You are on page 1of 83

FILSAFAT

"Virtual Cosmology"

"A boundary is not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the
boundary is that from which something begins its presencing" (Martin Heidegger).

FENOMENA pasar global dan liputan perang (invasi) Amerika Serikat dan sekutunya
dengan (ke) Irak kian menegaskan datangnya fajar baru era kehidupan manusia, era
virtual cosmology (kosmologi virtual).

Betapa tidak? Wawasan tradisional kita tentang kosmos, baik yang tercipta melalui lensa
nilai-nilai dan keyakinan tradisi agama monoteistik, kerangka pikir Yunani-abad
pertengahan-maupun lensa modernitas-aufklarung-digeser lensa fenomenologis-
intensional-virtual.

Dalam era pasar global, kosmos tidak lagi kita lihat pertama-tama sebagai ciptaan Tuhan
yang teratur, bukan pula struktur teratur (cosmos) dari berbagai entitas (tanah, air, api,
tumbuhan, binatang, cakrawala, manusia, dll), atau sebagai ens yang merupakan emanasi
dari the ultimate ens (atau perwujudan dari Substance), tetapi merupakan sebuah pasar,
komunitas penjual dan pembeli dan aneka variabel yang menyokong relasi jual-beli itu
(produksi-distribusi-advertasi), yang eksistensinya dicipta dan ditopang jaringan
informasi dan komunikasi virtual.

DI era pasar global, kosmos terbangun dari aneka fenomena nyata keseharian dan
interaksi manusia yang dibidik melalui lensa "dagang" dan disuguhkan secara virtual
melalui internet, TV, dan media massa sejenis. Karena yang dibidik merupakan fenomena
aktual keseharian, maka kosmologi baru ini bernuansa fenomenologis; karena disuguhkan
melalui media virtual maka kosmologi ini bersifat virtual; dan karena pemegang lensa-
pembidik-penyuguh fenomena itu punya agenda tertentu maka kosmologi baru ini juga
bersifat intensional (fenomenologis-virtual-intensional).

Hal senada bisa disimak saat kita menyaksikan suguhan perang (invasi) AS dan
sekutunya ke Irak. Liputan perang di Irak, yang dilakukan media dengan memotret kisah-
kisah tragis-bengis dan kepahlawanan tiap hari, yang disuguhkan secara virtual, dan
dibidik-disuguhkan dengan intensi (agenda) tertentu, juga menandakan geneology
(kosmogoni) dan definisi baru dari kosmos. Persaingan tayangan antara media barat dan
media timur mengisyaratkan sifat intensionalitas setiap bidikan dan suguhan.

Ke mana kamera dibidikkan, tergantung mereka yang mempunyai dan membawa kamera.
Memang tayangan-tayangan virtual perang di Irak mencipta gugusan kosmos yang lebih
plural. Gugusan kosmos itu bisa merupakan horizon yang mencipta AS dan sekutunya
sebagai pahlawan demokrasi dan kebebasan yang memerangi bentuk totalitarianisme a la
Saddam Hussein, atau bisa juga menciptakan horizon yang melukiskan AS dan sekutunya
sebagai wajah neokolonialisme yang berhadapan dengan Saddam Hussein sebagai
pahlawan pembela kedaulatan sebuah negara.

Biarpun plural sosok kosmologi yang terbentuk, tayangan perang Irak menorehkan
gambaran-gambaran virtual di dinding-dinding imaji dan kesadaran manusia, yang pada
gilirannya menancapkan patok-patok demarkasi atau horizon atau kosmologi seseorang,
yang akhirnya membatasi ruang imajinasi.

Karena itu tepat yang dikatakan filsof fenomenologis, Martin Heidegger, "a boundary is
not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that
from which something begins its presencing." Kosmos tidak lagi dibatasi bentangan
spasial yang mengakhiri atau menjadi batas kita bergerak, tetapi dibatasi atau dipigura
horizon-horizon yang tercipta dari aneka suguhan virtual yang mengepung kita, yang
dibidik dan disuguhkan dengan agenda tertentu. Kemampuan kita menakar siapa AS atau
Irak, terbatasi perspektif kita yang terbentuk dari imaji-imaji virtual itu.

MENGINGAT kosmologi selalu dicipta berdasar perspektif atau lensa tradisi tertentu,
maka ia tidak pernah netral. Lensa atau perspektif itu selalu intensional. Karena itu
pemahaman akan kosmogoni, akan bagaimana kosmos tercipta (geneologi kosmos), dan
defenisi kosmologis yang diproduksi, serta ciri-ciri khas "lensa" yang menciptanya, akan
membantu kita untuk mampu mengambil jarak atas "intensionalitas" lensa itu dan
membuat kita mampu mentransendensi diri dan imajinasi kita dari kelopak bangunan
kosmos tertentu.

Merunut sejenak ke belakang, kita akan menemukan kembali beberapa ciri khas lensa
pembidik dan penyuguh realitas yang menggugus menjadi bangunan kosmos: era
mitologis yang lebih ditandai pemanfaatan peran imajinasi dalam mencipta kosmos; era
tradisi agama, yang menggabungkan imajinasi dan rasionalitas yang dilandasi keyakinan
(faith); era modern, yang ditandai pemanfaatkan peran rasionalitas dan materialisme; dan
era "postmodern" yang ditandai ciri-ciri fenomenologis dan virtualitas, atau pemanfaatan
kemampuan perception dalam menancapkan image-image virtual dari fenomen-fenomena
keseharian.

Kosmogoni (geneologi tentang kosmos) mencipta dan menentukan macam kosmologi,


sedangkan macam kosmologi menentukan bentuk antropologi, yakni bagaimana manusia
memahami dirinya, menempatkan dirinya dalam kosmos, dan meletakkan dasar-dasar
prinsip sosial dalam berelasi dengan orang lain.

Kosmologi, yang dibangun berdasar fenomena-fenomena keseharian, yang dibidik dan


disuguhkan secara virtual dengan intensionalitas tertentu, yang akhirnya mengandalkan
peran kehidupan mental untuk menancapkan jangkar-jangkar imajinasi-persepsi, dengan
demikian, membutuhkan perumusan kembali filsafat antropologi yang bisa memberi
dasar-dasar etis bagi relasi sosial.

Dalam tataran lebih konkret, membiarkan diri ignoran terhadap kosmogoni dan
kosmologi modern, yang berciri fenomenologis-virtual-intensional, akan membuat kita
sekadar menjadi "bidak-bidak catur" yang berkutat dalam jaringan-jaringan mekanis aksi-
reaksi yang dicipta oleh media virtual. Kapasitas kita sebagai subjek dan agen dari
tindakan pun tereduksi ke tingkat tertentu sehingga kita sekadar sebuah unsur/emblem
dari jaringan/lalu lintas aksi-reaksi yang rumit dan kompleks.

Karena subjek tereduksi sebagai unsur atau sekadar bagian sebuah sistem atau jaringan
tindakan, maka kerangka moralitas yang menjadi dasar penilaian tindakan, yang
mengandaikan adanya subjek yang menentukan dan menguasai tindakannya, menjadi
kabur dan tidak punya dasar. Dan kita tidak pernah mampu mentransendensi diri dari
kelopak dan kepungan kosmologi yang tercipta dari image-image virtual itu. Kita tidak
akan pernah menjadi subjek!

Robertus Wijanarko Rohaniwan, mahasiswa S-3 Filsafat DePaul University, Chicago

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/28/opini/275463.htm

Pemahaman Absolut<center></center>

Seekor gajah dibawa ke sekelompok orang buta yang belum pernah bertemu binatang
semacam itu. Yang satu meraba kakinya dan mengatakan bahwa gajah adalah tiang
raksasa yang hidup. yang lin meraba belalainya dan menyebutkan gajah sebagai ular
raksasa. yang lin meraba gadingnya dan menganggap gajah adalah semacam bajak
raksasa yang sangat tajam, dan seterusnya. Kemudian mereka bertengkar, masing-masing
merasa pendapatnya yang paling benar, dan pendapat orang lain salah.

Tidak ada satupun pendapat mereka yang benar mutlak, dan tak ada satupun yang salah.
Kebenaran mutlak, atau satu kebenaran untuk semua, tidak dapat dicapai karena gerakan
konstan dari keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, dimana,
mengapa, dan bagaimana hal itu diatakan. Yang ditegaskan oleh masing-masing orang
buta tersebut adalah sudut pandang yang menggambarkan bentuk seekora gajah, bukan
kebenaran absolut.

Setiap orang belajar melihat berbagai hal melalui pemikiran dan nalurinya masing-
masing. Kehidupannya di masa lalu membantu mereka untuk menentukan pendapat
mereka terhadap berbagai masalah dan obyek yang mereka temui. Karena masing-masing
individu memiliki pemikiran dan naluri, maka persepsi yang ditemui merupakan
kebenaran, bukan merupakan kesalahan. Hidup tidak hanya mengandung satu kebenaran
untuk suatu ide atau obyek tertentu, namun kita dapat menemukan banyak kebenaran
dalam persepsi seseorang. Seseorang tidak seharusnya membuktikan kebenaran bahwa
satu obyek mengandung arti yang benar, namun seharusnya membangun konsepsi di
sekeliling obyek.

Usaha untuk menentukan sesuatu kebenaran merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil.
Persepsi kita dalam menilai suatu realitas mungkin berbeda dari satu orang ke orang yang
lain. Satu hal yang mungkin benar untuk seseorang bisa jadi berbeda untuk orang lain.
Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hidup, sulit untuk
menimbang kandungan kebenaran sebuah konsep.

Setiap pendapat dibentuk sebagai satu kebenaran untuk individu yang


mengasumsikannya. Variasi dari berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan
kebenarannya. Disinilah orang membangun pemahaman yang lebih mendalam untuk
suatu obyek. Kebenaran dapat diraih melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri.
karena berbagai individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki berbagai
kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan.

Sebagai contoh, mustahil untuk mempertimbangkan, benar atau salah, memotong pohon
bisa merupakan hal yang 'baik' atau 'buruk'. Seseorang mungkin memiliki konsep bahwa
memotong pohon menghancurkan rumah untuk burung dan binatang-binatang lain. Yang
lain beranggapan bahwa memotong pohon merupakan sesuatu yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan manusia dalam membangun rumah. Hanya karena ada beberapa
sudut pandang untuk kasus ini, tidak berarti bahwa pasti ada pernyataan yang salah.
Pohon dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, kertas, sampai
perahu, dan tidak ada yang salah dari pandangan ini. Pohon akan tetap berdiri sebagai
pohon, tapi nilai dari pohon tersebut dapat berbeda, tergantung siapa yang
menggunakannya.

Konsep tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan, adalah masalah lain yang sering ingin
dibuktikan. Seorang filsuf terkenal, Soren Kierkegaard menyatakan, "Jika TUhan tidak
ada, akan sangat mustahil untuk bisa membuktikannya; dan jika Ia memang benar-benar
ada, sangatlah tolol untuk mencoba membuktikannya." Pembuktian keberadaan atau
ketidakberadaan TUhan hanya menghasilkan alasan untuk percaya, bukan bukti nyata
keberadaan Tuhan. Kierkegaard juga menegaskan, "... antara Tuhan dan KaryaNya
terdapat relasi yang absolut: Tuhan bukanlah sebuah nama, namun sebuah konsep."
(Kierkegaard, 72). Relasi antara manusi dengan Tuhan adalah sebuah konsep. Seseorang
yang percaya akan TUhan, tidak dapat membuktikan keberadaanNya melalui relasi
pribadinya dengan Tuhan. Kierkegaard menambahkan lagi, "Karya Tuhan adalah sesuatu
yang hanya dapat dilakukanNya."

Kita tidak memiliki dasar untuk membuktikan karya Tuhan. Kita juga tidak tahu karya
macam apa yang dilakukan TUhan pada masing-masing individu. Namun, beberapa
kelompok religius telah membuat kesalahan dengan memaksakan kepercayaannya pada
individu-individu yang berbeda. Beberapa dari mereka menyatkaan bahwa kepercayaan
mereka adalah satu-satunya kepercayaan yang "benar". Hal ini tidak dapat dibenarkan. Ini
mungkin merupakan alasan mengapa agama atau kepercayaan menjadi faktor terbesar
dalam perang-perang yang pernah terjadi. Usaha untuk mencari pengikut satu kebenaran,
tidak dilakukan dengan membebaskan individu atau masyarakat untuk mengikuti hal
yang mereka anggap benar, namun malah membuat orang frustasi dan bermusuhan.

Semua konsep sangatlah dinamis, kebenaran bagi seseorang yang mempercayai mungkin
nampak ironis bagi dirinya. Seseorang mungkin percaya bahwa televisi mendukung
kekerasan pada anak-anak, dengan mengekspos penggunaan kata-kata kotor dan
kebodohan yang dilakukan. Orang lain mungkin percaya bahwa televisi merupakan alat
pendidik karena mengekspos masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk dipahami.
Meski keduanya mungkin sangat benar bagi masing-masing orang yang menyatakannya,
dua masalah ini sangat kontradiktif. Ketidaksepahaman tidak membuat pernyataan yang
lain salah, namun membentuk kebenaran yang lain.

Jika masing-masing orang buta menghabiskan waktu lebih banyak untuk memahami
kebenaran lain yang ada dibanding membuktikan pendapatnya yang paling benar, mereka
mungkin menemukan bahwa gajah adalah sebuah tiang raksasa yang hidup, ular raksasa,
atau bajak yang sangat tajam pada saat yang sama, atau pada saat yang berbeda-beda.
Mungkin juga mereka menyimpulkan gajah bukan salah satu dari gambaran yang telah
mereka sebutkan. Opini dari orang-orang buta itu mungkin akan bergerak konstan, karena
penerimaan dari berbagai sudut pandang yang saat ini ada, atau mungkin ada di masa
yang akan datang. Meski gajah itu tetap sama, opini tentangnya mungkin akan berubah
dan beradaptasi.

Bowie, Lee G., Michaels, Meredith W., Solomon, Robert C. Twenty


Questions "An Introduction to Philosophy. Harcourt Brace & Company,
3rd ed. Kierkegaard 72- 75

Diterjemahkan dari: Cyberessays

Tuhan Pasca-Tsunami<center></center>

Sudah bisa diduga, dalam bencana besar seperti gempa pemboyong tsunami yang
menewaskan tak kurang dari 100.000 orang Aceh ini, akan banyak sekali orang yang
tidak puas dengan sekadar penjelasan ilmiah. Keterangan para ahli gempa dan tsunami
soal lempengan-lempengan bumi yang bergeser setiap tahun, lantas bergetar, menelan
dan lalu memuntahkan air yang sedemikian dahsyat tidak dianggap memadai untuk
memuaskan dahaga keingintahuan mereka.
Makanya, selalu ada banyak orang yang terobsesi untuk tahu lebih dalam tentang
penyebab terjauh dari semua itu dengan melontarkan pelbagai ultimate questions. Kalau
sudah berpikir soal penyebab terjauh, perbincangan tentulah sudah masuk ke ranah
filsafat atau teologi. Lantas muncullah pertanyaan: sejauh apa peran Tuhan di dalam
"menghajar" sedemikian banyak korban itu? Pada titik inilah spekulasi-spekulasi teologis
berlangsung dengan begitu liarnya.

Dan, benar saja. Menurut teman tadi, di masyarakat kita, kini ada beberapa spekulasi
teologis yang semarak bermunculan pascagempa dan tsunami yang mengentakkan nurani
dunia itu. Pertama, bagi "kiai-kiai Orba" yang punya corong untuk berkhotbah di masjid-
masjid itu, bencana sebesar ini tak lain adalah hukuman Tuhan atas kealpaan dan
kesombongan kita selama ini. Lebih spesifik, mereka bahkan menyebut bencana ini
sebagai akibat atau buah dari pertikaian antara pelbagai elemen anak bangsa di Serambi
Mekkah yang tidak kunjung usai.

Dengan elaborasi yang cenderung menyederhanakan, mereka menyayangkan TNI dan


GAM yang saling bunuh. Sementara itu, rakyat Aceh juga tak kunjung taat terhadap Ibu
Pertiwi, NKRI. Demikianlah tafsiran teologis yang sepenuhnya spekulatif dan kental
aroma pemikiran ala Orba itu menggema di sebagian masjid.

Kedua, berbeda dengan logika hukuman tadi, tafsiran kedua justru beranggapan bahwa
tragedi ini justru bersifat ujian, bukan hukuman. Di beberapa tempat, kita dapat
menemukan selebaran yang mengatakan antara lain, bencana Aceh merupakan "ujian"
Tuhan untuk mengukur keteguhan dan konsistensi rakyat Aceh dalam menjalankan
syariat Islam. Hm….

Sekarang, ketika kita sedang bergulat dengan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh,
muncul pula isu-isu yang menguatkan kesan bahwa Tuhan sedang menguji konsistensi
dan keteguhan rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan menjaga status Aceh
sebagai Serambi Mekkah. Isu pemurtadan, kristenisasi, dan adopsi diembuskan sebagian
pihak yang mungkin sedang menangguk di air keruh. Tak heran, dalam sebuah pertemuan
dengan ribuan alumni Pondok Modern Gontor di Jakarta Convention Center, Jumat (7/1)
lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun merasa perlu menanggapi isu-isu yang
tidak bertanggung jawab itu. Secara reaktif beliau lantas menegaskan, "Pemerintah akan
sekuat tenaga menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah!"

DEMI mencermati diskursus tentang Tuhan dan prasangka tentang keterlibatan-Nya


dalam bencana terakhir ini, Jaringan Islam Liberal berinisiatif melangsungkan diskusi
soal "Tuhan Pacsa-Tsunami" yang bertempat di Freedom Institute, Selasa (11/1) lalu.
Diskusi yang bertepatan dengan hari milad Ulil Abshar-Abdalla itu beranjak dan bertolak
dari keprihatinan yang mendalam akan rumusan "teologi bencana alam" yang
berkembang dan populer di tengah masyarakat dewasa ini.
Baik Goenawan Mohamad maupun Syamsurizal Pangabean yang bertindak sebagai
pembicara dalam diskusi itu sama- sama prihatin akan rumusan teologis yang tidak
sungkan- sungkan mengekspos "intervensi" Tuhan yang berlebihan dalam kiamat kecil
itu. Kecenderungan seperti itu gampang sekali kita simak dari khotbah-khotbah Jumat,
pengajian di majelis taklim maupun majelis zikir, atau ceramah keagamaan di sejumlah
televisi.

Intinya, telah muncul rumusan teologi tentang bencana alam (tidak murni buatan manusia
seperti tragedi Poso dan Maluku) yang pada akhirnya tetap terjebak di dalam dua
perangkap teologis yang mengharukan: entah mengambinghitamkan korban bencana
sendiri ataupun menyalahkan Tuhan yang dianggap sebagai pihak yang tak pandang
ampun dan tak kenal belas kasihan menghajar hamba-hamba-Nya. Kedua kecenderungan
itu rupanya juga bagian dari pandangan teologi masyarakat kita yang cenderung fatalistik.

Ketika rumusan teologis yang dikemukakan mengasumsi bahwa bencana Aceh adalah
refleksi dari kemurkaan Tuhan, di situ secara eksplisit sudah terkandung nada-nada yang
menyudutkan dan menyalahkan rakyat Aceh yang kini menjadi korban (blaming the
victims). Sebaliknya, ketika bencana ini dianggap sebagai "ujian" Tuhan untuk umat
manusia yang Dia cintai, sebagaimana yang dikatakan sejumlah kutipan kitab suci
(perhatikan betapa beratnya ujian itu!), secara implisit kita juga sedang terlibat dalam
proses menyalahkan Tuhan (blaming God). Kedua kecenderungan tadi tentu bukanlah
rumusan teologis yang bisa dianggap elegan dan ideal tentang bencana alam.

Untuk itulah, kita diajak membuat rumusan teologis yang tidak gegabah dan potensial
menambah luka dan duka rakyat Aceh sekaligus berpandangan elegan dan fair terhadap
Tuhan sendiri. Itulah rumusan teologis yang sekarang sedang kita cari dan kita
kehendaki.

Hanya saja, persoalannya tidaklah segampang yang kita kira. Sebagaimana dikemukakan
Ulil Abshar-Abdalla dalam diskusi itu, godaan bagi agama (diwakili oleh pemuka agama
ataupun juru khotbah tadi) ataupun ilmu pengetahuan untuk menjelaskan sejumlah
misteri yang terkandung di dalam dunia ini teramat besar. Makanya, sejumlah misteri dan
absurditas yang terkandung di dalam pelbagai peristiwa di dunia ini keduanya coba
diterangkan baik oleh agama maupun ilmu pengetahuan.

Secara psikologis, manusia tidak pernah betah menjalankan hidup dengan menyisakan
sejumlah misteri karena misteri adalah kegelapan. Dan, kegelapan pada hakikatnya
adalah situasi yang cenderung dibenci. Untuk itu, kegelapan itu coba diterobos dan
diterangi, baik dengan penjelasan ilmu pengetahuan maupun penjelasan agama atau
teologi.

Tetapi, sudah nyata bahwa penjelasan ilmu pengetahuan dan penjelasan agama memang
berbeda. Kita bisa memahami sebuah misteri secara lebih pasti dan dapat
memverifikasinya secara ilmiah dengan perangkat dan metode yang disediakan ilmu
pengetahuan. Sebaliknya, penjelasan agama tak jarang justru menjelma menjadi deretan
spekulasi yang tiada henti. Dan, naifnya, kita tidak pernah kunjung bisa memverifikasi
sisi kebenarannya kecuali meyakini saja. Kita sesungguhnya tidak pernah bisa
menanyakan kebenaran "versi Tuhan" akan bencana Aceh, apalagi mendialogkannya
secara langsung.

Karenanya, para sosiolog cenderung mengatakan bahwa "kebenaran agama" tidak pernah
bisa dibuktikan dan bersifat prapengalaman. Walaupun sedang berspekulasi secara liar,
dia selalu saja diimani sebagai kebenaran yang hakiki, sekalipun belum dibuktikan. Di
sinilah problematisnya spekulasi- spekulasi tentang Tuhan dalam tsunami kemarin.

TIDAK seorang pun yang bisa membuktikan kalau Tuhan ikut aktif mengintervensi
peristiwa tsunami yang kemarin menghantam kita. Siapa yang tahu pasti kalau hal
tersebut ditujukan untuk memberi "pelajaran" kepada rakyat Aceh yang ironisnya justru
taat beragama? Makanya, sembari melakukan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, kita
juga dipanggil untuk mencari rumusan teologi bencana alam yang lebih mengena.
Sembari itu, ada baiknya kita juga tidak terlalu lancang dan sok mengerti soal apa
sebenarnya yang dimaui Tuhan dari bencana ini.

Klaim atau perasaan bahwa kita tahu tentang apa yang dimaui Tuhan dalam bencana kali
ini, sekalipun bersandar pada argumen dan landasan firman-Nya, sesungguhnya
merupakan bentuk kesombongan yang tiada tara.

Novriantoni Alumnus Universitas al-Azhar Mesir, Aktivis Jaringan Islam Liberal

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/opini/1499211.htm

Spiritualitas "New Age"<center></center>

SALAH satu trend ekspresif zaman post modern adalah ditandainya pergolakan sosial
yang cepat. Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial,
kecanggihan teknologi post industri abad ini. Di sisi lain, kita dihadapkan seribu krisis
kemanusiaan: mulai dari krisis diri, alienasi, depresi, stres, keretakan institusi keluarga,
sampai beragam penyakit psikologis lainnya. Justru, jenis penyakit yang mengguncang
diri kita di tengah situasi krisis dewasa ini, tak lain adalah hadirnya perasaan
ketidaknyamanan psikologis. Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri
kita di tengah situasi krisis, sarat teror, konflik, dan kekerasan, sampai pembunuhan yang
menghiasi keseharian hidup kita.
Di Barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya
ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion).
Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya,
Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No!.

Ada penolakan terhadap agama formal yang memiliki gejala umumnya sama saja:
eksklusif dan dogmatis, sambil menengok ke arah spiritualitas baru lintas agama, yang
menurut Majalah Newsweek (28 November 1994), jumlahnya fantastis: 58 persen
responden dalam suatu survei, menunjukkan kegairahannya pada kebutuhan spiritualitas
baru.

Inilah model generasi baru yang gandrung pada Spiritualitas New Age. Russel Chandler,
mantan jurnalis agama pada Los Angeles Times, mengklaim, 40 persen orang Amerika
percaya pada panteisme (kepercayaan yang berprinsip pada all is God and God is all), 36
persen percaya pada astrologi sebagai scientific, tepatnya percaya pada astrologi sebagai
metode peramalan masa depan (a method of foretelling the future), dan 25 persen percaya
pada reinkarnasi (lih. Chadler, Understanding the New Age, 1988, hlm 20, 130-33).

Nah, fenomena keagamaan inilah yang menarik dipotret. Apa itu gerakan New Age
berikut ciri khasnya? Bagaimana model praktik spiritual New Age di tengah eksistensi
agama-agama besar selama ini? Benarkah spiritualitas New Age tampil sebagai alternatif
keberagaman dewasa ini?

Gerakan "New Age"

Secara literal, New Age Movement adalah gerakan zaman baru, yang oleh Rederic dan
Mery Ann Brussat disebut sebagai "zaman kemelekan spiritual". Ada semacam arus besar
kebangkitan spiritual yang melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika,
Inggris, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan seterusnya. Ekspresinya beragam; mulai dari
cult, sect, New Thought, New Religious Movement, Human Potentials Movement, The
Holistic Health Movement, sampai New Age Movement. Namun, benang merahnya
hampir sama: memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati.

Hasrat spiritual inilah yang menjadi ciri khas New Agers (istilah New Agers ini relatif
lebih lazim dipakai dalam konteks gerakan New Age, dibanding misalnya istilah New Age
Adherents maupun New Age Believers). Sebagai a new revivalist religious impulse
directed toward the esoteric/metaphysical/spiritualism..., hasrat spiritual New Agers yang
secara praktis adalah a free-flowing spiritual movement, terartikulasi ke berbagai
manuskrip metafisika-spiritualitas (Manuskrip Celestine, baik The Celestine Prophecy
maupun The Celestine Vision, Sophia Perennis yang menjadi filsafatnya New Agers,
paradigma The Tao of... yang sangat ekspresif menjadi trend penerbitan judul buku-buku
ilmiah dan populer, The Aquarian Conspiracy yang menjadi buku pegangan New Agers,
hingga merambah ke "pendidikan spiritual" dan bahkan klinik-klinik spiritual dengan
beragam variasinya.

Sebagaimana disinggung sepintas oleh Naisbitt dalam Megatrend 2000, In turbulent


times, in times of great change, people head for the two extremes: fundamentalism and
personal, spiritual experience... With no membership lists of even a coherent philosophy
or dogma, it is difficult to define or measure the unorganized New Age movement. But in
every major U.S. and European city, thousands who seek insight and personal growth
cluster around a metaphysical bookstore, a spiritual teacher, or and education center.

Oleh karena itu, seperti sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan adalah adanya
gerakan masif dari generasi New Age yang selalu menyebut-nyebut dirinya sebagai
flower generations, berkiblat pada mainstream spiritualitas, mulai dari kegemaran
menyelami Manuskrip Celestine sampai mengalami apa yang menjadi tradisi spiritual
New Agers sebagai spiritual gathering dengan berbagai variasi mistik-spiritualnya.

Gerakan yang dimulai di Inggris tahun 1960-an ini, antara lain dipelopori Light Groups,
Findhorm Community, Wrekin Trust. Ia menjadi sangat cepat mendunia berskala
internasional, terutama setelah diselenggarakan seminar New Age oleh Association for
Research and Enlightenment di Amerika Utara, dan diterbitkannya East West Journal
tahun 1971 yang dikenal luas sebagai jurnalnya New Agers. Yang agak sensasional dari
gerakan New Age ini adalah setelah disiarkan via televisi secara miniseri Shirley
MacLaine Out on a Limb, bulan Januari 1987.

Spiritualitas "New Agers"

Ekspansi New Age menjadi populer dan fenomenal pada dasawarsa 1970-an sebagai
protes keras atas kegagalan proyek Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan
spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan.

Pertama, di lingkungan gereja Kristen, misalnya, kita sulit menghapus ingatan masa lalu
saat Gereja menerapkan doktrin extra ecclesiam nulla salus. No salvation outside the
Church. Tidak ada keselamatan di luar Gereja. Bukankah ini cermin watak Gereja yang
sarat claim of salvation? Bukankah claim of salvation tidak saja mengakibatkan sikap
menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius terhadap
konflik atas nama agama dan Tuhan. Karena itu, "keselamatan" itu tidaklah penting di
kalangan New Age. Sebab, New Agers lebih percaya prinsip Enlightenment, di mana
muncul kesadaran spiritualitas di kalangan New Age bahwa manusia dapat tercerahkan,
menjadi sacred self, karena pada kenyataannya manusia adalah divine secara intrinsik
(persis konsep fithrah dalam Islam). Paham inilah yang akhirnya menjadikan
"pantheisme" begitu fenomenal di kalangan New Age.
Kedua, protes New Agers atas hilangnya kesadaran etis untuk menatap masa depan. Oleh
karena itu, salah satu manuskrip terpenting yang menjadi wawasan etis New Agers dalam
menatap masa depan adalah The Art of Happiness, New Ethic for the Milllenium karya
Dalai Lama. Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen dan
sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan,
maka New Agers menoleh pada spiritualitas baru lintas agama. Kita tahu, betapa New
Agers begitu kuat berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion.

Oleh karena itu, New Agers sangat menghayati betul arti pentingnya monisme (segala
sesuatu yang ada, merupakan derivasi dari sumber tunggal, divine energy), pantheisme
(all is God and God is all, menekankan kesucian individu, dan karenanya proses
pencarian Tuhan tidaklah melalui Teks Suci, tetapi justru melalui diri sendiri, karena God
within our self), reinkarnasi (setelah kematian, manusia terlahirkan kembali, dan hidup
dalam alam kehidupan lain sebagai manusia. Mirip konsep transmigration of the soul
dalam Hindu), dan seterusnya, seperti astrologi, channeling, pantheisme, tradisi
Hinduisme, tradisi Gnostis, Neo-Paganisme, theosopi, karma, crystal, meditasi, dan
seterusnya.

Tradisi spiritual New Agers lintas agama ini, tidak saja dapat mengobati kegersangan
spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan agama formal, tetapi juga memberi
muara kepada New Ages ke arah terwujudnya Universal Religion. Agama Universal, di
mana ada proses awal kesadaran akan all is God and God is all yang menjadi sandaran
doktrin Pantheisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran spiritualitas New Age
yang meyakini bahwa "hanya ada Satu Realitas yang eksis". Semua agama, begitu
keyakinan New Agers, hanyalah sekadar jalan-jalan menuju kepada Satu Realitas yang
menjadi ultimate reality dari semua pejalan spiritual (agama-agama).

