Professional Documents
Culture Documents
Tahun 2005
Materi : Pengadilan HAM
I. PENDAHULUAN
Penegakan dan perlindungan terhadap hak orang yang mewajibkan tiga orang
asasi manusia (HAM) di Indonesia diantaranya adalah hakim ad hoc.
mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6
November 2000 disahkannya Undang- Pengaturan yang sifatnya khusus ini
undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang
Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan sifatnya extraordinary sehingga memerlukan
Rakyat Republik Indonesia dan kemudian pengaturan dan mekanisme yang
diundangkan tanggal 23 November 2000. seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan
Undang-undang ini merupakan undang- atas adanya pengaturan yang sifatnya
undang yang secara tegas menyatakan khusus ini adalah dapat berjalannya proses
sebagai undang-undang yang mendasari peradilan terhadap kasus-kasus
adanya pengadilan HAM di Indonesia yang pelanggaran HAM yang berat secara
akan berwenang untuk mengadili para kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh
pelaku pelanggaran HAM berat. Undang- adalah putusnya rantai impunity atas pelaku
undang ini juga mengatur tentang adanya pelanggaran HAM yang berat dan bagi
pengadilan HAM ad hoc yang akan korban, adanya pengadilan HAM akan
berwenang untuk mengadili pelanggaran mengupayakan adanya keadilan bagi
HAM berat yang terjadi di masa lalu. mereka.
Pengadilan HAM ini merupakan jenis UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan
pengadilan yang khusus untuk mengadili HAM telah dijalankan dengan dibentuknya
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap pengadilan HAM ad hoc untuk kasus
kemanusiaan. Pengadilan ini dikatakan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
khusus karena dari segi penamaan bentuk di Timor-timur. Dalam prakteknya,
pengadilannya sudah secara spesifik pengadilan HAM ad hoc ini mengalami
menggunakan istilah pengadilan HAM dan banyak kendala terutama berkaitan dengan
kewenangan pengadilan ini juga mengadili lemahnya atau kurang memadainya
perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan instumen hukum. UU No. 26 Tahun 2000
HAM sering dipertentangkan dengan istilah ternyata belum memberikan aturan yang
peradilan pidana karena memang pada jelas dan lengkap tentang tindak pidana
hakekatnya kejahatan yang merupakan yang diatur dan tidak adanya mekanisme
kewenangan pengadilan HAM juga hukum acara secara khusus. Dari kondisi
merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 ini, pemahaman atau penerapan tentang UU
Tahun 2000 yang menjadi landasan No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan
berdirinya pengadilan HAM ini mengatur atas penafsiran hakim ketika melakukan
tentang beberapa kekhususan atau pemeriksaan di pengadilan.
pengaturan yang berbeda dengan
pengaturan dalam hukum acara pidana.
Pengaturan yang berbeda atau khusus ini
mulai sejak tahap penyelidikan dimana
yang berwenang adalah Komnas HAM
sampai pengaturan tentang majelis hakim
dimana komposisinya berbeda denga
pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan
HAM ini komposisi hakim adalah lima
HAM di Timor-timur mempunyai nuansa para pelaku pelanggaran HAM yang berat.
khusus karena adanya penyalahgunaan Disamping itu sesuai dengan prinsip
kekuasaan dalam arti pelaku berbuat dalam International Criminal Court, khususnya
konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh prinsip universal yang tidak mungkin
kekuasaan pemerintah sehingga akan sulit memperlakukan pelanggaran HAM berat
untuk diadakan pengadilan bagi pelaku sebagai ordinary crimes dan adanya
kejahatan secara fair dan tidak memihak. kualifikasi universal tentang crimes against
humanity masyarakat mengharuskan
Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya didayagunakannya pengadilan HAM yang
sistem peradilan pidana di negara hukum bersifat khusus, yang mengandung pula
Indonesia ini, belum mampu memberikan acara pidana yang bersifat khusus. 4
keadilan yang subtansial. Keterkaitan
dengan kebijakan yang formal/legalistik Pengertian tentang perlunya peradilan yang
seringkali dijadikan alasan. Peradilan secara khusus dengan aturan yang bersifat
seringkali memberikan toleransi terhadap khusus pula inilah yang menjadi landasan
kejahatan-kejahatan tertentu, dengan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus
konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya yang dikenal dengan pengadilan HAM.
