You are on page 1of 34

BAB I

PERIWAYATAN HADIS

A. PENGERTIAN DAN SEJARAH

Hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu


melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-hadis atau ar-riwayah.
Ar-riwayah adalah bentuk masdar dari kata rawa yang berarti penukilan,
penyebutan, pemintalan dan pemberian minum sampai puas. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia berarti cerita, kisah dan berita. Jika dihubungkan dengan hadis,
berarti berita atau kabar yang umum, yang dimaksudkan untuk menerangkan
hukum syara'. Dalam bahasa Arab biasa diistilahkan dengan :

Sedangkan menurut istilah ilmu hadis berarti memindahkan hadis dan


menyandarkan kepada seseorang dengan metode tertentu. Atau kegiatan
penerimaan dan penyampaian hadis serta penyandarannya kepada rangkaian para
periwayat dengan bentuk-bentuk tertentu. Dari pengertian ini dapat dijelaskan
bahwa dalam periwayatan hadis harus memenuhi tiga unsur, yaitu: 1) kegiatan
menerima hadis dari periwayat hadis (at-tahammul); 2) kegiatan menyampaikan
hadis itu kepada orang lain (al-ada'); 3) penyebutan susunan rangkaian
periwayatannya ketika menyampaikan hadis (al-isnad).
Mengingat makna periwayatan seperti yang diterangkan diatas, yaitu
memindahkan apa yang didengar, yang mencakup penerimaan dan penyampaian
berita, maka kegiatan ini sudah ada bersamaan dengan munculnya manusia di
bumi, dan tidak hanya terjadi pada suatu umat atau suatu generasi. Karena
memang kegiatan ini merupakan tabiat manusia di dalam proses saling menerima
dan menyampaikan suatu kabar berita.
Sejarah telah mencatat bahwa tradisi periwayatan telah ada dan
menyebar di berbagai bangsa. Bangsa Romawi sangat memperhatikan sejarah

1
Tuhan-tuhan mereka. Demikian juga bangsa Yunani dan Arab Jahiliyah. Mereka
tidak mengetahui sejarah kecuali melalui penuturan secara turun-temurun
(periwayatan) diantara mereka. Dengan cara ini mereka tidak perlu menelusuri
catatan-catatan atau dokumen-dokumen yang tersimpan dalam suatu lembaga
tertentu, karena memang tradis menulis menulis belum membudaya di kalangan
mereka.
Ketika Islam datang, tradis periwayatan ini terus berjalan dan semakin
mendapat perhatian khusus dari umat Islam. Mereka mendasarkannya pada
perintah Nabi saw:

"Sampaikanlah (berita) dariku dan tidak ada dosa. Barang siapa


melakukan kebohongan dengan mengatasnamakanku—Hammam
berkata, 'Aku mengira Nabi bersabda,' dengan sengaja, maka hendaklah
ia menyiapkan tempatnya di neraka."

B. FAEDAH DAN KEISTIMEWAAN PERIWAYATAN

Periwayatan (ar-riwayah) adalah salah satu jalan menuju kabar, berita.


Dan setiap kabar berfungsi untuk memberitakan. Maka dalam hal ini, ar-riwayah,
di samping akal dan pancaindera yang sempurna, bisa juga berfungsi untuk
memberitahukan. Tiga hal inilah yang dapat menyampaikan pengetahuan kepada
seseorang.(at-Taziy,tt.30)
Tetapi periwayatan dalam Islam atau periwayatan hadis mempunyai
keistimewaan dan ciri-ciri khusus yang akan membedakannya dari periwayatan-
periwayatan yang ada sebelumnya. Keistimewaan ini dilihat dari dua hal, yaitu:
(1) perhatian umat Islam terhadap aspek periwayatan; (2) adanya unsur
persambungan sanad sampai kepada Nabi Saw.

2
1. Perhatian umat Islam terhadap aspek periwayatan
Periwayatan sebelum Islam di kalangan orang Arab dan lainnya sebatas
pada penyampaian kabar atau berita tanpa memperhatikan orang yang
menyampaikan dan kebenaran berita itu. Namun ketika Islam datang dengan
diutusnya Nabi Muhammad Saw, yang membawa ajaran yang benar, sangat
menekankan pentingnya penelitian berita yang diterima. Hal ini sesuai
dengan perintah Allah dalam surat al-Hujurat (49) ayat 6 yang berbunyi:

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik


membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu."

Mengingat bahwa ajaran Nabi yang terangkum dalam sunah (hadis)-nya


merupakan salah satu sumber hukum Islam, maka sangat wajar jika umat
Islam sangat besar perhatiannya terhadap periwayatan ini. Mereka berusaha
menelusuri orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan kabar yang
konon dari Nabi, serta membahas kebenaran kabar itu. Untuk itu, mereka
membuat kaidah khusus yang mengatur secara cermat dan teliti terhadap
periwayatan dan segala aspeknya yang belum pernah ada kaidah serupa
sebelumnya, baik di kalangan orang Arab maupun umat-umat seluruh dunia.
Kaidah itu yang oleh para ulama berikutnya, disebut dengan ilmu mustalah
al-hadis dan Tarikh rijal al-hadis atau biasa disebut dengan ilmu al-hadis
dirayah. Dengan ilmu tersebut umat Islam akan dapat mengetahui keadaan
para periwayat dan sekaligus periwayatannya serta mampu membedakan
hadis yang benar dan salah.

2. Aspek persambungan sanad hadis

3
Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah adanya
keharusan persambungan dalam sanadnya, mulai dari dari periwayat tingkat
yang disandari oleh mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat
yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi Saw, yang semuanya itu
harus diterima dari periwayat yang adil dan dabit. Sedangkan sebagaimana
telah disebut di atas, bahwa periwayatan yang ada pada umat lainnya adalah
sebatas pada periwayatan an sich, yaitu menerima dan menyampaikan berita
tanpa ada persyaratan-persyaratan yang mengikat.
Hal ini ditemukan, misalnya, pada periwayatan yang ada pada umat
Yahudi. Sanad yang menghubungkan kepada Nabi Musa as. Terdapat
keterputusan baik di awal, tengan maupun akhir periwayat. Bahkan
keterputusan itu ada pada sekitar tiga puluh orang (masa atau tabaqat), atau
bersambung hanya sampai pada Syam'un atau yang semasanya. Demikian
juga yang ada pada umat Nasrani. Di sana tidak ditemukan adanya sanad
yang menghubungkannya sampai kepada Nabi Isa as. Periwayatannya
banyak mengalami keterputusan, dan yang dimungkinkan bersambung
hanya sanad pada periwayatan tentang haramnya talak. Itu pun masih belum
disepakati. Demikian juga pada Injil yang diduga telah mengandung
keraguan yang besar.
Menyoroti tentang isnad ini, al-Qadli 'Iyad menyatakan bahwa isnad
adalah poros (madar) hadis, yang dengannya akan diketahui kebenaran
hadis itu. Abdullah bin al-Mubarak juga menyatakan bahwa isnad
merupakan bagian dari agama, jika tanpa isnad, mereka akan berkata sesuka
hatinya. Maka, dalam literatur hadis dinyatakan oleh ulama bahwa isnad
merupakan bagian dari agama. Karenanya, penelitian terhadap sumber berita
mutlak diperlukan. (al-Yahsubiy,1970:194)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keistimewaan umat Islam
dari umat lainnya dapat dilihat dari aspek persambungan sanad dan
pemindahannya dari periayat yang bersifat adil dan dhabit serta kejelian
(kehati-hatiannya) dalam menerima dan menyampaikan hadis (berita).
Dengan ciri-ciri semacam itulah periwayatan dalam Islam mampu membuka

4
jalan untuk mengetahui periwayat yang benar-benar siqat dan menemukan
hadis yang orisinil dari Nabi Muhammad saw.