* Sukidi, Alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat.

Sumber: http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0006/30/opini/spir04.htm

Pengembaraan Gagasan Protestanisme Islam<center></center>

ARTIKEL ini menganalisis pemikiran keagamaan tiga intelektual Iran: Sayyid Jamâl al-
Dîn al-Afghânî (1838-1897), Ali Sharî’ati (1933-1977), dan Hashem Aghajari (1955-
sekarang). Ketiganya dinilai sebagai Muslim Luther atas apresiasi mereka yang tinggi
terhadap Martin Luther dan Reformasi Protestan abad ke-16 di Eropa dan seruan mereka
atas Protestanisme Islam di Iran. Namun, artikel ini tak bermaksud membandingkan dua
reformasi keagamaan di Eropa dan Iran. Ia lebih menganalisis pengembaraan gagasan
Protestanisme Islam dari Afghânî, Sharî’ati, ke Aghajari.
Traveling theory Edward Said (1984) dipakai untuk menganalisis gerak sejarah-dinamis
gagasan Protestanisme Islam "dari orang ke orang, situasi ke situasi, dan dari satu periode
ke periode lain". Seperti halnya Traveling Theory mengalami revisi ulang, gagasan
Protestanisme Islam mengalami modifikasi, penafsiran ulang, dan penyegaran kembali
setelah terjadi pengembaraan sebagai tanggapan atas tantangan berbeda-beda.

Afghânî: awal Muslim Luther Iran

Afghânî lahir pada tahun 1838 di Desa Asadabad, dekat Kota Hamadan, Iran, memiliki
nama asli Sayyid Jamâl al-Dîn Asadâbâdî. Nama Afghânî hanya dipakai tahun 1869
untuk memikat dan memengaruhi lebih luas kalangan Muslim Sunni. Di dunia Islam,
nama Sayyid diindikasikan punya garis keturunan ke Nabi Muhammad. Ayahnya, Sayyid
Safdar, memang berasal dari kalangan terhormat Sayyids Shi’ah dan memiliki kedekatan
dengan 12 imam Shi’ah, terutama Shaikh Murtazâ Ansârî. Dari ayahnya, ia belajar
bahasa Arab, Al Quran, dan fikih, di samping menempuh pendidikan Shi’ah di Qazvin,
Teheran.

Masa pembentukan awal di lingkungan Shi’ah membuat Afghânî tertarik pada filsafat
Islam, terutama dalam tradisi Ibn Sînâ. Baginya, filsafat Islam adalah jalan menuju
rasionalitas dan instrumen pengetahuan untuk mengubah masyarakat dari situasi
kejumudan menuju kemajuan. Ia tegaskan "(Filsafat) adalah penyebab pertama aktivitas
intelektual manusia... dan argumen terbesar untuk mentransformasi suku bangsa dan
masyarakat dari keadaan nomadisme dan kekejaman menuju kebudayaan dan
peradaban".

Melalui sentuhan filsafat, Islam dan akal atau ilmu pengetahuan modern bisa berjalan
seiring. Tahun 1883, ia menulis artikel Answer to Renan di Journal des Débats (18 Mei
1883) sebagai respons kritis atas pidato Ernest Renan, Islam and Science, di Sorbonne
dan publikasinya di Journal des Débats (29 Maret 1883). Afghânî menolak dua hal.
Pertama, prasangka negatif Renan bahwa Islam bermusuhan dengan ilmu pengetahuan.
Kedua, asumsi rasialis Renan bahwa orang Arab bermusuhan dengan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Faktanya, ia berargumen, "seseorang tak dapat membantah bahwa melalui
(pendidikan) agama-entah itu Muslim, Kristen, entah penganut Pagan-semua bangsa telah
bangkit dari barbarisme bergerak menuju peradaban lebih maju.... Di sini saya memohon
kepada Tuan Renan tidak memandang agama orang Muslim (Islam) sebagai
penyebabnya, tetapi lebih karena ratusan juta manusia yang hidup dalam barbarisme dan
ketidaktahuan". Afghânî menilai Islam dan Muslim sebagai dua entitas yang evolutif dan,
karenanya, bergerak dari barbarisme menuju peradaban. Inilah yang dapat dilihat melalui
kejayaan zaman keemasan Islam klasik: bercirikan peradaban modern, pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan, kuatnya militer, dan kemakmuran ekonomi.

Itu sebabnya Afghânî menangkis asumsi rasialis Renan: "tak seorang pun dapat
membantah bahwa orang Arab, selagi masih dalam kondisi barbarisme, segera berproses
menuju tahap intelektual dan kemajuan ilmiah dengan kecepatan yang hanya disejajarkan
dengan kecepatan daerah-daerah taklukannya. Hanya dalam tempo satu abad, orang Arab
merebut dan mengasimilasi hampir semua ilmu pengetahuan orang Yunani dan Persia
yang berkembang lambat-laun selama berabad-abad di tanah asalnya, seperti halnya
mereka memperluas dominasi wilayah kekuasaannya dari jazirah Arab, pegunungan
Himalaya, sampai ke puncak Pyrene".

Di samping pengaruh filsafat Islam, keyakinan Afghânî terhadap akal juga dipengaruhi
penulisan sejarah Francois Guizot (1787-1874). Guizot dikenal sebagai sejarawan
Perancis, negarawan dan keturunan keluarga Protestan, yang menyampaikan pidato
sejarah peradaban Eropa abad ke-19. Keyakinannya pada akal dan solidaritas sosial
sebagai sumber kemajuan Barat menginspirasi Afghânî menafsirkan kembali Islam
sebagai keyakinan terhadap akal, kemajuan, dan peradaban ketimbang sejumlah doktrin
keagamaan yang dogmatis. Inilah kesimpulan penting Hourani (2002: 114): "Ide
Peradaban adalah salah satu yang berpengaruh di Eropa abad ke-19 dan melalui Afghânî,
ide itu sampai di dunia Islam. Ide itu disampaikan oleh Guizot dalam pidatonya tentang
sejarah peradaban di Eropa. Afghânî telah membaca Guizot dan terpesona olehnya.
Karya itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tahun 1877 dan Afghânî
mengilhami muridnya, ’Abduh, menulis artikel sebagai sambutan atas terjemahan
sekaligus penjelasan rinci tentang doktrin buku tersebut."

Menurutnya, seruan menafsirkan kembali Al Quran yang selaras dengan akal, kemajuan,
dan peradaban dapat mengantar pada reformasi Islam model Protestan. Afghânî benar-
benar dipengaruhi Guizot yang melihat Reformasi Protestan sebagai faktor menentukan
yang mengantar Eropa ke kemajuan dan peradaban modern. Afghânî mengakui: "tak
terbantahkan bahwa Guizot... berkata sebagai berikut: salah satu penyebab utama
kemajuan peradaban Barat adalah munculnya kelompok yang mengatakan, ’meskipun
agama kita Kristen, kita mencari pembuktian atas hal-hal mendasar dalam keyakinan
kita’. Para Imam tidak memberi izin dan mereka berkata agama (Kristen) disandarkan
pada imitasi. Ketika sebuah kelompok di atas menjadi kuat, gagasan mereka pun
menyebar; rasio membebaskan diri dari belenggu kebodohan dan kemajalan (berpikir)
menuju pergerakan dan kemajuan; dan orang-orang berikhtiar meraih berkah peradaban".

Mirip para imam dalam Kristen, Afghânî yakin ulama konservatif menjadi penyebab
jatuhnya peradaban Islam selama berabad-abad. Hak memeluk Islam dengan penalaran
demonstratif tidak lagi diperkenankan otoritas ulama karena pintu ijtihad dinyatakan
tertutup. Pilihan antara mengikuti otoritas keagamaan atau akal pikiran benar-benar
berada dalam gugatannya. Terinspriasi oleh Luther, yang secara terbuka menggugat
otoritas imam dalam Gereja, Afghânî mulai menggugat konservatisme ulama. Baginya,
reformasi dan kemajuan Islam tak akan pernah terwujud jika ulama tetap memelihara
pandangan keislaman yang konservatif. Ia pun berjuang mendobrak konservatisme Islam,
stagnasi keagamaan (jumud), dan imitasi buta (taklid), yang ia nilai sebagai musuh Islam
yang benar. Afghânî lebih mengimani Islam sebagai agama yang selaras dengan akal,
kemajuan, dan peradaban yang dapat mengantar pada terwujudnya reformasi Islam model
Protestan. ’Abd al-Qâdir al-Maghribî, yang mencatat perbincangan Afghânî’ dengan
sejumlah murid dan koleganya di Istanbul, Turki (1892-1897), bertanya kepadanya
tentang metode yang tepat mencapai kemajuan modern-Barat. Afghânî menjawabnya:
"Ini harus melalui gerakan (reformasi) keagamaan... jika kita mempertimbangkan
argumen di balik transformasi kondisi Eropa dari barbarisme menuju peradaban, kita
melihat bahwasanya hal itu semata-mata dipicu gerakan keagamaan yang dipelopori dan
disebarkan oleh (Martin) Luther. Manusia hebat ini-ketika dia melihat bahwasanya orang
Eropa mengalami kemerosotan dan kehilangan vitalitas akibat periode lama yang mereka
persembahkan kepada pemimpin gereja dan imitasi keagamaan, bukan disandarkan pada
penalaran akal yang jelas-memulai gerakan keagamaan (Reformasi Protestan).... Dia
(Luther) mengingatkan orang Eropa bahwasanya mereka dilahirkan dalam keadaan bebas
dan mengapa mereka menyerahkan diri kepada para tiran.

Karena itu, Afghânî menganggap Luther sebagai pahlawan besar. Dia sering memandang
diri sebagai sang Muslim Luther Iran yang terinspirasi Reformasi Protestan sebagai titik
tolak reformasi Islam di Iran. Ia lalu berargumen bahwa buah Reformasi Protestan dan
kompetisi dinamisnya dengan Katolik telah membawa Eropa menuju reformasi dan
kemajuan. Baginya, kemajuan dan reformasi Islam tak mungkin terwujud jika orang
Islam tak memetik hikmah dari Reformasi Protestan. Karenanya, Afghânî berargumen
Islam memang butuh seorang Luther untuk mewujudkan reformasi Islam model
Protestan. Prinsip dasar pun ia jabarkan: (1) mirip seruan Luther untuk kembali kepada
Bibel, reformasi Islam model Afghânî juga berupa seruan untuk kembali pada Al Quran
sebagai kitab suci progresif; dan (2) seruan membuka kembali pintu ijtihad untuk
menemukan kembali spirit Al Quran yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban.
Baginya, Al Quran dengan sendirinya rasional dan progresif jika ditafsirkan secara
rasional dan progresif. Dan, penafsiran Al Quran yang tepat, demikian Afghânî
menambahkan, haruslah bercorak rasional, progresif, filosofis, dan ilmiah sebagai
pembacaan alternatif terhadap penafsiran Islam yang statis dan fatalistik di kalangan
ulama konservatif.

Ali Sharî'ati: inteligensia progresif dan seruan Protestanisme Islam

Sharî'ati, lahir 3 Desember 1933 di Mazinan, dekat Mashhad, Iran. Dia menempuh
pendidikan dasar di Mashhad dan bergelar sarjana dalam bahasa Arab dan Perancis tahun
1958. Ia memenangi beasiswa pemerintah (1959) melanjutkan doktornya pada sosiologi
dan sejarah Islam di Sorbonne, Paris. Ia belajar dengan sejumlah orientalis dan marxis:
Massignon, Sartre, dan Fanon. Ia terjemahkan What is Poetry? (Sartre), Guerrilla
Warfare (Guevara), dan adikarya Fanon, The Wretched of the Earth. Tahun 1963, dia
menyelesaikan disertasi tentang Fadâ’il al-Balkh (Les Merites de Balkh). Setiba di Iran,
ia langsung ditahan dan dijebloskan enam bulan di penjara atas sangkaan aktivitas politik
antipemerintahan Shah di Paris.
Setelah bebas, Sharî'ati pulang kampung di Khurasan dan mengajar di sekolah tingkat
atas serta Universitas Mashhad. Reputasinya sebagai dosen segera tersiar luas ketika
pindah ke Teheran (1969) dan mulai reguler menyampaikan kuliah umum di Husayniah
Irshâd, pusat keislaman progresif prarevolusi Iran. Ia dikenal sebagai orator ulung dan
berseru menyatukan kekuatan melawan rezim Shah. Akibat ketakutan berlebihan atas
pengaruh politiknya, rezim Iran kembali menjebloskannya ke penjara 18 bulan.
Sejarawan Iran, Abrahamian, berargumen ulama dan intelektual konservatif memainkan
peran tersembunyi di balik pemberhentian pidatonya karena rezim Iran menyewa
intelektual bayaran menuduh Sharî'ati sebagai biang keladi propaganda antiulama dan
penganjur marxisme Islam. Fatwa pun dikeluarkan untuk mendiskreditkan reputasi
intelektualnya. Para pengikut fanatiknya dilarang menghadiri pidato Sharî'ati atau sekadar
membaca bukunya (Rahmena, 1998: 275).

Tekanan publik dan protes internasional berhasil memaksa rezim Shah membebaskannya
dari penjara meski tetap dalam tahanan rumah dua tahun (1975-1977) sampai akhirnya ia
pergi ke London dan meninggal secara misterius pada 19 Juni 1977. Meski meninggal
sebelum revolusi Iran (1978-1979), ia dijuluki sebagai ideolog revolusi. Selama revolusi
berlangsung, kebanyakan demonstran di jalan-jalan mengibarkan dua gambar intelektual
Iran: Ayatollâh Khomeini dan Ali Sharî’ati. Pidato Sharî’ati pun ditranskrip ke dalam
lebih dari 50 pamflet dan buku kecil. Rekaman pidato dan slogan populernya direkam
dan disebarkan di Iran dan luar.

Mengikuti seruan Afghânî untuk kembali pada Al Quran, Sharî'ati juga berseru
pentingnya kembali pada "Islam yang benar" yang selama ini disalahtafsirkan ulama
konservatif sebagai agama statis dan membisu. Ia menyalahkan ulama konservatif karena
(1) tidak melanjutkan proyek reformasi Islam yang dirintis Afghânî dan (2) menghamba
dalam kepemimpinan politik Shah yang tugasnya memberikan stempel politik-
keagamaan demi kelanggengan status quo. Atas dasar itu, ia pertama-tama melakukan
distingsi yang ketat antara "Islam yang dipeluk rakyat tertindas" dengan "Islam yang
dipeluk ulama konservatif dan penguasa". Ia tegaskan: "Tidaklah cukup sekadar berseru
bahwa kita harus kembali kepada Islam. Kita harus merujuk secara spesifik Islam yang
mana: Islam Marwan penguasa atau Islam Abu Zarr. Keduanya dipanggil Islam, tetapi
terdapat perbedaan tajam antara keduanya. Satunya adalah Islam kekhalifahan, istana,
dan penguasa; sementara satunya lagi adalah Islam rakyat, tertindas, dan jelata. Lebih
dari itu, tak cukup berkata bahwa seseorang sebaiknya peduli pada orang miskin jelata.
Para penguasa yang korup pun berkata serupa. "Islam yang benar" lebih dari sekadar
kepedulian dengan menginstruksikan umat untuk berjuang demi keadilan, persamaan,
dan pengentasan orang dari kemiskinan (Sharî'ati, Islamology, Lesson 3; Abrahamian,
1982).

Seruan kembali pada "Islam yang benar", menurutnya, harus dinakhodai dan
disebarluaskan oleh inteligensia progresif (rûshanfekrân) yang kritis terhadap otoritas
keagamaan dan rezim korup. Sharî’ati menganggap rûshanfekrân sebagai pendukung
gagasan Protestanisme Islam yang revolusioner. Ia pun terbuka memuji Afghânî bersama
’Abduh (Mesir, 1849-1905) dan Iqbal (India, 1877-1938) sebagai inteligensia progresif
yang menyelaraskan reformasi Islam dengan rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan
peradaban modern Eropa. Harapannya pada inteligensia progresif adalah dapat
memainkan peran keagamaan serupa seperti diperankan Luther dan Calvin dalam rangka
mentransformasikan roda kepemimpinan dari otoritas ulama konservatif ke pundak
inteligensia progresif. Dalam Mission of a Free Thinker, ia tegaskan: "Apa yang
sesungguhnya penting buat kita saat ini adalah etos kerja Luther dan Calvin karena
mereka mentransformasikan etika Katolik- yang telah memenjarakan Eropa dalam tradisi
selama berabad-abad-ke arah gerak dinamis dan kekuatan kreatif. Misalnya, Max Weber
mendiskusikan hubungan antara kapitalisme dan etika Protestan. Weber berargumen
negara-negara yang dominan Katolik, seperti Spanyol, Perancis, dan Italia, kurang
progresif dibandingkan dengan Inggris, Jerman, dan Amerika yang dominan Protestan.
Karena itu, Weber berargumen terdapat keterkaitan langsung antara etika Protestan dan
kapitalisme."

Dalam pidatonya di Universitas Teknik Teheran, November 1971, Sharî’ati mulai terbuka
menyerukan pentingnya Protestanisme Islam: "Seperti halnya Kristen Protestan abad
pertengahan, inteligensia progresif sebaiknya mulai (reformasi Islam) dengan
Protestanisme Islam yang: (1) menghancurkan faktor degeneratif yang, atas nama Islam,
telah melumpuhkan proses berpikir dan nasib masyarakat dan (2) memberi sumbangsih
bagi pemikiran dan pergerakan baru." Seruan Protestanisme Islam telah menjadi
pernyataan terbuka dan lebih jelas ketimbang apa yang dirintis Afghânî. Dengan
Protestanisme Islam, inteligensia progresif dapat: (1) menjembatani meningkatnya
kesenjangan antara elite-intelektual dan massa; (2) menyelamatkan masyarakat Iran dari
intervensi politik-keagamaan destruktif yang dipraktikkan rezim Shah dan ulama
konservatif; (3) berjuang melawan takhayul, taklid, dan kepatuhan buta yang menjadi
penanda utama Islam populer; dan (4) mempromosikan spirit nalar berpikir rasional dan
independen yang dapat mentransformasikan masyarakat Iran ke arah tipikal manusia
rasional, independen, dan revolusioner.

Hashem Aghajari: Muadzin Protestanisme Islam

Aghajari, berusia 49 tahun, terkenal sebagai jurnalis, dosen sejarah Universitas Hamedan,
dan aktivis sosial sayap reformis di Islamic Revolution’s Mujâhidîn Organization
(IRMO). Ia tiba-tiba jadi selebriti intelektual setelah berpidato terbuka: Seruan atas
Protestanisme Islam (Juni 2002) sebagai kado peringatan 25 tahun wafatnya Sharî’ati. Ia
dikenal pendukung setia Sharî’ati dan penerjemah gagasannya. "Sekarang ini," demikian
pidatonya, "Kita butuh Protestanisme Islam yang telah diperjuangkan Sharî'ati." Ia
"meminjam secara kreatif" gagasan Protestanisme Islam Sharî’ati untuk melancarkan
kritiknya terhadap kaum ulama dan monopolinya atas penafsiran Islam. Aghajari
berargumen, mirip yang terjadi dengan hierarki gereja dan otoritas imam dalam Kristen
abad Pertengahan pra-Reformasi Protestan, struktur keagamaan dan kehidupan keislaman
di Iran telah jadi sedemikian hierarkis dan birokratis. Seperti halnya Reformasi Protestan
bermaksud menyelamatkan Kristen dari cengkeraman para imam dan hierarki Gereja,
seruan Protestanisme Islam dimaksudkan untuk membebaskan Islam dan Muslim Iran
dari cengkeraman politik-keagamaan kaum ulama.

Aghajari segera ditahan pada Agustus 2002 dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan
Hamedan, 6 November, atas sangkaan penghinaan terhadap para ulama Shi’ah dan
pejabat tinggi rezim berkuasa Iran meski akhirnya ia terbebaskan dari dakwaan itu.
Terinspirasi oleh peran Luther yang mendeligitimasi terpusatnya otoritas imam gereja,
seruan Protestanisme Islam menjadikan ulama dalam kekuasaan sebagai sasaran
kritiknya. Ia sadar tidak ada sistem kependetaan dalam Islam. Namun, model hierarki
keagamaan di Iran sudah mirip dengan hierarki gereja dalam Kristen abad pertengahan
pra-Reformasi Protestan. Sekarang ini, lanjutnya, hierarki ulama Shi’ah Iran lebih dekat
menyerupai Katolik ketimbang Islam yang tidak mengenal sistem kependetaan. Para
ulama terlampau mencampuri urusan personal umatnya dengan bertindak sebagai
mediator. Aghajari memberikan terapi kejut dengan mengatakan: "tidak ada mediator
antara seorang Muslim dan Tuhan dalam hal beribadah kepada-Nya dan memahami Kitab
Suci-Nya. Mengikuti jejak Luther tentang imamat am orang percaya, ia berargumen
bahwa setiap Muslim menjadi imam bagi dirinya sendiri. Keselamatan pun sepenuhnya
ditentukan sendiri: melalui kejernihan pikiran-dan ketulusan hati-nya ke hadirat Tuhan.

Mengikuti jejak Luther tentang pentingnya umat Kristen mengakses langsung Bibel,
Aghajari berseru agar Muslim diberi jaminan sepenuhnya dan sebebas-bebasnya dalam
mengakses Al Quran, tidak seperti ororitarianisme Mullah yang melarang Muslim
mengakses Al Quran melalui metodenya sendiri. Metode apa pun terbuka bagi Muslim,
melalui pintu ijtihad, sehingga Muslim Iran terlatih berpikir rasional dan independen.
Dalam pidatonya, Aghajari melancarkan kritik tajamnya: "Selama bertahun-tahun
generasi muda takut membuka Al Quran. Mereka bilang, ’kita harus pergi dan bertanya
kepada Mullah tentang yang Al Quran katakan...’. Generasi muda pun tak diperkenankan
mendekati Al Quran; (Generasi muda) diberi tahu bahwasanya (pertama-tama) mereka
membutuhkan (latihan dalam) 101 metode berpikir dan mereka tidak memilikinya.
Konsekuensinya, (generasi muda) takut membaca Al Quran. Kemudian datanglah
Shari’ati dan bercerita kepada generasi muda bahwasanya ide seperti itu sudah bangkrut;
(ia berkata) kamu dapat memahami Al Quran dengan metodenya sendiri...."

Mengikuti jejak pikiran Sharî’ati, ajakan penafsiran Al Quran secara rasional dan
independen ditujukan untuk mendeligitimasi otoritas tunggal dan hierarkis ulama Shi’ah.
Muslim Iran harus diberikan hak yang setara dengan ulama dalam mengakses dan
menafsirkan Al Quran. Tak ada keistimewaan apalagi status kesakralan di kalangan
ulama. Aghajari (2002: 2) meluruskan kekeliruan asumsi teologis yang melihat ulama
sebagai komunitas sakral. Baginya, mereka bukanlah manusia sakral dan, karenanya, kita
tak akan pernah memberi status demikian. Faktanya, mereka memainkan kekuasaan
politik-keagamaan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Aghajari memuji Sharî’ati
sebagai reformis yang begitu tajam mengkritik para Imam Iran: "Kamu bukanlah para
imam, bukan pula para nabi; (kamu) tidak bisa menganggap orang-orang sebagai
makhluk setengah manusia." Puluhan tahun para ulama dan rezim berkuasa Iran
mengabaikan prinsip dasar hak-hak asasi manusia dan membelah rakyatnya menjadi the
insiders dan the outsiders, lantas memberangus the outsiders. "Inikah logika keislaman?
Ketika tak ada penghormatan terhadap manusia?" gugatnya. Ia memandang manusia
sebagai subjek yang rasional, humanis, dan independen sesuai dengan semangat utama
seruan Protestanisme Islam.

Pengembaraan gagasan Protestanisme Islam

Seperti halnya orang-orang dan mazhab kritis, ide-ide dan teori-teori juga mengembara-
dari orang ke orang, situasi ke situasi, dan dari satu periode ke periode lain. Kultur dan
kehidupan intelektual biasanya dipelihara dan sering kali dipertahankan melalui sirkulasi
ide-ide dan entah itu terwujud dalam bentuk pengakuan, pengaruh tak sadar, peminjaman
kreatif, atau penyesuaian secara keseluruhan pergerakan ide-ide dan teori-teori dari satu
tempat ke tempat yang lain adalah fakta kehidupan dan memungkinkan aktivitas
intelektual yang bermanfaat. (Edward Said, 1984:226)

Menganalisis pemikiran ketiga Muslim Luther Iran dan seruannya atas Protestanisme
Islam dapat ditarik sejumlah temuan menarik.

Pertama, gagasan Protestanisme Islam terbukti mengembara dari Afghânî, Sharî’ati, ke


Aghajari. Terdapat apa yang dirumuskan Said sebagai a point of origin, di mana suatu
gagasan lahir atau memasuki ruang diskursus. Di sini a point of origin ditemukan pada
pemikiran keagamaan Afghânî. Tentunya ia belumlah menyerukan gagasan
Protestanisme Islam secara eksplisit. Namun, ia dikenal sebagai reformis Muslim Iran
yang menaruh apresiasi dan kekaguman tinggi terhadap Luther dan kesuksesan
Reformasi Protestan. Memandang Luther sebagai pahlawan besarnya, Afghânî kemudian
melihat dirinya sebagai sang Muslim Luther Iran yang memetik buah Reformasi
Protestan sebagai model reformasi Islam. Ide bahwa "Islam butuh sang Luther", menurut
Hourani, adalah "tema favorit Afghânî dan barangkali dia memandang dirinya sendiri
dalam peran serupa". Dengan alasan itu, "reformasi Islam model Protestan" yang
dirintisnya dapat diletakkan sebagai a point of origin yang pada gilirannya memasuki
ruang diskursus akhir abad ke-19. Terbukti, Afghânî menghabiskan waktu di Istanbul
dalam diskursus liat dengan murid dan koleganya seputar Martin Luther, Reformasi
Protestan, Akal dan Kemajuan, Peradaban Barat, dan Reformasi Islam model Protestan di
Iran.

Gagasan Protestanisme Islam lalu mengembara dari Afghânî menuju Sharî’ati. Sejumlah
pidato umum dan tulisannya memperlihatkan Sharî’ati mengikuti jejak Afghânî tentang
"Reformasi Islam model Protestan". Misalnya, dalam pidato umum di Husayniah Irshâd
pada 1970-an ia terbuka memuji Afghânî sebagai inteligensia progresif yang telah
memunculkan dan menyebarluaskan "Reformasi Islam model Protestan". Ia juga terbuka
dan eksplisit menyebut pentingnya Protestanisme Islam sambil memberi napas pemikiran
dan gerakan baru terhadap gagasannya sehingga lebih revolusioner berhadapan dengan
kekuasaan otoriter Shah.

Akhirnya, gagasan Protestanisme Islam mengembara dari Sharî’ati menuju Aghajari. Ia


memang sepenuhnya berada di bawah "pengaruh sadar" Sharî’ati. Dalam pidatonya,
Aghajari menyebut Sharî’ati dan mengutip secara kreatif gagasannya lebih dari 10 kali
untuk mengartikulasikan versinya sendiri tentang pentingnya Protestanisme Islam di Iran.
Ia persis melakukan apa yang dirumuskan Said (1984) sebagai "peminjaman kreatif"
dalam memodifikasi dan menyegarkan kembali gagasan Protestanisme Islam.
Dibandingkan dengan Afghâni dan Sharî’ati, Aghajari relatif berhasil membuat gagasan
Protestanisme Islam jadi diskursus publik lintas nasional yang populer. Perhatian
sejumlah intelektual terkemuka, dalam maupun luar Iran, benar-benar tersedot. Di
Amerika, misalnya, intelektual dan kolumnis prolifik, Thomas Friedman, harus menulis
kolom khusus di koran terkemuka The New York Times (4/12/2004) tentang Aghajari:
"Yang terjadi di Iran," tulis Friedman, "…adalah bentuk kombinasi antara Martin Luther
dan Tiananmen Square", yang menyerukan Protestanisme Islam.

Kedua, pengembaraan gagasan Protestanisme Islam dari Afghânî, Sharî’ati, ke Aghajari


tidaklah terjadi dalam konteks kevakuman sejarah. Sebuah gagasan mengembara,
meminjam rumusan Said (1984), sebagai respons terhadap perubahan sosial dan sejarah
yang spesifik. Ketiga Muslim Luther Iran itu hidup dalam kurun berbeda dengan
tantangan berbeda pula. Afghâni hidup dalam suatu masa ketika negara Eropa mencapai
puncak dominasi kolonialismenya di dunia Islam. Gagasan reformasinya lahir dan
berkembang sebagai respons spesifik terhadap tantangan ganda: memperkuat dunia Islam
sekaligus menaklukkan imperialisme. Satu sisi dia menyerukan pentingnya persatuan
dunia Islam dan gagasannya diarahkan demi kemajuan umat Islam di dunia modern.
Namun, di sisi lain, gagasannya juga dipakai sebagai senjata keagamaan-politik melawan
kekuasaan kolonial dan imperialisme. Selama di Paris, ia bersama murid liberalnya,
Abduh, menerbitkan jurnal Pan-Islam terkemuka, al-’Urwa al-Wuthqâ, sebagai respons
terhadap dan bentuk perjuangan intelektual yang canggih melawan kebijakan
imperialisme Inggris di Mesir, India, dan Sudan.

Berbeda dengan Afghâni, seruan Protestanisme Islam Sharî’ati lebih diarahkan sebagai
respons spesifik terhadap meningkatnya proses internalisasi kolonialisme dalam diri dan
kepemimpinan rezim Shah. Dikenang sebagai ideolog revolusi, ia berhasil
membangunkan kesadaran kritis di hampir semua lapisan untuk bersatu padu melawan
rezim Shah. Meskipun dia punya banyak kesamaan dengan Afghâni dalam hal
mengimani Islam sebagai sumber kemajuan dan peradaban, Sharî’ati tampak lebih
revolusioner. Ini kemungkinan besar dipengaruhi sosiologi marxisme, teori dunia ketiga
Fanon, dan pengajaran Islam atas martir Shi’ah Iran periode awal.
Ternyata, silih bergantinya rezim baru Iran pascarevolusi (1978-1979) sampai terpilihnya
Presiden Khatami untuk kali kedua tidaklah mengantarkan era baru: dari revolusi menuju
secercah reformasi dan berbalik ke era kegelapan kembali. Pidato kontroversial Aghajari
tentang seruan Protestanisme Islam adalah sebagai respons terhadap kecenderungan
meningkatnya otoritarianisme, baik di kalangan ulama maupun rezim Khatami.
Masuknya ulama dalam kekuasaan menjadi distingsi jelas antara tantangan yang dihadapi
Sharî’ati dan Aghajari. Dalam pidatonya ia menegaskan "beda antara zaman kita dengan
Sharî’ati adalah bahwasanya keulamaan tidak memiliki kekuasaan. Sekarang Islam
berada di kekuasaan, ulama berada di pemerintahan. Itu sebabnya Protestanisme Islam
jadi lebih penting saat ini". Keterlibatan ulama dalam kekuasaan telah menjadi tantangan
serius Aghajari membebaskan Islam dan Muslim Iran dari cengkeraman politik-
keagamaan ulama dan rezim. Reformasi Islam Iran masih jauh dari harapan!

