You are on page 1of 22

Bab I

Pendahuluan

Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan


Dasar Pokok-pokok Agraria – yang selanjutnya dalam paper ini disingkat dengan
UUPA -, pada pasal 19 dinyatakan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum
Pertanahan, Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah. Atas tanah yang
telah didaftarkan selanjutnya diberikan tanda bukti hak atas tanah, yang
merupakan alat bukti yang kuat mengenai kepemilikan tanah. Dalam pendaftaran
tanah, girik yaitu tanda bukti pembayaran pajak atas tanah dapat disertakan untuk
proses administrasi. Girik, dengan demikian bukan merupakan tanda bukti
kepemilikan hak atas tanah, namun semata-mata hanyalah merupakan bukti
pembayaran pajak-pajak atas tanah. Dengan demikian, apabila di atas bidang
tanah yang sama, terdapat klaim dari pemegang girik dengan klaim dari pemegang
surat tanda bukti hak atas tanah (sertifikat), maka pemegang sertifikat atas tanah
akan memiliki klaim hak kebendaan yang lebih kuat. Namun demikian, persoalan
tidak sesederhana itu. Dalam hal proses kepemilikan surat tanda bukti hak atas
tanah melalui hal-hal yang bertentangan dengan hukum, maka akan ada
komplikasi.
Paper ini akan membahas satu kasus kontemporer yang mengemuka dalam
pemberitaan di media massa di Indonesia, khususnya di ibukota Jakarta, yang
terkenal dengan kasus tanah Meruya1
Kasus tersebut bermula dari rencana eksekusi oleh pemilik hak atas tanah
yaitu PT Portanigra, yang membeli tanah tersebut seluas 44 Ha sekitar tahun 1972
yang lalu dari Juhri cs sebagai koordinator penjualan tanah Rencana eksekusi
yang akan dilakukan oleh PT Portanigra mendapatkan perlawanan dari
masyarakat yang menempati tanah yang telah memiliki tanda bukti kepemilikan
atas tanah dimaksud. Juhri Cs, ternyata setelah menjual tanah tersebut kepada PT
Portanigra, menjual lagi tanah itu kepada perorangan, Perusahaan , Pemda dan
berbagai instansi. Masyarakat dan berbagai instansi yang membeli dari Juhri Cs
kemudian memiliki berbagai tanda bukti hak (sertifikat) atas tanah itu. Atas

1
tindakan Juhri Cs, pengadilan telah menetapkan bahwa tindakan Juhri Cs adalah
bertentangan dengan hukum, dan mereka telah dipidana pada tahun 1987 – 1989
atas perbuatan penipuan, pemalsuan dan penggelapan.
PT Portanigra, dengan penguatan putusan pidana kepada Juhri Cs,
kemudian menggugat secara perdata Juhri cs, untuk mengembalikan tanah-tanah
tersebut sekaligus meminta pengadilan untuk meletakkan sita jaminan atas tanah
mereka, yang luasnya 44 Hektare. Permohonan sita jaminan dikabulkan oleh
hakim dengan penetapan sita jaminan No. 161/Pdt/G/1996/PN.Jkt.Bar tanggal 24
Maret 1997 dimasukkan dalam berita acara sita jaminan tanggal 1 April 1997 dan
tanggal 7 April 1997. Pengadilan Negeri pada tanggal 24 April 1997 menyatakan
gugatan PT Portanigra tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard--N/O)
karena tidak menyertakan para pemilik tanah lainnya di atas tanah sengketa
tersebut.Hakim juga memerintahkan pengangkatan sita jaminan tersebut.
Pengadilan Tinggi menolak banding Portanigra dan menguatkan putusan
Pengadilan Negeri. Namun, di tingkat kasasi, MA membatalkan putusan PN dan
PT serta memutuskan untuk mengadili sendiri. Berdasarkan putusan Kasasi No.
570/K/Pdt/1999 jo.No.161/Pdt.G/1996/PN.JKT.BAR, Mahkamah Agung
menerima kasasi PT Portanigra. Pertimbangannya antara lain ialah bahwa pihak
ketiga akan dapat melakukan bantahan (verzet) terhadap sita jaminan atau
pelaksanaan eksekusi bila memiliki bukti untuk mempertahankan haknya.
Ketika PT Portanigra akan melaksanakan eksekusi atas tanah tersebut,
setelah mendapat penetapan dari pengadilan Jakarta Barat pada tahun 2007, dia
memperoleh perlawanan dari masyarakat, dan berbagai institusi pihak ketiga,
yang memiliki tanda bukti hak atas tanah tersebut. Tanda bukti hak yang dimiliki
perorangan, maupun institusi beragam mulai dari hak milik, hak pakai, hak guna
usaha dan sebagian diletakkan dengan hak tanggungan. Perlawanan yang diajukan
oleh pemegang hak atas tanah (yang sifatnya tidak melalui jalur hukum seperti
verzet) memperoleh dukungan moral dan politis dari berbagai lapisan masyarakat
seperti Parlemen, Pemda, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan lain-lain.
Karena kasus ini, telah melebar dan meluas melebihi porsi hukum dan khususnya
keperdataan, dan mulai mengarah ke hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas,
politik, keamanan dan lain-lain, akhirnya PT Portanigra untuk sementara setuju
untuk tidak melaksanakan eksekusi.
Penulis berpendapat, bahwa ternyata persoalan yang semestinya dapat
diselesaikan secara hukum, ternyata telah melebar ke luar dari koridor hukum,
yang justru menciptakan ketidak pastian hukum. Berkenaan dengan hal tersebut,
paper ini akan membahas pokok-pokok sebagai berikut :
a. Bagaimana perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah
yang telah memperoleh penguatan putusan dari Mahkamah Agung
b. Bagaimana perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak
yang memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat)
c. Bagaimana pertanggungjawaban institusi pemerintahan yang
menerbitkan sertifikat tanah yang ternyata bermasalah