harus dibebaskan. Termasuk terhadap Alasan yuridis lainnya yang bisa menjadi
kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini.3 landasan berdirinya pengadilan nasional
adalah bahwa pengadilan nasional
Ketentuan dalam Kitab Undang-undang merupakan “the primary forum” untuk
Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan mengadili para pelanggar HAM berat.5
dengan pelanggaran HAM yang berat juga
mengatur tentang jenis kejahatan yang
berupa pembunuhan, perampasan
kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan,
dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur
dalam KUHP tersebut adalah jenis
kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary
crimes) yang jika dibandingkan dengan
pelanggaran HAM yang berat harus
memenuhi beberapa unsur atau
karakteristik tertentu yang sesuai dengan
Statuta Roma 1999 untuk bisa
diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM
yang berat. Pelanggaran HAM berat itu
sendiri merupakan extra-ordinary crimes
yang mempunyai perumusan dan sebab
timbulnya kejahatan yang berbeda dengan
kejahatan atau tindak pidana umum.
Dengan perumusan yang berbeda ini tidak 4 Muladi, Pengadilan Pidana bagi
mungkin menyamakan perlakukan dalam Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, 2000,
menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta, hlm. 54.
tidak dapat untuk menjerat secara efektif
5 Muladi, Mekanisme Domestik untuk
Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem
3 Krist L. Kleden, Peradilan Pidana Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun 2000,
Sebagai Pendidikan Hukum, Komnas, 11 September Makalah dalam Diskusi Panel 4 bulan
2000. Pengadilan Tanjung Priok, Elsam, 20 Januari 2004.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan pejabat polisi negara Republik Indonesia yang
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana melakukan penyelidikan.
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam 24 Penjelasan Pasal 19 UU No. 26 Tahun
undang-undang ini. 2000 .
tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM terhadap rumah, pekarangan, bangunan,
dan unsur masyarakat.25 dan tempat-tempat lainnya yang diduduki
atau dimiliki pihak tertentu, dan 4)
Komnas HAM mempunyai kewenangan mendatangkan ahli dalam hubungan
untuk melakukan tindakan-tindakan dalam dengan penyelidikan.
rangka melaksanakan penyelidikan yaitu
memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat Komnas HAM dalam melakukan
atau lingkupnya patut diduga terdapat penyelidikan terhadap dugaan adanya
pelanggaran HAM berat, menerima pelanggaran HAM yang berat maka harus
laporan26 atau pengaduan dari seseorang memberitahukan aktivitas ini kepada
atau kelompok orang tentang terjadinya penyidik. Setelah penyelidik menyimpulkan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, bahwa telah ada bukti permulaan yang
serta mencari keterangan dan barang bukti, cukup maka atas adanya pelanggaran HAM
memanggil pihak pengadu, korban atau yang berat maka hasil kesimpulan
pihak yang diadukan untuk diminta dan diserahkan ke penyidik. Paling lambat 7
didengar keterangannya, memanggil saksi hari kerja diserahkan selanjutnya Komnas
untuk didengar kesaksiannya, meninjau dan HAM menyerahkan seluruh hasil
mengumpulkan keterangan ditempat penyelidikan. Jika penyidik menganggap
kejadian dan tempat lainnya yang dianggap bahwa penyelidikan kurang lengkap29
perlu, memanggil pihak terkait untuk maka penyidik mengembalikan hasil
memberikan keterangan secara tertulis atau penyelidikan disertai petunjuk untuk
menyerahkan dokumen yang diperlukan dilengkapi dan dalam waktu 30 hari
sesuai dengan aslinya. Disamping tindakan- penyelidik wajib melengkapi.