Sukidi Kader Muda Muhammadiyah; Associate Researcher di The Indonesian Institute;


dan Mahasiswa Teologi di Universitas Harvard, Cambridge, MA, AS

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/02/Bentara/1592653.htm

Spiritualitas Perkotaan<center></center>

ABAD ke-21 menandai fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat kota di


Indonesia, yaitu munculnya minat lebih tinggi dari biasanya terhadap jalan spiritual (the
spiritual path). Sampai dikatakan, abad ini merupakan abad spiritual. Tampaknya jalan
spiritual telah menjadi pilihan ketika manusia modern membutuhkan jawaban-jawaban
esensial atas eksistensi dirinya dalam hidup di tengah dinamika perkotaan.

MENGAPA kecenderungan ini terjadi bisa ditelusuri secara historis dan psikologis pada
budaya Indonesia secara umum. Namun, pada dasarnya, fenomena yang belakangan ini
marak berakar pada gejolak masyarakat perkotaan di Indonesia sebagai akibat krisis
berkepanjangan yang menimpa negeri ini. Juga dekadensi moralitas yang memengaruhi
gaya hidup orang kota.

SPIRITUALITAS adalah bidang penghayatan batiniah kepada Tuhan melalui laku-laku


tertentu yang sebenarnya terdapat pada setiap agama. Namun, tidak semua penganut
agama menekuninya. Bahkan beberapa agama memperlakukan aktivitas pemberdayaan
spiritual sebagai praktik yang tertutup, khawatir dicap "klenik".

Lokus spiritualitas adalah diri manusia. Bila wilayah psikologi mengkaji jiwa sebagai
psyche (dalam terminologi spiritual lebih dikenal sebagai ego), spiritualitas menyentuh
jiwa sebagai spirit. Budaya Barat menyebutnya inner self (diri pribadi), sesuatu yang
"diisikan" Tuhan pada saat manusia diciptakan. Meski diyakini bahwa agama berasal dari
Tuhan, namun spiritualitas adalah area manusia. Spiritualitas adalah sikap yang meyakini
adanya kehadiran dan campur tangan Tuhan dalam diri manusia, meski tidak mesti
demikian.

Sering menjadi pertanyaan, mengapa pemberdayaan spiritualitas yang sering dicap klenik
dapat mudah dilakukan pada masa perkembangan Islam di Indonesia. Simuh dalam
Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (2002), menjelaskan bahwa
kemungkinan itu dapat terjadi karena Islam yang masuk ke Indonesia bukanlah Islam
azali, yang berasal langsung dari jazirah Arab, melainkan dibawa oleh pedagang Persia
dan Gujarat. Dan Persia, khususnya, adalah sentra perkembangan tradisi tasawuf.

Tasawuf sendiri terbagi menjadi dua: Tasawuf Islam yang mementingkan sikap hidup
yang tekun beribadah serta mengacu kepada Al Quran dan Hadis dan Tasawuf Murni
atau Mistikisme yang menekankan pada pengetahuan hakikat Tuhan.

Berakhirnya era tasawuf Islam pada tahun 728 M memperkuat dugaan bahwa aliran
tasawuf yang masuk pada awal perkembangan Islam di Indonesia bersifat mistikisme.
Mengacu pada pengertian "miskisme" sebagai suatu ajaran atau kepercayaan bahwa
pengetahuan akan hakikat dan tentang Tuhan dapat diperoleh melalui meditasi atau
penyadaran spiritual tanpa melibatkan panca indera dan akal pikir, dapat dimengerti
mengapa Islam di Indonesia mampu berkompromi dengan budaya Hindu-Buddha, dan
segera berkonsekuensi pada pergerakan mistikisme Jawa atau Kejawen.

Mistikisme subur di masyarakat pedesaan karena pada masa kolonial Hindia Belanda
aliran-aliran ini menampilkan figur simbolis Imam Mahdi yang berhasil menyokong
semangat rakyat menentang penjajahan. Karena itu, mistikisme lantas dianggap aliran
kepercayaan marginal, yang tidak mampu menyokong aspirasi masyarakat perkotaan
yang umumnya terpelajar serta lebih rasional.

Baru pada tahun 1920-an hingga 1930-an aliran mistikisme mendapat tempat di hati
masyarakat pribumi yang tertekan sebagai akibat depresi besar yang tengah melanda
dunia pada saat itu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari suatu masyarakat yang
mengalami gangguan kejiwaan akibat krisis ekonomi. Sementara itu, agama dirasakan
tidak mampu membangkitkan kesadaran spiritual masyarakat, yang terutama disebabkan
oleh penentangan kaum Muslim azali yang mengedepankan ketaatan lahiriah dan rasional
dengan nilai-nilai "pahala-dosa" dan "surga-neraka". Bersamaan dengan itu, bermunculan
figur-figur yang mengaku mendapat wahyu dari Tuhan untuk membersihkan dosa-dosa
umat menghadapi kiamat-isu yang meluas menyusul kondisi dunia yang kacau-balau
diterpa depresi besar.

TERDAPAT dua landasan analisis di balik munculnya tren spiritualitas perkotaan


belakangan ini. Pertama, dari sudut pandang psikologi sosial, kebutuhan akan jalan
spiritual merupakan konsekuensi penderitaan psikis masyarakat yang tertekan oleh krisis
ekonomi. Kedua, dari sudut pandang anti-religious intellectualism yang menganggap tren
belakangan ini sebagai upaya popularisasi aliran mistikisme yang esoterik.

Landasan kedua kurang dapat diterima mengingat sejumlah jalan spiritual yang dimasuki
masyarakat kota dewasa ini telah eksis di Indonesia sejak lama, meski masih bersifat
marginal. "Popularisasi" rasanya kurang tepat, melainkan lebih merupakan
"pengadopsian" dampak positif amalan sejumlah konsepsi spiritualitas yang diterima
sebagai solusi bagi derita psikis masyarakat kota.

Dalam kaitan kondisi psikologis akibat krisis berkepanjangan, landasan pertama dapat
diterima sebagai latar belakang maraknya tren kebutuhan akan Jalan Spiritual di tengah
dinamika perkotaan. Di samping itu, juga kemerosotan nilai-nilai moral yang demikian
mudah merembes ke gaya hidup masyarakat kota.

Spiritualitas selama ini termarginalisasi. Dan memang konsepsi penghayatan kepada


kekuasaan Tuhan dapat diterima dengan mudah oleh alam bawah sadar masyarakat
pedesaan karena hidup mereka yang "apa adanya". Mereka bekerja untuk memenuhi
keperluan hidup. Berbeda dengan kecenderungan masyarakat perkotaan yang menjadikan
agama sekadar kewajiban, bagi masyarakat desa agama adalah kebutuhan, yang secara
praktis-setelah melalui proses pemberdayaan sisi spiritualitasnya-dapat memberi mereka
jawaban-jawaban esensial untuk melakoni hidup. Bagi masyarakat kota, situasi
kehidupan materialisme membuat materi menjadi solusi kebahagiaan sehingga
penghayatan agama terkesampingkan.

Ketika intelektualisme dan materialisme kian mengakar dalam segala segi kehidupan
kota, masyarakat mulai gamang, terutama sejak pukulan krisis ekonomi berdampak pada
merosotnya nilai materi sebagai solusi kebahagiaan. Intelektualisme pun, pada tingkat
tertentu, berbenturan dengan dinding kokoh yang menghalangi jalan manusia menuju
Tuhan. Hakikatnya, manusia adalah makhluk spiritual yang hidup di alam materi. Bukan
sebaliknya!

Mengapa pemberdayaan spiritualitas dapat dengan mudah dicerap masyarakat kota yang
gamang? Sejauh yang dapat diketahui, jalan spiritual jarang menerapkan ketaatan yang
dipaksakan atau doktrin dogmatis. Sifat esoterisme jalan spiritual juga mempunyai peran
penting dalam memudahkan orang menerima amalan-amalannya. Dalam hal ini,
hubungan dengan Tuhan bersifat pribadi, yang menyebabkan proses penyembuhan
kejiwaan si pelaku berlangsung relatif mudah karena ia cenderung mematuhi tuntunan
diri pribadinya.

Sebagai contoh praktis, simak pendekatan-pendekatan yang diterapkan beberapa Jalan


Spiritual di bawah ini (yang dipilih karena pengaruhnya yang mendunia).
Tasawuf, merupakan interpretasi transformatif dari Islam. Bagaimanapun, banyak dari
para eksponennya menyokong doktrin-doktrin yang dapat dipandang kaum Muslimin
sebagai sesuatu yang asing bagi agama mereka. Kawasan perkembangannya terpusat di
Timur Tengah dan Asia. Terdapat ribuan tarekat Sufi di seluruh dunia, baik yang
eksklusif Islam maupun lintas agama. Aspek-aspek tertentu dari tasawuf belakangan ini
mulai merebut perhatian dan popularitas di antara para pencari spiritual, terutama karena
upaya-upaya yang dilakukan eksponen terkemukanya di zaman modern ini, yaitu Idries
Shah (meninggal tahun 1996).

Penyerahan diri secara langsung kepada Tuhan merupakan tema sentral amalan
batiniahnya. Apa yang disinggung oleh para penulis Sufi adalah suatu keadaan yang
direpresentasi oleh "kemabukan", "pembebasan", "penyerapan diri ke dalam Sang Kuasa"
(imanensi) dan sebagainya, yang timbul sebagai hasil dari kepasrahan sepenuhnya, dan
tidak didukung oleh upaya yang bersangkutan. Gagasannya adalah bila kita menyerahkan
semua hasrat, harapan, ketakutan dan angan- angan tanpa terkecuali, maka yang tersisa
adalah rasa diri yang hakiki.

Pengkajian tasawuf kini banyak dilakukan di dalam pengajian-pengajian eksklusif


pengusaha dan selebriti di kota-kota besar. Belakangan malah mewabah diskusi-diskusi
wacana "tasawuf modern" atau "tasawuf saintifik" di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan
Surabaya.

Susila Budhi Dharma (Subud), merupakan suatu perkumpulan spiritual yang didirikan
oleh Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Yang mengagumkan dari sebuah aliran yang
berasal dari Indonesia, yang tidak punya reputasi internasional di bidang spiritualitas,
pada tahun 1957 Subud menarik perhatian dan menyebar ke seluruh dunia, dan menarik
minat para pengikut spiritual lainnya, termasuk para penganut dari semua agama utama.
Hingga kini, organisasi internasionalnya beranggotakan hampir tujuh puluh negara. Di
Indonesia sendiri Subud berkembang baik di perkotaan maupun pedesaan dan anggotanya
mencakup kalangan intelektual, birokrat, dan pebisnis.

Subud mewakili suatu paradigma baru di mana kekuasaan di balik kehidupan manusia
dapat diakses langsung oleh semua orang tanpa syarat amalan khusus serta meniadakan
ketergantungan murid kepada guru. Meski berasal dari suatu pengalaman spiritual, Subud
bukan agama ataupun aliran kepercayaan, sehingga keanggotaannya terbuka bagi semua
pemeluk agama, bangsa maupun budaya. Tidak ada teori, ajaran atau pelajaran, maupun
tata cara ritual penyembahan.

Di Subud unsur yang konstan dan aktif adalah latihan berserah dirinya yang dikenal
sebagai latihan kejiwaan, suatu bentuk pelatihan pada isi dari diri. Latihan kejiwaan
merupakan suatu keadaan penyerahan diri secara ikhlas di mana di dalamnya akan terasa
suatu energi. Energi ini memotivasi seorang peserta sesuai dengan kondisinya pada waktu
itu. Penyerahan diri di Subud dilakukan langsung kepada kekuasaan Tuhan tanpa upaya
atau perantaraan apa pun. Mengadakan upaya atau perantaraan justru bertentangan dalam
konteks ini.

Aliran eklektis (electic movements)-disebut demikian karena aliran-aliran esoteris


tersebut menyempal dari tradisi keagamaan yang sudah mapan dan mencampuradukkan
gagasan-gagasan dari agama atau kepercayaan yang lain. Pergerakan biasanya dipelopori
pendeta, imam atau pemimpin pada institusi keagamaan yang disempalinya. Faktor
penyebabnya, pada umumnya adalah terabaikannya pemberdayaan spiritualitas dalam
praktik-praktik ibadahnya serta ketidakpuasan terhadap doktrin-doktrin dogmatis yang
menjunjung rasionalisme. Zen dan Scientology adalah contoh dari pergerakan ini.
Beberapa ashram Yoga juga berimplementasi menjadi aliran pemberdayaan spiritualitas
dengan mengadaptasi filsafat etika Hindu. Kebanyakan aliran eklektis memakai
pendekatan teosofi (paduan teologi dan filsafat) serta meditasi transendental dalam
membawa pengikutnya ke jalan spiritual. Di Amerika Serikat dan Eropa banyak pengikut
aliran eklektis berasal dari kalangan selebriti, intelektual, dan pejabat pemerintahan.

MASA depan keberlangsungan spiritualitas perkotaan susah ditebak. Semuanya


tergantung pada kondisi mental spiritual masyarakat dan perkembangan sosial, ekonomi,
dan politik. Sampai beberapa waktu lalu, pendidikan agama lebih ditekankan pada
pengembangan nalar sehingga manusia sibuk berintelektualisasi dan berasionalisasi, tapi
kurang mengembangkan spiritualitas. Padahal dalam diri manusia terdapat potensi dan
kecenderungan yang berorientasi pada obyek pemikiran dan kontemplasi pada realitas di
luar wilayah materi, yang biasa disebut realitas spiritual. Dalam otak manusia terdapat
apa yang disebut Danah Zohar (Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, 2000)
sebagai God spot. Seiring kenyataan ini, bisa dikatakan bahwa kebutuhan akan
spiritualitas bagi masyarakat perkotaan akan semakin signifikan.

Spiritualitas masyarakat kota dewasa ini di mana nilai-nilai, tujuan hidup, dan kesadaran
bahwa diri mereka adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar sebagai ciptaan
Tuhan, telah menjadi dasar dari pengembangan kepribadian yang sangat menentukan
kebahagiaan hidup lahir dan batin mereka di tengah dinamika perkotaan.

Anto Dwiastoro Alumnus Jurusan Sejarah FSUI, Aktivis Sebuah Jalan Spiritual,
Tinggal di Surabaya

sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/28/opini/1614801.htm

Agama, Mistik, dan Ecstasy<center></center>

AGAMA adalah candu rakyat (Kritik atas Filsafat Hukum Hegel, 1844) merupakan teks
Karl Marx yang paling umum dikenal sampai sekarang. Hanya saja, kalimat pendek ini
tidak jarang salah dikutip. Kadang-kadang kita membaca religion is the opium for the
people, sedangkan sebenarnya tertulis religion is the opium of the people. Perbedaannya
kecil saja, hanya for dan of, tetapi bisa menimbulkan interpretasi yang menyimpang sama
sekali dari aslinya.

VERSI pertama (candu bagi rakyat) memberi kesan seolah-olah agama menjadi alat
dalam tangan golongan kecil (alim ulama, kaum rohaniwan) untuk mempermainkan dan
menindas rakyat, barangkali atas nama dan bekerja sama dengan golongan yang berkuasa
(kaum kapitalis). Kalau begitu, rakyat biasa menjadi korban penipuan karena itikad buruk
segelintir orang yang berhasil merekayasa masyarakat dengan cara demikian.

Maksud Karl Marx tidak demikian. Menurut dia, agama menjadi candu rakyat sebagai
suatu keadaan obyektif dalam masyarakat. Adanya agama mencerminkan struktur-
struktur sosial tidak sehat dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur tidak sehat
tentunya tata susunan masyarakat yang kapitalistis. Tapi, kaum kapitalis tidak menjadi
biang keladi keadaan itu. Dalam arti tertentu mereka juga menjadi korban, bukan saja
kaum buruh, meskipun kedudukan mereka jauh lebih menyenangkan.

Dengan menentang agama, Marx (dan semua orang yang sepakat dengan dia) sudah
berusaha mengubah keadaan masyarakat yang tidak sehat itu. Dan memang begitu
seluruh usaha intelektualnya. "Sampai sekarang para filsuf hanya menafsirkan dunia
dengan pelbagai cara. Yang penting adalah kini kita mengubah dunia" (Tesis mengenai
Feuerbach, nr. 11, 1845/46).

Mengapa Marx menyebut agama sebagai candu? Sebab, agama membuat manusia hidup
dalam suatu dunia khayalan. Baginya agama adalah semacam eskapisme, usaha untuk
keluar dari dunia yang nyata agar dapat masuk suatu dunia lain yang tidak lagi ditandai
penderitaan dan kesusahan, suatu dunia sempurna. Agama dengan janjinya tentang surga
yang penuh kebahagiaan menyediakan penghiburan yang memuaskan bila keadaan di
"lembah mata air" ini (menurut suatu ungkapan keagamaan) sudah tak tertahankan lagi.
Tetapi, sayangnya, dunia sempurna itu adalah mimpi belaka. Karena itu, tanpa disadari
manusia menipu diri dengan mengejar dunia sempurna itu. Dengan itu manusia sendiri
sangat dirugikan, sebab ia melarikan diri dari tugasnya memperbaiki nasibnya dan
membuat dunianya tempat yang pantas dihuni dan dikerjakan manusia.

YANG menarik adalah bahwa dalam zaman kita sekarang terjadi kebalikannya dengan
yang dilukiskan oleh Marx dulu. Jika di mata Marx agama adalah candu, kini candu
menjadi agama. Dalam hal ini kita memakai kata "candu" untuk menunjukkan segala
bentuk obat terlarang; tetapi selanjutnya kita memakai istilah "narkotika" saja. Pemakaian
narkotika sekarang menjadi suatu masalah besar di seluruh dunia.

Memang benar, pemakaian narkotika merupakan suatu percobaan untuk melarikan diri
dari keadaan konkret, suatu usaha untuk masuk dunia khayalan. Tetapi, dengan itu dicari
sesuatu yang absolut, sesuatu yang definitif, sesuatu yang sungguh membahagiakan. Jadi,
yang dicari melalui pemakaian narkotika justru apa yang dijanjikan oleh agama. Dengan
demikian, pemakaian narkotika menjadi semacam pengganti agama. Hal itu terutama
terasa di dunia Barat, tempat sekularisasi sangat menonjol, sehingga agama tidak lagi
berperanan besar dalam kehidupan umum.

Hubungan antara pemakaian narkotika dan agama itu ditunjukkan oleh beberapa istilah
yang digunakan dalam konteks narkotika, yang sering bercirikan bahasa keagamaan.
Contoh yang paling jelas adalah nama ecstasy. Seperti diketahui, ecstasy adalah obat
kimiawi yang mengalami banyak sukses sejak dasawarsa 1990-an. Menurut penelitian di
Amerika Serikat, delapan persen murid sekolah menengah pernah mencoba obat terlarang
ini.

Jika ecstasy adalah nama populernya, nama ilmiahnya adalah


methylenedioxymethamphetamine, disingkat MDMA. Obat ini diakui berkemampuan
kuat mengubah suasana hati seseorang dan bahkan kepribadiannya (mood-and
personality-altering). Menurut para ahli, hal itu disebabkan oleh kesanggupannya
menstimulasi zat serotonin dalam otak. Orang yang pernah mencoba suatu ecstasy trip
dapat memberikan kesaksian yang cukup mengesankan tentang pengalaman ilegal itu.

Nama ecstasy itu adalah versi Inggris untuk kata Yunani ekstasis yang berarti
"menempatkan diri di luar" atau "keadaan keluar dari dirinya sendiri". Ekstasis atau
ekstase itu menunjukkan pengalaman mistik. Dalam semua agama-baik yang bersifat
teistis maupun yang panteistis-ditemukan pola mistik sebagai puncak penghayatan
keagamaan. Ekstase adalah tahap terakhir pengalaman mistik itu, di mana jiwa bersatu
dengan Tuhan.

Guna mencapai saat ekstase itu, manusia harus mengikuti suatu jalan penyempurnaan
yang panjang. Menurut tradisi yang berasal dari filsuf Yunani Plotinos, ia bahkan harus
mengikuti tiga jalan: via purgativa (jalan pembersihan), via contemplativa (jalan
kontemplatif, permenungan), dan via illuminativa (jalan penerangan, pencerahan). Pada
ujung perjalanan panjang itu, makhluk insani akhirnya dapat bercampur baur dengan
Sang Pencipta melalui ekstase dan dengan demikian kembali kepada sumbernya.

Menurut para mistisi, pengalaman ekstase itu ditandai ineffability: tidak mungkin
diungkapkan dengan kata. Karena itu, mereka sering mencari lambang untuk
merumuskan pengalaman unik ini, antara lain persatuan antara pengantin pria dan wanita.
Mistisi Belanda Ruusbroec (abad ke-14), misalnya, melukiskan pengalamannya dalam
buku Pernikahan Rohani. Tetapi, simbol seperti itu mudah salah dimengerti, juga karena
ekstase mistik tidak merupakan suatu keadaan tetap, tidak sering terjadi, dan-kalaupun
dialami-tidak berlangsung lama.
DIBANDINGKAN dengan masa lampau, dalam zaman kita sekarang mistik tidak begitu
menonjol lagi dalam bidang keagamaan, meskipun tidak pernah (dan tidak mungkin juga)
sampai lengkap sama sekali. Karena itu, menjadi ekstratragis bila unsur hakiki agama itu
sekarang dikaitkan dengan pemakaian narkotika. Tragis, karena narkotika justru
membawa kehancuran. Kehancuran fisik, mental, dan juga sosial, karena berulang kali
dapat disaksikan bagaimana kasus narkotika membawa banyak penderitaan bagi
lingkungannya, khususnya keluarganya.

Pemakaian narkotika bukan merupakan suatu fenomena baru. Sepanjang sejarah hal itu
selalu dikenal, tetapi tidak pernah pada skala begitu besar seperti sekarang. Yang baru
adalah munculnya banyak narkotika kimiawi-seperti ecstasy-di samping narkotika alami
yang sudah lama dikenal, setidak-tidaknya dalam lingkungan terbatas.

Faktor baru yang lebih penting lagi adalah penyebaran narkotika menurut sistem
penyaringan internasional. Baik transportasi maupun pemasaran pandai memanfaatkan
jaringan komunikasi modern. Karena itu, mereka berhasil mencakup begitu banyak
tempat dan mencapai begitu banyak pemakai. Dengan demikian, masalah narkotika ini
menjadi suatu akibat negatif globalisasi yang menandai zaman kita.

K Bertens Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atma Jaya, Jakarta

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/12/opini/661835.htm

Ratzinger dan Relativisme Iman<center></center>

KARDINAL Joseph Ratzinger menjadi Paus ke-265 dan memilih nama Benediktus XVI.
Sebelum konklaf dimulai, Ratzinger mengatakan bahwa satu bahaya besar bagi Gereja
Katolik Roma adalah tersebarnya suatu "relativisme iman". Pernyataan tersebut
merangkum inti keyakinan Ratzinger selama ini.

Dalam konteks Indonesia yang dicirikan oleh keragaman agama, kepercayaan, dan
budaya, pernyataan tersebut bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial. Dua di
antaranya adalah tentang dialog antar-agama dan tentang fundamentalisme agama.

PERTAMA, dialog antar-agama. Pada tahun 1984 Vittorio Messori, seorang wartawan
Italia, melakukan wawancara dengan Ratzinger. Dalam terjemahan bahasa Inggris, hasil
wawancara tersebut diterbitkan dengan judul The Ratzinger Report: An Exclusive
Interview on the State of the Church (1985). Salah satu pertanyaan kritis-atau mungkin
lebih tepat dikatakan sebagai salah satu kekhawatiran di kalangan orang Katolik Roma-
adalah bahwa keyakinan Ratzinger akan menghambat berkembangnya dialog antar-
agama. Dalam kerangka pembicaraan tentang hubungan Gereja Katolik Roma dengan
Gereja-gereja lain, ia mengatakan, "dialog dapat memperdalam dan memurnikan iman
Katolik, tetapi tidak dapat mengubahnya dalam tataran esensinya yang sejati" (1985:155).

Dalam kesempatan yang sama Ratzinger juga menegaskan, "definisi-definisi jelas dari
iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam dialog"
(1985:155). Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing-masing pihak
sungguh meyakini imannya. Di sini terlihat kembali keyakinan Ratzinger bahwa dialog
antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme
iman".

Dalam konteks dialog antar-agama, sebuah sikap yang bisa muncul adalah sikap yang
begitu saja menganggap bahwa semua iman itu sama. Sikap semacam ini mengidentikkan
"toleransi" dengan "relativisme". Toleransi (Latin: tollerare, berarti ’mengangkat’) adalah
sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul, menopang
bersama perbedaan yang ada antara satu agama dan agama lain. Relativisme adalah sikap
yang yakin bahwa segala sesuatu adalah relatif; bahwa segala sesuatu ditentukan bukan
oleh apa yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan oleh hubungan (Latin: relatio) antara
sesuatu dan sesuatu yang lain.

Relativisme iman adalah sikap yang menghayati iman bukan dengan keyakinan akan apa
yang ada dalam kekayaan iman tertentu, melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan
dengan iman lain. Relativisme menomorduakan gerakan ke arah dalam karena terus
menyibukkan diri dengan pandangan ke arah luar. Relativisme menghindari kejujuran
untuk melihat ke-khas-an yang berbeda di dalam karena terus mencoba menemukan ke-
umum-an yang sama di luar.

Sebuah dialog antar-agama yang sejati tidak mungkin ada tanpa sebuah keyakinan akan
apa yang ada di dalam kekayaan iman tertentu. Dengan kata lain, relativisme iman, dalam
bentuknya yang paling ekstrem, justru akan membawa orang pada sebuah keengganan,
atau bahkan ketakutan, untuk berpegang pada komitmen imannya. Tanpa sebuah
komitmen iman ke dalam, tidak mungkin seseorang bisa menopang bersama apa yang
ada di luar. Relativisme iman, dengan demikian, justru merupakan musuh terbesar yang
bisa menghambat terciptanya sebuah toleransi antar-agama yang sejati.

Keyakinan Ratzinger (atau sekarang Paus Benediktus XVI) adalah keyakinan yang justru
ingin menyerukan pentingnya toleransi. Dalam konteks Indonesia, keyakinan itu bisa
dibahasakan sebagai sebuah seruan untuk menciptakan sebuah iklim beriman di mana
setiap orang, apa pun agamanya, mendapat ruang luas untuk secara berani membuat
komitmen imannya. Toleransi sepihak, di mana pihak yang takut harus menopang adanya
perbedaan antara apa yang ada di dalam iman yang diyakininya dan apa yang ada di luar,
bukanlah sebuah toleransi, melainkan depresi. Toleransi sepihak, di mana pihak yang
begitu berani meminta pihak luar untuk menopang apa yang ada di dalam keyakinan
imannya sendiri bukanlah sebuah toleransi, melainkan opresi. Baik depresi iman maupun
opresi iman tidak akan pernah menjadi dasar kokoh bagi terciptanya dialog antar-agama
yang sejati.

KEDUA, fundamentalisme agama. Sebuah sikap berani dan yakin bisa berkembang
menjadi terlalu berani dan terlalu yakin. Yang terjadi adalah sebuah sikap yang
memutlakkan kebenaran yang dimiliki di dalam serta menutup diri terhadap kebenaran
lain di luar. Maka pertanyaan krusial terhadap sikap Paus Benediktus XVI yang
menentang dengan tegas suatu relativisme iman adalah: kriteria apa yang bisa menjadi
batas antara keyakinan iman yang berani, tetapi tetap inklusif? Artinya, bagaimana orang
mengembangkan dengan berani sebuah keyakinan iman yang tidak eksklusif, tidak
absolut, tetapi sekaligus tidak relativistis?

Pada tanggal 27 Januari 1988 Ratzinger berbicara di Gereja Lutheran Santo Petrus di kota
New York dalam kesempatan Erasmus Lecture. Pokok pembicaraan adalah seputar
penafsiran Kitab Suci. Ulasan Ratzinger itu diterbitkan sebagai salah satu tulisan dalam
buku berjudul Biblical Interpretation in Crisis: The Ratzinger Conference on Bible and
Church (1989). Dalam kesempatan itu ia kembali menegaskan demikian, "Tentu saja
teks- teks (Kitab Suci) harus pertama-tama dirunut kembali ke asal-usul historisnya dan
ditafsirkan dalam konteks sejarah yang tepat. Meskipun demikian, selanjutnya dalam
tahap penafsiran yang kedua, orang harus melihat teks-teks itu juga dalam terang totalitas
perjalanan sejarah […]" (1989:20).

Strategi penafsiran semacam ini menjadi peringatan tegas bagi bahaya fundamentalisme
dalam penafsiran Kitab Suci. Strategi ini menegaskan bahwa dalam penafsiran Kitab
Suci, orang harus melakukan dua hal penting. Pertama-tama, orang harus berani masuk
sedalam mungkin pada kekhasan iman dalam titik sejarah tertentu dalam proses
penyusunan teks (artinya, sebuah keterpisahan momen yang eksklusif). Meski kemudian,
orang harus berani keluar dan menempatkan satu titik khusus dalam sejarah itu dalam
rangkaian sejarah yang jauh lebih luas (artinya, sebuah keterkaitan momen- momen yang
inklusif).

Rangkaian sejarah yang lebih luas ini mencakup juga sejarah pewahyuan kebenaran
dalam agama-agama lain. Penafsiran Kitab Suci yang benar tidak akan pernah membuat
orang menjadi fundamentalistis dan tertutup. Bukan karena semua iman sama, tetapi
karena orang tersebut melihatnya dalam terang sejarah yang lebih luas. Singkat kata, Paus
Benediktus XVI, sejalan dengan sikap Gereja Katolik Roma, menentang dengan tegas
fundamentalisme agama dalam bentuk apa pun, termasuk yang mungkin timbul di
kalangan orang-orang dalam Gereja Katolik Roma sendiri.

Bagaimana Paus Benediktus XVI ini akan mengembangkan keyakinannya, tentu masih
harus dibuktikan. Hari-hari ini orang-orang dari Gereja Katolik Roma bisa berseru
kepada (dan bersama) orang-orang sedunia: Habemus papam!
TA Deshi Ramadhani Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta; Dosen
Tafsir Kitab Suci; Doktor Teologi dari Jesuit School of Theology, Berkeley, California,
Amerika Serikat

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm

Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus<center></center>

BANYAK pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti
berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah
pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak
tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan
menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?