3
Bab II
Hak-hak atas tanah

A. Hak-hak atas tanah


Hak-hak perorangan dan badan hukum atas tanah memperoleh pengakuan
yang kuat dalam sistem dan tata hukum di Indonesia. Hak milik atas tanah
adalah bagian dari hak-hak kebendaan yang dijamin dalam konstitusi. Dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hasil dari
amandemen kedua, dinyatakan sebagai berikut:
(1) Pasal 28 g
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Pasal 28 h
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.
Selanjutnya dalam UUPA, dinyatakan antara lain sebagai berikut :
Pasal 4 ayat (2)
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh
bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain
yang lebih tinggi.

Berdasarkan pengertian pada pasal 4 ayat (2) tersebut, hak atas tanah adalah
hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan
bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi
tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya2
Asas yang hanya mengakui hak atas tanah adalah terbatas pada hak atas
permukaan bumi saja disebut dengan asas pemisahan horisontal. Asas pemisahan
horisontal adalah asas dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu
yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal
memisahkan tanah dan benda lain yang melekat pada tanah itu.3 Asas pemisahan
horisontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat4, dan merupakan asas
yang dianut oleh UUPA.
Berbeda dengan asas yang dianut oleh UUPA, KUHPerdata menganut asas
perlekatan, baik yang sifatnya perlekatan horisontal maupun perlekatan vertikal,
yang menyatakan bahwa benda bergerak yang tertancap atau terpaku pada benda
tidak bergerak, berdasarkan asas asesi maka benda-benda yang melekat pada
benda pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari benda pokoknya.5
KUHPerdata pasal 571
Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas
segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah.
Sedangkan dalam UUP dibedakan berbagai hak atas tanah sebagai berikut :
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak
membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah , memiliki fungsi sosial serta dapat dialihkan dan
beralih.
Pasal 20 UUPA menyatakan :
Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang
membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hk yang “terkuat
dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini
tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan
tidak dapat diganggu-gugat” sebagai hak eigendom menurut pengertiannya
yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat
hukum-adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata “terkuat dan
terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna-usaha,
hak guna-bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan,

5
bahwa diantara hak- hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah
yang “ter” (artinya : paling)-kuat dan terpenuh.
Sedangkan hak-hak penguasaan atas tanah, menurut Boedi Harsono6,
dikelompokkan menjadi hak bangsa, hak menguasai dari negara, hak ulayat, hak
perorangan dan hak tanggungan.

