You are on page 1of 51

ANTHROPOLOGY

“SUKU BUGIS”

Oleh Stefie

MC 11-1B

2007110213

THE LONDON SCHOOL OF PUBLIC RELATION JAKARTA

2008-2009
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena hanya oleh kasih setia dan anugerah-
Nya makalah ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.

Pada kesempatan kali ini penulis mengambil tema “SUKU BUGIS” dimana suku ini sendiri banyak
terdapat di daerah Sulawesi Selatan,suku ini juga memiliki kebudayaan yang unik dan menarik untuk
dibahas,karena alas an itulah penulis mencoba untuk memberitahu pembaca melalui makalah ini.

Penulis ingin mnegucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelasaian makalah ini. Antara lain :

1. Bpk. Boy Ferdin selaku dosen Anthropology dan pembimbing

2. Orang tua yang penulis kasihi, dukungan dan semangat mereka membuat penulis selalu berusaha
memberikan yang terbaik untuk semua.

3. Indra, Mutiara, Benedicta, Ruby dan Marcella yang telah membantu penulis, baik secara
langsuing maupun tidak langsung. Terima kasih untuk semangat, kasih yang telah kalian berikan
untuk penulis.

4. Teman-Teman penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya, terima kasih untuk doa
dan dukungan moril dari kalian.

Penulis juga meminta maaf apabila ada kesalahan dalam pengetikkan atau kesalahan lainnya. Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis
harapkan. Terima kasih atas perhatian anda. Semoga makalah ini dapat berguna untuk yang membacanya.

Tuhan memberkati.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I
BAB PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 4
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.3.1 Tujuan Penulisan 5
1.3.2 Manfaat penulisan 5
1.4 Metodelogi Penulisan
1.4.1 Metode Observasi 6
1.4.2 Studi Kepustakaan 6
1.4.3 Instrumen Penelitian 6
1.5 Sistematika Penulisan 6-7
1.6 Demografi
1.6.1 Batas-Batas Geografi Sulawesi Selatan 7
1.6.2 Jumlah Penduduk Sulawesi Selatan 7
1.6.3 Sejarah Keberadaan Masyarakat Sulawesi Selatan 8-9
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Bugis 10-11
2.2 7 Unsur Kebudayaan
2.2.1 Bahasa 11-12
2.2.2 Religi 12-32
2.2.3 Kesenian 32-34
2.2.4 Mata pencaharian 34
2.2.5 Organisasi Sosial 35-36
2.2.6 Teknologi dan Pengetahuan 37-42
Ritual Daerah Setempat 43
Mitos-Mitos dalam Suku Bugis 44-45
BAB III
PENUTUP 46
Lampiran 47
Daftar Pustaka 48
Biografi Penulis 49
BAB I

BAB PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah


Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki bermacam-
macam suku, kebudayaan dan bangsa. Kebudayaan yang neraneka ragam tersebut tentu dapat terjadi
karena perbedaan suku yang sangat terlihat pada setiap wilayah dan daerah di Indonesia. Tentu saja
ini menjadi sebuah tradisi yang turun- temurun sejak dahulu.

Kebudayaan ini tentu saja harus kita pelihara dan lestarikan keberadaannya, ini merupakan
bekal untuk generasi yang akan datang agar mereka juga bisa mengetahui dan melihat keindahan,
keunikkan dan keaslian dari kebudayaan tersebut.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin memberitahu tentang kebudayaan yang ada di
Indonesia. Khususnya kebudayaan yang berada di daerah Sulawesi Selatan yaitu “suku Bugis”
melalui 7 unsur kebudayaan yang ada.

Melihat keunikkan dari daerah Sulawesi selatan ini sendiri, penulis tertarik untuk
membahasnya lebih lanjut. Sulawesi Selatan memiliki berbagai macam kebudayaan yang sangat unik
seperti suku bugis, toraja, Makassar, dsb. Sungguh sangat menarik jika diteliti. Kebudayaan mereka
pun tidak jauh berbeda dan saling berhubungan.
1.2 RUMUSAN MASALAH/PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, yaitu :
1. Bagaimana sistem bahasa pada suku Bugis?
2. Bagaimana sistem religi pada suku Bugis?
3. Bagaimana sistem kesenian pada suku Bugis?
4. Bagaimana sistem mata pencaharian pada suku Bugis?
5. Bagaimana sistem organisasi sosial pada suku Bugis?
6. Bagaimana sistem pengetahuan pada suku Bugis?
7. Bagaimana sistem teknologi pada suku Bugis?

1.3 TUJUAN dan MANFAAT PENULISAN


1.3.1 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan ini, yaitu :
• Untuk mengetahui sistem bahasa pada suku Bugis.
• Untuk mengetahui sistem religi pada suku Bugis.
• Untuk mengetahui sistem kesenian pada suku Bugis.
• Untuk mengetahui sistem mata pencaharian pada suku Bugis.
• Untuk mengetahui sistem organisasi sosial pada suku Bugis.
• Untuk mengetahui sistem pengetahuan pada suku Bugis.
• Untuk mengetahui sistem teknologi pada suku Bugis.

1.3.2 MANFAAT PENULISAN


Sedangkan manfaat dari penulisan ini, yaitu :
• menambah wawasan tentang kebudayaan suku Bugis bagi pembaca.
• dijadikan sebagai acuan dan pedoman bagi yang ingin mengetahuinya.
• memberikan inspirasi bagi penulisan selanjutnya dalam topik yang sama, agar
kekurangan yang sekiranya ada pada penulisan ini dapat dijadikan sumber
penelitian yang baru.
1.4 METODELOGI PENULISAN

1.4.1 METODE OBSERVASI


Penulis tidak melakukan observasi langsung, tapi penulis melakukan wawancara
langsung dengan salah satu orang bugis, Sulawesi Selatan yang menetap di jakarta saat ini.

1.4.2 STUDI KEPUSTAKAAN


Dalam metode ini, penulis mengumpulkan data dengan mengadakan penelitian
pustaka yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas, yaitu Kebudayaan Suku Bugis.

1.4.3 INSTRUMEN PENELITIAN


Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan beberapa alat untuk
mempermudah pencarian data, diantaranya adalah sebagai berikut :

• Note Book / laptop, untuk mencatat data.


• Internet, sebagai data tambahan.
• Kamera, untuk mengambil beberapa gambar.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN


Di dalam penulisan ini dibagi menjadi tiga bab yang akan dijabarkan secara terperinci. Berikut ini
gambaran secara singkat mengenai pembahasan untuk tiap-tiap bab dalam penelitian.

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan


masalah/permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, batasan
konsep/tinjauan kepustakaan, metodelogi penulisan, sistematika
penulisan serta demografi.

BAB II : PEMBAHASAN

Berisi deskripsi atau gambaran objek penelitian serta gambaran umum


tentang permasalahan yang akan dibahas.
BAB III : PENUTUP

Berisi tentang pernyataan singkat dari hasil penelitian dan analisis


disertai dengan saran-saran yang diambil dari hasil penelitian yang
dilakukan.

1.6 DEMOGRAFI

1.6.1 BATAS-BATAS GEOGRAFIS


Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan 116°48' - 122°36' Bujur
Timur. Luas wilayahnya 62.482,54 km². Provinsi ini berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di timur, Selat Makassar di barat, dan
Laut Flores di selatan.

1.6.2 JUMLAH PENDUDUK


Penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan Biro Dekonsentrasi Bagian Kependudukan
Pemprov. Sulawesi Selatan pada tahun 2008 berjumlah 7.874.439 jiwa yang tersebar di 23
kabupaten/kota, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 1.265.521 jiwa (16,07%) mendiami Kota
Makassar.

Kepadatan penduduk per km2 di Sulawesi Selatan rata-rata 173 jiwa/km. Kota
Makassar merupakan kabupaten/kota terpadat (7.200 jiwa/km2), menyusul Kota Parepare
(1.201 jiwa/km2) kemudian Kota Palopo (842 jiwa/km2). Sedangkan kab/kota dengan
tingkat kepadatan penduduk terendah yaitu kab. Luwu Timur (34 jiwa/km2), Luwu Utara
(39 jiwa/km2) dan Enrekang (94 jiwa/km2) . Tujuh belas (17) kabupaten lainnya rata-rata
mempunyak tingkat kepadatan penduduk antara 100-500 jiwa/km2 yaitu Selayar
Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Bone,
Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Tator dan Luwu.
1.6.3 SEJARAH KEBERADAAN MASYARAKAT

Sekitar 30.000 tahun silam pulau ini telah dihuni oleh manusia. Penemuan tertua ditemukan di
gua-gua dekat bukit kapur dekat Maros, sekitar 30 km sebelah timur laut dan Makassar sebagai
ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Kemungkinan lapisan budaya yang tua berupa alat batu Peeble
dan flake telah dikumpulkan dari teras sungai di lembah Walanae, diantara Soppeng dan
Sengkang, termasuk tulang-tulang babi raksasa dan gajah-gajah yang telah punah.

Selama masa keemasan perdagangan rempah-rempah, diabad ke-15 sampai ke-19, Sulawesi
Selatan berperan sebagai pintu Gerbang ke kepulauan Maluku, tanah penghasil rempah. Kerajaan
Gowa dan Bone yang perkasa memainkan peranan penting didalam sejarah Kawasan Timur
Indonesia dimasa Ialu.

Pada sekitar abad ke-14 di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah kerajaan kecil, dua kerajaan yang
menonjol ketika itu adalah Kerajaan Gowa yang berada di sekitar Makassar dan Kerajaan Bugis
yang berada di Bone. Pada tahun 1530, Kerajaan Gowa mulai mengembangkan diri, dan pada
pertengahan abad ke-16 Gowa menjadi pusat perdagangan terpenting di wilayah timur Indonesia.
Pada tahun 1605, Raja Gowa memeluk Agama Islam serta menjadikan Gowa sebagai Kerajaan
Islam, dan antara tahun 1608 dan 1611, Kerajaan Gowa menyerang dan menaklukkan Kerajaan
Bone sehingga Islam dapat tersebar ke seluruh wilayah Makassar dan Bugis.

Perusahaan dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-
Indische Compagnie) yang datang ke wilayah ini pada abad ke-15 melihat Kerajaan Gowa
sebagai hambatan terhadap keinginan VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di
daerah ini. VOC kemudian bersekutu dengan seorang pangeran Bugis bernama Arung Palakka
yang hidup dalam pengasingan setelah jatuhnya Bugis di bawah kekuasaan Gowa.
Belanda kemudian mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan perlawanan
masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah berperang selama
setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Dan Raja Gowa, Sultan Hasanuddin dipaksa untuk
menandatangani Perjanjian Bungaya yang sangat mengurangi kekuasaan Gowa. Selanjutnya
Bone di bawah Palakka menjadi penguasa di Sulawesi Selatan.
Persaingan antara Kerajaan Bone dengan pemimpin Bugis lainnya mewarnai sejarah Sulawesi
Selatan. Ratu Bone sempat muncul memimpin perlawanan menentang Belanda yang saat itu
sibuk menghadapi Perang Napoleon di daratan Eropa. Namun setelah usainya Perang Napoleon,
Belanda kembali ke Sulawesi Selatan dan membasmi pemberontakan Ratu Bone. Namun
perlawanan masyarakat Makassar dan Bugis terus berlanjut menentang kekuasaan kolonial
hingga tahun 1905-1906. Pada tahun 1905, Belanda juga berhasil menaklukkan Tana Toraja,
perlawanan di daerah ini terus berlanjut hingga awal tahun 1930-an.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH BUGIS


Suku Bugis adalah suku terbesar ketiga di Indonesia setelah suku Jawa dan Sunda. Berasal dari Sulawesi
Selatan dan menyebar pula di propinsi-propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Irian Jaya
Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan Riau Kepulauan, dan bahkan sampai ke Malaysia
dan Brunei Darussalam. Karena sifatnya yang suka berpindah-pindah, mungkin itu menjadi salah satu
sebab mereka dikait-kaitkan dengan perahu pinisi, armada pelayaran rakyat, mungkin itu diambil dari
salah satu kota yang pernah mereka singgahi, dalam hal ini negara Italia, dengan kotanya Venice. Suku
Bugis biasanya mengabadikan nama-nama tempat yang penuh kenangan atau mempunyai kesan istimewa
pada perahunya, mereka juga mengidentikan perahunya dengan sejenis ikan yang berenang sangat cepat
di laut lepas. Berharap perahunya dapat berjalan/berlari secepat ikan tersebut sehingga banyak pula dari
mereka yang menamakan perahunya dengan nama `Pinisi Palari`.

Suku Bugis yang terletak di Propinsi Sulawesi Selatan, memiliki populasi paling besar yaitu 3.800.000
jiwa. Kata Bugis Berasal Dari Nama La Sattumpugi.

Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka
bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis
telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya
adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan
berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang
Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan
langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk
membawa norma dan aturan sosial ke bumi.
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan
pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-
usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di
jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi.
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari
We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.

Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo
yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah
kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading
juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di
Sulawesi seperti Buton.
Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup
di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau
sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan
silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat
(ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang
diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading),
We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo (Anak Sawerigading
dan We‘ Cudai).
Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis
pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–
keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi
kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan
dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di
negeri orang.

2.2 7 UNSUR KEBUDAYAAN :

2.2.1 BAHASA

Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten
sebahagian Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare,
Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu,
Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai,
Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional
memakai aksara Lontara. Lontara itu adalah pengetahuan yang dituliskan di atas daun lontar. Kalau untuk
suku bugis makassar kebanyakan naskah itu dituliskan diatas daun lontar dan orang-orang menyebutnya
lontara. Suku Bugis menyebut bahasa mereka sendiri yang dikenal dengan sebutan `Bahasa Ugi`, berupa
tulisan huruf Bugis, dan diucapkan dengan bahasa Bugis sendiri. Huruf ini sudah ada sejak abad ke-12,
ketika melebarnya pengaruh Hindu di Indonesia.