Urgensi etika politik

Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat


melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya
mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin
relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya
membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada
norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di
mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi
korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban
akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap
ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar.
Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan
konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya
penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila
tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional",
menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kekhasan etika politik

Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain,
dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang
adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara
tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya
korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya
sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik
dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama
dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga,
membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik
bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas
dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita
kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang
adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau
kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara
mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian
kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang
perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties:
kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat,
dan sebagainya.

Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja,
tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang
mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan
dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut
tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan
kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani
pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol
maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan,
kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha
meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga
mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan
kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi,
kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau
penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur
sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.

Etika politik vs Machiavellisme

Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada
tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau
warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai
orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan
tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah
negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik,
filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan
integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan
politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal
balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini
belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus.
Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur,
maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak
terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari
kenyataan (hipotetis irealis).

Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak
memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti
dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan?
Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari
kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang
baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin
tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum
dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari
gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika
politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya
untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok
dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.

Institusi sosial dan keadilan prosedural

Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat.


Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung
berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan
sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi,
institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang
pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan
kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah
merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi
yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil
adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan seseorang
tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral
politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial
yang tidak adil, penyebab laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering
didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan urgensi membangun
institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural.
Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai
sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini
terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk lima
orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran
yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi
ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa
harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama
besarnya.

Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di
Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil
kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan
mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang
mempertaruhkan semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang
punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan
menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada
keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan
pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan
keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang baik juga
menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil,
seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup
bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang
berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke
prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).

Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan?

Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa


dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara
struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap
penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas
hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal
balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang
mempunyai keutamaan moral.

DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma,


dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Sumber: http://tumasouw.tripod.com/artikel/etika_politik_bukan_hanya_moralitas.htm

Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika<center></center>

BENARKAH penerbitan foto-foto pamer aurat sejumlah artis model yang dikritik dan
diprotes masyarakat itu pornografi? Tidak benar, bantah yang diprotes dan para
pendukungnya. Para artis model yang menyediakan tubuhnya dipotret, juru fotonya, yang
menerbitkan foto-foto itu, yang mendukung penerbitannya, semua mengklaim, gambar-
gambar itu karya seni. Apa Anda tidak menangkap keindahan pada tubuh terbuka dengan
pose mana-suka itu berkat kreativitas pencahayaan dan pencetakan yang canggih?

Para pornokrat itu juga membela dari sudut kebebasan pers. Perintah instansi kepolisian
menarik peredaran majalah yang memuat foto-foto yang dipersoalkan masyarakat
dianggap sebagai pelanggaran langsung atas prinsip kebebasan pers. Sejumlah orang pers
sendiri mendukung anggapan terakhir ini. Argumen-argumen membela penerbitan
pornografi itu umumnya lemah, namun prinsipial karena menggunakan alasan estetika
dan kebebasan pers.

Estetika modernis

Sebenarnya tak ada yang baru dalam kontroversi sekitar pornografi - dari kata Yunani
porne artinya 'wanita jalang' dan graphos artinya gambar atau tulisan. Sudah dapat
diduga bahwa masyarakat dari berbagai kalangan akan bereaksi terhadap penerbitan
gambar-gambar yang dianggap melampaui ambang rasa kesenonohan mereka. Seperti
biasanya pula, menghadapi reaksi masyarakat itu, para pornokrat membela dengan
menuntut definisi, apa yang seni dan apa yang pornografi? Akan tetapi apa yang
membedakan foto-foto buka aurat para artis model itu dengan lukisan perempuan
telanjang. Affandi misalnya? Mengapa lukisan Affandi (misalnya Telanjang/ 1947 dan
Telanjang dan Dua Kucing/1952) dianggap karya seni, sedang foto-foto pose panas
Sophia Latjuba dan kawan-kawan dianggap pornografi? Padahal dibandingkan lukisan
perempuan telanjang Affandi yang tubuhnya tampak depan tanpa terlindung sehelai
benang pun, foto-foto menantang para artis itu tidak secara langsung memperlihatkan
lokasi-lokasi vital-strategisnya!

Dari dalam teori estetika, teori tradisional "standar" akan menjawab, perbedaannya
terletak dalam cara bagaimana sosok perempuan dengan ketelanjangannya itu
diperlakukan atau ditangkap. Kata kuncinya di sini adalah apa yang disebut "pengalaman
estetik" yang dirumuskan dalam 3-D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak
terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan, misalnya karya
Affandi contoh kita atau ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik,
pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan
secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-
gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih,
membuat orang terlibat dan terserap.

Dalam bahasa teori, lukisan perempuan telanjang Affandi menampilkan nilai intrinsik,
dan merupakan tujuan pada dirinya sendiri, lukisan Affandi membangun situasi
kontemplatif pada peminatnya. Sebaliknya foto-foto panas pada artis model itu
menampilkan nilai ekstrinsik, bertujuan lain di luar dirinya (promosi, meningkatkan
penjualan, membangkitkan syahwat, kekerasan seksual); foto-foto panas para artis model
itu membangun situasi pragmatik untuk bertindak "strategis" (menguasai, merayu,
memaksa, dan seterusnya). Pernyataan pengasuh salah satu penerbitan itu "Kami punya
segmen pasar sendiri", sudah menjelaskan ini.

Apakah lukisan perempuan telanjang Affandi tidak mungkin membangkitkan birahi yang
melihatnya? Tentu saja mungkin dan bisa. Apabila itu terjadi, atau lukisan Affandi itu
gagal sebagai karya seni, atau penonton itu sendiri belum cukup memiliki kesiapan,
pengalaman, apresiasi, dan seterusnya untuk memperoleh pengalaman estetik dari
melihat lukisan tersebut.

Disamping itu, sebagai karya representasional, seni lukis itu unik, sedang foto-foto
perempuan model itu tidak unik. Orang dapat mencetak foto-foto para model itu seberapa
pun banyaknya dengan mutu persis sama, tetapi mustahil menduplikasi lukisan telanjang
Affandi tanpa kehilangan segala kualitas yang ada pada lukisan aslinya. Pada yang kedua
perbanyakan bisa tetap dengan produksi, tetapi pada yang pertama perbanyakan hanya
pada tingkat reproduksi. Namun seperti sudah disebutkan, itu adalah faham teori estetika
standar dominan, yang kini disebut juga teori modernis. Sejak awal 1970-an faham
estetika modernis itu sudah mendapat tantangan kuat dari aliran yang disebut post-
modern (posmo) yang menolak pandangan estetika modernis itu.

Teori modernis, sebagai bagian dari pandangan filsafat kemajuan (progress) abad 19
yang menganggap sejarah sebagai proses kemajuan yang berlangsung linier, percaya
pada peran besar seni dan seniman dalam yang disebutnya kemajuan sosial. Teori
modernis dapat dianggap mencakup seni borjuis dan estetisme, dua tipologi terakhir dari
empat tipologi Peter Burger yang dimulai dari Seni Sakral dan Seni Istana. Seni modern
telah melepaskan diri dari institusi (gereja maupun istana), membangun wilayahnya
sendiri dengan kedudukan seniman yang dianggap otonom.

Bagi estetika modernis perempuan tanpa baju (nude female) tidaklah sama dengan wanita
bugil (naked woman). Lukisan Affandi adalah lukisan perempuan tanpa baju, perempuan
dalam keadaan alamiah; tetapi pornografi adalah foto-foto wanita bugil atau setengah
bugil, wanita yang mempertontonkan auratnya. Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan
Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya
(kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi
adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah
seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya). Estetika modernis membuat pagar
pemisah antara yang disebut seni murni (high art) dari yang biasa-biasa atau sekadar seni
pop.

Tantangan posmodern

Posmodern menolak pandangan estetika modernis itu. Posmo membongkar pagar


pemisah seni tinggi dan seni pop, dan menganggap seni tidak bisa dipisahkan dari
bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi, politik, dan sosial. Apakah seni tinggi atau seni
rendah, sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi kehidupan
sosial.

Bagi posmodern tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka
auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut
wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek. Masalahnya bukan
bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-
perempuan telanjang itu, sejak zaman klasik sampai ke mutakhir, ditampilkan
sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Gambar-gambar perempuan telanjang, apakah
lukisan, patung, foto-foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang
patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan
perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?

Karena itu bagi posmo, tak ada gunanya definisi seni, karena masalahnya bukan
mendefinisikan apa itu seni, apa itu indah, melainkan siapa yang mengendalikan dan
mendominasi kehidupan sosial kita. Yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni, dan
dalam soal kontroversi pornografi masalahnya adalah eksploitasi dan marginalisasi
perempuan. Ironisnya, para perempuan model itu ikut ambil bagian dalam proses
penistaan martabatnya sendiri.

Seni atau bukan, bermutu atau tidaknya suatu karya, bagi posmo tidak ditentukan oleh
suatu kriteria obyektif, melainkan oleh ideologi politik yang dominan. Kaum Marxis atau
komunis akan membuat kriteria yang disebutnya realisme sosialis dengan semboyan seni
untuk rakyat, yang lain barangkali memperjuangkan yang disebutnya humanisme
universal dengan semboyan seni untuk seni. Semua aliran itu mengklaim kriterianya
obyektif, tetapi sebenarnya tujuannya menyeragamkan ukuran saja.

Posmodern menolak penyeragaman. Bagi modernis kriteria estetik lebih diletakkan pada
seniman, pada posmodern kriteria ada pada siapa saja. Memang kritik utama terhadap
posmodern adalah relativismenya yang bahkan menjurus ke anarkisme.

Rambu etika dan justisia

Namun jelas sudah, baik estetika modernis maupun posmodern, sama-sama menolak
pornografi, meski dengan alasan berbeda. Estetika modernis tegas menganggap
pornografi bukan seni dan merekomendasikan agar pornografi ditiadakan atau dikontrol
ketat karena secara sosial berbahaya. Estetika posmodern juga merekomendasikan
pornografi dienyahkan, bukan karena pertimbangan seni atau bukan seni, melainkan
karena mengeksploitasi keperempuanan sebagai komoditas, dan merendahkan martabat
perempuan. Jadi pornografi tidak dapat dibela dari dalam teori estetika, lama maupun
baru. Pornografi memang bukan masalah estetika, melainkan masalah etika.
Setiap masyarakat memiliki standar moralitas yang tanpa itu eksistensi masyarakat itu
sendiri goyah atau bahkan berakhir. Moralitas pada dasarnya berfungsi melindungi baik
dunia sosial bersama maupun dunia subyektif masing-masing individu. Tentu standar
moralitas itu juga berkembang bersama perkembangan masyarakat pendukungnya.
Potensi-potensi kreatif dalam masyarakat sewaktu-waktu akan tampil menawarkan
alternatif, juga unsur-unsur luar akan ikut bertarung mendapatkan tempat berpijak dalam
masyarakat.

Akan tetapi di pihak lain, masyarakat dan setiap anggotanya, berhak melindungi diri dan
eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekadar
bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti mempublikasikan gambar-
gambar erotik dan pornografi), maupun yang dikhawatirkan dapat membawa konsekuensi
fundamental terhadap tata-nilai dan tata-hubungan-sosial yang masih diakui (misalnya
tuntutan melegalkan homoseksual, perkawinan sesama jenis). Realisasi hak itu adalah
penggunaan institusi perangkat hukum yang ada oleh masyarakat. Inilah landasan moral
pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya.

Dan justru karena merupakan masalah etika, pornografi tidak dapat berlindung di
belakang kebebasan pers. Apa yang disebut kebebasan pers bukan kebebasan subyektif
yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan
dengan etika sosial. Artinya, kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya
pada ruang sosial bersama.

Kebebasan pers merupakan hak yang sifatnya korelatif, hak untuk terealisasinya hak lain,
yaitu hak warga untuk mendapat informasi serta hak menyatakan pendapat dan
mengontrol kekuasaan, kekuasaan negara atau pemerintah, tetapi juga kekuasaan
masyarakat, termasuk kekuasaan pers sendiri. Jadi dasar legitimasi kebebasan pers
konstruktif, tidak bisa destruktif. Adalah konstruktif, dan karenanya absah, apabila
kebebasan pers digunakan membongkar kasus perkosaan, tetapi adalah destruktif apabila
kebebasan pers itu digunakan menggambarkan secara sensasional bagaimana perkosaan
itu berlangsung.

Kata seorang pemikir, dalam diri setiap kita bertemu konflik kehendak dan hierarki
kehendak, dan moralitas dapat memberi petunjuk menentukan prioritas kehendak yang
tidak konflik dengan tata-nilai yang masih diakui absah dalam dunia sosial bersama.
Tetapi di tangan yang tak kompeten, kebebasan pers memang rawan penyalahgunaan.
Karena itu, di samping rambu etik, yang prinsip positifnya sudah dirumuskan sendiri
dalam yang disebut kode etik pers, kebebasan pers memerlukan juga kawalan rambu-
rambu yustisia.

Bur Rasuanto, pengarang, doktor dalam Filsafat Sosial.

Sumber: http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9908/11/opini/porn04.htm
Ingatan Sosial dan Etika Politik<center></center>

"Remember me," says King Hamlet to his son. Tell my story. Carry my memory, my
legacy, my legitimacy, into the next generation, to my people, to my children and
grandchildren. INGATAN pada mulanya bukan merupakan sebuah tindakan, tetapi
sejenis pengetahuan semisal persepsi, imajinasi, dan pemahaman. Ingatan memunculkan
pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, atau kelaluan dari peristiwa-peristiwa
masa lalu.

PEMIKIR Perancis Paul Ricoeur (1999), misalnya, mengungkapkan bahwa ingatan


memiliki dua jenis hubungan dengan masa lalu. Pertama adalah relasi pengetahuan,
sementara yang kedua adalah relasi tindakan. Kedua relasi ini muncul karena mengingat
merupakan jalan untuk melakukan segala hal, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga
dengan pikiran kita. Dalam mengingat atau mengenang kita menggunakan ingatan kita,
yang merupakan sejenis tindakan. Justru karena ingatan merupakan sebuah exercise,
maka kita dapat berbicara tentang penggunaan ingatan, yang pada gilirannya
memungkinkan kita berbicara tentang penyalahgunaan ingatan. Persoalan-persoalan etis
akan muncul begitu kita mulai merefleksikan hubungan antara penggunaan dan
penyalahgunaan ingatan ini.

Pendekatan terhadap ingatan sebagai cara melakukan segala hal dengan pikiran, atau
sebagai sebuah exercise, memiliki perjalanan panjang dalam sejarah filsafat. Dalam
Sophist, misalnya, Plato berbicara tentang "seni" mengimitasi (mimetike techne). Dalam
konteks ini, Plato membuat pembedaan antara phantastike techne ’yang tidak bisa
diandalkan’ dan eikastike techne yang berasal dari eikon Yunani ’citra’, yang mungkin
benar. Oleh karenanya, terdapat dua kemungkinan untuk mengimitasi atau mengenang:
phantastike techne, yang bisa keliru dan tidak dapat diandalkan, dan eikastike techne,
yang kemungkinan dapat diandalkan.

Setelah Plato, kita memiliki sejarah panjang tentang ars memoria, seni ingatan, yang
merupakan semacam pendidikan mengenai tindakan mengingat masa lalu. Dan di
penghujung tradisi yang memperlakukan ingatan sebagai seni ini berdiri Nietzsche
dengan risalah kedua dari Untimely Meditation yang diberi judul On the Advantage and
Disadvantage of History of Life. Ini menarik karena judul itu sendiri berkaitan dengan
"penggunaan", bukan penggunaan ingatan semata, tetapi penggunaan filsafat sejarah
dalam pengertian Hegelian, yaitu memperlakukan praktik sejarah sebagai sains.

Ingatan dan sejarah

Dalam konteks ini, menarik memerhatikan tesis sejarawan Perancis Pierre Nora (1996)
yang menganggap rememoration sebagai sebuah penulisan sejarah yang lebih menaruh
perhatian pada akibat daripada sebab suatu atau serangkaian kejadian. Sebagai satu jenis
historiografi, rememoration menafsirkan sejarah secara simbolik. Ia kurang berminat
pada memori sebagai ingatan semata-mata, tetapi lebih pada struktur menyeluruh masa
lampau di dalam masa kini. Pusat perhatiannya lebih pada konstruksi tentang suatu
peristiwa daripada dengan peristiwanya itu sendiri; lebih pada jejak-jejak yang
ditinggalkan suatu tindakan daripada dengan tindakannya itu sendiri; lebih pada
bagaimana suatu kejadian digunakan dan disalahgunakan di masa kini daripada dengan
"apa yang sesungguhnya terjadi" itu sendiri.

Contoh penulisan sejarah dengan sebagai rememoration semacam ini antara lain pernah
dilakukan oleh para kontributor The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java
and Bali (1990), buku yang kemudian disunting oleh Robert Cribb. Buku ini, demikian
ungkap Budiawan (2003), layak disebut sebagai satu bentuk rememoration sekurang-
kurangnya karena tiga hal.

Pertama, dengan menampilkan catatan-catatan tentang pembantaian massal di Jawa dan


Bali, apa pun perspektif yang diambil para penulis catatan itu, The Indonesian Killings
hendak menunjukkan bahwa goresan-goresan yang ditinggalkan pembantaian itu tetap
membekas pada memori kolektif (sebagian) masyarakat Indonesia, sekalipun tertindih
oleh wacana resmi yang dominan. Pembantaian yang meninggalkan goresan pada ingatan
itu pada gilirannya membentuk semacam struktur kepribadian kolektif yang curiga pada
kelompok lain, bersikap menjauhkan diri dari politik, dan mudah mengambinghitamkan
pihak lain. Hal-hal semacam ini turut menopang keberlangsungan rezim Orde Baru
hingga lebih dari tiga dasawarsa.

Kedua, dengan menyajikan analisis tentang efek-efek pembantaian massal semacam itu,
The Indonesian Killings mencoba memperlihatkan bahwa pembantaian massal yang
menyusul Gerakan 30 September 1965 bukan sekadar pembasmian PKI secara fisik,
tetapi sekaligus penyiapan mentalitas yang menerima kehadiran suatu orde baru yang
benar-benar terpisah dari orde sebelumnya. Istilah "Kesaktian Pancasila" menjadi simbol
dari keterputusan sejarah yang dramatis.

Ketiga, dengan menampilkan analisis tentang bagaimana wacana populer (film, novel,
cerita-cerita pendek) Orde Baru merekonstruksikan "apa yang terjadi di seputar 30
September 1965" dan masa-masa sesudahnya, The Indonesian Killings hendak
menunjukkan bagaimana Orde Baru mencitrakan dirinya sebagai "penyelamat negara dan
bangsa" dan sekaligus sebagai pihak yang bisa mengampuni mereka yang dianggap
keblinger atau mereka yang dituduh komunis. Wacana populer semacam ini turut
membentuk basis ideologis Orde Baru, yang menempatkan negara sebagai sumber
kebajikan termasuk bagi mereka yang dicap sebagai "pengkhianat" sekalipun.

Sayangnya, perhatian terhadap penulisan sejarah sebagai sebuah rememoration masih


kurang mendapat perhatian, baik dari sarjana Indonesia maupun sarjana luar negeri yang
konsen dengan persoalan-persoalan politik, sosial, ekonomi, dan budaya di Indonesia.
Lebih-lebih, masih ada kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang enggan mengakui
kebenaran sejarah masa lalu baik karena gengsi kekuasaan maupun karena merasa
kepentingannya terancam. Jika demikian halnya, sejarah sebagai rememoration akan
mencatat bagaimana usaha menempatkan masa lalu pada tempatnya selalu menemukan
hambatan. Masa lalu masih menjadi medan pertarungan antara mereka yang ingin
menjadikannya sebagai sejarah, dalam arti masa lalu yang telah berlalu, dan mereka yang
ingin memeliharanya sebagai hantu. Mereka yang memelihara masa lalu sebagai hantu
jelas tidak akan pernah belajar apa pun dari masa lalu. Mereka telah menjadi "sandera
dari masa lalu yang mereka bakukan sendiri" (Trouillot, 1995).

Padahal, seharusnya setiap orang bisa belajar dari masa lalu. Dalam kaitannya dengan
kekerasan masa lalu, baik pelaku maupun korban bisa mendapatkan pelajaran berharga
dari peristiwa kekerasan tersebut. Bagi pelaku, mengingat penderitaan korban di masa
lalu merupakan tanggung jawab etis yang harus dia lakukan agar kejahatan serupa tidak
terulang lagi. Lebih dari itu, ingatan akan penderitaan korban ini pun harus disampaikan
kepada anak cucunya sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan kemungkinan
munculnya korban-korban potensial dan pelaku- pelaku potensial atas kejahatan dan
kekerasan yang sama.

Bagi korban, ingatan akan kekerasan di masa lalu dapat menjadi referensi untuk meminta
pertanggungjawaban terhadap pelaku sebagai upaya rehabilitasi atas penderitaan yang
selama ini ditanggungnya. Dengan demikian, hak-hak korban sebagai manusia dan warga
negara diharapkan dapat dipulihkan dan proses hukum yang berlaku harus ditetapkan
dilaksanakan agar para korban mendapatkan rasa keadilan dan perlindungan yang
semestinya dia dapatkan sebagai warga negara merdeka.

Tiga pendekatan

Paul Ricoeur mengusulkan tiga macam pendekatan terhadap ingatan sosial agar kita bisa
sampai pada persoalan etika ingatan. Ketiga pendekatan tersebut adalah pendekatan
patologis-terapetik, pendekatan pragmatik, dan pendekatan etis-politis.

Pendekatan patologis-terapetik menuntut adanya perhatian yang serius karena di sinilah


penyalahgunaan-penyalahgunaan ingatan yang sering terjadi diakarkan pada sesuatu yang
kita sebut luka-luka dan goresan-goresan ingatan. Dalam hal ini kita memiliki contoh
yang baik berkaitan dengan kondisi Indonesia saat ini: pada tempat tertentu kita dapat
mengatakan bahwa kita terlalu banyak mengingat, sementara di tempat lain kita tidak
cukup dapat mengingat peristiwa tertentu, biasanya karena disengaja. Demikian juga,
kadang kita tidak cukup dapat melupakan sesuatu, tetapi di saat lain kita terlalu banyak
melupakannya.
Ada dua esai pendek yang ditulis Sigmund Freud, Remembering, Repetition, and
Working Through (Durcharbeiten), yang merupakan bagian dari kumpulan tulisan
Metapsychology (1914) dan dapat digunakan mendukung pendekatan pertama ini. Titik
tolak esai ini adalah sebuah insiden atau kecelakaan dalam kemajuan pengobatan
psikoanalitik, ketika pasien terus-menerus mengulangi pelbagai simtom, untuk
mendapatkan kemajuan menuju pengingatan-kembali, atau menuju rekonstruksi tentang
masa lalu yang dapat diterima dan dapat dipahami. Oleh karenanya, pendekatan pertama
ini terkait dengan persoalan resistensi dan represi dalam psikoanalisis.

Adalah menarik bahwa pada permulaan esai tersebut Freud mengatakan bahwa pasien
mengulang alih-alih mengingat. Karenanya, repetisi merupakan kendala untuk
mengingat. Pada tahap yang sama dalam esai tersebut, Freud mengatakan bahwa baik
dokter maupun pasien harus memiliki kesabaran: mereka harus bersabar dalam kaitannya
dengan simtom-simtom tersebut, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk
didamaikan dengan kemustahilan untuk langsung menuju pada kebenaran-jika memang
ada kebenaran yang terkait dengan masa lalu itu. Lebih dari itu, pasien juga harus
menerima penyakitnya agar dapat mengantisipasi saat ketika dirinya dapat didamaikan
dengan masa lalunya sendiri. Jalan menuju rekonsiliasi dengan diri sendiri inilah yang
justru merupakan sesuatu yang disebut oleh Freud sebagai "working through"
(Durcharbeiten). Dalam esai ini pula Freud memperkenalkan istilah penting "memory as
work" (Erinnerungarbite).

Esai kedua adalah Mourning and Melancholia. Dalam esai ini Freud berjuang
membedakan dukacita (mourning) dari melankolia (melancholia). Melalui esai ini dia
juga berbicara tentang "kerja" dukacita. Oleh karenanya, Paul Ricoeur berusaha
menggabungkan kedua ekspresi ini-work of memory dan work of mourning-mengingat
kerja ingatan merupakan sejenis dukacita, dan dukacita merupakan ujian yang
menyakitkan dalam memori.

Dukacita merupakan sebuah rekonsiliasi dengan hilangnya sebagian obyek- obyek cinta;
obyek-obyek cinta yang mungkin berupa pribadi, tetapi juga dapat berupa abstraksi-
abstraksi semisal tanah air dan kebebasan-cita-cita dalam segala bentuknya. Yang
dipertahankan dalam dukacita dan hilang dalam melankolia adalah harga diri. Inilah
sebabnya dalam melankolia terdapat keputusasaan dan kerinduan untuk didamaikan
dengan obyek tercinta yang telah hilang tanpa ada harapan akan rekonsiliasi.

Pada tahap ini, dukacita melindungi kita dari tren menuju melankolia ketika terdapat
sesuatu yang dia sebut "interiorisasi obyek cinta", yang menjadi bagian dari jiwa. Namun,
harga yang harus dibayar sangat mahal karena kita harus menyadari, langkah demi
langkah, tingkat demi tingkat, pelbagai tatanan yang didiktekan oleh realitas. Ia adalah
prinsip realitas melawan prinsip kesenangan. Dengan demikian, melankolia dapat
menjadi pendakuan permanen atas prinsip kesenangan.
Dalam konteks politik, ketika kita masih terlalu banyak mengingat peristiwa tertentu dan
kurang mengingat peristiwa yang lain menunjukkan bahwa kita masih berada pada sisi
yang sama, kita masih berada pada sisi repetisi dan melankolia. Adalah luka-luka dan
goresan- goresan sejarah yang diulang-ulang dalam kondisi melankolia. Oleh karenanya,
dukacita dan "working through" harus dilaksanakan bersama dalam perjuangan mencapai
akseptibilitas ingatan: ingatan tidak hanya harus dapat dipahami, tetapi juga harus dapat
diterima. Dan akseptibilitas inilah yang dipertaruhkan dalam kerja ingatan dan dukacita.
Keduanya merupakan tipe-tipe rekonsiliasi.

Dari sini kemudian kita dapat bergerak menuju pendekatan kedua di mana pelbagai
penyalahgunaan ingatan lebih mencolok. Pendekatan ini disebut "pragmatik" karena di
sinilah kita memiliki praksis ingatan. Ingatan sering tunduk pada penyalahgunaan karena
ingatan memiliki banyak hubungan dengan persoalan identitas. Kenyataannya, pelbagai
penyakit ingatan pada dasarnya merupakan penyakit-penyakit identitas. Ini disebabkan
karena identitas, baik personal maupun kolektif, selalu sekadar dianggap, didakukan,
didakukan-ulang; dan karena pertanyaan yang ada di balik problematika identitas adalah
"siapakah saya (who am I)?" kita cenderung memberikan jawaban berkaitan dengan
apakah kita (what we are). Kita berusaha memenuhi atau menyelesaikan pertanyaan-
pertanyaan yang dimulai dengan siapa dengan jawaban-jawaban apa. Jawaban apa
terhadap pertanyaan siapa ini sangat tidak tepat, rapuh, dan rawan terhadap
penyalahgunaan ingatan.

Setidaknya, ada dua alasan mengapa jawaban apa terhadap pertanyaan siapa ini tidak
tepat dan rapuh. Pertama, kita harus menghadapi kesulitan mempertahankan identitas
sepanjang masa. Inilah pendekatan yang, antara lain, dikembangkan oleh Paul Ricoeur
dalam Time and Narrative (1988), tetapi dari sudut pandang narasi, bukan sudut pandang
ingatan. Jadi, persoalan pertama muncul-bagaimana mempertahankan identitas sepanjang
masa-adalah persoalan yang dimunculkan baik melalui narasi maupun memori.
Mengapa? Karena kita selalu terombang-ambing di antara dua model identitas.

Analisis terhadap dua model identitas ini kemudian dilakukan oleh Ricoeur dalam
Oneself as Another (1992) dengan mengintroduksi dua istilah Latin: idem identity dan
ipse identity. Idem identity mengonotasikan kesamaan; kesamaan merupakan pendakuan
untuk tidak berubah dengan mengabaikan perjalanan waktu dan dengan mengabaikan
perubahan dari pelbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita dan dalam diri kita. Yang
kita sebut "karakter" kita merupakan contoh yang mungkin dari tipe identitas ini atau
level kesamaan ini. Namun, dalam kehidupan personal, kita membutuhkan sejenis
fleksibilitas, atau semacam identitas ganda, model yang bagi kita dapat menjadi janji,
yakni kemampuan menepati janji. Ini tidak sama dengan tetap tidak fleksibel atau tidak
berubah sepanjang masa. Sebaliknya, ia merupakan cara menghadapi perubahan, bukan
menyangkalnya. Inilah yang disebut ipse identity. Kesulitan untuk mampu menghadapi
pelbagai perubahan sepanjang masa merupakan satu alasan mengapa identitas menjadi
demikian rapuh.
Kedua, kita berhadapan dengan persoalan the other. Kelainan (otherness), pertama-tama
dijumpai sebagai ancaman terhadap diri kita. Adalah benar bahwa kita pada umumnya
merasa terancam dengan fakta bahwa ada orang lain yang hidup menurut standar-standar
kehidupan dan nilai-nilai yang bertentangan dengan standar kehidupan kita.
Kecenderungan untuk menolak, menyingkirkan, merupakan respons terhadap ancaman
yang datang dari the other ini.

Lebih dari itu, ada komponen lain yang menjelaskan kesulitan mempertahankan identitas
kita sepanjang masa, dan mempertahankan kedirian kita dalam berhadapan dengan the
other, yaitu kekerasan yang merupakan komponen permanen dalam hubungan dan
interaksi manusia. Bahkan, sebagian besar peristiwa yang berkaitan dengan pendirian
sebuah komunitas adalah tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa kekerasan. Jadi,
dapat dikatakan bahwa identitas kolektif berakar dalam pelbagai peristiwa pendirian yang
merupakan peristiwa-peristiwa kekerasan.

Dari sinilah kemudian terletak arti pentingnya pendekatan ketiga, yaitu kewajiban
mengingat. Pendekatan ketiga ini sudah memasuki wilayah etika politik karena ia
berhadapan dengan konstruksi masa depan: yaitu kewajiban mengingat bukan saja
dengan memiliki perhatian mendalam terhadap masa lalu, tetapi mentransmisikan makna
dari peristiwa-peristiwa masa lalu kepada generasi mendatang. Kewajiban mengingat erat
kaitannya dengan masa depan: ia merupakan imperatif yang diarahkan pada masa depan,
yang merupakan sisi sebaliknya dari karakter traumatik dari pelbagai penghinaan dan
luka sejarah.

