runcingnya pertikaian antara dua
pihak yang berseberangan.

C. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa perbudakan memang selalu
mandapatkan tantangan hebat dari kelompok yang menginginkan penghapusannya.
Perbudakan tidak dianggap manusiawi karena budak tidak memiliki hak atas dirinya. Dia
harus menurut pada tuan yang memilikinya yang sewktu-waktu bisa menjualnya. Mereka
diperlakukan semaunya oleh para pemilik. Eksploitasi tenaga kerja pada kaum buruh
dipandang sebagai kejahatan oleh kaum abolisionis, tetapi dianggap wajar oleh kelompok pro-
perbudakan.

Perjuangan kaum abolisionis umtuk menghapuskan perbudakan di seluruh


Amerika memang cukup keras mengingat mereka memulainya sejak mereka dalam skala
minoritas. Namun dengan pemikira-pemikiran mereka yang menyaentuh serta aksi-aksi lain
yang berani, akhirnya perjuangan mereka berhasil walau harus berakhir lewat perang saudara
antara pihak utara dan selatan. Sayangnya perjuangan mereka menetang perbudakan tidak
berarti perjuangan untuk persamaan hak yang menempatkan orang-orang kulit hitam sejajar
kedudukannya dengan orang kulit putih. Setelah perang saudara berakhir dan perbudakan
dihapuskan, rasdiskriminasi justru dimulai di Amerika.

Kaum gereja yang masih mendukung adanya perbudakan memang patut


disayangkan karena mereka seharusnya lebih mampu melihat suatu masalah dari sisi
kemanusiaan. Pemikiran-pemikiran mereka yang bahkan berani mengambil dalil-dalil dari
injil untuk pembenaran perbudakan memang bisa dipertanyakan. Mungkin mereka melihatnya
sebagai upaya menjaga kestabilan ekonomi dari negara-negara bagian di selatan. Namun
ditengarai, mereka mempunya kepentingan tersendiri dengan pemilik budak. Hal tersebut
menunjukkan kebalikan dengan nilai-nilai agama yang penuh dengan kasih sayang sesama
manusia.

Akhirnya, pertentangan-pertentangan antara dua jenis pemikiran tersebut menjadi


awal bagi pembangkangan massa yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah pada masa
itu. Walaupun harus berakhir lewat peperangan, namun pemikiran-pemikiran tersebut telah
menetukan perjalanan sejarah Amerika selanjutnya.Dan intinya pula perbudakan telah gagal
mempertahankan kelangsungannya di Amerika dan mungkin di dunia ini seiring dengan
perubahan zaman. Manusia akan selalu sadar bahwa mereka tidak akan pernah mau bila hak
asasinya dikekang orang lain karena itu adalah hak paling dasar. Karena itu pemikiran tentang
perbudakan adalah tidak manusiawi telah menjadi faham yang mengglobal.

You might also like