You are on page 1of 59

Suku Batak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari


Gaya penulisan artikel atau bagian ini tidak atau kurang cocok untuk Wikipedia.
Silakan lihat halaman pembicaraan. Lihat juga panduan menulis artikel yang lebih baik.
"Batak" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain dari Batak, lihat Batak (disambiguasi).

Suku Batak

Rumah Batak Taman Mini Indonesia Indah

Jumlah populasi

k.l 3.000.000 jiwa.


Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Sumatra Utara: 1.285.600 jiwa.
Bahasa
Batak
Toba
Mandailing-Angkola
Karo
Simalungun
Pakpak-Dairi
Nias
Agama
Kristen
Islam
Parmalim
Buddha
Hindu
Kelompok etnis terdekat
Suku Gayo
Suku Alas
Suku Nias
Batak adalah nama sukubangsa di Indonesia. Suku ini bermukim di Sumatra Utara. Suku Batak ini berdiaspora
ke berbagai penjuru Indonesia. Diperkirakan di wilayah Jabodetabek saja sudah mencapai lebih dari 200.000
jiwa. Lebih banyak orang Batak bermukim di luar daerah asalnya yakni Tapanuli, Simalungun, dan Karo. 14%
penduduk kota Medan adalah orang Batak, sehingga secara nasional orang Batak sering disebut sebagai orang
Medan, karena kota Medan adalah kota terbesar di Sumatera Utara dengan penduduk 2,3 juta jiwa dan
pertumbuhan kota yang sangat pesat yang di dominasi oleh etnis Jawa dan Cina, orang Batak yang 85% hidup
di pedesaan malu jika mengaku dari desa. Maka, banyak orang Batak sering mengaku dari Medan (Maksudnya
'Sumatera Utara').

Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi dan ada pula yang
menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan
animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu), walaupun kin jumlah penganut Parmalim dan Pelebegu ini sudah
semakin berkurang.

Suku Batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara yakni sebagian besar di
Tapanuli, Simalungun, Karo, serta Nias dan Pakpak-Dairi -- kedua wilayah terakhir ini termasuk wilayah
Tapanuli. Sub-suku Batak terdiri dari Toba yang bermukim di wilayah Toba yakni Toba, Silindung, Samosir,
dan Humbang; Angkola yang bermukim di wilayah Tapanuli Selatan, Sipirok dan Angkola; Mandailing yang
bermukim di Mandailing Natal; Simalungun di daerah Simalungun; Karo di daerah Karo; Pakpak Dairi
bermukim di daerah Pakpak dan Dairi. Bahkan dalam pelajaran antropologi yang diajarkan di sekolah-sekolah
bahwa Nias, Alas dan Gayo dikelompokkan dalam sub Suku Batak. Dalam dua dasawarsa terakhir ini terbentuk
pula sub-suku Batak lainnya, yakni Batak Pesisir. Ir. Akbar Tanjung, mantan Ketua DPR-RI, pertama kali
menjadi ketua Persatuan Batak Pesisir ini. Sub-suku Batak Peisisir ini bermukim (tersebar) di daerah-daerah
pesisir pantai Timur Sumatera yakni Asahan, Labuhan Batu dan Rantau Prapat, juga pantai Barat Sumatera
yakni Sibolga dan Barus di Tapanuli Tengah.

Pengelompokan sub suku Batak dilakukan berdasarkan wilayah pemukimannya, darpada karena garis
keturunan.

Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan
wilayah pemukiman (teritorial).

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja
Batak, dimana semua sub suku Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman
(teritorial) terlihat dari terbentuknya, tersepakatinya suatu tradisi adat-istiadat di setiap wilayah. Bagi orang
Batak yang bermukim di wilayah Mandailing, misalnya, terbentuk suatu tradisi adat-istiadatyang memiliki
corak tersendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku Batak yang bermukim di Toba, walaupun marga-marga
yang bermukim di Mandailing dan Toba banyak yang sama, seperti marga Siregar, Lubis, Hasibuan, dan
Batubara.

Untuk menggambarkan betapa kedua bentuk kekerabatan ini memiliki daya rekat yang sama, ada perumpamaan
dalam bahasa Batak Toba berbunyi demikian: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. Artinya,
semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem
kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah.

Jadi pembagian sub-suku Batak lebih ditentukan oleh wilayah pemukiman atau Bius daripada garis keturunan
silsilah
[sunting] Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatan
(kekerabatan)nya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-
hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal. Dalam Bahasa Batak Angkola Dalihan na Tolu terdiri dari
Mora,Kahanggi dan Anak Boru

Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam
pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan
harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

Dongan Tubu/Kahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya
lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang,
walaupun karena saking dekatnya terkadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu
marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu.
Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara
semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini
menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun
(terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa
diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek
marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah
bersifak kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai
Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan
Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam
sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raji no
Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

[sunting] Kepercayaan

Orang Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh misionaris Jerman, Nomensen pada
tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di huta Dame, Tarutung.
Saat ini gereja HKBP telah tersebar di seluruh Indonesia. Sebelum suku Batak menganut agama Kristen
Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki
kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:

• Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa
kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan
seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap
(menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
• Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi
tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para
raja atau hula-hula.
• Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia,
hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut
agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan
yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka. Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular
(ulok) dengan boru Hutabarat bahwa boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila
dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.

[sunting] Tarombo
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tarombo

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak
mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum laki-
laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman
semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam
suatu klan atau marga.

[sunting] Falsafah

Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhulahula (hormat pada
pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu
(kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini
menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.

[sunting] Sejarah

Sejarah Batak modern dipengaruhi oleh dua agama Samawi yakni Islam dan Kristen. Islam makin kuat
pengaruhnya pada saat Perang Padri, melalui aktivitas dakwah yang dilakukan para da'i dari Minangkabau.
Perluasan dan penyebaran agama Islam hingga memasuki daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinan Tuanku
Rao, namun tidak berhasil. Islam hanya berkembang di kalangan Mandailing dan sebagian Angkola.

Agama Kristen baru berpengaruh di kalangan Angkola dan Batak setelah beberapa kali misi Kristen yang
dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan
tugas pendahulunya menyebarkan agama Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang
berada di sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian bertukang untuk kaum
pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi kaum ibu. Pelatihan dan pengajaran ini kemudian
berkembang hingga akhirnya berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli.
Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua rumah sakit yang ada
saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Sementara itu, perkembangan pendidikan formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi
bernama Universitas HKBP I.L. Nommensen (UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi universitas swasta
pertama yang ada di Sumatra Utara dan awalnya hanya terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.
[sunting] Kontroversi

Belakangan sebagian orang Simalungun, Karo dan Nias tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari (sub-suku)
Batak. Sementara Suku Alas, Suku Gayo, dan Suku Kluet dalam pergaulan sehari-hari sejak Indonesia merdeka
tidak menyebut diri sebagai bagian dari suku Batak.

Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Tapanuli, Karo, Toba,
Mandailing dan Angkola sebagai etnis Batak.[1]

[sunting] Referensi

1. ^ (en) Leo Suryadinata, Evi Nurvidya arifin, Aris Ananta, Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a
Changing Political Landscape, Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, hal.48.

Artikel bertopik Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan
mengembangkannya.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak"

Jumlah populasi

k.l 3.000.000 jiwa.


Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Sumatra Utara: 1.285.600 jiwa.
Bahasa
Batak
Toba
Mandailing-Angkola
Karo
Simalungun
Pakpak-Dairi
Nias
Agama
Kristen
Islam
Parmalim
Buddha
Hindu
Kelompok etnis terdekat
Suku Gayo
Suku Alas
Suku Nias
Sejarah Suku Batak

Artikel ini sebenarnya saya dapat ketika di SMA. Saya lupa link-nya, tetapi saya sangat bangga bisa
membaca artikel ini dan menetahui yang sebenarnya tentang sejarah suku Batak. Suku yang sangat saya cintai,
karena saya adalah orang Batak, haahhaha

♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥

Sejarah Batak

Permulaan Generasi Pertama Manusia

Tersebutlah dalam kitab-kitab suci bangsa Timur Tengah bahwa Adam, yang dianggap sebagai manusia
pertama dan Nabi pertama, mulai mengembangkan generasinya bersama Siti Hawa, Nenek Moyang Manusia
yang ditemukan kembali setelah didamparkan di daerah India dari Surga.

Generasi berikutnya mulai melahirkan beberapa kelompok Bangsa. Bangsa Semetik kemudian menurunkan
Bangsa Arab dan Israel yang selalu berperang. Khabarnya perpecahan kedua bangsa ini dimulai sejak Nabi
Ibrahim. Bangsa Syam yang kemudian dikenal sebagai ras Aryan, menurunkan Bangsa Yunani dan Roma yang
menjadi cikal bakal Eropa (Hitler merupakan tokoh ras ini yang ingin memurnikan bangsa Aryan di samping
Bangsa Braminik yang chauvinistik dan menjadi penguasa kasta tinggi di agama Hindu), Nordik, Patan,
Kaukasian, Slavia, Persia (Iran) dan India Utara (semisal Punjabi, Kashmir dan Gujarat) berkulit putih serta
bule-bule lain sebangsanya.

Bangsa Negroid menurunkan bangsa Afrika dan beberapa bangsa berkulit hitam lainnya di dunia seperti Bangsa
Dravidian (India berkulit Hitam), Papua, Samoa, Aborigin di Autralia, Asmat dan bangsa lain yang hidup di
kepulauan Polinesia, Samudera Pasifik.

Bangsa Tatar menurunkan Ras Mongoloid yang terdiri dari bangsa Mongol; Cina, Korea, Uzbek, Tazik,
Kazakh, Kazan di Rusia, bangsa Nomad penghuni Kutub Utara dan Selatan bermata cipit, Hokkian yang
menjadi Konglomerat dan Mafia di Indonesia serta Bangsa Maya, Suku Indian dan lain sebagainya yang
menjadi penduduk asli benua Amerika dan yang kedua; Ras Austronesia, yang menyebar di Madagaskar,
Afrika, Batak; Proto Malayan dan Neo Malayan; Melayu, Jawa dan lain-lain.
Penyebaran populasi manusia terjadi paska “Tsunami” pertama atau dikenal sebagai Banjir Bah di jaman Nabi
Nuh AS. Di jaman ini pula ada sebuah komunitas manusia yang konon mempunyai tinggi badan 15-30 meter
punah ditelan banjir karena kesombongannya. Peneliti antropologi Amerika di awal abad 20 menemukan
kembali bangsa ini di pedalaman Afrika, namun lokasinya dirahasiakan oleh pihak militer yang tertarik untuk
mengambil sampel komunitas ini untuk rekayasa gen tentara AS. Penelitian juga diarahkan untuk
menghidupkan kembali Bangsa Dinosaurus, sejenis binatang purba, yang juga mati tenggelam karena tidak
sempat dan tidak ‘muat’ dimasukkan di kapal Nabi Nuh

3000-1000 SM (Sebelum masehi)

Bangsa Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai bermukim di perbatasan
Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah
kelompok Bangsa Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur, Mizoram. Tiga yang
terakhir ini sekarang berwarga negara India. Adat istiadat mereka dan aksesoris pakaian yang dimiliki sampai
sekarang masih mirp dengan pakaian Batak, misalnya pernik dan warna ulos.
Sifat dominan dari ras ini adalah kebiasaan hidup dalam Splendid Isolation di lembah lembah sungai dan di
puncak-puncak pegunungan. Mereka sangat jarang membuat kontak bersifat permanen dengan pendatang yang
berasal dari komunitas lainnya misalnya komunitas yang berada di tepi pantai, pesisir, yang saat itu banyak
dipengaruhi oleh ideologi yang berbeda dengan mereka, misalnya Hinduisme (Yang disinyalir sebagai ajaran
turunan dari agama Nabi Nuh AS), Zoroaster, Animisme gaya Yunani dan Romawi dan juga paham-paham
baru seperti Buddha, Tao dan Shintoisme

Sifat tersebut masih membekas dan terus dipertahankan oleh orang-orang Batak hingga abad 19. Sampai saat
ini, diperkirakan suku bangsa yang berasal dari ras ini masih mempertahankan kebiasaan ini, terutama Bangsa
Tayal, bangsa pribumi di Taiwan, Orang-orang Bontoc dan batak Palawan penghuni pertama daerah Filipina.

1000 SM

Bangsa Mongol yang dikenal bengis dan mempunyai kemajuan teknologi yang lebih tinggi berkat hubungan
mereka yang konsisten dengan berbagai bangsa mulai bergerak ke arah selatan. Di sana, keturunan mereka
menyebut dirinya Bangsa Syan dan kemudian menciptakan komunitas Burma, Siam (Thai) dan Kamboja yang
kemudian menjadi cikal-bakal negara.
Ras Proto Malayan mulai terdesak. Ketertutupan mereka menjadi bumerang karena teknologi mereka tidak up
to date. Sebagian dari mereka kemudian mulai meninggalkan daerah-daerah tersebut, menempuh perjalanan
untuk mencari daerah baru bahkan ke seberang lautan, di mana mereka akan menikmati hidup dalam ‘splendid
isolation’ kembali.

Bangsa Bontoc bergerak ke daerah Filipina, Bangsa Toraja ke selatannya, Sulawesi. Di Filipina, Batak Palawan
merupakan sebuah suku yang sampai sekarang menggunaka istilah Batak. Saudara mereka bangsa Tayal
membuka daerah di kepulauan Formosa, yang kemudian, beberapa abad setelah itu, daerah mereka diserobot
dan kedamaian hidup mereka terusak oleh orang-orang Cina nasionalis yang kemudian menamakannya Taiwan.

Yang lain, Bangsa Ranau terdampar di Lampung. Bangsa Karen tidak sempat mempersiapkan diri untuk
migrasi, mereka tertinggal di hutan belantara Burma/Myanmar dan sampai sekarang masih melakukan
pemberontakan atas dominasi Suku Burma atau Myamar yang memerintah.

Selebihnya, Bangsa Meo berhasil mempertahankan eksistensinya di Thailand. Bangsa Naga, Manipur, Mizo,
Assamese mendirikan negara-negara bagian di India dan setiap tahun mereka harus berjuang dan berperang
untuk mempertahankan identitas mereka dari supremasi bangsa Arya-Dravidian, yakni Bangsa India, yang
mulai menduduki daerah tersebut karena over populasi.
Bangsa Batak sendiri, selain terdampar di Filipina, sebagian terdampat di kepulauan Andaman (sekarang
merupakan bagian dari India) dan Andalas dalam tiga gelombang.

Yang pertama mendarat di Nias, Mentawai, Siberut dan sampai ke Pulau Enggano. Gelombang kedua
terdampar di muara Sungai Simpang. Mereka kemudian bergerak memasuki pedalaman Pulau Andalas
menyusuri sungai Simpang Kiri dan mulai mendirikan tempat di Kotacane. Komunitas ini berkembang dan
membuat identitas sendiri yang bernama Batak Gayo. Mereka yang menyusuri Sungai Simpang Kanan
membentuk Komunitas Batak Alas dan Pakpak. Batak Gayo dan Alas kemudian dimasukkan Belanda ke peta
Aceh.

Mainstream dari Suku bangsa Batak mendarat di Muara Sungai Sorkam. Mereka kemudian bergerak ke
pedalaman, perbukitan. Melewati Pakkat, Dolok Sanggul, dan dataran tinggi Tele mencapai Pantai Barat Danau
Toba. Mereka kemudian mendirikan perkampungan pertama di Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong Mulana
di seberang kota Pangururan yang sekarang. Mitos Pusuk Buhit pun tercipta.
Masih dalam budaya ‘splendid isolation’, di sini, Bangsa Batak dapat berkembang dengan damai sesuai dengan
kodratnya. Komunitas ini kemudian terbagi dalam dua kubu. Pertama Tatea Bulan yang dianggap secara adat
sebagai kubu tertua dan yang kedua; Kubu Isumbaon yang di dalam adat dianggap yang bungsu.

Sementara itu komunitas awal Bangsa Batak, jumlahnya sangat kecil, yang hijrah dan migrasi jauh sebelumnya,
mulai menyadari kelemahan budayanya dan mengolah hasil-hasil hutan dan melakukan kontak dagang dengan
Bangsa Arab, Yunani dan Romawi kuno melalui pelabuhan Barus. Di Mesir hasil produksi mereka, kapur
Barus, digunakan sebagai bahan dasar pengawetan mumi, Raja-raja tuhan Fir’aun yang sudah meninggal.
Tentunya di masa inilah hidup seorang pembawa agama yang dikenal sebagai Nabi Musa AS.

1000 SM – 1510 M

Komunitas Batak berkembang dan struktur masyarakat berfungsi. Persaingan dan Kerjasama menciptakan
sebuah pemerintahan yang berkuasa mengatur dan menetapkan sistem adat.

Ratusan tahun sebelum lahirnya Nabi Isa Al Masih, Nabi Bangsa Israel di Tanah Palestina, Dinasti Sori
Mangaraja telah berkuasa dan menciptakan tatanan bangsa yang maju selama 90 generasi di Sianjur Sagala
Limbong Mulana.

Dinasti tersebut bersama menteri-menterinya yang sebagian besar adalah Datu, Magician, mengatur
pemerintahan atas seluruh Bangsa Batak, di daerah tersebut, dalam sebuah pemerintahan berbentuk Teokrasi.

Dinasti Sorimangaraja terdiri dari orang-orang bermarga Sagala cabang Tatea Bulan. Mereka sangat disegani
oleh Bangsa Batak di bagian selatan yang keturunan dari Tatea Bulan.

Dengan bertambahnya penduduk, maka berkurang pula lahan yang digunakan untuk pertanian, yang menjadi
sumber makanan untuk mempertahankan regenerasi. Maka perpindahan terpaksa dilakukan untuk mencari
lokasi baru. Alasan lain dari perpindahan tersebut adalah karena para tenaga medis kerajaan gagal membasmi
penyakit menular yang sudah menjangkiti penduduk sampai menjadi epidemik yang parah.

Perpindahan diarahkan ke segala arah, sebagain membuka pemukiman baru di daerah hutan belukar di arah
selatan yang kemudian bernama Rao, sekarang di Sumatera Barat. Beberapa kelompok di antaranya turun ke
arah timur, menetap dan membuka tanah, sekarang dikenal sebagai Tanjung Morawa, daerah di pinggir Kota
Medan.

450 M

Daerah Toba telah diolah dan dikelola secara luas oleh rakyat kerajaan tersebut. Mereka yang dominan terutama
dari kubu Isumbaon, kelompok marga Si Bagot Ni Pohan, leluhur Annisa Pohan, menantu SBY, Presiden
pilihan langsung pertama RI. Di daerah ini bermukim juga kaum Tatea Bulan yang membentuk kelompok
minoritas terutama dari marga Lubis.
Sebagian dari Lubis terdesak ke luar Toba dan merantau ke selatan. Sebagain lagi menetap di Toba dan Uluan
hingga kini. Keturunannya di Medan mendirikan banyak lembaga sosial terutama Pesantren Modern Darul
Arafah di Pinggiran Kota
Medan.
Di daerah Selatan kelompok marga Lubis harus bertarung melawan orang-orang Minang. Kalah. Perantauan
berhenti dan mendirikan tanah Pekantan Dolok di Mandailing yang dikelilingi benteng pertahanan.

Mereka kemudian berhadapan dengan bangsa Lubu, Bangsa berkulit Hitam ras Dravidian yang terusir dari
India, melalui Kepulauan Andaman berkelana sampai daerah muara Sungai Batang Toru. Bangsa Lobu
tersingkir dan kemudian menetap di hutan-hutan sekitar Muara Sipongi. Bila di India Bangsa Arya meletakkan
mereka sebagai bangsa terhina, ‘untouchable’; haram dilihat dan disentuh, maka nasib sama hampir menimpa
mereka di sini. Saudara Bangsa Lubu, Bangsa Tamil migrasi beberapa abad kemudian, dari India Selatan,
membonceng perusahaan-perusahaan Eropa dan membentuk Kampung Keling di Kerajaan Melayu Deli,
Medan.

600-1200

Komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari Dinasti Batak, Dinasti Sori Mangaraja
di pusat. Mereka mendirikan kerajaan Nagur. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita
dan Simanindo di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur di tangan orang Batak Gayo mendirikan
kerajaan Islam Aceh.

Simalungun merupsakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan marga tersebut berasal
dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang
Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak;
Pohon Karet.

Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang mengusir mereka dari
daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di
antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa
Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi bajak laut di
Lautan Cina Selatan.

Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat setempat.
Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari
kota Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman
Simalungun.
Di daerah pesisir Barat, Barus, kota maritim yang bertambah pesat yang sekarang masuk di Kerajaan Batak
mulai didatangi pelaut-pelaut baru, terutama Cina, Pedagang Gujarat, Persia dan Arab. Pelaut-pelaut Romawi
Kuno dan Yunani Kuno sudah digantikan oleh keturunan mereka pelaut-pelaut Eropa yang lebih canggih,
dididikan Arab Spanyol. Islam mulai diterima sebagai kepercayaan resmi oleh sebagian elemen pedagang
Bangsa Batak yang mengimpor bahan perhiasan dan alat-alat teknologi lainnya serta mengekpor ‘Kemenyan’
komoditas satu-satunya tanah Batak yang sangat diminati dunia.

Islam mulai dikenal dan diterima sebagai agama resmi orang-orang Batak di pesisir; khusunya Singkil dan
Barus.

850 M

Kelompok Marga Harahap dari Kubu Tatea Bulan, bekas populasi Habinsaran bermigrasi massal ke arah Timur.
Menetap di aliran sungai Kualu dan Barumun di Padang Lawas. Kelompok ini sangat hobbi berkuda sebagai
kendaraan bermigrasi.