B. Cara peralihan hak atas tanah


Hak milik atas tanah mengandung unsur hak kebendaan dan hak perseorangan.
Sebagai hak kebendaan, hak atas tanah memiliki ciri-ciri bersifat absolut, jangka
waktunya tidak terbatas, hak mengikuti bendanya (droit de suite), dan memberi
wewenang yang luas bagi pemiliknya seperti dialihkan, dijaminkan, disewakan
atau dipergunakan sendiri. Sebagai hak perseorangan, ciri-cirinya adalah bersifat
relatif, jangka waktunya terbatas, mempunyai kekuatan yang sama tidak
tergantung saat kelahirannya hak tersebut, memberi wewenang terbatas kepada
pemiliknya7
Sementara itu, menurut Aslan Noor8, teori kepemilikan ataupun pengalihan
kepemilikan secara perdata atas tanah dikenal empat teori, yaitu:
a. Hukum Kodrat, menyatakan dimanan penguasaan benda-benda yang ada
di dunia termasuk tanah merupakan hak kodrati yang timbul dari
kepribadian manusia
b. Occupation theory, dimana orang yang pertama kali membuka tanah,
menjadi pemiliknya dan dapat diwariskan
c. Contract theory, dimana ada persetujuan diam-diam atau terang-terangan
untuk pengalihan tanah
d. Creation theory, menyatakan bahwa hak milik privat atas tanah diperoleh
karena hasil kerja dengan cara membukan dan mengusahakan tanah
Mengenai pengalihan atau penyerahan hak atas tanah, terdapat dua pendapat
yaitu yang pertama adalah bahwa jual beli harus dilakukan dengan akta otentik
yang diikuti dengan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat sebagai tanda
bukti hak atas tanah. Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah,
bukan saja hanya sebagai alat bukti untuk pendaftaran tetapi merupakan syarat
mutlak adanya perjanjian penyerahan. Pendapat ini diwakili oleh Mariam Darus
Badrulzaman dan Saleh Adiwinata. Pendapat lainnya adalah bahwa perbuatan jual
beli tanpa diikuti dengan akta otentik adalah sah, sepanjang diikuti dengan
penyerahan konkret. Pendapat ini diwakili oleh Boedi Harsono dan R.
Soeprapto.9 Penyerahan yang sifatnya konsensual sebagaimana dianut hukum
perdata sekaligus dengan penyerahan yang sifatnya konkret sebagaimana dianut
oleh hukum adat10 pada dasarnya adalah bertentangan dan dapat terjadi dualisme
dalam penafsiran kepastian hukumnya.
Mariam Darus Badrulzaman berpendapat, bahwa lembaga pendaftaran, tidak
semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi
juga menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda tanah terjadi
pada saat pendaftaran dilakukan. Sebelum dilakukan pendaftaran yang ada baru
milik, belum hak11. Dalam kaitan itulah, maka salah satu asas dari hak atas tanah
adalah adanya asas publisitas.
Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, adalah
bersifat stelsel pasif. Artinya yang didaftar adalah hak, peralihan hak dan
penghapusannya serta pencatatan beban-beban atas hak dalam daftar buku tanah.
Hubungan antara pemindahan dengan alas hak adalah bersifat kausal, karena sifat
peralihan hak tersebut adalah bersifat levering. Stelsel negatif ini berakibat:
• Buku tanah tidak memberikan jaminan yang mutlak
• Peranan yang pasif dari pajak balik nama, artinya pejabat-pejabat
pendaftaran tanah tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran
dari dokumen-dokumen yang diserahkan kepada mereka.12
Selanjutnya, Mariam Darus Badrulzaman13 menjelaskan bahwa
berrdasarkan ajaran KUHPerdata pada pasal 584, dianut ajaran untuk sahnya
penyerahan dibutuhkan beberapa syarat yaitu:
a. Alas hak (rechttitel)
b. Perjanjian kebendaan yang diikuti dengan perbuatan penyerahan
(pendaftaran) dan penerbitan sertifikat
c. Wewenang menguasai (beschikkings bevoegheid)
Pendapat yang dianut Mariam Darus Badrulzaman di atas, tampaknya

7
sangat dipengaruhi oleh ajaran teori causal, yang memandang bahwa hubungan
hukum adalah obligatoirnya, sedangkan levering adalah akibatnya. Artinya
levering baru sah, dan karenanya baru menjadikan yang menerima penyerahan
sebagai pemilik, kalau rechtstitel yang memindahkan hak milik sah.
Di sisi lain, ada juga teori abstraksi yang menganut bahwa ada pemisahan
antara levering dengan rechtstitel. Jadi kalau sekiranya ada suatu penyerahan,
dimana yang melakukan penyerahan tidak memiliki titel, penyerahan tersebut
tetap sah. Pemilik asal tidak dapat menuntut hak kebendaan dari pihak ketiga,
yang membeli dengan itikad baik. Tuntutan pemilik asal adalah tuntutan pribadi
terhadap orang yang mengalihkan hak kepada pihak ketiga tadi tanpa hak. 14
Pandangan para pakar di atas sangat menentukan dalam hal ada dua
kepemilikan atas objek yang sama untuk menentukan pemilik dan pemegan hak
yang sesungguhnya.