C.SYARAT-SYARAT PERAWI ( )

Yang dimaksud dengan ahliyah adalah sudah mempunyai


kepantasan atau kecakapan menerima hadis serta kelayakan meriwayatkannya.
Seseorang memiliki ahliyah (sebagai perawi) harus terlebih dahulu memenuhi
beberapa persyaratan. Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang perawi mencakup dua hal :
1. Syarat- syarat ketika mendengar dan menerima hadis ( )
2. syarat-syarat ketika meriwayatkan atau menyampaikan hadis (

1. At-tahammul
At-tahammul adalah (cara) seseorang mendapatkan atau menerima
hadis dari seorang guru dengan cara atau metode-metode tertentu. Dalam
hal ini ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya anak kecil (yang
belum baligh) menerima atau mnedengar hadis. Menurut pendapat jumhur
ahli hadis mereka membolehkan seseorang menerima hadis sewaktu masih
belum baligh atau masih dalam keadaan kafir dan fasik asal hadis yang
diterimanya itu disampaikan setelah masing-masing dewasa, memeluk Islam
dan bertaubat.
Adapun alasan jumhur dalam hal ini adalah telah diketahui secara ijma
bahwa para sahabat dan tabiin banyak yang menerima hadis sewaktu masih
kanak-kanak, seperti : Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik,
Abdullah bin Abbas, Abu Sa'id al-Khudriy dan Mahmud bin Rabi'.
Hanya saja mereka memperselisihkan tentang batas-batas minimal
umur anak yang belum dewasa, yang dapat diterima riwayatnya. Dalam h al
ini ada tiga macam pendapat, yaitu:
a. Batas minimalnya ialah umur lima tahun

5
Pendapat ini berdasarkan hadis Imam Bukhariy tentang sahabat Mahmud
bin Rabi':

"Mahmud bin Rabi' berkata, 'Saya ingat Nabi meludahkan sekali ludah
dimukaku dari air yang diambil dari timba, sedangkan aku pada masa itu
baru berumur lima tahun."
b. Pendapat al-hafidz Musa bin Harun, menurutnya pendengaran anak
dianggap sah bila sudah bisa membedakan antara sapi dan keledai.
(maksudnya adalah tamyiz).
c. Pendapat yang ketiga adalah ukuran tamyiz, yaitu juka si anak itu sudah
bisa memahami suatu pembicaraan, maka dia disebut mumayyiz dan sah
pendengarannya (walaupun usianya mungkin dibawah lima tahun).
Namun jika ia belum bisa memahami suatu pembicaraan, maka tidak sah
pendapat mayoritas ulama.
Adapun dalil yang dikemukakan oleh jumhur dalam menerima
periwayatan orang yang masih dalam keadaan kafir adalah hadis Jubair
bin Muth'im, yaitu:

"Bahwa ia mendengar Nabi Muhammad membaca surat at-Thur pada


sembahyang Maghrib."

Jubair mendengar sabda Rasulullah tersebut ketika ia tiba di


Madinah untuk penyelesaian urusan tawanan perang Badar, dalam
keadaan masih kafir, yang akhirnya ia memeluk agama Islam.
Imam ibnu Hajar menerima riwayat orang fasik dengan dalil qiyas
"babul aula" artinya, kalau riwayat orang kafir yang kemudian

6
disampaikan setelah masuk Islam saja dapat diterima apalagi
pendengaran orang fasik yang disampaikan setelah taubat dan diakui
sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat diterima. Sedangkan
pendengaran dan penerimaan riwayat orang gila yang diriwayatkan
setelah sehat, tetap tidak dapat diterima lantaran diwaktu gila keadaannya
sedang hilang ingatan, sehinggga tidak bisa lagi dikatakan sebagai orang
yang dabit.

2. Al-Ada'
Al-ada' adalah (cara) seseorang menyampaikan atau meriwayatkan
hadis kepada orang atau periwayat lain dengan menggunakan sighat-sighat
tertentu. Dalam hai ini ulama ahli hadis, ushul maupun fikih sepakat bahwa
riwayatnya orang laki-laki maupun perempuan dapat dijadikan hujjah
dengan beberapa syarat:

a. Beragama Islam
Riwayatnya orang kafir maupun fasiq tidak dapat diterima. Karena
orang Islam dalam menerima hadis Nabi adalah dalam rangka
menjalankan ajaran agamanya yang benar. Lalu bagaimana kalau kabar
(riwayat) itu datang dari orang kafir maupun fasiq? (lihat QS. Al-
hujurat:6)
b. Baligh
Riwayatnya anak-anak yang belum dewasa (baligh) tidak bisa
diterima dengan alasan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu
daud dan Hakim dari Umar dan Ali, yaitu:

"Pena diangkat dari tiga orang; dari orang gila sehingga sembuh (sadar),
dari orang tidur hingga bangun dan dari anak kecil sehingga dewasa."

7
Yang dimaksud baligh di sini menurut Mutaakhkhirin adalah baligh
dan berakal dan menurut Mutaqaddimin cukup berakal.
Sedangkan alasan para ulama tidak menerima riwayat anak adalah
untuk menghindari terjadinya kebohongan (dusta) karena terkadang anak-
anak itu berbohong lantaran dia belum menyadari akibat dan pengaruh
dari perbuatan tersebut. Diperkuat oleh syara' yang tidak membenarkan
anak kecil menjadi wali terhadap dirinya sendiri dalam urusan duniawi.
Maka apalagi dalam urusan agama?

c.Adil (al-'adalah)
Yaitu sifat yang terhunjam pada diri seseorang yang mendorong
untuk selalu bertaqwa dan menjaga muru'ah dirinya yang bisa
menimbulkan suatu kepercayaan (siqat). Atau dengan kata lain al-'adalah
( ) adalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh perawi dari segi
kepribadiannya (kualitas pribadi periwayat), yang mencakup aspek agama
Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara
muru'ah.
Dengan sifat tersebut maka seseorang itu akan menjauhi perbuatan
dosa besar dan sebagian dosa kecil, seperti mencuri sesuap makanan serta
menjauhi perbuatan yang mubah yang dapat merusak muru'ahnya, seperti
makan sambil berjalan, buang air kecil di jalan besar, bergaul dengan
orang-orang yang rendah budi pekertinya dan terlalu sering bergurau.
Disebutkannya syarat ini disamping dua syarat sebelumnya adalah
untuk penekanan semata, bahwa orang Islam dan baligh belum tentu
memiliki sifat al-adalah ini; atau seorang baru dikatakan bersifat adil,
dalam istilah ilmu hadis apabila orang itu telah memenuhi beberapa syarat
diantaranya beragama islam dan mukallaf.
Ibnu Hajar al-Asqalaniy menyebutkan ada beberapa perilaku atau
keadaan yang dapat merusak sifat adil seseorang yaitu: (1) suka berdusta;
(2) tertuduh telah berdusta; (3) berbuat atau berkata fasik tetapi belum
sampai menjadikannya kafir; (4) tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan

8
diri orang itu sebagai perawi hadis; (5) berbuat bid'ah yang mengarah
kepada fasik, tetapi belum menjadikannya kafir. (Syuhudi ismail,1992:69)
Sedangkan cara untuk mengetahui keadilan perawi adalah
berdasarkan :
1). Popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama hadis. Peraewi yang
terkenal keutamaan pribadinya, misalnya: Malik bin Anas, Sufyan
as-Sauriy.
2). Penilaian dari para kritikus perawi hadis. Penilaian ini berisi
pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi
hadis.
3). Penerapan kaedah al-jarh wa at-ta'dil. Cara ini ditempuh bila para
kritikus perawi hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi perawi
hadis. (Syuhudi Ismail, 1988,119).

d. Dhabit (adh-dhabt)
Dabit yaitu bahwa perawi itu sadar benar apa yang diterimanya,
memahaminya dan menjaganya sejak menerima sampai menyampaikan
berita itu kepada orang lain. Arti harfiah dabit ada beberapa macam,
yakni yang kokoh, yang kuat, yang tepat dan yang hafal dengan
sempurna. Pengertian harfiah tersebut jika diserap ke dalam pengertian
istilah hadis dihubungkan dengan kapasitas intelektual seorang perawi.
Dhabt tersebut mencakup dua hal, yaitu dhabt shadr dan dhabit
kitab. Maksudnya adalah si perawi itu hafal ketika menyampaikan hadis
berdasar hafalannya disamping juga hafal atas tulisannya di kitab,
sehingga ketika dia menyampaikan hadis berdasarkan kitabnya dia juga
akan mudah mendeteksi jika ada perubahan, pergantian maupun
kekurangan. (al-Khatib:1989:232)
Kalau pada sifat adil ada perilaku yang bisa merusak berat, maka
pada sifat dabit ada juga perilaku atau keadaan yang dapat merusak berat
sifat tersebut. Menurut al-Asqalaniy, ada lima perilaku atau keadaan yang
dapat merusak sifat dabit, yaitu: (1) dalam meriwayatkan hadis, lebih