Berikut adalah beberapa contoh-contoh kata dalam bahasa bugis :

Kata bilangan

0 = noloq
1 = seqdi
2 = dua
3 = tella
4 = eppa
5 = lima
6 = enneng
7 = pitu
8 = arua
9 = asera
10 = seppulo
11 = seppulo seqdi

Kata Sifat
Besar = battoa
Baik = kessing
Buruk = jaq
Manis = cenning
Panjang = lampe
Berat = taneq
Ringan = ringeng
Lebar = sakka
Pahit = paiq
Putih = pute

Kata battoa, kissing, jaq, cenning, lampe, taneq, ringeng, sakka, paiq, pute termasuk jenis kata sifat dalam
bahasa Bugis.

Kata kerja

Menulis = maruki
Berkebun = maqdareq
Mengumpulkan = mappasipulung
Membeli = mangelli
Menebang = matteqbang
Menjual = maqbaluq
Menanam = mattaneng
Berhitung = aqdekeng
Menyanyi = makkelong
Memikul = mallempa

Kata benda

Kue = beppa
Garis = jori
Besok = baja
Wanita = makkunrai
Pria = orowane
Mati = mate
Petir = lette
Angsa = banynyaq
Langit = langi
Suara = saqda

Huruf awal yang tidak terdapat dalam bahasa Bugis, yakni : F, V, X, Q, Z

2.2.2 RELIGI

Kebanyakan masyarakat dari Suku Bugis beragama Islam. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada
konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain. Selain
konsep adat secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara (norma
hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur
stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam).

Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘
Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan.
Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng
menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep adat serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas
yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara
penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan
kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di
masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka. Namun, setelah
diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat
adat dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan
hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum
Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–
orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam. Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas
masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh
budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat
yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang
berkemampuan untuk melaksanakannya. Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada
masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan
besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring
dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Konsep–konsep ajaran
Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep norma dan aturan yang
mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan
juga terdapat dalam Lontara‘. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia
pada ajaran agama Islam.
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal
yang berhubungan dengan sesama, seperti mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk setengah
badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (dalam
bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai
orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis
sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh
masyarakat Bugis.

Lalu tentang adat perkawinan.

Pada masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala atau saling mengambil satu sama lain, jadi
perkawianan merupakan ikatan timbla balik. Walaupun mereka berasal dari strata sosial yang berbeda,
setelah mereka menjadi suami istri mereka merupakan mitra. selain itu, perkawinan bukan saja penyatuan
dua mempelai semata, akan tetapi merupakan suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga
besar yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud mendekatkan atau
mempereratnya (Mappasideppé mabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh). Ini disebabkan juga karena
orang tua dan kerabat memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-
anaknya.

Seperti suku – suku yang lainnya yang ada di nusantara ( Indonesia ), masyarakat bugis juga memiliki
tradisi dalam proses pernikahan. Mulai dari lamaran, pra akad nikah, akad nikah, sampai dengan pasca
akad nikah. Semuanya terangkai dalam suatu proses yang cukup unik. Dalam hal ini ternyata suku bugis
memiliki beberapa prosesi perkawinan yang berhubungan dengan suku lain seperti Makassar dan Mandar.

Pertama saya akan memberitahu tentang upacara sederhana perkawinan secara garis besar dalam suku
bugis itu sendiri.

1. Madduta ( Pinangan / Lamaran ).

• 1. Madduta Massuro / Lettu


Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (Mappabotting)
dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir) maka
keluarganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira dianggap sesuai untuknya. Bagi
kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki akan diteliti secara seksama untuk
mengetahui apakah status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak, jagan sampai tingkatan
pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar.
Madduta artinya meminang secara resmi, dahulu kala dilakukan beberapa kali, sampai ada kata
sepakat, namun secara umum proses yang ditempuh sebelum meminang adalah sebagai berikut:

a. Mammanu’-manu
Mammanu’-manu’ bermakna seperti burung yang terbang kesana kemari, untuk menyelidiki
apakah ada gadis yang berkenan di hati. Langkah pendahuluan ini biasanya ditugaskan kepada
seseorang biasanya kepada para paruh baya perempuan, yang akan melakukan kunjungan biasa
kepada keluarga perempuan untuk mencari tahu seluk beluknya, namun biasanya proses ini
sangat tersamar. Mappésé-pésé dilakukan setelah kunjungan pertama tadi (Mammanu’-manu’)
yaitu melakukan kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang secara
tidak langsung dan sangat halus, seperti “adakah orang yang akan mendekati anda? Apakah and
sudah ada yang punya?”ini ditujukkan agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka atau malu
seandainya pendekatan ini tidak membuahkan hasil. Jika keluarga perempuan memberi lampu
hijau, kedua pihak kemudian menentukan hari untuk mengajukan lamaran secara resmi
(Madduta). Selama proses pelamaran ini berlangsung garis keturunan, status kekerabatan, dan
harta calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa dan uang antaran (Dui
ménré) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya perkawinan pasangannya, serta
hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya.

b. Mappettu Ada
Mappettu Ada yang baiasanya juga ditindak lanjuti dengan (mappasierekeng) atau menyimpulkan
kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah dibicarakan bersama pada proses sebelumnya. Ini
sudah merupakan lamaran resmi dan biasanya disaksikan oleh keluarga dan kenalan.
Pada saat inilah akan dibicarakan secara terbuka segala sesuatu terutama mengenai hal-hal yang
prinsipil. Ini sangat penting karena kemudian akan diambil kesepakatan atau mufakat bersama,
kemudian dikuatkan kembali keputusan tersebut (mappasierekeng). Pada kesempatan ini
diserahkan oleh pihak laki-laki pattenre’ ada atau passio (“pengikat”) berupa cincin, beserta
sejumlah benda simbolis lainnya, misalnya tebu, sebagai simbol sesuatu yang manis, buah nangka
(Panasa) yang mengibaratkan harapan (minasa); dan lain sebagainya. Apabila waktu perkawinan
akan dilaksanakan dalam waktu singkat, maka passio ini diiringi passuro mita yang diserahkan
setelah pembicaraan telah disepakati.
- Satu lembar bahan waju tokko
- Satu lembar sarung sutera atau lipa’ sabbé, juga disertai dengan;
- Satu piring besar nasi ketan (sokko)
- Satu mangkok besar palopo’ (air gula merah yang dimasak dengan santan dan diberi telur ayam
secukupnya)
- Dua sisir pisang raja

Biasanya pada acara mappettu ini diadakan dialog oleh pihak perempuan dan laki-laki Dialog ini
biasanya dimulai oleh pihak perempuan sebagai tuan rumah dan dibalas oleh pihak laki-laki.

Pada saat Mappettu ada akan disepakati beberapa perjanjian, diantaranya:


- Sompa
Sompa artinya mas kawin atau mahar sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Besarnya sompa
telah ditentukan menurut golongan atau tingkatan derajat gadis. Penggolongan sompa tidaklah
selalu sama dalam pengistilahannya. Ada dalam bentuk mata uang “real” dan ada pula dalam
bentuk “kati” tetapi secara umum adalah sebagi berikut:

Bangsawan tinggi 88 real


Bangsawan menengah 44 real
Arung palili 28 real
Golongan tau maradeka 20 real
Golongan ata (budak) 10 real

Pada akhir abad ke-19 besarnya mas kawin (sompa) ditetapkan berdasarkan status seseorang.
Setiap satuan mas kawin disebut kati (mata uang kuno) satu kati senilai dengan 66 ringgit, atau
sama dengan 88 real, 8 uang (8/20 rial) dan 8 duit (8/12 uang) dan setiap kati akan harus
ditambah satu orang budak yang bernilai 40 real dan seekor kerbau yang bernilai 25 real. Sompa
bagi kalangan perempuan bangsawan kelas tinggi Sompa bocco’ atau sompa puncak bisa
mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan bangsawan terendah hanya 1 kati, dan orang baik-
baik atau tau deceng setengah kati, dan kalangan biasa hanya seperempat kati. Sistem perhitungan
ini masih berlaku sampai sekarang, tetapi sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia, maka
mata uang ringgit (dulu senilai 2,5 rupiah atau 2,5 gulden Belanda) yang dihadikan satu
perhitungan. Namun karena inflasi dan turunnya harga rupiah pada awal 1960 maka jelas sompa
ini tidak berlaku lagi. Namun Sompa ini masih sangat penting artinya, khususnya bagi keluarga
yang berstatus tinggi karena hadiah-hadiah tambahannya, termasuk di dalamnya hadiah simbolis
(batang tebu, labu, buah, nangka, anyaman-anyaman, dan bermacam-macam kue tradisonal).

- Dui ménré / Dui balanca


Dui ménré adalah sejumlah uang yang akan diserahkan oleh pihak laki-laki pasa saat mappettu
ada (mappasierekeng). Hal ini biasa dilakukan oleh pihak perempuan untuk mengetahui kerelaan
atau kesanggupan berkorban dari pihak laki-laki sebagai perwujudan keinginannya untuk menjadi
anggota keluarga. Dui ménré ini akan digunakan oleh pihak perempuan dalam rangka membiayai
pesta perkawinannya.

- Tanra esso akkalabinéngeng


Kalau semua persayaratan ini telah disepakati, kemudian telah dikuatkan (mappasierekeng) maka
pinangan telah resmi diterima. Kemudian akan disepakati lagi hari H perkawinan. Penentuan hari
H perkawinan (tanra esso akkalabinéneng) atau penentuan saat akad nikah biasanya disesuaikan
dengan penanggalan berdasarkan tanggal dan bulan Islam. Setelah mengetahui hari pelaksanaan
akad nikah (ménré botting) dengan sendirinya prosesi adat lainnya seperti mappacci,
(tudampenni, wenni mappacci) serta marola sudahj diketahui pula. Upacara mappacci, pada
malam tudampenni, atau malam pacar baiasanya dilakukan sehari atau beberapa hari sebelum hari
perkawinan. Sedangkan ma’parola dilakukan sehari atau beberapa hari setelah hari perkawinan
dilangsungkan.

2. Mappaisseng ( Undangan ).

• Mappaisseng adalah proses “mengundang” para keluarga / kerabat dekat untuk hadir dalam acara
pernikahan yang akan dilangsungkan. Yang unik disini adalah pihak calon mempelai akan
mengirimkan wakilnya untuk menyampaikan secara lisan perihal rencana pernikahan. Kebiasaan
ini masih berlanjut sampai sekarang, walaupun saat ini sudah tersedia sarana kartu undangan.
3. Mattampa / Mappalettu selling

• Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya yaitu mappaisseng, dan biasanya
pihak keluarga calon mempelai akan mengundang seluruh sanak saudara dan kerabat. Undangan
tertulis ini dilaksanakan kira-kira 10 atau 1 minggu sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan.
Kegiatan ini disebut juga mappalettu selleng karena diharapkan pihak yang diundang akan merasa
dihargai bila para pembawa undangan ini menyampaikan salam dan harapan dari pihak yang
mengundang kiranya bersedia datang untuk memberi restu.

4. Mappatettong sarapo/ Baruga

• Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping kiri/kanan rumah yang
akan ditempati melaksanakan akad nikah. Sedangkan baruga adalah bangunan terpisah dari
rumah yang ditempati bakal pengantin dan dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam
yang disebut wlsuji “walasuji”. Di dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula tempat yang khusus
bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang disebut lmi “lamming”. Tetapi akhir-akhir ini
di Kabupaen Bone sudah jarang lagi mendirikan sarapo oleh karena sudah ada beberapa gedung
atau tenda yang dipersewakan lengkap dengan peralatannya, namun kadang pula masih ada yang
melaksanakan terutama bagi kalangan bangsawan dan orang berada.

5. Mappacci ( Selamatan di Malam Akad Nikah )

• Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni, menjelang acara akad nikah/ijab
kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam
pelaksanaannya menggunakan daun pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini
dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan
barazanji. Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah kebersihan dan
kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan kebersihan raga dan
kesucian jiwa.

Adapun urutan dan tata cara mappacci adalah sebagai berikut:


Sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa (penjemputan) mempelai. Calon
mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru bicara keluarga:

Patarakkai mai bélo tudangeng


Naripatudang siapi siata
Taué silélé uttu patudangeng
Padattudang mappacci siléo-leo
Riwenni tudang mpenni kuaritu
Paccingi sia datu bélo tudangeng
Ripatajang mai bottinngngé
Naripattéru cokkong ri lamming lakko ulaweng

Ungkapan ini berarti:


Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk
saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka ria di malam tudampenni, mappacci
pada sang raja/ratu mempelai nan rupawan. Tuntunlah dan bimbinglah sang raja/ratu menuju
pelaminan yang bertahtakan emas.

Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna
simbolis seperti:

• Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki
makna penghormatan atau martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti mappakalebbi.
• Sarung sutera 7 lembar yang tersusun di atas bantal yang mengandung arti harga diri.
• Di atas bantal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang
berkesinambungan dan lestari.
• Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai
permakna ménasa atau harapan.
• Sebuah piring yang berisi wenno yaitu beras yang disangrai hingga mengembang sebagai simbol
berkembang dengan baik sesuai dengan arti bahasa Bugisnya (mpenno rialéi).
• Tai bani, patti atau lilin yang bermakna sebagai suluh penerang, juga diartikan sebagai simbol
kehidupan lebah yang senantiasa rukun dan tidak saling mengganggu.
• Daun pacar atau pacci sebagai simbol dari kebersihan dan kesucian. Penggunaan pacci ini
menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah
keesokan harinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput.
Daunpacar atau pacci yang telah dihaluskan ini disimpan dalam wadah bekkeng sebagai
permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan kehidupan
masayarakat.

Pelaksanaan

Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-
orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah
tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari
dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya.
Jumlah orang yang meletakkan pacci ke tangan calon mempelai adalah biasanya disesuaikan
dengan stratifikasi sosial calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi
jumlahnya 2 x 9 orang atau dalam istilah Bugis “duakkaséra”. Untuk golongan bangsawan
menengah sebanyak 2 x 7 orang atau “duappitu”. Sedangkan untuk golongan di bawahnya bisa 1
x 9 atau 1 x 7 orang.