Karena ini, dalam jangka waktu yang singkat, sekitar dua tahun, mereka sudah menguasai hampir leuruh daerah
Padang Lawas antara sungai Asahan dan Rokan. Sebuah daerah padang rumput yang justru sangat baik untuk
mengembangbiakkan kuda-kuda mereka.

Sebagain dari kelompok marga ini, melalui Sipirok, menduduki daerah Angkola dan di sini tradisi mengembala
dan menunggang kuda hilang, mereka kembali menjadi komunitas agraris. Sementara di Padang Lawas mereka
menjadi penguasa feodalistik dan mulai emmeprkenalkan perdagangan budak ke Tanah Batak Selatan.

900 M

Marga Nasution mulai tebentuk di Mandailing. Beberapa ratus tahun sebelumnya, sejak tahun-tahun pertama
masyarakat Batak di sini, disinyalir saat itu zaman Nabi Sulaiman di Timur Tengah (Buku Ompu
Parlindungan), perbauran penduduk dengan pendatang sudah menjadi tradisi di beberapa tempat, khusunya
yang di tepi pantai.

Penduduk dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu (dikenal dengan sebutan Singkuang
atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan terutama elemen-elemen bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang
singgah sebelum berlayar berdagang menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan penuh toleransi dengan
bangsa Batak.

Para pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat Dalihan Natolu agar dapat
mempersunting wanita-wanita setempat setelah puluhan tahun di tengah laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan
dari Toba, seorang yang disegani saat itu, menyatukan mereka; campuran penduduk peribumi dan pendatang
tersebut, membentuk marga Nasution.

Sementara itu perebutan kekuasaan terjadi di Pusat Pemerintahan Kerajaan batak, martua Raja Doli dari
Siangjur Sagala Limbong Mulana dengan pasukannya merebut wilayah Lottung di Samosir Timur.
Percampuran keduanya membentuk kelompok Marga Lottung Si Sia Marina, yang terdiri atas; Situmorang,
Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang, Aritonang dan Siregar.

1050 M

Karena minimnya peralatan medis, epidemik melanda daerah Lottung kembali. Masyarakat Lottung Si Sia
Marina berhamburan ke luar dari wilayah tersebut menuju daerah yang “sehat”. Akibatnya, kelompok Marga
Siregar terpecah dua menjadi Siregar Sigumpar dan Siregar Muara, keduanya bermukin di Toba.

1293 – 1339 M

Penetrasi orang-orang Hindu yang berkolaborasi dengan Bangsa Jawa mendirikan Kerajaan Silo, di
Simalungun, dengan Raja Pertama Indra Warman dengan pasukan yang berasal dari Singosari. Pusat
Pemerintah Agama ini berkedudukan di Dolok Sinumbah. Kerak direbut oleh orang-orang Batak dan di atasnya
menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan Simalungun dengan identitas yang mulai terpisah dengan Batak.
Kerajaan Silo ini terdiri dari dua level masyarakat; Para Elit yang terdiri dari kaum Priayi Jawa dan Masyarakat
yang terdiri dari kelompok Marga Siregar Silo.
1331 – 1364

Di Nusantara, Kerajaan Majapahit timbul menjadi sebuah Negara Superpower. Sebelumnya, Sebagain Eropa
Barat dan Timur sampai ke Kazan Rusia, Asia Tengah dan Afrika Utara dan tentunya Timur Tengah didominasi
Kekuatan Arab yang juga menguasasi Samudera India, Atlantik dan sebagain Samudera Pasifik.. Kekuatan
Persia-Mongol tampak di India, Pakistan, Banglades dan sebagian China dan Indo-Cina serta beberapa
kepulauan Nusantara, mereka tidak kuat di laut. China menguasasi sebagian Samudera Pasifik khususnya laut
China Selatan. Sementara itu di pedalaman Eropa manusia masih hidup dalam pengaruh Yunani dan Romawi
yang Animis, mereka kemudian menjadi perompak dan pembajak laut. Di daerah nusantara kaum Hokkian
menguasasi jaringan ‘garong’ perompak yang terkadang lebih kuat dari kerajaan-kerajaan kecil melayu. Para
pembajak laut Eropa sesekali diboncengi kaum Fundamentalis Yahudi dan pendatang baru; kaum trinitas Gereja
barat yang berseberangan dengan Gereja timur yang unitarian dan menaruh dendam kesumat atas kejayaan
Arab.

1339

Pasukan ampibi Kerajaan Majapahit melakukan penetrasi di muara Sungai Asahan. Dimulailah upaya invasi
terhadap Kerajaan Silo. Raja Indrawarman tewas dalam penyerbuan tersebut. Kerajaan Silo berantakan,
keturunan raja bersembunyi di Haranggaol.

Pasukan Mojopahit di bawah komando Perdana Menteri Gajah Mada, mengamuk dan menghancurkan beberapa
kerajaan lain; Kerajaan Haru/Wampu serta Kesahbandaran Tamiang (sekarang Aceh Tamiang) yang saat itu
merupakan wilayah kedulatan Samudra Pasai.

Pasukan Samudra Pasai, di bawah komando Panglima Mula Setia, turun ke lokasi dan berhasil menyergap
tentara Majapahit di rawa-rawa sungai Tamiang. Gajah Mada bersma pengawal pribadinya melarikan diri ke
Jawa meninggalkan tentaranya terkepung oleh pasukan musuh.

Para Keturunan Indrawarman kembali ke kerajaan dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Dolok Siolo
dan Kerajaan Raya Kahean.

1339-1947.

Kerajaan Dolok Silo dan Raya Kahean berakulturasi menjadi kerajaan Batak/Simalungun, namun tetap berciri
khas Hindu/Jawa absolut. Konon kerajaan ini mampu berdiri selama 600 tahun. Menjadi dinasti tertua di
Kepulauan Indonesia di abad 20. Sekitar 250 tahun lebih tua dari Dinasti Mataram di Pulau Jawa.

Pada saat yang sama dua kerajaan lain muncul kepermukaan; Kerajaan Siantar dan Tanah Jawa. Raja di
Kerajaan Siantar merupakan keturunan Indrawarman, sementara Pulau Jawa, dipimpin oleh Raja Marga Sinaga
dari Samosir. Penamaan tanah Jawa untuk mengenang Indrawarman.

1350
Kelompok Marga Siregar bermigrasi ke Sipirok di Tanah Batak Selatan.
1416 – 1513
Pasukan Cina dibawah komando Laksamana Haji Sam Po Bo, Ceng Ho, dalam armada kapal induk mendarat di
Muara Labuh di muara Sungai Batang Gadis. Salah satu misi mereka; mengejar para bandit Hokkian tercapai.
Sebelum berangkat, pasukan Cengho yang berjumlah ribuah itu mendirikan industri pengolahan kayu dan
sekaligus membuka pelabuhan Sing Kwang (Singkuang=Tanah Baru).

1416-1513
Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam mulai berdatangan ke Sing Kwang dan berasimilasi dengan
penduduk khususnya kelompok marga Nasution. Para Tionghoa tersebut membeli Kayu Meranti dari pengusaha
setempat dan mengirimkannya ke Cina daratan untuk bahan baku tiang istana, kuil dan tempat ibadah lainnya.

1450-1500
Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khsuusnya dari kelompok marga Marpaung yang
bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di
Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dab Sungai Karang.

Perubahan terjadi di konstalasi politik dunia. Para bajak laut Eropa mulai mencari target operasi baru di
kepulauan Nusantara yang hilir mudik dilalui para pedagang-pedagang Internasional; Arab, Afrika, India,
Gujarat, Punjabi, Yunnan dan tentunya kelompok bajak laut lokal; Hokkian.

1450-1818
Kelompok Marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas garam ke Tanah Batak di pantai timur.
‘Splendidi Isolation’ Bangsa batak mulai terkuak. Yang positif bisa masuk namun tidak yang negatif.

Mesjid pribumi pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea, lebih kurang 400
tahun sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang
sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap beberap kilometer sebagai tempat persinggahan bagi
musafir-musafir Batak yang ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat
ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan. Siapapun berhak membeli, tidak ada
diskriminasi agama. Toleransi antara Islam dan Agama S.M.Raja berlangsung begitu erat dan hangat.

1508
Kerajaan Haru/Wampu yang berpopulasi orang-orang Batak Karo diinvasi oleh Kesultanan Aceh. Dalam
perkembangan politik berikutnya para keturunan Raja Haru/Wampu mendirikan kerajaan baru yang menjadi
cikal bakal Kesultanan Langkat.

1508-1523
Kesultanan Haru/Delitua tetap eksis di daerah pengairan sungai Deli namun kedulatannya berada dalam otoritas
Kesultanan Aceh. Penduduknya merupakan Batak Karo yang sudah memeluk agama Islam. Setelah
melemahnya dominasi Kesultanan Aceh, Kesultanan ini bertransformasi menjadi Kesultanan Deli.

Kelompok bajak laut Eropa setelah beberapa lama dikucilkan karena perangai ‘garongnya’ mulai
memperkenalkan diri kepada kerajaan-kerajaan nusantara sebagai ‘pedagang damai’. Taktik ini diambil agar
mereka dapat melakukan penetrasi ke wilayah kerajaan untuk pemetaan dan penentuan titik-titik serangan untuk
‘devide et impera’.

1510
Dinasti Sori Mangaraja, yang berpusat di Sianjur Limbong Mulana, dikudeta oleh Kelompok Marga Manullang.
Kejayaan dinasti ini, setelah 90 generasi berturut-turut memerintah, lenyap. Dinasti ini sendiri terdiri dari
Kelompok Marga Sagala dari kubu Tatea Bulan.

1516-1816
Di Daerah Batak Selatan, dengan populasi Tatea Bulan, Dinasti Sori Mangaraja meneruskan pengaruhnya di Si
Pirok. Secara de jure diakui oleh masyarakat Marga Siregar, Harahap dan Lubis. Secara mayoritas masyarakat
marga Nasution juga memberikan pengakuan sehingga Dinasti Sisingamagaraja yang memerintah tanah Batak
seterusnya, berpusat di Bakkara, tidak mendapat pengakuan yang menyeluruh.

1513
Kesultanan Aceh merebut pelabuhan-pelaburan pantai barat Pulau Andalas, untuk dijadikan jalur baru
perdagangan internasional ke Maluku via selat Sunda. Bajak laut Portugis menutup dan melakukan aksi bajing
loncat di Selat Malaka. Portugis mulai membawa kebencian agama ke Nusantara; diskriminasi agama
diterapkan dengan melarang pedagang Islam melalui Malaka. Cina Islam, Arab dan penduduk nusantara
menjadi korban pelecehan gaya Eropa.

Pengaruh internasionalisasi pelabuhan di Andalas, penduduk lokal Batak di lokasi tersebut; Singkil, Pansur,
Barus, Sorkam, Teluk Sibolga, Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen
sudah menganutnya.

Kelompok Marga Tanjung di Pansur, marga Pohan di barus, Batu Bara di Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam
Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas Islam pertama yang
menjalankan Islam dengan kaffah.

1513-1818
Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang
menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Marga Hutagalung di Silindung mendirikan
mesjid lokal kedua di Silindung.

Di Jerman, Kaum Protestan melepaskan diri dari hegemoni Gereja Katolik Roma.

1523
Orang-orang Eropa tidak sabar untuk menjarah Nusantara. Kesultanan Karo Muslim di Haru/Delitua
dimusnahkan oleh kaum Portugis. Ratu Putri Hijau, yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan raja-raja
Aceh, tewas. Sambil berzikir sang ratu diikat di mulut meriam lalu diledakkan. Kebrutalan perang
diperkenalkan oleh bangsa Eropa.

1550-1884
Dinasti Sisingamagaraja (SM Raja) tampil sebagai otoritas tertinggi di Tanah Batak, menggantikan Dinasti Sori
Mangaraja.

1581
Marga Rangkuti terbentuk. Terdiri dari orang-orang Jawa/Minang yang mengambil suaka politik di Mandailing
akibat perubahan politik di Kerajaan Pagarruyung di Minagkabau.

1593-1601
Intelektual lokal mulai tampil ke permukaan. Abdulrauf Fansuri terkenal sebagai ulama dan intelektual di dalam
ilmu fiqih, politik dan ilmu sosial lainnya.

Beberapa teorinya antara lain; Penghapusan perbedaan antara Kepala Negara dan Agama. Raja merupakan
otoritas kerajaan dan juga agama. Dia mensyaratkan bahwa Raja yang akan memangku jabatan ini bukan turun
temurun melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Teori ini kemudian diterima
oleh Kesultanan Aceh dan jawa.

Aceh, dalam ekspansinya, menguasai Fansur dan menghancurkan kejayaan pelabuhan ini. Duaratus tahun
setelah itu Dinasti Sori Mangaraja membangunnya kembali dan memberikan nama baru; Pelabuhan ‘Gosong’.

Eropa mulai bangkit melewati masa kegelapan. Ibarat bangsa kelaparan mereka berhamburan ke penjuru dunia
untuk membangun negara-negaranya. Bangsa Inggris mulai membuat pertapakan pertama di Pelabuhan Tapian
Na Uli di tepi teluk Sibolga. Titik ini sangat mendukung untuk pemenuhan logistik mereka untuk menjarah
bagian-bagian lain di Nusantara. Ambisi jahat yang tidak bisa ditebak oleh penduduk lokal.
Budaya perbudakan mendapat eksploitasi yang parah oleh hadirnya pihak Eropa. Keramahan bangsa Batak di
Batang Toru, Puli, Situmandi serta Sigeaon dimanipulasi, mereka kemudian diperdagangkan sebagai Budak.

Beberapa wilayah di Nusantara mulai ditundukkan dengan tipu muslihat Eropa. Perang antar kerajaan menjadi
sangat intens; akibat Devide Et Impera. Belanda mulai memetakan target operasi mereka di tanah Batak setelah
menguasai Jawa dan beberapa kerajaan kecil di Nusantara.

1790
Haji Hassan Nasution dengan Gelar Qadhi Malikul Adil menjadi orang Batak pertama yang naik haji di
Mekkah.

1812
Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, menjadi orang pertama dari lingkungan kerajaan Dinasti
Sisingamangaraja yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Informasi ini didapat dari sebuah catatan keluarga,
bertuliskan Arab, komunitas Marga Sinambela keturunan Sisingamangaraja di Singkil. (Tuanku Rao; Ompu
Parlindungan)

1816
Elemen mata-mata Belanda mulai menyusup ke Tanah batak dengan misi; memetakan daerah serta kekuatan
dan menentukan titik-titik penembakan artileri di pusat-pusat kekuasaan tanah Batak.

Jenderal Muhammad Fakih Amiruddin Sinambela, Gelar Tuanku Rao, panglima Paderi, meluaskan
pengaruhnya di Tanah Batak Selatan.

1816-1833
Islam berkembang pesat di Mandailing dengan pembangunan universitas, pusat-pusat perdagangan dan
kebudayaan Islam.

1818
Panglima Fakih Sinambela berseteru dengan pamannya Sisingamangaraja X, Raja Dinasti Sisingamangaraja di
daerah Batak Utara.

Elemen Eropa berhasil memetakan kekuatan Dinasti Sisingamaragaja. Salah satunya; Modigliani berhasil
mencari info mengenai privasi Guru Somalaing, salah satu intelektual agama Parmalim, agama Batak saat itu.

Orang-orang Batak yang miskin dan putus asa dengan penyakit kolera dimanipulasi Belanda sebagai kekuatan
anti-otoritas SM Raja. Beberapa kerajaan-kerajaan huta dihadiahi dengan pengakuan sehingga mejadi raja-raja
boneka yang membangkang. Kredibilitas kedaulatan Sisingamangaraja di akar rumput menipis, dikempesi
orang-orang Eropa.

Untuk kesekian kalianya epidemik penyakit menular menjangkiti penduduk. Elemen Eropa dan Belanda di
pantai timur Sumatera memanfaatkan situasi.

1818-1820
Perseteruan Sisingamagaraja X dan Fakih Sinambela memuncak. Pasukan Fakih Sinambela dengan komando
Jatengger Siregar berhadapan dengan pasukan Sisingamangaraja X di Bakkara setelah buntu dalam
perundingan.

Markas Pusat di Siborong-borong dengan komando Panglima Fakih Sinambela memerintahkan pasukannya di
Bakkara untuk menguburkan pamannya S.M Raja X di pemakaman kerajaan dengan pasukan kehormatan dan
melindungi keturunannya.
Fakih Sinambela menolak tawaran pamannya menjadi Sultan di Tanah batak. Mereka mundur ke Selatan. Yang
Mulia Sisingamangaraja XI naik tahta.

1820
Pembantu Fakih Sinambela, Tuanku Mansur Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan di pantai timur
Sumatera.

1821

Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir Sumatera Barat seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah
strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah
tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan
di bawah pimpinan Fakih Sinambela(Tuanku Rao) dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya.
Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Fakih Sinambela gugur sebagai syuhada di Air Bangis.
Perlawanan pasukan Padri melawan pasu kan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.

1823
Thomas Raffles, Jenderal Inggris, tertarik untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan di Sumatera. Idenya; Aceh
yang Islam dan Minagkabau dipisah dengan Komunitas Batak Kristen. Tanah Batak harus, menurut istilah
Ompu Parlindungan, “dikristenkan”; diterima atau tidak.

Kebijakan ini ditiru oleh Raffles dari Lord Moira, Gubernur Jenderal Inggris di Kalkutta yang berhasil
melemahkan Kerajaan “Dehli” Islam di India; Burma yang Budda serta Thailand yang Buddha harus dipisah
dengan bangsa Karen yang Kristen.

Untuk itu, pihak Inggris mengirimkan tim-tim pendeta kerajaan ke lokasi tersebut. Di Tapanuli saja ada diutus
beberapa orang, sbb;

Pendeta Burton yang bertugas menguasasi bahasa Batak dan menerjemahkan Bibel ke Bahasa Batak, bertindak
sebagai pemimpin misi.

Pendeta Ward, seorang dokter yang meneliti pengaruh penuakit menular, epidemik yang menjangkiti penduduk
Batak.

Pendeta Evans, bertugas mendirikan sekolah-sekolah pro-Eropa.

Ketiganya merupakan tim ekspedisi dalam infiltrasi pasukan Inggris di Tanah batak yang akan berprofesi
sebagai pendeta agar tidak terlalu mendapat penolakan di sebagian besar mayarakat Batak yang telah menganut
agama Parmalim, agama S.M. Raja, di pusat-pusat kerajaan Batak.

1823-1824
Pertahanan benteng SM Raja di Humbang, yang ‘splendid isolation’ dan tertutup untuk pihak-pihak tidak resmi,
sangat kuat dan tidak dapat disusupi, pelabuhan Barus bebas dari penyusup.. Tim tersebut hanya berhasil masuk
melalui pantai Sibolga dan daerah Angkola yang mayoritas penduduknya muslim dan terbuka. Burton dan Ward
berhasil memasuki Tanah Batak, melalui pelabuhan Sibolga tempat beberapa komunitas Inggris menetap
berdagang, menyisir hutan belantara dan mencapai Lembah Silindung. Misi berhasil. Namun ketika akan
menyusup ke Toba, pusat kehidupan sosial masyarakat batak, Ward memberikan instruksi untuk mundur.
Epidemik Kolera masih mengganas di Toba dan Humbang. Burton dan Ward mundur ke Sibolga. Dari sini
‘character assasination’ terhadap panglima-panglima Padri dilancarkan.
Perseteruan antar penjajah untuk menguasai Tanah Batak muncul. Belanda menggantikan posisi Inggris di
Tapanuli, sesuai ‘Traktat London’. Pendeta-pendeta Inggris diusir. Mereka yang sudah berhasil memasuki
wilayah privasi para Panglima tersebut dituduh bersekongkol dengan Padri.

1830-1867
S.M Raja XI, setelah naik tahta mulai menata kehidupan rakyatnya. Di beberapa wilayah dilakukan
pembangunan. Hubungan diplomasi luar negeri dengan Kesultanan Aceh dijalin kembali. Sang Raja mulai
menyadari kehadiran elemen-elemn penyusup yang bermaksud untuk menguasai dan dan meniadakan
Kedaulatan Bangsa Batak. Belanda yang meneruskan kebijakan Raffles tidak bisa menerima; Bangsa Batak
malah melakukan kerjasama militer dengan Aceh.

Perkembangan pembangunan di bidang sosial dan pendidikan meningkat. Kerajaan mulai mengerjakan
penulisan sejarah Batak dalam ‘Arsip Bakkar’ setebal 23 jilid. Total Satu setengah meter tebalnya. Sebagain
besar mengenai undang-undang, tradisi dan kehidupan kerajaan. Sebuah usaha yang memberikan dampat baik
terhadap kredibilitas otoritas raja dan kehidupan masyarakat namun sudah terlanjur terlambat. Elemen-elemen
rakyat yang putus asa dengan epidemik kolera sudah banyak yang pro-Belanda.

1833
Tentara Belanda mulai mendaratkan pasukan ekspedisi dibawah Komando Mayor Eiler, di daerah Natal dan
mengangkat rajanya menjadi raja boneka dengan gelar; Regent van Mandailing. Elemen-elemen padri Minang
dibasmi.

1833-1834
Pasukan Kolonel Elout menguasai Angkola dan Sipirok. Sipirok menjadi batu loncatan untuk menggempur
Toba. Peta-peta sasaran tembak sudah dikumpulkan sebelumnya oleh tim penyusup dan orang-oramg Eropa
yang bergerak bebas di Tanah Batak

Kolonel Elout memerintahkan pendeta-pendeta tentara Belanda, yang menjadi bawahannya di pasukan tersebut,
antara lain; Pendeta Verhoeven untuk mempersiapkan diri untuk meng-kristenkan penduduk asli Tanah Batak
Utara. Verhoeven diwajibkan untuk bergaul dengan penduduk asli dan belajar Bahasa Batak.