9
banyak salahnya daripada benarnya; (2) lebih menonjol sifat lupanya
daripada hafalnya; (3) riwayat yang disampaikan diduga keras
mengandung kekeliruan; (4) riwayatnya bertentangan dengan riwayat
yang disampaikan oleh orang-orang yang siqat; dan (5) jelek hafalannya,
walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu benar. (Syuhudi
Ismail,1992:71)
Adapun untuk mengetahui ke-dhabt-an seorang perawi, menurut
berbagai pendapat ulama diketahui dengan cara sebagai berikut:
1). Berdasarkan kesaksian ulama.
2). Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan
oleh perawi lain yang telah dikenal ke-dhabt-annya. Tingkat
kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai pada tingkat makna atau
mungkin pada tingkat harfiahnya.
3). Apabila seorang perawi itu sesekali mengalami kekeliruan, maka ia
masih dapat dinyatakan sebagai perawi yang dhabit. Tetapi apabila
kesalahan itu sering terjadi, maka perawi yang bersangkutan tidak lagi
disebut sebagai perawi yang dhabit. (Syuhudi Ismail,1988:121)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa riwayat seorang perawi
dapat diterima jika memenuhi syarat :
a. Ketika menyampaikan hadis (ada' al-hadis) yaitu harus Islam,
mukallaf (akil dan baligh), Adil dan Dhabit.
b. Ketika menerima hadis (tahammul al-hadis) cukup dengan tamyiz
(mumayyiz). (Al-Khatib,1989:232)

D. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN RIWAYAT DENGAN SYAHADAH


(PERSAKSIAN)

Di kalangan ulama ada yang menghubungkan dan membandingkan


periwayatan hadis dengan kesaksian (asy-syahadah) suatu perkara. Hal ini dapat
dimengerti karena periwayatan memiliki beberapa kesamaan dengan kesaksian,
disamping juga memiliki perbedaan.

10
Sebelum membicarakan persamaan maupun perbedaan antara riwayat
dengan syahadah, terlebih dahulu kita lihat pengertian syahadah. Syahadah
menurut bahasa mempunyai tiga arti :
Pertama, menghadiri atau mendapat. Misalnya dikatakan :
-syahida badran ( -----------------) artinya dia menghadiri peperangan
Badar
-syahida shalatal 'iedi ( ) artinya kami menghadiri
Sholat 'Ied.
Kedua, mengkhabarkan. Misalnya syahida bi kadza 'indal hakim, artinya
dikabarkan atau diterangkan begini di muka hakim. Ketika mengartikan
dengan makna ini, kita ta'diyahkan dengan huruf ba'.
Ketiga, mengetahui. Seperti firman Allah SWT :

"Dan Allah mengetahui atas segala sesuatu"

Sedangkan menurut istilah, syahadah ialah :

"Suatu khabar yang khusus yang dimaksudkan untuk menjadi dasar


putusan hakim."
Atau " " mengkhabarkan apa yang disaksikan.
Sedangkan arti riwayah telah dijelaskan pada permulaan bab ini.
Dengan memperhatikan arti kedua kata di atas, maka ulama pada
umumnya berpendapat bahwa persamaan periwayatan dan kesaksian terletak
pada empat hal, dimana pelakunya harus:
1. Beragama
2. berstatus mukallaf (baligh dan berakal)
3. bersifat adil
4. bersifat dhabit.

11
Keempat hal tersebut berkaitan langsung dengan syarat syahnya pribadi
periwayatan dan persaksian.
Adapun perbedaan antara periwayatan dan kesaksian jumlahnya cukup
banyak. Diantara ulama ada yang menyebutnya dua puluh satu macam, seperti
yang dikutip oleh as-Suyutiy dalam kitab Tadrib ar-Rawiy. Namun kebanyakan
ulama hanya menerangkan sebagian saja dari perbedaan ini. Diantara
perbedaan periwayatan dan kesaksian yang umumnya dikemukakan oleh ulama
ialah :
1. Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba sahaya, sedangkan saksi
harus berstatus merdeka.
2. Periwayat untuk berbagai macam peristiwa yang diriwayatkan dapat
berjenis laki-laki maupun perempuan, sedangkan saksi untuk peristiwa-
peristiwa tertentu harus laki-laki.
3. Periwayat boleh orang yang buta matanya asalkan pendengarannya baik,
sedangkan saksi tidak diperkenankan bermata buta.
4. Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang
dijelaskan dalam riwayat yang dikemukakannya, sedangkan saksi tidaklah
sahbila memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang diberikan
kesaksian perkaranya.
5. Bilangan periwayat tidak menjadi persyaratan sahnya periwayatan, sedang
saksi untuk peristiwa-peristiwa tertentu haruslah lebih dari satu.
6. Periwayat dapat saja mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang
disinggung dalam berita yang yang diriwayatkan, sedangkan saksi dengan
orang yang disebutkan dalam peristiwa yang disaksikannya tidak boleh
terdapat permusuhan.
Karena antara periwayatan dan kesaksian terdapat persamaan dan juga
perbedaan, maka dapat saja istilah periwayat disebut sebagai saksi, yakni saksi
atas berita yang diriwayatkannya, sepanjang pengertiannya tidak disamakan
persisi dengan istilah untuk kesaksian perkara.
Dalam hal ini kita akan menemukan kesesuaian antara ilmu hadis
dengan ilmu sejarah, karena keduanya menggunakan istilah saksi primer dan

12
saksi sekunder. Saksi (sumber) primer merupakan kesaksian dengan mata
kepala sendiri atau indera lainnya, atau alat mekanis. Dengan demikian saksi
primer merupakan sumber yang memberikan data langsung dari tangan
pertmama. Karenanya, sumber primer bisa disebut juga dengan istilah saksi
pandangan mata. Sedang yang dimaksud dengan saksi (sumber) sekunder
adalah kesaksian dan siapapun yang bukan saksi pandangan mata. Jadi sumber
sekunder merupakan kesaksian dari orang yang tidak hadir langsung pada
peristiwa yang dikisahkannya. (Syuhudi Ismail,1988:14)
Dalam rangkaian sanad hadis, sumber primer atau saksi mata adalah
periwayat pertama atau disebut juga sebagai sanad terakhir. Periwayat tersebut
mesti dari kalangan sahabat Nabi, sebab hanya sahabat Nabi saja yang
memungkinkan langsung dapat menyaksikan sabda, perbuatan, hal-ihwal dan
taqrir Nabi SAW. Dalam hubungan ini, sumber sekunder adalah periwayat
kedua (yakni bisa saja dari kalangan sahabat Nabi ataupun tabi'in, yaitu
generasi umat Islam sesudah sahabat Nabi), ataupun periwayat ketiga dan
seterusnya sampai kepada periwayat terakhir, yang biasa disebut juga dengan
istilah mukharrij.
Kesesuaian lainnya terbukti juga misalnya, dalam ilmu hadis, yang
mana periwayat (saksi) dapat diterima periwayatannya, jika ditemukan pada
dirinya kriteria adil dan dabit serta ada syahid dan mutabi' sebagai penguat.
Demikian juga dalam ilmu sejarah. Suatu fakta dapat diterima jika ada
corroboration (dukungan) berupa dua orang ataui lebih yang memenuhi
syarat. Selain itu kesesuaian antara keduanya ditemukan pula pada segi tujuan
penelitian sumber. Keduanya mempunyai tujuan untuk memperoleh berita
atau fakta yang sahih. Dalam ilmu sejarah, ada metode penelitian sumber yang
dikenal dengan istilah kritik ekstern dan kritik intern. Tujuan kritik ekstern
adalah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan misalnya; apakah
dokumen itu otentik atau palsu, siapa pembuatnya, apa atau siapa yang
menjadi sumber iitu. Untuk kritik intern, tujuan adalah mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan misalnya, apakah isi sumber itu dapat dipercaya,
apakah kandungannya dapat diterima sebagai sesuatu yang historis benar atau

13
tidak, dan lain-lain. Jika diparalelkan dengan penelitian hadis, kritik ekstern
adalah kritik yang ditujukan kepada sanad atau biasa disebut dengan istilah
an-naqd al-kharijiy atau an-naqd adz-dzahiriy. Sedangkan kritik intern adalah
istilah yang ditujukan kepada matan atau biasa disebut dengan istilah an-naqd
ad-dakhiliy atau an-naqd al-batiniy. Semuanya ini adalah bertujuan untuk
memperoleh berita atau fakta yang sahih. (Syhudi Ismail,1988:14)
Namun demikian, pada kaedah kesahihan sanad hadis dan kaedah kritik
ekstern pada ilmu sejarah, ada bagian-bagian penting yang menjadi titik
konsentrasi ketentuan untuk mencapai tujuan tersebut. Ilmu hadis
mengkonsentrasikan ketentuan itu pada kualitas periwayat dan hubungan
periwayatan antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat
sebelumnya. Ilmu sejarah tampaknya hanya mengkonsentrasikan ketentuan
pada kualitas saksi mata, hubungan antara saksi (perawi) tidak dibahasnya
secara rinci. Selain itu, dalam hal penentuan kualitas periwayat atau saksi,
antara ilmu hadis dan ilmu sejarah memiliki persamaan disamping juga
perbedaan. Persamaannya, kedua ilmu itu sama-sama ketat dalam menentukan
kriteria bagi periwayat atau saksi yang dapat dipercaya. Perbedaan yang
menonjol terlihat bahwa dalam ilmu hadis menggunakan argumen agama
(Islam) sebagai salah satu dasar penetapan kualitas pribadi periwayat yang
dapat dipercaya, sedangkan ilmu sejarah tidak menggunakan argumen
tersebut. Walaupun demikian, tampaknya ilmu sejarah tidak menolak "sikap"
ilmu hadis tersebut. Karena prinsip penggunaan argumen agama ini tidak
terlepas dari tujuan penelitian berita atau fakta; dan berita atau fakta yang
menjadi tujuan penelitian sanad adalah salah satu sumber ajaran agama Islam,
yakni hadis.(Syuhudi Ismail,1988:203)

