You are on page 1of 10

SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

DI INDONESIA
Oleh: Alvian D. Putra

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

Partai Politik Sebagai Penyelenggara dan Fasilitator


I.

Perkembangan Demokrasi dan Perkembangan Kepartaian


`Memahami latar belakang perkembangan kehidupan kepartaian di Indonesia, secara

singkat perlu dikemukakan sistem politik di Indonesia. Kebebasan untuk berserikat dan
berkumpul, termasuk kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota partai politik
(parpol) merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang harus diakui dan dilindungi
oleh negara. Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) 10
Desember 1948 (disebut DUHAM) dalam Pasal 20 menyatakan (1) Everyone has the right to
freedom of peaceful assembly and association; (2) No one may be compelled to belong to an
Association. Hal itu kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 22 ayat (1) International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Tahun 1966 yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005.
Indonesia dengan sistem demokrasi memberikan ruang kepada masyarakat untuk
berserikat baik berkumpul, mendirikan dan bergabung ke dalam partai politik. Akan tetapi,
implementasinya dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan, prinsip kebebasan berserikat
dan berkumpul tersebut, khususnya kebebasan untuk mendirikan partai politik di Indonesia
mengalami pasang surut sejalan dengan dinamika sistem ketatanegaraan dan sistem politik
yang berlaku. Semakin demokratis sistem politik semakin longgar pendirian parpol, dan
semakin otoriter akan semakin ketat pembentukan parpol, yang berarti pula terjadinya
pergerseran dalam tafsir prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul (Arief Hidayat,
Disertasi UNDIP, 2006).
Setelah Perubahan UUD 1945, kedudukan dan peranan parpol dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia menjadi semakin strategis. Secara eksplisit dalam Pasal 22E ayat
(3) UUD 1945 dinyatakan bahwa hanya parpol yang menjadi peserta pemilihan umum
(Pemilu) untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang kemudian menjadi argumentasi untuk
pemberian hak recall oleh parpol atas anggotanya yang duduk di lembaga perwakilan (DPR
dan DPRD). Kemudian dalam Pasal 6A ayat (2) juga secara tegas dinyatakan bahwa
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
parpol, demikian pula untuk pengusulan calon kepada daerah dan wakil kepala daerah dalam
pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, menurut UU No. 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah, parpol menjadi embarkasi dan kendaraan bagi pencalonan kepala
daerah/wakil kepala daerah.

II.

Penjelasan Sistem Kepartaian


Maurice Duverger menggolongkan sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu sistem partai

tunggal, sistem dwipartai dan sistem banyak partai1. Namun dalam perkembangannya,
konsepsi sistem partai tunggal masih dapat digolongkan kembali berdasarkan jumlahnya,
yaitu partai tunggal totaliter dengan satu partai yang berkuasa penuh seperti yang diterapkan
pada negara komunis ataupun fasis, partai tunggal dominan yang didalamnya terdapat lebih
dari satu partai tetapi ada satu partai besar yang menguasai secara dominan seperti di Jepang,
serta yang terakhir adalah bentuk sistem partai tunggal yang tanpa partai sebagaimana
diterapkan dalam sistem politik Otokrasi Tradisional seperti di Brunei Darussalam dan Arab
Saudi2.
Sistem dwipartai bersaing merupakan suatu sistem kepartaian yang didalamnya
terdapat dua partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kewenangan
memerintah melalui pemilihan umum. Dalam sistem kepartaian ini, pembagian fungsi
diantara kedua partai dibagi secara jelas, yaitu partai yang memenangkan pemilu akan
mendapatkan kewenangan memerintah dalam pemerintahan sedangkan yang kalah menjadi
oposisi dalam pemerintahan3. Sistem banyak partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas
lebih dari dua partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat
yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi4.
Selain pembagian sistem kepartaian berdasarkan jumlah partai yang ada, Giovanni
Sartori kemudian memiliki klasifikasi sistem kepartaian tersendiri berdasarkan atas jarak
ideologi antar partai yang ada. Menurut Giovanni Sartori, sistem kepartaian dapat dipilah
menjadi 4 sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi di antara partai-partai yang ada, yaitu:
1. Pluralisme sederhana yang tidak terpolarisasi, bipolar (dua partai) dan sentripetal
seperti sistem dua partai di Amerika Serikat.
2. Pluralisme moderat yang memiliki polaritas kecil, bipolar dengan tiga atau empat
partai sebagai basis, dan sentripetal seperti sistem banyak partai di Belanda.
3. Pluralisme ekstrim yang memiliki polaritas besar, multipolar dengan banyak partai,
dan sentrifugal seperti sistem kepartaian di Italia.
1 Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. hlm. 158.
2 Ibid, hlm. 159.
3 Ibid, hlm. 160.
4 Ibid, hlm. 161.