Eliot melalui kakaknya, saudara perempuannya, di Boston, AS, meminta tambahan tim misi dari American
Baptist Mission (ABM). Permintaan ini mendapat dukungan dana oleh Clipper Millionairs yang berpusat di
Boston dengan kompensasi mereka dapat menguasai kegiatan ekspor dan impor di Tanah Batak yang sangat
potensial saat itu.

Seperempat abad kemudian, Hamburg Millionairs mendanai pendeta-pendeta dari Barmen untuk
mengkristenkan Tanah Batak, hasilnya sejak tahun 1880-1940, di belakangan “Reinische Missions
Gesselschaft”, seluruh arus perdagangan ekspor dan impor di Tanah batak dimonopoli oleh “Hennemann
Aktions Gessellschaft”. Diperkirakan, paska PD II total pengusaha-pengusaha nasionalpun tidak sanggup
mendekati 10 persen dari volume perdagangan “Hennemen & Co,” dulu di Tanah Batak. (Tuanku Rao; Ompu
Parlindungan)

1833-1930
Masyarakat Mandailing menderita dengan pendudukan Belanda setelah beberapa usaha mempertahankan diri,
gagal. Eksodus ke Malaysia dimulai. Komunitas-komunitas diaspora batak di luar negeri terbentuk. Di
Malaysia, Mekkah, Jeddah dan lain sebagainya.

1834
ABM mengirimkan tiga orang pendeta ke Tanah Batak. Yakni; Pendeta Lyman, Munson, Ellys. Kolonel Elout
menempatkan Ellys di Mandailing untuk mengkristenkan masyarakat muslim di sana. Lyman dan Munson
melanjutkan jejak Burton dan Ward.
Lyman dan Munson memasuki toba dengan seorang penerjemah, Jamal Pasaribu. Di sana mereka disambut
baik. Namun setelah insiden penembakan mati seorang wanita tua oleh Lyman, raja setempat, Raja
Panggulamau menolak kehadiran mereka.

Penembakan wanita tua, yang kebetulan, namboru sang raja tidak dapat diterima oleh raja. Lyman dan Munson
mendapat hukuman mati oleh pengadilan lokal.

1834-1838
Pemerintahan Militer Belanda di Tanah Batak Selatan didirikan secara permanen. Komplek markas Besar
Belanda didirikan berikut taman perumahan para pemimpin militer.

1838-1884
Kekuatan militer Belanda bertambah kuat. Sumatera Barat dapat dikuasai. Mandailing, Angkola dan Sipirok
menjadi “Direct Bestuurd Gebied”, Raja Gadumbang tidak jadi dijadikan Sultan oleh Pemerintah Penjajahan
Belanda, akan tetapi dibohongi dan hanya diberikan gelar “Regent Voor Her Leven”.

Pemimpin-pemimpin masyarakat Batak Islam yang tidak mau tunduk dengan Belanda di berbagai daerah,
dibasmi. Silindung masuk ke dalam “Residente Air Bangis tahun 1973 dan Toba, yang belum takluk,
dimasukkan pada tahun 1881. Kerajaan-kerajaan lain yang berhubungan dengan Kerajaan Toba tidak dapat
berbuat banyak untuk membantu. Hegemoni Eropa tidak dapat terbendung. Manusia di nusantara hanya
menunggu waktu untuk menjadi mangsa Eropa. Kerajaan Batak terisolir dan melemah. Rakyat sudah banyak
yang pro Belanda.

1843-1845
Perbatasan Tanah Batak yang aman hanya pelabuhan Singkil dan Barus serta perbatasan darat dengan Aceh.
Sisingamangaraja XI mengikuti Pendidikan Militer di Indrapuri, Kesultanan Aceh.

1845-1847
Aceh mengirimkan satu balayon tentara di bawah komando Teuku Nangsa Sati ke Toba. Bersama Yang Mulia
Sisingamangaraja XI, Teuku menyiapkan perencanaan strategi gerilya. Pasukan komando gerilya dibentuk.
Pertahanan dengan menggelar pasukan sudah tidak memungkinkan. Siasat ini pada tahun 1873-1907 sangat
membingungkan pihak imperialis Belanda.

1848
Putra Mahkota, Pangeran Parobatu, satau-satunya anak laki-laki Sisingamangaraja XI lahir.

1857-1861
Zending Calvinist Belanda dari “Gereja Petani Ermeloo/Holland” (GPE) dengan gencar melakukan misi di
Tanah Batak Selatan. Mereka antara lain; Pendeta Van Asselt di Parausorat, Sipirok, pendeta Dammerboer di
Hutarimbaru, Angkola, Pendeta Van Danen di Pangarutan, Angkola dan Pendeta Betz di Bungabondar, Sipirok.

Misi; gagal. Masyarakat Muslim Batak yang sudah tidak berdaya dalam penguasaan Belanda menolak untuk
dikristenkan. Belanda, tidak habis akal, mempercayakan misi pengkristenan Batak Selatan dan Utara kepada
pendeta-pendeta Jerman, “Reinische Missions Gesselschaft” (RMG), yang menganggunr di Batavia, sejak diusir
keluar dari Kalimantan Selatan oelh Pangeran Hidayat.

Belanda menghubungkan pendeta Fabri, pemimpin RMG di Jerman dengan pendeta Witteveen, pemimpin dari
GPE. GPE mengalah, mundur dari Tanah Batak Selatan, karena kahabisan dana. Dengan banjir dana dari
perusahaan Hennemann & Co, RMG memulai upaya misi kembali agar secepatnya Belanda dapat menguasai
Tanah Batak dan menghancurkan Aceh di ujung sana.
1861
Pada tanggal 7 Oktober 1861, di dalam rumah pendeta van Asselt diadakan rapat bersama oleh pendeta-pendeta
Belanda yang sudah aktif di tanah Batak bersamam pendeta-pendeta Jerman yang baru datang. Rapat ditutup
oleh pendeta Klammer hasilnya; Pimpinan pengkristenan tanah Batak sudah berpindah dari tangan Pendeta
Belanda ke tangan Pendeta Jerman. Pendeta Belanda Dammerboer serta van Dalen tidak menyukai posisinya
menjadi bawahan seorang “Moffen”, Jerman. Mereka berhenti menjadi pendeta.

1861-1907
Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak yang masih dimiliki Sisingamagaraja
XI. Untuk menyerangnya secara frontal Belanda belum mampu karena dipihak lain dan di dalam negeri mereka
banyak menghabiskan tenaga unutuk menumpas pemberontakan-pemberontakan, sementara itu, kerajaan-
kerajaan pribumi tidak menyadari keunggulan mereka.

Belanda kemudian menerapkan Devide et Impera dari pantai timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya
swapraja. Tanah Batak dipecah menjadi:

1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja.


2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja.
3. Daerah Batak, Singkil, gayo, dan Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan
ke dalam Aceh.

Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:

1. Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di tanah Karo, Dusun


2. Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.
3. Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.
4. Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.
5. Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung diberi pengakuan secara hukum.
6. Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim didirikan dengan kepemimpinan
Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku Kota Pinang.
7. Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan, misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila dan
lain sebagainya dengan tujuan untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama,
wilayah dan kepentingan ekonomi.
8. Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga.
9. Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.

Pihak Gayo yang dimasukkan ke Aceh dan orang-orang Batak Karo serta Simalungun tidak dapat lagi membela
perjuangan Dinasti Sisingamangaraja karena mereka menganggap dirinya masing-masing sudah berbeda
kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check point, untuk mengisolir rakyat setiap kerajaan dan
membatasi pelintas batas. Kekuatan ekonomi, praktis, dikuasi Belanda. Kekuatan Tanah Batak mencapai titik
paling lemah.

1863
Pendeta Nomensen dari Sipirok memasuki Silindung. Pengkristenan Tanah Batak Utara dimulai dan dikerjakan
dengan sangat sistematis. Target ke selatan Batak, daerah Batak Muslim, dikurangi. Dengan beking seorang
raja, pontas Lumban Tobing, yang sudah pro Belanda, sebuah gereja pertama didirikan di Hutadaman,
Silindung. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

1864-1866
Pangeran Parobatu, selama dua tahun, mengikuti Pendidikan Militer di XXV/Mukim, di Kesultanan Aceh.
Setelah wisuda, pangeran juga membahwa oleh-oleh; Bantuan Pasukan Penempur dari Aceh, ke Bakkara.
1867
Penyakit Kolera menjangkiti lagi. Para tenaga medis Kerajaan gagal membendung epidemik ini. Yang Mulia
Sisingamangaraja XI wafat karena kolera. Pangeran Parobatu naik tahta menjadi Sisingamangaraja XII dengan
gelar Patuan Bosar.

Akibat epidemik ini, intensitas misi pengkristenan bertambah tinggi. Rakyat yang frustasi berduyun-duyun
mendatangi Christian Community di Hutadame.

1867-1884
Sisingamangaraja XII selama 17 tahun memerintah di Bakkara. Menurut penulis sejarah pro Belanda,
Sisingamangaraja memerintah dengan tangan besi, untuk mempertahankan Singgasana Batak Pagan Priest
Kings yang sudah memerintah selama 12 generasi paska Dinasti Sori Mangaraja. Informasi ini tentunya untuk
pengalihan perhatian orang-orang Batak di masa mendatang yang akan merasa kehilangan penguasa Batak yang
mereka cintai.

Selanjutnya, para penulis itu menuduh Sisingamangaraja XII secara totaliter menentang Pemerintah Belanda,
serta menentang infiltrasi dari Agama Kristen yang dibawa oleh pendeta-pendeta Jerman. Mereka
menambahkan bahwa karena itulah orang-orang Batak yang sudah Kristen (dan lebih2 lagi yang sudah Islam)
tentulah tidak mau mengakui seorang Batak Pagan Priest King.

Belanda, dengan dendam kesumat atas kewibawaan Sisingamangaraja XII, sengaja menanam bibit perpecahan
dan pertikaian di masyarakat untuk dipanen oleh generasi Batak di masa mendatang. Paska Kemerdekaaan
Indonesia, bibit itu melapuk dan tidak membuahkan hasil. Orang Batak hidup damai dalam toleransi beragama.

Raja Huta, Pontas Lumbantobing di Saitnihuta, Silindung, menjadi antipode dari Sisingamangaraja XII,
maharaja di wilayah huta-huta Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).

Di tanah Batak Utara didirikan sekolah-sekolah dengan jumlah besar; Sekolah Dzending. Namun, demi misi
imperialis, diskriminasi diterapkan. Anak-anak dari Sintua, tetua Gereja, mendapat prioritas masuk sekolah
Zending. Untuk menjadi Sintua, seseorang harus membuktikan diri patuh terhadap Kristen. Orang-oranng tanah
Batak Utara belomba-lomba menjadi Sintua. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).

Posisi Sisingamangaraja XII kehilangan legitimasi dan dukungan dari rakyatnya yang sudah Kristen karena
sudah berlomba-lomba menjadi Sintua (idem).

Penduduk Dairi, Pakpak dan Simsim masih menjadi pengikut setia Sisingamangaraja XII. Dalam pertempuran
dengan Belanda, Ibukota kerajaan yang sudah ditandai oleh tim penyusup sebelumnya menjadi sasaran empuk
pasukan Belanda. Serangan-serangan artileri memaksa Sisingamangaraja XII, dengan pengawalan khusus dari
rakyatnya orang-orang Gayo yang menjadi pasukan komando dari Aceh, pasukan yang diberikan Kesultanan
Aceh, mengungsi di Dairi dan melancarkan serangan dari hutan belantara sana. (1884-1907). Sementara itu
panglima-panglimanya yang masih setia, melakukan upaya defensif untuk menahan laju tentara Belanda.

1869
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pendeta Ellys di Mandailing menemukan beberapa hambatan-hambatan,
serta penyebabnya, dalam misi pengkristenan. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

Aliran Baptist, merupakan kelompok yang sangat sedikit di dunia. Baptist melepaskan diri dari Gereja Roma
Katolik, lebih dahulu daripada Protestan dengan Martin Luther-nya pada tahun 1517. Baptis mengkristenkan
orang-orang dewasa dengan cara menyemplungkan diri, seluruh badan, di dalam sungai. Seperti halnya oleh
Johannes Pembaptis sebelum Jesus.
Amerina Baptist Misson dan British Baptish Mission tidak mau lagi mendanai Pendeta di Mandailing yang
berpenduduk Muslim dan taat beragama.

Menurut Parlindungan, Dinasti Romanov, di Rusia beragama. Kristen Ortodoks Katolik. Akan tetapi di Ukraina
terdapat sedikit aliran Baptist keturunan Belanda yang disebut; Mennoniets, karena mereka adalah keturunan
dari Menno Simons. Baptist, Doopsgezinden, di Negeri Belanda habis dibasmi oleh Protestan, di dalam periode
1568-1648.

Orang-orang Baptist Belanda melarikan diri ke Ukarina. Di sana, mereka dilindungi oleh Dinasti Romanov,
karena kepandaian mereka di bidang pertanian dan peternakan.

Dinasti Romanov saat itu sedang asyik menanam pengaruh di Seluruh Asia, mulai dari Selat Dardanella, sampai
ke Vladiwostok. Romanov kemudian mengatur kepergian Pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina ke
Mandailing 1869-1918.

Gereja yang di Mandailing didirikan pada tahun 1838 dirombak dan diganti dengan Gereja model Basilyk
Rusia, lengkap dengan atas yang berbentuk bawang , 1869. Misi pendeta Mennoniet inipun berakhir karena
jatuhnya Tsar Rusia yang dibantai oleh kaum Komunis. Pendeta Iwan Tissanov, pendeta yang teakhir dari aliran
ini kemudian pindah ke Bandung.

Keturunan pasukan Padri bermarga Lubis, Kalirancak Lubis dan Jamandatar Lubis, yang pernah merebut Toba
dan menguasai Ibukota Bakkara, di bawah pimpinan Panglima Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela,
kemenakan S. M. Raja X, menjadi Kristen Protestan Luteran di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Salah
satunya adalah Martinus Lubis pahlawan Medan 1947.

1870

Peta politik populasi Tanah Batak:

Di Tanah Batak Selatan; 90% Beragama Islam, 10% lagi terdiri dari Muslim Syiah, Kristen Protestan dan
Baptist.

Di Tanah Batak Utara; 90% Beragama Monoteis Adat Sisingamangaraja (Parmalim atau Sipelebegu) dengan
Sisingamangaraja sebagai Raja dan Pemimpin Agama dan Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan, Maha Pencipta
serta Maha Agung) sebagai Tuhan.

Sementara 10 persen lagi; Muslim dan Protestan di Silindung.

1873

Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan,
dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan
pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.

Kesabaran Sisingamagaraja XII sudah menipis, tindakan ofensif ditingkatkan. Pertempuran Tangga Batu II
meletus. Sisingamangaraja XII terluka, kena tembak dan berdarah. Belanda mengumunkannya ke seluruh
penjuru. Tujuannya, agar hormat dan kepercayaan orang-orang Batak terhadap raja mereka, SM Raja XII,
goyang.

Di periode yang sama, dengan bala tentara yang lebih banyak, kebanyakan terdiri dari pasukan paksaan dari
daerah-daerah jajahan lainnya; Halmahera, Madura dan Jawa, Belanda melumpuhkan kekuatan tempur SM
Raja. Sisa-sia kekuatan hanya untuk defensif. Dari dataran tinggi Humbang (sekarang di Kab. Humbang
Hasundutan) Bakkara dibombardir dengan senjata Artileri Berat, namun Belanda masih takut untuk melakukan
serangan infanteri.

1881 M

Toba resmi diduduki Belanda. Di Balige ditempatkan Controleur B.B. Di Laguboti ditempatkan Detasement
Tentara Belanda. Pendeta Pilgram di Balige dan Pendeta Bonn di Muara mulai mengkristenkan penduduk yang
sudah menyerah dan tak berdaya. Sementara itu, tentara Belanda diperkuat dan Laguboti menjadi Garnizon
Tetap.

Pasukan SM Raja mulai kehilangan pasokan senjata dan amunisi dari dua pabrik senjata di kedua tempat
tersebut, yang dibagun atas alih teknologi dari Kesultanan Aceh.

1882-1884

Sisingangaraja XII di ibukota Bakkara meningkatkan kewaspadaan mereka dalam sebuah upaya ofensif dan
melakukan usaha mendeportasi elemen-elemen Belanda, yang menyusup jauh dan membeberkan kelemahan
kerajaan, dan Pendeta-pendeta Jerman keluar dari wilayah kedaulatan Tanah Batak.

Yang Mulia, Patuan Bosar, menjanjikan uang sebanyak 300 ringgit burung untuk setiap orang yang memancung
seorang pendeta Jerman dengan membawa bukti berupa kepala yang dipancung (Tuanku Rao; Ompu
Parlindungan). Terutama Pendeta Bonn di Muara, yang lalu lalang dan mengintai di daerah antara Bakkara dan
Balige yang sudah terlalu dekat dengan pusat kekuasaan Patuan Bosar.

1883

Destor Nasution, putera dari Jarumahot Nasution alias Hussni bin Tuanku Lelo, menjadi pendeta. Tuanku Lelo
merupakan salah satu panglima tentara Islam Padri yang merebut Bakkara di era S. M. Raja X.

Destor merupakan orang Batak pertama yang ditahbiskan menjadi pendeta dari Marga Nasution. Ayah Tuanku
Lelo merupakan Qadhi Malikul Adil, Menteri Kehakiman di pemerintahan Padri, dan orang Batak pertama yang
naik haji ke Mekkah, 1790.

Pasukan Sisingamangaraja XII dengan sisa-sisa kekuatannya melancarkan serangan frontal ke Muara.
Tujuannya. Merebut kembali tanah Toba, dan mengusir Belanda di Laguboti. Pendeta Bonn dan Istrinya
berhasil melarikan diri.

Belanda membalas, Bakkara dikepung dengan bombardir artileri dan serang infanteri. Ibu kota Bakkara, hancur
lebur.

S. M Raja hijrah ke Tamba dan mengatur serangan dari sana. Pasukan khusus dari Aceh masih setia melindungi
‘Sri Maharaja’ Patuan Bosar.

Dukungan rakyat muncul kembali tatkala mendengar patriotisme Putri Lopian Boru Sinambela yang sejak usia
11 tahun selalu mendampingi ayahnya, S. M. Raja XII, Pahlawan Nasional Indonesia. Secara khusus sang putri
selalu melakukan ritual untuk memintakan pertolongan dari Debata Mulajadi Na Bolon.

Melihat opini rakyat yang mulai menentang, Belanda tidak terima. Karisma sang Putri di bendung dengan
tangan besi. Pembicaraan mengenai S. M Raja dan putrinya akan mendapat hukuman penjara. Akibatnya lambat
laun rakyat lupa kembali, apakah rajanya masih berjuang atau tidak. Rakyat terintimidasi untuk berbicara
mengenai rajanya. Perang Ideologi.
1884-1905
Padangsidempuan menjadi ibukota keresidenan Air Bangis.

1884-1907
Sisingamangaraja XII, Pahlawan Nasional Indonesia dengan heroik meneruskan perang melawan penjajah dari
Dairi. Tanpa sedikitpun bantuan dari orang-orang Toba di Silindung yang menyibukkan diri untuk menjadi
Sintua agar anaknya diterima sekolah di Zending.

1905
Ibukota Keresidenan Tapanuli dipindahkan ke Sibolga.

1907
Pasukan Sisingamangaraja XII bersama panglima dan pengawal pribadinya dari Aceh terkepung di hutan
belantara Dairi. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Dalam upaya menolong putrinya yang terluka,
Sisingamangaraja XII, gelar Patuan Bosar, Ompu Raja Pulo Batu, tewas diberondong Belanda. Jenazahnya
dicincang dan dibuang begitu saja di hutan agar tidak dilihat oleh warga Batak yang pasti akan menimbulkan
kemarahan besar. Menurut sumber lain, Jenazahnya dikuburkan di Balige atau Parlilitan. Masih perlu
didebatkan. Keturunan S.M. Raja yang masih hidup ditawan dan dijauhkan dari masyarakat untuk tidak
memancing pertalian emosi dengan warga Batak. Mereka di tawan dan dibuang ke sebuah Biara terpencil. Di
sana mereka mati satu per satu. Menurut cerita lain, sebelum mati mereka sudah dipabtis.

1912
Perkembangan Islam, yang tidak diperbolehkan Belanda untuk mengecap pendidikan, walau paska kebijakan
balas budi, kemudian bangkit mendirikan Perguruan Mustofawiyah. Disinyalir sebagai sekolah pribumi pertama
di tanah Batak yang sudah modern dan sistematis.

Haji Mustofa Husein Purba Baru, dari marga Nasution, merupakan penggagas perguruan ini. Dia, yang dikenal
sebagai Tuan Guru, merupakan murid dari Syeikh Muhammad Abduh, seorang reformis dan rektor Universitas
Al Azhar.

Lulusan perguruan Musthofawiyah ini kemudian menyebar dan mendirikan perguruan-perguruan lain di
berbagai daerah di Tanah Batak. Di Humbang Hasundutan di tanah Toba, alumnusnya yang dari Toba
Isumbaon mendirikan Perguruan Al Kaustar Al Akbar pada tahun 1990-an setelah mendirikan perguruan lain di
Medan tahun 1987. Daerah Tatea Bulan di Batak Selatan merupakan pusat pengembangan Islam di Sumut.

HKBP sendiri pernah menjadi gereja protestan terbesar di Asia. Para turunannya mendirikan gereja Angkola,
Karo dan Dairi di berbagai tempat di Indonesia. Demikian pula di Kesultanan Langkat, para keturunan
Jatengger Siregar gelar Tuanku Ali Sakti mendirikan ‘Lilbanaad College’.