E. TATA CARA PERIWAYATAN DAN LAMBANG-LAMBANG YANG


DIGUNAKAN

Pada umumnya ulama membagi tata cara penerimaan riwayat hadis


kepada delapan macam : (1) as-sama' min lafdz as-syaikh; (2) al-qira'ah 'ala asy-

14
syaikh; (3) al-ijazah; (4) al-munawalah; (5) al-mukatabah (6) al-I'lam; (7) al-
washiyah; (8) al-wijadah.(Ibn as-Shalah,1988:157). Masing-masing cara ini
memiliki pengertian dan istilah-istilah atau kata-kata tertentu dalam sanad.
Ulama hadis menetapkan berbagai istilah atau kata-kata atau huruf
tertentu untuk menghubungkan periwayat dengan periwayat lain yang terdekat
dengan sanad itu. Istilah atau kata atau huruf itu menggambarkan cara yang telah
ditempuh oleh periwayat hadis yang bersangkutan tatkala menerima hadis. Istilah
tersebut biasa disebut dengan " " yakni lambang-lambang
penyampaian hadis.
Selanjutnya akan dijelaskan masing-masing cara tersebut.

1. As-sama' min lafadz asy-syaikh


Untuk selanjutnya biasa disebut dengan as-sama' saja. Maksudnya
ialah penerimaan hadis dengan cara mendengar secara langsung lafal hadis
dari guru hadis (syaikh). Hadis ini didiktekan atau disampaikan dalam
pengajian oleh guru hadis berdasarkan hafalannya atau catatannya. Cara
periwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulama hadis dinilai sebagai cara
yang tinggi kualitasnya. (as-Shalah:1988:118)
Pengakuan ulama yang menempatkan cara as-sama sebagai cara yang
paliong dapar dipercaya masih perlu dipersoalkan. Karena, hasil
pendengaran seseorang untk dapat dipercaya ditentukan oleh beberapa
faktor, misalnya kepekaan alat pendengaran, kejelasan suara yang didengar,
kemampuan intelektual pendengar dalam memahami apa yang didengarnya,
dan yang lain. Oleh karena itu, untuk menetapkan kualitas riwayat
seseorang, diperlukan penelitian yang mendalam tentang kualitas pribadi
dan kemampuan intelektual yang bersangkutan.
Namun demikian, mayoritas ulama hadis memberikan status tertinggi
cara as-sama' ini dalam periwayatan, dengan mengajukan dua alasan
pokok, yaitu:
a. Masyarakat waktu itu masih menempatkan cara hafalan sebagai cara yang
terbaik dalam menerima ilmu dari pada melalui catatan. Oleh karenanya,

15
kemampuan seseorang dalam bidang menghafal akan menjadikannya
memiliki kedudukan yang tertinggi. Sehingga metode verbal sama juga
dihargai lebih tinggi daripada metode nalar.
b. Ada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas
menyatakan :

"Kalian mendengar (hadis dari saya) kemudian dari kalian hadis itu
didengar oleh orang lain, dari orang lain tersebut hadis yang berasal dari
kalian itu didengar oleh orang lain lagi."

Hadis tersebut memberikan isyarat bahwa periwayatan hadis yang secara


tegas diakui keabsahannya oleh Nabi adalah dengan cara as-sama'. Sabda Nabi
tersebut memang relevan dengan kondisi umat Islam pada zaaman itu, yakni u
mat yang mengandalkan hafalan dalam menuntut ilmu penegetahuan.
Permasalahan yang muncul adalah, apakah cara as-sama' memang merupakan
cara yang paling akurat dalam penerimaan riwayat hadis dibandingkan dengan
cara-cara lain yang telah ditempuh oleh para periwayat hadis? Untuk menjawab
pertanyaan itu, pada pembahasan cara al-qira'ah, cara as-sama akan
diperbandingkan dengan cara al-qira'ah.
Istilah atau kata yang dipakai untuk cara as-sama' diantaranya ialah;
sami'tu, sami'na, haddatsana, haddatsani, akhbarana, qala lana, dzakara lana.
Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati ulama. Misalnya saja
menurut al-Khatib al-Baghdadiy (w.463 H=1072 M), kata yang tertinggi
adalah sami'tu kemudian haddatsana dan haddatsani. Alasannya adalah , kata
sami'tu menunjukkan kepastian periawayat mendengar langsung hadis yang
diriwayatkannya. Sedang dua macam kata terakhir masih bersifat umum; ada
kemungkinan periawayat yang bersangkutan tidak mendengar langsung. (al-
Baghdadiy,1972:412-413). Sedang menurut Ibn As-Shalah (w.643 H=1245 M),
kata haddatsana dan akhbarana di satu segi dapat saja lebih tinggi kualitasnya
daripada sami'tu. Karena kata sami'tu dapat berarti guru hadis (syaikh) tidak

16
khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan
sami'tu tadi; atau guru hadis itu tidak melihat langsung penerima riwayat yang
menyatakan kata sami'tu tersebut. Sedang kata-kata haddatsana dan akhbarana
memberi petunjuk bahwa guru hadis menyampaikan dan menghadapkan
riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan kata haddatsana dan
akhbarana tersebut. (Ibn as-shalah, 1972:120)
Sedangkan kata-kata qala lana dan dzakara lana atau serupa, masih
diperselisihkan penggunaannya oleh ulama. Sebagian ulama berpendapat, kata-
kata itu menunjukkan periwayat dengan cara as-sama, sebagian lainnya men
syaratkannya dengan tidak adanya penyembunyian cacat (tadlis) oleh
periwayat yang bersangkutan, dan ada yang mengatakan kata-kata tersebut
untuk peiwayatan dengan cara al-qira'ah atau al-munawalah. (Syuhudi
Ismail,1988:54)

2. Al-qira'ah 'ala asy-syaikh atau al-qira'ah saja atau disebut juga al-'aradl,
Yaitu periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis
dengan cara periwayat itu sendiri membacanya atau orang lain yang
membacakannya dan dia mendengarkan. Riwayat hadis yang dibacakan itu
bisa saja berasal dari catatannya atau bisa juga dari hafalannya. Sedangkan
guru (syaikh) hadis yang disodori bacaan tadi aktif menyimaknyamelalui
hafalnnya sendiri atau melalui catatan yang ada padanya. Cara ini hampir
mirip dengan pemeriksaan hafalan dalam menghafal al-Qur'an.
Mengenai kedudukan penerimaan hadis dengan cara al-qira'ah ini,
ulama berbeda pendapat. Menurut az-Zuhriy dan al-Bukhariy, cara al-
qira'ah sama kedudukannya dengan cara as-sama'. As-Suyutiy, Ahmad bin
Hambal dan Ibn as-Salah menilai kedudukan as-sama' lebih tinggi daripada
al-qira'ah. Sedang Abu Hanifah menilai al-qira'ah lebih tinggi daripada as-
sama'. (al-Hakim an-Naisaburiy, t.th:257)
Apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadis, maka
cara al-qira'ah lebih berpeluang dapat terhindar dari kesalahan atau lebih
korektif dibandingkan dengan cara as-sama'. Karena dalam cara al-qira'ah,

17
pemeriksaan riwayat hadis dilakukan oleh guru hadis selaku penyampai
riwayat dan murid selaku penerima riwayat. Guru hadis menyimak hadis
yang dibacakan muridnya. Jadi dalam hal ini guru berfungsi sebagai penguat
dan pemeriksa terakhir terhadap hadis yang yang telah diperiksa oleh murid.
Sedangkan dalam periwayatan hadis dengan cara as-sama', guru hadis
menyampaikan riwayat hadis , sedang murid (penerima riwayat)
mendengarkannya. Guru hadis tidak memeriksa lebih lanjut hasil
"tangkapan" pendengaran murid terhadap hadis yang telah disampaikan oleh
guru tersebut. Jadi, tidak ada pemeriksaan terakhir dari guru terhadap
hafalan atau catatan murid. (Syuhudi Ismail,1988:55)
Kata-kata atau istilah yang dipakai untuk periwayatan cara al-qira'ah
ada yang disepakati oleh ulama, antara lain adalah :
a. " " , kata-kata ini dipakai bila periwayat membaca
sendiri di hadapan guru hadis yang menyimaknya.
b. " ", kata-kata ini dipakai
bila periwayat tidak membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan
bacaan orang lain, sedang guru hadis menyimaknya. (Ibn as-
shalah,1972:123)
Adapun kata-kata yang tidak disepakati pemakaiannya oleh ulama antara
lain adalah kata haddatsana dan akhbarana yang tanpa diikuti kata-kata
lain.

3. Al-Ijazah
Yaitu guru hadis memberikan ijin kepada seseorang baik secara lisan
maupun tulisan untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya.
Dalam hal ini ulama hadis ada yang tidak membolehkan periwayatan
dengan cara ijazah karena periwayat hadis dalam kasus ini tidak perlu
melakukan perlawatan untuk mencari hadis. Sementara dalam masa awal
Islam tindakan semacam ini dapat menyebabkan hilangnya hazanah ilmu
pengetahuan hadis. Diantara yang mengemukakan ini adalah Syu'bah bin al-
Hajjaj dan Abu Zurah al-Raziy. Namun mayoritas ulama membolehkan

18
ijazah ini sebagai salah satu model periwayatan dan menilai bahwa jenis
ijazah tertentu cukup terpercaya untuk meriwayatkan hadis
Jenis ijazah ini ada dua macam:
a) al-ijazah disertai al-munawalah, yang mempunyai dua bentuk:
1) seorang guru hadis menyodorkan kepada murid hadis yang ada padanya
lalu guru tadi berkata, "Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis
yang saya peroleh ini."
2) seorang murid menyodorkan hadis kepada guru, lalu guru
memeriksanya, selanjutnya ia mengatakan:" Hadis ini saya terima dari
guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis ini dari
saya."

b) al-ijazah al-mujarradah (ijazah murni)


Diantaranya ialah ijazah diberikan kepada guru hadis kepada :
1) orang tertentu untuk hadis tertentu, misalnya untuk hadis yang termuat
dalam kitab Shahih al-Bukhariy.
2) orang tertentu untuk semua hadis yang telah didengarnya
(diriwayatkannya), atau
3) orang yang tidak tertentu, misalnya umat Islam, untuk hadis tertentu atau
hadis tidak tertentu.
Ijazah murni yang disebutkan pertama oleh mayoritas ulama hadis dan
fiqih disepakati kebolehannya, sedang ijazah murni lainnya masih
diperselisihkan.
Hadis yang disampaikan oleh guru hadis dengan cara ijazah tersebut
adalah hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Karenanya,
pengijazahan itu tampaknya hanya sebagai "tali pengikat" antara guru
dengan murid semata. Adapun kualitas hadisnya terpulang kepada
periwayatan antara guru dengan para periwayat sebelumnya, atau naskah
yang diijazahkan.

19
Adapun kata-kata yang biasa dipakai oleh mayoritas ulama diantaranya
ialah haddatsana ijazatan, haddatsana idznan, ajaza lii, anba'ani ijazatan,
dan lain-lain

4) Al-Munawalah
Al-Munawalah mempunyai dua bentuk :
a) al-Munawalah yang disertai ijazah, sebagaimana telah dikemukakan
di atas
b) al-Munawalah yang tidak disertai dengan ijazah, yaitu pemberian
kitab oleh guru hadis kepad amuridnya sambil berkata :"Hadza min
haditsi", artinya ini hadis yang telah saya riwayatkan, atau "Hadza
min Sima'ati", artinya ini hadis yang telah saya dengar; dan guru tadi
mengatakan "Irwihi 'Anni" yakni riwayatkanlah hadis ini dariku.
Sebagian ulama ada yang tidak membolehkan cara al-munawalah
bentuk kedua, karena mereka berpegang pada pendirian bahwa hak
periwayatan hadis harus jelas dinyatakan oleh guru kepada murid. Sebagian
lain membolehkannya. (Al-Khatib,1989:239)
Adapun kata-kata yang biasa dipakai untuk cara al-munawalah tanpa
ijazah ialah nawalana atau nawalani.

5) Al- Mukatabah
Yaitu seorang guru menuliskan hadis yang diriwayatkannya atau orang
lain atas permintaannya untuk diberikan kepada orang tertentu, baik itu
berada dihadapannya atau di tempat lain.
Cara al- Mukatabah ada dua macam :
a) Al-Mukatabah yang disertai dengan ijazah
b) Al-Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah
Pada umumnya, ulama membolehkan kedua macam al-mukatabah
tersebut. Ibn as-Shalah menganggap al-mukatabah yang disertai ijazah
kekuatannya sama dengan al-munawalah yang disertai ijazah. Perbedaan
antara keduanya ialah bahwa al-munawalah hadis-hadisnya tidak mesti

20
dalam bentuk tulisan, sedangkan al-mukatabah hadis-hadisnya mesti tertulis.
Perbedaan lain adalah bahwa dalam al-mukatabah, ketika hadis dicatat telah
ada maksud untuk diberikannya kepada periwayat tertentu. Sedang dalam
al-munawalah, dalam hal ini yang berbentuk tulisan, maksud penyerahan
guru tampaknya baru muncul setelah hadis yang bersangkutan selesai
ditulis. Kata-kata yang dipakai untuk periwayatann cara al-mukatabah
cukup banyak. Misalnya Kataba ilayya fulan, Akhbarani bihi Mukatabatan,
dan Akhbarani bihi Kitabatan.

6) Al-I'lam
Yaitu guru hadis memberitahukan kepada muridnya, hadis atau kitab
hadis yang telah diterimanya dari periwayatnya, misalnya melalui as-sama',
tanpa diikuti pernyataan agar muridnya tadi meriwayatkannya lebih lanjut.
Ibn as-Shalah tidak mengaggap sah periwayatan dengan cara al-I'lam ini
dengan alasan :
a) hadis yang diberitahukan itu ada cacatnya, karenanya guru tersebut tidak
menyuruh muridnya untuk meriwayatkannya.
b) periwayatan cara al-I'lam ini memiliki kesamaan dengan pemberitahuan
seseorang saksi kepada orang lain atas suatu , kemudian orang lain itu
memberikan kesaksian tanpa izin dari saksi yang sesungguhnya.
Namun kebanyakan ulama membolehkan al-I'lam dengan alasan :
a) guru hadis tidak menyatakan agar muridnya meriwayatkan hadis nya,
tidak mesti ada cacat dalam hadis tersebut
b) penganalogian al-I'lam dengan kesaksian suatu perkara tidaklah tepat,
karen akesaksian memang memerlukan izin, sedang periwayatan tidak
selalu perlu ada izin.
c) bila periwayatan dengan cara as-sama dan al-qira'ah dinyatakan sah
walaupun tanpa diikuti adanya izin dari guru, maka al-I'lam harus
diakui juga keabsahannya.

21
Pendapat mayoritas ulama diatas lebih kuat. Sebab untuk apa seorang
guru menyampaikan riwayat hadisnya, bila hadis tersebut dilarang untuk
diriwayatkannya lebih lanjut. Adapun kata-kata yang lazim dipakai untuk cara
al-I'lam ialah Akhbarana I'laman atau kata-kata lain yang semakna. (Syuhudi
Ismail,1988:59)

7. Al- Washiyyah
Yakni seorang periwayat hadis mewasiatkan kitab hadis yang
diriwayatkannya kepada orang lain sebelum pemberi wasiat tersebut
melakukan perjalanan atau meninggal dunia.
Ulama berbeda pendapat tentang cara ini. Pangkal perbedaannya hampir
sama dengan periwayatan cara al-I'lam, yakni sama-sama tidak diikuti
pernyataan agar hadis itu diriwayatkan lebih lanjut. Bagi yang membolehkan,
mereka beralasan bahwa memberikan (mewasiatkan) kitab kepada seseorang
termasuk salah satu bentuk izin, sebagaimana cara al-I'lam.
Kata-kata yang biasa dipakai periwayatan cara wasiat ini adalah Ausha
ilaiyya, atau kata-kata yang semakna, dan tidak boleh menggunakan kata-kata
haddatsani Fulan bi kadza. Karena seorang guru tidak pernah menyampaikan
hadis dengan muhadasah. (Al-Khatib,1989:243)