Cara memberi pacci kepada calon mempelai adalah sebagai berikut:

Diambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan (telah dibentuk bulat supaya praktis), lalu
diletakkan daun dan diusap ke tangan calon mempelai. Pertama ke telapak tangan kanan,
kemudian telapak tangan kiri, lalu disertai dengan doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup
dengan bahagia. Kemudian kepada orang yang telah memberikan pacci diserahkan rokok sebagai
penghormatan. Dahulu disuguhi sirih yang telah dilipat-lipat lengkap dengan segala isinya. Tetapi
karena sekarang ini sudah jarang orang yang memakan sirih maka diganti dengan rokok.
Biasanya upacara mappacci didahului dengan pembacaan Barzanji sebagai pernyataan syukur
kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam.
Setelah semua selesai meletakkan pacci ke telapak tangan calon mempelai maka tamu-tamu
disuguhi dengan kue-kue tradisional yang diletakkan dalam bosara.

Biasanya acara mappacci ini didahului dengan ritual sebagai berikut:

• Ripasau

Sementara dalam kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan maka diadakan pula persiapan-
persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu perawatan pengantin (ripasau/mappasau). Biasanya
perawatan ini dilakukan sebelum hari pernikahan (3 hari berturut-turut atau karena keterbatasan
waktu hanya dilakukan 1 kali saja pada saat sebelum kegiatan mappacci).
Ripasau atau mappsau ini dilakukan pada satu ruangan tertentu yang terlebih dahulu dipersiapkan
dengan memasak berbagai macam ramuan yang terdiri dari daun sukun, daun coppéng, daun
pandan, rampa para’pulo dan akar-akaran yang harum dalam belanga yang besar.
Mulut belanga ditutup dengan batang pisang yang diberi terowongan bambu sepanjang tangga
rumah yang disumbat dengan tutup periuk. Uap yang keluar kemudian akan menghangatkan
tubuh sampai membuka pori-pori kulit sehingga mengeluarkan keringat dari seluruh tubuh
sehingga tubuh menjadi bersih dan segar.
Namun sebelum kegiatan ini, terlebih dahulu pengantin dipakaikan bedak basah atau lulur yang
terdir atas beras yang telah direndam dan telah ditumbuk halus bersama kunyit dan akar-akaran
yang harum ditambah dengan rempah-rempah. Ramuan ini kemudian dilulurkan ke seluruh
permukaan badan. Dahulu kala ritual ini dilaksanakan selama 40 hari, dewasa ini hanya 3 hari
atau 7 hari atau malah hanya 1 kali sebelum acara tudampenni atau mappacci.

• Cemmé passili’, Mappassili’

Disebut juga cemmé tula’ bala yaitu permohonan kepada Allah SWT agar kiranya dijauhkan dari
segala macam bahaya atau bala, yang dapat menimpa khususnya bagi calon mempelai. Prosesi ini
dilaksanakan di depan pintu rumah dengan maksud agar kiranya bala atau bencana dari luar tidak
masuk ke dalam rumah dan bala yang berasal dari dalam rumah bisa keluar.
Tata caranya:
Upacara ini biasanya dilaksanakan pasa jam 10.00 (sedang naiknya matahri) dan dilakukan di
depan pintu rumah. Calom mempelai perempuan atau laki-laki memakai baju biasa dan sarung
yang tidak terlalu lusuh (tua), karena baju ini nantinya akan diserahkan kepada indo’ botting yang
melaksanakan cemmé passili’ ini.
Calon mempelai duduk di atas kelapa yang masih utuh yang diletakkan di atas sebuah loyang
besar, disamping itu diletakkan sebuah ja’jakang yaitu sebuah bakul yang berisi:
• Satu gantang beras
• Pesse pelleng (lilin) 2 buah
• Kelapa yang masih utuh
• Gula merah
• Pala (sepasang)
• Kayu manis
• Sirih segar
• Pinang beberapa buah
Dalam upacara mappassili’ dilakukan kedua lilin atau pesse pelleng harus dinyalakan. Kemudian
disiapkan berbagai macam bahan yang akan digunakan sebagai ramuan dan dicampurkan ke
dalam air dalam gentong yang terbuat dari tanah liat. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa
sumber air yang akan digunakan biasanya berasal dari beberapa sumur bersejarah dan masih
dianggap punya kelebihan (keramat) dibanding sumber air biasa. Sumur yang dianggap suci di
masyarakat Bone ini ada beberapa diantaranya yaitu:
* Bubung Manurungé disebut juga bubung Cemma yang terletak di jalan Manurungé (tidak ada
lagi)
* Bubung Lassonrongdisebut juga bubung suwabeng terletak di sekitar jalan Lassonrong
sekarang jalan Irian. (tidak ada lagi)
* Bubung Laccokkong yang treletak di sekitar jalan Serigala di lingkungan Laccokkong Kel.
Watampone.
* Bubung Lagaroang yang terletak di Kelurahan Bukaka.

Adapun bahan-bahan yang akan digunakan adalah:


• Daun sirih simbol harga diri
• Daun serikaja simbol kekayaan
• Daun waru simbol kesuburan
• Daun tebu simbol kenikmatan
• Daun ta’baliang simbol penangkis bala
• Bunga cabbéru simbol keceriaan
• Daun cangadori simbol penonjolan
• Maja alosi atau mayang pinang

Kedelapan bahan tersebut dimasukkan ke dalam gentong atau loyang terbuat dari tanah liat
sebagai simbol lekat atau saling melengket yang telah dialasi dengan semacam tikar yang disebut
okkong/appereng sebagai simbol jalinan kebersamaan. Setelah semuanya siap maka dilakukanlah
penyiraman pertama yang dilakukan oleh indo’ botting dengan membaca Basmalah kemudian
dilanjutkan dengan membaca beberapa doa kiranya Allah SWT senantiasa memberikan berkah –
Nya kepada calon mempelai.

Penyiraman dimulai dengan:


Kepala 3x kemudian selangkah/bahu kanan 3x.
Bahu kiri 3x, punggung dan seluruh badan sebanyak 3x.
Sesudah Indo’ botting mempersilahkan kepada pinisepuh/ kleuarga lainnya untuk melakukan hal
yang sama.
Setelah selesai maka air itu pun dipercikkan ke arah luar pintu rumah dengan maksud agar semua
yang tidak baik keluar pula melalui pintu.
Sesudah cemme passili’ atau mappassili’ selesai maka calon mempelai baik itu laki-laki maupun
perempuan disilakan mandi seperti biasa.
Calon mempelai perempuan kemudian memakai:
• Waju tokko warna merah jambu
• Lipa’ sabbé warna hijau dan perhiasan sekedarnya.
Calon mempelai pria bisa memakai:
• Waju belladada (warna tidak ditentukan)
• Lipa’ sabbé yang serasi
• Songko’ pamiring

Sesudah acara mappassili’ atau cemme passili’ selesai maka calon mempelai perempuan maupun
calon mempelai laki-laki didudukkan di lamming untuk mengikuti upacara lainnya.
Macceko
Macceko berarti mencukur rambur-rambut halus yang ada pada dahi dan di belakang telinga, agar
supaya “dadasa” yaitu riasan hitam pada dahi yang akan dipakai pada calon mempelai perempuan
pada waktu dirias dapat melekat dengan baik.
Bagi puteri bangsawan acara macceko ini merupakan acara tersendiri, mereka menggunakan
kostum yang sederhana yang terdiri dari :
Waju tokko ukuran panjang dengan warna bakko (merah jambu)
Lipa’ sabbé warna hijau
Perhiasan sederhana seperti simatayya, bangkara, gelang lola, kalung kote, bunga simboléng, dan
pinang goyang.
Calon mempelai didudukkan di atas tikar pandan yang bulat dilengkapi dengan alat kebesaran
keluarganya yang biasanya terdiri dari:
Lellu’ yang dipegang oleh 4, 6, 8 orang tergantung dari stratifikasi sosial mempelai itu sendiri.
Disamping itu pula duduk indo’ pasusu sekuarang-kurangnya 2 orang
Acara ini dimeriahkan pula dengan iringan gendrang bali sumange.
Acara macceko ini hanya diperuntukkan bagi calon mempelai perempuan. Dahulu kala model
dadasa ini berbeda antara perempuan yang bangsawan dan perempuan dari kalangan biasa.

6. Akad Nikah/ akkalabinengeng

Upacara akad nikah juga memiliki beberapa rangkaian acara yang secara beruntun. Kegiatan yang
dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Mappénré Botting

Merupakan kegiatan mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk


melaksanakan akad nikah. Di depan pengantin laki-laki ada beberapa laki-laki tua berpakaian
adat dan membawa keris. Kemudian diikuti oleh sepasang remaja yang masing-masing
berpakaian pengantin. Lalu diikuti sekelompok bissu yang berpakaian adat pula berjalan sambil
menari mengikuti irama gendang. Lalu di belakangnya terdiri dari dua orang laki-laki berpakaian
tapong yang membawa gendang dan gong. Kemudian pengantin laki-laki pada barisan beikutnya
dengan diapit oleh dua orang passeppi dan satu bali botting. Pakaian passeppi tidak sama
warnanya dengan pakaian pengantin. Untuk lebih jelasnya urutan rombongan dapat diurut sebagai
berikut:
1. Pembawa mas kawin atau sompa
2. Pembawa cerek dan alat kebesaran keluarga
3. Paddénréng botting
4. Mempelai laki-laki
5. Balibotting laki-laki
6. Passeppi laki-laki dua orang
7. Pattiwi lellu’
8. Pattiwi teddung
9. Indo’ pasusu
10. Saksi-saksi

Adapun pakaian yang dikenakan oleh rombongan pengiring mempelai laki-laki yaitu:

Untuk kelompok pembawa sompa


* Jas biasa
* Lipa’ sabbe
* Songkok hitam
* Peralatan: kompu-kompu yang terbuat dari tembaga tau perak yang diisi dengan beras 4 liter
(1 gantang), pala, kayu manis kemiri, gula merah, dan mas kawin yang telah disepakati dan
dibingkus dengan kain putih kemudian diletakkan dalam sarung yang disebut tope warna putih
atau kuning untuk golongan bangsawan. Tope ini digantungkan pada leher pembawa sompa.

Untuk kelompok pembawa cerek

* Dahulu biasanya tanpa baju, tetapi sekarang dapat diganti dengan baju kaos berlengan
* Tapong
* Songkok putih
* Alat: cere’ amiccung (wadah meludah dari perak), ataotang (tempat sirih)

Untuk kelompok paddénréng botting

* Jas tutup warna hitam


* Lipa’ sabbé
* Songko’ pamiring

Untuk mempelai laki-laki


Ada 5 macam tergantung pada stratifikasi sosial mempelai laki-laki dengan tidak mengabaikan
stratifikasi sosial mempelai perempuan. Kostum biasa yaitu:
• Mallipa’ sabbé
Jas biasa
• Lipa’ sabbé
Songko’ pamiring
Keris dengan passapu
• Mattapong
Waju belladada
Tapong pakai rantai lipoa
Songko’ ni ure’
Keris dengan passapu pakai meili
Dapat memakai salempang
• Passigara
Waju belladada dari bahan broket
Lipa’ antalassa pakai rantai lipa’
• Passio
Salempang
Sigara lengkap dengan bunga sarampa, pinang goyang, bunga sibali
Keris dengan passapu
Gelang naga

Balibotting
Karena merupakan pasangan dari mempelai laki-laki maka seluruh pakaiannya bersama
perhiasannya harus sama dengan pakaian yang dikenakan oleh mempelai laki-laki, terutama jika
pengantin laki-laki memakai sigara. Biasanya yang menjadi balibotting haruslah saudara sendiri
atau keluarga yang mempunyai stratifikasi sosial yang sama.

Passeppi
Kostum passeppi tidak jauh beda dengan kostum pengantin, hanya nilainya tidak sama. Misalnya,
apabila perhiasan pengantin laki-laki terbuat dari emas, maka passeppi terbuat dari perak, dst.

Pattiwi lellu’

Jumlahnya 4 orang, 6 orang, 8 orang tergantung pada tingkatan sosial pengantin.


Ana’ mattola memakai 8 orang. Sedangkan bagi orang biasa atau terendah sama sekali tidak
memakai lellu’.
Kostum mereka terdiri dari:
- Untuk laki-laki:
Kemeja putih
Tapong tanpa rantai
Songkok putih
Passapu merah atau keris
- Untuk perempuan:
Waju tokko tanpa rantai waju
Lipa’ sabbé
Hiasan sederhana terdiri dari gelang kecil, bangkara, geno
Sibatu dan ikat pingggang.

Pattiwi teddung (pembawa payung)


Sama dengan pembawa tombak, kecuali passapu diganti dengan songko’ Bone, biasa tanpa
pinggiran emas.

Indo’ pasusu

Pada saat ini lazim terdiri dari 2 orang saja. Kostum mereka terdiri dari waju tokko warna putih
memakai sarung Mandar dan hanya memakai giwang dan bros saja.

Saksi-saksi

Terdiri dari keluarga dekat pengantin laki-laki atau mereka yang dituakan oleh masyarakat.
Kostumnya hanya jas biasa, lipa’ sabbé, dan songko’.

2. Madduppa botting

Diartikan menjemput kedatangan pengantin laki-laki. Sebelum penganting laki-laki berangkat ke


rumah perempuan, terlebih dahulu rombongan tersebut menunggu penjemput dari pihak
perempuan (biasanya dibicarakan lebih dahulu sebagai suatu perjanjian). Bila tempat mempelai
perempuan jauh dari lokasi rumah laki-laki maka yang disepakati adalah jam tiba di rumah
perempuan. Rombongan penjemput tersebut menyampaikan kepada pihak laki-laki bahwa pihak
perempuan telah siap menerima kedatangan pihak laki-laki.
Untuk menyambut kedatangan rombongan mempelai laki-laki maka di depan rumah mempelai
perempuan telah menunggu beberapa penjemput yaitu:
2 orang padduppa: 1 orang puteri dan 1 orang remaja dengan pakaian lengkap
2 orang pakkusu-usui: perempuan yang sudah menikah
2 orang pallipa’ sabbé: sepasang orang tua setengah baya sebagai wakil orang tua
1 orang prempuan pangampo wenno
1 atau 2 orang padduppa botting yang biasanya dilakukan oleh saudara dari orang tua mempelai
perempuan, mereka ditugaskan menjemput dan menuntun pengantin turun dari kendaraan menuju
ke dalam rumah untuk melaksanakan akad nikah.