tindakan di atas, atas perintah penyidik27
dapat melakukan tindakan berupa : 1) Disamping mempunyai kewenangan untuk
pemeriksaan surat, 2) penggeledahan28 dan melakukan penyelidikan dalam kasus
penyitaan, 3) pemeriksaan setempat pelanggaran HAM yang berat, Komnas
HAM juga mempunyai kewenangan untuk
meminta keterangan secara tertulis kepada
25 Unsur masyarakat disini adalah tokoh
Jaksa Agung mengenai perkembangan
dan anggota masyarakat yang profesional,
penyidikan dan penuntutan perkara
berdedikasi, berintegrasi tinggi, dan menghayati
bidang hak asasi manusia.
pelanggaran HAM yang berat.30
dikeluarkan penyidik atas permintaan penyelidik belum cukup memenuhi unsur pelanggaran
dan penyidik segera mengeluarkan surat HAM yang berat untuk dilanjutkan ke tahap
perintah setelah menerima permintaan dari penyidikan.
penyidik.
30 Lihat Pasal 25 UU No. 26 Tahun 2000.
28 Penggeledehan dalam ketentuan ini
meliputi penggeledahan badan atau rumah. Hal 31 Definisi penyidikan dapat dilihat
ini sama dengan ketentuan Pasal 32 KUHAP. dalam huruf 2 ketentuan umum KUHAP yang
menjelaskan bahwa penyidikan adalah
berwenang melakukan penyidikan terhadap dan keluarganya, maka ada hak untuk
kasus pelanggaran HAM yang berat adalah mengajukan pra peradilan bagi korban dan
Jaksa Agung. Penyidikan ini tidak termasuk keluarganya atas penghentian penyidikan
untuk menerima pengaduan dan laporan oleh Jaksa Agung kepada ketua pengadilan
karena pengaduan dan laporan tersebut HAM sesuai dengan peraturan perundang-
merupakan kewenangan Komnas HAM. undangan yang berlaku dalam hal ini sesuai
Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dengan KUHAP.
dapat32 mengangkat penyelidik ad hoc dari
unsur masyarakat33 dan pemerintah. Penuntutan
adalah bahwa dimaksudkan agar Jaksa Agung syarat untuk menjadi penuntut umum ad hoc
dalam mengangkat penyidik ad hoc dilakukan yaitu warga negara Republik Indonesia, berumur
sesuai dengan kebutuhan. sekurang-kurangnya 40 tahun dan paling tinggi
65 tahun, berpendidikan sarjana hukum dan
33 Penjelasan tentang unsur masyarakat berpengalaman sebagai penuntut umum, sehat
adalah dari organisasi politik, organisasi jasmani dan rohani, berwibawa, jujur, adil, dan
kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, berkelakuan tidak tercela, setia kepada Pancasila
atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti dan UUD 1945 dan memiliki pengetahuan dan
perguruan tinggi. kepedulian di bidang hak asasi manusia.
penyidikan dan penuntutan dalam beberapa mengingat bahwa dalam hukum acara
kasus tersebut mengalami keterlambatan pidana menyatakan bahwa peninjuan
dan tidak sesuai dengan ketentuan limitasi kembali atas suatu perkara pidana juga
waktu sesuai dengan UU No. 26 Tahun dimungkinkan dan itu merupakan hak
2000. Jaksa ad hoc dalam menyikapi terdakwa atau ahli warisnya tetapi
keterlambatan ini mengajukan surat kepada dalam ketentuan UU No. 26 Tahun 2000
pengadilan untuk persetujuan atas ini tidak diatur tentang hakim ad hoc
perpanjangan proses penyelidikan dan untuk pemeriksaan upaya hukum luar
penuntutan. Pembatasan atau limitasi biasa dengan cara peninjauan kembali.
waktu dalam proses penyelidikan dan Ketentuan mengenai hakim yang akan
penuntutan ini berdasarkan pengalaman mengadili di tingkat peninjauan
pengadilan HAM ad hoc yang telah terjadi kembali ini tidak diatur dalam UU No.