8. Al-Wijadah
Yaitu seseorang, dengan tidak melalui cara as-sama' atau ijazah maupun
munawalah, mendapatkan hadis yang ditulis oleh periwayatnya. Orang yang
mendapat tulisan tersebut bisa saja semasa atau tidak semasa dengan si penulis
hadis, pernah atau tidak pernah bertemu, pernah atau tidak pernah
meriwayatkan hadis dari penulis yang dimaksud.
Menurut Ahmad Muhammad Syakir, periwayatan dengan cara wijadah
ini tidak boleh. Alasannya, banyak orang dewasa ini memperoleh informasi
dari berbagai kitab atau majalah, kemudian orang tadi berkata, misalnya
Haddatsana Ibn Khaldun, Haddatsana Ibn Qutaibah, dan lainnya. Hal ini
merupakan perbuatan tidak terpuji, sebab telah merubah pengertian yang tidak

22
benar dan akhirnya merusak peristilahan ilmu hadis. Dikhawatirkan, bila cara
ini dibiarkan terus , maka akan terjadi pemindahan riwayat secara dusta.
(Syuhudi Ismail,1988:60)
Namun demikian ada ulama yang membolehkan periwayatan cara ini,
dengan menekankan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu ialah :
a). tulisan hadis yang didapati haruslah telah diketahui secara pasti siapa
periwayat yang sesungguhnya
b) kata-kata yang dipakai untuk periwayatan lebih lanjut haruslah kata-
kata yang menunjukkan bahwa asal hadis itu diperolehnya secara al-
wijadah.
Adapun kata-kata atau pernyataan yang dipakai untuk periwayatan
dengan cara al-wijadah ini, diantaranya ialah :
a)
b)
c)
d)
e)

Dua pernyataan disebutkan pertama (butir a dan b) dipakai apabila : (1)


penerima riwayat tidak pernah menerima riwayat hadis dari penulis hadis
yang bersangkutan; (2) tulisan yang dinukil telah jelas orisinalitas; dan (3)
sanad hadisnya dapat saja putus (munqati') atau bersambung (muttasil).
Apabila orisinalitas tulisan belum diketahui dn sanadnya telah jelas terputus,
maka pernyataan yang dipakai adalah salah satu dari ketiga pernyataan yang
disebutkan terakhir di atas. (Ibn As-Shalah,1979:159)
Dari pembahasan cara-cara penerimaan riwayat hadis di atas dapatlah
dinyatakan bahwa :
1. Periwayat hadis ketika menyampaikan suatu hadis harus mengemukakan
sedikitnya dua hal : a) cara penerimaan hadis yang telah ditempuhnya;
dan b) nama-nama periwayat hadis yang menyampaikan hadis itu

23
kepadanya. Fungsi terpenting dari kedua hal ini adalah sebagai
pertanggung-jawaban sumber yang telah dipakainya.
2. Tidak seluruh penerimaan riwayat hadis dinilai memiliki kualitas yang
tinggi. As-sama, al-qira'ah, al-ijazah al-maqrunah bi al-munawalah
(al-munawalah al-maqrunah bi al-ijazah) dan al-mukatabah, oleh
mayoritas ulama dinilai lebih tinggi kualitasnya daripada cara-cara yang
selainnya.
3. Kata-kata pernyataan yang diapakai sebagi penghubung antara periwayat
dengan periwayat yang terdekat sebelumnya, menggambarkan cara-cara
penerimaan riwayat hadis yang telah dipakai oleh periwayat yang
bersangkutan, walaupun kata-kata itu ada yang disepakati dan ada yang
tidak disepakati oleh ulama. Selanjutnya, kata-kata tersebut ada yang
ditulis lengkap dan ada yang ditulis dalam bentuk singkatan. Misalnya
kata " " ditulis " " atau " "; kata " "
ditulis " "; kata " " ditulis " " atau " ". dan
sebagainya. (Syuhudi Ismail,1988:62)
Dalam sanad hadis, sering pula dijumpai huruf " " atau " ",
yang merupakan singkatan dari pernyataan " "
(perpindahan dari sanad yang satu ke sanad yang lain). Singkatan ini tidak
dimaksudkan untuk menerangkan cara periwayatan, melainkan untuk
menunjukkan perpindahan sanad. Menurut an-Nawawiy, bila hadis memiliki
dua sanad atau lebih, maka ketika dikemukakan perpindahan sanad dari
yang satu kepada sanad yang lainnya, biasanya diberi tanda huruf tersebut.
(An-Nawawiy, t.th:24).

F. PERIWAYATAN HADIS SECARA LAFAL DAN MAKNA

Pada zaman Nabi Muhammad saw, periwayatan hadis banyak


berlangsung secara oral (lisan= ) berdasarkan hafalan masing-masing
sahabat. Mengingat intelektualitas mereka dalam menerima dan menyampaikan
suatu hadis berbeda-beda, maka muncullah dua bentuk periwayatan hadis, yaitu

24
periwayatan secara lafal ( ar-riwayah bi al-lafdz) dan periwayatan secara
makna (ar-riwayah bi al-ma'na) (Ad-Daminiy,1984:19)
Periwayatan hadis secara lafal (ar-riwayah bi al-lafz ) ialah :

"Seorang perawi menyampaikan hadis secara letetrleijk yaitu dengan


lafal yang diterimanya, tanpa ada perubahan , penggantian, penambahan
maupun pengurangan sedikitpun."

Sedangkan periwayatan hadis secara makna (ar-riwayah bi al-ma'na)


ialah :

"Seorang perawi menyampaikan hadis yang diterimanya dengan


menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun
sebagian saja, dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan
apapun apabila dibandingkan dengan hadis yang diriwayatkan secara
lafal atau sesuai dengan teks aslinya. (At-Taziy,t.th:19)

Konsep ar-riwayah bi al-ma'na ini, di kalangan umat Islam masih sering


dipahami secara salah. Sebagian mereka ada yang memahami bahwa setiap
perbedaan redaksi pada hadis disebabkab oleh ar-riwayat bi al-ma'na.
Sehingga menurut mereka, ar-riwayah bi al-ma'na itu mencakup semua hadis
yang membahas tema yang samadengan menggunakan redaksi yang berbeda.
Maka, bila menemukan suatu hadis dengan redaksi yang berbeda untuk satu
tema, akan langsung dikatakan bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan secara
makna.

25
Memang, adanya perbedaan redaksi pada hadis bukan hanya disebabkan
oleh adanya ar-riwayah bi al-ma'na, tetapi perbedaan itu disebabkan oleh
beberpa faktor, misalnya seringnya Nabi menyelenggarakan majlis ta'lim dan
variasi jawaban Nabi atas pertanyaan sahabat karena menimbang kemampuan
dan kondisi penanya. Namun jelas, bahwa ar-riwayah bi al-ma'na secara
otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi. Namun mengklaim bahwa
setiap perbedaan redaksi dikarenakan oleh ar-riwayah bi al-ma'na adalah
tindakan yang tergesa-tergesa.
Dari uraian di atas, maka perlu ditegaskan bahwa pada hakekatnya ar-
riwayah bi al-ma'na terjadi untuk satu satu hadis dalam satu peristiwa yang
diungkapkan oleh periwayat dengan redaksi yang berbeda-beda dan bukan
pada perbedaan redaksi yang ada pada banyak hadis karena memang berbeda
peristiwa. Maka untuk mengetahui bahwa suatu hadis itu telah diriwayatkan
secara makna harus meneliti dan memperhatikan asbab wurudnya dan kapan
hadis itu muncul. (at-Taziy,t.th:19)
Hadis Nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal (ar-riwayah bi
al-lafz) oleh sahabat Nabi sebagai saksi pertama, hanyalah hadis yang dalam
bentuk sabda (hadis qauliyyah), dan inipun sangat sulit dilakukan kecuali untuk
sabda-sabda tertentu. Sedangkan hadis-hadis dalam bentuk lain yang berupa
perbuatan (hadis fi'liyyah), taqrir Nabi dan hal ihwal (ahwal Nabi) hanya
mampu diriwayatkan oleh sahabta secara makna dengan menggunakan
ungkapan dari masing-masing sahabat berdasarkan kesaksian masing-masing.
Padahal jelas kemampuan sahabat dalam menangkap,mengungkap dan
menerjemahkan isyarat-isyarat dan dan perilaku Nabi tidak mungkin sama.
Untuk itu sangat membuka peluang terjadinya periwayatan secara makna.
Ada beberapa faktor dan sebab pendukung terjadinya periwayatan secara
makna, diantaranya ialah :
1. Tidak seluruh hadis Nabi diriwayatkan secara mutawatir lafdziy, berbeda
dengan periwayatan al-Qur'an.
2. Pada masa Nabi sampai masa sahabat, hadis Nabi belum dibukukan (tadwin)
bahkan pada awalnya para sahabat tidak menulis hadis Nabi, kecuali untuk