C. Pencabutan hak-hak atas tanah


Mengenai hak kepemilikan atas tanah, sifatnya tidak mutlak, artinya apabila
kepentingan Negara atau kepentingan umum menghendaki, hak kepemilikan
perorangan atau badan usaha atas sebidang tanah dapat dicabut dengan pemberian
ganti rugi. Prinsip ini dianut baik dalam KUHPerdata maupun dalam UUPA.
Pasal 570 KUHPerdata
Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa
dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan
tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang
ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak
orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak
demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan.
Pasal 16 ayat 4 UUPA
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
Undang-undang.
Pengertian kepentingan umum, harus dijaga dengan ketat untuk tidak melebar
dan terlalu elastis sehingga hal-hal yang tidak seyogianya digolongkan sebagai
kepentingan umum, tetapi justru memperoleh penguatan dan legitimasi. Batasan
tentang pengertian kepentingan umum yang abstrak dapat menimbulkan
penafsiran yang berbeda-beda di masyarakat, dan dapat menjurus kepada
ketidakpastian yang baru dan menimbulkan konflik di masyarakat. Karena itu
harus ada pengertian yang konkret akan makna kepentingan umum15.
Dalam Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006 pada pasal 2 dinyatakan
bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya pada pasal 5
diatur secara limitatif bidang-bidang yang termasuk dalam kategori pembangunan
untuk kepentingan umum.
Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa yang dimaksudkan untuk
pembangunan kepentingan umum haruslah yang diselenggarakan oleh
Pemerintah. Pembebasan tanah yang dilakukan oleh pihak selain Pemerintah,
berdasarkan aturan PP tersebut di atas tidak dapat digolongkan sebagai
pembangunan untuk kepentingan umum.

Bab III

9
Kepastian dan perlindungan hukum atas hak atas tanah

A. Duduk perkara sengketa pertanahan tanah Meruya


Apabila diikhtisarkan dari berbagai pemberitaan dan kutipan-kutipan putusan
pengadilan, maka sengketa tanah di atas dapat dipetakan sebagai berikut:
1. Ada klaim kepemilikan ganda atas suatu objek yang sama. Kepemilikan
PT Portanigra didasarkan pada perjanjian jual beli dengan pemilik tanah
asal yang dikoordinir oleh Juhri Cs. Bukti kepemilikan tanah dalam rangka
jual beli itu adalah girik yang diserahkan kepada pembeli. Pembelian tanah
dikukuhkan dengan akta jual beli. Tahapan lanjut untuk pendaftaran tanah
dan sertifikasi tanah belum dilaksanakan.
2. Tanah yang sama oleh Juhri cs, kemudian dijual lagi kepada Perorangan,
Badan-badan Hukum dan Pemda. Beberapa kali peralihan tanah telah
terjadi oleh pembeli tingkat kedua, seperti Pemda yang menjual sebagian
tanah tersebut kepada masyarakat, ataupun perorangan yang memperjual
belikan tanah itu kembali.
3. Tanah-tanah yang dibeli oleh perorangan, Badan-badan Hukum, Pemda
dari Juhri Cs maupun yang kemudian dialihkan oleh para pembeli tersebut
kepada pihak lain, dilengkapi dengan akta jual beli, serta didaftarkan dan
memperoleh sertifikat tanah
4. Pengadilan memutuskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Juhri Cs,
dalam menjual kembali tanah-tanah tersebut adalah melawan hukum. Girik
yang digunakan dalam transaksi jual beli adalah palsu, karena girik yang
asli telah diserahkan kepada PT Portanigra. Pengadilan memutuskan
pidana penggelapan dan pemalsuan kepada Juhri Cs.
5. Pengadilan mengabulkan kasasi perdata PT Portanigra kepada Juhri Cs
6. Juhri Cs merencanakan untuk mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas
putusan kasasi Mahkamah Agung

B. Kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak


1. Kepastian dan perlindungan hukum bagi pembeli pertama (PT Portanigra)
Berdasarkan landasan teori pada bab sebelumnya, apabila dengan melihat
kepada transaksi jual beli tanah, dapat diberikan analisis sebagai berikut :
a. Transaksi jual beli tanah antara PT Portanigra dengan Juhri Cs adalah
sah
b. Transaksi jual beli tanah antara PT Portanigra dengan Juhri Cs, yang
tidak atau belum dilanjutkan dengan pendaftaran tanah untuk
mendapatkan sertifikat tanah, membawa akibat hukum bahwa bukti
kepemilikan PT Portanigra atas tanah tersebut belum lengkap
c. Akta jual beli berdasarkan akta otentik adalah sah, sepanjang
menyangkut penyerahannya. Dengan demikian, kepemilikan yang
dipunyai PT Portanigra adalah kepemilikan yang bersifat kebendaan,
bukan kepemilikan yang bersifat hak perorangan.
d. Kasasi yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung, sifatnya adalah
pemulihan hak kebendaan atas tanah tersebut. Untuk mendapatkan hak
milik, maka PT Portanigra harus melanjutkan dengan prosedur normal
dengan melakukan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat
hak
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, menurut penulis terdapat
beberapa hal yang perlu dikritisi yaitu :
a. Fakta hukum bahwa PT Portanigra tidak memiliki sertifikat tanah,
kecuali akta jual beli selama lebih dari 30 tahun mengindikasikan
bahwa proses perolehan tanah tersebut dari awal adalah bermasalah
b. Fakta hukum bahwa PT Portanigra menggunakan putusan pidana
kepada Juhri Cs sebagai alas gugatan perdata dapat dibenarkan.
Namun, gugatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai error in
persona, maupun error in substantia, karena faktanya Juhri Cs tidak
pernah berstatus lagi sebagai pemilik tanah, sedangkan transaksi jual
beli tanah yang dilaksanakannya tanpa hak telah dinyatakan tidak sah
oleh Pengadilan. Gugatan seharusnya dibuat terhadap pihak-pihak
yang menduduki tanah tersebut, dan juga kepada Pemerintah c/q BPN

11
(Badan Pertanahan Nasional) yang telah menerbitkan berbagai hak di
atas tanah yang merupakan miliknya kepada orang lain tanpa
seizinnya.
c. Menjadi pertanyaan pula, kenapa dalam tenggang waktu yang
sedemikian lama, PT Portanigra tidak melakukan proses hukum untuk
perolehan hak atas tanah dengan memohonkan pendaftaran tanah dan
sertifikasi, tetapi lebih memilih jalur gugatan kepada Juhri Cs yang
sebenarnya tidak lagi memiliki hubungan hukum dengan tanah tersebut

2. Kepastian dan perlindungan hukum bagi Juhri cs


a. Juhri Cs telah menerima hukuman pidana atas perbuatan penggelapan
dan pemalsuan surat-surat tanah dan surat-surat lainnya dalam rangka
jual beli tanah kepada pihak lainnya
b. Juhri Cs telah mengembalikan uang yang timbul dari hasil penjualan
kembali tanah tersebut melalui negara.
c. Juhri Cs tidak mempunyai klaim kepemilikan apapun lagi atas tanah
tersebut.
d. Juhri Cs berencana akan melakukan perlawanan dengan mengajukan
Peninjauan Kembali atas putusan kasasi Mahkamah Agung
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, penulis memberikan komentar
sebagai berikut :
a. Hukuman pidana dan pengembalian uang yang dilakukan
oleh Juhri Cs adalah membuktikan bahwa mereka tidak
dalam kapasitas yang sah untuk melakukan transaksi
penjualan kembali tanah yang bukan merupakan miliknya
b. Status uang yang dikembalikan patut dipertanyakan. Uang
tersebut tidak dikembalikan kepada PT Portanigra, maupun
kepada masyarakat atau Pemda yang membeli tanah
melalui Juhri Cs. Uang yang dikembalikan adalah jasa
untuk urusan memperlancar jual beli yang ternyata tidak
lancar, bukan uang hasil penjualan tanah.
c. Upaya hukum Peninjauan Kembali ( PK) yang akan
ditempuh oleh Juhri Cs juga kehilangan justifikasi dan
pijakan hukumnya. Atas dasar apa Juhri Cs mengajukan
PK. Juhri Cs bukan merupakan pemilik tanah. Tanah tidak
dalam penguasaan Juhri Cs. Bukti-bukti kepemilikan
tanahpun tidak ada pada Juhri Cs. Sepanjang menyangkut
enforceability (daya paksa) dari putusan kasasi mahkamah
agung, tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap Juhri
Cs.

3. Kepastian dan perlindungan hukum bagi pembeli dari Juhri Cs


a. Pembeli tanah dari Juhri Cs, baik perorangan, Badan Hukum maupun
Pemda telah melakukan transaksi jual beli dengan akte otentik,
pendaftaran tanah, hingga memperoleh sertifikat tanah
b. Pengalihan tanah dari para pembeli awal, kepada pembeli kemudian,
serta para pihak yang saat ini secara nyata menduduki baik secara
hukum maupun konkret, telah berlangsung sesuai dengan aturan dari
Pemerintah.
c. Para pihak yang menduduki dan memiliki hak atas tanah saat ini, di
atas lahan sengketa, memiliki kepemilikan hak yang beragam seperti
hak milik, hak pakai, hak guna bangunan, maupun hak tanggungan
d. Hukum melindungi para pembeli dengan itikad baik16. Dalam hukum
berlaku satu asas, yaitu bahwa kejujuran itu dianggap ada pada setiap
orang, sedangkan ketidak jujuran harus dibuktikan.17
e. Hukum juga memberi perlindungan absolut dan relatif, karena
kepemilikan pada pihak-pihak yang menduduki tanah tersebut saat ini
adalah kepemilikan kebendaan maupun kepemilikan perorangan

4. Tanggungjawab Pemerintah atas terbitnya sertifikat tanah di atas lahan


sengketa
Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional harus dapat

13
dimintai pertanggungjawaban atas terbitnya sertifikat di atas lahan
sengketa.
Putusan pengadilan perdata dan pengadilan pidana yang tidak
dijadikan refensi mengakibatkan proses sertifikasi tetap dapat diteruskan.
Hal tersebut dapat disimpulkan dari kronologi fakta hukum berikut :
a. 1985– 1987 : Pengadilan Pidana telah menghukum
Juhri Cs (tiga orang, dengan tiga berkas kasus) , atas
kejahatan pemalsuan dan penggelapan girik dan
kuitansi dalam proses jual beli tanah yang telah dijual
sebelumnya kepada PT Portanigra
b. Maret 1997 Hakim Pengadilan Perdata mengabulkan
permohonan sita jaminan atas tanah sengketa
c. April 1997 Hakim Pengadilan Negeri, menolak
gugatan perdata PT Portanigra dengan N/O atau tidak
dapat menerima gugatan, dan meminta agar gugatan
diperbaiki kembali dengan memperluas pihak tergugat.
Namun, sekaligus juga memutuskan untuk mengangkat
atau membatalkan sita jaminan yang sebelumnya telah
diletakkan pada tanah sengketa.
d. Oktober 1997, Pengadilan Tinggi memperkuat dan
sependapat dengan Pengadilan Negeri
e. Juni 2001, Mahkamah Agung menerima kasasi PT
Portanigra.

Menurut penulis, akar persoalan dalam perkara ini adalah dari pengadilan
dan birokrasi sendiri, sebagai berikut :
Persoalan yuridis dalam putusan ini ada dua yaitu :
a. Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi pada dasarnya tidak
memeriksa pokok perkara, namun mengembalikan kepada penggugat
untuk memperbaiki dan melengkapi gugatan. Namun pada saat yang
sama, meniadakan sita jaminan yang telah diputuskan sebelumnya. Hal
ini lah yang membuat Badan Pertanahan Nasional dapat memproses
lanjut permohonan sertifikasi yang diajukan masyarakat.
Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi menolak gugatan sudah
benar, namun tindakan pengadilan negeri yang dikuatkan oleh
pengadilan tinggi dalam mengangkat sita jaminan yang sebelumnya
adalah tidak tepat. Bagaimana pengadilan dapat memutuskan untuk
mengangkat sita jaminan sedangkan pokok perkaranya sendiri tidak
atau belum diperiksa.
b. Amar Putusan Kasasi yang mengabulkan permohonan PT Portanigra,
pada dasarnya menyatakan bahwa sita jaminan dianggap sah dan
berharga, Juhri Cs melakukan perbuatan melawan hukum sekaligus
wanprestasi. Selain itu menyatakan Portanigra sebagai pemilik yang
sah atas tanah sengketa berdasarkan bukti-bukti, serta menghukum
Juhri Cs dan semua orang yang mendapatkan hak dari mereka untuk
mengosongkan tanah-tanah milik adat tersebut dan menyerahkannya
dalam keadaan kosong kepada Portanigra.
Putusan kasasi yang memperluas akibat putusan kepada orang-
orang yang tidak merupakan pihak dalam perkara gugatan menurut
penulis tidak tepat. Dalam konstruksi hukum perdata pada pasal 1340
dinyatakan bahwa suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada
pihak-pihak ketiga, dan juga tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat
manfaat karenanya.
Putusan kasasi yang menyatakan bahwa sita jaminan adalah sah,
adalah tepat. Namun memeriksa dan memutuskan gugatan dimana
gugatan meliputi pihak-pihak yang tidak diikutkan sebagai tergugat
serta adalah tidak tepat. Benar bahwa pihak ketiga yang
berkepentingan dapat menempuh upaya hukum perlawanan atau
verzet. Cara ini dibenarkan apabila akibat suatu putusan membawa
akibat kepada pihak ketiga yang bukan tergugat, dan dalam pokok
gugatan tidak menyinggung pihak ketiga tersebut. Dalam kasus PT
Portanigra, pokok gugatannya telah meliputi pihak-pihak lain di luar

15
Juhri Cs, namun tidak diikutkan sebagai tergugat serta.
Sedangkan persoalan yang terkait dengan birokrasi juga ada dua yaitu:
a. Dalam perkara pidana, telah diketahui bahwa terdapat pemalsuan
dan penggelapan atas surat-surat jual beli yang dilakukan oleh
Juhri Cs. Seyogianya aparat birokrasi di BPN harus menggunakan
fakta hukum tersebut untuk tidak memproses pendaftaran tanah
dan sertifikasi.
b. Birokrasi atau BPN seharusnya, dengan alasan pada bagian a di
atas, seharusnya tidak memproses lanjut permohonan pendaftaran
tanah dalam rangka sertifikasi tanah. Pengangkatan sita jaminan
yang dilakukan oleh pengadilan negeri dan dikuatkan oleh
pengadilan tinggi tidak berarti bahwa tanah tersebut tidak dalam
sengketa.
Di satu sisi, Putusan pengadilan perdata yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, karena proses kasasi masih
berjalan, digunakan oleh BPN untuk memproses lanjut sertifikasi.
Di sisi lain, fakta hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap di pengadilan pidana, dikesampingkan oleh BPN.
Sebenarnya, kalau para pihak yang terkait mempelajari
dengan cermat, yurisprudensi mengenai hal tersebut telah ada.
Yurisprudensi tersebut memberi keseimbangan bagi para pihak
dalam hal memohon proses sertifikasi. Dalam yurisprudensi MA
no. 1588/K/Pdt/2001 terdapat kaedah hukum yang menyatakan
sebagai berikut :
*Sertifikat tanah yang terbit terlebih dulu dari akta jual beli tidak
berdasarkan hukum dan dinyatakan batal. Penerbitan sertifikat
tanpa ada pengajuan dari pemilik adalah tidak sah”
BPN seyogianya menunda proses sertifikasi, karena tanah tersebut
masih dalam status sengketa. BPN juga tahu bahwa girik, petuk
pajak ataupun Letter C yang diajukan oleh masyarakat dalam
proses pendaftaran tanah dan sertifikasi bukan merupakan alat
bukti pemilikan atas tanah.18

Masyarakat, dan para pihak lainnya yang dalam proses jual


beli tanah adalah dengan itikad baik, akan dirugikan dengan
adanya persoalan tersebut. Upaya hukum bagi masyarakat yang
dirugikan dari kasus ini adalah antara lain:
a. Melakukan perlawanan (verzet)
atas putusan mahkamah agung
b. Melakukan gugatan perdata
kepada Juhri Cs
c. Melakukan gugatan tata usaha
negara kepada Badan
Pertanahan Nasional
d. Mencari dengan cara sendiri-
sendiri upaya perdamaian atau
upaya lain untuk
mempertahankan hak-haknya

C. Aliran post modernisme dalam mencari keadilan


Cita-cita hukum yang baik adalah untuk mendapatkan keadilan dan kepastian
hukum. Apabila ada pertentangan antaran kepastian hukum dengan keadilan,
maka unsur keadilan harus dikedepankan dan dimenangkan. Kepastian hukum
adalah sebuah falsafah positivisme dimana untuk mendapatkan titik temu antara
para pihak yang kepentingannya berbeda-beda, maka harus dicari suatu rujukan
yang telah disepakati, dilegalkan dan diformalitaskan serta enforceable oleh
aparat hukum sebagai penjelmaan dari kedaulatan birokrasi negara.
Tetapi mana kala, dengan saluran formal yang mengedepankan kepastian
hukum tidak mencerminkan adanya keadilan, maka pencari keadilan akan
menemukan caranya sendiri untuk mendapatkan keseimbangan antara keadilan
dan kepastian hukum. Kepastian hukum yang ideal adalah hukum yang memberi
keadilan. Namun manakala keadilan tersebut tidak ditemukan lewat saluran

17
formal, akan terjadi apatisme hukum, yang bahkan pada titik ekstrim akan dapat
menjelma menjadi chaos karena masing-masing pihak akan mencari, menafsirkan
dan mengenforce keadilan menurut persepsinya masing-masing. Fenomena
yang demikian ini, sebenarnya telah dikaji dalam satu aliran hukum post
modernisme yang bernama critical legal studies.
Munir Fuady19 mencatat, aliran critical legal studies merupakan suatu aliran
yang bersikap anti liberal, anti objektivisme, anti formalisme, dan anti kemapanan
dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir post
modern, secara radikal mendobrak dan menggugat kenetralan dan keobjektifan
peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal
keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/
mayoritas/ berkuasa/ kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, serta
menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, serta menolak
kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang
dihasilkan lembaga-lembaga formal negara.
Kasus tanah di Meruya Selatan yang menjadi pembahasan paper ini adalah
contoh nyata. Masyarakat, yang menurut hukum harus dilindungi sebagai pembeli
beritikad baik, ternyata tidak mendapatkan perlindungan itu. Ketika pengadilan
negeri yang memperoleh legitimasi formal dari negara akan mengeksekusi suatu
putusan mahkamah agung, kalangan masyarakat justru tidak menerimanya.
Bahkan dukungan non legal diperoleh baik dari institusi parlemen, pemda maupun
badan-badan kenegaraan lainnya seperti komisi-komisi nasional yang bergerak di
bidang advokasi kepentingan masyarakat. Ini sesungguhnya adalah sebuah ironi
di negara yang berdasarkan hukum, dimana tidak ada kepercayaan kepada
lembaga dan pranata hukum yang ada.
Bab IV
Simpulan