menjadi alasan penasehat hukum terdakwa 26 Tahun 2000 ini.37
dalam eksepsinya untuk menyatakan bahwa
proses penyidikan dan penuntutan Pengertian hakim ad hoc adalah hakim
melampaui ketentuan UU No. 26 Tahun yang diangkat di luar hakim karir yang
2000. 36 memenuhi persyaratan profesional,
berdedikasi dan berintegrasi tinggi,
Pemeriksaan di sidang pengadilan menghayati cita-cita negara hukum dan
negara kesejahteraan yang berintikan
1. Komposisi hakim dan hakim ad hoc keadilan, memahami dan menghormati
hak asasi manusia dan kewajiban dasar
Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 manusia.
menyatakan bahwa kasus pelanggaran
HAM yang berat diperiksa oleh majelis Jumlah hakim ad hoc di pengadilan
hakim yang jumlahnya 5 orang yang HAM yang harus diangkat adalah
terdiri dari 2 orang hakim pengadilan sekurang-kurangnya 12 orang dan masa
HAM yang bersangkutan dan 3 orang jabatannya adalah 5 tahun yang dapat
hakim HAM ad hoc. Majelis hakim diangkat untuk 1 kali masa jabatan lagi.
tersebut diketuai oleh hakim dari Hakim ad hoc ini diangkat dan
pengadilan HAM yang bersangkutan. diberhentikan oleh presiden selaku
Pada tingkat banding majelis hakimnya Kepala Negara atas usul Ketua
berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 Mahkamah Agung. Ketentuan ini sama
orang hakim dari pengadilan setempat untuk hakim ad hoc pada pengadilan
dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian tinggi, sedangkan untuk hakim ad hoc
juga komposisi mengenai majelis hakim tingkat kasasi di Mahkamah Agung
dalam tingkat kasasi. diangkat oleh Presiden selaku kepala
negara atas usulan Dewan Perwakilan
Dari ketentuan diatas, pengaturan Rakyat RI dan lama jabatan hanya satu
tentang hakim ad hoc hanya sampai periode yaitu selama 5 tahun.
pada tingkat kasasi. Tidak ada kejelasan
mengenai hakim yang dapat mengadili
di tingkat peninjauan kembali (PK), 37 Mengingat hakim yang mengadili
Hakim ad hoc
Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa Ketentuan yang perlu diperhatikan adalah
dan diputuskan oleh pengadilan dalam mengenai proses pelimpahan berkas
jangka waktu paling lama 180 hari terhitung perkara dalam tingkat pertama ke tingkat
sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan banding dan dari tingkat pertama ke kasasi
HAM. Pada tingkat banding maka perkara ketika jaksa mengajukan kasasi saat
diperiksa dan diputus paling lama 90 hari. terdakwa dinyatakan bebas. Ketentuan
Jika perkara dimintakan kasasi maka mengenai mekanisme pelimpahan berkas
perkara pelanggaran HAM berat ini dalam ke tingkat banding dan kasasi
diperiksa dan diputus paling lama 90 hari menggunakan mekanisme KUHAP.
atau selama 3 bulan.
dengan PP No. 2 Tahun 2002 yang tidak ternyata dalam prakteknya di pengadilan HAM
mengatur tentang tata cara tanpa hadirnya ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat
terdakwa untuk pemeriksaan kesaksian. di Tim-tim tidak dapat diaplikasikan. Hal ini
terbukti dengan lama hukuman yang dijatuhkan
40 Alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP untuk terdakwa yang dibawah hukuman 10
adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, tahun (terdakwa Soejarwo 5 tahun, M. Noer Muis
petunjuk dan keterangan terdakwa. 5 tahun, Hulman Gultom 3 Tahun dan Abilio
Soares selama 3 tahun) kecuali terhadap
41 Lihat Progress Report pemantauan terdakwa Eurico Guterres yang dijatuhi
pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 hukuman 10 tahun. Hakim dalam hal ini
Januari 2003. melakukan terobosan hukum.
