Professional Documents
Culture Documents
Cultrural Anthropology
( Dewi Marlina / MC11-1B /
2007110369 )
1
Daftar Isi
Halaman judul
................................................................................. i
Daftar isi
................................................................................ ii
Kata Pengantar
................................................................................. 1
BAB I
Pendahuluan .............................................................
............. 2
BAB II
Demografi ..............................................................
........... 3
BAB III Unsur
Budaya .......................................................................
7
A. Sistem
Bahasa ..............................................................
....... 7
B. Sistem
Pengetahuan .....................................................
...... 9
C. Sistem
Teknologi ..........................................................
...... 12
2
D.Organisasi
Sosial ................................................................
14
E. Mata
Pencaharian ......................................................
....... 16
F. Sistem
Religi ................................................................
...... 16
G.Kesenian ...........................................................
................. 18
BAB IV Daftar
Pustaka ....................................................................
26
BAB V Biografi
Penulis ......................................................................
27
3
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, dalam era mobilitas individu yang sangat tinggi di mana
tidak selaras dengan pendeskripsian seluruh suku bangsa, yang semakin
jarang ditemukan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh keberadaan suku –
suku bangsa dengan populasi berjumlah sekitar ratusan atau ribuan orang
sudah sangat langka. Untuk memperjelas seberapa jauh kemajemukan
suatu masyarakat atau bangsa, khususnya di Indonesia bukan merupakan
tujuan dari penulisan etnografi ini. Melainkan untuk menambah rasa
saling pengertian antar sesama suku bangsa dan juga membantu tugas
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta berguna bagi
pengembangan ilmu pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan
suatu bangsa.
Menurut Data Sensus Penduduk tahun 1930, jumlah anggota suku
bangsa Batak lebih kurang 1.000.000 jiwa yang berarti bahwa suku
bangsa Batak merupakan salah satu dari delapan suku bangsa di
Indonesia yang anggotanya berjumlah 1.000.000 jiwa atau lebih, di
samping suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Minangkabau, Melayu,
dan Bugis.
Rumpun bangsa Batak tidak hanya terdiri dari satu suku saja,
melainkan terdiri atas enam etnis atau suku yaitu Toba, Mandailing,
Angkola, Pakpak/ Dairi, Simelungun dan Karo. Dalam kesempatan ini, saya
akan membahas lebih dalam mengenai subsuku bangsa Karo.
Ketertarikan saya untuk membahas masyarakat Karo lebih jauh adalah
menemukan suatu hal yang merupakan pegangan hidup Karo yang
diturunkan oleh nenek moyang, yaitu surat ukat2 yang berisi NDI-NTA,
artinya memberi lebih dahulu daripada meminta. Sehingga hal demikian
akan mencerminkan masyarakat Karo yang mendahulukan aspek sosial
terlebih dahulu daripada aspek ekonomi.
4
BAB II
DEMOGRAFI
5
wilayah sekitar 5.000 kilometer persegi yang secara astronomis terletak
sekitar antara 3′ dan 3′30″ lintang utara serta 98′ dan 98′30″ bujur timur.,
yaitu Danau Toba, yang kini dikenal sebagai daerah wisata alam yang
indah dan terkenal serta banyak dikunjungi wisatawan. Rumpun bangsa
Batak terdiri atas enam etnis atau suku yaitu Toba, Mandailing, Angkola,
Pakpak/ Dairi, Simelungun dan Karo.
Kerajaan Batak didirikan oleh seorang Raja dalam negeri Toba sila-
silahi (silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan.
Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian yang bernama Alang
Pardoksi (Pardosi). Masa kejayaan kerajaan
Batak dipimpin oleh raja yang bernama. Sultan
Maharaja Bongsu pada tahun 1054 Hijriyah
berhasil memakmurkan negerinya dengan
berbagai kebijakan politiknya.
Karo
Lokasi dan batas geografis
6
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli
Serdang
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba
Samosir
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan
Kabupaten Simalungun
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara
(Propinsi NAD)
Wilayah Tanah Karo tersusun atas dua wilayah utama sebagai berikut:
7
Jumlah penduduk
8
Gunung Sibayak- Gunung Raja menurut pengertian nenek moyang
9
BAB III
UNSUR BUDAYA
A. Sistem bahasa
Tingkatan bahasa
10
b. Dialek Kabanjahe “ Cakap orang julu “ di daerah Kecamatan
Kabanjahe, Tigapanah, Barusjahe, Simpang Empat dan
Payung.
11
f. Bilang – bilang adalah kata-kata yang dilagukan atau
didendangkan berupa ratapan peleh orang (biasanya kaum
wanita) yang sedang mengalami kemalangan.