3. Akad Nikah

Orang bersiap melakukan akad nikah adalah bapak atau wali calon mempelai perempuan atau
imam kampung atau salah seorang yang ditunjuk oleh Departemen Agama. Dua orang saksi dari
kedua belah pihak.
Pengantin laki-laki duduk bersila siap melaksanakan akad nikah. Acara akad nikah dimulai
dengan pembacaan ayat suci Al-Quran yang dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan,
penandatanganan berkas dan juga sompa. Pihak yang bertandatangan adalah pengantin laki-laki,
pengantin perempuan, wali dan 2 orang saksi. Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan
perwalian dari orang tua atau wali pengantin perempuan kepada imam kampung/penghulu yang
akan menikahkan. Orang tua atau wali perempuan mengucapkan, “dengan mengucapkan
Bismillahi Rahmani Rahim saya orang tua/wali pengantin perempuan menyerahkan perwalian
kepada imam kampung/penghulu untukmenikahkan anak saya dengan lak-laki (disebutkan nama
pengantin laki-laki).
Ijab kabul dilakukan dengan didahului oleh khutbah nikah oleh imam kampung atau orang yang
ditunjuk oleh undang-undang. Ijab kabul dilakukan dengan pengantin laki-laki berhadapan
dengan imam lalu saling berpegangan ibu jari kanan sebelumnya. Pengantin laki-laki dibimbing
oleh imam untuk menjawab pertanyaan imam, setelah merasa lancar maka ijab kabulpun
dilaksanakan. Beberapa bacaan yang diucapkan oleh imam harus diikuti oleh pengantin laki-laki
seperti:istigfar, syahadatain, shalawat, lalu ijab kabul. Ucapan ijab kabul diucapkan oleh imam
dengan mengatakan “saudara A bin B saya menikahkan engkau atas perwalian orang tua/wali
kepada saya dengan..............dengan mahar 88 real karena Allah” dan dijawab oleh pengantin
laki-laki “saya terima nikahnya.....................dengan mahar 88 real karena Allah”
Proses ijab kabul ini biasanya diulang 2-3 kali untuk memperjelas ketepatan jawaban laki-laki.
Setelah itu pengantin laki-laki membaca sighat taklik talak.
Selama proses ini mempelai perempuan tetap berada di dalam kamar pengantin yang telah dihiasi
lamming dan didampingi oleh:
2 orang passeppi
1 orang balibotting
3 orang pattiwi cere’
2 orang indo’ pasusu
Mereka ini merupakan pendamping yang dahulu kala harus disesuaikan dengan tingkat derajat
pengantin, dan disesuaikan dengan jumlah dari pendamping pengantin laki-laki yang dibawa.
Apabila pengantin perempuan merupakan puteri bangsawan, maka selain ia dinaungi lellu’ ia
juga dipangku oleh seorang perempuan atau indo’ pasusu sendiri selama akad nikah dilakukan.

4. Mappasiluka

Setelah akad nikah selesai maka dilanjutkan dengan acara mappasiluka atau mappasikarawa.
Acara ini merupakan kegiatan mempertemukan mempelai laki-laki dengan pasangannya.
Pengantin laki-laki diantar oleh seseorang yang dituakan oleh keluarganya menuju kamar
pengantin. Kegiatan ini biasa disebut juga dengan mappalettu nikka.
Sering terjadi pintu kamar pemgantin perempuan, sehingga untuk masuk dilakukan dulu dialog
yang disertai dengan pemberian kenang-kenangan berupa uang dari oarng yang mengantar
pengantin laki-laki sebagai pembuka pintu. Setiba di kamar, oleh orang yang mengantar
menuntun pengantin laki-laki untuk menyentuh bagian tertentu tubuh pengantin perempuan.

Ada beberapa variasi bagian tubuh yang disentuh, antara lain:


• Ubun-ubun, bahkan menciumnya agar laki-laki tidak diperintah oleh istrinya.
• Bagian atas dada, agar kehidupan keluarga dapat mendatangkan rezeki yang banyak seperti
gunung.
• Jabat tangan atau ibu jari, diharapkan nantinya kedua pasangan ini saling mengerti dan saling
memaafkan.
• Ada yang memegang telinganya dengan maksud agar istrinya dapat senantiasa mendengar ajakan
suaminya.
• Adapula yang langsung mencium aroma harum istrinya seperti tradisi yang dilakukan di Arab
Saudi.

Setelah uapacara ini pengantin laki-laki duduk di sisi istrinya untuk mengikuti kegiatan
malloangeng. Orang tua atau orang yang telah ahli dalam hal ini ditunjuk melilitkan kain/sarung
sehingga kedua pengantin berada dalam satu sarung, kemudian kedua pinggirnya dikaitkan dan
dijahit tiga kali dengan benang emas atau benang biasa yang tidak ada pinggirnya. Kegiatan ini
memiliki makna agar nantinya pasangan ini senantiasa bersatu padu dalam menempuh kehidupan
rumah tangganya di kemudian hari.

5. Maréllau Dampeng

Setelah prosesi mappasiluka maka dilanjutkan dengan acara memohon maaf kepada kedua orang
tua pengantin perempuan dan seluruh keluarga dekat yang sempat hadir pada akad nikah tersebut.
Selesai memohon maaf lalu kedua pengantin diantar menuju pelaiminan untuk bersanding guna
menerima ucapan selamat dan doa restu dari segenap tamu dan keluarga yang hadir, biasanya
acara ini dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.

7. Upacara Sesudah Akad Nikah

1. Mapparola

merupakan sebuah kekurangan, apabila seorang mempelai perempuan tidak diantar ke rumah
orang tua mempelai laki-laki. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan sehari atau beberapa hari
setelah upacara akad nikah dilaksanakan. Kegiatan biasanya tidak dilakukan jika pernikahan tidak
mendapat restu dari orang tua pihak laki-laki.
Pada hari yang disepakati untuk proses mapparola/marola (mammatoa) kedua belah pihak
kemudian mengundang kembali keluarga dan kaum kerabat untuk hadir dan meramaikan upacara
mapparola.
Keluarga pihak perempuan mengundang beberapa keluarga untuk turut mengantar kedua
mempelai ke rumah orang tua pihak laki-laki. Sedangkan pihak laki-laki mengundang beberapa
keluarga dan kerabat untuk menyambut kedatangan pihak perempuan. Kedua mempelai kembali
dirias seperti pada waktu akad nikah, lengkap pula dengan semua pengringnya, seperti
balibotting, passeppi, pembawa cerek, pembawa tombak, pembawa payung, pembawalellu’, indo’
pasusu.
Apabila kedua mempelai beserta rombongan tiba di hadapan rumah orang tua laki-laki maka
disambut dengan wanita berpakaian waju tokko hitam dengan menghamburkan wenno, sebagai
pakkuru sumange’ (ucapan selamat datang).
Dalam acara mapparola ini biasanya dilakukan juga makkasiwiang yaitu mempelai perempuan
membawakan sarung untuk mertua/orang tua laki-laki beserta saudar-saudaranya. Hal ini
dilakukan di kamar pengantin laki-laki. Pengantin perempuan diantar oleh indo’ botting untuk
memberikan sarung sutera kepada orang tua dan saudara pengantin laki-laki. Di daerah Bugis
biasanya pemberian ini akan dikembalikan lagi dengan ditambahkan pemberian dari mempelai
laki-laki sesuai dengan kemampuan.

2. Marola wekka dua

Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya bermalam satu malam saja dan
sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan.

3. Ziarah kubur

Meskipun banyak pihak mengatakan bahwa ziarah kubur bukanlah merupakan rangaian dalam
upacara perkawinan adat ini namun sampai saat ini kegiatan tersebut masih sangat sering
dilakukan karena merupakan tradisi atau adat kebiasaan bagi masyarakat , yaitu lima hari atau
seminggu setelah kedua belah pihak melaksanakan upacara perkawinan.

4. Cemmé-cemmé atau mandi-mandi

setelah upacara perkawinan yang banyak menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari
kedua belah pihak pergi mandi-mandi di suatu tempat.

Sedangakan untuk adat perkawinan secara bugis-makassar, adalah sebagai berikut

PROSESI PERNIKAHAN ADAT BUGIS MAKASSAR


Prosesinya antara lain Mappacci, Mappettu Ada, Pabbaji, dan sebagainya

Pabbajikang
Ini adalah gambar dimana mempelai pria dan wanita disatukan dalam satu sarung. prosesi ini diberi nama
pabbajikang. Yaitu prosesi yang mempertemukan kedua mempelai untuk pertama kalinya sebelum
bersanding di pelaminan. Pabbajikang melambangkan status antara mempelai wanita dan pria yang sudah
halal untuk satu sama lain. Biasanya salah satu orang yang dituakan membimbing kedua mempelai untuk
menyentuh bagian tertentu seperti ubun-ubun, pipi dan bahu. dalam adat bugis, prosesi ini dinamakan
Mappasikarawa.

Rombongan Erang-erang
Berupa iring-iringan pengantin dalam baju bodo kuning yang bersiap menuju kediaman mempelai wanita.
Masing-masing membawa hadiah yang akan diberikan sebagai persembahan atau erang-erang untuk
pengantin wanita. Biasanya erang-erang tersebut berisi seperangkat alat sholat, sepatu, emas, kosmetik
dan sebagainya. Rombongan gadis pembawa erang-erang umumnya terdiri dari 12 orang gadis remaja
dan dikawal oleh keluarga pengantin pria.

Passompoa
Passompa adalah salah satu bagian penting dalam prosesi perkawinan. Passompa berarti dipanggulnya
salah seorang anggota keluarga mempelai wanita yang termuda.

Paduan Suara Makassar


paduan suara ini membawakan lagu-lagu daerah Sulawesi Selatan dalam pakaian adat Tanah Toraja.

Mappacci
Upacara adat yang harus dilakukan dan merupakan rangkaian perayaan pernikahan Bugis Makassar yaitu
Upacara adat Mappacci,dengan penggunaan simbol-simbol yang sarat makna akan menjaga keutuhan
keluarga dan memelihara kasih sayang dalam rumah tangga. Mappacci berasal dari kata aeoepacciae ン,
yaitu daun yang dihaluskan untuk penghias kuku, mirip bunyinya dengan kata aoepaccingae ン artinya
bersih atau suci.Melambangkan kesucian hati calon pengantin menghadapi hari esok, khususnya
memasuki bahtera rumah tangga meninggalkan masa gadis sekaligus merupakan malam yang berisi doa.

Dalam kesastraan bugis terdapat pantun yang berbunyi ae Duwa Kuala sappo.unganna panasaenabelo
kanukueae ン. Penjelasan pada kalimat ini yakni dalam bahasa bugis, nangka dinamakan âeulempuâe ン
yang berati jujur. Sedangkan penghias kukunya mirip bunyinya âupaccingâe ン yang artinya bersih, suci.
Jadi kesucian dan kejujuran merupakan benteng dalam kehidupan, karena kesucian adalah pancaran kalbu
yang menjelma dalam kejujuran. Adapun peralatan dan perlengkapan âeœmapacciâe ン disini dapat sibagi
atas tiga kelompok, yaitu :

Kelompok I

Benno dan Tai Bani (Patti)

Benno yaitu beras yang digoreng kering hingga mekar melambangkan harapan, kiranya calon pengantin
ini akan mekar berkembang dengan baik, bersih dan jujur. Dalam bahasa bugis disebut âeumpenno
Rialeiâe.
Tai Bani (Patti) merupakan lilin dari lebah, ini melambangkan suluh (penerang) dan kehidupan lebah
artinya tata kehidupan bermasyarakat yang kita lihat dalam kehidupan lebih terlihat rukun, baik, tidak
saling mengganggu satu sama lain. Artinya hendaknya menjadi suri tauladan dalam kehidupan
bermasyarakat.

Kelompok II

Bantal, sarung, daun pisang dan daun nangka.


Bantal (Pallungang) merupakan simbol kemakmuran.Pengertian khususnya sebagai pengalas kepala
yang artinya penghormatan atau martabat, dalam bahasa bugis disebut âeœmappakalebbiâe ン.

Sarung (Lipa) yang disusun 7 lembar,maksudnya ialah debagai penutup tubuh (harga diri) juga karena
sarung dibuat dari benang yang di tenun helai deni helai yang melambangkan ketekunan dam
keterampilan. Menurut cerita dahulu kala jika mencari calon isteri, si pria tidak perlu melihat secara
langsung si gadis tapi cukup dengan melihat hasil tenunannya rapi atau tidak. Bila tenunnannya rapi dan
bagus maka pilihan pria akan jatuh pada gadis tersebut. Tujuh lembar melambangkan hasil pekerjaan
yang baik. Dalam bahasa bugis âeœtujuiâe ン yang mirip dengan kata âeœMattujuiâe ン artinya berguna.

Daun pisang (Lekoâe Unti), dilambangkan sebagai kehidupan yang sambung menyambung. Daun yang
tua belum kering betul, daun muda telah muncul untuk menggantikan dan melanjutkan hidupnya. Dalam
bahasa bugis disebut âkumaccolli maddaungâk.

Daun nangka,(bugis = “Dau’ Panasa”), mirip sengan bunyi “Minasa” yang berarti cita-
cita yang luhur.

Kelompok III

Bekkeng, yaitu tempat daun pacci yang mengandung arti kesatuan jiwa atau kerukunan hidup dalam
suatu keluarga dan daun pacci: itu sendiri yang melambangkan kesucian, diantaranya napacing hati(bersih
hati), Napacing Jiwa(bersih jiwa), Napacing Nawa – nawa(bersih pikiran), Napacing panggaukang
(bersih tingkah laku), Napaccing ateka†(bersih itikat).

Secara sederhana, jalannya upacara Mapacci adalah sebagai berikut:

1. Calon pengantin sudah duduk di lamming,atau bisa pula dalam kamar pengantin
2. Kelompok pembaca barzanji (pabarazanji) sudah siap di tempat yang disediakan.
3. Para tamu telah duduk di ruangan.
4. Setelah protokol membuka acara, pembacaan barzanji sudah dapat dilakukan.
5. Sampai dibacakan “badrun alaina” (makassar : niallemi syaraka) maka sekaligus acara
mapacci dimulai dengan sedikit mengambil daun pacci yang telah dihaluskan dan diletakan
ditelapak tangan calon pengantin,sambil seorang ibu mendampingi calon pengantin, sementara itu
barzanji tetap di bacakan.
6. Setelah semua tamu yang ditetapkan telah melakukan “Mapacci” maka seluruh hadirin
bersama-sama mendoakan semoga calon pengantin direstui oleh Yang Maha Kuasa agar menjadi
suri tauladan karena martabat dan harga dirinya yang tinggi.”Cukkong muwa minasae, nakkelo
puwangnge naiyya ma’dupa”.

Ada juga satu tradisi di luwu, daerah dimana suku bugis itu sendiri tinggal.

Contoh dari tradisi ini saya ambil dari www.liputan6.com .

Ditulis demikian : “Luwu: Sinar Sang Surya sangat terik ketika enam pendeta Bissu berkumpul di suatu
hari di Dusun Cerekang, Luwu, Sulawesi Selatan. Bissu adalah sebutan bagi pendeta tradisional dalam
masyarakat adat di Sulawesi Selatan, terutama Suku Bone dan Bugis. Dalam bahasa Bugis, Bussi berasal
dari kata "Bessi" yang berarti bersih. Mereka adalah para lelaki yang berpenampilan seperti wanita,
namun memiliki kekuatan gaib yang jarang dimiliki sembarang orang. Sikap kewanita-wanitaan yang
mereka perlihatkan adalah suatu kesengajaan dan bagian dari tuntutan adat yang mereka yakini sesuai
Kitab La Galigo.

Aktivitas para Bissu yang dipimpin Puang Toa Saidi di Cerekang itu adalah bagian dari suatu prosesi
besar yang tengah digelar oleh Kedatuan Luwu Raya di Tanah Bugis. Mereka sedang menyambut utusan
Datu Luwu yang berniat mengambil air suci Pisimeuni dari rumah Puak Cerekang. Pada hari itu dan
beberapa hari berikutnya, seluruh warga Kedatuan Luwu memang tengah mempersiapkan sebuah hajatan
besar untuk mendirikan sebuah Baruga atau pendopo agung. Upacara besar ini disebut Mappacokkong Ri
Baruga.

Mappacokkong Ri Baruga adalah sebuah prosesi memasuki Baruga oleh Datu Luwu. Ritual ini diawali
dengan pengambilan air suci Pisimeuni di Sungai Cerekang. Dalam konsep pemikiran tradisional Luwu,
di Sungai Cerekang inilah konon Batara Guru pertama kali menjejakkan kakinya di bumi atau Latoge
Langi`. Maka, air suci Pisimeuni menjadi syarat mutlak yang tak boleh diabaikan dalam setiap prosesi
besar di Kedatuan Luwu. Pengambilan air suci harus melalui ritual yang hanya boleh dilakukan oleh para
pendamping Puak Cerekang. Bahkan, Puak Cerekang yang dianggap sebagai pemimpin spiritual tak
diperkenankan mengambilnya.

Sebelum dibawa ke Malangke atau tempat Baruga berdiri, air suci harus disinggahkan di Wotu. Di sini
Puak Macoa Bawalipu harus menguji keaslian air suci. Legalah hati rombongan utusan Datu Luwu begitu
Puak Macua Bawalipu menyatakan air itu adalah air suci dari Cerekang. Sebelumnya, sejumlah Bissu
menari dengan disertai unjuk kebolehan ilmu kebal yang dimilikinya, yakni menusukkan badik ke bagian
tubuhnya.

Mappacokkong Ri Baruga adalah tradisi lama masyarakat Suku Bugis di wilayah Kedatuan Luwu Raya.
Tradisi ini hanya dilakukan oleh raja-raja Luwu saat mereka akan membangun sebuah Baruga atau
pendopo agung. Kedatuan Luwu Raya adalah sebuah kerajaan kuno orang Bugis yang di masa lampau
mempunyai wilayah hingga daerah Palopo dan Luwu.

Kendati secara admistratif wilayah kedatuan tersebut sudah dihapuskan, keberadaannya sebagai pusat
kultural orang Bugis di Luwu masih sangat kental. Masyarakat setempat masih mengakui keturunan datu
atau raja sebagai pemimpin kultural yang dihormati. Tak mengherankan, ketika Kedatuan Luwu
menggelar Mappacokkong Ri Baruga, masyarakat setempat menyambut dengan antusias.

Sambutan luar biasa itu mengakibatkan pusat-pusat kegiatan Mappacokkong Ri Baruga menjadi ramai.
Beragam atraksi kesenian dari berbagai penjuru Luwu turut menyemarakkan suasana. Namun, bagi si
empunya hajat, Datu Luwu, hari-hari menjelang Mappacokkong Ri Baruga sungguh melelahkan. Soalnya,
berbagai prosesi harus dijalani. Datu Luwu sekarang, yaitu Datu ke-39 adalah seorang wanita bernama
lengkap Andi Luwu Opu Daengna Pattiware. Dia mewarisi jabatannya karena faktor keturunan.
Kesehariannya, ia hanyalah ibu rumah tangga dan istri seorang dokter yang justru tinggal di Kalimantan.

Namun, tuntutan adat membuatnya tak bisa melepaskan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang
datu. Dalam rangka Mappacokkong Ri Baruga itulah, ia harus mengikuti sejumlah aturan adat. Antara
lain mengikuti sekelompok perempuan sepuh yang disebut Maradika untuk berziarah ke makam Datu
Pattimang dan Datu Pattiware, termasuk melakukan sejumlah prosesi lainnya. Datu Pattimang atau Datu
Sulaiman adalah penyebar pertama agama Islam di Sulsel. Sedangkan Datu Pattiware adalah Datu Luwu
ke-15. Pattiware adalah datu pertama di Luwu yang memeluk agama Islam.

Saat berziarah, para Maradika tampak kesurupan. Sebuah pesan gaib datang, seorang Maradika tiba-tiba
berlaku aneh. Di luar alam sadar, ia kesurupan dan menangis pilu. Dari mulutnya keluar cerita kesedihan
tentang seorang keturunannya yang menjelma menjadi seekor buaya telah dibunuh oleh warga di sekitar
Malangke. Padahal, kedatangan buaya itu untuk menyambut Sang Datu.
Percaya atau tidak, pesan ini diyakini telah terjadi. Di sebuah tempat di Malangke, seekor buaya telah
ditangkap dan dibunuh untuk diambil kulitnya. Kini, tinggal bangkai buaya yang tersisa dan rasa
penyesalan. Untungnya, kematian sang buaya tak berdampak kepada penyelenggaraan Mappacokkong Ri
Baruga.

Setelah melalui serangkaian prosesi pembuka, puncak Mappacokkong Ri Baruga tiba. Sang Datu
membuka jalannya prosesi dengan melakukan Ri Pattudu. Prosesi ini adalah berkeliling sebanyak tiga
kali dan menginjak sebuah periuk tanah sebagai simbol keteguhan hatinya dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Kewibawaannya jelas terlihat dari begitu banyak penghormatan
yang diberikan. Sumpah setia dari pemimpin adat, Poang Toa, Amatoa, dan tokoh-tokoh lainnya menjadi
bukti pengaruh tradisionalnya sebagai raja.

Apalagi, Baruga adalah pusat kegiatan yang sangat penting dalam tradisi Luwu. Baruga adalah tempat
segala macam kegiatan. Di tempat ini, raja membahas berbagai keputusan penting bagi rakyatnya. Namun
lebih dari itu, Baruga adalah simbol kebersamaan antara raja dan rakyat biasa. Baruga juga
melambangkan penyatuan antara dua alam, alam atas dan bawah. Alam kehidupan manusia dan alam
gaib. Karena itu, Baruga menjadi begitu sakral dan penting.

Ketika air suci dipercikkan ke tubuh Datu Luwu, sempurnalah Mappacokkong Ri Baruga. Secara adat,
Baruga atau pendopo agung sudah boleh digunakan untuk berbagai kegiatan. Dan, untuk melengkapi
prosesi ini, Sang Datu menggelar Manre Saperra atau makan bersama. Di atas kain putih yang
dibentangkan sepanjang satu kilometer, seluruh warga menikmati berbagai makanan yang disediakan
Sang Datu. Beberapa warga ikut berpartisipasi dengan membawa makanan untuk saling ditukarkan.

Manre Saperra sekaligus dimaksudkan sebagai pembayar nazar yang diucapkan Datu Luwu, puluhan
tahun silam. Saat itu, Datu Luwu berjanji memberi makan kepada rakyatnya. Ini bila wilayahnya sudah
merdeka dari tangan penjajah. Kini, setelah puluhan tahun merdeka dan datu sudah silih-berganti, nazar
itu baru bisa diwujudkan.(ANS/Roy Chudin Muchlis dan Bambang Triono) ”

budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan
(makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai), laki-laki yang
berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu. Jenis yang terakhir ini lebih
banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya
dalam budaya Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu
ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas
Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.

Kehadiran dan Peranannya


Gambaran pergeseran struktur nilai dalam kebudayaan Bugis selayaknya bisa kita sematkan pada salah
satu realitas budaya bugis yang mulai terpinggirkan; Bissu. Peran Bissu di awal pembentukan masyarakat
Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan
kelahiran suku Bugis itu sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La
Galigo, turun ke bumi dari dunia atas (botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo
yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama
bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut. Batara Guru yang ditugasi
oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan mengatur semua dengan baik, karenanya
diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini
turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka,
menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan
di bumi.

Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang
bersemayam di langit.

Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender
manusia, lelaki dan perempuan (hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga
mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang
bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh
laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang
biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan
mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan
pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik
misalnya. Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka
disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa
kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha. Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu
tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator
komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa
dewa/langit (basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra
Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat
penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah
tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-
dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua
pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan (indo’ botting),
kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.
Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa
justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang.
Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu
sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi
Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan
Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat
kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh
karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa.

sDalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu pameran
kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh
leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila
sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat
kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang
merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi.

Menjadi Bissu
Menjadi Bissu dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Tidak semua orang, bahkan jenis calabai, bisa
menjadi bissu atas kehendak sendiri. Walaupun sebahagian besar Bissu pada mulanya memiliki
kecenderungan sebagai calabai. Metamorfosis menjadi seorang Bissu biasanya dimulai sejak kanak-
kanak, ketika seorang anak mengidap ambiguitas orientasi seksual dan di saat yang sama menampakkan
‘keterkaitan’ dengan dunia gaib. Anak-anak dengan keunikan ganda ini kemudian akan dipersiapkan
menjadi bissu. Untuk menjadi bissu diperlukan banyak persyaratan untuk membuktikan bahwa dia
menerima ‘berkat ‘itu diantaranya berbaring dalam sebuah rakit bambu di tengah danau selama tiga hari
tiga malam tanpa makan, minum dan bergerak. Jika berhasil, maka dia kemudian akan ditahbiskan
menjadi Bissu sejati.

Pada umumnya bissu asli di Sulawesi Selatan yang jumlahnya saat ini diduga tinggal empat puluh-an itu
secara statistik kependudukan menganut agama Islam.

Kepercayaan 3 Kehidupan masyarakat Bugis

yaitu :

Kerajaan langit (Botting Langi), Kerajaan bumi dan Kerajaan bawah air (Buri Liu). Dalam
kepercayaan masyarakat bugis klasik kehidupan ini terbagi dalam 3 bagian. Yakni kehidupan di Dunia
langit (botting langi), Kehidupan di Dunia manusia atau bumi dan Kehidupan di Dunia bawah air (buri
liu). Kehidupan didunia langit dan dunia bawah air adalah kehidupan dewa sedangkan kehidupan di bumi
adalah kehidupan manusia.

Seperti halnya Bataraguru yang berasal dari kerajaan langit dan permaisurinya yang berasal dari kerajaan
bawah air yang dimana di berikan kekuasaan di bumi untuk menciptakan kedamaian di bumi.

Upacara daur hidup kelompok suku bugis

1. Upacara Masa Kehamilan

• Makkatenni sanro (menghubungi dukun) :


Upacara penyampaian kepada dukun yang telah dipilih berdasarkan musyarawah kedua keluarga,
atau nasehat dari masyarakat dan orang tua. Jika pemilihan dukun disetujui maka dukun tersebut
akan diberikan kepercayaan untuk merawat ibu dan bayinya nanti.

• Mappanre to-mangideng (menyuapi ibu hamil) :


Adalah upacara yang dilakukan pada bulan pertama masa kehamilan, atau dalam suku bugis
disebut mangngideng ata ngidam. Biasanya dilalui dengan bermacam acara. Selain itu diberikan
pantangan untuk makan makanan tertentu dan melakukan perbuatan tertentu, baik untuk calon ibu
maupun calon ayah.

• Maccera Wettang (mengurut perut) :


Yaitu upacara yang dilakukan pada waktu usia kandungan memasuki bulan ketujuh, biasa juga
dilakukan saat usia kandungan memasuli bulan-bulan terakhir. Upacara ini dilakukan dirumah
calong ibu yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat yang dipimpin oleh dukun beranak dan
imam/guru.

2. Upacara Masa Kelahiran Bayi


Setelah masa kehamilan mencapai 9 bulan dan menanti masa-masa melahirkan (Mattajeng Esso :
menuggu hari kelahiran). Pada saat kelahiran biasanya biasanya dihadiri keluarga untuk menunggu proses
kelahiran. Proses persalinan dibantu oleh dukun yang telah dipilh.
3. Upacara Masa Kanak-Kanak
Pada saat anak sudah dapat duduk antara 10-11 bulan disaat itu dipakaikan gelang dan jempang bagi anak
wanita. Jempang adalah semacam penutup kelamin bagi anak perempuan yang berbentuk segitiga
demikian juga karawi yang merupaka perisai berbentuk bundar yang dikenakan pada dada yang
mengenakan semacam tali. Pemakaian jempang biasanya disesuaikan dengan stratifikasi sosial orang
tuanya.

Adapun upacara-upacara yang dilaksanakan setelah itu adalah :


1. Upacara rippakalleja ri tana atau upacara turun tanah untuk pertama kalinya yang dilakukan oleh sanro
(dukun).
2. Upacara mappattengeng atau upavara mengajar anak berjalan dengan menggunakan tongkat bambu
yang diisi beras ketan yang dibakar (pewong)
3. Upacara malleja ri tana dilakukan jika anak mulai berjalan
4. Upacara Saat Anaknya Memasuki Usia Dewasa Pada Masyaraka Bugis :

a. Acara Mappanre Temme :


Ketika anak berusia 8-11 tahun anak-anak diantar ke guru pengajian untuk belajar berbagai pengetahuan
dasar tentang agama

b. Acara khitanan :
Pada saat anak berusi 13 tahun untuk laki-laki dan 5-7 tahun bagi perempuan maka diadakan upacara
peralihan yang disebut dengan upacara sunnata atau khitanan. Bagi laki-laki disebut massuna, sedang bagi
perempuan disebut makkatte’ . acara ini juga disebut acara mappaseleng (pengislaman). Pada anak
perempuan biasanya di sertai dengan upacara rippabbajui / mappasang baju bodo, ini adalah upacara
pertama kalinya seorang anak perempuan mengenakan baju bodo.

2.2.3 KESENIAN

Kecapi

Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan
Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga
bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar
perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan
pada hari ulang tahun.

Seni Tari

Tari Paduppa Bosara


Tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara,
sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan.

Tari Pattennung

Tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain.
Melambangkan kesabaran dan ketekunan perempuan-perempuan Bugis.

Tarian Angin Mamiri

Merupakan tarian asli yang berasal dari suku Bugis.

Pakaian

Baju bodo adalah baju adat Bugis-Makassar yang dikenakan oleh perempuan. Sedangkan Lipa' sabbe
adalah sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo.

Konon dahulu kala, ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo. Masing-masing warna manunjukkan
tingkat usia perempuan yang mengenakannya.
1. Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.
2. Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun.
3. Warna merah darah untuk 17-25 tahun.
4. Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.
5. Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan
6. Warna ungu dipakai oleh para janda.

Selain peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis-Makassar
yang mengenakan Baju Bodo sebagai pakaian pesta, misalnya pada pesta pernikahan. Akan tetapi saat ini,
baju adat ini sudah semakin terkikis oleh perubahan zaman. Baju bodo kini terpinggirkan, digantikan oleh
kebaya modern, gaun malam yang katanya modis, atau busana-busana yang lebih simpel dan mengikuti
trend.

Walau dengan keterpinggirannya, Baju bodo kini tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam
resepsi pernikahan ataupun akad nikah. Begitu pula untuk passappi'-nya (Pendamping mempelai,
biasanya anak-anak). Juga digunakan oleh pagar ayu.
Rumah Adat

Baik para bangsawan dan rakyat biasa tinggal dirumah panggung, namun istana (langkana atau sao kuta
bagi dewa-dewa) sama dengan rumah biasa, namun ukuranya lebih besar dengan panjang sekurang-
kurang nya 12 Tiang dan lebar 9 Tiang. Rumah tersebut memiliki tanda khusus untuk menunjukkan
derajat penghuninya.

Hiburan utama

• sabung ayam atau adu perkelahian ayam (ma’saung) hamper disetiap istana dibawah pohon
cempa (ri awa cempa) berdiri gelanggang atau arena sabung ayam ber atap tapi tidak berdinding.

• “raga” sebuah permainan kaum pria dalam suatu lingkaran yang memainkan bola rotan anyaman
yang menyerupai bola takraw. Bola tersebut tidak dibolehkan menyentuh tanah atau tersentuh
tangan. Pemenangnya adalah pemain yang paling lama memainkan bola dengan kaki atau
badannya (selain tangan) dan dapat menendang bolanya paling tinggi ke udarah.

PERANG
Boleh dikatankan perang dalam taraf tertentu merupakan hiburan bagi kaum lelaki. Juga merupakan
medan untuk menguji kejantanan para pemberani (to warani). Alat yang digunakan dalam peperangan
adalah Sumpit (seppu’) dengan anak panah beracun, Tombak (bessi), pedang pendek (alameng), senjata
penikam atau badik (gajang)

Perlengkapan Perang Orang Bugis

2.2.4 MATA PENCAHARIAN

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir,dan terkenal dengan
masyarakat nelayan maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan
(pelaut). Mereka mempertahankan hidup dari laut, jadi sebagian besar masyarakat mereka adalah
pelaut. Masyarakat Bugis menyebut diri mereka “pelaut ulung” Mata pencaharian lain yang
diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi
pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

2.2.5 ORGANISASI SOSIAL

Bugis menganut system patron klien – system kelompok kesetiakawanan antara pemimpin dan
pengikutnya – yang bersifat menyeluruh. Salah satu system hierarki yang sangat kaku dan rumit.
Namun, mereka mempunyai mobilitas yang sangat tinggi, buktinya dimana kita berada tak sulit
berjumpa dengan manusia Bugis. Mereka terkenal berkarakter keras dan sangat menjunjung
tinggi kehormatan, pekerja keras demi kehormatan nama keluarga.

Pada umunya orang Bugis mempunyai sitem kekerabatan yang disebut dengan assiajingeng yang
mengikuti sistem builateral. Yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah
maupun dari pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua. Hubungan kekerabatan ini
menjadi sangat luas disebabkan karena, selain ia menjadi anggota keluarga ibu, ia juga menjadi
anggota keluarga dari pihak ayah.
Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi atas siajing maréppé (kerabat dekat) dan
siajing mabéla (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing maréppé merupakan kelompok penentu
dan penmgendali martabat keluarga. Anggota keluarga dekat inilah yang menjadi to masiri’
(orang yang malu) bila anggota keluarga perempuan ri lariang (dibawa lari oleh orang lain), dan
mereka itulah yang berkewajiban menghapus siri’ tersebut.
Anggota siajing maréppé didasarkan atas dua jalur, yaitu réppé maréppé yaitu keanggotaan yang
didasarkan atas hubungan darah, dan siteppang maréppé (sompung lolo) yaitu keanggotaan
didasarkan tas hubungan perkawinan.
Adapun anggota keluarga yang tergolong réppé maréppé yaitu:
1. Iyya, Saya (yang bersangkutan)
2. Indo’ (ibu kandung iyya)
3. Ambo’ (ayah kandung iyya)
4. Nene’ (nenek kandung Iyya baik dari pihak ibu maupun dari ayah
5. Lato’ (kakek kandung Iyya baik dari ibu maupun dari ayah)
6. Silisureng makkunrai (saudara kandung perempuan Iyya )
7. Silisureng woroané (saudara laki-laki iyya)
8. Ana’ (anak kandung iyya)
9. Anauré (keponakan kandung iyya)
10. Amauré (paman kandung iyya)
11. Eppo (cucu kandung iyya)
12. Inauré / amauré makkunrai (bibi kandung iyya)
Sedangkan anggota keluarga yang termasuk siteppang maréppé yaitu :
1. Baine atau indo’ ‘ana’na (istri iyya)
2. Matua (ibu ayah/ kandung istri)
3. Ipa woroané (saudara laki-laki istri iyya)
4. Ipa makkunrai (saudara kandung perempuan istri iyya)
5. Manéttu (menantu, istri atau suami dari anak kandung iyya)

Lapisan Stratifikasi Sosial

Lapisan sosial tradisional membedakan status menurut kadar ke arung annya (keturunan). Ukuran
yang digunakan adalah soal asal keturunan sebagai unsur primer. Oleh karena itu perlu dibedakan
dahulu jenis-jenis keturunan yang ada secara umum dibagi atas beberapa golongan, yaitu:
1. Ana’ mattola: yang berhak mewarisi tahta dan dipersiapkan untuk menjadi raja arung
(raja/ratu). Tingkatan ini terbagi atas dua sub golongan yakni: ana’ sengngeng dan ana’rajéng.
2. Ana’ céra’ siseng/I: anak yang beradarah campuran atas kedua sub di atas yang kawin dengan
perempuan biasa.
3. Ana’ céra’ dua/II: anak hasil perkawinan céra’ siseng dengan perempuan biasa.
4. Ana’ céra’ tellu/III: anak hasil perkawinan céra’ dua dengan perempuan biasa. Ketiga lapisan
cerak ini menduduki golongan bangsawan menengah. Kemudian céra’ tellu ini dengan
perempuan biasa akan menghasilkan bangsawan terendah. Ampo cinaga, anakkarung maddara-
dara, dan anang.
5. Tau sama (orang biasa)/tau maradéka (orang bebas): di kalangan ini masih dibedakan atas
keturunan leluhirnya yang masih terhitung bangsawan, betapapun rendahnya lapisan dan berapa
jauhpun pertautannya (tau tongeng karaja) dan yang benar-benar keturunan orang biasa (tau sama
mattanété lampé).
6. Ata (hamba sahaya): golongan yang hilang kemerdekaannya karena sesuatu ikatan langsung.
Meskipun penggolongan keturunan tersebut hanya bertahan sampai pada masa kemerdekaan,
namun penggolongan keturunan tersebut sekarang ini tidak lagi dianut secara ketat, namun dalam
berbagai hal, utamanya dalam kehidupan sosial kadangkala masih dipertanyakan, misalnya dalam
hal meminang gadis, maka yang dipertanyakan adalah keturunan.

GENDER

Suku Bugis adalah salah satu suku di Nusantara yang menjunjung tinggi hak-hak Perempuan.
Inilah yang membuat saya sangat tertarik dengan suku ini. Sejak zaman dahulu, perempuan sudah
banyak berkecimpung di bidang politik setempat. Yang membedakan peran mereka hanyalah
kecenderungan social dalam perilaku individu.
Perempuan Bugis telah berani tampil di muka umum, mereka aktif dalam semua bidang
kehidupan, menjadi mitra pria dalam diskusi urusan public, tak jarang pula mereka menduduki
tahta tertinggi di kerajaan. Misalnya Raja Lipukasi pada tahun 1814 dipimpin oleh seorang
perempuan. Sampai perang kemerdekaan pun, perempuan tetap berperan aktif dalam medan laga.

Pepatah Bugis mengatakan,”Wilayah perempuan adalah sekitar rumah sedangkan ruang gerak
laki-laki menjulang hingga ke langit”. Jangan disalah artikan, biasanya mereka menggunakan
pepatah ini hanya untuk analogi dengan kewajiban mencari nafkah keluarga.Artinya, laki-laki lah
yang berkewajiban menafkahi keluarga, sekuat tenaga.

Ada lagi yang unik dalam system gender mereka, karena teryata di suku Bugis ada istilah Gender
Ketiga ( Calaba’i : perempuan palsu, laki-laki menyerupai wanita ) dan Gender Keempat
( Calala’i : pria palsu, wanita menyerupai laki-laki). Biasanya ditandai dalam hal berpakaian,
bukan hanya waktu-waktu tertentu, tapi seumur hidup.

2.2.6 Teknologi dan Pengetahuan

Pengetahuan dan teknologi sengaka saya ganbungkan karena penjelasan mengenai perahu pinisi ini
mengandung 2 unsur yaitu pengetahuan dan teknologi.

CARA HIDUP DAN KEBUDAYAAN AWAL BUGIS

Makam Raja Bugis Kehidupan sehari-hari orang bugis pada hamper seluruh millennium pertama masehi
mungkin tidak terlalu jauh berbeda dengan cara hidup orang toraja pada permulaan abad ke 20. mereka
hidup bertebaran dalam berbagai kelompok di sepanjang tepi sungai, dipinggirin danau, di pinggiran
pantai dan tinggal dalam rumah-rumah panggung. Sebagai pelengkap beras dan tumbuhan lading lain.
Merekapun menangkap ikan dan mengumpulkan kerang. Orang bugis dikenal sebagai pelauk ulung
dengan menggunakan Phinisi mereka mengarungi samudra dengan gagah beraninya disamping itu pula
orang bugis sangat pandai dalam bertani dan berladang. Bertenun kain adalah salah satu keterampilan
nenek moyang orang bugis.

Orang bugis pada masa awal itu kemungkinan besar juga mengayau kepala untuk dipersembahkan acara
ritual pertanian dan kesuburan tanah. Pada umumnya orang bugis mengubur mayat-mayat yang sudah
meninggal, meski ada pula mayat yang di benamkan (danau atau laut) atau disimpan di pepohonan. Situs-
situs megalitikum yang pernah nenek moyang mereka mungkin merupakan saksi kegiatan penguburan
ganda atau penguburan sekunder. Kepercayaan mereka masih berupa penyembahan arwah leluhur.
Terhadap para arwah itu sesajen-sesajen dipersembahkan lewat perantara dukun.
Perahu Pinisi

1. Asal Usul

Bugis adalah salah satu sukubangsa yang ada di daerah Sulawesi Selatan. Sukubangsa ini sejak dahulu
telah memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari Indonesia. Banyak bukti yang menunjukkan
kepiawaian mereka dalam mengarungi lautan. Hal itu disebabkan karena dalam berdagang (memasarkan
hasil buminya), mereka tidak hanya mengarungi daerah-daerah di sekitar mereka, tetapi juga daerah lain
di Indonesia, bahkan mancanegara. Oleh karena itu, mereka tidak hanya mengarungi perairan wilayah
Indonesia, tetapi juga di perairan-perairan negara lain seperti: Malaysia, Philipina, Australia hingga ke
Madagaskar (Afrika Selatan). Alat transpotasi yang digunakan adalah berbagai jenis perahu tradisional
yang ada di kalangan orang Bugis-Makassar, seperti: pinisi, lambo’ (palari), lambo’ calabai, jarangka’,
soppe’, dan pajala. Namun demikan, yang paling populer hingga saat ini adalah pinisi. Kepopuleran
inilah yang kemudian membuahkan sebutan “perahu bugis” karena yang menggunakannya kebanyakan
orang Bugis atau setidaknya bisa berbahasa Bugis.