(pengusiran atau pemindahan penduduk berat berupa percobaan dan ikut serta
secara paksa), atau j (kejahatan apartheid). berupa permufakatan jahat atau
pembantuan terhadap terlaksanya
Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan pelanggaran HAM berat, ancaman
lainnya yaitu perbudakan diancam dengan hukumannya dipersamakan dengan
pidana selama-lamanya 15 tahun dan paling ketentuan Pasal 36, 37, 38, 39 dan 40.
singkat 5 tahun (Pasal 38). Demikian pula ketentuan ini mengindikasikan bahwa
dengan kejahatan kemanusiaan yang berupa apapun peranan pelaku baik karena
dengan kejahatan terhadap kemanusiaan percobaan pelanggaran HAM berat, ikut
yang berupa penyiksaan diancan hukuman serta dalam permufakatan jahat untuk
paling lama 15 tahun dan peling rendah 5 melakukan pelanggaran HAM berat
tahun (Pasal 39). Kejahatan terhadap maupun pembantuan terhadap
kemanusiaan yang berupa perkosaan, terlaksananya pelanggaran HAM berat
perbudakan seksual, pelacuran paksa, tidak ada pengaturan pengecualian
pemaksaan keHAMilan, kemandulan atau terhadap mereka karena ancamannya
sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk dipersamakan. Ketentuan pemidaan yang
kekerasan seksual lainnya yang setara dipersamakan dengan ketentuan Pasal 36,
diancam pidana selama-lamanya 20 tahun 37, 38, 39 dan 40 adalah untuk tindak pidana
dan serendah-rendahnya selama 10 tahun yang dilakukan oleh seorang komandan
(Pasal 40). dari militer, polisi maupun sipil seperti
yang diatur dalam Pasal 42 ayat 3 UU No.
Pasal 41 mengatur khusus mengenai pihak- 26 Tahun 2000.
pihak yang melakukan pelanggaran HAM
Ketentuan Pemidanaan
secara efektif bertindak sebagai komandan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28
militer dapat dipertanggungjawabkan Januari 2003.
44 Batasan definitif tanggung jawab
terhadap tindak pidana yang berada di
komando yang kabur ini juga diulangi pada
Eckhardt, Command Criminal Responsibility: A Plea dalam Laporan Sekjen PBB tentang Resolusi
for a Workable Standard, Military Law Review, Konflik Keamanan 808, UN Doc. S/25704 (1993)
edisi 97 (1982). Lihat progress report pemantauan paragraf 56. Lihat progress report pemantauan
pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28
Januari 2003. Januari 2003.
Peraturan pemerintah No. 2 tahun 2002 (PP) identitas bagi saksi ataupun korban yang
tentang tata cara perlindungan saksi dan akan ikut program perlindungan saksi.
korban Pelanggaran HAM yang berat
mengatur tentang mekanisme pemberian Jika dibandingkan dengan perlindungan
perlindungan. PP ini menegaskan kembali saksi dan korban seperti yang tertuang
bahwa setiap korban dan saksi dalam kasus dalam Statuta Roma 1998, maka pengaturan
pelanggaran HAM berat berhak tentang perlindungan saksi dan korban
mendapatkan perlindungan dari aparat dalam UU No. 26 Tahun 2000 dan PP No. 2
penegak hukum dan aparat keamanan dan Tahun 2000 belum memadai. Dalam Statuta
perlindungan ini diberikan sejak tahap Roma pengaturan tentang perlindungan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan saksi dan korban meliputi :
atau pemeriksaan di sidang pengadilan
yang meliputi sidang Pengadilan Negeri, 1. Adanya tindakan dari mahkamah untuk
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. mengambil tindakan secukupnya untuk
melindungi keselamatan, kesejahteraan
Bentuk-bentuk perlindungan yang dapat fisik dan psikologis martabat dan
diberikan adalah perlindungan keamanan privasi para korban.47
pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik 2. Adanya metode persidangan in camera
dan mental, perahasiaan identitas korban atau memperbolehkan pengajuan bukti
atau saksi dan pemberian keterangan pada dengan sarana elektronika atau sarana
saat pemeriksaan di sidang pengadilan khusus lainnya. Tindakan-tindakan ini
tanpa bertatap muka dengan tersangka. Tata secara khusus harus dilaksanakan