B. Sistem Pengetahuan
Masyarakat Karo mengenal penanggalan hari dan bulan serta
pembagian waktu siang dan malam hari. Satu bulan dibagi dalam 30
hari dan satu tahun dibagi dalam 12 bulan dan masing-masing ada
namanya. Adapun nama-nama hari dalam satu bulan adalah sebagai
berikut :
1. Aditia 10. Nggara sepuluh
12
19. Beras pati sepuluh 25. Budaha medem
siwah
26. Beras pati medem
20. Cukera dua puluh
27. Cukera mate
21. Belah turun
28. Mate bulan
22. Aditia turun
29. Dalan bulan
23. Suma
30. Samis
24. Nggara simbelin
Adapun jumlah bulan untuk satu tahun dihitung dengan dua belas.
Nama-nama bulan dan hewan atau benda apa yang bersmaan
dengan bulan itu adalah sebagai berikut :
13
3. Ciger (11.00 - 13.00 )
1. Pustima – Barat
5. Mangabia – Barat Laut
2. Purba – Timur
6. Aguni – Tenggara
3. Utara – Utara
7. Iresen – Timur Laut
4. Daksina – Selatan
8. Nariti – Barat Daya
Aksara Karo
14
Jadi induk huruf terdiri dari dua huruf pada tulisan dan bunyi latin.
Huruf –huruf Karo semuanya berbunyi akhir dengan “a”, kecuali
pada induk “i” dan “u”
C. Sistem Teknologi
Hasil tenunan
• Uisgara
Dipakai untuk selimut bagi kaum pria dan wanita, juga sebagai
tudung harian wanita.
15
• Uis nipes
• Uis arinteneng
Hasil anyaman
16
• Belanga ( kuali )
Orang Karo membuat alat penangkap hewan dan ikan terbuat dari
bambu, kayu, lidi, ijuk, dan besi. Antara lain :
• Ragum ( penangkap tikus dari bahan kawat dan besi )
• Tuktak dan siding ( penangkap tikus, burung dan ular yang terbuat
dari kayu dan bambu),dll.
• Cuan (cangkul )
• Bekong ( beliung )
• Kapak ( kampak )
17
D. Organisasi Sosial
a. Perkawinan
Perkawinan pada masyarakat Karo bersifat
eksogami dan memiliki struktur hubungan
asymmetrical connubium, artinya pertukaran
wanita tidak terjadi secara timbal-balik antara
dua kelompok kerabat, melainkan bergerak ke
satu arah, misalnya kelompok A memberikan
wanita kepada kelompok B, kelompok B kepada
kelompok C, kelompok C kepada kelompok D,
kelompok D kepada kelompok A.
Dalam sistem ini, seorang anak laki-laki idealnya menikah
dengan anak perempuan saudara laki-laki ibu atau cross-cousin
matrilinealnya. Di samping itu, ada larangan menikah dengan anak
perempuan saudara perempuan ayah ( turang impang ), karena anak
perempuan saudara perempuan ayah ini dianggap seperti saudara
kandung sendiri sehingga tidak boleh dikawini. Dalam suatu
perkawinan, inisiatif melamar dilakukan oleh pihak laki-laki dengan
mengirimkan delegasi ke rumah si gadis. Kunjungan ini disebut
nungkuni, dan apabila lamaran diterima selanjutnya diadakan
perundingan ( ngembah manuk )antara kedua belah pihak untuk
membicarakan jumlah mas kawin ( tukur ) yang harus diberikan. Hal
lain yang dibicarakan adalah jumlah harta yang akan diterima
saudara laki-laki ibu si gadis ( bere-bere ), saudara laki-laki ibu dari
ibu si gadis ( perkempun ), saudara-saudara perempuan ibu si gadis
(perbibin), anak beru ayah si gadis ( perkembaren ), dan saudara
laki-laki ibu si pemuda ( ulu emas). Kemudian dibicarakan pada
waktu pelaksanaan perkawinan (peturken).
.
b. Kekerabatan
Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo, baik
berdasarkan pertalian darah maupun pertalian karena hubungan
perkawinan, dapat direduksi menjadi tiga jenis kekeluargaan, yaitu:
kalimbubu, senina atau sembuyak, dan anak beru, yang biasanya
disimpulkan dalam banyak istilah, tetapi maksudnya sama yaitu:
daliken si telu sama dengan sangkep si telu, iket si telu, rakut si telu.
Pada suku-suku Batak yang lain seperti Toba, Mandailing, dan
Angkola, maksud yang sama dikenal dengan istilah dalihan na tolu.