1923
Arsip Bakkara diamankan pendeta Pilgram

1928
Jong Batak merupakan elemen sumpah pemuda. Orang-orang Batak tanpa beda wilayah, marga dan agama
bersatu mengusir Belanda.

1945
Tanah Batak merupakan bagian dari Indonesia merdeka.
Gondang Batak Masuk Kafe

Kategori: Artikel Pilihan, Perkembangan Seni || Kontributor: Charly Silaban || || ||

Mengerti atau tidak, para tamu yang malam itu datang di Restoran The Nine Club di Jalan Wijaya I No 25,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tidak henti-hentinya bertepuk tangan seusai para pemain musik dari Bonani
Obung memainkan musik instrumental yang berirama riang. Tamu yang kebanyakan warga negara Prancis itu,
begitu antusiasnya mendengarkan entakan dari lima kendang, hesek dan serune.

Alat musik Batak, yang biasa disebut Gondang Batak, Rabu lalu, memang sengaja ditampilkan di Muses Club
untuk menemani para tamu yang datang sambil bersantap malam. Kehadiran Gondang Batak di resto tersebut
dirasakan sangat bagus oleh empat pemain musiknya yang malam itu tampil dengan memukau.

Keempat pemain Gondang Batak yang terdiri dari Andal Gultom, Tarsan Simamora, Mangasar Naibaho dan
Jefar Lumban Gaol untuk pertama kali tampil di sebuah kafe dan ditonton oleh warga asing. Agar tidak
mengecewakan yang datang, mereka menyajikan instrumental dengan irama yang mudah dimengerti.
“Mungkin ini permainan kami yang pertama kalinya di kafe seperti ini, karena biasanya kami main di kafe-kafe
Batak atau di pesta perkawinan. Oleh karena itu, kami berempat sangat bergembira musik kami dapat dinikmati
dengan mudahnya oleh para pengunjung kafe ini,” ujar Andal Gultom yang malam itu selaku jubir dari Bonani
Obung.

Pada sesi pertama Bonani Obung menyajikan enam musik instrumental kepada para pengunjung. Entakan dari
taganing atau perlengkapan terdiri dari lima kendang yang kuncinya punya peran melodis, dimainkan dengan
irama yang riang. Irama dan entakan taganing, semakin indahnya didengar saat ditemani oleh bunyi serune dan
hesek.

Kurang Diminati
Meski di kafe tersebut penonton begitu antusias menikmati, musik Gondang Batak ini justru kian tidak populer
di kalangan pemuda Batak.
“Musik tradisional ini akan punah karena minat anak-anak muda Batak masa kini kurang. Padahal, kalau saja
anak-anak muda masa kini dapat mengemasnya dengan baik tentu akan beda jadinya,” ujar Tarsan yang saat ini
mengajar musik tradisional Batak di YMKI, Manggarai, Jakarta Selatan.

Sebelumnya Tarsan yang sangat pandai memainkan hesek, juga pernah mengajar di PSKD IV, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan. Masih menurutnya, jangan sampai Gondang Batak ini tidak ada lagi yang meneruskan. Oleh
sebab itu, Tarsan dan tiga kawannya sangat senang dapat tampil di The Nine Muses Club, malam itu.
“Lihat saja, para pengunjung restro ini yang semuanya adalah orang asing. Mereka begitu menikmati musik
yang kami sajikan. Padahal, mereka kurang mengerti apa arti musik instrumen yang baru saja kami mainkan.
Oleh karena itu, kami Bonani Obung Grup akan senang bila ada yang mengajak kami tampil di lain tempat,”
ujar Andal Gultom lagi.

Tidak itu saja, kekhawatiran empat bapak ini juga sangat dirasakan dengan tidak bisanya anak-anak muda Batak
masa kini dengan bahasa nenek moyang mereka sendiri. Musik Gondang ini sendiri, menurut Tarsan, adalah
musik tradisi masyarakat Batak Toba. Ada tiga arti untuk Gondang, pertama satu jenis musik tradisi Batak
Toba, kedua komposisi yang ditemukan dalam jenis musik tersebut seperti Gondang mula-mula, Gondang
Haroharo dan tiga alat musik kendang.
Selain itu, ada dua ansambel musik Gondang, yaitu Gondang Sabangunan yang biasanya dimainkan di luar
rumah. Sementara itu, Gondang Hasapi biasanya dimainkan di dalam rumah. “Jadi, musik Gondang yang kami
mainkan ini adalah jenis musik Gondang Hasapi,” ujar Tarsan lagi.

Gondang Batak Dan Pemahamannya


Gondang batak, salah satu karya seni musik batak yang sangat kaya dan menjadi
kekaguman bagi dunia. Repertoarnya yang beragam memenuhi segala kebutuhan seni
yang digunakan untuk beragam kegiatan seperti pada upacara keagamaan, adat dan
hiburan.

Modernisasi telah menggempur sendi kebesaran Gondang Batak. Kita hanya bisa melihat
alat kesenian itu dimainkan dengan versi modern, repertoar gondang batak yang asli
sudah jarang dimunculkan.

Pargonsi, pemain gondang batak muda tidak lagi mementingkan penguasaan ragam
gondang batak, karena pada umumnya masyarakat batak lebih menginginkan irama
modern seperti nyanyian bahkan dangdut.

Seniman tua gondang batak saat ini di toba pun sudah jarang memunculkan ragam
gondang batak itu karena ketidakmampuan masyarakat mengenalinya.

Saat dimulai pendokumentasian gondang batak, sebagian yang masih diingat nama
gondang itu dilakukan pengkajian makna dan pengertian judulnya. Walau agak sulit,
akhirnya dapat direka pengertiannya ketika gondang itu dari awal tercipta, dimainkan,
diminta dan diaplikasikan pada saat manortor.

Beberapa gondang yang dapat saya simpulkan atas kerjasama dengan para pargonsi,
tersusun menjadi narasi singkat untuk memudahkan pemahaman kita akan makna
dasar dari gondang itu dibuat dan digunakan.

RAGAM-RAGAM GONDANG BATAK

GONDANG

MULA MULA

Semula Dia sudah ada, dan Dia memulai ada. Ada dunia, jagad raya beserta isinya, Ada
bumi dengan manusia bersama mahluk pendampingnya. Dia Mula Jadi, Mula Tempah,
mula dari segala sesuatunya yang semuanya harus tunduk kepadaNya.

(Gondang ini umumnya dimainkan saat mengawali acara “mamuhai ulaon” oleh
hasuhuton. Sebelum “hasuhuton meminta Mula-Mula, pargonsi lebih dulu memainkan
uantaian 7 gondang secara medley yang disebut “sipitulili”)

MULA MULA II (Paidua ni mula2)

Dia diberi anugerah oleh Mula Jadi. Dia diberi kewenangan mengelola bumi untuk
pemenuhan kalangsungan hidupnya. Dia memulai karya dan usaha. Dia yang pintar
menuturkan sembah “Deak Marujar”. Dia yang pintar menuturkan ilmu pengetahuan
“Deak boto-botoan”. Dia yang pertama menghadapi tantangan, kegelisahan, tangis dan
gembira. Dia mengajarkan cinta sesama. Dia yang pertama memohon ampun kepada
penciptanya. Dia yang pertama menuturkan sembah sujud kepada yang empu-nya, Mula
Jadi yang maha besar.

(Deak Parujar adalah Dewi pertama yang menjadi manusia pertama menghuni bumi,
begitulah kepercayaan batak dulunya. Dialah yang memohon dan mengkreasi planet
earth ini diantara planet-planet yang sudah ada menjadi huniannya setelah memutuskan
mmenisah diri dari dunia dewata. Dia adalah memulai selanjutnya untuk kreasi hidup di
planet yang dihuni manusia ini)

SIHARUNGGUAN

Jadilah manusia yang dicinta, pintar, bijak dan bestari. Yang memberi pencerahan
hingga didekati, yang memberi kehidupan hingga ditemani. Yang memberi tuntunan
hingga diikuti. Yang melakukan pembelaan dengan keadilan hingga percayai.
Dibelakang, dia ditunggu, didepan dia dikejar, ditengan dia dikerumuni.

(Harungguan, adalah tempat berkumpul. Pekan disebut juga harungguan. Siharungguan


artinya yang dikerumuni. Ini merupakan idealismenya pemimpin batak)

SIDABU PETEK

Demokrasi baru muncul di tanah batak. Pemimpin yang dulunya muncul berdasarkan
karakter harajaon, pemimpin alam, berobah dengan menjagokan diri dan siap untuk
dilakukan voting.

Petek, merupakan koin suara yang dimasukkan kedalam kotak suara dan selanjutnya
dihitung. Mulai muncul rasa cemas, menang atau kalah. Butuh kesiapan mental,
menerima kedua resiko.

Kalah, harus diterima menjadi kewajaran, walau tidak dapat dipungkiri akan muncul
rasa kecewa. Hanya yang berjiwa besar yang dapat menerima kekalahan dan mengakui
kemenangan kepada saingannya.

(Berdasarkan pengalaman Panuhari, seorang pargonsi yang ikut pemilihan kepala


kampung di salah satu wilayah di Samosir. Dia menggambarkan gejolak antara
semangat dan kecemasan mengawali penyertaannya. Fakta, dia harus menerima
kekalahan dengan berlapang dada walau diawali dengan rasa kecewa.)
SIBUNGKA PINGKIRAN

Kegagalan akan menimbulkan kekecewaan. Kehilangan akan menimbulkan kesedihan.


Larut dalam duka akan menenggelamkan semangat perjuangan.

Selagi masih dapat berpikir, mari memulai. Selagi masih memiliki kaki, mari berdiri.
Ayunkan selangkah hingga kamu dapat berlari.

(Sibungka Pingkiran, adalah mengajak manusia untuk tidak tenggelam dalam


kegagalan. Mengajak bergerak dinamis dengan mengutamakan kecerdasan, mampu
menganalisa dan tepat membuat keputusan.)

HOTANG MULAKULAK

Hidup adalah perjalanan. Ke depan adalah tujuan. Namun dalam menempuh perjalanan
itu tak pelak kadang harus melewati awal keberangkatan, meninggalkan, berkeliling.
Tanpa disadari, tanpa dilakukan penghitungan, manusia sudah melakukan perjalanan
menuju kedepan namun berulang melintasi titik keberangkatan.

(Hotang, adalah rotan yang tumbuh menjalar melalui tanah, ranting pohon lain,
membelit berkeliling hingga melilit batang awalnya. Perjalanan jauh kemungkinan besar
akan kembali ke asalanya. Hati yang menjauh juga diharapkan akan kembali kepada
untaian kasih yang sempat tertinggal dan terabaikan)

ALIT-ALIT

Hidup bagaikan melintasi hutan belantara. Setiap persimpangan harus diingat dan
dibuat tanda arah ke tujuan yang akan dicapai. Kelengahan membaca dan mengingat
pertanda menentukan arah akan menyesatkan perjalanan, menghabiskan waktu dan
melelahkan.

(Alit-alit, diciptakan Aman Jabatan seorang pargonsi dari Samosir berdasarkan


pengalamannya yang tersesat dalam perjalanan. Yang seogianya ditempuh dalam 2
jam, dia tersesat selama satu hari.)

BINTANG SIPARIAMA

Bintang Sipariama sudah muncul. Masa panen pun menjelang. Semangat semakin
bergelora, dibarengi kesibukan berbagai persiapan. Kebersamaan pun digalang untuk
melakukan panen bersama, “siadap ari” bergantian memetik padi. Tidak ada guna
rebutan jadwal, karena kematangan padi yang menentukan. Kegentingan hidup selama
“haleon” pacekelik mencair, seraya mengucap syukur kepada Maha Kasih.

(Bintang Pari, adalah pertanda dalam hitungan bulan batak “sipahatolu”. Pada saat itu
musim panen mulai marak di Toba. Bila tidak memiliki hasil panen pada bulan ini
disebutkan kelaparan di musim panen “anturaparon di sipahatolu, atau anturaparon di
sipariama. Biasanya dilontarkan kepada yang malas bekerja dan selalu mengemis
menyambung hidup.)

BINTANG NAPURASA

Gemerlap cahaya bintang napurasa akan memerikan keindahan dalam hiasan langit
malam. Gemerlap bintang adalah kodratnya yang hanya bisa dilihat di saat kelam.
Gemerlap Bintang Napurasa tidak abadi setiap malam. Bila gemerlap datang dan
menghilang ingatlah kepada bintang dilangit. Tak selamanya keinginan menjadi
kebutuhan. Tak selamanya kebutuhan diukur dengan gemerlap.

(Bintang Napurasa adalah yang nampah jelas menjelang pagi hari. Kecemerlangan
seseorang diibaratkan seperti bintang bersinar terang. Kecemerlangan adalah idaman
setiap orang, namun ada sebagian masih dalam harapan sehingga lebih sering menjadi
pengagum kecemerlangan orang lain)

HATA SO PISIK

Memikul muatan berat, bila lelah, istirahat adalah kesempatan pemulihan tenaga. Bila
beban itu ada dalam pemikiran, adalah mustahil dapat diringankan dengan istirahat
fisik, karena akan selalu muncul tak beraturan menjadi beban dalam pemikiran.

Seorang pemimpin kadang harus menyimpan rahasia yang tidak dipublikasikan kepada
masyarakat untuk mencegah konflik.

(Gondang ini terinspirasi oleh Sisingamangaraja I ketika menerima amanah dari Raja Uti
untuk tidak menyebutkan wujud fisik beliau. Tanda dari perjanjian itu kepada
Sisingamangaraja I diberi tabutabu siratapullang, sian i ro tusi sumuang molo diose
padan. Di tengah perjalanan saat Sisingamangaraja istirahat, beliau terkenang dan
dalam hati menyebut wujud dari raja Uti. Beliau terkejut, dan tabutabu sitarapullang
pun menghilang. Gondang ini lajim dipinta oleh para Raja untuk mengenang beban
tugas mereka dan banyaknya rahasia yang harus dipendam namun harus diselesaikan
dengan bijaksana. Irama gondang ini sangat beda dengan gondang “Marhusip” yang
sering disebut selama ini Hata So Pisik.)

ALING-ALING SAHALA

Para Raja di kalangan Batak tempo dulu sangat menjaga etika moral, hukum dan adat
istiadat. Kapasitasnya dalam menegakkan kebenaran di masyarakat adalah wujud dari
kehormatan (hasangapon) dan menjunjung kewibawaan (sahala) pada diri mereka.

Bila nilai tak dapat dipertahankan maka “sahala” (karisma) akan ambruk. Ibarat tanduk
yang tercabut dari kepala. Penyesalan tiada guna.

Para Raja Batak dulu mengalami degradasi dengan masuknya peradaban modern
melalui penjajahan dan missi agama. Kewibawaan mereka dicabut, perilaku mereka
dipandang sesat. Keturunan mereka satu persatu mulai menjauh.
Duka dihatinya tak ditangiskan. Keterpurukan wibawanya bukan karena kesalahan.
Sahala mereka mulai menjauh. Mereka berseru melalui gerakan tari diiringi irama;
“Mengapa ini harus terjadi?.

(Aling-aling Sahala, diartikan sebagai mengenang/memanggil kembali karisma diri


mereka yang hilang dan permohonan maaf kepada Pencipta yang memberikan derajat
kehormatan itu (dulu) kepada mereka.)

RAMBU PINUNGU

Kehidupan penuh dengan keanekaragaman. Manusia memiliki pahala masing-masing


dan sifat berbeda dalam menjalankan kehidupannya. Bagi seorang pemimpin adalah
pekerjaan penuh kecermatan dalam mempersatukan masing-masing perbedaan
karakter manusia. Mereka butuh kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan untuk mampu
mengemban tugas mulia, mempersatukan derap langkah masyarakat dalam kedamaian,
kerukunan dan ketaatan dalam hukum.

(Rambu, adalah untaian pada ujung ulos. Pinungu, artinya dihimpun. Para raja
dikalangan batak biasanya menggunakan “talitali” ikat kepala lambang kebesaran yang
disebut “tumtuman”. Dari kain hitam yang kedua diujungnya ada rambu warna merah.)

BINDU MATOGA

Aku tanpa kamu tidak berarti. Kamu tanpa aku apakah ada arti? Kamu, aku dan dia
adalah kita. Kita bersama memadu pikir demi kepentingan kita dan mereka. Hidup kita
bangun, semangat kita galang, setiap sisi kita hempang dari serangan. Selamatkan jiwa
dari tindakan buruk orang yang tidak sejalan. Lindungi diri dari serangan penyakit yang
membahayakan. Lakukan kajian dimana sisi lemah yang dapat menghancurkan.

Kita adalah sama. Karena bersama kita tegar “toga”. Dalan semua sudut, sisi, waktu,
kita catat dalam “bindu” halaman kerja, apa yang sudah kita buat dan apa yang masih
perlu dilakukan tindakan. Semua demi keutuhan dan kebersamaan.

(Bindu Matoga. Digambarkan dengan garis segi empat bertajuk delapan sesuai dengan
mata angin. Digambarkan sebagai penguasaan semua system alam dengan mencegah
hal buruk yang dapat merusak keutuhan dan kesehatan. Nujum bindu matoga sering
dilakukan peramal untuk mengetahui dari mana kemungkinan datangnya musuh,
penyakit apa yang mungkin muncul. Tindakan apa yang harus dilakukan mengatasi
masalah demi kesejahteraan masyarakat.)

SIDOLI NATIHAL

Masa muda bagi seorang pria penuh dengan gairah. Mulai memasuki area kompetisi
menunjukkan eksistensi seorang perjaka. Mereka berekspresi penuh dengan tingkah
polah untuk mendapat perhatian publik dan lawan jenisnya. Dengan dorongan sifat
dinamis untuk mendapat pengakuan. Kadang, mereka salah dalam tingkah laku
kemudaannya.
(Biasanya diperdengarkan saat Gondang Naposo dimana para pria menari menunjukkan
kebolehannya penuh dengan gaya.)

TANDUK NI HORBO PAUNG

Seseorang yang memiliki kehormatan, adalah yang memegang teguh etika moral dan
taat hukum. Dia terkontrol oleh penghormatan kepada dirinya itu dalam semua sikap
dan perilakunya. Rambu ini membatasi kebebasan dirinya dalam setiap kesempatan,
ibarat kerbau yang bertanduk panjang menjalani lorong sempit. Lolos dalam perjalanan
yang penuh tantangan dan godaan adalah kemenangan baginya.

(Nama gondang ini dulunya disebut juga PARDALAN NI HORBO SISAPANG NAUALU.
Seekor kerbau yang bentang tanduknya panjang sekitar satu meter. Lorong sempit yang
disebut balubu atau bahal adalah lintasan segala ternak ke perkampungan. Kerbau itu
kadang kesulitan akibat sempitnya lorong atau adanya dahan yang menjorok ke bahal.)

LILIT TU METER

Kecerdasan dan intelektual Batak sudah teruji sejak jaman dahulu kala. Pertanda dari
kecerdasan mereka itu dapat kita lihat dengan bangunan rumah adat, gorga dan ulos.
Mereka melakukan pengukuran dengan istilah “suhat” untuk panjang dan tinggi “lilit”
untuk mengukur lingkaran.

Dengan datangnya alat ukur “meter” mereka semakin terbekali dan mendapatkan
keseragaman ukuran. Ketika meter kayu digunakan, mereka kebingungan saat
mengukur diameter karena tidak dapat melilit seperti kebiasaan mereka. Hingga mereka
melakukan ukuran kepada tali kemudian mereka melakukan pengukuran dengan melilit.

Apa yang mereka hasilkan hanya dengan pengukuran “suhat” dan “lilit”? Apa perbedaan
setelah menggunakan meter? Semua konstruksi, petakan sawah, saluran irigasi,
planologi perkampungan yang mereka ciptakan sebelum mengenal meter saat ini masih
abadi.

(Pendidikan modern hanya penambahan bekal intelektual mereka. Ini membuktikan


bahwa mereka mampu beradaptasi dengan perkembangan tanpa harus menyebut
mereka “bodoh, tertinggal, primitive” sebelum pendidikan formal hadir.)

TUKTUK HOLING

Beragam lambang kebanggaan manusia sejak muda hingga tua. Orang tua batak
biasanya makan sirih. Bila gigi sudah makin lemah hati mengeluh, mereka butuh alat
penumbuk sirih. Alat penumbuk dikenal setelah datangnya logam yang dibuat khusus
menumbuk sirih. Kadang alat penumbuk itu dibuat beragam variasi yang indah dengan
material tembaga dan perak. Ada juga yang menempahkan dengan lilitan penghias dari
emas. Mereka membanggakan peralatan itu layaknya seperti perhiasan.
Alat penumbuknya dibuat dari besi tembaga keras yang kelak menghentak keras
bagaikan patukan burung berparuh besi.

(Tutuk Holing, adalah nama burung yang berparuh keras yang dapat melobangi batang
kayu keras untuk membuat sarang dan dan mencari makanan.)

PARSOLUBOLON

Hidup adalah perjuangan. Perjuangan tidak luput dari tantangan. Kebersamaan adalah
pengumpulan kekuatan. Kesepahaman adalah akselerasi keragaman potensi diri dalam
menjalankan misi bersama untuk sampai di tujuan.

(Solubolon, adalah sampan besar yang muat sekitar 12 orang. Parsolubolon adalah
mereka yang sedang mengarungi perairan dengan sampan besar itu. Mereka memiliki
pedoman dasar “masihilalaan” tenggang rasa. Bila pengendali kemudi tidak pintar,
pengayuh akan kewalahan. Sebaliknya bila pengayuh tidak pintar, maka pengayuh
lainnya akan kelelahan dan pengemudi akan repot. Akselerasi potensi “parsolubolon”
akan mampu menghindari bahaya dari serangan ombak.)