4. Sistem kepartaian hegemoni yang memiliki polaritas sangat besar, terdiri atas partai
dengan jumlah sangat banyak, dan sentrifugal. Dalam sistem ini, sejumlah partai
diizinkan ada tetapi hanya sebagai partai kelas dua karena mereka tidak diizinkan
untuk berkompetisi bebas dengan partai hegemoni seperti ketika masa Orde Baru di
Indonesia dimana kekuasaan Golkar pada saat itu nyaris tidak tersentuh oleh partai
politik lain.5

III.

Pengertian Partai Politik

Partai politik (parpol) merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang
demokratis. Sebagai suatu organisasi, parpol secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifka
dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi
pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan secara maksimal kepemimpinan politik
secara sah (legitimate) dan damai (Amal, 1988: xi).
Dalam pengertian modern, parpol adalah suatu kelompok yang mengajukan caloncalon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengatasi atau
memengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. Menurut pandangan Mark N. Hugopian,
Partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan
karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis
tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.
Sedangakn menurut pandangan Neumann (Budiardjo, 1981: 14), Partai politik
adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam
masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan
pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa
kelompok lain yang mempunyai pandangan berbeda-beda. Dengan demikian parpol
merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologiideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya
dengan aksi politik di dalam masyarakat yang lebih luas.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka basis sosiologis parpol adalah ideologi dan
kepentingan yang diarahkan sebagai usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan. Tanpa
kedua elemen tersebut parpol tidak akan mampu mengidentifikasikan dirinya dengan para
pendukungnya. Dengan demikian menunjukkan kedudukan parpol sebagai:
a) Salah satu wadah atau sarana partisipasi politik rakyat.
5 Ibid, hlm. 162-165.

b) Perantara antara kekuatan-kekuatan sosial dengan pemetintah.

IV.

Peranan dan Fungsi Partai Politik

Setelah memahami definisi-definisi partai politik dapat dihubungkan dengan peran


dan fungsi partai politik (parpol). Menurut James Rosnau (1969) lebih menekankan kepada
fungsi parpol sebagai sarana penghubung antara berbagai macam kepentingan dalam suatu
sistem politik. Dalam hal ini menurutnya ada dua peranan penting parpol dalam linkage
politik, yakni:
a) Sebagai institusi yang berfungsi penetratif (penetrative linkage), dalam arti sebagai
lembaga yang ikut memainkan peranan dalam proses pembentukan kebijakan negara;
b) Sebagai reactive linkage, yaitu lembaga yang melakukan reaksi atas kebijakan yang
dikeluarkan oleh negara.
Dengan demikian, dalam negara demokrasi modern fungsi parpol secara umum adalah6:
1. Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu di satu pihak merumuskan kepentingan
(interest articulation) dan menggabungkan atau menyalurkan kepentingan (interet
aggregation)