Daliken si telu (daliken adalah tungku batu tempat memasak di
dapur, sedangkan si telu adalah tiga). Hubungan antara ketiganya
tidak dapat dipisahkan di dalam hal adat, menyusupi aspek-aspek
kehidupan secara mendalam, menentukan hak-hak dan kewajiban di
dalam masyarakat, di dalam upacara-upacara, hukum, dan di zaman
yang lampau mempunyai arti yang penting di dalam kehidupan
ekonomi dan politik. Pada masa sebelum penjajahan Belanda, juga
termasuk ritual, dan segala aktifitas sosial. Di dalam sangkep si telu
inilah terletak azas gotong-royong, dan musyawarah dalam arti kata
yang sedalam-dalamnya
E. Mata Pencaharian .
Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di
sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan
marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi tidak boleh
menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki
perseorangan. Peternakan juga salah satu mata pencaharian suku
batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan
bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar
danau Toba. .
Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan,
ukiran kayu, temmbikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.
F. Religi .
Menurut catatan data pada tahun 1983 bahwa prosentase
pemeluk agama di kabupaten Karo adalah sebagai berikut : Kristen
Protestan 46,31 %, Katolik 12,95 %, Islam 19,03 %, Hindu Budha dan
lainnya 21,70 %.
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi
batak selatan . Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan
penyebaranya meliputi batak utara. Walaupun demikian banyak sekali
masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih mempertahankan
konsep asli “animisme” ( kepercayaan akan adanya jiwa dan roh di
dalam anthropologi kebudayaan ) yang biasanya menjadi religi –
Berikut adalah kepercayaan orang Karo, pertama, “Dibata” ( Tuhan ) /
Debeta Mula Jadi Na Balon sebagai maha pencipta segala yang ada di
alam raya dan dunia; Siloan Na Balom: berkedudukan sebagai
penguasa dunia mahluk halus. Mereka juga percaya akan adanya
“tenaga gaib” yaitu semangat yang berkedudukan di batu-batu besar,
kayu besar, sungai, gunung dan hal ini biasa dikenal sebagai
“dinamisme”
Kedua, roh manusia yang masih hidup disebut “tendi”. Sedang
roh manusia kemudian mati yang lazim disebut arwah atau “begu”
menurut orang Karo. “Tendi” atau jiwa atau roh manusia yang masih
hidup dan sewaktu-waktu bisa meninggalkan badan manusia, maka
diperlukan pengadaan upacara yang dipimpin oleh “guru si baso”
(datu atau dukun) agar “tendi” tadi segera kembali ke badan manusia
tersebut; Sahala yang berarti jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki
seseorang. Orang batak juga percaya akan kekuatan sakti dari jimat
yang disebut Tongkal.
• “Silanen” adalah batu besar yang letaknya tidak begitu jauh dari desa.
Biasa orang menaruh sesuatu sebagai sesajen di atas batu ini sambil
menyampaikan keinginannya.
G. Kesenian
• Seni Bangunan
Rumah Adat
Rumah adat orang Karo ini biasanya didiami oleh 8 kepala keluarga(ada
juga 16 kepala keluarga, seperti Rumah “ empat ture” (empat sisi pintu
muka)di kampung Batukarang, Tanah Tinggi Karo. Tinggi rumah adat ini
sekitar 30 meter, beratapkan ijuk dan pada tiap muka dari atapnya
dipasang tanduk kerbau.
Si waluh jabu
Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu :
a. Rumah sianjung-anjung
Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih,
yang dapat juga terdiri atas sat atau dua tersek dan diberi
bertanduk.
b. Rumah Mecu.
Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka
dua mempunyai sepasang tanduk.
Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas
dua yaitu:
Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan
dihuni oleh delapan keluarga. Malahan kampung Munte ada rumah
adat yang dihuni oleh enam belas keluarga. Dalam hal rumah adat
dihuni oleh delapan keluarga, sementara dapuar dalam rumah adat
hanya ada empat, masing-masing jabu dibagi dua, sehingga
terjadilah jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu,
sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.
• Seni Tarian
Seni suara
h. Belobat ialah beluat terbuat dari bambu yang merupakan alat tiup.
Beberapa jenis ulos yang dikenal dalam adat Batak adalah sebagai
berikut:
1. Ulos Ragidup
Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan.
Dinamakan demikian karena warna, lukisan serta coraknya memberi
kesan seolah-olah ulos ini benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah
yang tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos ini
terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu
bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan sangat rumit. Ulos
Rangidup bisa ditemukan di setiap rumah tangga suku batak di
daerah-daerah yang masih kental adat bataknya. Karena dalam
upacara adat perkawinan, ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin
perempuan kepada ibu pengantin lelaki
2. Ulos Ragihotang
Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi,
namun cara pembuatannya tidak serumit ulos Ragidup. Dalam
upacara kematian, ulos ini dipakai untuk mengafani jenazah atau
untuk membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan
kedua kalinya .
3. Ulos Sibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa
dalam mabolang-bolangi (menghormati) orang tua pengantin
perempuan untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki pada upacara
pernikahan adat batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua
pengantin perempuan memberikan Ulos Bela yang berarti ulos
menantu kepada pengantin laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA