Professional Documents
Culture Documents
http://www.asmakmalaikat.com/
Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah
menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh
rakyat Indonesia. Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk
pengembalian utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat 'bertengger'
dengan leluasa di atas pundi-pundi uang yang dicuri.
Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah
terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum
nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.
Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala
penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para
'konglomerat hitam'. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan
kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.
Mengecewakan
Dalam catatan ICW, hingga akhir tahun 2005, sudah 60 orang diperiksa. Tapi baru 16
orang yang diproses ke pengadilan, enam tersangka masih dalam proses penyidikan, dan
26 orang lainnya masih dalam proses penyelidikan. Meskipun 16 orang sudah dibawa ke
pengadilan, namun hasil yang dicapai secara keseluruhan sangat mengecewakan. Tiga
tersangka dibebaskan oleh pengadilan.
Dari 13 tersangka yang telah divonis penjara oleh hakim di tingkat pertama, banding,
atau kasasi, hanya Hendrawan Haryono --terpidana kasus korupsi BLBI Aspac-- yang
berhasil dijebloskan ke penjara. Dua terdakwa lainnya tidak langsung masuk ke bui. Dan
yang paling menyedihkan adalah sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri setelah
dinyatakan bersalah dan divonis penjara oleh hakim pengadilan.
Buruknya penanganan kasus BLBI diperparah dengan kebijakan Jaksa Agung --saat
masih dijabat MA Rachman-- yang menghentikan proses penyidikan (SP3) terhadap 10
tersangka korupsi BLBI pada tahun 2004. Alasannya adalah Surat Keterangan Lunas
(SKL) yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres No 8/2002. Inpres tentang Pemberian
Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya
Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya
Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, lebih dikenal dengan Inpres
tentang release and discharge.
Berdasarkan Inpres ini, para debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya,
walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk
tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti
ini, mereka yang diperiksa dalam proses penyidikan akan mendapat SP3. Dan apabila
kasusnya dalam proses di pengadilan, maka akan dijadikan novum atau bukti baru yang
akan menjadi dasar dibebaskannya para terdakwa.
Hingga saat ini tercatat beberapa nama konglomerat papan atas seperti Sjamsul Nursalim,
The Nin King, dan Bob Hasan yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and
discharge dari pemerintah. Padahal, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar Kejaksaan
mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum seperti UU No
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 4 UU itu secara tegas
menyebutkan bahwa ''Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.''
Dengan demikian, jelas bahwa pengembalian aset atau utang sejumlah tersangka korupsi
kepada negara, tidak serta-merta menghapuskan proses tindak pidana korupsi yang
dilakukannya. Seharusnya, pihak Kejaksaan Agung tetap memproses para tersangka yang
terlibat kasus BLBI hingga tahap penuntutan di pengadilan.
Atas pertimbangan tersebut, ICW bersama beberapa LSM dan tokoh masyarakat yang
tergabung dalam Koalisi Tolak Pengampunan Konglomerat Pengemplang Utang, pada 27
Mei 2003 mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung untuk melakukan uji material
(judicial review) atas Inpres tersebut. Dalam gugatannya Koalisi menuntut Inpres itu
dicabut karena telah melanggar dan/atau bertentangan dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Sayangnya, hingga saat ini, atau lebih dari tiga tahun, MA belum juga
mengeluarkan putusan terhadap gugatan tersebut.
Ironi
Setelah pergantian pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri kepada Susilo Bambang
Yudhoyono, tampaknya kebijakan mengenai penyelesaian kasus BLBI tidak mengalami
perubahan. Pemerintah masih bersikap kompromistis terhadap para debitur BLBI dan
lebih memprioritaskan pengembalian keuangan negara daripada penegakan hukumnya.
Ironisnya pemerintah seringkali memperlakukan para konglomerat yang telah dinilai
telah merugikan keuangan negara itu secara istimewa.
Perlakuan istimewa itu ditunjukkan dengan kedatangan tiga debitur BLBI ke Kantor
Presiden pada 6 Februari lalu. Tiga debitur itu adalah Ulung Bursa, pemegang saham
Bank Lautan Berlian; James Januardi, pemegang saham Bank Namura; serta Lukman
Astanto yang mewakili Atang Latief, pemegang saham Bank BIRA. Tidak tanggung-
tanggung, kedatangan tiga debitur BLBI didampingi dua perwira Polri, yaitu Wakil
Kebareskrim Mabes Polri, Irjen Gorries Mere, dan Direktur Reserse Ekonomi Mabes
Polri, Kombes Besar Benny Mamoto.
Di Istana, ketiga debitur tersebut menyatakan bersedia mengembalikan utang BLBI yang
nilainya ratusan milyar rupiah asalkan mendapatkan kepastian hukum atau release and
discharge. Di luar persoalan politis, bisa jadi sikap kompromistis pemerintah terhadap
debitur BLBI didasarkan pengalaman kegagalan BPPN sebelum dibubarkan dalam
penyelesaian kasus korupsi BLBI melalui proses hukum, baik perdata maupun pidana.
Sedangkan ketika diproses secara pidana seperti yang diuraikan sebelumnya, hasilnya
jauh dari memuaskan. Bahkan tidak memberikan efek jera, karena pelakunya divonis
ringan. Jikapun divonis berat, kenyataannya banyak yang melarikan diri keluar negeri.
Akibat mandulnya penyelesaian kasus korupsi BLBI, tidak berlebihan jika kita
menyimpulkan bahwa penegakan hukum berhenti di kasus BLBI.
Oleh: Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)
5. Dalam makalah saya sepuluh tahun yang lalu, yaitu tahun 1994 (penataran untuk dosen
di Fakultas Hukum Universitas Lampung), telah disarankan sejumlah aktivitas Lab-
Hukum sebagai berikut:
5.1. Unit Litigasi (UL) dengan aktivitas a.l.:
(a) Membuat dokumen-dokumen hukum pengadilan, misalnya: surat gugatan dan
jawaban (hukum perdata); surat dakwaan dan pembelaan (hukum pidana); berita acara
sidang (panitera); keputusan perkara (hakim; hukum perdata; hukum pidana); memori
banding; memori kasasi; dan lain-lain.
(b) Praktik beracara di pengadilan: tata tertib; sopan santun; etika beracara (untuk hakim,
jaksa, dan penasehat hukum); dapat disimulasikan melalui “peradilan semu” yang pada
dasarnya akan mengajarkan a.l. teknik, keterampilan, dan etika dasar dalam beracara di
pengadilan dan lain-lain.
(c) Manajemen dalam menangani kasus litigasi: persiapan-persiapan untuk maju di muka
pengadilan; menangani kasus yang mendapat “sorotan publik/pers” atau kasus yang telah
menimbulkan “emosi publik” atau kasus yang menyangkut klien yang “banyak”
(10,50,100) orang; dan lain-lain.
6. Kalau saran sepuluh tahun yang lalu telah dijalankan, maka fakultas hukum tentu
sudah mempunyai Lab-Hukum yang cukup siap dan berpengalaman untuk dikembangkan
menjadi suatu penjurusan atau pengkhususan kependidikan profesi hukum (Professional
school) yang dapat disesuaikan dengan tantangan masa kini. Pada waktu ini (tahun 2004),
peta pendidikan untuk profesi hukum sudah mulai berubah. Perkembangan ekonomi
dunia telah memberikan dampaknya pula pada pendidikan tinggi hukum. Globalisasi
pasar ekonomi telah berpengaruh timbal balik pada perkembangan teknologi informasi
dan perubahan dalam masyarakat, termasuk di bidang hukum. Kampus hukum harus siap
menghadapi persaingan dunia di berbagai aspek aktivitas ekonomi, termasuk
perdagangan di bidang jasa. Pasar jasa dalam negeri pada awal abad ke-21 ini
diprediksikan akan mulai menjadi pasar internasional. Dalam suasana seperti itu, para
sarjana hukum Indonesia harus dapat bersaing dengan jasa hukum yang ditawarkan dari
luar negeri ke Indonesia.
8. Bagaimana sebaiknya kita bersikap? Tidak ada jawaban yang mudah, sederhana, dan
berlaku umum. Pertama, kita harus mengakui kita telah tertinggal dibandingkan
pendidikan profesi hukum di negara-negara tetangga kita (Singapura, Malaysia, Thailand,
dan Filipina). Kita mau menyadari hal itu dan kita harus ingin mengejar ketinggalan kita.
Kedua, kata kunci adalah “kepedulian” dan “kerjasama”. Peduli terhadap sumber-sumber
utama personalia di bidang hukum (hakim, jaksa, advokat) yang sedang menghadapi
masalah. Karena itu perlu ada kerjasama antara organisasi profesi dengan fakultas
hukum. Harus dibangun suatu “strategi bersama” dan suatu “cetak biru” untuk membuka
jalan ke masa depan. Tanpa hal ini mustahil kita dapat mengejar ketinggalan kita!
Bahan Pustaka
Konsorsium Ilmu Hukum (1995). Pembaharuan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia
dalam Menghadapi Tantangan Abad 21. Kumpulan karangan. Seri KIH No. 11, Jakarta
Oleh: Mardjono Reksodiputro,
Disampaikan dalam Diskusi Panel “Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia”
di Kampus FHUI Depok, Jawa Barat
Transformasi Indonesia ke dalam suatu sistem bernegara yang lebih demokratis telah
banyak membuahkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan
rakyat Indonesia. Adapun, perubahan-perubahan tersebut bukan berarti tanpa ada
pergesekan antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru, yang kadang kala tereskalasi
menjadi suatu masalah sosial dan hukum. Namun bagaimanapun juga halangan dan
masalah yang terjadi dalam proses perubahan biarlah tetap menjadi suatu bagian dari
proses alamiah perjalanan suatu sistem bernegara menuju ke arah yang lebih baik.
Berbicara mengenai perubahan dalam dunia pers menjadi suatu hal yang pada saat ini
berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi, apakah akan dianut kebebasan pers
secara murni sebagaimana di negara-negara industri atau barat, ataukah pers yang akan
tetap berada dalam batasan hukum, yang dalam hal ini adalah batasan hukum pidana.
Belum lama ini, kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers
Indonesia, dimana wartawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan karena pemberitaan
yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang. Fakta tersebut kemudian berujung
pada pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat dipidana ketika ia
menjalankan profesinya? Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan kebebasan
secara utuh bebas dari hukum pidana ketika ia menjalankan profesinya? Hal tersebut
menjadi suatu kajian yang menarik untuk ditelaah karena hal tersebut merupakan bagian
dari “masalah” transformasi Indonesia menuju negara yang lebih demokratis dan
menjunjung tinggi hukum.
Kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan
suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media
informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan
hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah
seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi
dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk
menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat
dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman,
sebagaimana pada masa Orde Baru berkuasa dengan istilah self-censorship.
Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD
1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3)
serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan
mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari
perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang
tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga
asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap
semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan
pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD
1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1).
Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki
kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berlaku di Indonesia.
Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh undang-
undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat perundang-
undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk membentuk pers yang
seimbang, transparan dan profesional.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya telah
menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam membuat
pemberitaan. Hal ini patut diwaspadai mengingat belum seluruhnya rakyat Indonesia
memiliki pendidikan dan tingkat intelegensia yang memadai. Jika, pers dibiarkan berjalan
tanpa kontrol dan tanggung jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media
agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang
notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik. Oleh karena
itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling tidak melalui rambu
hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers
yang bertanggung jawab.
Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan
sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak
mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur
kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan
terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan
menggunakan pemberitaan pers sebagai media. Sementara kebebasan pers untuk
melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggung jawab dan
profesional, meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana.
Contohnya adalah, berita Newsweek tentang pelecehan Qur’an di Guantanamo yang
ternyata merupakan kesalahan nara sumber dan Newsweek meminta maaf atas kesalahan
tersebut dan berjanji akan lebih berhati-hati dalam pemberitaan. UU No. 40 Tahun 1999
Tentang Pers (“UU Pers”) sendiri belum mengakomodir mengenai permasalahan
tersebut. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda
jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta
masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers).
Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi
untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang sebenarnya yang untuk
sementara pihak dianggap tidak mengandung ketidakseimbangan dalam pers, namun
dalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan, karena yang salah adalah UU Pers yang
tidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang
dapat timbul dalam pemberitaan pers.
UU Pers sendiri tidak mengatur secara tegas siapa yang harus menjadi penanggung jawab
dalam perusahaan pers terhadap berita-berita yang dikeluarkan. Apakah itu pemimpin
redaksi atau wartawan? UU pers tidak mengatur secara jelas. Pasal 12 UU Pers hanya
mengatur bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung
jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam masalah pertanggung
jawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa konsep kebebasan pers dalam mengeluarkan
pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak bagi proses demokratisasi suatu negara.
Hanya saja, kebebasan tersebut bukanlah kebabasan yang mutlak dan tanpa batas. Untuk
mencegah disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah, dan penghasutan
diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang
kebebasan pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional dan
bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia seusai dengan
perananan pers nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Pers, yaitu:
1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum,
dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan;
3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum;
5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Jika melihat dari sudut pandang rancangan undang-undang KUHP (“RUU KUHP”) yang
baru saat ini, maka Pasal 511 sampai dengan Pasal 515 RUU KUHP telah
mengakomodasi permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam
pemberitaan Pers.
Untuk masalah penghinaan Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP telah mengatur secara jelas
mengenai kriteria tindak pidana penghinaan, yaitu terlihat dari unsur-unsurnya sebagai
berikut:
1. setiap orang;
2. dengan lisan;
3. menghina menyerang;
4. kehormatan atau nama baik orang lain;
5. menuduhkan suatu hal;
6. dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.
Untuk Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP tersebut ancaman hukumannya adalah pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp.
30.000.000,-). Sedangkan untuk tindak pidana yang dilakukan secara tertulis diatur dalam
Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP, sebagai pemberat tindak pidana terhadap Pasal 511 Ayat
(1) RUU KUHP. Pemberatan tersebut akan dikenakan apabila penghinaan tersebut
memenuhi unsur-unsur: dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum. Dengan demikian jika tindak pidana
penghinaan dilakukan melalui pemberitaan pers telah memenuhi unsur-unsur yang diatur
dalam Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP. Akan tetapi dalam Pasal 511 Ayat (3) RUU
KUHP diatur pula mengenai dasar pembenar untuk melakukan hal-hal yang diatur dalam
Pasal 511 Ayat (1) dan (2) RUU KUHP, yaitu jika perbuatan tersebut dilakukan untuk
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Untuk Pasal 511 Ayat (2)
RUU kUHP ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-).
Untuk tindak pidana fitnah, hal tersebut diatur dalam Pasal 512 RUU KUHP. Tindak
pidana fitnah itu sendiri merupakan pengembangan dari tindak pidana penghinaan baik
yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (1) maupun Ayat (2) RUU KUHP. Tindak pidana
fitnah merupakan tindak pidana penghinaan yang ditambahkan unsur kesempatan bagi
pelaku penghinaan untuk membuktikan kebenaran apa yang dituduhkannya, dan jika apa
yang dituduhkan oleh si pelaku tersebut tidak terbukti, maka ia telah melakukan tindak
pidana fitnah. Apabila tindak pidana fitnah itu dilakukan melalui media pemberitaan pers
maka tindak pidana fitnah tersebut akan memenuhi unsur Pasal 511 Ayat (2) RUU
KUHP.
Untuk tindak pidana fitnah (Pasal 512 RUU KUHP) ancaman hukumannya adalah pidana
penjara paling sedikit 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Kategori III (Rp.
30.000.000,-) dan paling banyak Kategori IV (Rp.75.000.000,-). Dengan demikian RUU
KUHP sendiri di lain sisi juga cukup memberikan perlindungan bagi kebebasan pers,
yaitu kesempatan bagi terdakwa pelaku penghinaan atau fitnah untuk membuktikan
kebenaran mengenai apa yang dituduhkannya, atau dalam hal penghinaan atau fitnah
tersebut dilakukan melalui pemberitaan pers maka wartawan yang melakukan
pemberitaan tersebut dapat diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran
mengenai pemberitaannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 512 Ayat (2) RUU KUHP,
dimana diatur bahwa pembuktian kebenaran akan tuduhan yang dilakukan tersebut,
hanya dapat dilakukan dalam hal:
1. hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna
mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut
untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri;
2. pegawai negeri dituduh melakukan suatu hal dalam melakukan tugas jabatannya.
Selanjutnya Pasal 513 Ayat (1) RUU KUHP memberikan dasar pemaaf bagi pelaku
penghinaan dan fitnah yaitu apabila tuduhan yang dibuat oleh si pelaku tersebut terbukti
kebenarannya berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht
van gewijsde) maka, si pelaku tidak dapat dipidana atas fitnah. Hal ini tentu saja berlaku
juga terhadap tindak pidana fitnah yang dilakukan melalui pemberitaan pers. Jika
pemberitaan pers yang dianggap menghina atau menfitnah itu dapat dibuktikan
kebenarannya maka, wartawan yang menjadi terdakwa tidak dapat dipidana atas tuduhan
penghinaan atau fitnah. Sebaliknya, jika berdasarkan putusan hakim yang telah
berkekekuatan hukum tetap perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, maka si
terhina atau si terfitnah tersebut dibebaskan dari apa yang dituduhkan, dan putusan
tersebut menjadi bukti sempurna bahwa apa yang dituduhkan tersebut tidak benar. Dalam
hal ini benar-benar diperlukan hakim atau pengadilan yang betul-betul menghayati dan
memahami seluk-beluk penerapan hukum pidana khususnya tentang penghinaan dan
fitnah.
Dalam hal terjadi kasus penghinaan atau fitnah, maka proses persidangan terdakwa
penghinaan atau fitnah akan ditunda terlebih dahulu jika hakim memutuskan untuk
membuktikan kebenaran akan apa yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah
tersebut (Pasal 513 Ayat 3 RUU KUHP) yang dilakukan baik secara lisan maupun secara
tertulis (termasuk media pemberitaan pers). Setelah persidangan masalah pembuktian
kebenaran tuduhan tersebut mempunyai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
maka barulah proses persidangan perkara penghinaan atau fitnah dilanjutkan. Hal
tersebut dilakukan karena pembuktian akan kebenaran tentang hal yang dituduhkan
dalam penghinaan atau fitnah tersebut akan menjadi alat bukti yang sangat menentukan
dalam persidangan perkara penghinaan atau fitnah.
Perlu ditekankan juga bahwa tindak pidana penghinaan dan fitnah adalah merupakan
delik aduan (Pasal 518 RUU KUHP) karena pelaku tindak pidana penghinaan dan fitnah
tidak akan dituntut, jika tidak ada pengaduan dari orang yang berhak mengadu, kecuali
jika yang dihina atau difitnah adalah seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan
tugasnya yang sah (Pasal 515 RUU KUHP).
Dalam pembuktian pidana penghinaan dan fitnah yang dilakukan melalui media
pemberitaan pers, tentu saja harus terdapat opzet atau kesengajaan pelaku untuk
melakukan tindak pidana, dan juga adanya schuld atau kesalahan dalam perbuatan
tersebut. Jadi sesungguhnya bukan pemberitaan pers yang dipidanakan tetapi perbuatan
menghina atau memfitnah tersebut yang dipidana.
Harus diakui bahwa belum semua pers Indonesia dikelola secara profesional dan mampu
melakukan pemberitaan yang bertanggung jawab, banyak perusahaan pers yang
mengeluarkan berita-berita gosip dan pernyataan-pernyataan yang tidak benar atau bias.
Di lihat dari sisi lain kepentingan masyarakat, tentu saja pers yang tidak berkualitas akan
sangat merugikan karena tidak mendidik masyarakat dan sebagai pembentuk opini
publik, pers akan sangat berbahaya jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang
memiliki tujuan-tujuan yang melanggar hukum.
Oleh karena itu jika dipandang dari sudut pandang hukum pidana khususnya dalam RUU
KUHP, hukum secara seimbang telah mengatur antara kebebasan pers dan pertanggung
jawaban isi dari beritanya, dan perlu diingat bahwa pasal-pasal penghinaan dan fitnah
dalam RUU KUHP adalah pasal-pasal yang mengatur mengenai tindak pidana
penghinaan dan fitnah secara umum (general) jadi tidak hanya mengacu pada
pemberitaan pers saja. Justru dengan adanya pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah
dalam RUU KUHP maka pers Indonesia didorong untuk menjadi lebih profesional dan
lebih bertanggung jawab dalam menerbitkan pemberitaan. Hal tersebut karena pers selain
mempunyai tugas untuk memberikan informasi secara terbuka dan transparan terhadap
masyarakat, pers juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik masyarakat dan untuk
menjaga opini publik, yang rentan terhadap situasi sosial politik di negara seperti
Indonesia.
Akan tetapi ada yang perlu dikritisi dalam pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah
RUU KUHP yaitu mengenai pembuktian akan kebenaran tuduhan yang dibuat oleh
terdakwa penghinaan atau fitnah yang didasarkan atas kepentingan umum atau
pembelaan diri. Berdasarkan Pasal 512 Ayat (2) RUU KUHP pembuktian kebenaran
tuduhan yang dibuat oleh terdakwa penghinaan atau fitnah sepenuhnya tergantung pada
keputusan hakim, sedangkan seharusnya pembuktian mengenai apa yang dituduhkan
sebagai penghinaan atau fitnah harus dilakukan tanpa kecuali karena hal tersebut
merupakan bukti apakah si terdakwa benar melakukan tindak pidana atau tidak.
Hal lain yang perlu dikritisi adalah tidak efisiennya persidangan, karena sidang
pembuktian akan kebenaran tuduhan fitnah atau penghinaan pasti akan memakan waktu
yang lama sehingga asas peradilan yang cepat, dan biaya murah sulit untuk diterapkan
dalam kasus penghinaan dan fitnah.
Sebagai penutup, kebebasan pers merupakan hal yang mutlak untuk dijaga dan dijamin
secara hukum. Namun demikian pers sebagai bagian dari demokrasi harus memiliki
profesionalisme dan tanggung jawab dalam melakukan tugasnya. Oleh karena itu hukum
berada ditengah masyarakat guna untuk menciptakan keseimbangan antara demokrasi,
kebebasan, dan tanggung jawab. Pers tidak kebal hukum tetapi kebebasan pers tidak
pernah terancam karena kebebasan pers bukan merupakan kejahatan.
Pendahuluan.
1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara.
Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU korupsi, baik yang lama yaitu
UUD no.3 tahun 1971 maupun yang baru yaitu UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun
2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan
atau diganti oleh pelaku korupsi.
2. Menurut UU korupsi tersebut, pengembalian kerugian keuangan negara dapat
dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen pidana dan instrumen perdata.
Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan
selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar dirampas oleh Hakim. Instrument perdata
dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan terhadap
pelaku korupsi (tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana
meninggal dunia). Instrumen pidana lebih lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih
sederhana dan mudah.
Kasus perdata.
1. Penggunaan instrumen perdata dalam perkara korupsi, menimbulkan kasus perdata
yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik materiil
maupun formil.
2. UU korupsi lama yaitu UU no.3 tahun 1971, tidak menyatakan digunakannya
instrumen perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Tetapi dalam
praktek instrumen perdata ini digunakan oleh Jaksa, berkaitan dengan adanya hukuman
tambahan yaitu pembayaran uang pengganti terhadap terpidana vide pasal 34 (C) UU
tersebut. Dalam hal ini Jaksa Pengacara Negara (selanjutnya disingkat JPN) melakukan
gugatan perdata terhadap terpidana, agar membayar uang pengganti sebagaimana
ditetapkan oleh Hakim pidana yang memutus perkara korupsi yang bersangkutan.
3. UU Korupsi yang berlaku saat ini, yaitu UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001
dengan tegas menyatakan penggunaan instrumen perdata, sebagaimana pada pasal 32, 33,
34, UU no.31 tahun 1999 dan pasal 38 C UU no.20 tahun 2001.
4. Kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan instrumen perdata
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara,
tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka
penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan.
Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN
atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas
tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut (pasal 32 ayat (1) UU no.31
tahun 1999)
b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara
nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi.
Dalam hal ini penuntut umum (PU) menyerahkan putusan Hakim kepada JPN atau
kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas
terdakwa yang telah merugikan keuangan negara (pasal 32 ayat (2) UU no.31 tahun
1999)
c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka meninggal dunia,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa
dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada JPN atau
kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris
tersangka (pasal 33 UU no.31 tahun 1999)
d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan,
sedangkan secara nyata telah ada keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan
salinan berkas berita acara sidang kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk
dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa (pasal 34 UU no.31 tahun 1999)
e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap,
diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan
perampasan, (sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta
benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi), maka negara dapat melakukan gugatan
perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (pasal 38 C UU no.20 tahun 2001).
Dalam kasus ini instansi yang dirugikan dapat memberi kuasa kepada JPN atau kuasa
hukumnya untuk mewakilinya.
Proses perdata.
1. Sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan
negara menggunakan instrument perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum
perdata materiil maupun formil, meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
2. Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materiil, maka
proses perdata menganut sistem pembuktian formil yang dalam prakteknya bisa lebih
sulit daripada pembuktikan materiil. Dalam tindak pidana korupsi khususnya, di samping
penuntut umum, terdakwa juga mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan karena korupsi. Beban
pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik terbatas” (penjelasan pasal
37 UU no.31 tahun 1999)
3. Dalam proses perdata beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat, demikian
halnya untuk kasus-kasus tersebut angka 4a – e di atas, beban pembuktian ada pada JPN
atau instansi yang dirugikan sebagai penggugat. Dalam hubungan ini penggugat
berkewajiban membuktikan antara lain:
a. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
b. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka
terdakwa atau terpidana.
c. Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat digunakan
untuk pengembalian kerugian keuangan negara.
4. Untuk melaksanakan gugatan perdata tersebut sungguh tidak gampang. Ichwal yang
menghadang dalam praktek dapat dicontohkan seperti di bawah ini.
a. Dalam pasal 32, 33 dan 34 UU no.31 tahun 1999 terdapat rumusan “secara nyata telah
ada kerugian negara”. Penjelasan pasal 32 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“secara nyata telah ada kerugian negara adalah kerugian negara yang sudah dapat
dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan
publik”
Pengertian “nyata” di sini didasarkan pada adanya kerugian negara yang sudah dapat
dihitung jumlahnya oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik. Jadi pengertian
“nyata” disejajarkan atau diberi bobot hukum sama dengan pengertian hukum “terbukti”.
Dalam sistem hukum kita, hanya Hakim dalam suatu persidangan pengadilan mempunyai
hak untuk menyatakan sesuatu terbukti atau tidak terbukti. Perhitungan instansi yang
berwenang atau akuntan publik tersebut dalam sidang pengadilan tidak mengikat hakim.
Hakim tidak akan serta merta menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang
benar, sah dan karenanya mengikat.
Demikian halnya dengan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana) juga dapat
menolaknya sebagai perhitungan yang benar, sah dan dapat diterima. Siapa yang
dimaksud dengan “instansi yang berwenang”, juga tidak jelas; mungkin yang dimaksud
instansi seperti BPKP, atau BPK. Mengenai “akuntan publik”, juga tidak dijelaskan siapa
yang menunjuk akuntan publik tersebut; penggugat atau tergugat atau pengadilan?
b. Penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) harus dapat membuktikan bahwa
tergugat (tersangka, terdakwa, atau terpidana) telah merugikan keuangan negara dengan
melakukan perbuatan tanpa hak (onrechmatige daad, factum illicitum). Beban ini
sungguh tidak ringan, tetapi penggugat harus berhasil untuk bisa menuntut ganti rugi.
c. Kalau harta kekayaan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana) pernah disita, hal
ini akan memudahkan penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) untuk melacaknya
kembali dan kemudian dapat dimohonkan oleh penggugat agar Hakim melakukan sita
jaminan (conservatoir beslag). Tetapi bila harta kekayaaan tergugat belum (tidak pernah
disita), maka akan sulit bagi penggugat untuk melacaknya; kemungkinan besar hasil
korupsi telah diamankan dengan di atas namakan orang lain.
d. Pasal 38 C UU no.20 tahun 2001 menyatakan bahwa terhadap “harta benda milik
terpidana yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum
dikenakan perampasan untuk negara………………….. negara dapat melakukan gugatan
perdata”.
Dengan bekal “dugaan atau patut diduga” saja penggugat (JPN atau instansi yang
dirugikan) pasti akan gagal menggugat harta benda tergugat (terpidana). Penggugat harus
bisa membuktikan secara hukum bahwa harta benda tergugat berasal dari tindak pidana
korupsi; “dugaan atau patut diduga” sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum
dalam proses perdata.
e. Proses perkara perdata dalam prakteknya berlangsung dengan memakan waktu
panjang, bahkan bisa berlarut-larut. Tidak ada jaminan perkara perdata yang berkaitan
dengan perkara korupsi akan memperoleh prioritas. Di samping itu, sebagaimana
pengamatan umum bahwa putusan Hakim perdata sulit diduga (unpredictable)
Upaya konvensional
1. Kalau kita simak penjelasan umum UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001,
maka pembuat UU berikrar akan memberantas korupsi dengan “cara luar biasa” dan
dengan “cara yang khusus”, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistimatik dan
meluas serta telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.
“Cara luar biasa” dan “cara yang khusus” yang dimaksud adalah pembuktian terbalik
yang dibebankan kepada terdakwa, alat bukti elektronik, tindak pidana korupsi
dirumuskan secara tegas sebagai delik formil, korporasi sebagai subyek tindak pidana
korupsi, ancaman pidana minimum, pidana penjara bagi terpidana yang tidak dapat
membayar uang pengganti, perluasan pengertian pegawai negeri, gugatan perdata untuk
mengembalikan kerugian keuangan negara dan sebagainya.
2. Kalau kita perhatikan uraian mengenai hambatan-hambatan yang diperkirakan dapat
timbul dalam penggunaan instrumen perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan
negara, maka gugatan perdata terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana yang
dimaksud oleh UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001 merupakan upaya standard
bahkan konvensional dan sama sekali bukan “cara luar biasa” atau “cara yang khusus”.
3. Mengingat proses perdata yang tidak mudah, maka dapat diperkirakan bahwa upaya
pengembalian kerugian keuangan negara sulit memperoleh keberhasilan. Kalau
ketidakber-hasilan ini sering terjadi, maka akan menimbulkan penilaian yang keliru,
khususnya terhadap JPN karena dianggap gagal melaksanakan perintah UU.
Kesimpulan.
1. Dengan instrumen hukum perdata yang standard atau konvensional sebagaimana yang
disediakan oleh UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001, upaya mengembalikan
kerugian keuangan negara tidak akan efektif, karena banyak hambatan yang menghadang.
2. Untuk extra ordinary crime seperti korupsi, perlu instrumen yang juga extra ordinary,
agar pemulihan kerugian keuangan negara bisa efektif, yaitu antara lain dengan
memberlakukan konsep pembuktian terbalik secara penuh dalam proses perdata,
khususnya dalam kaitannya dengan harta benda tergugat (tersangka, terdakwa atau
terpidana). Artinya tergugat diberi beban untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya
tidak berasal dari korupsi. Di samping itu perlu penyederhanaan proses, misalnya proses
sita jaminan (conservatoir beslag).
3. Pembuat UU no. 31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001 rupanya tidak memahami
asas-asas dan praktek litigasi perkara perdata, sehingga berasumsi bahwa pengembalian
kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen perdata bisa efektif.
oleh: Suhadibroto
Selama empat belas tahun eksistensi PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di
Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan.
Banyaknya putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah menimbulkan pesimisme
dan apatisme dalam masyarakat. Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial
dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Kondisi ini merupakan suatu fakta yang
memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN belum dapat membawa keadilan bagi
masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Prinsip adanya peradilan TUN,
untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik
menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak
memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat
mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN.
Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan
diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat
kepala daerah di tingkat II memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya
dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan-keputusan administratif.
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari
pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu
pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap
tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat.
Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan
rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja. Demikian juga semangat
prinsip dari PTUN tersebut harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan
kewenangan yang besar dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti “abuse
of power” dan “excessive power” sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam
hal ini.
Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak
terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan
PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari
pejabat TUN. Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam UU No. 5 tahun
1996 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan PTUN.
Baru-baru ini pemerintah telah sadar akan tumpulnya pelaksanaan putusan PTUN yang
hanya menyandarkan pada kesadaran yang dirasa kurang efektif sehingga pemerintah
mengundangkan UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun perubahan yang mendasar dalam UU No. 9 tahun
2004 terletak pada Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan uang paksa
bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi
di media cetak. Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau
pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakam hukuman. Namun, dalam
penerapannya pemberlakuan uang paksa (dwangsom) masih menimbulkan permasalahan
antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa (dwangsom), siapa yang
akan dibebankan uang paksa (dwangsom), dan sejak kapan uang paksa (dwangsom)
diberlakukan.
Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat dapat diterapkan pada semua putusan PTUN.
Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat
penghukuman (putusan condemnatoir). Pejabat TUN yang sedang menjalankan tugasnya
dalam kedinasan dan kemudian menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat, namun
tugas tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum maka kerugian yang dialami
masyarakat haruslah dibebankan kepada negara. Karena merupakan kesalahan teknis
dalam menjalankan dinas.
Lain halnya jika pada saat pejabat TUN tidak patuh untuk melaksanakan putusan PTUN
maka pada saat tersebut pejabat TUN tidak sedang melaksanakan peran negara. Apabila
terjadi hal demikian maka pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada
pejabat TUN yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang
dikembangkan dari Yurisprudensi Counsil d’Etat yang membedakan kesalahan dinas
(Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle).
Dalam pelaksanaan penerapan uang paksa. mekanisme pembayaran uang paksa juga
perlu diperhatikan, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan PTUN adalah
pejabat TUN yang masih aktif yang masih mendapatkan gaji secara rutin. Maka akan
lebih efektif jika pengenaan dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang
bersangkutan. Dan perintah pemotongan gaji dalam amar putusan hakim diperintahkan
kepada Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Namun untuk
melaksanakan pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada pejabat TUN yang
bersangkutan masih menimbulkan kendala. Kendala yang pertama adalah apabila dalam
pelaksanaan eksekusi ternyata pejabat TUN yang bersangkutan dipindah tugaskan ke
tempat wilayah kerja KPKN yang berbeda. Upaya yang dapat dilakukan untuk
menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya koordinasi antara PTUN yang satu
dengan PTUN yang lain, dan antara PTUN dengan Pengadilan Negeri jika ternyata
pejabat TUN bersangkutan pindah ditempat yang tidak ada PTUN. Kendala selanjutnya
adalah apabila gaji pejabat yang bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar uang
paksa. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hal ini adalah dengan cara
pejabat bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan mempertimbangkan sisa gaji
yang layak untuk biaya hidup.
Lalu satu lagi sanksi yang dapat dikenakan pada pejabat TUN yang membandel adalah
sanksi administratif. Sanksi administratif yang dapat diberikan berdasarkan PP No. 30
tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan
pangkat, pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian
tidak dengan hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling
tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau
menggunakan kewenangan jabatannya. Perintah penjatuhan sanksi administratif
ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk menghukum pejabat TUN tersebut.
Namun, dalam hal apabila pejabat TUN adalah gubernur dan bupati karena sesuai dengan
UU Otonomi Daerah secara hirarki ia tidak mempunyai atasan sebagai pejabat yang
berwenang untuk menghukum, maka dalam hal ini tentunya hakim dapat memilih
pengenaan uang paksa (dwangsom).
Langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk merevisi Pasal 116 UU No. 9 tahun
2004 merupakan salah satu kemajuan dari perkembangan kepastian hukum. Namun
ketentuan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut masih belum efektif dilaksanakan.
Untuk melaksanakan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut diperlukan adanya
petunjuk pelaksanaan dan petujnjuk teknis. Diharapkan dengan adanya revisi tersebut
pelaksanaan otonomi daerah dapat terkontrol dengan seimbang dan adil sehingga
membawa kemakmuran bagi masyarakat.