SAPADANG NAUSE

Panganan utama orang batak adalah nasi yang terbuat dari beras berasal dari padi. Bila
hasil panen mencukupi bekal satu tahun maka kekhawatiran pun sirna.

Bila bekal padi tidak mencukupi maka sapadang yang tumbuh liar di ladang pun dipetik.

Tidak ada kata kelaparan bila bijak mengolah hidup. Tidak ada yang hina bila kenyang
makan tanpa beras. Ubi dan Sapadang adalah jalan keluar dari kemelut ketersediaan
bekal beras yang terbatas.

(Sapadang adalah tumbuhan mirip gandum biasanya tanamn liar. Sapadang Nause
adalah bijian yang bernas dan tua yang memberikan semangat bagi yang
menemukannya. Sapadang diolah dengan telaten dan dimasak hingga nikmat dimakan
sebagai pengganti nasi yang terbuat dari beras. Nause tidak mengandung pengertian
“tumpah, berhamburan” tapi “sesak, padat, bernas, keluar dari” dalam kulitnya.)

SEKKIAN TALI MERA

Judi kadang membahagiakan, namun lebih banyak berdampak kesusahan. Senang saat
permainan dijalankan, tapi kerugian bila menuai kekalahan. Mereka menghayal akan
menang, mengharap mendapat giliran “ceki” penentu kemenangan. Bila kartu penentu
warna merah muncul, hentakan kegembiraan muncul.

Pengalaman para penjudi selalu menyimpulkan, lebih besar kesusahan daripada


kebahagiaan dari permainan judi. Badan tersiksa, pekerjaan terlantar, harta benda
tergadai.
(Bedasarkan pengalaman penjudi kalangan masyarakat Batak jaman dulu yang selalu
menghimbau agar terhindar dari ketagihan permainan itu dan bekerja dengan giat
adalah yang terbaik.)

TORTOR

Tortor adalah gerakan tubuh mengiringi atau diiringi irama gondang. Pemahaman
makna gondang dan untaian irama bagi yang pandai menggerakkan tubuh akan
menghasilkan tortor yang indah.

Tortor batak sangat individual, merupakan ritual kehidupan menjadi persembahan


kepada publik, lingkungan dan penciptanya. Jelas bukan merupakan hiburan.

Dari gerakan tortor, seseorang dapat melakukan komunikasi dengan publik, misalnya
bila seseorang mengangkat tangan dan menunjukkan satu jari tangan kanan dan
mengepal jari tangan kiri, artinya dia hanya memiliki seorang putra. Bila seorang penari
meletakkan tangan keduanya diatas pundak, artinya semua anaknya dan perilaku
anaknya serta kehidupannya masih menjadi beban dan tanggungjawab yang masih
dipikul. Bila seorang penari menyilangkan tangan di dada, artinya dia sering menjadi
sasaran cemohan, sering mendapat hambatan dan permasalahan lainnya. Bila seorang
penari meletakkan kedua telapak tangan diatas kepala, artinya dia mohon perlindungan,
belas kasihan dari manusia dan penciptanya.

Bila kedua tangan dirapatkan dipinggang dan telapak tangan dikepal mengarah
kebelakan, artinya masih banyak rahasia hidupnya yang belum duberitahukan kepada
orang lain.

Bila seseorang penari merentangkan tangan kekiri dan kekanan dengan telapak tangan
terbuka kesamping artinya anak-anaknya semua atau sebagian besar sudah sudah
mandiri dan menempati ruang yang luas di penjuru desa.

Bila seseorang merentangkan tangan kedepan dengan telapak tangan terbuka dan
tangan kiri ditutupkan diperut, artinya menghimbau datangnya rejeki atau bantuan
kerjasama untuk keberuntungan kepadanya. Bila tangan kiri rapat didada dan telapak
tangan terbuka artinya dia menghimbau dengan tebuka menciptakan persahabatan dan
kerukunan.

Bila tangan kanan dijulurkan kedepan dan telapak tangan duarakan juga kedepan serta
tangan kiri ditutupkan di dada artinya mohon dihentikan segala perbuatan yang
mencemari merugikan kepada dirinya.

Bila kedua tangan diarahkan kedepan dan telapak tangan terbuka keatas serta sering
dilipat menutup artinya ajakan mari bersama-sama ajakan kepada semua untuk menari
bersama, menjalin persahabatan dan mempererat persaudaraan.

Ini baru sebagian dari apa yang dipahami para ibu tua yang memahami tortor batak.

Pakem tortor batak dan pemaknaannya akan kita ulas kemudian setelah penelitian yang
lebih dalam.

KREASI TORTOR DAN GONDANG

Ketika tortor telah menjadi hiburan, para penari dalam pesta adat pun tidak karuan lagi
menunjukkan lenggak lenggoknya. Kadang melampaui tata krama tradisi adat batak,
tentang kesopanan, kesantunan dan kehormatan. Setelah maraknya musik eropah
mengiringi tortor pada pesta adat batak, pakem pun menjadi hilang, pemahaman
gondang yang sebenarnya tidak lagi berkembang, bahkan sebaliknya yang terjadi.

Kreasi tortor untuk hiburan diupayakan keseragaman gerak. Ini memang menjadi
bagian dalam seni pertunjukan. Generesi muda cenderung hanya melihat tortor hiburan
dan tidak pernah lagi menyaksikan tortor yang sebenarnya yang dilakonkan para
panortor yang sebenarnya.

Manortor dengan benar kadang dituding kesurupan. Kebodohan menjadi peluru peluru
penumpas kebenaran. Tortor batak semakin erosi, seiring dengan hilangnya pemaknaan
gondang batak itu.

Pernah (bahkan sampai saat ini) Gondang batak dirtuding sebagai ensambel untuk
pemujaan berhala. Alat untuk memanggil roh orang meninggal. Panortor yang sering
kesurupan.

Pada jaman Belanda, atas rekomendasi mission, gondang batak dilarang. Kemudian
diberi kelonggaran untuk pesta adat dengan perijinan yang ketat. Penerapan ijin ini
sempat berlangsung lama hingga masuknya musik barat. Musik barat untuk pesta adat
tidak perlu mendapatkan ijin. Pada jaman kemerdekaan, gondang batak justru tersudut
karena melanjutkan perlakuan ijin dalam kurun waktu lama.

Begitu dalamnya penistaan terhadap gondang batak, seiring itu pula keengganan orang
batak untuk melakukan aksi penggalian nilai gondang batak itu. Banyak yang
melakukan penelitian sebatas untuk tesis keilmuan, tapi belum banyak yang
menemukan “roh”nya karena dilatarbelakangi refrensi keberhalaan gondang batak itu.
(m. naipospos)
SELASA, 18 SEPTEMBER 2007

gondang batak,warisan yang tidak dihargai

Oleh : Mark Kenyton

Kalau kita dengar istilah “musik Batak”, apakah yang muncul dalam pikiran kita? Istilah “Batak”
berkenaan dengan sesuatu bangsa besar yang mengandung beberapa suku yang kebudayaannya dan
bahasanya berhubungan, tetapi juga berbeda.

Bangsa Batak termasuk suku Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Mandiling, dan Angkola.
Menurut kebiasaan di Indonesia, kalau kita dengar kata “Batak” kita biasanya pikir tentang kebudayaan
Batak Toba. Kemudian, kecuali kita yang bekerja dalam suasana anthropolog atau etnomusikolog,
istilah “musik Batak” hampir selalu disamakan dengan musik Batak Toba.

Kalau kita pikir tentang musik Batak, apakah itu yang timbul dalam akal kita? Dalam kota-kota besar
seperti Medan, jawabnya hampir selalu terkait dengan musik pop Batak seperti musik trio vokal yang
biasanya bisa didengar di pesta kawin, siaran radio musik Batak
, Karaoke, lapotuak dsb.
Bila musik pop Batak dipersembahkan di video biasanya di kaset karaoke, rasanya hampir selalu ada
tentang kerinduan desa, Danau toba, dan gaya hidup yang sering dianggap sudah hilang. Dalam video
sejenis ini, sering penyanyi dan penari pakai pakaian tradisi menari tortor di depan rumah tradisi, atau
dipinggir danau toba. Dalam video ini, kadang kita melihat sekilas ansambel musik tradisi Batak Toba;
Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi. Penglihatan sekilas ini, bagaimanpun biasanya sangat singkat
sekali dan hampir tidak pernah dibolehkan mendengar suara alat-alat ini dalam gambaran kebudayaan
Batak Toba yang ditengahi dan diatur oleh media. Kelompok musik tradisi Batak Toba sudah menjadi
lambang kebudayaan yang dilucuti oleh konteks dan makna asli. Gara-gara kekuatan media massa
dalam hidup modern ini, masyarakat Batak Toba, khususnya pemuda yang tinggal di kota menganggap
musik tradisi mereka sebagai simbol kebudayaan Batak tradisi, tetapi simbol tersebut melambangkan
baik pemandangan hidup maupum astetis musik yang biasanya mereka diasingkan dalam kehidupannya
sehari-hari.

GONDANG
Musik tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk kata “gondang”: 1.
Satu jenis musik tradisi Batak toba; 2. Komposisi yang ditemukan dalam jenis musik tsb. (misalnya
komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo dsb; dan 3. Alat musik “kendang”. Ada 2
ansambel musik gondang, yaitu Gondang Sabangunan yang biasanya dimainkan diluar rumah dihalaman
rumah; dan gondang Hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumah.

Gondang Sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup-“obo”), taganing (perlengkapan terdiri
dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune tsb), gordang (sebuah kendang
besar yang menonjolkan irama ritme), empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi
(biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama.

Sarune Bolon adalah alat tiup double reed (obo) yang mirip alat-alat lain yang bisa ditemukan di Jaw,
India, Cina, dsb. Pemain sarune mempergunakan teknik yang disebut marsiulak hosa (kembalikan nafas
terus menerus) dan biarkan pemain untuk memainkan frase-frase yang panjang sekali tanpa henti untuk
tarik nafas. Seperti disebut di atas, taganing adalah perlengkapan terdiri dari lima kendang yang
dikunci dan punya peran melodis sama dengan sarune. Tangga nada gondang sabangunan disusun dalam
cara yang sangat unik. Tangga nadanya dikunci dalam cara yang hampir sama (tapi tidak persis) dengan
tangga nada yang dimulai dari urutan pertama sampai kelima tangga nada diatonis mayor yang
ditemukan dimusik Barat: do, re, mi, fa, sol. Ini membentuk tangga nada pentatonis yang sangat unik,
dan sejauh yang saya tahu, tidak bisa ditemukan ditempat lain di dunia ini. Seperti musik gamelan yang
ditemukan di Jawa dan Bali, sistem tangga nada yang dipakai dalam musik gondang punya variasi
diantara setiap ansambel, variasi ini bergantung pada estetis pemain sarune dan pemain taganing.
Kemudian ada cukup banyak variasi diantara kelompik dan daerah yang menambah diversitas kewarisan
kebudayaan ini yang sangat berharga.

Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam struktur irama. Pola irama
gondang disebut doal, dan dalam konsepsinya mirip siklus gongan yang ditemukan dimusik gamelan dari
Jawa dan Bali, tetapi irama siklus doal lebih singkat.
Sebahagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel gondang
hasapi. Ansambel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi),
hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang
kecil yang main melody ambil peran taganing dalam ansambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling
terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari Cina), sarune etek
(sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ansambel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi
yang menguatkan irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).

Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam
gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di Barat. Ini karena
pengaruh musik gereja Kristen.

ASPEK-ASPEK SEJARAH
Ansambel musik yang memakai alat-alat terbuat dari perunggu di Sumatera biasanya terdiri dari
perlengkapan yang punya empat sampai dua belas gong kecil,satu atau dua gong besar yang digantung,
dua sampai sembilan kendang, satu alat tiup, penyari dan gembreng. Satu Ansambel yang khas jenis ini
ada gondang sabangunan dari batak toba. Ansambel ini masih dipakai dalam upacara agama Parmalim.
Gondang sabangunan punya peran yang penting sekali dalam upacara agama tersebut. Seperti pada
catatan di atas, Ansambel ini terdiri dari 4 gong yang main siklus irama gongan yang singkat,
perlengkapan lima kendang yang dikunci, satu sarune (alat tiup/ obo), satu kendang besar dan satu alat
perkusi (biasanya botol) untuk memperkuatkan irama.

Musik gondang sabangunan dipakai dalam upacara agama untuk menyampaikan doa manusia ke dunia
atas. Waktu musik dimainkan, pemain sarune dan pemain taganing dianggap sebagai menifestasi Batara
Guru. Musik ini dipergunakan untuk berkomunikasi dengan dunia atas dan rupanya tranformasi pemain
musik ini terjadi untuk memudahkan hubungan dengan dunia atas. Transformasi paradigma ini di mitos
Batak sangat mirip yang ada di Bali menunjuk bukti tidak langsung bahwa ada hubungan purbakala
diantara kebudayaan Batak Toba dan kebudayaan Bali. Biarpun hal ini tidak dapat dibuktikan, ada
kemungkinan yang berhubungan dengan sejarah, karena kedua kebudayaan masing-masing berhubungan
paling sedikit sebagai batas keluar kerajaan majapahit. Bersangkut dengan konsep kosmos bertingkat
tiga ada konsep tentang faktor mediasi; pohon kosmos atau pohon hidup. Pohon mitos ini yang
menghubungkan tiga dunia punya hubungan simbolis dengan pohon Bodhi dalam agama Budha, kayon di
wayang Bali dan Jawa, dan barangkali konsep ini lebih tua dari agama Budha dan agama Hindu. Dalam
konsepsi Batak peran musik mirip peran pohon kosmos; musik juga menguhubungkan dunia masing-
masing. Melalui musik gondang batasan diantara dunia dapat ditembus, doa manusia dapat sampai
kepada debata, dan berkah debata dapat sampai kepada manusia.

Dengan kedatangan agama Kristen ke Tanah Batak, pokok kebudayaan Batak sangat diubah sekali.
Interaksi dengan agama baru ini dan nilai-nilai barat menggoncangkan kebudayaan tradisi batak toba
sampai ke akarnya. Menurut gereja Kristen musik gondang berhubungan dengan kesurupan, pemujaan
roh nenek moyang, dan agama Batak asli, terlalu bahaya untuk dibolehkan terus dimainkan lagi. Pada
awal abad kedua puluh Nommensen minta pemerintah kolonial Belanda untuk melarang upacara bius
dan musik gondang. Larangan ini bertahan hampir empat puluh tahun sampai pada tahun 1938. Itu
merupakan suatu pukulan utama untuk agama tradisi Batak Toba dan musik gondang yang sangat terkait
dengan agama tsb.

KONDISI MODERN
Migrasi batak ke kota mulai di tahun 1910 tapi hanya setelah Indonesia merdeka migrasi tersebut
tambah besar di thn 50-an. Migrasi ke kota menyebabkan interaksi dengan suku lain di kota-kota
Indonesia yang penduduknya sebagian besar beragama Islam. Dalam lingkungan multi etnis ini banyak
orang batak ketemu rasa identitas batak yang menjadi lebih kuat terhadap suku lain. Tetapi banyak
orang batak pula dalam proses menyatukan diri dengan masyarakat Indonesia meninggalkan banyak
aspek bahasanya, kebudayaannya, dan tradisinya. Disisi lain ada bagian orang batak kota yang menjadi
lebih sadar tentang kepentingan identitas masyarakat batak dan berusaha untuk menegaskan rasa batak
dan memberikan dana untuk upacara tugu dan perayaan lain di desanya.

Ada orang batak kota yang sudah menjadi makmur yang sering membiayai upacara. Mereka membawa
estetis kosmopolitan yang adakalanya melawan estetis tradisi. Identifikasi dengan nilai-nilai mengenai
kemoderenan, kemajuan, pendidikan dan kemakmuran sering diekspresikan dengan afinitas kepada apa
yang dianggap moderen. Misalnya sekarang di pesta atau upacara seolah-olah musik grup keyboard yang
main poco-poco lebih laris dan dihargai daripada dengan musik gondang yang lama punya peran yang
sangat penting dalam upacara adat. Pesta kawin yang moderen tidak lagi dianggap lengkap tanpa musik
keyboard atau musik tiup yang main lagu pop batak atau pop barat, sebaliknya mungkin ansambel musik
gondang dianggap kampungan oleh orang kota kecenderungan mengindentifikasi dengan modernitas
tidak salah.

Kita semua harus hidup dalam dunia modern dan harus menghadapi media global dan periklanan, suka
atau tidak makin bertambah mempengaruhi pikiran dan selera setiap orang. Kita tidak mampu tinggal di
masa dahulu dan melarikan diri dari kemajuan. Tetapi, ada ancaman bahwa dalam generasi ini kita
dapat menghilangkan sejenis musik tradisi yang disebut gondang, yang sampai akhir-akhir ini adalah
manifestasi kebudayaan batak toba yang sangat penting baik dalam bidang masyarakat maupun bidang
rohani.

KESIMPULAN
Sebagai mahasiswa etnomusikologi (pelajaran musik daerah), saya baru diperkenalkan kepada musik
gondang batak toba tahun 1993 di Universitas Washington, Seattle, AS. Saya langsung jatuh cinta
dengan musik ini yang indah dan sangat unik. Melodi-melodi yang kompleks sekali dimainkan oleh
sarune bolon dan taganing berjalin dengan irama gondang, ogung, dan hesek dalam cara yang hipnotis,
seperti jiwa saya dipanggil musik ini. Ternyata musik ini dimaksud pas untuk tujuan ini. Saya didorong
oleh dua kawan etnomusikologis batak untuk mempelajari musik ini yang luar biasa indah dan jarang
didengar di luar Sumatera Utara.

Susah hati saya menyaksikan kemunduran musik gondang. Masyarakat batak adalah masyarakat yang
bangga dan bersemangat yang nilai kebudayaan dan identitas. Kemudian, menurut saya sangat
membingungkan sekali warisan luar biasa ini bisa ditinggalkan. Kenapa musik tradisi Bali dan Jawa
masih hidup, walaupun gondang batak sekarang diambang kepunahan. Apakah kebudayaan Bali atau
Jawa lebih unggul daripada kebudayaan batak? Saya rasa tidak.

Dibutuhkan langkah mengorganisasikan program untuk mempelajari kebudayaan tradisi batak,


tujuannya dokumentasi, pelestarian, pendidikan, dan promosi kebudayaan tradisi batak. Bergabung
dalam penelitian dan dokumentasi yang sudah dilakukan untuk mengusahakan melawan erosi
kebudayaan tradisi yang menonjol sekali, khusus dalam bidang seni. Saya menganjurkan memperhatikan
seni musik, karena ini bidang saya, tapi keprhatinan saya mengenai semua aspek-aspek kebudayaan.
Karena tekanan modernisasi, globalisasi, media massa, dan daya tarik dunia barat kebudayaan tradisi
dan khusus musik gondang terancam hilang. Kehilangan musik gondang yang disebut banyak orang sudah
terjadi, tentu saja tragis sekali.

Upacara dan pesta yang dulu berperan sebagai tempat penampilan musik tradisi semakin kurang karena
orang lebih suka grup keyboard atau trio vokal yang lebih mencerminkan modernitas dan kejauhan dari
semua hal yang disebut kampungan. Musik pop batak yang tentu juga adalah identitas etnis suku batak
toba, biasanya ada musik country dan balada pop tua Amerika yang memakai bahasa batak. Musiknya
tidak ada hubungan kuat dengan masyarakat batak, kecuali sekali-sekali sebagai contoh kebudayaan
dalam proses perubahan, tapi betapa tragis kalau musik pop batak ini menggantikan musik gondang
yang merupakan warisan berharga tapi kurang dihargai.

Semakin lama semakin banyak pemain gondang meninggal dunia dan pemain yang lebih muda didorong
oleh hal-hal estetis dan ekonomis untuk main musik yang lebih laris. Kemungkinan muncul bahwa musik
gondang akan hilang sebahagian besar atau semuanya. Ini tidak boleh diabaikan. Ada kemungkinan
besar bahwa gondang hanya akan bertahan hidup dalam konteks agama Parmalim yang masih
mempergunakan musik ini dalam konteks aslinya. Mereka mempergunakan musik nenek moyangnya
untuk menghormati nenek moyang tsb dan untuk menyampaikan doa ke Debata Mulajadi Nabolon.

Betapa tragis kalau dalam hidup warisan batak berbentuk musik indah ini, yang punya sejarah sangat
lama, berharga dan sangat unik di dunia, akan punah. Dalam dunia barat kami sudah lama lupa banyak
tradisi, dan ada kecenderungan untuk mencari yang sakral dari kebudayaan lain, saya bertemu dengan
musik sakral dan luar biasa di Sumatera Utara, tetapi musik ini mungkin akan punah karena masyarakat
yang melahirkannya tidak lagi cukup perduli. (Penulis adalah kandidat doktor di Universitas Washington
Seatle, AS)
Gondang batak, salah satu karya seni musik batak yang sangat kaya dan menjadi kekaguman
bagi dunia. Repertoarnya yang beragam memenuhi segala kebutuhan seni yang digunakan untuk
beragam kegiatan seperti pada upacara keagamaan, adat dan hiburan.

Modernisasi telah menggempur sendi kebesaran Gondang Batak. Kita hanya bisa melihat alat
kesenian itu dimainkan dengan versi modern, repertoar gondang batak yang asli sudah jarang
dimunculkan.

Pargonsi, pemain gondang batak muda tidak lagi mementingkan penguasaan ragam gondang
batak, karena pada umumnya masyarakat batak lebih menginginkan irama modern seperti
nyanyian bahkan dangdut.

Seniman tua gondang batak saat ini di toba pun sudah jarang memunculkan ragam gondang
batak itu karena ketidakmampuan masyarakat mengenalinya.