26
sahabat-sahabat tertentu. Sedangkan periwayatan hadis banyak berlangsung
secara lisan.
3. Perbedaan kemampuan periwayat dalam menghafal dan meriwayatkan hadis
Nabi.
4. Hanya hadis yang berbentuk sabda (hadis qauliyyah) saja yang mungkin
diriwayatkan secara tekstual. Padahal hadis Nabi itu bisa berupa sabda,
perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi.(Noorhidayati,1998:54)
Selanjutnya ulama ahli hadis sepakat akan keharusan periwayatan hadis
secara lafal untuk hadis-hadis berikut ini :
1. Hadis-hadis yang berkaitan dengan penyebutan-penyebutan nama-nama
Allah dan sifat-sifatNya. Mereka memandangnya sebagi suatu hal yang
tauqifiy dan tidak boleh diganti dengan kalimat atau kata lain walaupun
sepadan.
2. Hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah (ta'abbudiy)
misalnya hadis-hadis do'a.
3. Hadis-hadis tentang jawami' al-kalim ( ), yakni ungkapan
pendek sarat makna yang mengandung nilai balaghah yang tinggi dan
periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh
kandungan makna hadis yang dimaksud.
4. Hadis–hadis yang berkaitan dengan lafal-lafal ibadah, misalnya hadis
tentang azan, iqamat, takbir, salat, sighat syahadat, dan sighat akad.(at-
Taziy,t.th:19-20)
Perlu ditegaskan pula, ulama ahli hadis sepakat bahwa menjaga lafal
hadis, menyampaikannya sesuai dengan lafal yang diiterima dan didengarnya,
tanpa merubah, mengganti huruf atau hata, adalah lebih utama daripada
periwayatannya secara makna. Hal ini karena kalam Nabi adalah perkataan
yang mengandung fasahah dan balaghah yang tidak ada bandingannya. Dan
periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi (dari
redaksi semula dan antara periwayat yang berbeda). Bahkan redaksi hadis ini
ada yang menyebabkan perbedaan makna atau maksud hadis.

27
Oleh karena itu ulama berbeda pendapat dalam hal hukum kebolehan
periwayatan hadis secara makna bagi orang cukup mampu menjaga lafal hadis.
Dalam hal ini pembahasan berkisar pada dua hal, yakni hukum ar-riwayah bi
al-ma'na sebelum tadwin dan sesudah tadwin

1. Ar-riwayah bi al-ma'na sebelum tadwin


Tentang hukum ar-riwayah bi al-ma'na pada masa sebelum
dibukukannya (tadwin) hadis secara resmi, ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang
telah memenuhi syarat, diantaranya harus mempunyai kemampuan bahasa
yang mendalam, sedangkan bagi periwayat yang tidak memenuhi syarat yang
ditentukan, mereka sepakat akan keharusannya untuk meriwayatkan hadis
sesuai dengan lafal yang diterima.
Penganut madzhab ini bermaksud untuk meringankan beban dan
kesulitan para periwayat dalam meriwayatkan hadis. Jika periwayat dituntut
untuk meriwayatkan hadis sesuai dengan lafal asli seperti ketika hadis itu
diterima, sedangkan catatan hadis tidak ada pada mereka, maka demikian itu
akan mempersulit mereka. Alasan lain, secar ijma, ulama membolehkan
penerjemahan hadis dari bahasa Arab ke bahasa asing (al-lughah al-
a'jamiyyah) bagi orang yang m,engetahui bahasa tersebut. Logikanya, jika
penerjemahan ke dalam bahasa asing saja diperbolehkan, maka penerjemahan
(perubahan) ke dalam bahasa Arab sendiri dengan lafal yang semakna berarti
lebih baik. (at-Taziy,t.th:23)
Pendapat ini diikuti oleh golongan sahabat dan tabiin diantaranya Ali bin
Abi Talib, Abu Hurairah, Hasan al-Bashriy, Ibn Syiohab az-Zuhriy dan lain-
lain.
Namun demikian, ada pula sekelompok ahli hadis, fiqih dan usul yang
memandang tidak bolehnya periwayatan hadis secara makna, walaupun untuk
periwayat yang telah memenuhi persyaratan . Mereka yang melarang
periwayatan secara makna ini bermaksud untuk mengatakan bahwa ar-

28
riwayah bi al-ma'na itu mengundang munculnya at-tahrif dan at-tabdil yang
menyebabkan munculnya at-taghyir (perubahan) sebagian maknanya.
Diantara ulama penganut madzhab ini adalah al-Qasim, Muhammad bin
Sirin, al-Qadi 'Iyadl , malik bin Anas, dan lainnya.
Untuk menjembatani perbedaan diatas, maka pendapat yang lebih
rasional adalah membolehkan ar-riwayah bi al-ma'na bagi orang yang
menghafal dan menjaga hadis dengan beberapa syarat, bai periwayat itu dari
kalangan sahabat maupun lainnya, dengan maksud untuk mempermudah dan
meringankan umat Islam dalam menyampaikan hadis, disamping juga untuk
menghindarkan dosa dari karena menyembunyikan ilmu. (at-Taziy,t.th:28)

2. Ar-riwayah bi al-ma'na sesudah tadwin


Para ulama sepakat bahwa periwayatan hadis secara makna tidak
diperbolehkan sesudah hadis itu tertulis dalam kitab-kitab hadis. Ketika
hadis-hadis itu telah tertulis dalam kitab-kitab, maka lafal dan hurufnya telah
jelas. Oleh karenanya, periwayatan secara tidak diperbolehkan, mengingat
makna asal ar-riwayah (periwayatan) adalah memindahkan hadis sesuai
dengan lafal yang diterima dan didengar dari Nabi. Sedangkan ar-riwayah bi
al-ma'na menyimpang dari makna asal ini.
Sementara alasan diperbolehkannya ar-riwayah bi al-ma'na adalah
karena adanya darurat dalm pelaksanaannya dan kondisi khusus misalkan
lupa lafalnya. Namun setelah dibukukannya hadis Nabi dalam kitab-kitab,
'illah (alasan) yang menyebabkan adanya rukhsah telah hilang, sehingga tetap
wajib untuk meriwayatkan hadis secara lafal. (Abu Zahw,t.th:202)
Menyoroti pandangan ulama tentang ar-riwayah bi al-ma'na, secara
garis besar dapat dikategorikan pada tiga macam, yaitu tidak boleh secara
mutlak, boleh secara mutlak dan boleh dengan syarat. (al-Jawabiy,t.th:207)

a. Tidak membolehkan secara mutlak


Pendapat ini berpegang ketat pada keharusan periwayatan hadis secara
lafal, dan melarang sama sekali periwayatan secara makna. Mereka ini

29
termasuk golongan mutasyaddid dalam periwayatan. Ulama yang melarang
keras periwayatan hadis secara makna ini berargumentasi bahwa :
1) Perkataan Nabi mengandung fasahah dan balaghah yang tingggi dan
hadis-hadisnya merupakan agama yang bersumber dari wahyu Allah.
2) Nabi pernah mengkritik sahabat yang mengganti lafal hadis "nabiyyika"
dengan lafal lain "rasulika", yaitu hadis dari al-Barra' bin 'Azib. (al-
Bukhariy,I:67)
Selain itu mereka mendasarkan pendapatnya kepada dalil naqli dan
logika, diantara dalil naqli adalah hadis Nabi yang berbunyi :

"Allah akan mengelokkan rupa seseorang yang mendengarkan


perkataan dariku dan menjaganya, kemudian ia menyampaikan
sebagaimana ia mendengarnya sendiri."

Alasan yang berdasarkan logika (aqli) yaitu, jika periwayat


diperbolehkan mengganti lafal Nabi dengan lafal dari dirinya sendiri, maka
periwayat pada tabaqat kedua juga akan mengganti lafal yang didengar dari
gurunya denga lafal nya sendiri. Jika penggantian ini terjadi pada tiap-tiap
tabaqat, maka sangat mungkin lafal yang pertama akan hilang. Karena ,
walaupun manusia berusaha menyesuaikan setepat mungkin terjemahan
dengan aslinya, tidak mungkin dia akan terlepas dari perbedaan. Perbedaan
inilah yang dikhawatirkan akan menyimpang jauh dari makna atau lafal
aslinya. (Abu Rayyah,t.th:78-79)
Ulama yang termasuk golongan ini adalah Umar bin Khattab, Abdullah
bin Umar, al-Qasim, Muhammad bin Sirin, Imam Malik bin Anas, Ahmad
bin Hambal, dan lainnya.