Ada beberapa versi mengenai asal usul perahu pinisi. Versi yang pertama mengatakan bahwa perahu
pinisi adalah buatan bangsa Prancis dan Jerman. Hal ini diperkuat oleh adanya tulisan dari peneliti asing
mengenai seseorang yang berketurunan Prancis-Jerman yang bernama Martin Perrot yang melarikan diri
ke Kuala Trengganu. Di sana ia menikahi seorang gadis Melayu. Di sana ia bekerja sebagai tukang kayu.
Pada suatu hari, Raja Trengganu, Sultan Baginda Omar, memerintahkan untuk membuat sebuah perahu
yang menyerupai perahu dari negeri Barat. Mendapat perintah itu, ia pun membuat perahu layar yang
bertiang dua. Dan, itu mirip dengan perahu pinisi yang ada sekarang.

Versi lainnya, khususnya dari daerah Sulawesi Selatan, mengatakan bahwa perahu pinisi sudah ada
sekitar abad ke-14 atau 16 Masehi. Orang yang pertama membuatnya adalah putera mahkota kerajaan
Luwu yang bernama Sawerigading. Tokoh ini merupakan tokoh legendaris yang ada dalam Lontarak I
babad La Galigo. Dalam babad tersebut diceritakan bahwa suatu hari, ketika Sawerigading pulang dari
pengembaraannya, ia melihat saudara kembarnya (Watenri Abeng) dan jatuh hati kepadanya. Tentu saja
hal ini membuat marah ayahnya (Raja Luwu). Untuk menghibur hati Sawerigading, Watenri Abeng
menyuruhnya untuk pergi ke negeri Tiongkok, karena di sana konon ada seorang puteri yang wajahnya
mirip dengannya. Puteri Tiongkok tersebut bernama We Cudai. Namun, untuk dapat pergi ke sana
diperlukan perahu yang tangguh dan kuat. Sementara, Sawerigading tidak memilikinya. Padahal, untuk
membuatnya diperlukan kayu yang berasal dari pohon welengreng atau pohon dewata yang adanya di
daerah Mangkutu. Celakanya, pohon tersebut dianggap keramat, sehingga tidak ada orang yang berani
menebangnya. Untuk itu, diadakanlah upacara besar-besaran yang bertujuan agar penunggu pohon
bersedia pindah ke tempat atau pohon lain. Upacara tersebut dipimpin langsung oleh neneknya yang
benama La Toge Langi (Batara Guru). Konon, setelah pohon welengreng tumbang, pembuatan perahu
dibantu oleh neneknya dan dilakukan secara magis di dalam perut bumi. Ketika perahu sudah jadi,
Sawerigading pun berangkat ke negeri Tiongkok. Ia bersumpah tidak akan kembali ke Luwu.
Singkat ceritera, Sawerigading berhasil mempersunting Puteri We Cundai dan tinggal di negeri Tiongkok.
Setelah lama di sana, ia rindu pada tanah kelahirannya. Dan, suatu hari ia berlayar menuju Luwu. Namun,
ketika perahu hendak berlabuh di pantai Luwu, tiba-tiba ada gelombang besar yang menghantamnya,
sehingga pecah. Kepingan-kepingannya terdampar di beberapa tempat. Sebagian badannya terdampar di
pantai Ara, tali temali dan layar perahu terdampar di daerah Tanjung Bira, dan lunas perahu terdampar di
daerah Lemo-Lemo. Dan, oleh orang-orang yang tinggal di ketiga daerah tersebut, kepingan-kepingan
tadi disusun kembali, sehingga ada kepercayaan bahwa nenek moyang merekalah yang merekonstruksi
perahu milik Sawewigading yang kemudian dikenal sebagai pinisi. Demikianlah, sehingga keturunannya
mewarisi keahlian-keahlian tertentu dalam pembuatan, bahkan mengemudi pinisi. Dalam konteks ini,
orang Ara ahli dalam membuat tubuh dan bentuk perahu; orang Lemo-lemo ahli dalam finishing perahu;
dan orang Tanjung Bira ahli mengemudi perahu (nahkoda dan awal perahu). Kekhasan-kekhasan itulah
yang kemudian memunculkan ungkapan yang berbunyi:"Panre patangan'na Bira, Paingkolo tu Arayya,
Pabingkung tu Lemo Lemoa", artinya "ahli melihat dari Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk
merapatkan papan) dari Ara, dan ahli menghaluskan dari Tana Lemo". Berdasarkan ungkapan itu, maka
banyak orang yang meyakini, khususnya orang Bugis-Makassar, bahwa perahu pinisi yang bagus
(sempurna) adalah pinisi yang dibuat oleh orang Ara dan Tana Lemo.

2. Proses Pembuatan Pinisi

Pembuatan pinisi dilakukan di sebuah galangan kapal sederhana yang disebut sebagai bantilang, dengan
teknik ruling1). Orang yang sangat berperan dalam pembuatan pinisi adalah punggawa (kepala tukang
atau tukang ahli). Ia dibantu oleh para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi. Selain itu,
dibantu juga oleh tenaga-tenaga yang lain, sehingga secara keseluruhan melibatkan puluhan orang.
Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan pinisi dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Berikut ini adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam pembuatan sebuah perahu yang oleh orang
Bugis disebut pinisi.

Pencarian dan Penebangan Pohon

Pohon yang dicari adalah welengreng atau dewata karena kedua jenis pohon tersebut disamping kuat,
juga tahan air. Pencariannya pun tidak dilakukan pada sembarang hari, tetapi pada hari-hari tertentu, yaitu
hari kelima dan ketujuh pada bulan dimulainya pembuatan perahu. Ini ada kaitannya dengan kepercayaan
bahwa angka 5 (naparilimai dalle’na) oleh orang Tana Beru dianggap sebagai angka yang baik karena
mempunyai arti “rezeki sudah di tangan”. Sedangkan, angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti “selalu
mendapat rezeki”. Setelah pohon yang memenuhi persyaratan ditemukan, maka penebangan pun
dilakukan. Akan tetapi, sebelumnya diadakan semacam upacara persembahan karena jenis pohon itu
dipercayai ada “penunggunya”. Dalam upacara ini, yang dijadikan sebagai korban adalah seekor ayam.
Tujuannya adalah agar penunggu pohon tersebut tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala
sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Dengan perkataan lain, penebangan dapat berjalan lancar dan
selamat. Pohon yang telah ditebang itu kemudian dibawa ke bantilang.
Pengeringan dan Pemotongan Kayu

Sebelum pohon (kayu) dipotong-potong sesuai dengan keinginan, ketika peletakan balok lunas, ada
semacam ritual. Dalam konteks ini, balok lunas diletakkan di bawah kayu yang akan dijadikan bahan
pembuatan pinisi dan salah satu ujungnya diarahkan (dihadapkan) ke Timur Laut. Ujung balok lunas yang
mengarah ke Timur Laut ini merupakan simbol laki-laki. Sedangkan, ujung yang satu lagi yang arahnya
berlawanan merupakan simbol perempuan. Sebelum dipotong-potong sesuai dengan keinginan, maka
bahan (kayu-kayu) tersebut dikeringkan. Kemudian, kayu yang akan dipotong ditandai dengan pahatan
disertai pembacaan doa dengan tujuan agar kayu tersebut dapat berfungsi dengan baik ketika telah
menjadi perahu.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemotongan adalah mata kampak atau gergaji harus tepat pada
arah urat kayu. Selain itu, pemotongan harus sampai selesai (tidak boleh berhenti sebelum kayu
terpotong). Dengan cara seperti itu kekuatan kayu tetap terjamin. Sebagai catatan, pemotongan kayu
dimulai pada bagian ujung-ujungnya. Salah satu potongan ujungnya dibuang ke laut sebagai penolak bala
dan sekaligus sebagai simbol peran laki-laki (suami) yang mencari nafkah di laut. Sedangkan, ujung yang
satunya disimpan di rumah sebagai simbol peran perempuan (isteri) yang menunggu suami pulang.

Perakitan

Setelah lunas terbentuk dan dihaluskan, maka langkah berikutnya adalah pemasangan papan pengapit
lunas (soting). Pemasangan ini disertai dengan suatu upacara yang disebut kalebiseang. Kemudian disusul
dengan pemasangan papan yang ukurannya berbeda-beda (dari bawah ke atas). Papan yang kecil ada di
bagian bawah, sedang papan yang besar ada di bagian atas. Keseluruhannya berjumlah 126 buah. Sebagai
catatan, sebelum pemasangan dilakukan, ada upacara yang disebut anjerreki, yaitu upacara yang
bertujuan untuk memperkuat lunas. Setelah papan tersusun, pekerjaan diteruskan dengan pemasangan
buritan dan tempat kemudi bagian bawah. Selanjutnya, badan perahu yang telah terbentuk tetapi masih
belum sempurna karena masih banyak sela-selanya, khususnya antarpapan yang satu dengan lainnya,
maka sela-sela tersebut perlu ditutup dengan majun. Pekerjaan ini, oleh masyarakat setempat disebut
sebagai “a’panisi”. Kemudian, agar sambungan antar papan dapat merekat dengan kuat, maka
sambungan-sambungan tersebut diberi perekat yang terbuat dari sejenis kulit pohon barruk.

Setelah papan merekat kuat, pekerjaan selanjutnya adalah “allepa” atau mendempul. Bahannya adalah
campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk oleh sedikitnya enam orang selama
sekitar 12 jam. Banyaknya dempul yang diperlukan bergantung dari besar-kecilnya perahu yang dibuat.
Untuk perahu yang bobotnya mencapai 100 ton, maka dempul yang diperlukan sekitar 20 kilogram.
Selanjutnya, badan perahu yang telah dilapisi dengan dempul itu dihaluskan dengan kulit buah pepaya.
Penggunaan bahan-bahan sebagaimana disebut di atas (kulit pohon barruk dan kulit buah pepaya), ada
kaitannya dengan mitos penciptaan pinisi yang menggunakan kekuatan magis. Mengacu kepada mitos itu,
orang-orang di Tana Beru merasa bahwa komunitas mereka sebagai mikrokosmos, yaitu bagian dari jagad
raya (makrokosmos). Hubungan antara kedua kosmos ini diatur oleh tata tertib abadi, sakral, dan telah
dilembagakan oleh nenek moyang mereka sebagai adat istiadat. Kedua kosmos ini dijaga harmoninya,
sehingga ada kecenderungan mempertahankan yang lama dan menolak atau mencurigai yang baru. Inilah
yang kemudian menjadi penyebab mengapa mereka tidak begitu terpengaruh dengan teknologi modern.

Pandangan di atas juga berpengaruh pada aktivitas di galangan perahu (bantilang), yang prosesnya
diibaratkan bayi dalam kandungan. Hal ini terlihat, misalnya, dalam upacara pemotongan lunas perahu
(anatra kalebeseang). Pemotongan dan penyambungan balok-balok yang melambangkan perkawinan
(persetubuhan) antara jantan dan betina sebagai “janin perahu”, kemudian menjadi “bayi perahu”. Selain
itu, ada juga upacara pemberian pusat perahu (pamossi) yang melambangkan saat kelahiran (bayi) perahu
ke laut lepas, seperti kelahiran manusia ke dunia dari kandungan ibunya. Dalam hal ini punggawa
berperan sebagai ibu dan sekaligus sebagai “bidan”.

Sesuai dengan pandangan kosmos mereka, segala sesuatu dilihat dari segi totalitas yang berkaitan secara
organik, sehingga pelanggaran terhadap “sebuah pantangan” akan berakibat fatal kepada keseluruhan
(bayi) perahu yang akan dilahirkan. Pantangan terberat adalah apabila pihak sombali menyakiti hati
punggawa. Kalau hal ini terjadi, perahu yang telah dibuat “tidak mau bergerak” ketika didorong ke laut.
Ini disebabkan punggawa (sebagai ibu) tidak rela apabila “bayi” perahunya diserahkan kepada orang yang
telah menyakiti hatinya. Oleh sebab itu, sombalu yang arif akan segera menghubungi sang punggawa
untuk melakukan “perdamaian”. Apabila perahu diluncurkan secara paksa, perahu tersebut akan cacat
sesudah sampai di laut. Jadi, ketangguhan perahu di laut bukan saja karena faktor teknis, tetapi juga
karena faktor magis (gaib).

Pemasangan Tiang Layar

Setelah badan dan kerangka perahu selesai, maka pekerjaan selanjutnya adalah memasang tiang dan layar.
Perahu pinisi biasanya menggunakan dua layar besar yang disebut sombala. Layar yang satu terpasang di
bagian depan. Layar ini berukuran sekitar 200 meter persegi. Sedangkan, layar yang lainnya terletak lebih
ke belakang dengan ukuran sekitar 125 meter persegi. Di atas setiap layar besar itu terdapat sebuah layar
berbentuk segi tiga yang disebut tanpasere. Selain layar utama, pada bagian haluan dilengkapi tiga layar
pembantu yang juga berbentuk segi tiga. Layar ini masing-masing disebut cocoro pantara (di bagian
depan), cocoro tangnga (di tengah), dan tarengke (di bekalangnya). Sebagai catatan, pemasangan layar
baru dilakukan setelah perahu sudah mengapung di laut.
Peluncuran Pinisi

Sebelum penisi diluncurkan ke laut, ada upacara yang dipimpin oleh punggawa. Jika pinisi yang akan
diluncurkan bobotnya kurang dari 100 ton, maka binatang yang dijadikan korban adalah seekor kambing.
Akan tetapi, jika bobotnya lebih dari 100 ton, maka yang dijadikan korban adalah seekor sapi. Adapun
doa yang diucapkan sebagai berikut: “Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako buttaya,
patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” (Dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari
kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu).

Setelah upacara selesai, perahu ditarik oleh para sahi dan calon sahi menuju ke laut.

Peluncuran biasanya dilakukan pada saat air laut sedang pasang (tengah hari). Lamanya bisa berhari-hari
(biasanya sampai 3 hari). Pemasangan layar dilakukan ketika perahu sudah mengapung di laut. Dan,
dengan mengapungnya perahu di laut dan terpasangnya layar, maka punggawa dan para sahinya yang
selama sekitar enam bulan membuatnya, berakhir. Sebagai catatan, setiap perahu pinisi mempunyai nama
tersendiri, seperti: Pajjala, Banggo, dan Sadek.

3. Nilai Budaya

Pinisi, sebagai salah satu identitas Orang Bugis, jika dicermati secara saksama, khususnya dalam proses
pembuatannya, mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai itu, antara lain: kerjasama, kerja keras, ketelitian, keindahan, dan religius.