Saat dimulai pendokumentasian gondang batak, sebagian yang masih diingat nama gondang itu
dilakukan pengkajian makna dan pengertian judulnya. Walau agak sulit, akhirnya dapat direka
pengertiannya ketika gondang itu dari awal tercipta, dimainkan, diminta dan diaplikasikan pada
saat manortor.

Beberapa gondang yang dapat saya simpulkan atas kerjasama dengan para pargonsi, tersusun
menjadi narasi singkat untuk memudahkan pemahaman kita akan makna dasar dari gondang itu
dibuat dan digunakan.

GONDANG MULA MULA

Semula Dia sudah ada, dan Dia memulai ada. Ada dunia, jagad raya beserta isinya, Ada bumi
dengan manusia bersama mahluk pendampingnya. Dia Mula Jadi, Mula Tempah, mula dari
segala sesuatunya yang semuanya harus tunduk kepadaNya.

(Gondang ini umumnya dimainkan saat mengawali acara “mamuhai ulaon” oleh hasuhuton.
Sebelum “hasuhuton meminta Mula-Mula, pargonsi lebih dulu memainkan uantaian 7 gondang
secara medley yang disebut “sipitulili”)

MULA MULA II (Paidua ni mula2)

Dia diberi anugerah oleh Mula Jadi. Dia diberi kewenangan mengelola bumi untuk pemenuhan
kalangsungan hidupnya. Dia memulai karya dan usaha. Dia yang pintar menuturkan sembah
“Deak Marujar”. Dia yang pintar menuturkan ilmu pengetahuan “Deak boto-botoan”. Dia yang
pertama menghadapi tantangan, kegelisahan, tangis dan gembira. Dia mengajarkan cinta
sesama. Dia yang pertama memohon ampun kepada penciptanya. Dia yang pertama
menuturkan sembah sujud kepada yang empu-nya, Mula Jadi yang maha besar.

(Deak Parujar adalah Dewi pertama yang menjadi manusia pertama menghuni bumi, begitulah
kepercayaan batak dulunya. Dialah yang memohon dan mengkreasi planet earth ini diantara
planet-planet yang sudah ada menjadi huniannya setelah memutuskan mmenisah diri dari dunia
dewata. Dia adalah memulai selanjutnya untuk kreasi hidup di planet yang dihuni manusia ini)

SIHARUNGGUAN

Jadilah manusia yang dicinta, pintar, bijak dan bestari. Yang memberi pencerahan hingga
didekati, yang memberi kehidupan hingga ditemani. Yang memberi tuntunan hingga diikuti. Yang
melakukan pembelaan dengan keadilan hingga percayai. Dibelakang, dia ditunggu, didepan dia
dikejar, ditengan dia dikerumuni.

(Harungguan, adalah tempat berkumpul. Pekan disebut juga harungguan. Siharungguan artinya
yang dikerumuni. Ini merupakan idealismenya pemimpin batak)

SIDABU PETEK

Demokrasi baru muncul di tanah batak. Pemimpin yang dulunya muncul berdasarkan karakter
harajaon, pemimpin alam, berobah dengan menjagokan diri dan siap untuk dilakukan voting.

Petek, merupakan koin suara yang dimasukkan kedalam kotak suara dan selanjutnya dihitung.
Mulai muncul rasa cemas, menang atau kalah. Butuh kesiapan mental, menerima kedua resiko.

Kalah, harus diterima menjadi kewajaran, walau tidak dapat dipungkiri akan muncul rasa kecewa.
Hanya yang berjiwa besar yang dapat menerima kekalahan dan mengakui kemenangan kepada
saingannya.

(Berdasarkan pengalaman Panuhari, seorang pargonsi yang ikut pemilihan kepala kampung di
salah satu wilayah di Samosir. Dia menggambarkan gejolak antara semangat dan kecemasan
mengawali penyertaannya. Fakta, dia harus menerima kekalahan dengan berlapang dada walau
diawali dengan rasa kecewa.)

SIBUNGKA PINGKIRAN

Kegagalan akan menimbulkan kekecewaan. Kehilangan akan menimbulkan kesedihan. Larut


dalam duka akan menenggelamkan semangat perjuangan.
Selagi masih dapat berpikir, mari memulai. Selagi masih memiliki kaki, mari berdiri. Ayunkan
selangkah hingga kamu dapat berlari.

(Sibungka Pingkiran, adalah mengajak manusia untuk tidak tenggelam dalam kegagalan.
Mengajak bergerak dinamis dengan mengutamakan kecerdasan, mampu menganalisa dan tepat
membuat keputusan.)

HOTANG MULAKULAK

Hidup adalah perjalanan. Ke depan adalah tujuan. Namun dalam menempuh perjalanan itu tak
pelak kadang harus melewati awal keberangkatan, meninggalkan, berkeliling. Tanpa disadari,
tanpa dilakukan penghitungan, manusia sudah melakukan perjalanan menuju kedepan namun
berulang melintasi titik keberangkatan.

(Hotang, adalah rotan yang tumbuh menjalar melalui tanah, ranting pohon lain, membelit
berkeliling hingga melilit batang awalnya. Perjalanan jauh kemungkinan besar akan kembali ke
asalanya. Hati yang menjauh juga diharapkan akan kembali kepada untaian kasih yang sempat
tertinggal dan terabaikan)

ALIT-ALIT

Hidup bagaikan melintasi hutan belantara. Setiap persimpangan harus diingat dan dibuat tanda
arah ke tujuan yang akan dicapai. Kelengahan membaca dan mengingat pertanda menentukan
arah akan menyesatkan perjalanan, menghabiskan waktu dan melelahkan.

(Alit-alit, diciptakan Aman Jabatan seorang pargonsi dari Samosir berdasarkan pengalamannya
yang tersesat dalam perjalanan. Yang seogianya ditempuh dalam 2 jam, dia tersesat selama satu
hari.)

BINTANG SIPARIAMA

Bintang Sipariama sudah muncul. Masa panen pun menjelang. Semangat semakin bergelora,
dibarengi kesibukan berbagai persiapan. Kebersamaan pun digalang untuk melakukan panen
bersama, “siadap ari” bergantian memetik padi. Tidak ada guna rebutan jadwal, karena
kematangan padi yang menentukan. Kegentingan hidup selama “haleon” pacekelik mencair,
seraya mengucap syukur kepada Maha Kasih.

(Bintang Pari, adalah pertanda dalam hitungan bulan batak “sipahatolu”. Pada saat itu musim
panen mulai marak di Toba. Bila tidak memiliki hasil panen pada bulan ini disebutkan kelaparan
di musim panen “anturaparon di sipahatolu, atau anturaparon di sipariama. Biasanya dilontarkan
kepada yang malas bekerja dan selalu mengemis menyambung hidup.)

BINTANG NAPURASA

Gemerlap cahaya bintang napurasa akan memerikan keindahan dalam hiasan langit malam.
Gemerlap bintang adalah kodratnya yang hanya bisa dilihat di saat kelam. Gemerlap Bintang
Napurasa tidak abadi setiap malam. Bila gemerlap datang dan menghilang ingatlah kepada
bintang dilangit. Tak selamanya keinginan menjadi kebutuhan. Tak selamanya kebutuhan diukur
dengan gemerlap.

(Bintang Napurasa adalah yang nampah jelas menjelang pagi hari. Kecemerlangan seseorang
diibaratkan seperti bintang bersinar terang. Kecemerlangan adalah idaman setiap orang, namun
ada sebagian masih dalam harapan sehingga lebih sering menjadi pengagum kecemerlangan
orang lain)

HATA SO PISIK

Memikul muatan berat, bila lelah, istirahat adalah kesempatan pemulihan tenaga. Bila beban itu
ada dalam pemikiran, adalah mustahil dapat diringankan dengan istirahat fisik, karena akan
selalu muncul tak beraturan menjadi beban dalam pemikiran.

Seorang pemimpin kadang harus menyimpan rahasia yang tidak dipublikasikan kepada
masyarakat untuk mencegah konflik.

(Gondang ini terinspirasi oleh Sisingamangaraja I ketika menerima amanah dari Raja Uti untuk
tidak menyebutkan wujud fisik beliau. Tanda dari perjanjian itu kepada Sisingamangaraja I diberi
tabutabu siratapullang, sian i ro tusi sumuang molo diose padan. Di tengah perjalanan saat
Sisingamangaraja istirahat, beliau terkenang dan dalam hati menyebut wujud dari raja Uti. Beliau
terkejut, dan tabutabu sitarapullang pun menghilang. Gondang ini lajim dipinta oleh para Raja
untuk mengenang beban tugas mereka dan banyaknya rahasia yang harus dipendam namun
harus diselesaikan dengan bijaksana. Irama gondang ini sangat beda dengan gondang
“Marhusip” yang sering disebut selama ini Hata So Pisik.)

ALING-ALING SAHALA

Para Raja di kalangan Batak tempo dulu sangat menjaga etika moral, hukum dan adat istiadat.
Kapasitasnya dalam menegakkan kebenaran di masyarakat adalah wujud dari kehormatan
(hasangapon) dan menjunjung kewibawaan (sahala) pada diri mereka.

Bila nilai tak dapat dipertahankan maka “sahala” (karisma) akan ambruk. Ibarat tanduk yang
tercabut dari kepala. Penyesalan tiada guna.

Para Raja Batak dulu mengalami degradasi dengan masuknya peradaban modern melalui
penjajahan dan missi agama. Kewibawaan mereka dicabut, perilaku mereka dipandang sesat.
Keturunan mereka satu persatu mulai menjauh.

Duka dihatinya tak ditangiskan. Keterpurukan wibawanya bukan karena kesalahan. Sahala
mereka mulai menjauh. Mereka berseru melalui gerakan tari diiringi irama; “Mengapa ini harus
terjadi?.

(Aling-aling Sahala, diartikan sebagai mengenang/memanggil kembali karisma diri mereka yang
hilang dan permohonan maaf kepada Pencipta yang memberikan derajat kehormatan itu (dulu)
kepada mereka.)

RAMBU PINUNGU
Kehidupan penuh dengan keanekaragaman. Manusia memiliki pahala masing-masing dan sifat
berbeda dalam menjalankan kehidupannya. Bagi seorang pemimpin adalah pekerjaan penuh
kecermatan dalam mempersatukan masing-masing perbedaan karakter manusia. Mereka butuh
kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan untuk mampu mengemban tugas mulia, mempersatukan
derap langkah masyarakat dalam kedamaian, kerukunan dan ketaatan dalam hukum.

(Rambu, adalah untaian pada ujung ulos. Pinungu, artinya dihimpun. Para raja dikalangan batak
biasanya menggunakan “talitali” ikat kepala lambang kebesaran yang disebut “tumtuman”. Dari
kain hitam yang kedua diujungnya ada rambu warna merah.)

BINDU MATOGA

Aku tanpa kamu tidak berarti. Kamu tanpa aku apakah ada arti? Kamu, aku dan dia adalah kita.
Kita bersama memadu pikir demi kepentingan kita dan mereka. Hidup kita bangun, semangat kita
galang, setiap sisi kita hempang dari serangan. Selamatkan jiwa dari tindakan buruk orang yang
tidak sejalan. Lindungi diri dari serangan penyakit yang membahayakan. Lakukan kajian dimana
sisi lemah yang dapat menghancurkan.

Kita adalah sama. Karena bersama kita tegar “toga”. Dalan semua sudut, sisi, waktu, kita catat
dalam “bindu” halaman kerja, apa yang sudah kita buat dan apa yang masih perlu dilakukan
tindakan. Semua demi keutuhan dan kebersamaan.

(Bindu Matoga. Digambarkan dengan garis segi empat bertajuk delapan sesuai dengan mata
angin. Digambarkan sebagai penguasaan semua system alam dengan mencegah hal buruk yang
dapat merusak keutuhan dan kesehatan. Nujum bindu matoga sering dilakukan peramal untuk
mengetahui dari mana kemungkinan datangnya musuh, penyakit apa yang mungkin muncul.
Tindakan apa yang harus dilakukan mengatasi masalah demi kesejahteraan masyarakat.)

SIDOLI NATIHAL

Masa muda bagi seorang pria penuh dengan gairah. Mulai memasuki area kompetisi
menunjukkan eksistensi seorang perjaka. Mereka berekspresi penuh dengan tingkah polah untuk
mendapat perhatian publik dan lawan jenisnya. Dengan dorongan sifat dinamis untuk mendapat
pengakuan. Kadang, mereka salah dalam tingkah laku kemudaannya.

(Biasanya diperdengarkan saat Gondang Naposo dimana para pria menari menunjukkan
kebolehannya penuh dengan gaya.)

TANDUK NI HORBO PAUNG

Seseorang yang memiliki kehormatan, adalah yang memegang teguh etika moral dan taat
hukum. Dia terkontrol oleh penghormatan kepada dirinya itu dalam semua sikap dan perilakunya.
Rambu ini membatasi kebebasan dirinya dalam setiap kesempatan, ibarat kerbau yang
bertanduk panjang menjalani lorong sempit. Lolos dalam perjalanan yang penuh tantangan dan
godaan adalah kemenangan baginya.

(Nama gondang ini dulunya disebut juga PARDALAN NI HORBO SISAPANG NAUALU. Seekor
kerbau yang bentang tanduknya panjang sekitar satu meter. Lorong sempit yang disebut balubu
atau bahal adalah lintasan segala ternak ke perkampungan. Kerbau itu kadang kesulitan akibat
sempitnya lorong atau adanya dahan yang menjorok ke bahal.)

LILIT TU METER

Kecerdasan dan intelektual Batak sudah teruji sejak jaman dahulu kala. Pertanda dari
kecerdasan mereka itu dapat kita lihat dengan bangunan rumah adat, gorga dan ulos. Mereka
melakukan pengukuran dengan istilah “suhat” untuk panjang dan tinggi “lilit” untuk mengukur
lingkaran.

Dengan datangnya alat ukur “meter” mereka semakin terbekali dan mendapatkan keseragaman
ukuran. Ketika meter kayu digunakan, mereka kebingungan saat mengukur diameter karena tidak
dapat melilit seperti kebiasaan mereka. Hingga mereka melakukan ukuran kepada tali kemudian
mereka melakukan pengukuran dengan melilit.

Apa yang mereka hasilkan hanya dengan pengukuran “suhat” dan “lilit”? Apa perbedaan setelah
menggunakan meter? Semua konstruksi, petakan sawah, saluran irigasi, planologi
perkampungan yang mereka ciptakan sebelum mengenal meter saat ini masih abadi.

(Pendidikan modern hanya penambahan bekal intelektual mereka. Ini membuktikan bahwa
mereka mampu beradaptasi dengan perkembangan tanpa harus menyebut mereka “bodoh,
tertinggal, primitive” sebelum pendidikan formal hadir.)

TUKTUK HOLING

Beragam lambang kebanggaan manusia sejak muda hingga tua. Orang tua batak biasanya
makan sirih. Bila gigi sudah makin lemah hati mengeluh, mereka butuh alat penumbuk sirih. Alat
penumbuk dikenal setelah datangnya logam yang dibuat khusus menumbuk sirih. Kadang alat
penumbuk itu dibuat beragam variasi yang indah dengan material tembaga dan perak. Ada juga
yang menempahkan dengan lilitan penghias dari emas. Mereka membanggakan peralatan itu
layaknya seperti perhiasan.

Alat penumbuknya dibuat dari besi tembaga keras yang kelak menghentak keras bagaikan
patukan burung berparuh besi.

(Tutuk Holing, adalah nama burung yang berparuh keras yang dapat melobangi batang kayu
keras untuk membuat sarang dan dan mencari makanan.)

PARSOLUBOLON

Hidup adalah perjuangan. Perjuangan tidak luput dari tantangan. Kebersamaan adalah
pengumpulan kekuatan. Kesepahaman adalah akselerasi keragaman potensi diri dalam
menjalankan misi bersama untuk sampai di tujuan.

(Solubolon, adalah sampan besar yang muat sekitar 12 orang. Parsolubolon adalah mereka yang
sedang mengarungi perairan dengan sampan besar itu. Mereka memiliki pedoman dasar
“masihilalaan” tenggang rasa. Bila pengendali kemudi tidak pintar, pengayuh akan kewalahan.
Sebaliknya bila pengayuh tidak pintar, maka pengayuh lainnya akan kelelahan dan pengemudi
akan repot. Akselerasi potensi “parsolubolon” akan mampu menghindari bahaya dari serangan
ombak.)

SAPADANG NAUSE

Panganan utama orang batak adalah nasi yang terbuat dari beras berasal dari padi. Bila hasil
panen mencukupi bekal satu tahun maka kekhawatiran pun sirna.

Bila bekal padi tidak mencukupi maka sapadang yang tumbuh liar di ladang pun dipetik.

Tidak ada kata kelaparan bila bijak mengolah hidup. Tidak ada yang hina bila kenyang makan
tanpa beras. Ubi dan Sapadang adalah jalan keluar dari kemelut ketersediaan bekal beras yang
terbatas.

(Sapadang adalah tumbuhan mirip gandum biasanya tanamn liar. Sapadang Nause adalah bijian
yang bernas dan tua yang memberikan semangat bagi yang menemukannya. Sapadang diolah
dengan telaten dan dimasak hingga nikmat dimakan sebagai pengganti nasi yang terbuat dari
beras. Nause tidak mengandung pengertian “tumpah, berhamburan” tapi “sesak, padat, bernas,
keluar dari” dalam kulitnya.)

SEKKIAN TALI MERA

Judi kadang membahagiakan, namun lebih banyak berdampak kesusahan. Senang saat
permainan dijalankan, tapi kerugian bila menuai kekalahan. Mereka menghayal akan menang,
mengharap mendapat giliran “ceki” penentu kemenangan. Bila kartu penentu warna merah
muncul, hentakan kegembiraan muncul.

Pengalaman para penjudi selalu menyimpulkan, lebih besar kesusahan daripada kebahagiaan
dari permainan judi. Badan tersiksa, pekerjaan terlantar, harta benda tergadai.

(Bedasarkan pengalaman penjudi kalangan masyarakat Batak jaman dulu yang selalu
menghimbau agar terhindar dari ketagihan permainan itu dan bekerja dengan giat adalah yang
terbaik.)

TORTOR

Tortor adalah gerakan tubuh mengiringi atau diiringi irama gondang. Pemahaman makna
gondang dan untaian irama bagi yang pandai menggerakkan tubuh akan menghasilkan tortor
yang indah.

Tortor batak sangat individual, merupakan ritual kehidupan menjadi persembahan kepada publik,
lingkungan dan penciptanya. Jelas bukan merupakan hiburan.

Dari gerakan tortor, seseorang dapat melakukan komunikasi dengan publik, misalnya bila
seseorang mengangkat tangan dan menunjukkan satu jari tangan kanan dan mengepal jari
tangan kiri, artinya dia hanya memiliki seorang putra. Bila seorang penari meletakkan tangan
keduanya diatas pundak, artinya semua anaknya dan perilaku anaknya serta kehidupannya
masih menjadi beban dan tanggungjawab yang masih dipikul. Bila seorang penari menyilangkan
tangan di dada, artinya dia sering menjadi sasaran cemohan, sering mendapat hambatan dan
permasalahan lainnya. Bila seorang penari meletakkan kedua telapak tangan diatas kepala,
artinya dia mohon perlindungan, belas kasihan dari manusia dan penciptanya.

Bila kedua tangan dirapatkan dipinggang dan telapak tangan dikepal mengarah kebelakan,
artinya masih banyak rahasia hidupnya yang belum duberitahukan kepada orang lain.

Bila seseorang penari merentangkan tangan kekiri dan kekanan dengan telapak tangan terbuka
kesamping artinya anak-anaknya semua atau sebagian besar sudah sudah mandiri dan
menempati ruang yang luas di penjuru desa.

Bila seseorang merentangkan tangan kedepan dengan telapak tangan terbuka dan tangan kiri
ditutupkan diperut, artinya menghimbau datangnya rejeki atau bantuan kerjasama untuk
keberuntungan kepadanya. Bila tangan kiri rapat didada dan telapak tangan terbuka artinya dia
menghimbau dengan tebuka menciptakan persahabatan dan kerukunan.

Bila tangan kanan dijulurkan kedepan dan telapak tangan duarakan juga kedepan serta tangan
kiri ditutupkan di dada artinya mohon dihentikan segala perbuatan yang mencemari merugikan
kepada dirinya.

Bila kedua tangan diarahkan kedepan dan telapak tangan terbuka keatas serta sering dilipat
menutup artinya ajakan mari bersama-sama ajakan kepada semua untuk menari bersama,
menjalin persahabatan dan mempererat persaudaraan.

Ini baru sebagian dari apa yang dipahami para ibu tua yang memahami tortor batak.

Pakem tortor batak dan pemaknaannya akan kita ulas kemudian setelah penelitian yang lebih
dalam.

KREASI TORTOR DAN GONDANG

Ketika tortor telah menjadi hiburan, para penari dalam pesta adat pun tidak karuan lagi
menunjukkan lenggak lenggoknya. Kadang melampaui tata krama tradisi adat batak, tentang
kesopanan, kesantunan dan kehormatan. Setelah maraknya musik eropah mengiringi tortor pada
pesta adat batak, pakem pun menjadi hilang, pemahaman gondang yang sebenarnya tidak lagi
berkembang, bahkan sebaliknya yang terjadi.

Kreasi tortor untuk hiburan diupayakan keseragaman gerak. Ini memang menjadi bagian dalam
seni pertunjukan. Generesi muda cenderung hanya melihat tortor hiburan dan tidak pernah lagi
menyaksikan tortor yang sebenarnya yang dilakonkan para panortor yang sebenarnya.

Manortor dengan benar kadang dituding kesurupan. Kebodohan menjadi peluru peluru
penumpas kebenaran. Tortor batak semakin erosi, seiring dengan hilangnya pemaknaan
gondang batak itu.

Pernah (bahkan sampai saat ini) Gondang batak dirtuding sebagai ensambel untuk pemujaan
berhala. Alat untuk memanggil roh orang meninggal. Panortor yang sering kesurupan.
Pada jaman Belanda, atas rekomendasi mission, gondang batak dilarang. Kemudian diberi
kelonggaran untuk pesta adat dengan perijinan yang ketat. Penerapan ijin ini sempat
berlangsung lama hingga masuknya musik barat. Musik barat untuk pesta adat tidak perlu
mendapatkan ijin. Pada jaman kemerdekaan, gondang batak justru tersudut karena melanjutkan
perlakuan ijin dalam kurun waktu lama.

Begitu dalamnya penistaan terhadap gondang batak, seiring itu pula keengganan orang batak
untuk melakukan aksi penggalian nilai gondang batak itu. Banyak yang melakukan penelitian
sebatas untuk tesis keilmuan, tapi belum banyak yang menemukan “roh”nya karena
dilatarbelakangi refrensi keberhalaan gondang batak itu.
Ditulis oleh http://tanobatak.wordpress.com . Monang Naipospos

Gondang Batak Toba

Banyak orang Batak yang menganggap bahwa gondang Batak itu identik dengan kekuatan magis dan ritual-
ritual sejenisnya. Namun ternyata setelah melihat lebih dekat, saya mengamati bahwa gondang tidak semata-
mata hanya untuk keperluan adat saja. Saya pernah mendengarkan sebuah cerita tentang sebuah gondang
yang diciptakan oleh seorang penatua suatu huta sebagai ungkapan keluh kesah dan keresahan hatinya.
Penatua tersebut baru saja kalah dalam suatu pemilihan kepala desa dan untuk mengungkapkan kegundahan
hatinya, beliau menciptakan sebuah gondang, saya lupa apa nama gondangnya, tetapi gondang tersebut benar-
benar tidak ada kaitannya dengan kekuatan magis dan sejenisnya.
Pernah dengar Gondang si Bunga Jambu? Gondang ini adalah salah satu jenis gondang yang dimainkan ketika
kumpulan remaja dan orang muda menari bersama dalam tarian sukacita. Sama sekali tidak ada kaitan magisnya
kan? Memang sebagian besar gondang biasanya digunakan dalam upacara adat dan ritual-ritual tertentu. Namun
kita juga menikmatinya sebagai bentuk musik yang kaya dengan nuansa Batak -"habatahon".

Apakah anda juga tahu kalau komposisi gondang itu juga terdiri dari dua bagian? Kalau ini saya baru
tahu.Ternyata yang dinamakan gondang hasapi dan gondang sabangunan itu berbeda. Kalau dulu di telinga
saya, sama saja bunyi dan iramanya. Setelah saya amati dan dengarkan lebih lanjut ternyata memang berbeda.
Sebut saja gondang hasapi. Komposisi sebuah gondang hasapi biasanya dimainkan oleh tidak kurang dari 5
orang, yaitu 1 orang pemain garantung, 1 orang pemain hasapi doal, 1 orang pemain hasapi ende, 1 orang
pemain sarune etek dan 1 orang pemain hesek. Nah... hasapi adalah keunikan dari gondang hasapi. Hasapi
tentunya tidak dimainkan dalam gondang sabangunan. Gondang Sabangunan terdiri dari paling tidak 8 orang,
yaitu 1 orang pemain gordang bolon, 1 orang pemain taganing, 1 orang pemain ogung oloan, 1 orang pemain
ogung panggora, 1 orang pemain ogung ihutan, 1 orang pemain ogung doal, 1 orang pemain sarune bolon dan 1
orang pemain hesek.

Lalu dimana perbedaan mereka? Nah.. ini yang bisa saya amati. Dalam gondang hasapi terdapat garantung
dengan 5 bilah kayu sebagai pembawa tempo. Garantung ini sama fungsinya dengan taganing yang ada di
gondang sabangunan. Kalau sarune yang mereka gunakan sih sama saja fungsinya, sebagai pembawa irama
lagu. Yang membedakan hanya ukuran sarune yang digunakan. Pada gondang hasapi digunakan sarune etek dan
pada gondang sabangunan digunakan sarune bolon. Hasapi yang digunakan pada gondang hasapi memiliki
fungsi yang sama dengan ogung yang terdapat pada gondang sabangunan. Pada kenyataannya gondang
sabangunan memiliki instrumen yang lebih lengkap, dan terkadang ditambah dengan penggunaan odap-odap,
sejenis gordang kecil yang digunakan untuk menambah kekayaan ketukan pada gondang.

Saya ingat pengalaman di waktu kecil, ketika keluarga saya yang ingin menyelenggarakan pesta hendak
mengundang para kerabat, disepakati untuk menggunakan gondang sabangunan setelah melalui perdebatan
yang panjang. Saya ingat ada beberapa ketentuan yang berlaku pada masa itu untuk dapat menggunakan
gondang sabangunan. Saya tidak ingat secara pasti tetapi salah satunya adalah karena alasan pembiayaan. Tentu
saja hal tersebut masuk akal mengingat rombongan yang akan disewa untuk memainkan gondang akan lebih
banyak jumlahnya. Sejauh pengamatan saya, saat ini sudah lebih banyak orang yang memilih untuk
menggunakan fasilitas musik modern daripada gondang. Selain karena lebih sesuai dengan keinginan hati
mereka, alat musik modern juga relatif lebih murah pembiayaannya dibanding dengan gondang. Memang hal
tersebut lumrah adanya, mengingat semakin terbatasnya jumlah orang yang dapat memainkan gondang dengan
baik, paralatan gondang pun semakin sulit didapati.

Pernah dalam satu kesempatan untuk mengundang tim pemain gondang, saya bersama beberapa rekan harus
berkendara hingga jauh ke pelosok desa, dan setelah bertemu kami juga harus bersedia menunggu agar mereka
dapat melengkapi tim mereka terlebih dahulu. Wah ....sulit juga... Kenyataan itu sudah terjadi pada masa
sekarang, bagaimana lagi untuk 5-10 tahun mendatang? sungguh sangat menghawatirkan memang....

Tidak banyak lo..orang yang masih peduli dengan budaya.. boro-boro mikirin gondang dan lain
sebagainya...makan aja susah bagi sebagian orang. Beruntunglah diantara sedemikian banyak orang Batak,
masih tetap saja ada orang yang pedulli. Dan saya sangat salut terhadap mereka-mereka ini. Sebut saja salah
satunya kelompok diberi nama suarasama, salah satu tim yang menghidupkan kembali opera Batak Toba.
Mereka sudah banyak berkarya dan berpartisipasi untuk mengenalkan musik Batak ke dunia luar. Termasuk
salah satu program mereka di salah satu Universitas di Bandung, yaitu UPI. Program yang mengajarkan
permainan gondang kepada generasi muda(SMU-red) mendapat respon yang positif dari orang muda disana.
Dari program ini pula saya membaca dan memperoleh pengetahuan baru tentang berbagai teknik yang diajarkan
untuk memainkan gordang dan instrumen lainnya dalam gondang baik gondang hasapi maupun gondang
sabangunan. Ternyata masih bisa dipelajari lo...Merasa tertarik mempelajari permainan gondang? Anda boleh
memulainya dari sekarang...

Salam.
Diposkan oleh Bataknese Rich Culture di 8:53:00 PM 0 comment Link ke posting ini

Reaksi:

Selasa, 18 November 2008

PANDANGAN UMUM TENTANG ORANG BATAK

Setelah melakukan browsing secara umum di library internet, saya menemukan informasi-informasi berikut ini.
Memang rasanya sangat teoritis dan general. Namun gambaran umum ini saya rasa juga sedikit banyak dapat
menggambarkan seperti apa orang Batak itu dalam pandangan umum masyarakat. Ada kalanya saya menyebut
orang Batak atau orang Batak Toba. Pada kenyataannya orang Batak sangat identik dengan orang Batak Toba.
Akan tetapi fakta sebenarnya adalah ketika kita menyebut orang Batak itu berarti orang Batak secara
keseluruhan dan ketika kita menyebut orang Batak Toba berarti secara spesifik mengacu kepada sub suku Batak
Toba. Demikian halnya dengan pemakaian kosakata orang Batak..... lainnya. Semoga kompilasi uraian berikut
dapat membantu anda untuk dapat memahami tentang orang Batak. Banyak contoh yang saya ambil berasal dari
sub suku Batak Toba, harap dimaklumi karena saya juga adalah orang Batak Toba, sehingga sedikit banyak hal
tersebutlah yang paling saya kuasai. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk membicarakan
tentang kekayaan budaya sub suku Batak lainnya. Selamat membaca. (Maaf jika tulisannya membosankan
ya....^_^, mudah-mudahan tidak seburuk yang saya bayangkan)

Geografi dan Demografi

Tano Batak (Tanah Batak) meliputi daerah seluas kurang lebih 50.000 km2, berpusat di Tao Toba (Danau
Toba). Terbentang dari wilayah pegunungan Bukit Barisan di sisi sebelah barat Propinsi Sumatera Utara hingga
pantai pesisir di sebelah timur. Sebagian besar Tano Batak merupakan daerah dataran tinggi yang mengelilingi
Danau Toba berilkim sejuk sepanjang tahun , yaitu daerah Batak Karo, Batak Pakpak dan Batak Simalungun di
sebelah utara danau serta daerah Batak Toba, Batak Angkola dan Batak Mandailing di bagian selatan.
Pembagian daerah ini berdasarkan persebaran masing-masing sub suku Batak yang menempati wilayah Tano
Batak. Hingga saat ini pembagian daerah pemukiman masyarakat batak tersebut diatas juga digunakan sebagai
dasar pembagian daerah administratif yaitu setingkat kabupaten.

Daerah Tano Batak berbatasan dengan Propinsi Aceh di sebelah utara. Di sebelah barat berbatasan dengan
daerah kepulauan Nias dan di sebelah timur berbatasan dengan daerah kediaman masyarakat mayoritas melayu
yaitu wilayah Medan dan Deli. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan daerah Sumatera Barat.

Danau Toba sebagai simpul pemersatu Tano Toba berada pada ketinggian 900m di atas permukaan laut. Danau
Toba terbentuk dari bekas kawah letusan gunung berapi yang kemudian dipenuhi oleh air. Danau Toba adalah
salah satu kebanggaan masyarakat Batak sebagai danau terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan
pemandangannya yang menawan di sekitar danau. Terdapat sebuah pulau di tengah-tengah Danau Toba yang
dinamakan Pulau Samosir (menurut sejarah sesungguhnya dahulu tidak benar-benar terpisah dengan dataran
disekeliling Danau Toba artinya tidak benar-benar sebagai sebagai sebuah pulau).

Masyarakat yang menamakan dirinya Bangso Batak ini meliputi sekitar +6 juta populasi (sensus tahun 2000,
hmmm sudah lama juga ya tidak ada sensus lagi), terdiri dari 6 sub suku Batak yaitu Batak Karo, Batak Pakpak,
Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Kumpulan masyarakat ini disatukan
oleh kesamaan dalam hal bahasa, adat istiadat dan juga kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu nenek
moyang yang sama yaitu si Raja Batak. Mata pencaharian sebagai petani baik petani sawah dan ladang
merupakan mata pencaharian utama mereka disamping mata pencaharian lainnya seperti pedagang, tenaga
pengajar, pelaku seni, dlsb. Agama yang dianut oleh masyarakat Batak adalah Kristen, Islam, Hindu dan Budha
serta aliran kepercayaan yang masih tetap dianut oleh sebagian kecil masyarakat hingga saat ini.

Masyarakat Batak merupakan masyarakat perantau yang diwarisi dengan sifat pekerja keras, berani, jujur dan
pantang menyerah. Keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik selalu ditanamkan kepada generasi
muda sehingga demi mencapai impian, seorang pemuda atau pemudi batak harus bersedia meninggalkan
kampung halaman tercinta untuk merantau ke negeri/daerah orang yang jauh. Akan tetapi kerinduan akan
kampung halaman masih akan selalu melekat di hati. Tak heran saat ini banyak orang Batak yang berhasil dan
sukses tersebar di seluruh penjuru dunia.
Sistem Mata Pencaharian

Sebagian besar masyarakat Batak Toba saat ini bermatapencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai,
wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang banyak dikelola oleh
masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat
ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah ke bidang usaha jasa.

Masyarakat tradisional Batak Toba bercocok tanam padi di sawah dan juga mengolah ladang secara berpindah-
pindah. Pengelolaan tanaman padi di sawah banyak terdapat di daerah selatan Danau Toba. Hal ini disebabkan
oleh daerah tersebut adalah dataran yang landai dan terbuka sehingga memungkinkan untuk bercocok tanam
padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah utara (Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi).
Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup serta berupa dataran tinggi yang sejik sehingga mengakibatkan lahan
ini lebih memungkinkan untuk pengolahan ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai peghasil sayuran
dan buah yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif yang dihasilkan oleh keberadaan bentuk lahan
tersebut.

Sebelum teknologi pengolahan pangan mencapai daerah tano Batak, hasil pengolahan tanaman padi di sawah
hanya dapat menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini disebabkan oleh pengolahan tanah yang
tidak begitu baik, irigasi yang terbatas dan juga tanpa penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya
dengan hasil pengolahan tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan panen satu hingga dua kali saja lalu
kemudaian lahan tidak dapat digunakan lagi. Kemudian ladang tersebut akan ditinggalkan dan berpindah ke
ladang yang baru. Dahulu kala,pembukaan ladang yang baru dimulai dengan pemilihan lahan melalui ritual
bersama seorang datu (dukun) yang disebut parma-mang. Lahan yang biasanya dijadikan ladang adalah lahan
yang tidak ditempati atau kawasan hutan alami yang belum dijamah oleh manusia. Kemudian lahan tersebut
dibersihkan dengan cara dibakar. Upacara selanjutnya adalah memberikan sesaji kepada penunggu lahan agar
tidak mengganggu pengolah ladang dan juga sekaligus sebagai upacara pemilihan hari baik untuk mulai
menanam. Selama musim pembukaan lahan ini, masyarakat kampung dilarang untuk keluar-masuk kampung.
Hal ini dilakukan untuk menghindari mala petaka dan bahaya yang mungkin terjadi karena penunggu lahan
yang merasa terusik. Hmm...sekarang sih keberadaan datu ini sudah tidak menjadi dominan lagi, akan tetapi
kebiasaan membuka lahan baru ini masih tetap ada lo... Sepertinya tidak hanya orang Batak saja yang
melakukan ritual dan kebiasaan ini ya..

Tanaman yang sering ditanam di ladang ini adalah tebu, tanaman obat, ubi, sayu-sayuran dan mentimun.
Demikian juga pohon aren yang sengaja ditanam di tengah ladang untuk menghasilkan tuak, sejenis minuman
beralkohol, yang menjadi kesukaan masyarakat Batak. Ada pula beberapa komoditi unggulan yang menjadi
kelebihan suatu daerah. Seperti hasil panen utama dari daerah Simalungun dan Mandailing adalah jagung dan
ubi kayu, serta beragam sayuran. Dari daerah Pakpak yang menjadi komoditi unggulannya adalah kemenyan
dan kapur barus. Bayangkan betapa kayanya tano Batak ini.

Saat ini masyarakat Batak sudah banyak yang mengolah padi hibrida di sawah mereka, tentunya orang Batak
tidak mau ketinggalan dari yang lainnya. Satu kemajuan ini bagi orang Batak. Tetapi yang saya sayangkan
adalah dampak yang diakibatkan oleh pola pikir baru ini. Masyarakat jadi sangat tergantung dengan hasil panen
dengan bibit padi hibrida yang "katanya berlipat ganda" tanpa melakukan proses pengolahan lahan dengan
semestinya. Bagaikan mengharapkan hujan turun dari langit saja....
Beralih kepada masa pengaruh perkembangan ekonomi terhadap pertanian di tanah Batak. Pengaruh
perkembangan perekonomian tersebut mulai terlihat ketika penjajah memasuki daerah Tano Toba. Produksi
tanaman padi dan hasil ladang meningkat pesat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pangan untuk
para pekerja kuli yang datang memasuki daerah Tano Toba. Pekerja kuli ini didatangkan dari semenanjung
Malasya (mayoritas china) dan juga daerah Jawa, karena masyarakat lokal tidak bersedia menjadi pekerja untuk
penjajah. Pada tahun-tahun pertama masa pendudukan penjajahan, pejabat kolonial telah membangun sistem
transportasi yang menggunakan tenaga para pekerja kuli tersebut.

Untuk mendukung peningkatan produktivitas tanaman padi di sawah, pejabat kolonial menyediakan lahan yang
akan diolah untuk menanam padi dan juga memperbaiki saluran irigasi. Beberapa tahun kemudian dilaksanakan
percobaan penanaman tanaman yang berasal dari Eropa seperti kentang dan kol di daerah dataran tinggi Karo.
Masyarakat menyambut baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang ada dapat diekspor hingga ke luar
negeri(Penang dan Singapura). Sejumlah besar petani kecil di daerah Tapanuli kemudian juga turut mencoba
mengelola jenis tanaman yang sama. Selain tanaman sayuran, diadakan juga percobaan penanaman tanaman
perkebunan yang menjadi cikal bakal pengembangan kawasan perkebunan di Tano Toba.

Tempat Tinggal Suku Batak

Orang Batak memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup dan terdiri dari kelompok-
kelompok kecil. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga/clan atau kelompok yang masih memiliki
hubungan kekerabatan. Tipikal desa tertutup ini disebut huta(secara khusus bagi orang Batak Toba).

Sebagai contoh desa tempat tinggal orang Batak Toba pada jaman dahulu dikelilingi oleh tembok batu/tanah
(parik) yang ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat sehingga hampir mustahil ditembus manusia. Saat
ini masih ada beberapa sisa-sisanya yang bisa ditemukan di beberapa desa. Jalan masuk/access road ke huta
tersebut hanya ada satu atau maksimal dua gerbang yang disebut bahal, yaitu bahal jolo (gerbang depan) dan
bahal pudi (gerbang belakang). Dekat dengan bahal biasanya terdapat sebuah pohon beringin (baringin) atau
hariara. Merupakan pohon kehidupan yang dipercaya sebagai perantara antara dunia tengah dan dunia atas.
Kedua pohon ini selalu terlibat dalam ritual mistis dan acara-acara adat orang Batak Toba.

Bagi orang Batak Toba terdapat dua jenis rumah adat yang ada di dalam suatu huta, yaitu ruma dan sopo yang
letaknya biasa saling berhadapan. Diantara kedua deret ruma dan sopo tersebut terdapat halaman(alaman) yang
luas dan digunakan sebagai pusat kegiatan orangtua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara
sekilas kelihatan sama, sebenarnya sangat berbeda dari segi konstruksi dan fungsi. Dari segi konstruksi, ciri-ciri
yang bisa dilihat adalah bentuk tangga, besar dan jumlah tiang, serta bentuk pintu. Konstruksi interior bangunan
juga berbeda. Dari segi fungsi, ruma adalah tempat tinggal orang Batak, sedangkan sopo berfungsi sebagai
lumbung padi, sebagai tempat pertemuan, tempat bertenun dan menganyam tikar, dan tempat untuk muda-mudi
bertemu. Sopo orang Batak Toba pada awalnya tidak berdinding, tetapi oleh karena biaya mendirikan ruma
sangat mahal dan susah, dikemudian hari sopo ini dialihkan fungsinya menjadi rumah tinggal dengan
menambahkan dinding, pintu dan jendela.

Demikian juga rumah adat orang Batak yang lainnya memiliki tipikal bentuk rumah dan fungsi yang hampir
sama. Namun masing-masing rumah adat tetap memiliki kekhasan masing-masing. Dalam kesempatan lain kita
dapat membahasnya lebih lanjut.
Selanjutnya kemajuan teknologi sedikit banyak mengakibatkan suku Batak mulai membangun rumah-rumah
kayu atau beton yang lebih praktis dan meninggalkan pembangunan rumah adat tradisional yang asli. Jumlah
rumah adat ini belakangan semakin berkurang karena banyak yang tidak terawat atau dibongkar pemilik dengan
mengganti dengan rumah permanen dari kayu atau beton. Dikhawatirkan dalam tahun-tahun yang akan datang
rumah adat suku Batak ini juga akan punah jika tidak dilestarikan.

Aksara Suku Batak

Orang Batak adalah salah satu suku dari sedikit suku di Indonesia yang memiliki aksara sendiri yaitu aksara
Batak(wah hebat juga nih orang Batak). Walaupun masing-masing sub suku Batak juga memiliki jenis huruf
yang berbeda-beda akan tetapi kemiripan masing-masing huruf tersebut masih dapat dimengerti oleh masing-
masing sub suku lainnya. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Batak juga mememiliki kemiripan antara
satu sub suku dengan sub suku lainnya. Sehingga tidak mengherankan apabila satu orang Batak dapat
menguasai beberapa jenis bahasa Batak sekaligus. Dari struktur penyusunan dan pengucapan bahasa, terdapat
2(dua) kelompok utama: bahasa Toba serta logat Angkola dan Mandailing yang serumpun (kelompok bahasa
selatan); bahasa Karo, bersama logat Dairi dan Pakpak yang serumpun(kelompok bahasa utara). Sedangkan
bahasa yang dipakai di Simalungun merupakan perpaduan kedua kelompok bahasa tersebut di atas. Dari
keenam sub suku yang ada bahasa Batak Toba adalah bahasa yang paling banyak digunakan. Dalam beberapa
hasil penelitian disebutkan bahwa bahasa maupun tulisan aksara Batak banyak mendapat pengaruh dari India
yaitu bahasa Sanskerta (hampir 10%). Pengaruh tersebut diyakini masuk melalui kebudayaan Hindu Jawa atau
Hindu Sumatera. Sebagai contoh dalam bahasa Batak Toba, purba diartikan sebagai arah mata angin utara
demikian halnya dalam bahasa sansekerta India. Entah dimana letak kebenarannya, apakah orang Batak adalah
penerus dari orang India yang bermigarasi ke Tano Toba atau sebaliknya, saat ini belum ada kesimpulan yang
pasti untuk itu.