Pada hakekatnya supremasi hukum hanya dapat tercapai kalau putusan pengadilan c.q.
putusan PTUN dapat dieksekusi sehingga menimbulkan efek jera kepada para pejabat
yang menyalahgunakan wewenang.
Peran sektor usaha dalam pemenuhan, pemajuan, dan perlindungan HAM di Indonesia
tidak lepas dari Global Compact yang digulirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
(tahun 1999) dan dokumen PBB tentang tanggung jawab perusahaan (transnational)
terhadap HAM (disahkan dalam tahun 2003). Bersama-sama dengan sepuluh asas Global
Compact (GC), maka konsep Corporate Social Responsibilities (CSR) sekarang
merupakan bagian pedoman melaksanakan Good Corporate Governance (GCG).
Sekarang, masalah etika bisnis dan akuntabilitas bisnis makin mendapat perhatian
masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal dalam menghadapi
perusahaan-perusahaannya, mulai terdengar suara bahwa karena “self-regulation” terlihat
gagal, maka diperlukan peraturan (undang-undang) baru yang akan memberikan “higher
standards for corporate pratice” dan “tougher penalties for executive misconduct”(1).
Global Compact terdiri dari sepuluh asas: dua di bidang HAM (no. 1-2), empat di bidang
standar tenaga kerja (no. 3-6), tiga di bidang lingkungan hidup (no. 7-9), dan satu di
bidang anti-korupsi (no.10; masuk tahun 2004). Asas-asas dalam GC ini dapat ditemukan
pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita, khususnya mengenai
ketenagakerjaan, perlindungan lingkungan hidup, dan pemberantasan korupsi. Tentang
HAM kita tentu merujuk kepada KomNas HAM dan Konstitusi (UUD 1945) kita yang
mempunyai Bab XA tentang HAM (Pasal 28 A s/d Pasal 28J - Perubahan II tahun 2002)
(2).
Dalam Kerangka Acuan (TOR) pertemuan ini antara lain dijelaskan bahwa Corporate
Social ResponsibillitY (CSR) telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional
dan nasional di Indonesia. Umumnya kepatuhan dan pelaksanaan CSR ini dikaitkan
dengan program Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development).
Sebenarnya CSR tidak saja berhubungan dengan CD, justru CSR harusnya lebih terkait
pada GC. Sebagaimana kita tahu GC adalah sejumlah asas yang berlaku secara sukarela
pada perusahaan yang mau turut serta dalam GC tersebut. Peningkatan CSR akan
memperkuat pengaruh GC pada perilaku perusahaan (corporate behaviour).
Selanjutnya dikatakan bahwa konsep CSR itu memang agak tumpang tindih, (overlap)
dengan konsep (good) corporate governance (CG) dan konsep etika bisnis (EB). Dalam
CG kita mengacu pada standar dasar yang bertujuan pada ketaatan (compliance) terhadap
peraturan negara maupun aturan internal perusahaan. Etika bisnis lebih luas konsepnya,
didasarkan pada nilai-nilai yang melampaui ketentuan atau norma aturan (peraturan).
Pada dasarnya CG dan EB fokusnya adalah pada internal perusahaan dan diwujudkan
sebagian besar dalam bentuk aturan (rules-based flavour)(4).
Sebaliknya, masih menurut Wineberg(5), CSR itu lebih berdasarkan nilai-nilai (values-
based) dan fokusnya keluar (external) perusahaan. Karena itu CSR juga ditujukan pada
jajaran stakeholder yang lebih luas. Misalnya, stakeholder internal, seperti: pegawai,
pemegang saham; stakeholder ekstenal: komuniti, customer, LSM; dan stakehoder
lainnya seperti: supplier, kelompok SRI (social responsible investors) dan licensing
patners. Dengan demikian dalam SC, perhatian manajemen tidak saja harus ditujukan
pada standar dasar ekonomi, tetapi juga pada dampak kegiatan perusahaan itu terhadap
lingkungan hidup, komuniti, sekitarnya dan masyarakat pada umumnya.
Dalam iklim reformasi dan demokrasi di Indonesia sekarang ini, keterbukaan dan
akuntabilitas sangat dipentingkan dan diperhatikan oleh publik. Peranan pengawasan
publik dilakukan melalui LSM (NGO), sebagai organisasi nir-laba yang pendukungnya
menyuarakan berbagai “public issues”, yang punya dampak besar pada penyelenggaraan
bisnis di indonesia. Perusahaan harus menyadari bahwa suara LSM ini mempunyai
pengaruh besar dan sangat diperhatikan oleh konsumen perusahaan dan karena itu tidak
dapat diabaikan(8). Isu bagaimana tenaga kerja mempersepsikan suatu perusahaan juga
akan berpengaruh pada rekrutmen pegawai, memotivasi kerja mereka, dan mengusahakan
mereka tidak pindah ke perusahaan lain. Tenaga ahli yang cakap sekarang juga sudah
mulai memilih perusahaan yang dinilai baik dari segi kepemimpinannya dalam
melaksanakan CSR (CSR leadership). Karena itu “faktor pendukung daya saing” juga
harus dilihat dari program CSR yang dijalankan oleh perusahaan. Seperti dikutip
Wineberg(9) dari suatu survei CEO di Eropa tahun 2002: “.......78% of the chief
executives agreed that integrating responsible business practices makes a company more
competitive”.
Global Compact telah memasukkan “anti-korupsi” sebagai asas ke-10 (dalam tahun
2003). Dalam tahun yang sama, PBB telah mengeluarkan Konvensi Global Anti-Korupsi,
dan yang telah turut ditandatangani pula oleh Indonesia. Dalam pengertian “responsible
business practices” di atas, tentunya termasuk pula usaha perusahaan untuk menolak
melakukan transaksi yang mempunyai sifat “penyuapan” dan/atau “korupsi”(10).
(a) mengenai “scope and legal status of initiatives and standards”, apakah dapat menjadi
dasar untuk “binding obligations enforceable in national law”; diambil sebagai contoh
Voluntary Guidelines on Security and Human Rights, yang baru dapat ditegakan apabila
dimasukkan sebagai klausula dalam kontrak-kontrak dengan perusahaan sekuriti;
(b) mengenai legitimasi dari para penyusun “initiatives dan standards”; dalam hal inisiatif
dan standar ini diambil-alih (adopted) oleh pemerintah, maka status hukumnya akan
menjadi lebih kuat;
(c) mengenai verifikasi (verification) tentang ketaatan perusahaan pada standar perilaku
bisnis yang sudah disepakati; bagaimana meningkatkan (improve) verifikasi ini?
(d) mengenai “the meaning of complicity”, sejauh mana perusahaan dapat dianggap
“turut serta” dalam pelanggaran HAM, misalnya membayar pajak yang digunakan
pemerintah bersangkutan untuk kegiatan yang melanggar HAM? [penyertaan dalam
KUHPidana, diatur dalam Pasal 55-56 - yurisprudensi Indonesia belum jelas apakah
konsep penyertaan: (i) memperluas tanggung jawab pidana, atau (ii) memperluas
perbuatan (tindak) pidana].
Sehubungan dengan luas lingkup suatu perusahaan dapat dianggap turut serta (merupakan
pelaku peserta) dalam pelanggaran HAM, dapat berkaitan dengan penggunaan
perusahaan (atau tenaga) satuan pengamanan (satpam). Telah sering terjadi bahwa unit
(satuan) pengamanan perusahaan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar HAM
(misalnya mulai dari “menggeledah badan pekerja” sampai dengan “menghalau”
demontrasi pekerja). Dengan sendirinya perusahaan bertanggung jawab atas pelanggaran
HAM ini, baik secara gugatan sipil (civil laibility), maupun dakwaan kriminal (criminal
liability). Akan lebih rumit permasalahannya kalau pelanggaran HAM dilakukan oleh
unit pengamanan yang berasal dari Kepolisian atau TNI. Unit pengamanan ini biasanya
memperoleh pula bantuan biaya dari perusahaan. Apakah “bantuan biaya” ini dapat
ditafsirkan bahwa perusahaan telah “membantu” terjadinya pelanggaran HAM? Ingat
bahwa asas Global Compact kedua meminta “that businesses should make sure that they
are not complicit in human right abuses”(12)!
Untuk negara yang berada dalam keadaan transisi seperti Indonesia, KKN dan pencucian
uang (money laundering) merupakam masalah besar. Meningkatnya pertumbuhan
kejahatan transnasional telah diakui oleh PBB dengan disahkannya UN Convention
against Transnational Organized Crime (2000) yang dianggap sebagai ancaman pada “the
integrity of national financial industries”. Masalah ini cukup banyak dibicarakan di
Indonesia, dan berbagai studi dan rekomendasi telah pula di ajukan(15). Untuk perhatian
kita bersama hanya perlu dikemukakan bahwa pada tanggal 18-25 April 2005 di Bangkok
(Thailand) akan berlangsung The Eleventh UN Congress on Crime Prevention and
Criminal Justice, dengan tema “Synergies and responses: strategic alliances in crime
prevention and criminal justice”. Dari sekian banyak topik agenda, yang relevan dengan
pertemuan ini adalah agenda pembicaraan(16):
(1) Effective measures to combat transnational organized crime (dengan antara lain isu:
international law enforcement cooperation, including extradition measures);
(2) Corruption: threats and trends in the twenty first century (dengan antara lain isu:
criminal justice reform);
(3) Economic and financial crime: challenges to sustainable development (dengan antara
lain isu: measures to combat terrorism and economic crime, including money laundering;
dan measures to combat computer-related crime).
Dalam kenyataan kita tahu bahwa badan hukum PT (selanjutnya “korporasi”) berbuat
atau bertindak melalui manusia (yang dikenal dalam UU Perseroan Terbatas No. 1/1995
sebagai Direksi). Dalam Pasal 82 dikatakan bahwa “Direksi bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili ... baik
di dalam maupun di luar pengadilan”. Dengan demikian antara Direksi dan korporasi ada
hubungan istimewa yang dinamakan “fiduciary relationship” (hubungan kepercayaan),
yang melahirkan “fiduciary duties” bagi setiap anggota Direksi(18).
Dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek
hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatig handelen; tort). Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan
(doelmatigheid) dan keadilan (bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum perdata suatu
korporasi (legal person) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum,
disamping para anggota direksi sebagai natural persons. Oleh karena itu suatu korporasi,
secara hukum Indonesia, dapat dinyatakan bersalah (terpisah dari direksinya),
berdasarkan hukum perdata (gugatan perdata) karena telah tidak memenuhi CSR, apabila
asas-asas dalam Global Compact telah menjadi “binding obligations enforceable in
national law” (lihat halaman 5-6 makalah ini: HAM dan CSR).
Berbeda permasalahannya dalam hukum pidana. Dalam ilmu hukum pidana Indonesia,
gambaran tentang pelaku tindak pidana (kejahatan) masih sering dikaitkan dengan
perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pelaku (fysieke dader). Dalam pustaka hukum
pidana modern telah diingatkan, bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu
lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan
kejahatannya itu secara fisik. Dikatakan bahwa karena perbuatan korporasi selalu
diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), maka pelimpahan
pertanggungjawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi
(badan hukum; legal person) dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas
kemasyarakatan berlaku sebagai perbuatan korporasi. Ini yang dikenal sebagai konsep
hukum tentang “pelaku fungsional” (functionele dader)(19).
Meskipun KUHPidana kita (yang berasal dari masa Hindia Belanda), belum menerima
pemikiran di atas (Pasal 59 WvS 1918) dan menyatakan bahwa (hanya) pengurus
(direksi) korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana (criminal
liability), sebenarnya konsep criminal liability of corporations sudah ada sejak tahun
1955 di Indonesia(20).
Penutup
Dalam konteks pertemuan ini dengan tema “Peran Sektor Usaha dalam Pemenuhan,
Pemajuan, dan Perlindungan HAM di Indonesia”, maka ingin ditekankan pada tugas
pengurus (direksi) perusahaan (korporasi sebagai subyek hukum mandiri). Pengurusan
(dalam Pasal 79 UU PT di pergunakan istilah “Kepengurusan”) dijelaskan sebagai tugas
Direksi ”yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan”. Sebenarnya
pengurusan adalah lebih daripada “melaksanakan (keputusan RUPS)” dan juga lebih
daripada “pengurusan sehari-hari”. Pengurus harus “memimpin”, “menyusun rencana
masa depan”, “menyusun program kerja (baru)”, dan “memperinci kebijakan
perusahaan”. Dan dalam kaitan CSR, pengurusan ini tidak saja ditujukan ke dalam
(stakeholder internal), tetapi juga keluar (stakeholder Eksternal) (lihat halaman 2-3 di
depan).
Karena itu pengurus harus juga dapat dalam “kepengurusan”-nya untuk merujuk pada
kepentingan umum atau broader societal goals. Dengan ini dimaksudkan kepentingan-
kepentingan di luar organisasi perseroan secara langsung, atau lebih tepat mungkin
kepentingan dan tujuan stakeholder eksternal, dengan mengacu pada asas-asas Global
Compact dan berdasarkan tanggung jawab menurut konsep Corporate Social
Responbility.
Penulis adalah Teman Serikat dalam Kantor Konsultan Hukum ABNR dan Sekretaris
KHN RI; Gurubesar Universitas Indonesia.
1. Lihat misalnya Christian Aid (Oktober 2004), “Submission to the Office of tne United
Nations High Commissioner for Human Rights (UNHCR) – resposibilities of
transnational corporatins and related business enterprises with regar to human rights”.
2. Dalam Perubahan ke-II UUD 1945 ini (18 Aagustus 2000), terdapat sejumlah asas-asas
HAM yang relevan (langsung dan tidak langsung) dengan kegiatan bisnis, seperti: berhak
untuk hidup; pemenuhan kebutuhan dasar; meningkatkan kualitas hidup; perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja; kebebasan berserikat; lingkungan hidup yang baik;
jaminan sosial; bebas perlakuan yang bersifat diskriminatif; penghormatan atas hak
masyarakat tradisional; dan sebagainya.
3. Danette Wineberg and Phillip H. Rudolph (May 2004) “Corporate Social
Responsibility – What Every In House Counsel Should Know”, dalam ACC Docket, hal.
72.
4. loc. cit.
5. loc. cit.
6. Op. cit., hal. 70; Pemerhati kepentingan publik biasanya memfokuskan pada
pelanggaran perusahaan terhadap: HAM, peraturan tenaga kerja, standar perlindungan
lingkungan hidup, factory emission standards, health and safety standards, perlindungan
konsumen, product liability, dan/atau tentang anti monopoli dan praktik bisnis curang.
10. United Nations Convention against Corruption disahkan dalam General Assembly
tanggal 31 Oktober 2003. Selanjutnya 9 Desember 2003 dilakukan upacara
penandatanganan yang diikuti pula oleh Indonesia. Mulai 9 Desember 2004, hari tersebut
diperingati sebagai International Anti-Corruption Day di dunia. Daniel Kaufman dari
World Bank Institute menyatakan bahwa jumlah penyuapan oleh perusahaan setiap
tahunnya diperkirakan sebesar satu trilyun dollar (5 November 2004).
12. UN Office Geneva (22 October 2004), Consultation on Business and Human Rights:
Summary of Discussions, hal. 4-6.
13. Kasus Perusahaan Enron (Amerika Serikat) terkenal tahun 2002 karena merupakan
kepailitan terbesar di Amerika Serikat (kerugian tahap pertama 618 juta US dollar) dan
merupakan kecurangan politik (public fraud): sahamnya jatuh dari 90 US dollar menjadi
kurang dasri satu US dollar. Enron pun dituduh menjadi political profit pipeline di India
(Mardjono Reksodiputro, catatan kaki 13 dalam Jurnal Hukum Internasional, Vol. 1 No.
4 (Juli 2004), hal. 707). Yang kurang diungkapkan adalah bahwa Enron Corporation,
yang membangun “the biggest private power plant” di India, telah dituduh pula
membiarkan polisi India memukuli dan menahan demonstran yang menolak
pembangunan unit tenaga listrik tersebut. Dikatakan: “The police ... are under the
command of local headquarters, but the company pays their salaries. Enron can not
pretend it has no responsibility ... Sub-contractors have attacked and beaten local
villagers ... is Enron complicit in those abuses? Absolutely”. (Arivind Ganesan,
“Business and Human Rights – The Bottom Line”, December 1, 2004 in Human Rights
Watch, www.hrw.org/advocacy/corporations/commentary.htm).
15. Antara lain misalnya: (a) Ali, Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (dengan MKK)
(1977), Law Reform in Indonesia; (b) Komisi Hukum Nasional (2003), Law Reform
Policies (Recommendations), (c) The World Bank (2004), Combating Corruption in
Indonesia. Enhancing Accountability for Development.
16. UN Congress on The Prevention of Crime and Criminal Justice bersidang setiap lima
tahun. Persiapan untuk kongres lima tahunan ini sangat intensif dan melibatkan negara-
negara anggota ke pertemuan (lokakarya) antara yang diselenggarakan secara regional.
Pada bulan November 2004 persiapan untuk daerah Asia dilakukan oleh Asian Crime
Prevention Foundation (ACPF), yang menyelenggarakan 10th ACPF World Conference
di Macao, SAR, RRC.
17. Lihat van Schilfgaarde (1981), Van de naamloze en de besloten vennootschap, Gouda
Quint BV, hal. 1-2. Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dimulai dengan
mukadimah yang berbunyi: “... recognition of the inherent dignity and of the equal and
inalienable rights of all members of the human family ...”. Jadi perlindungan HAM (hak)
memang hanya ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, tetapi kewajiban menghormati
ada pada manusia, negara, korporasi (sebagai suatu subyek hukum mandiri), dan
organisasi lain dalam masyarakat.
18. Lihat lebih lanjut Fred B.G. tumbuan (Agustus 2003), “Mencermati Pembaharusn
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseoran Terbatas (Suatu Sketsa)”
(makalah untuk AAI).
19. Lebih lanjut lihat Mardjono Reksodiputro (Juni 1993), “Tindak Pidana Korporasi dan
Pertanggungjawabannya – Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia” (Pidato
Dies Natalis ke-47 PTIK).
20. Ini dilakukan melalui Pasal 15 UU No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Selanjutnya di luar KUHP perkembangan legislatif menunjukkan bahwa sejumlah
undang-undang telah mengakui perlunya memungkinkan suatu korporasi (badan hukum)
dijadikan terdakwa dan, bilamana bersalah, menjadi terpidana. Misalnya UU Subversi
(1963), UU Narkotika (1976), UU tentang Lingkungan Hidup (1997), UU Korupsi, dan
UU tentang Money Laundering. Dalam konsep RUU KUHPidana Nasional (2002)
terdapat Pasal 44 yang menyatakan bahwa “korporasi dapat dipertanggungjawabkan
dalam melakukan tindak pidana”. Lihat selanjutnya Mardjono Reksodiputro (2004),
“Kejahatan Korporasi – Suatu Fenomena Lama dalam Bentuk Baru”, dalam Jurnal
Hukum Internasional, op. cit., hal. 693-708
TEMAN saya-seorang analis pasar-memberi tahu, semula para investor dan pelaku pasar
kecewa dengan komposisi tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Mereka
menilai tim ekonomi jauh dari ideal, apalagi the dream team. Dugaan saya, puncak
kekecewaan ada pada posisi Menko Perekonomian yang ditempati oleh orang yang tidak
tepat.
Namun, kekecewaan itu segera terobati setelah mengamati tim hukum KIB yang
dianggap solid dan memberi harapan. Itulah mengapa respons negatif indeks harga saham
gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) hanya bersifat sementara, sebelum secara
meyakinkan lalu naik. Hingga pertengahan Desember, |IHSG menembus bukan saja "titik
psikologis", tetapi mengukir rekor baru dalam sejarah pasar modal Indonesia, menembus
"titik historis" pada kisaran 1.000 poin. Jika dibandingkan dengan nilai penutupan akhir
tahun 2003, kini IHSG telah meningkat lebih dari 35 persen.
Masalahnya, banyak yang curiga, modal yang beredar di BEJ adalah uang haram yang
sedang dicuci (money laundring). Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama,
masuknya modal (entah haram atau halal) menandai semakin pulihnya kepercayaan
investor terhadap iklim investasi domestik. Hal itu terkait stabilitas ekonomi makro dan
stabilitas politik pasca-Pemilu 2004. Kedua, jika benar bursa diramaikan oleh para
"pencuci uang", hal itu menunjukkan betapa lemahnya institusi dan perangkat hukum,
baik di pasar modal maupun sektor finansial lainnya. Dengan demikian, stabilitas politik
yang didukung kinerja ekonomi makro yang baik masih menyisakan satu agenda lagi,
yaitu reformasi hukum.
Sistem hukum
Salah satu mazhab penting dalam "teori finansial" mencoba mengaitkan sistem hukum
dengan perilaku investasi. Sebuah artikel berjudul Law and Finance dalam The Journal of
Political-Economy (Vol 106, No 6, Th 1998) menjadi salah satu karya klasik yang ditulis
dari hasil penelitian Rafael La Porta, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer (dari
Universitas Harvard) dan Robert W Vishny (dari Universitas Chicago).
Berikut, dua kesimpulan penting dari penelitian dengan analisis komparatif statistik
(comparative statistical analysis) terhadap 49 negara. Pertama, negara dengan sistem
Common-Law (Inggris dan Amerika) memiliki perlindungan hukum paling kuat terhadap
para investor. Sementara negara dengan sistem Civil-Law (Perancis, Jerman, dan
Skandinavia)- yang bersumber pada sistem hukum Romawi (Roman-Law)-ada
perlindungan hukum yang bervariasi. Negara-negara yang berbasis French-civil-law
memiliki perlindungan hukum paling buruk, sementara negara-negara dengan sistem
Scandinavian-civil-law dan Germany-civil-law ada pada posisi moderat.
Carut-marut
Penegakan hukum merupakan sisi paling terbengkalai di negeri kita. Sebagian besar
masalah yang menyebabkan krisis ekonomi adalah dilanggarnya aturan hukum, misalnya
pelanggaran BMPK (batas maksimal pemberian kredit). Kemudian, usaha memulihkan
perekonomian juga terhambat rendahnya penegakan hukum.
Sejauh ini ada empat institusi yang dibentuk dalam rangka memulihkan perekonomian
dari krisis, yaitu BPPN, Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) untuk
menyelesaikan utang swasta dengan luar negeri, Jakarta Initiative untuk kasus utang
swasta dalam negeri, dan Pengadilan Niaga yang memfasilitasi upaya penyelesaian
perkara lewat metode kepailitan. Mekanisme kerja pada keempat institusi ini selalu
diiringi masalah penegakan hukum. Seandainya hukum bisa segera ditegakkan, ekonomi
kita sudah pulih sejak dulu.
Kini, sederet masalah hukum kian menggunung. Belum lagi kasus pembobolan bank
(kasus Bank BNI) bisa diselesaikan, kompleksitas masalah hukum mulai terasa dalam
industri reksa dana. Apa pun motifnya, peristiwa yang menimpa nasabah PT Bank Global
International yang tertipu dengan produk reksa dana yang dikeluarkan pengelola reksa
dana Prudence menandakan lemahnya sistem hukum di sektor finansial. Sudah terlalu
sering berita mengenai lemahnya perlindungan investor, termasuk kasus Bank Asiatik
dan Bank Dagang Bali.
Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menuntaskan berbagai perkara besar di
bawah Ketua Mahkamah Agung yang baru belum menunjukkan hasil menjanjikan.
Penyelesaian kasus besar amat penting untuk menimbulkan efek psikologis bagi penegak
hukum sendiri dalam rangka membangun track-record guna menyelesaikan aneka
persoalan hukum yang telah menggunung. Dan, keberhasilan menyelesaikan kasus besar
diharapkan akan menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) terhadap kasus-kasus
yang lebih kecil lainnya.
Dalam kasus melonjaknya IHSG di BEJ pada kisaran 1.000 poin, ada dua kemungkinan
bisa terjadi. Pertama, para investor optimistis terhadap peningkatan kualitas penegakan
hukum mengiringi stabilitas makro-ekonomi dan politik. Dengan begitu, lonjakan IHSG
tidak perlu dikhawatirkan karena memiliki dasar fundamental. Kedua, sebaliknya para
investor melihat penegakan hukum masih terlalu lemah sehingga mereka memutar uang-
uang haram untuk dianakpinakkan di bursa saham kita.
Apa pun alasannya, tanpa bukti nyata dalam hal penegakan hukum, kualitas pemulihan
ekonomi tidak pernah tercapai. Salah satu implikasinya, pasar modal kita menjadi ajang
bagi pencuci uang.
Dua-tiga tahun terakhir ini merupakan masa suram bagi bangsa Indonesia. Cobaan demi
cobaan seakan tiada henti. Penanganan korupsi yang ternyata baru sedikit menampakkan
titik terang tentu saja juga menambah keprihatinan masyarakat yang minta keadilan,
sementara sekian juta anak harus dibiayai karena tidak mampu membayar biaya
pengobatan. Upaya pengentasan masalah di atas membawa angin segar. Pemerintah
mulai menunjukkan kepedulian dan keberpihakan kepada yang lemah. Namun, niat baik
pemerintah mengalihkan subsidi hanya kepada yang pantas menerima telah menimbulkan
masalah baru di lapangan karena pelaksanaannya belum seperti yang diharapkan.
Hal ini membuktikan bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan tidak
otomatis dapat dilaksanakan untuk menyelesaikan segala permasalahan. Untuk itu,
tulisan ini akan mengulas Undang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) yang telah
ditetapkan dan mulai dilaksanakan pada 6 Oktober 2005.
UUPK sering kali dipahami sebagai (sama dengan) hukum kesehatan atau hukum
kedokteran. Pandangan tersebut muncul apabila hukum dimaknai sebagai peraturan untuk
memenuhi kebutuhan praktis (dengan menghafal pasal-pasal). Memang diakui bahwa
peraturan perundang-undangan adalah bagian tersurat dari wujud hukum, tetapi filosofi
yang tersirat di balik peraturan tersebut merupakan bagian penting dari pemaknaan
hukum yang lebih luas dari sekadar peraturan perundang-undangan dan yang masih harus
diselami dengan nurani kemanusiaan.
Van der Mijn menyatakan bahwa hukum kesehatan sebagai ... a body of rules that relates
directly to the case for health as well as to the application of general civil, criminal and
administrative law 1 atau: ... meliputi ketentuan yang secara langsung mengatur masalah
kesehatan, berkaitan dengan penerapan ketentuan hukum pidana, hukum perdata, dan
hukum administratif yang berhubungan dengan masalah kesehatan.
Ruang lingkup
Analog dengan pendapat tersebut, maka hukum kesehatan memiliki ruang lingkup,
pertama, peraturan perundang-undangan yang secara langsung dan tidak langsung
mengatur masalah bidang kedokteran. Contoh UUPK.
Kedua, penerapan ketentuan hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana
yang tepat untuk itu.
Ketiga, kebiasaan yang baik dan diikuti secara terus-menerus (dalam bidang kedokteran),
perjanjian internasional, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi yang diterapkan
dalam praktik bidang kedokteran, merupakan sumber hukum dalam bidang kedokteran.
Keempat, putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, menjadi sumber
hukum dalam bidang kedokteran.
Pokok masalah yang dihadapi masyarakat dalam hubungannya dengan tenaga kesehatan
adalah penyelenggaraan praktik kedokteran yang tidak memuaskan sehingga UUPK
disusun dengan penekanan pada pengaturan praktik kedokteran dan bukan untuk
penyelesaian sengketa.
Oleh: Drg Hargianti Dini Iswandari, MM Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang
PADA tanggal 10 Mei lalu penulis sempat berkunjung di sebuah Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Kabupaten Ende, salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara
Timur untuk sebuah penelitian. Dalam perbincangan dengan kepala rumah sakit tersebut
terungkap bahwa dalam setiap bulan petugas rumah sakit setidaknya menemukan satu
pasien perempuan yang mengalami tindak kekerasan dari suami.
Ungkapan kepala rumah sakit itu menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) di daerah itu cukup serius sekalipun tidak ditemukan data statistik resmi
tentang kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Ende. Keseriusan persoalan KDRT
di kawasan timur Indonesia itu jelas sama seriusnya dengan yang terjadi di kawasan lain
di Indonesia.
Kenyataan itu menunjukkan, persoalan kekerasan dalam rumah tangga terjadi melintasi
batas-batas ras, suku, agama. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan dominasi
masyarakat Jawa yang mayoritas muslim, tetapi juga masyarakat non-Jawa dengan
mayoritas nonmuslim. Hanya saja di daerah tertentu seperti Jawa kasus kekerasan dalam
rumah tangga terdokumentasi sementara daerah lain tidak terdokumentasi.
Kedua, tidak ada lembaga yang memberi layanan langsung (misalnya, crisis center) yang
memberi pendampingan psikologis dan hukum untuk korban kekerasan dalam rumah
tangga. Pengalaman di Yogyakarta menunjukkan, setelah terbentuk Rifka Annisa
Women’s Crisis Center yang memberi layanan untuk perempuan korban kekerasan,
angka KDRT terungkap sekalipun sebelumnya dinilai tidak ada bahkan cenderung
ditolak.
Ketiga, tidak ada perlindungan hukum dari negara. Perlindungan hukum mencakup
adanya aturan hukum yang jelas dan aparat hukum yang profesional serta ganti rugi yang
efektif bagi korban. Ketiadaan aturan hukum yang jelas sering kali menjadi alasan
keengganan aparat hukum untuk merespons laporan kasus kekerasan dalam rumah
tangga. Akibatnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga sering kali menjadi dark
number.
Peristiwa pembahasan RUU KDRT dalam rapat paripurna DPR itu bukan peristiwa yang
tiba-tiba, akan tetapi merupakan buah perjuangan berbagai kalangan yang peduli dengan
masalah kekerasan terhadap perempuan yang tergabung dalam Jangka PKTP atau
Jaringan Kerja Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Meskipun bermula dari desakan aktivis perempuan, selanjutnya menjadi penting untuk
dipahami oleh berbagai kalangan di negeri ini bahwa legislasi RUU anti-KDRT
merupakan keharusan bagi Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi beberapa
konvensi internasional tentang perempuan dan bukan karena desakan aktivis perempuan.
Anggota DPR dan pemerintah harus memaklumi bahwa Indonesia telah meratifikasi
Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All forms of Discrimination
against women) atau konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Sebagai konsekuensi dari
ratifikasi ini Indonesia harus melakukan:
1. Pembentukan hukum dan atau harmonisasi hukum sesuai kaidah hukum yang terdapat
dalam konvensi tersebut. Kewajiban ini dilakukan dengan mengkaji peraturan
perundangan atau membuat perundangan baru berdasarkan konvensi yang telah
diratifikasi.
Selain itu, anggota DPR dan pemerintah juga harus memahami bahwa legislasi UU anti-
KDRT memiliki nilai strategis bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di
Indonesia serta memiliki nilai politis bagi partai-partai politik di DPR saat ini.
Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk melakukan intervensi
terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga negara dapat melakukan
perlindungan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan perlindungan
khusus (perempuan dan anak) dari tindak kekerasan.
Adapun nilai politis untuk partai-partai politik, proses legislasi RUU KDRT akan menjadi
tolok ukur komitmen partai-partai politik terhadap persoalan perempuan (selain persoalan
kuota) yang akan dijadikan pertimbangan pemilih perempuan pada pemilu yang akan
datang.
Akhirnya hanya ada dua pilihan bagi anggota DPR, menjadi barisan orang yang
menentang kekerasan dalam rumah tangga atau barisan yang membiarkan kekerasan
dalam rumah terus berlangsung.
Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta
Sumber: Kompas Cyber Media
AKHIR-akhir ini banyak dibicarakan di media massa masalah dunia kedokteran yang
dihubungkan dengan hukum. Bidang kedokteran yang dahulu dianggap profesi mulia,
seakan-akan sulit tersentuh oleh orang awam, kini mulai dimasuki unsur hukum. Gejala
ini tampak menjalar ke mana-mana, baik di dunia Barat yang memeloporinya maupun
Indonesia. Hal ini terjadi karena kebutuhan yang mendesak akan adanya perlindungan
untuk pasien maupun dokternya.
Salah satu tujuan dari hukum atau peraturan atau deklarasi atau kode etik kesehatan atau
apapun namanya, adalah untuk melindungi kepentingan pasien di samping
mengembangkan kualitas profesi dokter atau tenaga kesehatan. Keserasian antara
kepentingan pasien dan kepentingan tenaga kesehatan, merupakan salah satu penunjang
keberhasilan pembangunan sistem kesehatan. Oleh karena itu perlindungan hukum
terhadap kepentingan-kepentingan itu harus diutamakan.
Kedudukan dokter yang selama ini dianggap lebih "tinggi" dari pasien disebabkan
keawaman pasien terhadap profesi kedokteran. Dengan semakin berkembangnya
masyarakat hubungan tersebut secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Kepercayaan
kepada dokter secara pribadi berubah menjadi kepercayaan terhadap keampuhan ilmu
kedokteran dan teknologi. Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan
mencegah apa yang dinamakan malpraktek di bidang kedokteran, perlu diungkap hak dan
kewajiban pasien. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan
meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang cermat dan hati-hati dari tenaga
kedokteran.
"Informed consent"
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang
hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta
risikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan
atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai
bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini
dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi
informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedik
lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan,
baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan,
tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Tidak sulit bagi kita untuk setuju bahwa sejarah Mahkamah Agung Indonesia adalah
sejarah tentang sebuah pilar kekuasaan-kekuasaan Yudikatif yang tidak berdaya dan
tenggelam di bawah kedigdayaan kekuasaan Eksekutif. Lebih jauh lagi, MA juga seakan
tidak mendapat peran penting sebagai agen perubahan dalam sejarah Indonesia modern.
Dibandingkan dengan partai politik, militer, ataupun gerakan mahasiswa, peran MA
dalam arus perubahan sejarah nyaris tidak terdengar.
Mengingat peran MA yang marjinal, maka tidak mengherankan apabila kajian studi
tentang institusi peradilan pada umumnya dan MA pada khususnya kurang menarik minat
para sarjana. Dibandingkan dengan studi tentang kepresidenan, parlemen, ataupun
militer, studi tentang institusi peradilan Indonesia terbilang sangat sedikit. Oleh karena
itu, kehadiran buku karya Sebastiaan Pompe, mantan staf pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Leiden, Belanda, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional
Collapse, seakan menjadi air segar di tengah keringnya studi tentang institusi peradilan di
Indonesia.
The Indonesian Supreme Court awalnya adalah disertasi Pompe di Universitas Leiden
pada tahun 1996, dan diterbitkan oleh Cornell University Press pada musim semi tahun
2005. Berangkat dari sebuah penelitian yang panjang, pokok bahasan buku ini adalah
mengenai sejarah dan perkembangan MA sejak awal kemerdekaan sampai akhir tahun
1990-an. Panjangnya cakupan studi dalam buku ini menimbulkan sejumlah problematika
bagi penulis; masalah pertama yang muncul adalah tidak mudah bagi penulis untuk
merangkai fakta-fakta hukum, sejarah, politik, dan sosial tentang MA dalam kurun waktu
50 tahun ke dalam sebuah buku.
Pada akhirnya dalam buku ini Pompe memilih untuk lebih banyak memberi tekanan pada
fakta sosial politik dan historis, sementara porsi fakta hukum tidak banyak mendapat
tempat. Titik berat pada fakta socio-political-history memang membuat buku ini menarik
dibaca, tapi kurangnya fakta hukum justru membuat beberapa bagian dari analisis Pompe
menjadi kurang kuat. Semisal Pompe berargumentasi bahwa salah satu faktor penyebab
inkonsistensi putusan MA adalah lemahnya pemahaman hakim akan teori, praktik, dan
doktrin hukum (bab 10). Sayangnya, pendapat ini tidak didukung oleh banyak fakta
tentang kasus-kasus hukum yang telah diputus MA. Menghimpun dan menganalisis
putusan-putusan MA dalam kurun waktu 50 tahun tentu merupakan pekerjaan yang tidak
mudah, tapi paling tidak buku ini bisa menghadirkan lebih banyak fakta teknis hukum
tentang memudarnya pemahaman akan teori, praktik, dan doktrin hukum di tubuh MA.
Di sisi lain, panjangnya cakupan studi juga menimbulkan kesulitan bagi Pompe untuk
menentukan metode analisis atas data yang telah ia himpun. Dalam buku ini, Pompe
menggunakan dua metode penjelasan, yaitu peran institusi politik dan pengaruhnya
terhadap MA (the political institution-centered explanation) dan pengaruh peran hakim
terhadap MA (the judge centered-explanation). Dengan the political institution centered
explanation, Pompe menjelaskan bahwa ada dua aspek institusi politik yang
memengaruhi MA. Aspek pertama adalah pengaruh institusi politik di luar MA, terutama
presiden, terhadap status dan kekuasaan MA. Di dalam bukunya, Pompe menghabiskan
tiga bab (bab 2, 3, dan 4) untuk menjelaskan dengan detail bagaimana kekuasaan
Eksekutif sejak zaman Presiden Soekarno melakukan kooptasi terhadap kekuasaan MA
dan proses kooptasi itu terus berlanjut sampai pada zaman Orde Baru.
Aspek kedua dari penjelasan Pompe menunjuk pada posisi institusional MA sendiri
dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Dalam bab 5, Pompe menjelaskan bahwa sejak
awal MA tidak memiliki posisi yang jelas sebagai badan peradilan tertinggi dalam UUD
1945 (sebelum diamandemen). Berangkat dari posisi yang tidak jelas ini, maka
diperlukan waktu yang lama untuk menyatukan semua institusi peradilan di bawah MA.
Proses unifikasi yang baru tercapai pada masa Orde Baru justru menjadi bencana bagi
MA sendiri karena pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan investasi
terhadap sumber daya manusia, keuangan, infrastruktur, organisasi, dan manajemen
peradilan.
Dari isu unifikasi ini bisa ditarik kesimpulan bahwa fenomena MA terlalu kompleks
untuk dijelaskan dengan satu atau dua metode penjelasan saja. Pompe pun harus merujuk
pada metode penjelasan lain, yaitu pengaruh desain konstitusi terhadap MA (the
constitution-centered explanation). Di awal bukunya, Pompe juga membahas konteks
sejarah penyusunan UUD 1945 yang tidak memberikan kekuasaan judicial review kepada
MA. Pompe menyebutkan tentang asumsi bahwa sejarah peradilan di Indonesia akan
berbeda apabila MA dibekali dengan kekuasaan judicial review (hal 16). Dengan kata
lain, Pompe tidak bisa berkelit dari kenyataan bahwa desain konstitusi sangat
berpengaruh pada MA. Sayangnya, Pompe memilih berhenti di titik ini saja dan tidak
melanjutkan penjelasan tentang pengaruh desain konstitusi terhadap MA. Pompe tentu
mempunyai alasan sendiri untuk tidak menggunakan the constitution centered
explanation, tetapi pilihan ini justru membuat karya Pompe terasa kurang tuntas.
Desain konstitusi MA
Dari perspektif hukum perbandingan (comparative law), kita bisa melihat bahwa desain
konstitusi sangat berpengaruh terhadap kinerja institusi peradilan di negara lain. Mungkin
banyak yang lupa bahwa Konstitusi Amerika Serikat tidak secara eksplisit memberikan
kekuasaan judicial review kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat (MA AS) dan
sejarah menunjukkan, MA AS tidak pernah membatalkan Undang-Undang yang dibuat
oleh Kongres sampai tahun 1856. MA AS sendiri baru mulai memainkan peran yang
signifikan setelah Amandemen Keempat Belas (Fourteenth Amandment) diadopsi ke
dalam Konstitusi. Fenomena yang sama terjadi di daratan Eropa, Konstitusi Perancis
1958 memberikan kekuasaan yang besar kepada Eksekutif dan desain ini membuat
Mahkamah Konstitusi Perancis (Conseil Constitutionel) hanya berperan sebagai stempel
bagi eksekutif. Conseil Constitutionel baru memiliki peran yang lebih besar setelah
yurisdiksi mereka diperluas dengan amandemen Konstitusi pada tahun 1974.
Berdasarkan pengalaman di negara lain tersebut, tentu akan lebih menarik apabila
pengaruh desain konstitusi terhadap MA mendapat pembahasan lebih banyak dalam buku
Pompe. Terlebih lagi belum ada karya yang mengupas isu ini secara mendalam; sejumlah
karya klasik seperti Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Nasution, 1995),
In Search of Human Rights (Lubis, 1993), dan Pandangan Negara Integralistik
(Simandjuntak, 1994) memang telah membahas kerangka ideologis UUD 1945, tetapi
karya-karya tersebut tidak menyentuh pengaruh desain UUD 1945 terhadap kinerja MA.
Pompe menghabiskan dua bab untuk menjelaskan fungsi badan peradilan pada umumnya
dan MA pada khususnya (bab 6 dan 7). Salah satu kesimpulan Pompe adalah putusan-
putusan MA telah kehilangan fungsinya sebagai instrumen pembentukan hukum
(lawmaking instruments). Dalam kedua bab ini, khususnya bab 7, Pompe menjelaskan
dengan rinci kegagalan MA menjamin badan peradilan yang lebih rendah untuk
mengikuti putusan-putusan MA. Untuk menutupi kegagalan tersebut MA berpaling pada
instrumen yang lain seperti surat edaran, peraturan, ataupun petunjuk pengawasan.
Kesimpulan Pompe tentu akan lebih kuat apabila didukung dengan penjelasan tentang
pengaruh desain konstitusi karena fungsi MA sebagai instrumen pembentukan hukum
mempunyai keterkaitan erat dengan mandat konstitusional yang diemban MA.
Metode penjelasan kedua yang dipakai Pompe adalah peran hakim secara individu
terhadap kinerja MA (the judge centered explanation). Dalam menganalisis perubahan
struktur MA dari organisasi yang sederhana menjadi organisasi yang birokratis dan
hierarkis, Pompe menekankan pada faktor peran ketua Mahkamah Agung. Pompe
membeberkan fakta bahwa tanda-tanda perubahan dimulai ketika Ketua MA Wirjono
Projodikoro (1952-1966) sering mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan Hakim
Agung yang lain. Perubahan drastis mulai terjadi ketika Ketua MA Oemar Seno Adji
(1974-1981) memutuskan untuk menambah jumlah Hakim Agung dari 7 menjadi 17 pada
tahun 1974. Puncak perubahan terjadi ketika Ketua MA Mudjono (1981-1982)
menambah jumlah hakim menjadi 51 pada tahun 1982, dan diikuti dengan penambahan
jabatan bagi Ketua Muda MA yang menyebabkan struktur MA semakin menjadi
birokratis dan hierarkis (hal 289-296).
Metode penjelasan peran hakim sangat mendukung analisis Pompe sebelumnya tentang
intervensi politik dari Eksekutif. Struktur MA yang hierarkis akan semakin memudahkan
Eksekutif untuk melakukan intervensi. Ketika Ketua MA sudah terkooptasi oleh
Eksekutif, maka akan lebih gampang untuk mengontrol MA secara keseluruhan. Akan
tetapi, judge centered explanation masih meninggalkan sedikit celah dalam penjelasannya
tentang MA; jikalau MA diisi oleh para hakim yang berkualitas dan berintegritas tinggi
bisa apakah ada jaminan bahwa MA akan memainkan peran sebagai instrumen
pembentukan hukum. Semisal dalam periode Demokrasi Liberal (1950-1957) ketika
kekuasaan Presiden Soekarno belum absolut dan MA masih diisi oleh para Hakim Agung
yang berintegritas tinggi, MA juga tidak bisa memainkan peran yang besar.
Charles R Epp (1998) dalam The Rights Revolution: Lawyer, Activists, and Supreme
Courts in Comparative Perspective, misalnya, memaparkan dalam sejarah peradilan di
Amerika Serikat, peran MA AS dalam pembentukan hukum sangat tergantung dari
sejumlah aktor pendukung. Kehadiran perusahaan-perusahaan besar pada akhir abad ke-
19 secara tidak langsung telah memengaruhi jumlah kinerja MA AS karena perusahaan-
perusahaan tersebut rela menghabiskan dana dan tenaga untuk proses hukum menggugat
kebijakan ekonomi pemerintah. Dari kasus-kasus tersebut, MA AS akhirnya memegang
peranan penting dalam menentukan keabsahan kebijakan ekonomi Pemerintah. Di sisi
lain, derasnya arus litigasi yang dibawa oleh kalangan bisnis juga didukung oleh
peningkatan jumlah pengacara di Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Dengan
peningkatan kuantitas dan kualitas pengacara, maka MA AS juga mendapatkan banyak
fakta hukum yang bisa membantu mereka dalam mengeluarkan putusan yang lebih
berkualitas.
Dalam konteks Indonesia, Daniel S Lev, Guru Besar di University of Washington, yang
merupakan salah seorang mentor Sebastiaan Pompe, dalam salah satu kajiannya yang
berjudul Comments on the Course of Law Reform in Modern Indonesia (2000)
berpendapat bahwa pada akhir kekuasaan Orde Baru, masyarakat Indonesia telah
memiliki kelas menengah yang bisa menjadi motor reformasi hukum. Kaum kelas
menengah yang dimaksud Lev adalah para pengusaha, pengacara, dan akuntan yang lahir
dan besar pada era Orde Baru. Pendapat ini bisa memancing pertanyaan lebih lanjut,
mengapa kelas menengah Indonesia tidak berhasil menjadi organ pendukung bagi MA.
Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa kita temukan secara eksplisit dalam buku ini
karena Pompe tidak menjadikan organ pendukung sebagai salah satu fokus studinya. Isu
organ pendukung tentu berada di luar kerangka penelitian Pompe, tetapi isu ini menarik
dan penting untuk dibahas karena bisa semakin memperkaya analisis Pompe.
Meskipun banyak hal tentang MA yang tidak bisa dikupas tuntas oleh Pompe, bukan
berarti buku ini tidak pantas mendapat acungan dua jempol. Riset panjang dan mendalam
yang dilakukan Pompe menjadikan buku ini sebagai jembatan bagi segelintir studi
tentang peradilan di Indonesia. Pertama, buku ini melengkapi kajian tentang peradilan
yang dilakukan oleh para sarjana generasi 1970-an, seperti Sejarah Peradilan dan
Perundang-Undangannya di Indonesia sejak 1942 yang ditulis Sudikno Mertokusumo,
Guru Besar Fakultas Hukum UGM (Yogyakarta: Liberty, 1970) atau kumpulan esai
Daniel S Lev, Guru Besar di University of Washington, tentang peradilan dan institusi
politik yang dihimpun dalam Hukum dan Politik di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1990).
Kedua, buku ini juga melengkapi studi tentang peradilan dengan fokus yang lebih sempit
oleh sejumlah sarjana generasi muda, seperti Administrative Courts in Indonesia: A
Socio-Legal Study yang ditulis murid Pompe di Universitas Leiden, Adriaan Bedner (The
Haque: Kluwer, 2001), atau Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto yang
ditulis aktivis cum akademisi, Andi Muhammad Asrun (Jakarta: ELSAM, 2004).
Sebagai dokumen sejarah, buku ini memberikan kontribusi yang luar biasa bagi bangsa
Indonesia. Membaca buku ini kita akan menemukan banyak sekali fakta-fakta sejarah
tentang MA. Tahukah kita bahwa pada tahun 1951 Ketua MA Kusumah Atmadja (1945-
1952) berani mengancam Presiden Soekarno untuk meninggalkan jamuan resmi
kenegaraan karena dia tidak diberi tempat duduk di samping Presiden (hal 43). Pernahkah
kita mendengar bahwa hakim-hakim pun pernah melakukan pemogokan untuk menuntut
kenaikan gaji pada tahun 1956 (hal 50). Bagi kaum pejuang hak perempuan, buku ini
menarik karena menghadirkan fakta bahwa Indonesia sudah memiliki Hakim Agung
perempuan sejak tahun 1968, jauh sebelum Amerika Serikat mempunyai Hakim Agung
wanita pertama pada tahun 1981 (hal 398). Buku ini juga menghadirkan data yang
lengkap tentang latar belakang sosial, pendidikan, dan hubungan kekerabatan di antara
para Hakim Agung pada periode 1950-1994 (hal 389-404).