2) Membolehkan secara mutlak

30
Pendapat yang kedau ini termasuk gollongan mutasahil dalam
periwayatan. Pendapat ini merupakan bentuk yang terlarang, karena dengan
kesembronoan dan ketidakhati-hatian dalam periwayatan akan menimbulkan
perubahan-perubahan lafal yang menyebabkan perubahan makna. Namun
demikian, praktik seperti ini telah ada dan berkembang. (al-
Jawabiy,t.th:207)
Periwayat yang termasuk dalam kelompok ini adalah hasan al-Basriy,
as-Sya'biy dan Ibrahim an-Nakha'iy. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa
Hasan al-Basriy tidak memperdulikan perbedaan-perbedaan lafal hadis yang
diucapkan pada hari ini dan hari esok. Dia juga tidak mempedulikan taqdim,
ta'khir dan ziyadah maupun nuqsan, asal maknanya masih sama. Selain itu,
ia beralasan bahwa yang termasuk dusta kepada Nabi adalah bagi orang
yang menyengaja (berbuat salah dan melakukan perubahan).
Ungkapan-ungkapan diatas, menurut Tahir al-Jawabiy menunjukkan
ketasahulannya dalam meriwayatkan hadis. Padahal hadis Nabi itu menuntut
penukilannya dengan penuh kehati-hatian. Jika terjadi kesalahan yang
diakibatkan oleh kesembronoan dan kelalaiannya, maka berarti periwayat
tersebut telah menyandarkan lafal hadis kepada Nabi yang tidak pernah
beliau katakan. Dalam hal ini, kesalahan seperti itu mempunyai nilai sama
dengan kebohongan atau dusta, walaupun maksudnya berbeda. (Al-
Jawabiy,t.th:218)

3) Membolehkan dengan syarat


Bentuk yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah (mutawasit)
antara bentuk mutasyaddid dan mutasahil. Dengan menentukan persyaratan-
persyaratan, mereka menghendaki supaya periwayat tidak terlalu sembrono
dan lengah yang disebabkan oleh longgarnya ketentuan yang ada.
Selanjutnya mereka menganggap, bahwa ar-riwayah bi al-ma'na ini
merupakan rukhsah bagi periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa
lafal aslinya.

31
Pendapat yang ketiga ini banyak dianut oleh sahabat dan tabiin,
diantaranya Aisyah ra, Abu Sa'id al-Khudriy, Amr bin Dinar, Amr bin
Murrah, Sufyan as-Sauriy, Sufyan bin 'Uyainah dan lain-lain.
Mereka yang menganut bentuk yang ketiga ini mengajukan argumentasi:
1) perbedaan lafal hadis asal tidak merubah arti diperbolehkan; yang tidak
diperbolehkan adlah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal.
2) mengganti lafal hadis Nabi dengan bahasa lain selain bahasa Arab saja
diperbolehkan, maka mengganti lafal hadis dengan bahasa Arab yang
muradis tentunya lebih baik.
3) yang dilarang oleh agama adalah dusta kepada Nabi dan merubah hadis-
hadisnya. Sedangkan meriwayatkan secara makna dengan tetap menjaga
maksud hadis berarti boleh.(al-Khatib,1963:133-134)

Adapun syarat-syarat yang diajukan oleh ulama penganut madzhab ini


sangat beragam, baik itu berkaitan periwayat (sanad) maupun matan.
Misalnya Tahir al-Jawabiy dalm kitabnya Juhud al-Muhadditsin fi Naqd
Matan al-Hadis an-Nabawiy, menyebutkan syarat yang harus dimiliki oleh
periwayat yang meriwayatkan secara makna, diantaranya adalah :
a) Periwayat harus menguasai bahasa Arab secara mendalam dan yakin
akan maksud lafal, sasaran atau obyek pembicara serta perbedaan
penggunan lafal dalam bahasa Arab.
b) Mengetahui tema hadis dan maksud (ucapan) hadis Nabi.
c) Hendaknya periwayat mendalami ilmu syari'ah, fiqih dan usulnya,
supaya mampu memahami hadis-hadis yang mengandung persoalan-
persoalan syar'iy.

Sedangkan syarat-syarat yang berkaitan dnegan matan adalah :


a) Hadis yang diriwayatkan secara makna harus sama dengan aslinya dari
sisi maknanya. Sedangkan perbedaan dari segi susunan lafal merupakan
suatu kewajaran sebagai konsekwensi adanya pengantian lafal.

32
b) Antara hadis yang diriwaayatkan secara makna dengan lafal hadis aslinya
harus sama dalam hal jala' (arti jelasnya) dan khafa' (arti tersembunyi).
(al-Jawabiy,t.th:225-231)

Walaupun beragam syarat dan ketentuan yang membolehkan


periwayatan hadis secara makna, namun ada beberapa syarat yang disepakati
oleh jumhur ulama, yaitu :
a) Periwayat harus memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam.
b) Periwayat secara makna dilakukan karena sangat terpaksa.
c) Yang diriwayatkan secara makna bukan sabda yang bersifat ta'abbudiy,
seperti zikir, do'a, azan, dan hadis jawami' al-kalim.
d) periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna atau yang ragu akan
susunan matan hadis yang diriwayatkan, agar menambah lafal "Au
Kama Qala" atau yang semakna dengannya, setelah mengatakan matan
hadis yang bersangkutan
e) kebolehan periwayatan hadis secara makna terbatas pada masa sebelum
kodifikasi (tadwin) hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa tadwin hadis,
periwayatan hadis harus secara lafal.

Walaupun ar-riwayah bi al-ma'na diperbolehkan, namun sebagian


ulama tetap memandang bahwa dalam ar-riwayah bi al-ma'na mengandung
bahaya dan implikasi yang cukup signifikan bagi kualitas hadis..
Abu Rayyah dengan mengutip pendapat al-Jazairiy mengatakan bahwa
ar-riwayah bi al-ma'na mengandung bahaya yang besar dan bahkan dianggap
sebagai salah satu penyebab perbedaan umat. Ada beberapa alasan yang
dikemukakannya, diantaranya adalah:
1. Ar-riwayah bi al-ma'na yang menyebabkan perbedaan redaksi akan
menimbulkan kesalahan arti atau maksud hadis. Bahkan menyebabkan
kedustaan—walaupun tanpa sengaja—dengan menyandarkan perkataan
kepada Nabi, yang sebenarnya Nabi tidak mengatakan.

33
2. Ar-riwayah bi al-ma'na bisa merusak kesempurnaan makana hadis. Dengan
menghilangkan salah satu lafal hadis, khususnya yang mengandung
istisna'-- maka suatu hadis menjadi tidak sempurna maknanya bahkan
berubah atau rusak.

Selanjutnya, meruju kepada definisi ar-riwayah bi al-ma'na di atas, ada


beberpa hal yang menjadi implikasi dari adanya bentuk periwayatan tersebut,
diantaranya:
1. adanya bentuk periwayatan hadis dengan cara al-ikhtisar (meringkas) dan
at-taqti' (memenggal). Maksudnya, meriwayatkan sebagian hadis dan
meninggalkan sebagian lainnya. Periwayatan hadis dengan cara ini
memberi praduga adanya pengurangan pada salah satu riwayatnya, baik itu
disengaja atau karena lupa.
2. adanya at-taqdim (mendahulukan lafal yang tidak semestinya didahulukan )
dan at-ta'khir (mengakhirkan lafal yang mestinya didahulukan). Adanya
at-taqdim dan at-ta'khir, jika sampai merubah dilalah, tidak
diperbolehkan, karena akan menyebabkan hadis yang bersangkutan
menjadi dhaif dan masuk pada kategori hadis maqlub
3. adanya az-ziyadah dan an-nuqsan. Maksudnya adalah menambah atau
mengurangi lafal (matan) hadis yang sebenarnya. Penambahan atau
pengurangan lafal hadis yang dilakukan oleh perawi karena
meriwayatkannya secara makna adalh suatu hal yang tidak bisa dihindari.
Kalau lafal tambahan dari masing-masing perawi itu saling menjelaskan
atau melengkapi, tidak menimbulkan masalah. Namun jika lafal tambahan
itu menjadikannya saling bertentangan, ini akan membahayakan. Karena
akan menyebabkan hadis yang bersangkutan menjadi dhaif dan masuk
pada kategori hadis mudraj atau hadis mudhtharib.
4. adanya al-ibdal, yaitu mengganti huruf, kata, atau kalimat. Bentuk ini
hampir bisa dipastikan ditemukan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan
secara makna. Penggantian tersebut ada yang merusak makna dan ada
yang tidak.

34

You might also like