Aksara Batak yang kita kenal saat ini(umumnya aksara yang diajarkan di sekolah-sekolah)telah mengalami
penyempurnaan oleh pemerintah untuk memudahkan proses pembelajaran. Seorang ahli bahasa berkebangsaan
Belanda bernama Neubronner van der Tuuk pernah menerbitkan buku “Tentang Tulisan dan Pengucapan
Bahasa Toba” (Overschrift en Uitspraak der Tobasche Taal) pada tahun 1855. Kemudian pada tahun 1873 Bibel
berbahasa Batak bagian Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diterjemahkan dengan berpedoman pada buku van
der Tuuk tersebut.

Aksara Batak Toba terbagi atas dua bagian besar yaitu suku kata dasar yang dibentuk oleh penggalan suku-suku
kata yang diakhiri dengan huruf vokal a, misalnya ha, ka, ba, pa, dll. Kelompok huruf seperti ini dikenal sebagai
ina ni surat atau indung surat. Kelompok huruf lainya disebut sebagai anak ni surat yaitu imbuhan yang
membentuk penggalan suku kata gabungan yang tidak terdapat pada suku kata dasar seperti e, i, u, o, eng, ing,
ang, ung, ong,dll. Dalam penulisan aksara Batak Toba terdapat aturan-aturan yang menggabungkan antara ina ni
surat dan anak ni surat sehingga membentuk sebuah kata dan kalimat yang memiliki arti. Secara umum
pembagian ini juga ada dalam aksara sub suku Batak lainnya.

Nah.....berbicara soal aksara dan bahasa, artinya kita juga pasti berpikir tentang wujud aksara dan bahasa yang
lebih kompleks yaitu sastra. Dalam bidang satra, dapat ditemukan beberapa jenis hasil karya sastra yang
berkembang dalam masyarakat Batak Toba, diantaranya adalah mitos, sajak, mantera-mantera, doa dukun
(tonggo-tonggo),pantun nasihat/umpasa-umpasa, senandung/ andung-andung serta teka-taki/huling-hulingan
atau hutinsa serta beragam turi-turian/ cerita rakyat. Dari sekian banyak mitos dan turi-turian/ cerita rakyat yang
berkembang di masyarakat, kisah yang paling banyak dikenal adalah kisah penciptaan manusia pertama yang
diyakini berasal dari turunan Debata Mulajadi Na Bolon. Dikisahkan Debata Mulajadi Na Bolon adalah dewa
tertinggi dalam mitologi Batak. Bersama dengan dewa-dewi lainnya ia menciptakan tiga tingkat dunia yaitu
Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru. Istrinya yang bernama Manuk Patiaraja melahirkan tiga butir
telur yang kemudian menetas menjadi 3 orang anak Debata Mulajadi Na Bolon yaitu Batara Guru, Soripada,
dan Mangala Bulan. Batara Guru berkedudukan di Banua Ginjang. Soripada berkedudukan di Banua Tonga dan
Mangala Bulan berkedudukan di Banua Toru. Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan nama Debata Sitolu
Sada (Tiga Dewa Dalam Satu) atau Debata Na Tolu (Tiga Dewata). Dikisahkan pula Debata Mulajadi Na Bolon
kemudian mengirimkan putrinya Tapionda ke bumi tepatnya ke kaki Gunung Pusuk Buhit. Tapionda kemudian
menjadi ibu raja yang pertama di tanah Batak yaitu si Raja Batak.

Ini adalah salah satu mitos yang dipercayai oleh orang Batak dari sekian banyak mitos yang diturunkan oleh
nenek moyang orang Batak kepada para penerusnya. Mudah-mudahan suatu saat kita dapat membahas secara
khusus tentang mitos-mitos tersebut.Hopefully.

Kesenian Suku Batak

Orang Batak dikenal dengan sebagai masyarakat pecinta seni dan musik. Hampir semua sub suku memiliki jenis
kesenian yang unik dan berbeda dari sub suku lainnya. Kesenian orang Batak Toba sendiri cukup beragam
mulai dari tarian, alat musik dan jenis-jenis nyanian. Tarian yang menjadi ciri khas orang Batak Toba adalah
tari Tor-tor dengan berbagai jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau tari-
menari merupakan salah satu kebudayaan Batak yang tertua. Dahulu kala seni tari-menari duhubungkan dengan
kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa magis. Acara tari-menari diadakan untuk
memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa. Acara tari-menari juga
diadakan bilamana ada orang yang lahir, akil balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat menikah, dan
pada waktu sudah mati. Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan
untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu.

Selain menari orang Batak juga sangat senang menyanyi, baik secara perorangan, maupun berkelompok. Lagu-
lagu yang dinyanyikan bercerita tentang pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri dan panorama
yang indah permai. Sedangkan andung/ratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara khusus dinyanyikan
pada acara dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang berduka dan sedih.

Sebagai contoh,alat musik Batak Toba yang digunakan untuk mengiringi tarian tor-tor dan nyanyian juga
beranekaragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik
berbahan perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang yang berlainan
bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora. Sedangkan alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu
meliputi tagading, hesek, hasapi (kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan salohat. Alat
musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang sebagai bas, 1 odap-odap dan 5
tagading. Orang Batak Toba juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan besar yaitu Gondang
Bolon (terdiri dari gordang(gendang besar), taganing(gendang ukuran sedang) dengan lima lempeng kayu,
odap-odap(gendang kecil) yang kadang-kadang diganti dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah
empat gong perunggu, dan sarune(seruling)) dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi, sarune kecil,
suling(seruling), garantung(bumbung kecil) dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing).

Sub suku Batak lainnya juga memiliki alat musik dan jeis tarian dengan nama dan kekhasan tersendiri. Saya
merencanakan nantinya akan ada satu segmen khusus membahas tentang alat musik tersebut.

Sistem Religi dan Kepercayaan Suku Batak

Sebelum masa penjajahan kolonial, orang Batak menganut aliran kepercayaan yang beranekaragam. Umumnya
mereka percaya pada kekuatan di alam dan kekuatan benda-benda yang dikeramatkan. Orang Batak juga
percaya akan adanya hubungan antar kehidupan orang yang masih hidup dengan kehidupan orang mati. Salah
satunya aliran kepercayaan yang masih bertahan hingga kini adalah aliran kepercayaan Parmalim yang
mengkuti aliran kepercayaan tokoh Sisingamangaraja.

Penyebaran misi agama yang masuk bersamaan dengan kedatangan penjajah kolonial membawa pengaruh yang
cukup besar bagi perkembangan agama di Tano Toba. Melalui penaklukan dalam perang maupun penyebaran
agama secara damai, agama tertentu telah menjadi pegangan orang Batak dalam sistem keimanan mereka.

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional Batak Toba adalah kepercayaan terhadap Mulajadi Na
Bolon yang dipercayai oleh orang Batak sebagai dewa tertinggi mereka: pencipta 3(tiga) dunia: dunia atas
(banua ginjang), dunia tengah (banua tonga) dan dunia bawah (banua toru). Manusia dipercaya hidup di tengah,
tidak terpisah dari alam, manusia satu dengan kosmos. Adat memimpin hidup manusia perseorangan, sedangkan
masyarakat adalah simbol ketertiban kosmos. Tiga golongan fungsional dalam masyarakat adat Batak yang
disebut Dalihan Na Tolu dipercaya sebagai refleksi kerjasama ketiga dunia itu.

Sistem Organisasi dan Kemasyarakatan Suku Batak

Dalam sistem adat istiadat orang Batak dikenal adanya Dalihan na Tolu yang berarti Tiga nan Satu. Tiga unsur
penting dalam sistem kekerabatan masyarakat berdasarkan asas Dalihan Na Tolu berlaku secara umum dalam
semua sub suku walaupun berbeda-beda dalam penamaannya, saling mendukung satu dengan yang lainnya.
Dalihan Na Tolu berasal dari kata ”dalihan” yang berarti tungku dan ”na tolu” artinya nan tiga. Tungku nan tiga
melambangkan terdapat tiga buah batu sebagai tungku yang menopang kuali (lambang kehidupan sehari-hari).
Hal ini mencerminkan kehidupan sehari-hari orang Batak yang ditopang oleh prinsip Dalihan Na Tolu. Sistem
Dalihan Na Tolu menentukan kedudukan, hak dan kewajiban orang Batak dalam lingkungannya.

Dalam sistem masyarakat orang Batak Toba ketiga unsur ini digambarkan sebagai Hula-hula, Dongan Sabutuha
dan Boru. Prinsip Dalihan Na Tolu memiliki kaitan erat dengan sistem marga dan silsilah. Seorang anak harus
mengetahui asal-usul klan marga keluarganya dan juga urutan silsilahnya sehingga setiap orang dapat
menempatkan diri dengan baik dalam tatanan pergaulan di masyarakat.

Salah satu contoh penerapan prinsip Dalihan Na Tolu ini dapat dilihat dalam penggunaan ulos yang erat
kaitannya dengan kehidupan adat orang Batak Toba maupun sub suku Batak lainnya. Dalam masyarakat Batak
Toba pemberian ulos ditujukan sebagai perlambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani
dan hanya digunakan pada upacara khusus.

Sistem Teknologi Masyarakat Suku Batak


Sistem teknologi dalam orang Batak Toba cukup unik dengan adanya ruma batak yang menjadi arsitektur
kebanggaan mereka. Ruma Batak ini dibangun dari bahan-bahan alami seperti ijuk, kayu, dan batu. Terdapat
pengaturan hierarki ruang dalam ruma batak ini menurut kepentingan ruang dan penamaannya berdasarkan jenis
ruangan tersebut. Selain itu juga terdapat hirarki pembentukan sebuah kampung atau huta yang dimulai dari
kelompok terkecil yaitu klan keluarga, huta, kemudian bius sebagai kelompok yang terbesar.

Orang Batak memiliki kegemaran dan keahlian mengukir sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh
bentuk peninggalan perhiasan yang ditemukan oleh para ahli. Material yang diukir adalah kayu dan juga logam.
Perhiasan tersebut biasanya digunakan oleh para tetua atau keluarga pemimpin. Peninggalan perhiasan seperti
ini juga dapat menunjukkan tingginya kemampuan teknologi yang telah berkembang pada masa itu. Selain
perhiasan, masyarakat orang Batak juga menggunakan ukiran dari kayu yang disebut sebagai Gorga. Masing-
masing gorga memiliki nama dan makna tersendiri serta bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini mengikuti
aturan-aturan tertentu yang telah ada sejak lama. Aturan tersebut menyangkut ketepatan pemaknaan dan
penggunaan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Hingga sekarang orang Batak juga masih tetap menekuni kegemaran mengukir seperti ini namun jumlah
peminat dan yang memiliki keahlian untuk mengukir sudah sangat terbatas jumlahnya.

Diposkan oleh Bataknese Rich Culture di 8:51:00 PM 1 comment Link ke posting ini
Label: aksara batak, batak, batak toba, geografi dan demografi batak, kesenian batak, mata pencaharian batak,
sistem organisasi suku batak, sistem teknologi batak, tempat tinggal suku batak

Reaksi:

Rabu, 12 November 2008

Orang Batak Tidak Berjiwa Seni

"Orang Batak tidak berjiwa seni....", "Orang yang berjiwa seni itu pasti berkepribadian halus" dan "karena orang
Batak memiliki temperamen yang kasar maka orang Batak tidak berjiwa seni"

Itulah peryataan yang saya dengar dari seorang orang Batak, yang mengabdi di tanah Batak dan menjadi salah
satu pejabat nomor satu di Tapanuli. Hmmmm.....sesaat emosi mendengarnya, namun saya berpikir dan
bertanya-tanya dalam hati, benarkah orang Batak tidak berjiwa seni?

Saya jadi ingin tahu seperti apa wujud orang yang berjiwa seni itu. Mungkin untuk itu kita juga harus tahu seni
itu apa maksudnya, jiwa itu apa maksudnya, dan orang yang berjiwa seni itu defenisinya apa?

Yang sangat saya sayangkan adalah mengapa pernyataan tersebut justru datang dari salah satu orang Batak
sendiri. Ini menggambarkan bahwa semakin minimnya pengenalan akan budaya sendiri yang berdampak pada
rendahnya apresiasi terhadap keunikan budaya itu sendiri. Sehingga benarlah yang dinyatakan oleh seorang
penulis buku.....

Namun saya juga tidak ingin menjustifikasi bahwa orang tersebut sepenuhnya tidak benar. Mungkin saja
memang demikianlah yang terjadi pada masyarakat kita saat ini khususnya orang Batak yang semakin
kehilangan identitas diri sendiri.Satu pertanyaan yang tersisa saat ini adalah apakah memang benar orang Batak
sudah tidak berjiwa seni lagi? (Karena saya yakin bahwa orang Batak dilahirkan dengan talenta seni yang
tinggi!)
Diposkan oleh Bataknese Rich Culture di 1:23:00 AM 0 comment Link ke posting ini

Reaksi:

Rencana Pagelaran Gondang Batak 2008 di Tobasa

Dalam satu waktu, TB Silalahi Center, memperoleh kesempatan untuk menjadi tuan rumah suatu acara yang
diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Pemkab Tobasa. Tuan rumah dalam artian sebagai penyedia tempat.
Event tersebut berupa seminar tentang budaya Batak. Dan salah satu narasumber yang diundang adalah
beberapa orang yang peduli dengan musik Batak khususnya gondang Batak. Dalam kesempatan tersebut pula,
kami berkenalan dengan para beliau ini.

Singkat cerita ternyata kerinduan kita sama, keinginan untuk melestarikan budaya Batak. Dan dari perbincangan
yang alot kami menemukan satu kesempatan untuk dapat secara bersama-sama mewujudkan impian tersebut.
Kebetulan saat itu "para beliau" ini sedang terlibat dalam satu program revitalisasi godang Batak yang didanai
oleh Ford Foundation Jakarta. Program ini telah dilaksanakan selama satu tahun belakangan ini. Dan sebagai
end product dari program tersebut, akan diadakan suatu pagelaran gondang yang ditujukan sebagai evaluasi
keberhasilan program. Tentu saja ditawarkan dengan kesempatan sebaik ini, kami tidak akan menyia-
nyiakannya. Maka disepakati bersama TB Silalahi Center akan turut berpartisipasi dalam pagelaran tersebut
sebagai salah satu sponsor dan pelaksana pagelaran.

Saat ini kami bersama dengan rekan dalam tim di TB Silalahi Center sedang mempersiapkan rencana pagelaran
ini, dan jika tidak ada halangan yang berarti, acara ini akan dilaksanakan pada tanggal 20 November
mendatang. Saya pribadi sangat berharap bahwa acara ini akan sukses dan impian untuk memulai langkah
preservasi budaya Batak khususnya gondang Batak dapat terbuka lebar.

Saya juga berharap bahwa acara ini dapat terdengar luas dan dapat menjangkau lebih banyak audience sehingga
semakin banyak orang yang boleh mengenal tentang budaya Batak dan kekayaannya. Nantikan liputan saya
selanjutnya dalam pelaksanaan pagelaran gondang Batak 2008 ini.

Salam.
Diposkan oleh Bataknese Rich Culture di 1:04:00 AM 0 comment Link ke posting ini

Reaksi:

Sabtu, 08 November 2008

...untitiled yet...

Setelah hampir dua tahun bekerja dengan hal-hal yang berbau budaya disini, terutama dengan
budaya sendiri, aku terkejut karena ternyata banyak banget yang belum aku ketahui tentang
budayaku sendiri.

Aku pikir inilah saatnya untuk lebih care dengan budaya sendiri. Kalau bukan kita lalu siapa lagi?
Malu juga ketika ditanya apa yang kamu ketahui tetang budayamu? Memang sejauh ini aku udah tahu beberapa
hal tentang budayaku itu namun sejauh apa aku memahaminya, sepertinya perlu dipertanyakan lagi.

So sebelum kesempatanku lewat, aku akan memulai untuk membagikan apa yag kuketahui tenatang Batak dan
semuanya deh..yang aku tahu. Mudah-mudahan ada manfaatnya kelak. Percuma kan kalo dapat pengetahuan
tidak dibagikan. Seperti ilustrasi ngisi gelas tuh..dengan air minum, kan mubazir kalau diisi terus...yang ada ntar
tumpah deh....

Selamat menikmati weblog saya ini, hope this can recall again your thought just like me...
Don't be hesitated to share yours too...please feel free and welcome then..

Diposkan oleh Bataknese Rich Culture di 6:49:00 PM 0 comment Link ke posting ini
Label: batak, bonapasogit, budaya

Reaksi:

Kulit-kulitnya aja dulu...

Hampir di setiap daerah di Indonesia ini pasti ada orang Batak. Entah itu orang batak "asli" atau orang batak
"campuran" atau juga batak-batakan...he..he.. peace ^_^
Setahuku, budaya Batak itu punya banyak kelebihan dan kekhasan, makanya bisa bertahan dimanapun
berada...mmm...emang iya ya.. Bahkan kalo dianalisa lebih lagi sepertinya orang Batak pasti ada di berbagai
belahan dunia ini. Seorang rekan mengatakan bukan tidak mungkin seorang Batak bisa jadi presiden di
Amerika. Mengingat pengalman sir Barrack Obama tentunya, yang baru terpilih jadi presiden di sono.

Pernahkah berpikir mengapa orang Batak bisa se survive itu? Nah...mungkin kita bisa belajar lebih lagi soal
budaya suku yang satu ini. Secara umum ada banyak hal yang bisa dipelajari dari orang Batak dengan
budayanya. Tahukah anda bahwa suku Batak ini adalah salah satu suku yang memiliki aksara sendiri diantara
sedikit suku di Indonesia yang memiliki aksara sendiri?

Nenek moyang orang Batak juga adalah orang-orang yang kreatif dengan sense seni yang tinggi, ini bisa kita
lihat dari beragam peralatan, perhiasan maupun perlengkapan lainnya yang digunakan dalam ritual-ritual
maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Orang Batak juga punya sistem kekerabatan dan sistem masyarakat yang kaya dan boleh dikatakan cukup
complicated. Selain ritual adat yang sangat komprehensif, juga ritual magis yang sangat diyakini merupakan
bagian dari kehidupan yang harus dijalani.

Berbicara soal orang Batak, mungkin tidak ada habis-habisnya. Karena selain suku Batak punya 6 sub-suku
yang berbeda dengan keunikannya masing-masing, orang Batak juga punya beragam karakter unik. Inilah yang
membuatku bangga menjadi seorang boru Batak.

Seorang teman berkarya untuk mengenalkan budaya Batak melalui sketsa-sketsanya. Tentu saja ini juga adalah
wujud kepeduliannya bagi sukunya. Thank to you de yang udah mau share hasil karyanya. Just check this
out........Sketsa Budaya

Inginnya sih..suatu hari bisa berkolaborasi dengan beliau untuk menampilkan budaya Batak secara utuk namun
yah...berhubung beliau sekaran masih berkutat dengan finishing akhir studynya so..mungkin dipending dulu aja
kali.

Satu lagi linkage menarik yang bisa anda browse adalah tbsilalahicenter.org. Ini adalah sebuah web yang
menampilkan profil sebuah yayasan yang concern dengan pelestarian budaya Batak.

Dalam posting-posting berikutnya saya akan berusaha untuk selalu membagikan apa yang saya tahu tentang
Batak dan orang-orangnya. Wish me luck ya....

Diposkan oleh Bataknese Rich Culture di 4:16:00 AM 0 comment Link ke posting ini

Reaksi:
...mmm welcome...

Setelah hampir dua tahun bekerja dengan hal-hal yang berbau budaya disini, terutama dengan
budaya sendiri, aku terkejut karena ternyata banyak banget yang belum aku ketahui tentang
budayaku sendiri.

Aku pikir inilah saatnya untuk lebih care dengan budaya sendiri. Kalau bukan kita lalu siapa lagi?
Malu juga ketika ditanya apa yang kamu ketahui tetang budayamu? Memang sejauh ini aku udah tahu beberapa
hal tentang budayaku itu namun sejauh apa aku memahaminya, sepertinya perlu dipertanyakan lagi.

So sebelum kesempatanku lewat, aku akan memulai untuk membagikan apa yag kuketahui tenatang Batak dan
semuanya deh..yang aku tahu. Mudah-mudahan ada manfaatnya kelak. Percuma kan kalo dapat pengetahuan
tidak dibagikan. Seperti ilustrasi ngisi gelas tuh..dengan air minum, kan mubazir kalau diisi terus...yang ada ntar
tumpah deh....

Selamat menikmati weblog saya ini, hope this can recall again your thought just like me...
Don't be hesitated to share yours too...please feel free and welcome then..
Diposkan oleh Bataknese Rich Culture di 3:55:00 AM 0 comment Link ke posting ini

Reaksi:

Selasa, 29 Juli 2008

asyik blog baru nih...

blog ketiga yang aku buat, sebenarnya akan berlanjut ga sih ntar?
hai namaku shua dan aku adalah blogger baru disini. aku berharap bisa melakukan sesuatu yang berguna melalui blog
ini. selamat bergabung shua....

Diposkan oleh Bataknese Rich Culture di 12:58:00 AM 0 comment Link ke posting ini

Reaksi:
Langgan: Entri (Atom)

You might also like