Mengapa kita memiliki kewajiban mengingat? Pertama, karena ia merupakan perjuangan


melawan erosi jejak-jejak; kita harus menjaga jejak-jejak, jejak-jejak peristiwa, karena
terdapat kecenderungan umum untuk menghancurkan jejak-jejak itu. Aristoteles
mengatakan bahwa "time destroys more than it constructs." Alasan kedua lebih bersifat
etis. Dalam The Human Condition (1958), Hannah Arendt bertanya bagaimana mungkin
akan ada kontinuasi tindakan dengan mengabaikan kematian, dengan mengabaikan erosi
jejak-jejak. Sebagai jawabannya, Arendt mengusulkan dua syarat bagi apa yang
disebutnya sebagai kontinuasi tindakan: pengampunan dan janji. Mengampuni pada
dasarnya merupakan pembebasan dari beban masa lalu, sementara janji meneguhkan
kemampuan untuk terikat dengan ucapan kita sendiri. Arendt berhujah bahwa hanya umat
manusia yang mampu dibebaskan melalui pengampunan dan diikat melalui janji.

Alasan ketiga adalah kewajiban mengingat berarti terus-menerus menghidupkan ingatan


tentang penderitaan untuk melawan kecenderungan umum dalam sejarah untuk
merayakan para pemenang. Kita dapat mengatakan bahwa seluruh filsafat sejarah,
terutama dalam pengertian Hegelian, berkaitan dengan kumulasi keuntungan, kemajuan,
dan kemenangan. Semua yang tertinggal di belakang menjadi hilang. Oleh karenanya,
kita membutuhkan sejenis sejarah yang paralel tentang victimization, yang akan menjadi
counter bagi sejarah keberhasilan dan kemenangan, mengingat korban-korban sejarah-
mereka yang menderita, yang terhina, terlupakan- merupakan tugas dan tanggung jawab
kita semua.

Etika politik

Dalam konteks inilah agaknya pembicaraan tentang etika politik menjadi relevan.
Haryatmoko (2003) menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai etika politik
setidaknya karena tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu
politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak
mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan
perundangan. Di sinilah letak celah di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas.
Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan
mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi
indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak
akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik.
Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan
membangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil.
Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik.
Pernyataan "perubahan harus konstitusional" menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa
diabaikan begitu saja.

Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang
lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi
yang adil. Definisi etika politik ini membantu menganalisis korelasi antara tindakan
individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini,
pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan
untuk orang lain; (2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun
institusi-institusi yang adil.

Tiga tuntutan tersebut saling terkait. "Hidup bersama dan untuk orang lain" tidak
mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi
yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau
pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan
kebebasan yang mencegah warga negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan yang
saling merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap
institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini dimaksudkan
sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan konkret kebebasan
atau democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul,
kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.

Dalam konteks ini pembicaraan mengenai ingatan sosial erat kaitannya dengan etika
politik. Apalagi, pelbagai kasus kekerasan dan pembunuhan massal selalu terulang di
Indonesia. Dari pengalaman ini orang mulai curiga jangan- jangan tiadanya proses hukum
terhadap kekerasan dan pembunuhan yang terjadi merupakan upaya sistematik untuk
mengubur ingatan sosial.

Ingatan bukan sekadar bekas goresan, tetapi mengenal kembali bekas-bekas goresan itu.
Banyak dari bekas goresan ingatan manusia terhapus dan dilupakan. Ingatan bukan
keseluruhan dari masa lalu, tetapi bagian dari masa lalu yang terus hidup dalam diri orang
atau kelompok masyarakat yang tunduk pada representasi dan sudut pandang dewasa ini.
Maka, mengingat melibatkan usaha untuk memberi makna, upaya memverifikasi
hipotesis-hipotesis pengingat, membangun-kembali makna. Karenanya, menghidupkan
kembali ingatan sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha
tidak mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis, yang masih menghantui dan
melukai ingatan sosial. Bangsa yang tanpa ingatan sosial adalah bangsa tanpa masa
depan.

Paul Ricoeur mengingatkan akan pentingnya ingatan itu dengan ungkapan sebagai
berikut:

We must remember because remembering is a moral duty. We owe a debt to the victims.
And the tiniest way of paying out debt is to tell and retell what happened… by
remembering and telling, we not only prevent forgetfullness from killing the victims
twice; we also prevent their life stories from becoming banal… and the events from
appearing as necessary.

RUSLANI Mahasiswa S2 Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma,


Yogyakarta

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/01/Bentara/1781762.htm

Hidup yang Erotik (* Merevitalisasi Kehidupan Modern dengan Semangat Purba)


<center></center>

EROS, erotik, erotisme. Tiga kata ini akarnya sama. Suasananya juga sama: gelora
semangat purba yang atraktif dan menggoda. Menjijikkan bagi kaum saleh tapi
menggairahkan bagi orang kebanyakan, kotor bagi para pemeluk teguh tapi merangsang
bagi warga abangan, najis bagi umat alim tetapi tonikum vital bagi mereka yang letih lesu
dan berbeban berat.

Kata Gafni, eros adalah energi vital yang suci. Eros dan spiritualitas ternyata berkaitan
erat secara mendalam. Tegasnya, yang erotik dan yang kudus sebenarnya serupa dan
sama. Maka, hidup yang erotik adalah hidup yang sakral. Bahkan, tanpa eros kesucian
kita cuma ecek-ecek, tidak jenuin dari jiwa yang terdalam. Tanpa eros, kesalehan kita
pura-pura saja, tidak meresap sampai ke batin. Tanpa eros, tatanan etika kita di semua
tingkat: personal-interpersonal, profesional-organisasional, dan sosio-politikal cuma
topeng-topeng saja, membebani dan mematikan gairah. Dan kita tahu, tatanan semacam
ini akhirnya akan runtuh dari dalam meskipun dari luar terlihat masih utuh.

Hidup tanpa eros sepi dan kosong, yang ditandai dengan rasa resah melelahkan dan rasa
bosan menekan. Tekanan ini berasal dari sebuah ruang hampa di hati manusia. Itulah hati
yang sunyi-senyap dari gempita eros, yang hampa-kosong dari desah nafas eros. Lalu,
untuk menghindari tekanan itu, orang lari ke berbagai kesibukan. Tapi sebenarnya
kesibukan itu cuma sebuah laku penghindaran, avoidance–a-void-dance, sebuah tarian di
sekitar kehampaan. Meski terlihat sibuk, sesungguhnya aktivitas non-erotik itu adalah
sebuah tarian hampa, banal tanpa estetika. Dan untuk memenuhi kehampaan itu orang
mencari berbagai jenis gratifikasi seperti pesta narkoba, seks suka-suka, atau kekerasan
massal bergemuruh. Namun, lagi-lagi, sebenarnya tak ada pesta, tak ada sukacita. Sebab
ternyata, usai acara, semua pemesta kembali ke dunia nestapa.

Gafni memberi metafora. Seekor lebah terperangkap dalam botol. Dari luar, ia tampak
menari-nari penuh gairah, dari sisi ke sisi. Ia terbang meliuk-liuk, dari dasar ke puncak.
Namun, dari dalam sungguh malang. Sebenarnya tak ada tarian gembira. Tak ada liukan
bergairah. Yang ada cuma usaha tanpa harapan. Pelan tapi pasti, sang lebah mati
perlahan. Tercekik lunglai kehabisan oksigen. Kata Gafni, begitulah gaya hidup tanpa
eros yang dilakoni individu, keluarga, dan organisasi: palsu, menipu, lalu mati pelan-
pelan.

Tapi, bagai nabi, Gafni berjanji. Ada gaya hidup baru untuk kita semua: hidup penuh
sukacita kaya makna, hidup penuh cinta kaya warna, hidup penuh tari kaya dinamika. Di
situ kita dimungkinkan menikmati setiap momen penuh isi. Tak lagi terisolasi, tapi
terkoneksi. Tak lagi sepi sendiri, tapi larut berpartisipasi. Sesungguhnya kehidupan ini
menawarkan kesembuhan bagi luka-duka-nestapa kita. Maka, jangan pedih lagi sebab
tersedia senar bagi getar-getar ekstasi surgawi. Jangan perih lagi sebab terbuka akses bagi
arus sukacita ilahi. Jangan sedih lagi sebab ada tarian baru: tarian eros yang penuh gairah
dan cinta!

Siapakah Marc Gafni yang piawai berkata-kata indah mencekam ini? Dua buku, Soul
Prints dan The Mystery of Love, bagai sepasang roket membubungkan nama Marc Gafni
ke angkasa selebriti dalam atmosfer spiritualitas internasional, mirip kibar-kibar nama Aa
Gym di Indonesia. Gafni kini tampil sebagai suara baru dalam bentara kerohanian di
Israel, Eropa, dan Amerika. Ia memberikan banyak seminar tingkat pascasarjana tentang
mistisisme dan spiritualitas di berbagai universitas dunia dan secara rutin di Oxford,
Inggris. Gafni tak hanya diakui sebagai guru besar di bidang teks-teks kuno Yudaisme,
tetapi juga empu dalam pemahaman dan penjelasan serat-serat hati manusia modern.
Marc Gafni dianggap sealiran dengan guru-guru spiritual dunia seperti Jalaludin Rumi,
Scott Peck, dan Thomas More. Ciri utama mereka bukan fundamentalis bukan pula New
Ager, tapi lebih bersifat ekumenis. Artinya, mereka berakar kuat dalam tradisi agama
masing-masing, tapi cerdas menyapa jiwa umat dari berbagai agama lain. Mereka adalah
peziarah lintas batas sehingga mampu berbahasa universal: bahasa hati dan cinta. Tak
harus jadi Muslim untuk dicerahkan oleh Rumi. Tak harus jadi Protestan atau Katolik
untuk dicerahkan oleh Peck atau More. Dan, tak harus jadi Yahudi untuk dicerahkan oleh
Gafni. Membaca buku-buku mereka, kita merasa terterangi oleh filsuf cerdas yang bijak
bestari.

Lahir dan besar di Massachusetts, Amerika Serikat, Rabbi Gafni memiliki gelar tertinggi
di bidang filsafat. Gafni juga seorang pembicara inspirasional sehingga ruang-ruang
kuliahnya selalu penuh. Bahasanya menggugah nurani. Intelektualitasnya kelas tinggi,
tapi berbudi sangat pekerti. Ia sangat menguasai konsep-konsep biblikal yang
diuraikannya dengan indah dan segar sehingga mampu menggerakkan hati sidang
pendengarnya dari berbagai usia dan latar belakang. Orang disadarkan bahwa pesan-
pesan teks-teks purba tersebut ternyata sangat relevan bagi kehidupan modern.

Pindah ke Israel, Gafni mendirikan Bayit Chadash, sebuah padepokan spiritual yang
mendedikasikan diri pada renaisans Yudaisme. Gafni juga mengisi berbagai program dan
kolom di televisi dan jurnal yang mengupas tuntas etika dan spiritualitas modern yang
menyebarluas ke dalam budaya populer. Gafni juga adalah dekan dari Melitz Beit
Midrash, sebuah think-tank yang berwatak pluralistik dan salah satu lembaga pemikiran
tertua dan paling prestisius di Israel. Selain menulis empat buku teologi dalam bahasa
Ibrani, dia juga mengarang dua buku best-seller berbahasa Inggris seperti disebut di atas.
The Mistery of Love, buku sumber bagi tulisan ini, adalah sebuah buku serius tentang
filsafat dan teologi, bukan novel tentang kisah cinta kawula muda.

Wajah-wajah eros

Dalam bahasa Ibrani, Eros adalah Shechinah, secara spiritual dipahami dan dialami
sebagai Sang Feminin Agung: mother, daughter, and lover. Dialah sang penyayang dan
pengasih yang membuat semua ciptaan merasa tenteram, puas, dan lelas. Shechinah
berarti kehadiran di dalam, ’dia yang tinggal di dalam diri kita’. Dia merupakan energi
ilahi yang tak hanya mengalir melalui kita, tetapi juga mengandung semua kita. Ia
memelihara semua makhluk bahkan semua kehidupan dengan penuh kasih sayang,
sensualitas, dan erotisme.

Bedanya, dalam konsepsi Yunani, eros berkarakter maskulin. Dikenal sebagai dewa
kehidupan, cinta dan seks, Plato menyebutnya love plus. Eros merupakan daya kehidupan
yang esensial– menggerakkan benda-benda langit bahkan semua kehidupan–tapi juga
berbahaya karena bisa destruktif dan, kalau tak sanggup menjinakkannya, sebaiknya
dihindari. Secara spesifik eros berkonotasi seksualitas, fertilitas, dan reproduksi.
Dalam spiritualitas Ibrani, yang erotik tidaklah semata-mata sinonim dari yang seksual,
tetapi seluruh ekspresi kegairahan yang berkarakter ilahi dari dalam hati manusia yang
dimodelkan oleh seksualitas. Secara umum eros adalah tarikan magnetik yang mengikat
seluruh ciptaan dengan saling menghasrati menuju kesatuan yang utuh; pada elektron dan
proton sehingga atom tercipta, pada sepasang kekasih sehingga anak terlahir, atau pada
hati para mistikus sehingga ekstasi terjadi.

Namun, berabad-abad kemudian, kata erotik cuma berasosiasi dengan seksualitas saja.
Yang seksual adalah sebagian dari eros, bagian yang sempit sekali. Penyempitan makna
ini, dalam terminologi mistik Ibrani, disebut sebagai eros yang terbuang atau Shechinah
dalam pembuangan. Istilah terbuang dan pembuangan diambil dari pengalaman sejarah
bangsa Israel kuno yang pernah ditaklukkan dan ditawan Nebukadnezar, raja Babilonia.
Bangsa yang terbuang merasakan hidup yang sepi, kosong, dan sesak, sehingga tak dapat
berekspresi secara memadai.

Ke mana Shechinah atau eros terbuang? Jawabnya, ke wilayah seksual. Maka, jika seks
adalah satu-satunya kegiatan di mana kita bisa erotik, artinya Shechinah berada di
pembuangan. Dan jika gairah tinggi hanya bisa kita rasakan sesaat sebelum semburan
orgasme, maka hidup kita sebenarnya amat miskin. Eros telah jatuh sebagai sinonim dari
seks belaka. Artinya, kita sangat jauh dari gaya hidup erotik sejati.

Sekarang apa jati diri eros yang sejati itu, siapakah dia sesungguhnya? Menurut Gafni ada
empat wajah eros.

Pertama, eros berarti berada di dalam. Terlibat secara erotik berarti masuk jauh ke dalam,
terlibat total secara mendalam. Pada Bait Suci yang dibangun Salomo, di bagian paling
dalam terdapat ruang Ruang Mahakudus. Dalam bahasa Ibrani ruang itu disebut lefnai
lefnei ’yang di dalam dari yang di dalam’. Jadi, apa pun yang sungguh-sungguh
mendalam atau paling dalam pada hakikatnya adalah suci. Di sini, lawan kata suci bukan
cuma najis, tetapi juga dangkal, superfisial, atau permukaan. Dalam kuil kuno itu, adalah
seksualitas–yang disimbolkan oleh sepasang kerubim di atas tabut perjanjian dalam
postur saling berpelukan–yang menjadi model tentang bagaimana hidup secara erotik.
Maka, semua aktivitas di mana kita mampu tenggelam total di dalamnya, dalam artian
ini, merupakan aktivitas yang erotik dan kudus.

Eros mulai tereksitasi apabila kita menukik jauh sampai ke dalam, ke inti atau interior
dari apa yang kita kerjakan sehingga energi nuklirnya terlepas dan meluluhkan kita
bersama dengan aktivitas kita. Pada saat itu saya menyatu total dengan apa yang saya
kerjakan. Saya bukan lagi penulis yang bersusah payah menulis tetapi telah lenyap
menyatu dengan kegiatan menulis. Maka, saya adalah tulisan saya, dan tulisan saya
adalah saya. Meminjam Gary Zukav, penulis The Dancing Wu Li Masters, An Overview
of the New Physics, saya menari dengan eros!
Menari dengan eros berarti hidup dan mencintai secara erotik pada semua wilayah
kehidupan kita. Itulah artinya hidup suci. Sebagaimana suci tak seharusnya dibatasi oleh
keempat dinding rumah ibadah, maka eros juga seharusnya tidak boleh dibatasi oleh
kelambu bilik tidur. Eros mestinya tampil utuh sebagaimana adanya, sebagaimana
seharusnya. Itu berarti menikmati keunikan yang istimewa dari seorang teman, mencium
seluruh aroma rumput dan bunga-bungaan, merasakan semua sensasi semilir angin,
menikmati dahsyatnya rasa rindu yang mencekam, dan merasakan seluruh getaran jiwa
bersama segenap wajah kehidupan. Itu berarti menikmati gulung-gemulungnya ombak
cinta yang susul-menyusul bersama gelombang ekstasi yang meluluhkan tembok-tembok
kemarahan, kesepian, dan ketakutan kita. Sungguh, eros adalah sumber kenikmatan
tertinggi. Kenikmatan yang suci.

Kedua, eros berarti hadir sepenuhnya. Hadir berarti tampil penuh konsentrasi dalam
sebuah percakapan atau kegiatan sehingga kita mampu memetik sukacita dan martabat
darinya. Kita merasa penuh, tak lagi kosong. Dengan hadir, kita mampu melihat
keunikan, kompleksitas, dan kekayaan satu sama lain, serta keagungan ultimatnya.

Hadir juga berarti menunggu pemunculan. Shechinah sudah menunggu kita. Eros berada
di rumah, menanti kita agar segera masuk, menemuinya, dan menatap wajahnya dengan
rasa takjub sepuas hati. Pada saat itulah kita merasa sampai di posisi dan kondisi yang
kita harapkan. Jadi, eros adalah state of feeling di mana kita tak ingin lagi ke mana-mana
karena sadar bahwa kita sudah di sana. Lawan dari eros ialah keterasingan, sebuah
perasaan bahwa kita orang luar, tamu tak dinanti, orang yang tak diharapkan. Dalam
kondisi erotik, kita menikmati kesalingterhubungan yang utuh-teguh yang mengakar
tuntas dalam jaring-jaring kehidupan. Eros menyediakan ruang makna. Itulah kerja yang
memuaskan, relasi yang menyukakan, kehidupan sosial yang menggairahkan, aktivitas
yang membahagiakan. Kelaparan, keserakahan, korupsi, peperangan, serta berbagai
bentuk kekerasan pada Bumi dan sesama, semuanya adalah buah dari tiadanya eros.

Eros adalah kemampuan mengakses keabadian yang terkandung pada sebuah momen. Itu
berarti menikmati ketidakterbatasan total dari setiap momen yang mengalir. Maka, yang
erotik dan yang kudus hadir penuh di saat kini, dalam waktu yang serasa berhenti, saat
semua momen-masa-lalu dan momen-masa-depan menyatu lebur dalam sebuah
kekekalan subyektif.

Ketiga, eros adalah hasrat atau keinginan. Dalam Yudaisme, hasrat, keinginan, dan
kerinduan adalah ihwal yang suci. Eros adalah hasrat menjadi, memperoleh, dan
menikmati. Karena merindulah, maka kita ada dan terus mengada. Karena mendambalah,
maka kita menjadi dan terus menjadi. Selama di luar kita terpaksa mengabaikan dan
memadamkan hasrat hati kita. Namun, saat di dalam, saat kita hadir sepenuhnya, maka
kita dapat meraih semua yang kita dambakan dan impikan. Jadi, dalam kerinduanlah
terdapat keajaiban eros. Itulah senar-senar hati yang terus bergetar sensasional karena
dirangsang oleh apa yang kita hasrati sepenuh rindu. Diputus dari eros yang merindu
berarti dibiarkan mati sendiri dalam kerontangnya gurun sepi yang tak kenal belas
kasihan.

Depresi terburuk ialah depresi keinginan, yakni matinya hasrat. Dalam kondisi ini, kita
tak menginginkan apa pun lagi, tak mau ke mana pun lagi, tak sudi bertemu siapa pun
lagi, dan tak berselera makan apa pun lagi. Ketika hasrat yang autentik sudah tak ada lagi,
maka itulah apatisme sejati. Orang demikian sedang menuju mati.

Keempat, eros ialah kesalingterhubungan dengan semua kehidupan. Rindu, keinginan dan
hasrat selalu membisikkan bahwa kita saling terhubung. Kata religi (agama) berasal dari
bahasa Latin, ligare, artinya hubungan. Tujuan religi dengan demikian ialah
menghubungkan kembali semua kita. Niat agama ialah membawa kita ke ruang paling
dalam di mana kita saling berhadap-hadapan, bertatapan muka, dan dengan begitu
mengalami interkonektivitas batin dengan semua wajah realitas. Maka, memutus
hubungan dengan eros adalah sebuah dosa. Dosa di sini adalah separasi dan isolasi, yaitu
keterpisahan dari sumber kehidupan dan semua wajahnya. Dosa berarti keadaan yang
tragis. Tak hanya bahwa kita kehilangan sumber sukacita terbesar, tetapi sekaligus
memutuskan jejaring relasional kita dengan yang ilahi yang tanpanya seluruh tatanan
kehidupan ini akan runtuh.

Gafni menyebut ajaran baru tentang eros ini sebagai tantra Ibrani. Dalam bahasa
Sanskerta, salah satu makna kata tantra ialah memperluas. Jadi tantra Ibrani berarti
memperluas dimensi eros, melampaui yang seksual, ke semua wilayah nonseksual
kehidupan ini. Tegasnya, tantra Ibrani adalah sebuah cara menggunakan energi erotik
untuk manunggal dalam cinta dengan yang arus ilahi yang setiap saat mengalir ke dalam
dan melalui kita. Esensi ajaran ini ialah mentransformasikan seksualitas menjadi tuntunan
penuh kasih sayang menuju kepenuhan, kesukaan dan kebahagiaan integral. Eros!

Eros dan imajinasi

Satu kualitas inti dari eros ialah imajinasi. Keistimewaan imajinasi terletak pada
kemampuannya memberi bentuk pada kebenaran-kebenaran tinggi yang berasal dari
realitas ilahi. Bahasa dan rasio tak memadai melakukannya. Namun, imajinasi mampu.
Dan bagaikan nabi, imajinasi akan membawa pesan-pesan ilahi, berbicara, dan bernubuat
kepada dan melalui kita. Dengan imajinasi yang erotik, kita dimampukan mengakses
hikmat dan pimpinan Tuhan yang sangat kita perlukan dalam menavigasi kehidupan ke
depan. Namun, mengapa kita begitu lemah mengimajinasikan Tuhan? Jawabnya, karena
Shechinah berada di pembuangan. Erotisme berimajinasi sudah terbuang ke wilayah
seksual. Orang umumnya mudah berfantasi seksual, tapi sangat sulit berimajinasi di
wilayah nonseksual. Artinya, erotisme berfantasi telah impoten pada arena-arena lain
kehidupan ini di luar yang seksual.
Kata fantasi berasal dari bahasa Yunani, phantasi, kata kerja yang berarti membuat
tampak, menampilkan. Bagi orang Yunani kuno, berfantasi tak ada kaitannya dengan
seks. Berfantasi artinya membuat dunia para ilahi tampak melalui imajinasi. Itulah alam
spirit. Itulah dunia bentuk murni. Kita hampir tak pernah berfantasi ekonomi, berfantasi
sosial, atau berfantasi politik. Namun, berfantasi seksual sering, sepanjang waktu
malahan. Seperti eros, fantasi pun telah terbuang ke lembah seksual. Karenanya, kita pun
kehilangan kemampuan membuat tampak, membayangkan, mengimajinasikan, dan
mengembangkan visi-visi yang agung dan orisinal di bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Pemiskinan imajinasi yang erotik adalah terbuangnya Shechinah.

Krisis terbesar bukan ekonomi, politik, bahkan bukan moral. Namun, krisis imajinasi.
Orang kepentok pada jalan buntu karena tak mampu mengimajinasikan ulang hidupnya
secara berbeda dari apa yang sekarang dijalaninya. Status quo dipegang erat-erat karena
takut pada bayang-bayang ketidakpastian. Padahal, prasyarat bagi pertumbuhan ialah
kesediaan untuk melepaskan siapa aku sekarang demi meraih siapa aku esok dengan cara
membuang hal-hal yang sudah akrab tapi sebenarnya tak lagi berguna. Namun, ini hanya
mungkin dilakukan jika kita berani berjalan sampai ke tubir-tubir ketidakpastian.

Kadang ini berarti meninggalkan kampung halaman dan merantau ke negeri orang.
Namun, perantauan sejati tak harus berarti perpisahan dramatik dengan rumah dan masa
lalu kita. Ia lebih merupakan perantauan imajinasi. Imajinasi adalah perkakas untuk
merancang masa depan yang secara radikal berbeda dengan masa lalu dan hari ini.

Hanya dalam fantasi dan reimajinasilah kita dapat mengubah realitas kita. Dari dunia
internal inilah kita mengubah dunia eksternal kita. Inti hampir setiap krisis adalah sebuah
kegagalan berimajinasi. Tanpa lompatan imajinasi, tak ada kemajuan sejati, dan spirit
kehidupan pun bakal mati sesak di bawah naungan tempurungnya yang lusuh dan rapuh.

Eros and etos: lingkaran dan garis

Dalam sejarahnya, terutama di masa lampau, eros purba yang dipraktikkan bangsa-
bangsa kafir tampil dalam bentuk ritus-ritus tanpa etika, di mana pada puncak ekstasi
ibadah mereka, manusia, terutama anak-anak, dikorbankan di atas mezbah-mezbah para
dewa yang diiringi dengan pesta orgial yang dahsyat. Yahwe melalui nabi-nabiNya selalu
melarang orang Israel mengikuti ibadah-ibadah demikian. Namun, lebih banyak tak
berhasil. Sejak Salomo sampai pada waktu pembuangan ke Babel, pada sebagian besar
kurun sejarah itu, mereka terpengaruh dan terjatuh ke dalam ibadah-ibadah kafir yang
dicirikan oleh erotisme purba itu. Barulah sejak kembali dari Babel diadakan reformasi
keagamaan dan sosial di bawah pimpinan Esra dan Nehemia.

Pertanyaannya, mengapa bangsa yang dilengkapi dengan etika biblikal, yaitu hukum-
hukum Taurat, bisa jatuh ke dalam eros yang nonetis? Jawabannya, ketika eros dan etika
bertentangan secara superfisial, maka eros selalu menang. Gafni mengibaratkan moralitas
eros sebagai lingkaran dan moralitas etika sebagai garis. Dalam lingkaran murni, yaitu
eros rendah, terdapat energi purba yang dahsyatnya tak mungkin dilawan justru karena
dalam pusaran ekstasi eros tersebut orang mengalami keutuhan yang menyeluruh secara
dahsyat. Sebaliknya moralitas garis, yaitu moralitas hukum dan etika, yang sebenarnya
bertentangan dengan nature kemanusiaan kita, akan selalu gagal memenuhi tuntutan
kontrak-kontraknya.

Jadi, bagaimana sebenarnya hubungan antara eros dan etos? Jawabnya, seperti hubungan
dua wajah koin yang sama. Pada analisis terakhir, tatanan etika dan hukum, tanpa eros,
akan runtuh berkeping-keping. Kegagalan etika terjadi karena eros tidak menjiwainya.
Tegasnya, etika yang tidak berakar teguh pada eros akan runtuh karena, bagaimanapun,
bagaikan satelit yang secara abadi di bawah pengaruh gravitasi Bumi, jiwa manusia pun
selalu merindu sangat berat pada eros, selamanya.

Namun, jika etika kita pelajari dan dalami secara serius sampai ke level hakikat, maka
kita akan bertemu dengan eros yang menyala-nyala dan selanjutnya akan berfungsi
menjadi energi dalam penghayatan dan ekspresi etika itu sendiri. Pada saat inilah etika
menjadi etos. Etika tidak lagi hanya sekumpulan norma tertulis tetapi sudah menjadi
praktik nyata. Etika tak lagi sekadar huruf-huruf yang tertulis di atas kertas, tetapi tertulis
di hati kita. Pada saat itu pula etos menjadi ekspresi erotik dari diri ilahi kita. Agar etika
bisa dahsyat dan berwibawa, ia harus merupakan pengejawantahan erotik dari diri ilahi
kita, bukan berkontradiksi.

Etika akan mati tanpa eros dan eros tidak bisa hidup tanpa etika. Tujuan akhirnya adalah
integrasi. Yang erotik dan yang etis, lingkaran dan garis, harus menyatu-padu sebagai
ekspresi total kemanusiaan kita dalam lingkungan kehidupan ini. Eros harus
diekspansikan ke wilayah etika bahkan ke seluruh wilayah kehidupan kita. Dengan
demikian, kita dimungkinkan menciptakan suatu masyarakat yang dicirikan oleh keadilan
yang erotik, kebenaran yang erotik, dan kebajikan yang erotik.

Jansen H Sinamo, Direktur Institut Darma Mahardika, Jakarta

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/06/Bentara/1298903.htm

Humanisme Sudah Mati? <center></center>

HARI Kamis (20/3/2003) lalu, Bumi dilanda keterperangahan, keterpanaan, dan


keterdiaman massal, meresapi kenyataan bahwa kerasnya pesan menolak perang atas
nama kemanusiaan, politik, ekonomi, atau agama yang dikirim seluruh dunia kepada AS
dan sekutunya, lumer bak lelehan es krim. Meski gelombang protes telah dan terus
mengalir secara spektakuler dari seluruh penjuru dunia, invasi ke Irak tetap terjadi.
Lonceng kematian bagi humanisme?

Judul ini diadopsi dari salah satu tema diskusi Komunitas Bambu akhir September 2000.
Diskusi dibawakan oleh Hendra Pasuhuk, jurnalis Deutsche Welle, memaparkan situasi
terakhir ketegangan filsafat di Jerman saat itu akibat kontroversi pemikiran Peter
Sloterdijk saat menuduh humanisme gagal membawa perbaikan pada peradaban manusia.

Tesis Sloterdijk mempunyai makna yang amat penting untuk dikaji lagi terutama dalam
upaya memaknai konflik global baru-baru ini akibat agresi militer AS dan sekutunya ke
Irak, tentunya dari sudut pandang kemanusiaan.

KERIBUTAN dimulai saat Sloterdijk membawakan papernya Regeln für den


Menschenpark. Ein Antwortschreiben zum Brief über den Humanismus (Aturan untuk
Kebun Manusia. Sebuah jawaban atas Surat tentang Humanisme), dalam simposium
filsafat internasional di Bavaria yang bertema: Exodus from Being, Philosophy after
Heidegger, Juli 1999.

Menurut profesor filsafat dan aestetik dari Karlsruhe, Jerman, ini, filsafat sejauh ini pasif
mengamati perilaku sainstek. Padahal, aktivitas sainstek telah menjarah domain konflik
etika serius yang bahkan belum pernah tuntas dikerjakan filsafat. Sloterdijk menggugat
gagasan humanisme yang ada kini dan konsep-konsep "mendidik manusia" yang
dilahirkan karena dianggap tak mampu menjawab persoalan kemanusiaan di masa depan.

Ia mengusulkan agar manusia segera menyusun aturan orientasi etika baru sebagai
respons atas perkembangan teknologi rekayasa genetika. Aturan ini diarahkan sebagai
pedoman teknologi eugenik (teknik pemilihan gen-gen sempurna) yang bakal
menghasilkan populasi manusia yang lebih beradab. Bila selama ini otoritas
pembentukan manusia dipegang oleh kultur, sejalan dengan aturan-aturan seleksi dan
kombinasi manusia melalui interaksi antarkelas, kasta, perkawinan, dan sebagainya, kini
kita harus menerima kenyataan bahwa kemajuan bioteknologi telah membuka peluang
lahirnya model aturan dan kombinasi yang baru. Strategi ini dianggap jauh lebih baik dan
bertanggung jawab karena manusia bisa aktif mengendalikan masa depan dan
memastikan peradaban berkembang ke arah yang lebih baik.

Sloterdijk jelas provokatif. Tesisnya tak cuma menohok kegagalan humanisme itu
sendiri, tetapi juga mengoyak luka lama bangsa Jerman karena memakai istilah seperti:
Selektion (seleksi), Menschenzähmung (pembentukan manusia), Menschenzucht
(peternakan manusia), dan Antropotechnik (rekayasa manusia). Dalam kaidah bahasa
Jerman, kontemporer istilah-istilah itu belakangan tak digunakan karena membawa
kenangan buruk saat rezim Nazi mencoba membuat manusia Aria sempurna dan aktivitas
Dr Josef Mengele di kamp pembantaian Auschwitz. Serunya lagi, Sloterdijk membacakan
papernya dalam simposium yang disponsori komunitas Yahudi!

Terang saja kecaman segera berdatangan. Kalangan penjaga moral seperti agamawan
mengecam ide-ide rekayasa manusia. Sementara komunitas filsuf sayap kiri dari mazhab
Frankfurt dimotori Jurgen Habermas membantah kegagalan humanisme dan bereaksi
keras dengan menyebut koleganya ini sebagai "fasis".

DI luar hingar-bingar wacana itu, ada pesan signifikan dari Sloterdijk; apakah benar
manusia mampu mengendalikan peradaban agar berkembang ke arah yang lebih baik?
Era modernitas, yang merupakan keniscayaan bagi humanisme, ternyata malah menandai
kembalinya peradaban barbar, di mana angka perilaku kekerasan dan kekejaman manusia
terus bertambah. Modernitas juga tidak berbanding lurus dengan peningkatan atau
keberlanjutan kualitas kemanusiaan peradaban manusia. Kemiskinan tetap menjadi
fenomena universal, ditambah meningkatnya suhu ketegangan sosial, konflik, dan
menjamurnya kecurigaan di tingkat lokal, regional, sampai internasional.

Premis dasar Sloterdijk ini kembali terasa relevan saat kita menyaksikan AS dan
sekutunya menginvasi Irak tanpa mandat PBB, sebuah otoritas hukum internasional
tertinggi yang eksistensinya merupakan simbol peak experience humanisme. Berbagai
upaya diplomatik dan unjuk rasa tak mampu mencegah invasi itu. Kenyataan ini selain
melukai rasa kemanusiaan, juga menindas prinsip- prinsip dasar humanisme yang
mempercayai etika dan moralitas sebagai basis segala hubungan antarmanusia di Bumi.
Padahal, semangat inilah yang mendorong manusia menyusun deklarasi HAM sebagai
spirit PBB. Patutlah bila kini kita mengevaluasi ulang berapa besar komitmen kita
terhadap kemanusiaan, dan apakah humanisme, sebagai ideologi yang mengadvokasinya,
perlu direvisi ulang.

SEPERTI halnya agama, humanisme memiliki kekuatan karena bersifat utopis, yakin
bahwa situasi ideal dapat dicapai berkat sifat-sifat baik manusia. Karenanya, filsafat
humanisme mengkritik Freud yang dianggap mengabaikan potensi-potensi positif dari
manusia, seperti kebaikan, kasih sayang, berbagi, dan kedermawanan. Padahal, gara-gara
terlalu percaya diri, humanisme lupa bahwa manusia punya potensi negatif yang acapkali
lebih dominan daripada potensi positifnya. Terlelap dalam utopia berkepanjangan, ia
membiarkan manusia memerkosa prinsip-prinsipnya dengan leluasa.

Invasi AS ke Irak ini merefleksikan seriusnya konflik yang diderita humanisme. Dalam
Manifesto I-nya di tahun 1933, semangat gerakan humanisme adalah "satu dunia" (One
World) di mana, "semua manusia bersaudara" (Alle Menschen werden Brüder).
Humanisme ditujukan untuk mencapai tatanan masyarakat bebas dan universal, di mana
manusia berpartisipasi secara cerdas dan sukarela untuk mencapai kebaikan bersama.
Ketika kemudian "universal" menjadi istilah yang kabur mengingat komposisi geopolitik
dunia kala itu amat tegang, empat puluh tahun kemudian Manifesto Humanisme II
memperjelas arti "universal" sebagai penolakan kategorisasi manusia berdasar
kebangsaannya.

Sayang, tatanan dunia justru terbangun oleh kategorisasi-kategorisasi yang saling


bersaing secara tidak imbang, seperti ekonomi-politik, kebangsaan, fundamentalisme,
atau agama, yang lalu berimbas pada mekanisme distribusi akses kebutuhan manusia.
Mengingat humanisme lahir dari kalangan elite intelektual, kelas menengah, mapan, dan
liberal, ada masalah saat mendefinisikan universalitas cara pandang dalam memahami
manusia dan nilai-nilai hidupnya. Sebagian berpendapat globalisme dan
kosmopolitanisme adalah baik dan tepat, sebagian lagi menganggap ide-ide global justru
menjadi penghalang mencapai makna hidup yang tertinggi.

Bukannya mencoba menyelesaikan masalah ini, langsung ke akar, humanisme malah


sering membiarkan diri terjebak dalam situasi dilematis seperti digambarkan Paul Tillich
dalam karya Love, Power, and Justice; haruskah cinta yang kita rasakan pada seseorang
yang telah melakukan tindak kejahatan membebaskan kita dari kewajiban menegakkan
keadilan?

Tokoh humanis progresif AS, Carleton Coon, awalnya menentang aksi militer AS ke
Irak, namun saat keputusan perang dijatuhkan, ia tak punya pilihan lain selain
mendukung pemerintahnya dan tentara yang berjuang atas nama negerinya. Menurut dia,
yang perlu dikerjakan adalah memastikan pembangunan kembali Irak dalam kerangka
kemanusiaan (persis seperti bunyi pamflet kampanye perang AS).

Jepang juga memanfaatkan "dukungan kemanusiaan" sebagai ujud dukungannya terhadap


perilaku AS karena konstitusi Jepang melarangnya terlibat secara militer dalam pertikaian
negara lain. Kedua ilustrasi ini menggambarkan, humanisme kedodoran dalam
mempertahankan visi gerakannya sehingga mudah di-abuse oleh kepentingan minoritas-
dominan seperti nasionalisme atau ekonomi-politik.

Selain itu, sama seperti filsafat, humanisme juga keteteran menghadapi sainstek. Ia lupa
bahwa bagi manusia, teknologi adalah representasi kesuksesan. Wajar bila teknologi turut
berpartisipasi dalam merajut konflik antarbudaya dan kepentingan ekonomi. Sejarah
membuktikan, manusia kini tak lagi menunggu saja sesuatu terjadi, ia akan dan mampu
membuatnya terjadi. Inilah yang digambarkan Martin Heidegger sebagai karakteristik
relasi antara teknologi produksi dan kepentingan ekonomi satu sisi, dan antara
etnoteknologi dan perang, di sisi lain. Perang dipandang penting oleh kalangan bisnis dan
pimpinan politik-militer sebagai ajang menjual diri dan meraup keuntungan di tengah
persaingan dengan para kompetitor dan musuhnya, tak peduli ketika karakter psikologis
dunia lantas didominasi asumsi-asumsi paranoid yang bakal terus termanifestasi dalam
aneka bentuk kekerasan.
Buat mereka, ini bukan masalah karena justru berarti keuntungan. Tetapi, bagaimana
dengan manusia lainnya yang cuma bisa jadi penonton? Apakah kita harus membesarkan
anak dalam atmosfer kebencian dan kekerasan lengkap dengan senjatanya dan
membiarkan humanisme (baca: PBB) jadi dekor saja dalam adegan peperangan yang kita
saksikan live dari televisi. Inilah kegelisahan yang dirasakan Sloterdijk saat sadar bahwa
manusia bakal sulit lepas dari jerat konspirasi teknologi-bisnis-kekuasaan.

Dari sini gerakan humanisme dunia masa kini dan mendatang jadi makin penting. Logika
humanismenya harus dibenahi dan tidak membiarkan pelanggaran atas prinsipnya
diklaim sebagai suatu keharusan ekonomi-politik. Betapapun pesimisnya, langkah ke
sana tetap harus dilakukan untuk membangun kembali kepercayaan diri bahwa manusia
mampu menyiapkan masa depan terbaik buat generasi penerus. Bila tidak, mungkin tesis
Sloterdijk menjadi satu-satunya alternatif yang masuk akal.

Erita Narhetali Direktur Lembaga Studi Anak Marjinal (LSAM)

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/27/opini/215166.htm

Nalar Puitis sebagai Metafilsafat<center></center>

PERTENGKARAN keluarga dalam kubu humanisme terus berdengung sampai sekarang.


Pertengkaran antara kubu pembela nalar di satu sisi dan kubu pembela naluri di sisi lain.
Antara yang Cartesian dan yang Nietzschean. Para Cartesian menuduh pembela naluri
merendahkan manusia. "Cogito ergo sum!" jerit mereka. Kodrat manusia terpusat pada
nalar, bukan nalurinya. Naluri dilempar dari kemanusiaan karena mempersandingkan
manusia dengan hewan. Bersembunyi di balik Cogito, manusia berada di puncak hierarki
gradasi wujud.

Nalar mengandaikan semesta yang hadir dan bisa dimengerti. Bersembunyi di baliknya
adalah iman akan ketersambungan antara pikiran dan kenyataan. Naluri, di lain pihak,
memiliki modus berpikirnya sendiri. Dengannya, manusia melampaui yang hewani dan
manusiawi sekaligus. Naluri untuk penguasaan Nietzsche, misalnya, mengenyahkan
logos yang membentang di luar, namun diam-diam menariknya ke dalam.

Dua tradisi yang berseteru seolah-olah berdiri berseberangan. Namun, sesungguhnya


mereka berbagi iman yang sama secara epistemo-ontologis. Semesta ini asing. Dan,
transenden ini hanya bisa disingkap apabila ontologi manusia ditelanjangi bulat-bulat.
Descartes mengerti manusia sebagai substansi yang berpikir, sedangkan Nietzsche
memahami manusia sebagai naluri untuk penguasaan. Bertolak dari itulah semesta ditarik
dari persembunyiannya. Kodrat manusia adalah kunci utama pembuka pintu rahasia
semesta raya.
Apabila yang transenden menjadi titik tolak tradisi teori pengetahuan dalam filsafat, tidak
demikian halnya dengan puisi. Bagi puisi, kenyataan selalu sudah menampilkan dirinya
dalam bahasa. Kenyataan adalah semata-mata soal modus pengucapan. Maka, tinimbang
mencari ketelanjangan sebuah rahasia, puisi mengerahkan tenaganya untuk menelusuri
modus pengucapan baru. Alternatif yang dikejar adalah modus pengucapan
representasional bahasa sains dan filsafat, sebuah modus pengucapan yang mengandaikan
keterwakilan semiotis realitas dalam bahasa.

Puisi tidak melentingkan kita ke tanah tak berjejak. Ia tak berpeluh-peluh mengejar
kebenaran sejati. Ia tidak melakukan penyingkapan apa pun. Yang ia kejar semata-mata
kosakata baru realitas. Muara perbincangan ini adalah filsafat yang membujur kaku.
Refleksi atas puisi adalah akhir hayat filsafat. Para filsuf terkaget-kaget saat mendapati
bangkai epistemologis yang disisakan puisi, seperti saat Nietzsche menemukan "yang tak
berasal" setelah merefleksikan puisi-puisi klasik Yunani. Atau Heidegger yang
menghentikan proyek ontologi fundamentalnya setelah membaca puisi-puisi Holderlin.
Pembelokan sastra, literary turn, sedang menggayuti jagat pemikiran kontemporer. Nalar
yang notabene merupakan peranti rohani utama filsafat dalam membuka segel
epistemologis sedang mencapai titik nadirnya. Saya membaca gejala ini sebagai gejala
metamorfosis nalar menuju bentuknya yang puitis.

Metafilsafat

Collin McGinn, salah satu filsuf Amerika kontemporer, melontarkan gagasan tentang apa
yang disebutnya sebagai metafilsafat. Sebuah penyelidikan filosofis tentang apa
sesungguhnya kodrat dari persoalan filsafat, kemungkinan pengetahuan filosofis dan
metode yang diadopsi demi kemajuan filsafat. Sebuah filsafat tentang filsafat. Menurut
McGinn, ada dua tradisi besar metafilsafat yang saling bertolak belakang. Pertama adalah
tradisi Platonian. Tradisi ini berkeras bahwa persoalan filsafat adalah persoalan esoteris.
Filsafat adalah disiplin yang memacu nalar manusia menggapai "yang esoteris". Tradisi
kedua adalah Wittgensteinian. Bertolak belakang dengan Plato, Wittgenstein menolak
apa yang disebut sebagai persoalan esoteris filsafat. Persoalan filsafat sesungguhnya
adalah persoalan bahasa. Pertanyaan filosofis menjadi semu dan tak bermakna akibat
penyalahgunaan bahasa. Dengan kata lain, persoalan filsafat sesungguhnya adalah soal
penyembuhan bahasa.

Tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair ("Bentara", Kompas, 2 Mei 2003),
berusaha mendamaikan dua tradisi metafilsafat tersebut dengan mengajukan hipotesis
nalar puitis. Nalar puitis tidak berkonsentrasi pada persoalan yang absolut-esoteris,
namun tidak juga mengalah pada jerat kebahasaan belaka. Nalar puitis adalah nalar yang
selalu peka terhadap yang transenden berdasarkan postulatnya akan kodrat semiotis
kenyataan. Selalu ada yang bergentayangan di luar modus pengucapan yang dominan.
Itulah yang dikejar oleh nalar puitis. Oleh karena itu, modus bernalar biasa harus
ditinggalkan. Modus bernalar yang mencari kodrat harus digeser oleh modus bernalar
yang mencari modus pengucapan baru. Konsentrasinya bukan pada jawaban positif,
tetapi pada pertanyaan-pertanyaan asali guna menemukan modus pengucapan baru.

Heidegger meletakkan fondasi awal bagi metafilsafat nalar puitis. Bernalar bagi
Heidegger adalah keunggulan filsafat. Karenanya, filsafat harus memiliki modus bernalar
yang melebihi ilmu-ilmu positif, yakni modus yang tidak berkonsentrasi pada jawaban
positif melainkan, seperti diisyaratkan Russel, melulu prihatin pada pelebaran ruang
imajinasi nalar kita sendiri. Pelebaran yang sesekali harus melontarkan pertanyaan pada
pertanyaan filosofis itu sendiri. Ini yang dilakukan Heidegger saat mengajukan
pertanyaan terhadap seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari Yunani klasik sampai modern.
Bagi Heidegger, semua pertanyaan itu harus dipertanyakan ulang karena tidak bertanya
tentang Ada yang sesungguhnya, yaitu Ada yang menopang segala adaan. Para filsuf
terlalu asyik bertanya sehingga melupakan perbedaan kentara antara Ada dan ada.

Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang berlontaran dalam sejarah tak mampu menampung


transendensi sang Ada. Kelumpuhan ini, menurut Heidegger, disebabkan oleh filsafat
yang masih berkutat dengan nalar epistemologis, nalar yang mengejar keakuratan
representasi antara benak dan kenyataan, nalar yang mewakili bukan menyingkap.
Sejarah filsafat adalah sejarah nalar epistemologis. Mulai dari filsuf Milesian yang coba
menalar kodrat semesta sesungguhnya, sampai Descartes yang menelanjangi kodrat
kognitif manusia sebagai dasar pengetahuannya tentang dunia. Bahkan, Nietzsche yang
dituduh pelbagai pihak antinalar sesungguhnya masih terjebak dalam sejarah nalar
epistemologis saat menelanjangi kodrat manusia sebagai naluri untuk penguasaan.

Saat nalar kehilangan kepekaannya pada yang transenden, kidung bait-bait puisi dalam
tubuhnya pun lamat-lamat menghilang. Kondisi ini diperparah lewat lahirnya sains pada
abad ke-17 sebagai wujud sempurna filsafat alam. Sains membekukan geliat nalar pada
pandangan dunia mekanisme yang telah menghilangkan dunia dari kemisteriusan.
Pengeringan dunia dari yang asing ini membuat nalar kehilangan kemampuannya
membawa kita ke tanah tak berjejak. Nalar pun sekadar kalkulasi, bukan eksplorasi. Ini
yang dimaksud Heidegger saat mengejek fisika sebagai semata-mata kalkulasi, bukan
pemikiran.

Kematian nalar puitis adalah saat nalar terjebak pada fungsi metodologisnya. Nalar yang
melulu bersibuk dengan langkah-langkah menemukan kebenaran, bukan menciptakan.
Metode dalam menentukan yang benar maupun yang baik. Padahal, seperti dikemukakan
Whitehead, spekulasi nalar tidak terjerat oleh metode. Ia mentransendenkan semua
metode. Nalar adalah naluri dasar manusia yang senantiasa merindu pada yang tak
terbatas. Ini yang membuat sebuah kemajuan dimungkinkan.

Naluri kerinduan nalar pada yang transenden redup saat nalar difungsikan semata-mata
secara komunitarian. Saat nalar terkurung oleh kategori-kategori kultural, jelajah nalar
puitis pun mandek secara historis. Ia menjadi ansilla historica, hamba sejarah. Sebuah
kesia-siaan yang tak perlu. Kesia-siaan yang dituduhkan para pembela nalar kepada para
neosofis yang antikebenaran tunggal. Nalar identik dengan universalisme, kata mereka.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah pilihan antara relativisme dan universalisme
adalah sebuah pilihan dikotomis.

Saya menyodorkan hipotesis nalar puitis sebagai muara metamorfosis nalar manusia
setelah pengejaran terhadap yang transenden dihentikan. Hipotesis yang ternyata banyak
mendapat reaksi keras pelbagai pihak. Sebagian menafsirkannya sebagai maklumat
hukuman mati bagi nalar. Tuduhan yang berpijak pada sangkaan pengulangan gagasan
aleitheia Heidegger dalam hipotesis saya. Tuduhan-tuduhan itu cukup berdasar. Hanya
serangan terakhir yang terdengar menggelikan. Saya dituduh memutlakkan jalan puisi.
Sungguhkah demikian?

Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukan puisi. Puisi bagi saya sekadar metafora bagi
kemampuan nalar membuka modus-modus pengucapan baru tentang jagat raya.
Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi mengejar kebenaran
bukan kelainan. Pengejaran yang sadar atau tidak disadari menggendong sebuah
pandangan dunia tertentu. Fisika, misalnya, dicela Heidegger sebagai semata-mata
kalkulasi bukan pemikiran. Mengapa? Karena fisika tak bisa melepaskan diri dari
pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus menghitung-hitung gerak-gerik semesta
tanpa menghasilkan sebuah modus pengucapan alternatif.

Nalar puitis juga bukan sekadar keisengan yang antinalar. Nalar puitis adalah nalar yang
selalu terjaga pada "kelainan". "Kelainan" berbeda dengan yang transenden. Transendensi
adalah modus epistemologis, sementara "kelainan" adalah modus puitis. Di mana letak
perbedaannya? Modus epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah. Tanah
berjejak yang ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya lebih rendah
ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara "kelainan", sebaliknya, tidak
berurusan dengan kategori benar-salah. Ia semata-mata sebuah kemungkinan baru dalam
berbincang-bincang tentang semesta. Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara
kebahasaan. Yang dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah
kosakata baru tanpa klaim epistemologis apa pun.

Selanjutnya, apakah nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa "aleitheia" Martin


Heidegger? Saat Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang bahasa sebagai rumah
Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan dengan apa yang saya maksud. Namun, ketika
itu semua diletakkan dalam proyek pencarian Ada, maka ia terjebak dalam epistemologi.
Berpikir seharusnya bukan mencari Ada, melainkan membangun rumah-rumah Ada yang
baru. Aroma epistemologis semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang
Dasein otentik yang mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak
Dasein, yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia tenggelam
dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok Heidegger dari kacamata
nalar puitis.
Matinya epistemologi

Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis berhenti bersuara saat pertanyaan
menjelma pengalaman yang pada gilirannya menukik pada pengetahuan. Sejarah adalah
hasil sedimentasi pengetahuan yang bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar puitis.
Sedimentasi yang menebal itulah yang membuat kita tidak lagi bertanya. Kalaupun
bertanya, maka pertanyaan itu sekadar pertanyaan komunitaris. Pertanyaan yang sudah
diarahkan jawabannya oleh kesepakatan epistemik satu komunitas. Ia tak bisa menembus
belenggu epistemologi yang dirajutnya sendiri. Kita sedang hidup di masa yang
melupakan apakah.

Benarkah demikian? Nietzsche dalam bukunya, Beyond Good and Evil, mempersoalkan
klaim universalitas yang baik dan yang jahat. Yang baik dan yang jahat, menurut
Nietzsche, adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah secara moral. Ia adalah
sebentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan. Persoalan ini sepintas persoalan
aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya ia adalah persoalan epistemologis
(pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik dan yang buruk adalah buatan
tangan sejarah. Konsekuensinya adalah itu bukan pilihan satu-satunya. Kita bisa merajut
fiksi baru untuk mendongkelnya.

Berakar dari proyek-proyek genealoginya, Nietzsche pun dituduh sebagai pendaur ulang
klaim-klaim relativisme kaum sofis, gagasan yang mendapatkan pembenaran dari hampir
semua komentatornya. Saya sendiri akan bertanya, apakah Nietzsche sedang
mempraktikkan nalar komunitaris yang tak berpuisi? Atau, sungguhkah Nietzsche bisa
dijebloskan masuk pada barisan antitransenden? Padahal, kalau membuka halaman demi
halaman buku-bukunya, kita menemukan jarum-jarum aforisme yang tajam menghunjam
indra. Buku-bukunya adalah puisi panjang tentang kealpaan yang disahkan sejarah.

Nietzsche, sebaliknya, justru menjalankan nalar puitis guna mencari gramatika


epistemologi moral baru. Nietzsche membebaskan moral dari ikatan nalar konvensional.
Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu metode. Pengetahuan moral
yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang kemudian diruntuhkan Nietzsche.
Ketika orang sudah tak lagi bertanya tentang legitimasi sebuah pengetahuan moral,
Nietzsche dengan lincah memainkan nalar puitis menembus yang benar dan salah.
Menjejakkan kaki kognitif di tanah tak berjejak. Melampaui relativisme. Itulah pagelaran
nalar puitis yang dipertontonkan Nietzsche. Nalar puitis Nietzsche jauh melompati
sedimentasi sejarah. Bergerak liar mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dan,
semuanya itu hanya mungkin karena dorongan naluri akan yang lain.

Naluri akan yang lain. Suara purba itu sirna oleh tumpukan pengalaman yang
menyejarah. Tumpukan yang berakar dari kecemasan akan ribuan tanda tanya yang
menyelimuti semesta. Ribuan tanda tanya yang harus dipastikan supaya manusia hidup
tanpa kejutan dan entakkan. Semua tanda tanya harus dipastikan. Kalau tidak, manusia
hidup dalam api kekalutan yang tak kunjung padam. Kondisi yang tentu saja tak
mengenakkan. Manusia lebih suka hidup dalam-menyitir Giddens-kesadaran praktis.
Kesadaran bertindak dalam mana manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah
kesadaran dalam lingkup komunitarian yang pekat.

Semua tanda tanya harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib kosmis akan mengalami
gangguan. Alam yang ternalar sempurna tidak boleh menyisakan ganjalan epistemologis
yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti jejaka yang menunggu jawaban
pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun harus dihentikan. Nalar harus bekerja
tertib karena alam pun sesuatu yang tertib. Tertib alam harus terpantul sempurna dalam
kinerja nalar. Yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata, menurut Hegel.
Alam bekerja berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak oleh
nalar yang patuh.

Jatuhnya nalar pada kesatuan gramatika membuat naluri akan yang lain lumpuh.
Keberanian nalar dalam menjelajah pelbagai kemungkinan pengucapan pun dilibas oleh
kecemasan epistemologis yang berlebihan. Padahal, justru relativisme lahir dari rahim
kecemasan sedemikian. Kecemasan untuk mengarungi ruang hampa di luar lingkungan
komunitarisnya, yaitu lingkungan yang memberlakukan satu aturan bagi kebenaran,
kebaikan, dan keindahan.

Karl Raimund Popper, filsuf sains termasyhur, menolak bentuk komunitarianisme macam
itu. Ia menyerang relativisme paradigma yang digagas rekannya, Thomas Kuhn. Bagi
Popper, Kuhn menjebak nalar pada kubah-kubah komunitas ilmiah yang memacetkan
daya transendensinya. Daya transendensi nalar, menurut Popper, adalah saat nalar induksi
digantikan oleh nalar falsifikasi. Ia mencibir metode induksi yang dibakukan positivisme
sebagai pembeda sains dan nirsains. Pengumpulan fakta-fakta guna membenarkan sebuah
teori cacat dari kacamata logika. Sebuah teori secara logika dapat diruntuhkan hanya
dengan satu fakta yang bertolak belakang.

Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi, atau ilusi karena ia terbuka
bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara kepastian, melainkan
kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. Ia hanya bisa dihampiri lewat uji falsifikasi
terus-menerus. Teori yang paling tahan uji adalah teori yang paling dekat menghampiri
kebenaran.

Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak dapat dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains
pun terlepas dari jerat konservatisme dan bergandengan erat dengan kemajuan. Namun,
kemajuan yang dihasilkan bersifat linier dan monistik. Kelincahan nalar seperti yang
dipertontonkan Nietzsche tidak tampak. Kesatuan gramatika pengujian kebenaran masih
menggayuti nalar falsifikasi Popper. Pandangan dunia sains pun masih mengeram pada
lantai paling bawah pemikirannya. Paul Feyerabend, seorang anti-Popperian, menggugat
linieritas nalar falsifikasi Popper. Baginya, mengapa tak kita biarkan nalar bekerja dalam
gramatikanya sendiri-sendiri. Kesatuan metode harus memberi jalan pada pluralisme. Ia
mengajak kita untuk sadar bahwa nalar adalah majemuk. Ia tidak tunggal, namun seperti
digagas Wittgenstein, harus dikembalikan pada permainan bahasa masing-masing
komunitas.

Kelompok penolak universalisme nalar berpegangan pada premis bahwa pengetahuan


adalah konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang berdiri diametral dengan
pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada obyektivitas, universalitas, dan ketetapan.
Budaya, sebaliknya, sesuatu yang bergerak dan bercabang ke sana-sini seiring alun
sejarah. Mengatakan pengetahuan sebagai produk budaya sama artinya dengan
mengatakan bahwa pengetahuan tidak seabsolut yang dikira orang. Ia berubah dan
bercabang bersama sejarah.

Pergeseran dari obyektivitas menjadi komunalitas memperoleh tantangan politis.


Bagaimana kemajemukan nalar bisa dipertanggungjawabkan dari kacamata politik? Atau
dengan kata lain, bagaimana sebuah hidup bersama yang baik itu mungkin? Richard
Rorty, Jurgen Habermas, dan John Rawls adalah sebagian dari mereka yang menggulati
masalah ini. Mereka tidak peduli dengan gramatika nalar masing-masing komunitas.
Mereka memikirkan bagaimana sebuah gramatika nalar percakapan yang bisa membuat
pelbagai kelompok memiliki kesatuan konsepsi tentang hidup bersama.

Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. Ia adalah prosedur bagi
masing-masing nalar komunitarian dalam memutuskan sebuah konsensus. Ia tidak
berurusan dengan isi gramatika kultural itu sendiri, melainkan prosedur yang sehat
percakapan antargramatika. Apakah ini potret nalar puitis? Dari sisi ketidakterjebakannya
pada gramatika, kelompok nalar percakapan memang terdengar puitis. Namun,
ketidakpeduliannya pada isi gramatika kultural itu sendiri menyimpan masalah. Nalar
percakapan hanya mengamini kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi
pengalaman yang menua dalam masing-masing gramatika. Seolah-olah masing-masing
gramatika diterima apa adanya.

Ini membuat agresivitas nalar puitis pun mandek. Nalar hanya diaksentuasikan dalam
merumuskan prinsip-prinsip yang bisa diterima sebanyak mungkin kelompok. Namun,
tidak ditatapkan pada gramatika kelompok itu sendiri. Tidak digerakkan secara lincah
mencari gramatika-gramatika pengucapan baru untuk membuka lapisan-lapisan yang
tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman tersebut. Tuduhan monisme pun akhirnya
bisa dijatuhkan kepada para pembela nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin
dijauhkan mereka dari sistem-sistem pemikiran kontemporer.

Kemandekan upaya eksplorasi puitis nalar membuat sejarah menang telak atas
pertanyaan. Apa mendominasi apakah. Sebuah potret semesta yang digambarkan
Heidegger sebagai perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan tanda tanya pun terselimuti
jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat kecemasan. Saat manusia
berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan, yang transenden didatangkan sebagai
juru selamat. Tuhan bekerja secara misterius, habis perkara.

Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang hampa kognisi. Setelah nalar berhenti, intuisi
bekerja meneruskan perjalanan spiritual menuju yang asing. Yang transenden hanya bisa
dikenali lewat absennya nalar dan menguatnya hati. Nalar manusia terbatas. Begitu cibir
para mistikus. Namun, nalar puitis tak mengenal horizon seperti itu. Naluri kerinduan
pada yang tak terbatas membuatnya senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-
gramatika baru. Pencarian yang menyeret yang transenden ke dalam terang pengetahuan.
Melampaui yang benar dan yang salah menurut sejarah. Menggeser relativisme, sekaligus
senantiasa penuh selidik terhadap universalisme-absolutisme.

Hening

Tak satu pun lentera menyala saat aku membaca/ selintas suara bergumam, "segala
sesuatu jatuh ke dalam kebekuan yang mencekam"/ bahkan melon atau pir dari taman tak
berdaun. Sebait puisi karya penyair Wallace Stevens itu mengingatkan kita untuk selalu
eling lan waspodo, ingat dan sadar, pada segurat keheningan yang senantiasa
membayangi cakrawala pengetahuan. Segurat keheningan yang senantiasa membujuk
kita memainkan nalar secara puitis.

Pada masa yang mulai melupakan apakah ini, ingat dan sadar akan "yang hening" dan
"yang lain" sungguh menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah lama redup dalam
sepak terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan tak lagi mencukupi untuk
membuat puisi baru. Yang berlaku semata-mata daur ulang gramatika ilmiah, teologis,
atau filosofis yang mulai menua dan membosankan. Saatnya bagi sains, teologi, dan
filsafat untuk berhening sejenak. Melepaskan diri dari keramaian jawaban dan mulai
belajar mengajukan pertanyaan. Singkat kata, belajar merangkul kembali "kelainan" yang
hilang.

Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian. Kita hidup dalam semesta yang
menyimpan seribu gramatika pembuka rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini
tak akan berhenti pada satu sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari
kunci-kunci pembuka tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah. Para sahabat yang
melontarkan kritik pada tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair, sungguh tahu
bagaimana memainkan nalar secara puitis. Mereka membuka dimensi-dimensi yang saya
sendiri tak menyadarinya sebelum ini. Mereka membaca sebuah gramatika baru dalam
embrio pemikiran. Pembacaan yang membuat saya kembali berkhidmat pada "yang lain"
dan "yang hening".

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI, Puisi-puisinya dibukukan dalam Menulis Sajak
Itu Indah (1998)
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/05/Bentara/998332.htm

Politik, Neotribalisme, dan Etika Solidaritas<center></center>

REPUBLIK kekerasan. Begitu mungkin sebutan yang cocok bagi republik tercinta ini.
Sejarahnya disesaki siklus penundukan, kekerasan, darah, dan korban. Pelbagai peristiwa
kekerasan datang silih berganti. Pembantaian kader PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung
Priok, penyerbuan markas PDI, tragedi Mei 1998, konflik Ambon, peristiwa Semanggi,
dan sebagainya. Semuanya berlalu tanpa jejak yang berarti. Tersapu politik yang sudah
demikian terstruktural oleh penundukan dan kekerasan. Politik yang berseberangan
dengan hidup, kebebasan, dan kebaikan. Sesuatu yang hanya ada satu level di atas
tribalisme kuno. Padahal, sejarah sebenarnya mengajarkan bagaimana berpolitik yang
santun. Di masa Yunani Kuno, misalnya. Dalam polis (negara-kota) Atena, politik
dijalankan tanpa kekerasan. Politik kekerasan dicibir sebagai politik tribal kaum barbar
yang mengedepankan otot ketimbang otak. Para politisi Atena bekerja dengan persuasi,
bukan koersi. Kerja yang diwadahi sebuah ranah publik. Ranah tempat segala urusan
publik dibicarakan secara terbuka, bebas, dan rasional.

POLITIK sebagai proses deliberasi publik sendiri adalah persimpangan dalam sejarah
politik. Momen bersejarah saat publik untuk pertama kali dilibatkan dalam proses politik
yang rasional dan sehat. Proses ketika kebijakan politik tidak lagi diputuskan secara
privat. Bukan seperti keputusan seorang ayah menyekolahkan anaknya di sekolah
ternama. Dengan kata lain, politik bukan keputusan sepihak, ia membutuhkan legitimasi
publik. Sebuah politik yang santun, meminjam istilah Dr Haryatmoko.

Ujian tengah semester bagi politik yang santun adalah bangkitnya neotribalisme dalam
berbagai formatnya. Politik yang kembali menyempit dalam ruang-ruang privat tak
berjendela. Keputusan diambil sepihak dengan membeku-matikan keterlibatan publik.
Ranah publik diratakan dan prinsip-prinsip, seperti kebebasan, kesetaraan, dan
solidaritas, dicampakkan jauh-jauh dari politik. Ini yang terjadi semasa rezim Orde Baru.
Rezim neotribalisme yang bekerja begitu halus membungkam deliberasi publik. Kita
masih bisa membaca beberapa semiopolitika neotribalisme Orde Baru. Pertama, politik
diatur oleh doktrin tunggal yang mengurusi segalanya mulai dari urusan privat sampai
publik. Kedua, akuntabilitas tubuh-tubuh politik menjadi kebal dari skrutinisasi publik.
Ketiga, mekanisme penundukan menyebar di semua lini kehidupan: ekonomi, sosial,
budaya, dan religi. Ketiganya berakar dari sebuah kebenaran sederhana: absennya
deliberasi publik oleh proses penundukan halus yang menyerang kesadaran sosial secara
simbolik.

Serangan simbolik paling halus adalah lewat pranata hukum. Serangan ini berpangku
pada konsepsi umum positivisme hukum yang meleburkan moral dan hukum. Filsafat
yang beranggapan bahwa hukum sendiri adalah sebuah legitimasi moral yang matang.
Dengan kata lain, segalanya pasti beres secara moral asal konstitusional. Bertolak dari
lapisan kesadaran yang mengental secara sosial ini, pelbagai produk perundang-undangan
yang melegitimasi kekerasan dan penundukan dirumuskan. Dari yang paling nyata (UU
Antiterorisme) sampai paling halus (UU Sisdiknas). Semuanya adalah kerja diam-diam
yang sedikit demi sedikit menggerus hak-hak dasar warga negara.

POLITIK yang santun mensyaratkan seni berpolitik yang santun pula. Sayang, seni
berpolitik republik ini berbicara lain. Seni berpolitik saya tipologikan menjadi dua.
Pertama, seni berpolitik utilitaris. Seni berpolitik ini memandang segala sesuatu dari
kacamata efektivitas. Ia memilah-milah mana isu yang strategis dan mana yang tidak.
Apakah satu isu bisa memuluskan jalan ke singgasana kekuasaan atau tidak. Semuanya
adalah soal polling, tak lebih! Dan, tampaknya pembelaan korban, rekonsiliasi, dan
rehabilitasi hak-hak dasar bukan komoditas yang layak jual di pasar politik. Tak heran
mengapa pelbagai rekomendasi humanitarian dari kelompok-kelompok sipil selalu saja
mentah di tengah jalan. Kelompok-kelompok politik lebih berfokus pada isu strategis
yang kondusif bagi aksentuasi kepentingan masing-masing.

Kedua adalah seni berpolitik futuris. Seni berpolitik yang selalu ingin meratakan masa
lalu. Ia berpijak pada janji-janji keesokan: pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial,
tinggal landas, dan sebagainya. Semuanya berkisar seputar harapan-harapan, bukan
kelukaan. Politik futuris selalu mengatakan, "Marilah kita lupakan masa lalu untuk
bersama- sama membangun bangsa ini ke depan." Masa lalu adalah sumber konflik yang
harus dikubur dalam-dalam. Semuanya cukup diselesaikan lewat kompromi elite.
Rekonsiliasi menjadi sekadar seremonial yang kehilangan jejak pada ingatan sosial
masyarakat.

Etika politik yang mendasari politik utilitaris dan futuris adalah etika yang berporos pada
sektarianisme yang kuat. Etika yang membuat politik menjadi sekadar ajang perjuangan
kepentingan kelompok yang menghamba pada instrumentalisasi nalar. Yang ada di
pikiran tiap kelompok adalah bagaimana mengamankan kepentingannya sendiri dengan
segala cara. Kebaikan dikacaukan dengan kesuksesan. Kekuasaan selalu dilihat sebagai
konspirasi untuk menghabisi kelompok dengan kepentingan berbeda

Dua seni berpolitik itu saya tengarai masih bercokol kuat di republik ini. Dunia politik
yang masih keruh oleh pertikaian dan perebutan kekuasaan. Dunia yang kehilangan
panduan etika sosial yang ketat, kecuali etika utilitaris, di mana tujuan mengamini sarana.
Atmosfer politik menjadi keruh oleh kecemasan, kecurigaan, dan kehendak untuk
berkuasa. Sungguh sebuah iklim yang amat tidak kondusif bagi tumbuhnya demokrasi
yang matang dan sehat. Demokrasi yang beralaskan sebuah etika sosial dan kesantunan
politik. Sistem yang benar-benar menjamin lestarinya hak-hak dasar manusia dari
terkaman kekuasaan.
Pertanyaan berikut: etika sosial macam apa yang harus dibangun? Milan Kundera,
novelis Perancis kelahiran Ceko, mengatakan sesuatu tentang persahabatan. Persahabatan
baginya adalah sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, atau ideologi: sebuah
relasi yang nonsektarian. Persahabatan adalah sebuah etika yang beralaskan saling
pengakuan satu sama lain sebagai subyek moral yang setara. Etika yang menjunjung
tinggi prinsip-prinsip metasektarian, seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.

Bila persahabatan ditarik secara politis, maka hasilnya adalah apa yang disebut Hannah
Arendt sebagai etika solidaritas. Sebuah etika yang menjamin bahwa politik tidak sekadar
dijadikan sarana perjuangan primordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua.
Namun, solidaritas di sini harus dibedakan dengan nilai- nilai, seperti kasih, perhatian,
simpati, dan sebagainya. Semua itu masih dalam lingkup privat. Dalam lingkup publik,
nilai-nilai itu harus mengalami transformasi politik lewat ranah publik.

Cinta dalam ranah privat bisa amat sektarian. Seorang ayah bisa demikian mencintai
anaknya hingga melakukan apa pun demi kesuksesan anaknya. Seorang radikalis bisa
demikian mengasihi kelompoknya hingga rela mengorbankan nyawanya lewat aksi bom
bunuh diri. Etika solidaritas jauh dari kedua contoh itu. Etika solidaritas dalam politik
mendorong cinta pada sebuah dimensi baru. Dimensi publik. Mencintai adalah melihat
yang lain bukan sebagai musuh atau obyek ideologis, tetapi sebagai subyek politik yang
setara. Mencintai juga berarti memberi kesempatan bagi semua perspektif untuk masuk
dalam sebuah diskursus publik (ngambang).

ETIKA solidaritas adalah sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat. Disebut
sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar
ajang perjuangan kepentingan jangka pendek. Dalam hal ini, ranah publik berfungsi
mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat
menghasilkan etika solidaritas yang kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara terbuka
dalam semangat kebersamaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun
sebuah bangunan etika sosial yang kokoh akan berdiri.

Persoalannya, bagaimana menstrukturkan etika solidaritas dalam tubuh politik bangsa ini.
Tubuh yang diwarisi rezim sebelumnya dalam kondisi memprihatinkan: koyak oleh
politik kekerasan dan penundukan. Politik yang acuh terhadap hak-hak dasar manusia. Itu
semua membuat perubahan mendasar dalam struktur politik bangsa ini bukan hal sepele.
Paling tidak ada dua hal yang menjadi kunci perubahan. Pertama, struktur itu sendiri dan
kedua, karakter politisi. Pertama bersifat sosial, sedang kedua individual. Keduanya
berbeda, namun saling bertautan.

Menurut Giddens, struktur adalah kebiasaan yang berulang dan membuat pola. Hukum
adalah salah satu sarana sekaligus hasil sebuah struktur. Dalam kontens sarana, bila
ditengok produk perundang-undangan kita, masih banyak yang belum bisa lepas dari
struktur penundukan. Banyak undang- undang yang bisa dijadikan justifikasi untuk
perampasan hak- hak dasar manusia. Selain itu, fairness dalam politik masih belum
tertampung sempurna dalam undang-undang. Undang- undang masih menjadi obyek
sasaran manipulasi ideologis. Dengan kata lain, undang-undang masih dijadikan sarana
memantapkan dominasi ideologis satu kelompok atas yang lain. Ini tentu amat tidak
kondusif bagi moralitas yang berporos pada solidaritas.

Perubahan menuntut orang berkarakter kuat. Sebuah struktur, sekuat apa pun ia, akan
berubah saat banyak orang berani mengambil jarak dari kesadaran dominan. Masalahnya,
struktur bisa begitu dominan sehingga orang-orang berkarakter kuat pun bisa larut di
dalamnya. Banyak kisah bagaimana cendekiawan yang semula terkenal vokal, kini
menjadi the most loyal spokeperson of authority. Padahal, seperti ditegaskan Edward
Said, fungsi pokok cendekiawan adalah berbicara kebenaran di hadapan kekuasaan. Ini
membuat kita bertanya-tanya seputar maraknya cendekiawan terjun ke politik. Apakah
mereka akan membuat perubahan atau lenyap dalam pusaran habitus yang sudah
mengendap lama.

Pendidikan menjadi instrumen strategis guna membangun karakter politik nonsektarian.


Sayang, ia pun menjadi sasaran strategis kelompok sektarian untuk menancapkan
kukunya. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan insan yang memiliki daya
pertimbangan otonom, menjadi ajang indoktrinasi ideologis yang tertutup bagi nilai-nilai
solidaritas. Ini membuat perbincangan mengenai pendidikan kewarganegaraan kembali
relevan. Bukan semata-mata pendidikan teknis mengenai tata cara penyelenggaraan
negara. Namun, pendidikan yang menanamkan moral politik yang berpijak pada
solidaritas, kebebasan, dan keadilan. Pendidikan yang akan menghasilkan insan-insan
yang tidak saja melek politik, namun mampu menjalankannya secara etis dan rasional.
Kader-kader bangsa yang tahu bagaimana berpolitik secara santun.

Donny Gahral Adian Ketua Asosiasi Praktisi Filsafat Indonesia

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/30/opini/457759.htm

Filsafat Deregulasi<center></center>

KETIKA harga minyak mulai rontok di tahun 1982, rezim Orde Baru berangsur-angsur
kehilangan otonomi fiskal. Sejak itu gerak ekonomi-politik Indonesia mencari motor baru
dalam rupa bisnis swasta dengan deregulasi sebagai instrumen utama. Era deregulasi
mulai di tahun 1983 mencakup keuangan, pajak, tarif, bea cukai, perdagangan, investasi,
pasar modal, perbankan, komunikasi, dan sebagainya.

Apakah deregulasi baik atau buruk? Ada baiknya ditangguhkan dulu debat pro dan
kontra. Namun, sebagai uji coba, baiklah mulai dari posisi pro: deregulasi secara
keseluruhan (dan bukan selektif) merupakan sesuatu yang sangat baik adanya.
Bila diringkas, deregulasi menunjuk ke- bijakan pemerintah mengurangi/meniadakan
aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal, barang, dan jasa. Dengan
kebebasan gerak produksi, distribusi, dan konsumsi modal, barang, serta jasa itu, volume
kegiatan bisnis swasta diharapkan melonjak. Dengan itu lanskap ekonomi Indonesia juga
tidak lagi bergantung pada uang minyak.

Deregulasi telah menjadi istilah teknis ekonomi dan populer karena alasan ekonomi.
Akan tetapi, penciutan istilah "deregulasi" ke bidang ekonomi itu sangat menyesatkan.
Deregulasi pertama-tama bukan gagasan ekonomi, tetapi premis baru ketatanegaraan.

Premis baru

Isi premis baru ketatanegaraan itu mungkin bisa ditunjuk dengan dua lapis argumen
berikut. Lapis pertama, deregulasi berisi gagasan bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya
suatu negeri tak boleh lagi hanya bergantung pada kekuasaan rezim yang sedang
memerintah. Jadi, jatuh-bangun dan hidup-matinya ekonomi, budaya, atau pendidikan di
Indonesia tidak boleh lagi hanya bergantung pada inisiatif pemerintah, entah itu rezim
Soeharto atau Susilo B Yudhoyono. Itulah mengapa deregulasi melibatkan pemindahan
berbagai inisiatif, dari pemerintah ke sektor-sektor nonpemerintah.

Sejak 1 Januari 1984, misalnya, metode "valuasi pemerintah" (official assessment) dalam
pengumpulan pajak diganti menjadi "penghitungan diri" (self-assessment). Artinya,
penghitungan pajak tidak lagi dimulai oleh petugas pajak, tetapi oleh wajib pajak sendiri,
lalu petugas pajak melakukan crosscheck. Tentu perubahan itu ditujukan untuk sasaran
ekonomi, seperti efisiensi dan pembatasan kuasa petugas pajak bagi peningkatan revenue
dari pajak. Namun, implikasi praktis terhadap urusan fiskal ini hanyalah konsekuensi dari
gagasan lebih fundamental tentang deregulasi: bahwa hidup-matinya Indonesia tidak
boleh lagi bergantung hanya pada inisiatif dan tindakan aparat pemerintah.

Lapis kedua, justru karena itu deregulasi juga menunjuk gagasan baru bahwa jatuh-
bangun dan hidup-matinya kondisi politik, ekonomi, budaya, ataupun pendidikan di
Indonesia juga tidak bisa lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Lugasnya,
solusi atas masalah Indonesia juga merupakan beban tanggungan sektor-sektor
nonpemerintah. Lapis ini sejajar dengan lapis pertama di atas. Andaikan "deregulasi"
adalah sekeping mata uang, pokok dalam lapis pertama dan kedua merupakan dua sisi
dari satu keping mata uang yang sama.

Dua lapis pengertian di atas mungkin terdengar aneh bagi mereka yang mengartikan
deregulasi hanya sebagai soal teknis, seperti pengertian umum dalam alam pikir ekonomi
dewasa ini. Namun, dalam "republik refleksi", kita selalu butuh kembali ke prinsip paling
sederhana, yang kira-kira berbunyi begini: pengertian luas bukanlah bukti validitas.

Dari pokok-pokok di atas mungkin segera tampak, de-regulasi bukan berarti tidak-adanya
regulasi, melainkan perluasan/pemindahan locus otoritas regulasi, yaitu dari state-
regulation ke self-regulation. Maka, de-regulasi sesungguhnya berisi re-regulasi, dengan
self sebagai aktor-regulator alternatif. Istilah "self" bisa berupa individu perorangan, bisa
juga badan usaha bisnis/ perusahaan, dan bisa pula pemerintahan lokal yang otonom.

Regulator alternatif

Apa dasar self bertindak sebagai aktor-regulasi alternatif? Dasarnya adalah self-
determination yang terungkap dalam kebebasan dan kedaulatan pilihan individual. Tetapi
masih perlu dikejar lanjut. Kalau sumber daya pemerintah melakukan state-regulation
adalah mandat, apa sumber daya self-regulation? Jawab: pemilikan/kontrol atas berbagai
sumber daya (finansial, teknologis, fisik, informasi, material, dan sebagainya) yang
diubah menjadi capital. Itulah mengapa terjadi penerapan istilah "capital" pada bidang-
bidang seperti budaya (cf cultural capital), pengetahuan (cf symbolic capital), dan lain-
lain.

Dengan itu deregulasi melahirkan gejala baru, yaitu kedaulatan dan kebebasan selera
individual menjadi locus kekuatan regulatif baru yang tidak kalah menentukan dibanding
kekuatan regulatif pemerintah. Modelnya adalah kinerja "kebebasan pilihan individual"
dalam ekonomi pasar-bebas (cf "saya bebas berbuat apa pun menurut selera saya dan
selera apa pun yang bisa saya beli"). Dalam arti tertentu bahkan bisa dibilang, pemerintah
sering tinggal menjadi penjaga legalitas, tanpa sepenuhnya mampu menjadi regulator.

Ambillah acara di layar televisi sebagai contoh. Sudah lama meluas keluhan tentang
rendahnya mutu acara televisi yang dikuasai program gosip, klenik, jingkrak-jingkrak,
badut-badutan, serta histeria idola. Pemerintah tidak bisa lagi menjadi regulator acara
televisi tanpa dituduh otoriter. Mungkin para programmers acara televisi bilang acara-
acara itulah demand pemirsa. Tetapi karena klaim itu tidak ada sebelum programmers
menayangkan acara-acara tersebut, dengan lugas bisa dikatakan regulatornya adalah
corak selera para programmers televisi. Kemudian muncul apologi, misalnya "bukankah
pepatah Romawi pun mengingatkan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan roti,
tetapi juga komedi?" (Tajuk Kompas, 8/9/2004). Dalih itu menggelikan karena soalnya
justru sebagian besar acara televisi berupa "komedi". Tambahan lagi, pepatah itu datang
dari kaisar seperti Nero dan Commodus sebagai siasat meninabobokan warga Roma
dengan orgi darah di Colosseum.

Sekali lagi, de-regulasi bukan pengha- pusan regulasi, tetapi re-regulasi menurut selera
pribadi. Dengan itu kekuatan-regulatif penentu corak kehidupan publik bukan lagi hanya
daya-regulatif pemerintah, tetapi juga daya-regulatif kebebasan selera/pilihan individual.
Pokok sederhana ini punya implikasi sangat jauh.

Etika deregulasi

Bila deregulasi berisi premis hidup-matinya negeri ini tak boleh lagi tergantung hanya
pada pemerintah, tentu itu juga berarti hidup-matinya negeri ini tidak boleh lagi hanya
menjadi beban tanggungan pemerintah. Segera tampak deregulasi pertama-tama bukan
urusan teknis ekonomi, tetapi etika baru manajemen masyarakat. Dan itu berlaku baik
untuk bidang ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, maupun politik. Jadi, kita mesti pro
atau kontra deregulasi? Dua pokok berikut ini mungkin bertentangan dengan paham
tradisional yang luas diyakini, tetapi semoga ada gunanya diajukan.

Pertama, andaikan Anda penentang gigih deregulasi. Posisi kontra ini salah satunya
melibatkan penolakan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke
self-regulation. Anda mungkin dituduh mendukung otoritarianisme, tetapi tuduhan itu
bisa diabaikan. Salah satu agenda pokok penganut posisi kontra deregulasi lalu adalah
memastikan agar gerakan civil society mengoreksi dan memberdayakan kapasitas
pemerintah sebagai badan regulator yang baik karena pemerintah dilihat sebagai satu-
satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Tetapi, agenda ini tidak lebih dari
meneruskan teriakan-teriakan kita selama ini dan deregulasi lalu juga kehilangan arti.

Kedua, andaikan Anda penuntut gigih deregulasi. Posisi pro ini berisi kesetujuan atas
pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Implikasi
utamanya, civil society tidak-bisa-tidak berfokus pada gerakan memastikan agar sektor-
sektor nonpemerintah juga menjadi aktor-regulator yang baik karena self-regulation
berarti pemerintah bukan lagi satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini.
Lugasnya, persis dari logika-internal deregulasi, sektor-sektor nonpemerintah itu kini
juga tidak-bisa-tidak menjadi penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Itu berlaku
baik bagi sektor bisnis, media, maupun perguruan tinggi, dari soal acara televisi,
rusaknya gedung sekolah, busung lapar, sampai keluasan korupsi.

Apa yang terjadi bila sektor-sektor nonpemerintah menuntut deregulasi seluasnya, tetapi
membebankan semua hanya kepada pemerintah dan juga tidak mau ikut menjadi solusi
atas labirin masalah Indonesia? Itulah yang rupanya sedang terjadi. Deregulasi lalu tidak
lebih dari siasat para pelaku sektor-sektor nonpemerintah untuk menjadi free riders di
negeri ini. Free rider kira-kira berarti "penumpang yang tidak membayar". Maka tidak
perlu kaget bila para programmers televisi merasa tidak punya urusan dengan pendidikan
kultural warga Indonesia. Tak mengherankan pula bila para bos perusahaan tambang
merasa tidak punya urusan dengan kehancuran lingkungan seperti di Pantai Buyat.

Kita bisa meratapi atau merayakan deregulasi, tetapi itu masih jauh dari memahami
bahwa deregulasi melibatkan agenda ketatanegaraan yang lebih mendalam daripada
sekadar perkara efisiensi ekonomi.

B Herry-Priyono Pengajar Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF)


Driyarkara, Jakarta, Alumnus London School of Economics (LSE), Inggris

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/01/opini/1789156.htm

Filsafat Politik, Politik Harian, dan Demokrasi<center></center>

BULAN Februari 2002 bukan bulan yang baik bagi Perdana Menteri (PM) Inggris Tony
Blair. Usai sidang parlemen, dia menjadi bahan olok-olok para anggota parlemen.Blair
menjadi bulan-bulanan karena ketidakmampuannya merumuskan secara singkat dan
sederhana filsafat politik yang mendasari politik hariannya. Sandungan tersebut datang
dari anggota parlemen asal partainya sendiri-yang kebetulan bekas pengajar filsafat di
universitas. Insiden tersebut menyimpan satu pertanyaan. Apakah politik harian
membutuhkan inspirasi filsafat politik. Gus Dur pernah menjadi bulan-bulanan saat
memberi sedikit abstraksi filosofis-juridis di sidang parlemen. Wacana akademis! Begitu
olok-olok sebagian anggota parlemen waktu itu. Dasar berpikir sebagian anggota
parlemen waktu itu jelas. Politik harian tidak membutuhkan filsafat politik. Politik harian
membutuhkan retorika, bukan logika. Raison d’etre-nya adalah pragmatisme. Politik
praktis, begitu orang awam menyebutnya.

Benarkah tesis yang mengatakan bahwa politik harian tidak membutuhkan filsafat? Leo
Strauss, filsuf politik asal Chicago, tidak sependapat. Dia menyuarakan pentingnya
pencerahan filosofis atas politik. Para filsuf harus turun gunung mewejangi para politisi
harian. Hanya dengan itu politik harian bisa berbobot. Tidak semata karnaval kebodohan
dan kemunafikan yang memuakkan.

Filsuf ideal Straussian mesti bekerja sebagai bejana pikiran bagi para politisi harian.
Membantu merumuskan kebijakan-kebijakan politik berbasiskan argumentasi filosofis
yang kuat. Tidak sekadar mengikuti common sense yang dangkal tak berdasar. Singkat
cerita, politik harian harus tunduk pada filsafat politik. Namun, tidak semua filsuf sepakat
dengan Strauss. Jonathan Wolff, seorang filsuf politik lainnya, menolak keterjalinan
antara filsafat politik dan politik harian. Filsafat politik, menurut Wolff, bukanlah "hakim
epistemik" bagi kebijakan politik. Ia ini dipaksakan, sebentuk otoritarianisme kognitif
menyembul. Dan ini tidak kondusif bagi perkembangan atmosfer demokrasi.

Kalau filsafat politik tidak boleh turun tangan pada persoalan politik harian, lalu apa
tugas praksis para filsuf? Apakah mereka cukup berpikir di menara gading, tidak
menyentuh kehidupan sehari-hari? Atau mengelus dada saja bila melihat kekacauan
berpikir para politisi harian? Sikap-sikap seperti itu juga bukan sesuatu yang positif.

PARA filsuf politik kontemporer mengambil sikap moderat. Filsafat politik bukan lagi
"hakim epistemik" bagi politik harian. Perannya sekarang adalah pengatur lalu lintas
yang merumuskan rambu-rambu bagi percaturan politik yang fair.Ini tidak boleh
diserahkan pada para politisi harian. Karena begitu diserahkan, rambu-rambu yang dibuat
semata-mata melayani kepentingan the ruling party or parties. Inilah yang mendasari
protes partai-partai gurem terhadap aturan main pemilu yang disusun parlemen sekarang.

Demokrasi tidak bisa berjalan tanpa fairness dalam proses-proses politik. Tak adanya
pembatasan dan pengawasan terhadap dana kampanye membuat partai-partai miskin jadi
lemah posisinya dalam merebut hati publik. Hanya partai-partai kaya mampu membiayai
reklame-reklame prime time di stasiun-stasiun TV raksasa. Kesempatan menjadi tidak
setara untuk menjual dagangan politik antarpartai. Demokrasi memberikan keleluasaan
bagi berbagai ideologi untuk hidup dan berkembang. Pada masyarakat tertutup-
otoritarian, hanya satu ideologi yang berhak hidup; yang lain harus tunduk dan turut. Hal
seperti itu tidak berlaku pada masyarakat terbuka-demokratis.

Dalam masyarakat terbuka menuntut kosongnya percaturan politik dari apa yang disebut
Rawls "kebenaran metafisik". Sebentuk kebenaran yang mengabsolutisir dirinya dan
menutup pintu komunikasi dan toleransi. Perdebatan ideologis yang paling tajam,
menurut Rawls, adalah soal keadilan. Karena itu, filsafat politik Rawls mencoba
merumuskan satu prosedur yang fair guna menentukan prinsip keadilan yang bisa
diterima semua pihak. Prinsip keadilan yang bisa diterima baik oleh sayap kiri, kiri-
tengah, maupun kanan.

Pluralisme bentuk kebenaran dalam masyarakat terbuka-demokratis juga menggelitik


filsuf politik lainnya bernama Habermas. Filsuf politik ini memformulasikan apa yang
disebutnya sebagai etika diskursus. Etika diskursus adalah prosedur yang fair bagi
pertarungan epistemik-etik berbagai bentuk kebenaran demi mencapai konsensus.

Sama seperti Rawls, Habermas juga berbicara dalam bingkai demokrasi. Bingkai yang
tidak boleh dimuati satu pun kebenaran absolut. Konkretnya begini. Satu kebijakan
publik, misalnya, tak hanya diambil berdasarkan satu dasar ideologis. Namun, harus
berdasarkan konsensus pihak-pihak ideologis yang berkepentingan.

Pengurangan subsidi BBM sangat brilian dari sudut pandang ideologi neo-liberalisme.
Efisiensi ekonomi menuntut absennya campur tangan kekuasaan. Namun, ada prioritas
nilai yang harus dipertimbangkan; misalnya, apakah efisiensi mesti mengorbankan
kualitas hidup sebagian besar masyarakat; haruskah kalkulasi ekonomi meminggirkan
hak sosial-ekonomi warga negara; atau benarkah ada dampak langsung efisiensi
perusahaan pada turunnya angka pengangguran. Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya
kurang diperhatikan para pengambil kebijakan.

Nyata sekali terlihat bagaimana kebijakan pengurangan subsidi BBM sangat mono-
dimensional. Pihak-pihak yang berkepentingan tidak pernah dilibatkan. Atau, kalau
dilibatkan, hanya satu pihak dan itu pun belum tentu representatif. Ini artinya ada sesuatu
yang unfair dalam percaturan politik di republik ini. Dengan kata lain, filsafat politik
masih dibutuhkan.

SELAIN merumuskan prosedur yang fair, filsafat politik juga berjasa memberi perspektif
baru atas kenyataan politik. Filsafat politik Foucault, misalnya, memberi kita perspektif
baru tentang kekuasaan yang berbeda dengan teoretisasi filosofis sebelumnya. Foucault
menggugat teoretisasi klasik yang memandang kekuasaan sebagai hasil dari kontrak
sosial dari individu-individu yang berkumpul dan berkonsensus. Kekuasaan yang selalu
disangkut-pautkan dengan negara sebagai makro-politik.
Sebaliknya, ia memandang bahwa kekuasaan dalam realitas jauh dari bentukan individu,
tetapi malah membentuk individu. Menjadikan individu sebagai tubuh-tubuh politik yang
senantiasa melakukan swa-pengawasan atas dirinya. Kekuasaan macam ini
memanifestasikan dirinya bukan hanya dalam negara, tetapi juga menyelusup masuk
dalam jejaring mikro-mikro politik, mulai dari keluarga sampai penjara.

Ini adalah epistemologi baru (bahasanya Herry Priyono) dalam mempersoalkan kodrat
kekuasaan. Kalau kekuasaan tidak lagi bersemayam di negara, maka target kontrol
demokratis harus berubah. Lembaga ekonomi, spiritual, sains, sampai pedagogi.
Semuanya itu adalah lembaga politis par excellence. Dan semua bentuk lembaga yang
mengepung individu secara politis, mestilah akuntabel.

Uraian ini menyisakan pertanyaan sekaligus gugatan. Bagaimana nasib filsafat politik di
republik ini. Karena kayaknya, kecenderungan skolastikal masih cukup dominan di
kalangan akademisi filsafat. Kerja filosofis sekadar membolak-balik traktat tanpa mampu
mengaitkannya dengan isu-isu keseharian. Sedangkan demokrasi di republik ini masih
compang-camping.

Politik harian, menurut hemat saya, masih membutuhkan masukan prosedural dari para
filsuf politik. Demokratisasi berjalan di tempat tanpa terobosan-terobosan teoretisasi baru
filsafat politik.

Politisi boleh mengatakan: "filsafat adalah filsafat sementara politik adalah politik". Itu
benar. Namun, kekeraskepalaan keduanya tidak akan menghasilkan apa-apa. Keduanya
harus menemukan titik temu. Para filsuf republik, mulailah bekerja!

Donny Gahral Adian, dosen filsafat UI; Ketua Asosiasi Praktisi Filsafat Indonesia

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/04/opini/105078.htm

Neoliberalisme<center></center>

Neoliberalisme itu istilah licin yang sering mengecoh pemakainya. Misalnya, ekonomi
pasar dianggap identik neoliberalisme. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi
ekonomi-pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal (ekonomi pasar
sosial, bukan neoliberal). Atau, privatisasi sering dilihat identik dengan ciri kebijakan
neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi bersifat neoliberal. Mengapa istilah
itu berawalan neo?

Awalan neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk gejala kemiripan tata ekonomi
30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun,
apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir bercorak lebih ekstrem daripada seabad lalu.

Reinkarnasi liberalisme ekonomi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam bentuk
lebih ekstrem itu berlangsung dengan mengakhiri era besar yang disebut embedded
liberalism. Embedded liberalism merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II
hingga akhir dekade 1970-an. Intinya, kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat
aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan
subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi
kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem.

Dari hal kecil itu tampak, betapa sulitnya menunjuk persis arti neoliberalisme. Selain itu,
neoliberalisme merupakan istilah yang lebih terpahami dalam konteks intelektual Eropa
(istilah liberal punya arti lain di AS). Dalam perjalanan sejarah yang tumpang tindih,
neoliberalisme banyak dikaitkan visi ekonomi kelompok seperti Mont Pelerin Society
dan ekonom mazhab Chicago, seperti Milton Friedman, Gary Becker, dan George Stigler.
Namun, neoliberalisme bukan sekadar ekonomi. Ia visi tentang manusia dan masyarakat,
dengan cara pikir ekonomi yang khas sebagai perangkat utama. Mungkin dua lapis
definisi yang saling terkait dapat membantu memahami jantung filsafat ekonomi
neoliberalisme.

Visi antropologis

Lain dengan liberalisme abad ke-19, neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia
sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Tak ada yang aneh pada reduksi itu.
Penciutan pengandaian itu tidak dengan sendirinya keliru. Keketatan berpikir dalam
kinerja tiap ilmu biasanya melibatkan penciutan, seperti geografi berangkat dari
pengandaian manusia sebagai makhluk ruang; ilmu hukum dari premis manusia sebagai
makhluk tata aturan.

Apakah visi antropologis yang telah diciutkan demi keketatan proses berpikir suatu
bidang ilmu mengungkapkan seluruh dimensi manusia, tentu soal lain. Dari keragaman
bidang akademis pun dari matematika hingga sastra, dari antropologi sampai teknologi
sudah pasti penciutan asumsi bukan seluruh fakta dimensi manusia. Manusia pasti homo
oeconomicus, tetapi homo oeconomicus pastilah bukan keseluruhan manusia.

Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo
oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia. Pada
gilirannya, perspektif oeconomicus itu direntang untuk menjadi prinsip pengorganisasian
seluruh masyarakat. Inilah aspek yang mungkin paling tegas membedakan ekonomi
neoliberal dari ekonomi liberal klasik. Tak ada yang lebih eksplisit dalam proyek
perentangan ini daripada Gary Becker dalam The Economic Approach to Human
Behavior (1976): pendekatan ekonomi menyediakan kerangka semesta untuk memahami
semua tingkah laku manusia.

Bagaimana mungkin sebuah visi, yang karena tuntutan bidang ilmu berdiri di atas
penciutan asumsi, menjadi dominan? Tak ada teori yang berjalan sendiri.

Virtualisasi ekonomi

Dalam stagnasi ekonomi negara-negara maju pada dasawarsa 1970-an, dan dalam
revolusi teknologi informasi sejak awal dekade 1980-an, kecenderungan itu mengalami
evolusi lanjut dan menghasilkan ciri utama neoliberalisme. Perspektif oeconomicus
bukan hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi lain hidup manusia, bahkan dalam
perspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarki prioritas: prioritas sektor finansial
(financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi.

Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dan semacamnya.
Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam
ekonomi, dengan prioritas yang pertama. Dalam bahasa sederhana, proses ekonomi
bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang/jasa riil.

Ada anggapan, maraknya transaksi produk-produk finansial akan mengalir langsung ke


investasi di sektor riil (dalam bentuk pabrik atau sepatu), yang diharapkan menyediakan
lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Ekonom Gérard Duménil dan
Dominique Lévy punya temuan penting dengan data statistik menawan. Dalam karya
baru, Capital Resurgent (2004), mereka menemukan tetesan itu amat minim, di AS
maupun di Perancis. Simpulnya, finance finances itself, but does not finance investment.
Pokok ini sentral karena kritik atas neoliberalisme biasanya dianggap sikap anti-investasi,
antipertumbuhan, antiekonomi pasar, dan semacamnya.

Dalam fakta, visi neoliberal yang berdiri di atas asumsi tentang manusia yang sudah amat
diciutkan itu tentu penuh kontradiksi. Misalnya, bila dalam visi neoliberal tiap orang atau
perusahaan bertanggung jawab atas diri sendiri, bagaimana harus dijelaskan bailout
banyak bank dan perusahaan dengan uang setiap orang melalui dana Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI)? Itulah mengapa tak sedikit ahli menyimpulkan, neoliberalisme
merupakan cara para tuan besar modal merebut kembali kekuasaan, sesudah mereka
terkekang dalam periode setelah PD II sampai dasawarsa 1970-an.

Jadi, neoliberalisme baik atau buruk? Silakan menyimpulkan sendiri. Namun, untuk itu
kita perlu berguru. Bulan Oktober 2005 terbit buku A Brief History of Neoliberalism
karya David Harvey, mahaguru geografi dan ekonomi politik.

Buku serius tetapi ringan itu amat perlu dibaca presiden, wakil presiden, para pengambil
kebijakan publik, pelaku bisnis, dan khalayak pembaca di Indonesia.
Seusai membaca buku itu, saya merasa Indonesia mirip negeri yatim piatu.

B Herry-Priyono Peneliti, Sementara Tinggal di California

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/15/opini/2290496.htm

Melampaui Kosmopolitanisme Politik<center></center>

Bom kembali meledak di Bali awal Oktober 2005. Beberapa bulan silam jantung kota-
kota Eropa diguncang oleh nasib serupa. Pembom datang tiba-tiba, menyerang lalu
melumatkan sekian banyak korban.Terorisme kini bukan hanya hantu yang
menggerayangi Amerika dan Eropa, tapi juga pelbagai belahan dunia, tak terkecuali
Dunia Ketiga.

Kaum teroris menyebar ke berbagai penjuru, tanpa pusat yang pasti, dengan sekian motif
serta agenda. Hingga hari ini kita hanya bisa menyaksikan dampaknya yang mencekam
siapa pun, termasuk mereka yang berada di luar kategori yang menghendaki kaum teroris
sebagai musuh yang harus dihancurkan. Terhadap peristiwa yang paling mengerikan
yang pernah terjadi di kosmos ini setelah Perang Dunia II itu, berbagai tafsir dan
konseptualisasi diajukan untuk menguraikan tindakan teror dalam lanskap politik global.

Mendelegitimasi Pencerahan

Modernitas yang ditandai dengan pencapaian subyektivitas menempatkan manusia berdiri


sejajar di atas permukaan bumi atau kosmos. Sebuah kosmos, sejak Yunani Kuno, berarti
keseluruhan tatanan yang diatur dengan prinsip-prinsip dan hukum-hukum tertentu. Kant
mengapresiasi pengertian kosmos ini dalam konteks etis maupun politis:
kosmopolitanisme.

Kosmopolitanisme berarti kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan


prinsip-prinsip imperatif universal. Konsep Immanuel Kant mengenai kosmopolitanisme
menjadi titik tolak Habermas dan Derrida dalam rangka kritiknya terhadap institusi
maupun konstitusi politik warisan Pencerahan yang dianggap oleh keduanya gagal
menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia. Rangkaian tragedi kemanusiaan yang
mewarnai abad XX seperti dua Perang Dunia, Nazisme, Stalinisme, dan Rasisme
mendesak kita menggagas ulang makna konsep-konsep yang lahir dari rahim Pencerahan.
Elemen traumatis yang ditinggalkan oleh semua tragedi kemanusiaan abad ini, terutama
peristiwa teror, adalah akibat negatif atau krisis Pencerahan yang sudah klasik dan tak
lagi memadai.
Derrida dan Habermas bergerak dalam lintasan wacana Pencerahan tentang toleransi,
keadilan, dan tanggung jawab, lalu mencoba menempatkan kembali wacana ini dalam
konteks demokrasi radikal, yaitu suatu politik universal melampaui kosmopolitanisme
sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Kant. Derrida dan Habermas sepakat bahwa
toleransi memiliki asal-usul keagamaan yang kemudian diapresiasi oleh politik sekuler
sehingga tak heran bila toleransi sering dipraktikkan dalam semangat paternalistik,
bahkan berat sebelah. Toleransi diandaikan berlangsung dalam payung otoritas politik
yang dominan atas yang lain, minoritas.

Dalam pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat dinetralkan jika
toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang partisipatoris
sebagaimana disediakan oleh demokrasi deliberatif. Toleransi mengandaikan sikap warga
negara terhadap yang lainnya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama sehingga tidak
ada ruang bagi otoritas tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-
batas, apa yang dapat ditoleransi dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan
dan tanggung jawab niscaya diletakkan dalam konteks yang sama.

Habermas menekankan pentingnya toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat


demokratis atau global. Toleransi harus dipandang secara positif baik etis maupun politis.
Ia dipandang secara etis karena mengandaikan kebenaran dari yang lain. Ia dipandang
secara politis karena mampu membentuk konsensus rasional. Pemihakan ini adalah
turunan dari gagasan Habermas mengenai demokrasi konstitusional sebagai satu-satunya
sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka
pembentukan konsensus rasional.

Argumentasi ini bertolak dari kekeliruan dalam mendasarkan identitas suatu negara-
bangsa pada tradisi hukum klasik. Satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas suatu
bangsa, dengan atau tanpa masa lalu, ialah patriotisme konstitusional di mana kesetiaan
pada konstitusi merupakan bentuk partisipasi seluruh warga negara berdasarkan
konsensus. Kesetiaan pada konstitusi ini mengungkapkan pula loyalitas kepada hak- hak
keadilan dan tanggung jawab universal, terutama dalam masyarakat yang kompleks dan
multikultural.

Sebaliknya, Derrida menganggap toleransi masih mengandung kekuasaan dalam arti


tertentu terhadap yang lain. Karena toleransi masih mensyaratkan kesesuaian dengan
hukum- hukum yang berlaku dalam teritori tertentu, dalam arti ini toleransi merupakan
metafor mengenai kekuasaan atas yang lain. Derrida melawankan konsep toleransi
dengan kesanggrahan (hospitality), sebuah terminologi yang bertolak dari Kant, tetapi
berbeda dari pemahaman Kant yang masih menempatkan kesanggrahan sebagai tuntutan
imperatif moral. Melalui kesanggrahan, Derrida memperkenalkan pendekatan baru dalam
etika dan politik, yaitu kewajiban unik seseorang terhadap yang lain berupa kemurahan
hati dan membuka diri dalam pembentukan konsensus yang berlangsung secara terus-
menerus tanpa akhir. Melalui kesanggrahan ini keunikan dan perbedaan masing-masing
dapat dihargai. Ia membagi kesanggrahan ini dalam dua pola.

Pertama, toleransi bersyarat yaitu hak invitasi. Sebagai hak invitasi, kesanggrahan
menjadi syarat bagi kemungkinan konvensi-konvensi internasional. Toleransi bersyarat
inilah yang mendominasi sistem hukum klasik. Kedua, toleransi tak bersyarat yaitu hak
visitasi. Sebagai hak visitasi, kesanggrahan memungkinkan teritori dalam risiko
maksimal sebab ia tidak memiliki pertahanan sistematis dalam dirinya, kesanggrahan
tidak memiliki status khusus secara politis maupun hukum. Dari sudut pandang
kesanggrahan tak bersyarat atau hak visitasi ini dapat diperoleh suatu perspektif kritis
atas batas-batas hak kosmopolitan dalam pengertian Kant. Hak kosmopolitan ini
mensyaratkan seluruh tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku hingga dalam
arti tertentu sangat totaliter.

Kosmopolitanisme ala Kant yang masih mengandaikan kesesuaian tindakan dengan


hukum inilah yang hendak dihindari oleh Derrida dengan mengajukan pengertian baru
pada konsep tentang keadilan sebagai sesuatu yang melampaui hukum. Sebab kalau
tidak, keadilan akan tereduksikan hanya kepada dapat dilaksanakannya hukum
(positivisme). Sebagai produk sosial dan politik, hukum bersifat terbatas, relatif, dan
tidak pernah imun dari hukum sejarah. Keadilan selalu berada di luar dan di dalam
hukum sekaligus, demikian Derrida. Keadilan berada di batas tegangan antara keduanya.
Asumsi ini sekaligus menegaskan perbedaan antara hukum dan keadilan; hukum bersifat
universal, sementara keadilan bersifat khusus.

Jika wilayah hukum mengandaikan ciri-ciri umum yang terkandung dalam aturan, norma,
dan hal ihwal yang imperatif universal sehingga sering jatuh pada totalitarianisme dalam
praktiknya; sebaliknya, keadilan menyangkut individu, keunikan hidup, dan situasi khas
manusia. Hukum selalu beroperasi di dalam domain kepastian, dapat dikalkulasi dan
diprediksi. Sementara itu, keadilan memperhitungkan apa yang tidak mungkin dikalkulasi
dan memutuskan apa yang tidak mungkin dapat diputuskan. Dengan kata lain, keadilan
mengandaikan pengalaman aporia dan khas dari seseorang. Keadilan tidak semata- mata
mengacu pada hukum, tetapi juga melampaui hukum. Keadilan selalu berada dalam
lingkaran negosiasi sosial dan pertimbangan politis terus-menerus sampai menjumpai
batas-batasnya sendiri.

Globalisasi dan tiga momen otoimun

Globalisasi, demikian Habermas, merupakan keniscayaan sejarah, tetapi juga telah


menginjeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam praktiknya sering
melahirkan distorsi komunisi. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bahkan
memanifestasi dalam tindakan teror yang berasal dari distorsi komunikasi. Globalisasi
secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok: pemenang dan pecundang.
Analisis Habermas ini melanjutkan proyek Sekolah Frankfurt dalam mendiagnosis
patologi yang diidap masyarakat modern. Patologi itu berupa distorsi komunikasi dalam
masyarakat global. Diagnosis terhadap patologi modernitas ini penting diajukan bukan
untuk mengafirmasi globalisasi, tetapi mengidentifikasi aspek-aspek yang berbahaya
yang dikandungnya, salah satunya adalah terorisme.

Terorisme berjalin-kelindan dengan pemahaman fundamentalisme dalam menafsirkan


doktrin-doktrin agama ketika merespons modernitas. Fundamentalisme adalah reaksi
terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia
kehidupan (Lebenswelt), sekularisasi telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan
tradisional mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya, juga
identitas, membuat para individu di dalam masyarakat terasing dari komunitasnya.

Fundamentalisme menemukan bentuknya yang paling ekstrem dalam terorisme.


Terorisme secara eksklusif bersifat modern. Fundamentalisme bukanlah gerak kembali
yang sederhana kepada suatu cara yang pramodern dalam memahami agama, tetapi lebih
sebagai respons panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi. Kepanikan ini
ditandai dengan resistensi diri terhadap prinsip- prinsip kehidupan global. Resistensi diri
ini termanifestasi dalam sikap religius yang berlebihan dan menutup kemungkinan
komunikasi dengan dunia luar. Keterputusan komunikasi ini melahirkan kekerasan dalam
wujud tindakan teror. Dalam konteks demokrasi global, terorisme memiliki dimensi
politik yang berbeda dengan tindak kekerasan biasa karena sifatnya yang mampu
mendelegitimasi pemerintahan demokratis.

Berbeda dengan Habermas, Derrida menampik globalisasi sebagai keniscayaan sejarah


karena globalisasi tak pernah mengambil tempat di dalam sejarah. Globalisasi tak pernah
terjadi, yang terjadi adalah mondialisasi seluruh tatanan masyarakat dunia. Globalisasi
tak lebih sebagai kelicikan retoris yang bertujuan menyembunyikan ketidakadilan.
Globalisasi hanya merayakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan
memanfaatkan kemajuan tekno-sains. Globalisasi atau mondialisasi telah menciptakan
penderitaan yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah: kemiskinan, kelaparan,
kerusakan lingkungan, AIDS, dan seterusnya. Globalisasi hanya merupakan delusi, suatu
alat tipu daya untuk menyembunyikan ketidakseimbangan yang muncul, suatu kegelapan
baru, suatu kesembronoan komunikasi lewat media, suatu penguasaan menyeluruh sarana
produksi, teknologi, dan militer oleh segelintir negara atau korporasi internasional untuk
mereka kangkangi sendiri. Dengan demikian, globalisasi telah menunjukkan kekuatan
imunitas maupun otoimunitasnya sendiri.

Otoimunitas merupakan kata kunci untuk memahami gagasan Derrida mengenai


terorisme sebagai konsekuensi dari globalisasi atau mondialisasi. Otoimunitas adalah
sebuah kondisi otoimunisasi yang selanjutnya menghancurkan proteksinya sendiri.
Dilihat dari konteks lahirnya terorisme, otoimunitas ini melalui tiga momen peristiwa.
Pertama, perang dingin di kepala, yaitu perang yang berlangsung di kepala ketimbang di
daratan dan udara. Dilihat dari kontinuitasnya dengan Perang Dingin, para pembajak
yang berpaling melawan Amerika Serikat sebenarnya telah dilatih oleh dinas rahasia AS
sendiri selama invasi Uni Soviet di Afganistan. Boleh jadi, demikian Derrida, peristiwa
11 September merupakan babak akhir dari ledakan internal Perang Dingin.

Kedua ialah apa yang disebut oleh Derrida lebih buruk daripada Perang Dingin, baik
secara historis maupun secara psikologis. Secara historis, musuh tidak dapat diidentifikasi
dan dikalkulasi serta tidak dapat dituntut pertanggungjawaban, tidak sebagaimana dalam
Perang Dingin dengan aktor-aktor yang jelas. Selanjutnya, secara psikologis ia
menimbulkan pengalaman traumatis yang mengarah ke masa depan. Pengalaman
traumatis ini melukai masa depan sebanyak ia melukai masa kini.

Ketiga, lingkaran setan penindasan. Ini menggambarkan cara bagaimana (dengan


mengumumkan perang melawan terorisme) koalisi negara-negara Barat membangkitkan
perang melawan dirinya sendiri. Ketiga teror otoimun yang didedahkan Derrida ini tidak
dapat dibedakan. Ketiganya saling mengandaikan dan menentukan satu sama lain.
Derrida telah memperlihatkan elemen-elemen destruktif globalisasi yang telah
mengaburkan batas-batas kategori: teror, teritori, dan terorisme.

Derrida dan Habermas berikhtiar memperlihatkan bahwa terorisme merupakan konsep


yang sulit ditangkap dan dipahami karena sifatnya yang sangat kompleks. Terorisme
ditandai dengan kekaburan konseptual dan tanpa referensi. Media Barat secara
serampangan menggunakan terminologi terorisme seakan-akan sudah jelas dengan
sendirinya. Melalui media-media global, Amerika Serikat dan sekutunya memaklumatkan
perang melawan terorisme, sebuah maklumat yang ditolak oleh Habermas dan Derrida.
Habermas menganggap perang melawan terorisme merupakan kekeliruan besar, baik
secara normatif maupun pragmatis. Secara normatif, maklumat itu menaikkan penjahat ke
status musuh dalam perang, padahal musuh tersebut belum teridentifikasi. Secara
pragmatis, perang tidak dapat dilancarkan terhadap jaringan yang tidak sepenuhnya
memiliki identitas gamblang.

Terorisme seperti hantu yang menebar ke seluruh dunia. Seturut dengan Habermas,
Derrida melihat maklumat perang terhadap terorisme adalah ungkapan yang paling kacau
dan lucu. Maklumat itu justru membangkitkan kembali, dalam jangka pendek maupun
panjang, motif-motif kejahatan yang ingin diberantasnya. Bukan berarti keduanya
sepakat terhadap tindakan teroris, bagaimanapun tindakan tersebut tak dapat dibenarkan
atas nama Tuhan sekalipun karena telah menghilangkan hak hidup sebagian orang.
Keduanya sedang melakukan otokritik terhadap demokrasi Barat.
Menuju demokrasi radikal

Di hari-hari ini wacana demokrasi Barat, yang benih-benihnya telah disemaikan sejak
Liberalisme klasik, terbukti telah gagal mengakomodasi masyarakat yang kompleks.
Dalam masyarakat kompleks dewasa ini dibutuhkan satu demokrasi radikal dengan
merevisi kosmopolitanisme Kant, bahkan melampauinya. Habermas memodifikasi
konsep Kant tentang ruang publik secara substansial. Immanuel Kant masih menganggap
komunikasi terjadi dalam ruang publik soliter, sementara Habermas menekankan
komunikasi dalam ruang publik secara keseluruhan. Komunikasi tidak bisa dijamin
berlangsung dalam ruang publik soliter ala Kant karena praksis kehidupan sehari- hari
kita bertumpu pada suatu dasar yang kukuh, yaitu kenyataan bahwa kita memiliki latar
keyakinan, kebenaran, budaya, dan harapan yang saling mengandaikan.

Alih-alih mengafirmasi kosmopolitanisme Kant, Derrida meletakkan cita-cita demokrasi


di luar kosmopolitanisme atau kewarganegaraan dunia, melampaui kekuasaan tertinggi
politik, ekonomi, dan hukum. Derrida mengajukan suatu demokrasi radikal, yaitu
demokrasi mendatang: sebuah demokrasi yang belum eksis saat ini, tidak dapat
dipresentasikan, bukan ide regulatif dalam pengertian Kant. Namun, demokrasi ini
menyambut baik kemungkinan untuk digugat, untuk menggugat diri sendiri, mengkritik
dan ikhtiar untuk terus-menerus memperbaiki diri.

Demokrasi Barat dalam arti ini merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus
sampai pada batas-batasnya sendiri. Derrida dan Habermas telah meretas jalan dengan
mengevaluasi secara menyeluruh prinsip-prinsip yang mendasari Pencerahan Barat.
Keduanya bertolak dari ikhtiar untuk menyegarkan kembali kosmopolitanisme Kant.

Habermas melihat Pencerahan sebagai masa lalu yang harus direkonstruksi pada konteks
hari ini, sementara Derrida secara radikal mendesak Pencerahan menuju perbatasannya,
suatu keterarahan kepada masa depan melalui manifestasinya yang terkini. Pencerahan
itu ada di masa depan, tetapi tidak dapat diprediksi dan diidentifikasi. Ia merupakan
proses yang tak pernah sudah.

I have had occasion to say that deconstruction is a project in favour of the Enlightenment
(Les Lumières), and that one must not confuse the Enlightenment of the eighteenth
century with the Enlightenment of tomorrow, kata Derrida suatu hari.

Dr YUDI LATIF Wakil Rektor Universitas Paramadina, Jakarta Abdul dubun Hakim
Dosen Sejarah Filsafat Eropa Universitas Paramadina, Jakarta

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/03/Bentara/2246603.htm
Antropologi Keyakinan<center></center>

Kegagalan melembagakan demokrasi, atau paling tidak ketiadaan orientasi ide untuk
menuntun pelembagaan itu, membawa kecemasan politik bagi mereka yang berkehendak
mewujudkan suatu masyarakat terbuka.

Ruang politik yang kini membesar justru lebih terasa dihuni pekerja-pekerja "politik
identitas", yaitu mereka yang berjuang untuk suatu cita-cita politik absolut, terutama
karena mendasarkan perjuangan politik pada doktrin keagamaan. Lebih karena keyakinan
final tentang "moralitas politik" agama, yang sebagian merupakan lanjutan obsesif dari
perdebatan tentang dasar negara pada awal pendirian RI, politik identitas itu memperoleh
reperkusi historisnya dari perkembangan sejenis di dunia internasional.

Globalisasi tidak dipandang oleh politik identitas sebagai sarana percaturan ide-ide
global, tetapi dimusuhi sebagai penghalang pelaksanaan keyakinan politik agamais.
Fundamentalisme pasar berhadapan dengan fundamentalisme nilai, tidak di dalam upaya
sintetik untuk mencapai stabilitas relatif sistem dunia modern, tetapi berhadap-hadapan
dalam pertarungan kategoris tentang kebenaran absolut. Globalisasi secara kategoris
dirumuskan sebagai sumber penghancuran peradaban, sementara agama, dalam versi
konservatifnya, diajukan sebagai solusi satu-satunya peradaban baru.

Kendati kontrapolasi itu mengandung banyak kepalsuan, mengingat begitu seringnya


kohesifitas keagamaan terbelah karena persaingan politik dalam kelompok itu sendiri,
namun nada umum politik global memperdengarkan disharmoni politik antara pendukung
etika kosmopolitan dan pembela logika politik akhirat.

Dalam jargon clash of civilization, tersimpan psikologi absolut dari persaingan politik
global. Nilai-nilai absolut telah melampaui parameter-parameter konvensional politik
dunia. Gejala ini cukup kasatmata: akumulasi kapital dan teknologi bukan lagi nilai
utama yang dikejar, tetapi sekadar alat untuk mewujudkan suatu impian ideologi yang
absolut. Dalam praktik terorisme mutakhir, prinsip ini bekerja amat sempurna.

Konstruksi historis global inilah yang kemudian menjadi latar perkembangan politik
identitas di Indonesia sekarang ini. Namun, sumber-sumber politik identitas itu juga
memiliki akar-akar lokal. Memang kondisi otoritarianisme Orde Baru telah menghambat
artikulasi kultural dari politik identitas itu, melalui teknik-teknik politik korporatisme,
kooptasi, dan represi. Ekonomi Orde Baru telah berfungsi memoderatkan penyebaran
sosial dari politik identitas, melalui monetisasi kehidupan umum, dan berbagai insentif
kesejahteraan umat. Namun, antropologi bangsa ini rupanya memang kuat bertumpu pada
antropologi keyakinan, yaitu kecenderungan untuk memandang kehidupan secara
ideologis, secara absolut. Akibatnya, penampilan ulang politik identitas justru menjadi-
jadi ketika politik mengalami keterbukaan maksimal dan ekonomi mengalami penurunan
total.
Kontrak sosial demokrasi

Kita tentu tidak ingin kembali pada suasana otoritarian karena jaminan terhadap
demokrasi tidak di dalam rangka tukar tambah politik dengan larangan terhadap politik
identitas. Yang ingin kita upayakan adalah suatu kerangka kerja demokrasi yang mampu
menghargai kondisi antropologis bangsa ini, sekaligus mampu mengembangkan kultur
kritisisme individu dalam kebudayaan politik, yaitu kultur yang secara sosial dapat
mencegah perwujudan-perwujudan absolut dari tuntutan- tuntutan politik identitas itu.
Kultur semacam itu pertama-tama dimaksudkan untuk mendorong pertukaran
kepentingan di antara warga negara, berdasarkan prinsip bahwa politik adalah gejala
temporer yang harus lepas dari obsesi-obsesi permanen.

Kita telah memilih demokrasi. Memilih menjalankan politik majemuk. Memilih


melaksanakan hak asasi manusia. Karena itu, kita harus menerima konsekuensi tertinggi,
yaitu kemajemukan harus menghasilkan kesementaraan tujuan. Tidak ada finalitas dalam
kemajemukan. Demokrasi tidak mungkin mensponsori suatu pandangan politik tunggal.
Demokrasi adalah jaminan rasional terhadap keragaman tujuan hidup individual. Dengan
cara itu, hak asasi manusia dapat diselenggarakan secara maksimal. Karena itu, hal
maksimal yang dapat disediakan demokrasi adalah fasilitas konstitusi untuk konsensus
sekuler di antara berbagai kepentingan temporer. Inilah kontrak sosial sesungguhnya
dalam kehidupan publik, yaitu bahwa jarak politik antara warga negara hanya boleh
diukur berdasarkan ayat-ayat konstitusi, dan bukan dengan ayat-ayat suci.

Menerima pluralisme berarti menerima etika politiknya, yaitu bahwa semua obsesi politik
yang absolut, yang mengejar finalitas, hanya boleh dipraktikkan di wilayah privat. Ini
bukan diskriminasi dalam demokrasi, tetapi konsekuensinya.

Artinya, sejauh "politik identitas" hanya bermaksud artikulatif, maka sistem demokrasi
harus menampung dan memperlakukannya sebagai politics of difference, yaitu suara
marjinal yang harus dilindungi. Namun, begitu ia mulai bermaksud akumulatif, yaitu
berupaya menghomogenkan ruang publik dengan mengintrodusir prinsip-prinsip politik
absolut, demokrasi harus segera menolaknya karena ia mengancam prinsip dasar
demokrasi itu sendiri: ruang publik tidak boleh dirumuskan secara final. Ia harus bebas
dari obsesi-obsesi absolut.

Ruang politik adalah ruang relatif, ruang falibilis, ruang profan. Itulah sebabnya kita
mendaur ulang politik setiap lima tahun. Namun, kita tidak membuat pilkada untuk
Tuhan.

Rocky Gerung Pengajar Filsafat FIB UI

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/29/opini/2678803.htm

You might also like