Isu intervensi politik dan korupsi dalam tubuh MA mungkin sudah menjadi aksioma bagi
para akademisi dan aktivis LSM dalam menganalisis MA. Dalam buku ini Pompe tidak
hanya membahas kedua hal tersebut, tapi juga menghadirkan fakta lain tentang MA yang
mungkin luput dari perhatian para pakar ataupun aktivis LSM. Semisal Pompe membahas
tentang lemahnya sistem informasi hukum (bab 10) di mana 99 persen dari putusan
pengadilan tidak terdokumentasi dan masyarakat luas tidak bisa mendapatkan informasi
tentang putusan pengadilan, baik untuk kepentingan pencari keadilan, akademik, ataupun
kontrol terhadap badan peradilan itu sendiri. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi hukum
juga tidak luput dari kritik karena para mahasiswa jarang diajar melakukan analisis kasus
dan sebagai akibatnya sedikit penerbit yang mau menerbitkan buku tentang kumpulan
putusan pengadilan (hal 456).
Di samping bagus untuk dipajang di rak perpustakaan pribadi karena tampilannya yang
luks, karya Pompe sepantasnya menjadi bacaan wajib bagi semua yang peduli akan
perbaikan institusi peradilan di Indonesia, terlebih bagi generasi pasca-Orde Baru dan
pascareformasi. Membaca buku Pompe adalah jejak langkah bagi mereka yang bertekad
untuk membuat sejarah baru bagi pilar kekuasaan Yudikatif di Indonesia karena dari
sejarahlah kita bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa lalu.
Hendri Kuok, Mahasiswa Program Doktoral, University of Washington Law School,
Seattle
"Para pemberontak sebagai kelompok dapat diberikan hak-hak sebagai pihak sedang
berperang (belligerent) dalam perselisihannya dengan pemerintah yang sah, meskipun
tidak dalam artian organisasi seperti negara." Keputusan House of Lord (1962).
Peperangan antara GAM dan TNI telah berlangsung lebih dari satu bulan. Dari beberapa
informasi media massa menunjukkan bahwa perang ini telah menyebabkan kerugian
harta benda dan nyawa, baik dari pihak TNI, GAM maupun pihak masyarakat sipil.
Perang yang diawali tindakan diskriminatif baik secara ekonomi maupun politik oleh
pemerintahan Orde Baru kepada masyarakat Aceh bukanlah fenomena baru dalam
tatanan internasional. Padahal, dalam konvensi PBB Pasal 1 ayat 1 secara tegas menolak
praktik-praktik diskriminasi. Perang yang dalam klasifikasinya termasuk kategori perang
internal ini sebelumnya juga melanda negara-negara di Amerika Latin, khususnya ketika
rezim-rezim diktator berkuasa di wilayah tersebut. Gerakan-gerakan yang mereka tempuh
biasanya berupa gerakan pembebasan nasional.
Namun, di antara semua itu, GAM adalah bentuk organisasi pemberontak yang terbesar
di wilayah Indonesia dilihat dari beberapa parameter. Pertama, GAM punya struktur
pemerintahan sendiri yang tersebar hampir di seluruh wilayah Aceh. Dengan
pemerintahan ini, GAM dapat menyelenggarakan kegiatan administrasi dalam interaksi
sosial dan hal ini sudah dilaksanakan oleh GAM sehingga terdapat dua administrasi di
wilayah Aceh.
Kedua, GAM memiliki angkatan perang yang jumlahnya memadai. Angkatan perang
inilah yang kemudian menjalankan fungsi keamanan internal di tingkatan mereka. Kedua
faktor inilah yang akhirnya membentuk parameter ketiga yakni otoritas de facto di
wilayah Aceh.
Pertama, kegiatan-kegiatan GAM telah mencapai suatu titik keberhasilan saat mereka
dapat menduduki secara efektif dan membentuk otoritas de facto di wilayah Aceh yang
sebelumnya dikuasai penuh oleh pemerintah Indonesia. Prinsip ini muncul karena ada
pertimbangan negara lain menyangkut kepentingan perlindungan warga negaranya dan
perdagangan internasional.
Dalam kondisi ini, negara-negara luar dapat mengambil keputusan untuk mengakui
secara de facto kepada GAM terbatas pada wilayah Aceh. Pengakuan seperti ini pernah
ditempuh pemerintah Inggris terhadap pihak pemberontak dalam perang saudara di
Spanyol tahun 1937. Kedua, peperangan antara pihak GAM dan TNI telah mencapai
dimensi tertentu di mana negara luar harus melihatnya sebagai perang sesungguhnya
antara dua kekuatan. Konsekuensinya adalah pelaksanaan hukum perang bagi kedua
belah pihak. Pengakuan keadaan berperang ini tentu sangat berbeda dari pengakuan
pemerintah induk atau pemerintah pemberontak sebagai pemerintah yang sah.
Dalam pengakuan de facto kepada GAM, hanya pemerintah RI yang diakui secara de
jure yang dapat mengklaim atas harta benda yang berada di seluruh wilayah RI termasuk
Aceh. Selain itu, hanya pemerintah RI yang dapat mewakili negara untuk tujuan suksesi
negara dan wakil-wakil dari kelompok GAM yang diakui de facto secara hukum tidak
berhak atas imunitas-imunitas dan privilegde-privilegde diplomatik penuh (Starke:1992).
Oleh karenanya, jelas bahwa perang antara GAM dan TNI harus dilihat sebagai
peperangan dua pihak yang harus memerhatikan hukum perang. Sebenarnya penyelesaian
konflik antara GAM dan TNI dapat ditempuh dengan jalan diplomasi. Hal ini karena
dalam perspektif hukum internasional, GAM dapat diakui sebagai kaum belligerent
(pemberontak) sehingga mampu menjadi subjek dari hukum internasional. Meskipun
pada proses historisnya jalan diplomasi kerap tidak menemukan titik temu, sebagai
langkah demokratis, kegagalan tersebut harus saling diintrospeksi satu sama lain. Yang
terpenting lagi adalah bagaimana mengikutsertakan perwakilan dari masyarakat sipil
sebagai komunitas mayoritas di Aceh dalam setiap meja perundingan.
Oleh ENY PRIHATINI, asisten dosen pada jurusan Hubungan Internasional Universitas
Padjadjaran.
Disertai foto Todung Mulya Lubis, 12 alinea dan 3 kolom materi, dikemas bergaya
jurnalistik dengan judul “Perang Bintang di Kasus Adaro: Ada Apa dengan Todung”,
advertorial di harian Rakyat Merdeka edisi 24 September 2005 itu menggelitik untuk
dikritisi. Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, advertorial itu tak lazim. Kedua, penting
untuk meluruskan arah kemerdekaan pers.
Advertorial
Di bisnis media massa, advertorial itu hal biasa. Advertorial adalah iklan. Bentuk iklan
beragam. Salah satunya berupa pengumuman perkara, yang di dunia kepengacaraan
dikenal dengan istilah “somasi terbuka”. Ini iklan karena pemasangnya membayar
sejumlah uang ke perusahaan pers sesuai harga. Oleh karena halaman iklan dibayar
pemasang, maka materi dan tanggung jawabnya pun ada di pihak pemasang.
Secara sederhana iklan dibedakan menjadi iklan niaga dan iklan layanan masyarakat.
Bedanya, kalau iklan niaga lebih menginformasikan produk/jasa agar masyarakat tahu
dan kemudian membeli, sedangkan iklan layanan masyarakat lebih pada menyampaikan
pesan. Keduanya harus dibungkus dengan filosofi positive approach stelsel, dan tak boleh
negative approach stelsel. Artinya, materi iklan tak boleh menyerang dan menghakimi
pihak lain, tak boleh masuk ke wilayah “orang lain”. Ia sesungguhnya hanya untuk
masuk “wilayah internal”.
Lazimnya cara beriklan adalah persuasif (meyakinkan dan menggoda) dengan bahasa
kualitatif. Oleh karena itu, wilayahnya adalah etika. Itu sebabnya ada kode etik
periklanan. Sering strategi dalam beriklan adalah “menggoda itu hak asasi, tetapi bukan
kewajiban yang digoda untuk membalasnya?”
Dari bentuknya, mudah dibedakan mana advertorial dan mana karya jurnalistik.
Lazimnya advertorial dipasangi garis pembatas, plus tulisan advertorial atau iklan. Agar
advertorial memiliki rasa tanggung jawab, dibubuhkan pihak yang memasang, lengkap
dengan alamatnya. Meski demikian, tidak semua pembaca paham perbedaan antara karya
jurnalistik dan advertorial.
Dari pemasangan foto Todung Mulya Lubis disertai kalimat tanya “Ada Apa dengan
Todung”, bisa dibaca bahwa advertorial ini mempertanyakan siapa Todung, terutama
berkenaan dengan kiprahnya sebagai public figure. Pembaca bisa menyimpulkan bahwa
advertorial itu tidak dipasang oleh Todung. Kalau bukan Todung yang memasang,
mengapa fotonya terpasang?
Jadi, secara umum makna advertorial ini bisa kabur. Siapa yang memasang? Apa
pesannya? Harian Rakyat Merdeka tidak menolong pembaca dengan memberikan
jawabannya. Namun, jika ditelusuri materi advertorial itu, bisa dimengerti apa pesannya.
Lead advertorial itu memberi pesan tegas. Iklan setengah halaman pada beberapa media
cetak edisi Jumat (23/9) menandai terlibatnya Todung Mulya Lubis dalam kasus sengketa
penjualan saham Adaro Indonesia antara Beckkett Pte. Ltd. di satu pihak dengan
Deutsche Bank dan Dianlia Setyamukti di pihak lain.
Pesan advertorial itu ternyata bukan semata soal tambang batu bara, tetapi mencoba
menginformasikan ke pembaca bahwa kehadiran Todung sebagai advokat dalam kasus
ini dipertanyakan. Alinea ketiga advertorial itu berbunyi, “Ada apa dengan Todung?
Mengapa pengacara kondang ini bersedia bergabung dengan Kaligis dan Lucas?”
Bagaimana Baiknya?
Jika demikian duduk soalnya, seharusnya advertorial itu cukup disampaikan dengan
mekanisme jurnalistik biasa. Jika pemasang advertorial keberatan atas pengumuman
Todung dkk., ia dapat memasang advertorial Pengumuman Bantahan, dan biarkan
masyarakat yang menilai. Sebab, sesungguhnya media massa adalah ruang publik tanpa
sekat yang diikat dengan mekanisme etik yang kuat dengan mempertaruhkan
profesionalisme.
Agar pers tidak anarkis, semua pihak harus mengingatkan. Mengawasi adalah kewajiban,
tak sekadar hak. Pers berhak dan wajib mengawasi penyelenggaraan kekuasaan agar tidak
disalahgunakan. Namun, pers juga harus diawasi. Jika tidak, siapa yang mengawasi si
pengawas? Bukankah dia akan anarkis juga jika tidak diawasi?
Harus ada kejelian dan cita rasa tinggi dari pengelola pers untuk memajukan
kemerdekaan pers, termasuk mengelola advertorial yang bermartabat. Kerja keras saja
tidak cukup, apalagi tanpa sense profesionalisme. Kata bijak ini patut direnungkan:
“Kalau Anda pergi memancing ikan, Anda bisa dapat ikan, bisa pula tidak. Namun, jika
Anda tak pernah pergi memancing ikan, pasti tidak pernah dapat ikan”. Begitu pula
dengan kemerdekaan pers dalam alam demokrasi. “Dengan kemerdekaan pers, ada dua
pilihan bagi kehidupan demokrasi: baik atau buruk. Namun, tanpa kemerdekaan pers,
hanya ada satu pilihan: buruk”.
Oleh: Hinca IP Pandjaitan, direktur The Indonesia Media Law & Policy Centre
Foundation
Sumber: Wartaekonomi