Nilai kerjasama tercermin dalam hubungan antara punggawa (kepala tukang atau tukang ahli), para sawi
(tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi serta tenaga-tenaga yang lainnya. Masing-masing
mempunyai tugas tersendiri. Tanpa kerjasama yang baik antar mereka, perahu tidak dapat terwujud
dengan baik. Bahkan, bukan hal yang mustahil perahu tidak pernah terwujud.

Nilai kerja keras tercermin dalam pencarian dan penebangan kayu welengreng atau dewata yang tidak
mudah karena tidak setiap tempat ada. Penebangannya pun juga diperlukan kerja keras karena masih
menggunakan peralatan tradisional (bukan gergaji mesin). Nilai ini juga tercermin dalam pemotongannya
yang tidak boleh berhenti sebelum selesai (terpotong) dan pemasangan atau perakitannya yang
membutuhkan kerja keras. Selain itu, nilai ini juga tercermin dalam pendempulan dan peluncuran karena
untuk memindahkan perahu dari galangan bukan merupakan hal yang mudah atau ringan, tetapi
diperlukan kerja keras yang membutuhkan waktu beberapa hari (sekitar 3 hari atau lebih).

Nilai ketelitian tercermin dalam pemotongan kayu yang harus tepat (mata kampak atau gergaji harus tepat
pada arah urat kayu). Nilai keindahan dari bentuknya yang bentuknya yang sedemikian rupa, sehingga
tampak kuat, gagah, dan indah.
Nilai religius tercermin dalam pemotongan pohon yang disertai dengan upacara agar “penunggunya”
tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Nilai
ini juga tercermin dalam doa ketika perahu akan diluncurkan ke laut.

Ritual Daerah Setempat

Maccera Tappareng ritual menghormati mahluk penghuni


danau tempe

Danau Tempe terletak di bagian Barat Kabupaten Wajo. Tepatnya di Kecamatan Tempe, sekitar 7 km dari
Kota Sengkang menuju tepi Sungai Walanae. Dari sungai ini, perjalanan ke Dananu Tempe dapat
ditempuh sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor (katinting). Perkampungan nelayan
bernuansa Bugis berjejer di sepanjang tepi danau. Nelayan yang menangkap ikan di tengah danau seluas
13.000 hektare itu dengan latar belakang rumah terapung, merupakan pemandangan yang sangat menarik.
Dari ketinggian, Danau Tempe tampak bagaikan sebuah baskom raksasa yang diapit oleh tiga kabupaten
yaitu Wajo, Soppeng, dan Sidrap.
Sambil bersantai di atas perahu, wisatawan dapat menyaksikan terbitnya matahari di ufuk Timur pada
pagi hari dan terbenam di ufuk Barat pad sore hari. Di tengah danau, kita dapat menyaksikan beragam
satwa burung, bungan dan rumput air, serta burung Belibis (Lawase, bahasa Bugis) menyambar ikan-ikan
yang muncul di atas permukaan air. Danau Tempe memiliki species ikan air tawar yang jarang ditemui
ditempat lain. Konon, dasar danau ini menyimpan sumber makanan ikan, yang diperkirakan ada
kaitannya letak danau yang berada di atas lempengan dua benua, yaitu Australia dan Asia. Di waktu
malam, wisatawan dapat menginap di rumah terapung. Bersama nelayan, kita dapat menyaksikan
rembulan di malam hari yang menerangi Danau Tempe sambil memancing ikan. Sementara itu, para
nelayan menangkap ikan diiringi dengan musik tradisional yang dimainkan penduduk. Tanggal 23
Agustus setiap tahunnya, merupakan kalender kegiatan pelaksanaan festival laut di Danau Tempe.

Setiap tanggal 23 Agustus diadakan festival laut di Danau Tempe.Acara pesta ritual nelayan ini disebut
Maccera Tappareng atau upacara mensucikan danau yang ditandai dengan pemotongan sapi yang
dipimpin oleh seorang ketua nelayan yang diikuti berbagai atraksi wisata yang sangat menarik. Pada hari
perayaan Festival Danau Tempe ini, semua peserta upacara Maccera Tappareng berpakai Baju Bodo
(pakaian adat Orang Bugis). Acara ini juga dimeriahkan dengan berbagai atraksi seperti lomba perahu
tradisional, lomba perahu hias, lomba permainan rakyat (lomba layangan tradisional, pemilihan anak dara
dan kallolona Tanah Wajo), lomba menabuh lesung (padendang), pagelaran musik tradisional dan tari
bissu yang dimainkan oleh waria, dan berbagai pagelaran tradisional lainnya.

Acara pesta ritual nelayan ini disebut Maccera Tappareng atau upacara mensucikan danau dengan
menggelar berbagai atraksi wisata yang sangat menarik. Pada hari perayaan Festival Danau Tempe ini,
semua peserta upacara Maccera Tappareng berpakai Baju Bodo (pakaian adat Orang Bugis). Acara ini
juga dimeriahkan dengan berbagai atraksi seperti lomba perahu tradisional, lomba perahu hias, lomba
permainan rakyat (lomba layangan tradisional, pemilihan anak dara dan kallolona Tanah Wajo), lomba
menabuh lesung (padendang), pagelaran musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan oleh waria, dan
berbagai pagelaran tradisional lainnya. Lomba perahu dayung merupakan tradisi yang turun temurun dan
terpelihara di kalangan para nelayan. Sedangkan Maccera Tappareng merupakan bentuk kegiatan ritual
yang dilaksanakan di atas Danau Tempe oleh masyarakat yang berdomisili di pinggir Danau Tempe,
biasanya ditandai dengan pemotongan kurban/sapi yang dipimpin oleh seorang ketua nelayan, dan
serentetan acara lainnya.

Mitos dalam suku Bugis

Jika dikelompokkan dalam kehidupan, masyarakat Bugis terbagi dalam empat kategori,
mitos penciptaan semesta dan dunia, yang meliputi
fenomena kosmik (bencana alam), cuaca (bulan berpayung), binatang dan peternakan, penangkapan ikan
dan berburu, tanam-tanaman dan pertanian.
Kategori mitos kedua adalah mitos tentang alam gaib, meliputi dewa-dewa roh, kekuatan sakti, makhluk
gaib, dan alam gaib.

Kategori ketiga adalah mitos sekitar lingkaran kehidupan, lahir, masa bayi, masa kanak-kanak, tubuh
manuasia, obat-obatan, rumah dan pekerjaan rumah, mata pencaharian dan hubungan sosial, perjalanan
perhubungan, cinta pacaran, dan menikah, kematian dan adat pemakaman dan mitos lainnya (pencuri
kebal, pengobatan tradiosional) .

Dalam gambaran mitologi tersebut, orang bugis mencandera dunia dan isinya menjadi empat macam
citra

(1) Lino (dunia Nyata)


(2) Bajo-bajo (dunia bayangan)
(3) Makrerrek (dunia gaib) dan
(4) Mallinrung (dunia maya).

Citra dunia nyata (lino) dibagi pula ke dalam 4 macam seperti, seperti Bottilangik (dunia atas, langit,
bitara) dengan segala isinya yang dijaga oleh dewata langit yang disimbolkan sebagai kepala (ulu)
manusia. Alekkawa (dunia tengah, permukaan bumi) yang dijaga oleh dewata to MallinoE (membumi)
dan dilambangkan sebagai dada manusia. peretiwi (dunia bawah, dasar bumi) yang dijaga oleh dewata-
dewata tanah dan dilambangkan sebagai perut dan pantat manusia. Boriliu (dunia air, dasar samudra,
muara air dan dilambangkan sebagai kaki tangan manusia.

Citra dunia bayangan (wajo-wajo) merupakan duplikat dari dunia nyata. Setiap unsur alam nyata
memiliki bayangan sebgai zat yang halus selalu mengikuti aslinya. Dunia tersebut bukan dunia fiksi atau
imajinasi, tetapi bisa tampak nyata bagi orang yang telah mencapai tahap terawang.

Citra alam gaib (makerrek) keramat yang di dalamnnya bersemayam berbagai makhluk dan kekuatan-
kekuatan sakti, manusia turunan dewa (tumanurung) , dewa-dewa dan tuhan, citra alam gaib ini
direpresantasikan dengan puncak gunung atau pohon besar dan benda-benda pusaka yang bertua. Tempat
dan benda benda tersebut merupakan tempat bersemayamnya mahluk halus, karena itu dipandang sebagai
tempat atau benda yang keramat.

Citra dunia maya (mallinnrung) adalah dunia di luar jangkauan panca indera manusia, suatu dunia di
luar batas akalnya. Orang Bugis menyebut dunia maya ini dengan sebutan (Pammasareng) alam roh
(banapati) tempat bermukimnya leluhur (turioloE) dan mahluk halus (tau tenrita).

Beberapa mitos 'pamali' yg ada, adalah :

1. dilarang tidur dengan tangan menyilang di wajah (kening), katanya nanti sial
2. dilarang duduk berselonjor dengan ujung kaki saling silang, juga menghindari sial
3. dilarang menyapu kotoran keluar rumah jika sudah malam, nanti rejeki kita ikut terbuang
menyimpan sapu tepat dibelakang pintu dgn posisi terbalik
4. tidak menjual peniti, silet, dan benda2 besi yg tajam lainnya dimalam hari
5. membakar sabuk kelapa di gerabah kecil setiap malam jumat
6. gadis bugis tidak boleh sekolah tinggi
7. gadis bugis harus dirumah untuk belajar memasak dan menjahit
8. gadis bugis yg keluar rumah image nya buruk
9. gadis bugis harus dirumah memakai bedak basah
10.gadis bugis tidak boleh pacaran
11.gadis bugis umur belasan sudah dipaksa untuk menikah
12.gadis bugis harus menikah dengan sesama keluarga kalaupun tidak harus sesama suku karena itu
banyak keturunan bugis yang lahir kelainan gen
13.gadis bugis kelak harus selalu tunduk kepada suami meskipun kekerasan dalam rumah tangga
terjadi
14.gadis bugis dirumah slalu dibiasakan pakai daster + sarung.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari hasil penulisan pada bab-bab sebelumnya, maka secara garis besar

kesimpulan yang diperoleh adalah :

.1 Suku Bugis memiliki ragam adat perkawinan yang menarik

.2 Suku Bugis adalah pelaut yang ulung karena dari dahulu mereka hidup

melaut.

.3 Suku Bugis tersebar di banyak wilayah tapi paling banyak mendiami

wilayah Sulawesi Selatan

.4 Suku Bugis terkenal dengan “PERAHU PINISI” nya

SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka diberikan saran-saran yang

sekiranya dapat membantu para pembaca untuk masa mendatang, yaitu

.5 Semua yang penulis katakan di makalah ini adalah hasil dari

penelusuran penulis tentang suku Bugis baik secara langsung maupun

tidak langsung.
.6 Diharapkan pembaca dapat meneliti sumber-sumber lain, selain

sumber-sumber yang telah penulis sebutkan.

LAMPIRAN

aksara bugis

baju pengantin bugis

pria bugis
ritual maccera tappareng.

Daftar Pustaka

Hamid A. Prof 2006. Kebudayaan Bugis, Makassar, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan

Junus, H.A.M 2004. Morfologi Budaya Bugis, Makassar : Badan Penerbit Umum

Pelras C 1996. The Bugis

Pelras C 2006. Manusia Bugis, Forum Jakarta Paris, Penerbit : Nalar

Sapada AN, 1985. Tata Cara Perkawinan Adat Bugis Makassar, Ujung Pandang

www.wikipedia.com
www.rileks.com
http://www.indonesia.travel
http://id.wikipedia.org/wiki/Danau_Tempe
http://noertika.wordpress.com/wajo-my-home-land/
http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Selatan
http://gungdenata.blogspot.com/2009/06/suku-bugis.html
http://aligufron.multiply.com/journal/item/259

Gambar:

http://labolong.googlepages.com/alatperang.jpg
http://1.bp.blogspot.com/_TfMjjJ7cdHM/SKVBuzZOZVI/AAAAAAAAAHc/XBjopKak0HI/s400/bugis2
.jpg
http://www.sabah.org.my/bm/daerah/daerah/twu/tawau/images/pakaian.jpg
http://elmahari.files.wordpress.com/2007/08/rumahbugis-1.jpg
http://1.bp.blogspot.com/_obetYYALe9Q/R2tBtaoKDkI/AAAAAAAAADg/sx1hY8emjl8/s1600-
h/baju+pengantin+bugis3.jpg
http://farm4.static.flickr.com/3224/2290904274_89e3409d61_m.jpg
Biografi Penulis

Lahir di kota Jakarta pada tanggal 29 Agustus 1989. Mempunyai motto “Give your best and let God do
the rest.”

Hal yang paling saya sukai adalah pantai, ice cream, es batu, sushi, bisa curhat sama sahabat, shopping,
travelling, dll. Semuanya itu sangat amat menyenangkan untuk dinikmati.hmmmm…. (:

Puji Tuhan, hobby saya yang suka menyanyi membawa saya ke sebuah dapur rekaman rohani “Harvest
Music”. Saya mengisi suara di beberapa album rohani bersama dengan artis rohani yang cukup ternama
seperti Jonathan Prawira, Danar Idol, Bobby OW, dsb.

Saat ini saya berkuliah di London School of Public Relation, Jakarta. Saya mengambil jurusan Mass
Communication dan sudah menduduki semester 4, memasuki semester 5.

Hal yang paling berharga dalam hidup saya adalah bisa memiliki keluarga, sahabat dan seseorang yang
ada dalam hidup saya saat ini. Mereka sungguh tak ternilai dengan apapun. Tanpa mereka bahkan
makalah ini tidak dapat selesai dengan baik. Terima kasih Tuhan buat mereka (:
Harapan saya kedepan, saya hanya ingin menyelesaikan kuliah dengan baik dan bisa melanjutkan kuliah
di Hillsong College, Australia. Lalu ., ingin membahagiakan mami dan papi tersayang. Dan impian
terakhir saya adalah menikah dengan sang “pangeran impian” lalu hidup bahagia selamanya.

You might also like