masyarakat

untuk

disampaikan

dan

diperjuangkan

kepada

pemerintah, sedangkan di pihak lain juga berfungsi menjelaskan dan


menyebarluaskan kebijaksanaan pemerintah kepada masyarakat (khususnya
anggota parpol yang bersangkutan.
2. Sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu proses dimana seseorang memperoleh
pandangan, orientasi dan nilai-nilai dari masyarakat di mana dia berada. Proses
tersebut juga mencakup proses di mana masyarakat mewariskan norma-norma dan
nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3. Sebagai sarana rekrutmen politik (instrument of political recruitment), yakni
proses melalui mana partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang
berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rekrutmen politik akan
menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, dan sekaligus merupakan salah satu
cara untuk menyeleksi para calon pimpinan partai atau pemimpin bangsa.
4. Sebagai sarana pengatur konflik, yakni bahwa dalam negara demokratis yang
masyarakatnya terbuka dan plural, perbedaan dan persaingan pendapat sangatlah
wajar, akan tetapi sering menimbulkan konflik sosial yang sangat luas. Oleh
karena itu, konflik harus bisa dikendalikan atau dijinakan agar tidak berlarut-larut
yang bisa menggoyahkan dan membahayakan eksistensi bangsa. Dalam hal ini,
parpol dapat berperan menekan konflik seminimal mungkin.
6 Abdul Mukthie Fadjar, 2012, Partai Politik Dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia,
Malang: Setara Press, hlm. 18-20.

V.

Analisa Peran Partai Politik dalam Melakukan Mobilisasi Massa


dengan Menggunakan Instrumen Social Cleavage.
Secara umum, partai politik memiliki beberapa fungsi diantaranya sebagai sarana

komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik serta sarana pengatur
konflik7. Dari fungsi umum tersebut dapat digambarkan bahwa objek utama dari fungsi partai
politik tersebut adalah masyarakat sebagai konstituen dalam perpolitikan. Masyarakat atau
kelompoknya yang biasa disebut dengan massa, tentu merupakan sasaran utama partai politik
untuk meraih dukungan dalam sebuah penyelenggaraan kegiatan politik. Dukungan inilah
yang nantinya akan membuat partai politik mengerahkan segenap kemampuannya untuk
memobilisasi massa agar dapat meraih dukungan tersebut.
Salah satu instrumen yang digunakan oleh partai politik untuk dapat memobilisasi
massa adalah dengan social cleavage atau pembilahan sosial dimana partai politik dengan
sengaja membelah diri demi mendapatkan dukungan dari massa yang memang menjadi
basis utama dukungan mereka. Adanya pembilahan ini sah-sah saja untuk dilakukan karena
memang sistem demokrasi mengijinkan hal tersebut untuk terjadi. Apalagi jika melihat dari
kultur masyarakat Indonesia yang lebih cenderung hidup berkelompok sehingga upaya
pemilahan ini juga secara tidak langsung mendapat dukungan dari kelompok-kelompok
masyarakat tertentu agar kelompok mereka dapat memiliki perwakilan di parlemen maupun
pemerintahan yang nantinya juga akan dapat memperjuangkan kepentingan mereka.
Jika melihat dari sejarah partai politik Indonesia, sudah puluhan bahkan ratusan partai
politik yang melakukan pembilahan. Contohnya pada partai yang berbasis nasionalis di
Indonesia, tercatat lebih dari 30 partai politik yang memiliki afiliasi ideologi nasionalis.
Mulai dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno hingga
melakukan pembilahan sedemikian rupa yang membentuk partai-partai berbasis nasionalis
lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), hingga PNI Massa Marhaen,
PNI Front Marhaenis, dan lain sebagainya.
Pembilahan partai politik ini tentu bukannya tanpa sebab, PDIP yang diketuai oleh
Megawati Soekarnoputri sebagai putri kandung Ir. Soekarno memiliki basis massa yang besar
serta dukungan yang kuat, bahkan ada kesan bahwa PDIP merupakan partainya trah
Soekarno dimana saat ini ketika kharisma seorang Megawati perlahan mulai memudar,
7 Ibid, hlm. 18-19.

justru Puan Maharani yang notabene anak kandungnya yang terkesan dipersiapkan untuk
menggantikan dirinya saat memundurkan pensiun dari panggung politik nanti.
Hal inilah yang menyebabkan beberpa kelompok dalam internal partai menganggap
peluangnya tipis untuk berkembang sehingga mereka memutuskan untuk lebih baik
mengundurkan diri dan membentuk partai baru dengan basis ideologi yang sama-sama
nasionalis namun memiliki perbedaan dalam golongan massa yang dimobilisasi dalam partai.
Perpektif pembilahan partai ini juga hampir serupa terjadi pada partai-partai yang berbasis
massa Islam.
Dalam sejarahnya, partai berbasis massa Islam memiliki banyak afiliasi politik pada
tahapan awal pemilu di Indonesia seperti Masyumi, Partai NU, PSII, dan lain-lain. Namun
ketika masa orde baru, partai-partai ini kemudian digabungkan kedalam Partai Persatuan
Pembangunan. Barulah ketika masa reformasi, partai-partai Islam kembali melakukan
pembilahan karena merasa keterwakilan golongannya masih kurang apabila hanya terdapat
satu partai berbasis Islam. Dalam pemilu 2014 nanti saja ada setidaknya ada 4 partai berbasis
Islam yang berkompetisi, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sosial
(PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Motif pembilahan partai politik hampir semuanya sama, yaitu untuk memobilisasi
massa yang mewakili golongannya. Seperti PKB yang memiliki basis massa kaum Nadhatul
Ulama (NU). Bahkan PKB sendiri pernah mengalami gejolak yang berawal dari perebutan
kekuasaan partai yang sah antara Muhaimin Iskandar dan Yenni Wahid yang merupakan putri
dari KH. Abdulrachman Wahid atau Gus Dur. Hingga akhirnya Yenni Wahid mengundurkan
diri dari PKB dan mendirikan partai baru yaitu Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru
(PKBIB) namun partai ini gagal ikut pemilu 2014 karena tidak lolos verifikasi oleh KPU.
Dari contoh-contoh diatas, jelas dapat dikatakan bahwa pembilahan dalam partai
politik cenderung memiliki motif untuk meraih kekuasaan atas keterwakilan golongan atau
massa tertentu sehingga yang terjadi saat ini adalah banyaknya partai politik yang ada di
Indonesia tidak menunjukkan bahwa ada bnyak ideologi yang tertanam dalam partai-partai
tersebut, tetapi lebih mengarah kepada golongan atau kelompok massa siapa yang berkuasa di
dalam partai tersebut.

VI.

Partai Politik Sebagai Penyelenggara


Menurut Giovanni Sartori, sistem kepartaian dapat dipilah menjadi 4 sistem
kepartaian berdasarkan jarak ideologi di antara partai-partai yang ada, yaitu :

1. Pluralisme sederhana yang tidak terpolarisasi, bipolar (dua partai) dan sentripetal
seperti sistem dua partai di Amerika Serikat.
2. Pluralisme moderat yang memiliki polaritas kecil, bipolar dengan tiga atau empat
partai sebagai basis, dan sentripetal seperti sistem banyak partai di Belanda.
3. Pluralisme ekstrim yang memiliki polaritas besar, multipolar dengan banyak partai,
dan sentrifugal seperti sistem kepartaian di Italia.
4. Sistem kepartaian hegemoni yang memiliki polaritas sangat besar, terdiri atas partai
dengan jumlah sangat banyak, dan sentrifugal. Dalam sistem ini, sejumlah partai
diizinkan ada tetapi hanya sebagai partai kelas dua karena mereka tidak diizinkan
untuk berkompetisi bebas dengan partai hegemoni seperti ketika masa Orde Baru di
Indonesia dimana kekuasaan Golkar pada saat itu nyaris tidak tersentuh oleh partai
politik lain8.
Berdasarkan penjelasan diatas, Giovanni Sartori yang membagi sistem kepartaian
berdasarkan jarak ideologi jika dianalisa pembagiannya berhubungan erat dengan
pembentukan stabilitas sistem pemerintahan. Jika suatu negara menganut sistem pluralisme
sederhana dengan tidak terpolarisasi serta bipolar dimana negara penganut sistem kepartaian
ini hanya memiliki tumpuan kepartaian pada dua kutub ideologi yang meskipun dalam
penerapannya terdapat lebih dari dua partai politik. Ciri lain dari sistem pluralisme sederhana
adalah sifatnya yang sentripetal yaitu arah perilaku politik setiap partai mengarah kepada
integrasi nasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem kepartaian pluralisme sederhana
dapat menjamin adanya stabilitas pemerintahan dengan adanya subsistem-subsistem yang
telah dijelaskan diatas.
Sistem kepartaian pluralisme moderat juga memiliki penjabaran subsistem yang
hampir sama persis dengan sistem pemerintahan pluralisme sederhana. Bedanya mungkin
hanya terletak pada jumlah partai yang berpartisipasi dalam pemilihan umum. Jika pluralisme
sederhana cenderung menggunakan sistem dwipartai seperti yang terjadi di Amerika Serikat,
sistem pluralisme moderat menggunakan sistem multipartai sebagaimana penerapannya di
Belanda. Namun sistem pluralisme moderat ini juga menawarkan stabilitas pemerintahan
yang lebih terjamin karena polaritas ideologi yang kecil serta bersifat sentripetal yang
mengarah kepada integrasi nasional sehingga meskipun terdiri atas banyak partai namun
untuk membentuk sebuah koalisi partai-partai dalam pemerintahan tidaklah sulit dikarenakan
polaritas yang kecil itu tadi dan pada akhirnya memudahkan pemerintah untuk menstabilkan
pemerintahannya.
8 Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, hlm. 162-165.

Sistem kepartaian selanjutnya adalah sistem kepartaian pluralisme ekstrim dimana


dalam sistem kepartaian ini, partai-partai yang ada (multipartai lebih dari 2 partai) memiliki
polaritas yang besar dan jamak (multipolar) sehingga perilaku partai cenderung
mengembangkan sistem tersendiri dan menjauhi integrasi nasional. Seperti penerapannya di
Italia, sistem kepartaian ini menciptakan sistem pemerintahan yang cenderung kurang stabil
mengingat polaritas yang besar antarpartai sehingga menyulitkan terciptanya integrasi
diantara partai-partai yang ada dan kemudian partai yang berkuasa tidak memiliki koalisi
yang kuat dalam pemerintahan sehingga pemerintahannya menjadi tidak stabil.
Sistem kepartaian yang terakhir adalah sistem kepartaian hegemoni yang ciri-cirinya
hampir sama dengan sistem kepartaian pluralisme ekstrim yang bercirikan banyak partai
dengan polaritas besar dan multipolar serta partai memiliki perilaku cenderung menjauhi
integrasi nasional. Bedanya adalah jika dalam pluralisme ekstrim, partai-partai yang ada
dibiarkan dalam kompetisi yang bebas dalam meraih kekuasaan, namun dalam sistem
kepartaian hegemoni hanya ada satu partai yang menguasai pemerintahan meskipun partai
yang lain tetap diizinkan untuk ikut berpartisipasi. Sebagai contoh dalam pemerintahan masa
orde baru di Indonesia, hanya Golkar yang mampu berkuasa selama kurang lebih 32 tahun
pemerintahannya. Dalam kurun waktu tersebut, pemerintahan cenderung stabil karena
memang oposisi ditekan seminimal mungkin keberadaannya sehingga pemerintahan yang ada
menjadi stabil. Namun ketika masyarakat mulai bosan dengan hegemoni partai yang ada, hal
dapat menciptakan sebuah goncangan yang hebat dalam pemerintahan sebagaimana
tercermin dalam peristiwa di tahun 1998.

DAFTAR PUSTAKA
Fadjar, Abdul Mukthie. 2012. Partai Politik Dalam Perkembangan Ketatanegaraan
Indonesia. Malang: Setara Press.

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.

You might also like