Sehubungan dengan pembahasan pada paper ini dalam kaitannya dengan


sengketa tanah di Meruya Selatan, Jakarta Barat antara PT Portanigra dengan
Juhri Cs dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah yang telah
memperoleh penguatan putusan dari Mahkamah Agung, tampaknya
tidak dapat diperoleh secara utuh, karena:
a. Beberapa upaya hukum yang lain, seperti verzet maupun
peninjauan kembali masih terbuka
b. Sebagian terbesar kalangan di masyarakat mempunyai persepsi
berbeda dan menganggap bahwa putusan pengadilan tersebut tidak
mencerminkan asas keadilan
2. Perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak yang
memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat), juga
tidak utuh, karena :
a. Pemegang sertifikat hak milik, diabaikan haknya untuk diikutkan
sebagai pihak turut tergugat, dan hanya dibuka upaya hukum
melalui verzet
b. Proses perolehan sertifikat yang bermasalah menimbulkan potensi
gugatan di kemudian hari
3. Institusi pemerintahan yang menerbitkan sertifikat tanah yang ternyata

19
bermasalah seyogianya dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata,
dan tuntutan ganti rugi. Namun mengingat sistem pendaftaran tanah
yang stelsel pasif, akan dapat membebaskan institusi pemerintahan dari
tanggungjawab yuridis keperdataannya.

Daftar Pustaka
Buku
Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
Aslan Noor, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, 2006
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit
Universitas Trisakti, ed. 3 Jakarta, 2007
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
yang
Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan
Horisontal,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang,
PT Alumni Bandung, 1999
John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta, 1994
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,
PT. Alumni, Bandung, 1997
Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Post Modern, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, cet. 32, Jakarta, 2005

Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang no. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria
Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Presiden no. 65 tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan no. 36 tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
ENDNOTE:
[1] Diikhtisarkan dan diakses dari www.hukumonline.com
[2] Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,
Penerbit Universitas Trisakti, ed. 3 Jakarta, 2007, hal. 63
[3] Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan
Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas
Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 76
[4] Dalam implementasi asas pemisahan horisontal, atas tanah adat di
tanah batak berlaku ungkapan “ Habang Lali ndang habang tungko”,
yang secara harfiah berarti “ Elang boleh terbang dari tungkul
perhinggapannya, namun tungkul itu tetap tinggal”. Pengertian
ungkapan ini adalah bahwa apabila anggota masyarakat adat
membangun rumah di atas tanah ulayat adat, kepemilikannya hanya
terbatas pada rumahnya itu saja. Apabila dia meninggalkan tanahnya,
dia boleh mengangkat bangunan rumahnya, namun tanahnya kembali
menjadi milik masyarakat ulayat adat.
[5] Djuhaendah Hasan, ibid, hal. 70
[6] Boedi Harsono, op.cit, hal. 40 - 41
[7]Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,
PT. Alumni, Bandung, 1997, hal. 31
[8] Aslan Noor, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, 2006, hal. 28-29
[9] John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 34-35
[10] Asas asas hukum adat tidak mendapatkan penjelasan dalam
UUPA. Djuhaendah Hasan menyatakan asas hukum adat antara lain
adalah asas kontan konkret, asas kekeluargaan dan asas kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi. Cf. Djuhaendah Hasan, Op.cit, hal.
114
[11] Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 37
[12] Ibid, hal. 59
[13] Ibid, hal. 36
[14] J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie &
Percampuran Hutang, PT Alumni Bandung, 1999, hal. 12-13
[15] Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007,
hal. 290

21
[16] Pasal 1965 KUHPerdata : Itikad baik selamanya harus dianggap
tetap ada, sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikada buruk
diwajibkan membuktikannya
[17] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, cet. 32,
Jakarta, 2005, hal. 64
[18] Djuhaendah Hasan, op.cit, hal. 211
[19] Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Post Modern, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 7

You might also like