cara pemberian perlindungan dapat dalam hal seorang korban kekerasan
dilakukan atas permohonan dari korban seksual atau seorang anak yang menjadi
atau saksi maupun oleh inisiatif aparat korban atau saksi.48
penegak hukum. Permohonan untuk 3. Adanya unit korban dan saksi khusus
mendapatkan perlindungan sesuai dengan dalam kepaniteraan dimana adanya staf
tahapan perkara, artinya saksi atau korban yang mempunyai keahlian mengatasi
dapat mengajukan permohonan kepada trauma termasuk staf dengan keahlian
pihak-pihak pada saat pihak tersebt mengatasi trauma yang terkait dengan
mempunyai kewenangan terhadap saksi kejahatan seksual. Unit khusus ini
dan korban. pada tahap penyelidikan mempunyai tugas untuk :
permohonan dapat diajukan ke Komnas
HAM, pada tahap penyidikan dan a. Menyediakan langkah-langkah
penuntutan permohonan kepada jaksa perlindungan dan pengaturan
penuntut umum demikian juga pada saat keamanan.
pemeriksaan pengadilan permohonan dapat b. Menyedikan jasa nasehat dan
diajukan ke pengadilan. Para instansi yang bantuan yang perlu bagi saksi,
diminta permohonannya tersebut kemudian korban yang menghadap di depan
menindaklanjuti dengan menyampaikan ke mahkamah dan orang-orang lain
aparat keamanan. yang mungkin terkena resiko
karena kesaksian yang diberikan
Kelemahan yang mendasar dari oleh saksi tersebut.
perlindungan korban dan saksi ini adalah
tidak ada standar atau prosedur yang baku
mengenai pelaksanaan perlindungannya.
Sampai saat ini tidak ada petunjuk
47 Pasal 68 huruf 1 Statuta Roma 1998.
pelaksanaan untuk proses perahasiaan
48 Pasal 68 huruf 2 Statuta Roma 1998.
53
Lihat putusan pengadilan HAM ad hoc
atas nama Mayjend (Purn) R.A. Butar-butar
yang divonis 10 tahun penjara dan ada putusan
mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
kepada korban. Putusan dibacakan pada tanggal
26 Maret 2004.
1. Legitimasi Berdirinya
Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad 2. Adanya dugaan pelanggaran HAM
hoc didasarkan pada Pasal 43 UU No. 26 yang berat atas hasil penyelidikan
tahun 2000. Ayat (1) menyatakan bahwa Komnas HAM.
pelanggaran HAM berat yang terjadi 3. Adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan
sebelum diundangkannya undang-undang Agung.
ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan 4. Adanya rekomendasi DPR kepada
HAM ad hoc. Ayat (2) menyatakan bahwa pemerintah untuk mengusulkan
pengadilan HAM ad hoc sebagaimana pengadilan HAM ad hoc dengan tempos
dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul dan locus delicti tertentu.
Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan 5. Adanya keputusan presiden (Keppres)
peristiwa tertentu dengan keputusan untuk berdirinya pengadilan HAM ad
presiden. Ayat (3) menyatakan bahwa hoc.
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berada dalam pengadilan umum. Ketentuan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000
Dalam penjelasannya, Dewan Perwakilan tidak mengatur secara jelas mengenai alur
Rakyat yang juga sebagai pihak yang atau mekanisme bagaimana sebetulnya
mengusulkan dibentuknya pengadilan proses perjalanan pembentukan pengadilan
HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan
dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang dari Komnas HAM tentang adanya
berat yang dibatasi pada locus delicti dan pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman
tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum pengadilan HAM ad hoc untuk kasus
diundangkannya undang-undang ini. pelanggaran HAM berat di Timor-timor
menjelaskan bahwa mekanismenya adalah
Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu
untuk diadakannya pengadilan HAM ad hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung,
hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang Kejaksaan agung melakukan penyidikan.
berat yang berbeda dengan pengadilan Hasil penyidikan diserahkan ke Presiden.
HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu
adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu : DPR mengeluarkan rekomendasi.
Kemudian Presiden mengeluarkan keppres
1. Dugaan adanya pelanggaran HAM ad yang melandasi dibentuknya pengadilan
hoc yang terjadi sebelum Tahun 2000 HAM ad hoc.
atau sebelum disyahkannya UU No. 26
Tahun 2000.
Surat ke DPR
Komnas HAM 1 1 2
Jaksa Agung 2 3
Presiden DPR
penyelidikan penyidikan
4
Penuntutan
Rekomendasi /usulan
6 5
Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc Dalam pengadilan HAM ad hoc untuk kasus
ini, sorotan yang paling tajam adalah pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
adanya kewenangan DPR untuk dapat di Timor-timur juga melalui mekanisme
mengusulkan adanya pengadilan HAM ad dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000.
hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap Langkah pertama adalah adanya
sebagai pihak yang dapat menentukan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas
untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM sesuai dengan ketentuan dalam Perpu
HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang No. 1 Tahun 1999 mengenai pengadilan
berat di masa lalu karena pelanggaran HAM HAM. Dalam perpu ini dinyatakan pihak
yang berat tersebut lebih banyak bernuansa yang berwenang melakukan penyelidikan
politik sehingga lembaga politik yang adalah Komnas HAM, terutama dalam hal
paling cocok adalah DPR. Adanya kejahatan terhadap kemanusian. Komnas
ketentuan ini oleh sebagian kalangan HAM kemudian untuk penyelidikan
dianggap sebagai kontrol atas adanya membentuk KPP-HAM yang memiliki
pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya ruang lingkup tugas yaitu mengumpulkan
pengadilan HAM ad hoc untuk kasus fakta dan mencari berbagai data, informasi
pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak tentang pelanggaran HAM di Tim-tim yang
akan dapat dilaksanakan tanpa adanya terjadi sejak Januari 1999 sampai
usulan atau rekomendasi dari DPR. Hal ini dikeluarkannya TAP MPR yang
secara implisit sama halnya dengan mengesahkan hasil jejak pendapat. Dengan
memberikan kewenangan kepada DPR memberikan perhatian khsusus kepada
memandang pelanggaran HAM berat ini pelanggaran berat hak asasi manusia antara
dalam konteks politik dan dapat lain genocida, massacre, torture, enforced
menyatakan ada tidaknya pelanggaran displacement, crime against woman and children
HAM yang berat.55 dan politik bumi hangus. Menyelidiki
mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc dari hasil penyelidikan komnas HAM.
inilah yang banyak menghambat proses ke arah Contohnya adalah kasus trisaksi dan semanggi
adanya pengadilan HAM ad hoc karena DPR yang sampai sekarang tidak dapat dibawa ke
menganggap tidak ada pelanggaran HAM berat pengadilan HAM ad hoc.
2. Asas Retroaktif
Ketentuan yang sangat erat hubungannya Tahun 2000 ini unsur-unsurnya adalah
dengan adanya pengadilan HAM ad hoc adanya unsur sistematik atau meluas dan
adalah ketentutan mengenai berlakunya adanya kebijakan. Delik kejahatan terhadap
asas retroaktif atau asas berlaku surut. kemanusiaan dengan rumusan yang seperti
Betuk pengadilan HAM ad hoc yang dalam inilah yang dianggap sebagai delik baru
Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang dalam hukum pidana sehingga kalau delik
berlaku untuk locus dan tempus delicti ini akan diberlakukan kepada para pelaku
tertentu mengacu pada bentuk pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum
internasional ad hoc, yang antara lain diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000
memungkinkan berlakunya prinsip maka akan berlaku prinsip retroaktif.
retroaktivitas. Prinsip retroaktif ini menjadi
ketentuan yang paling banyak Kontroversi mengenai adanya prinsip
diperdebatkan karena dianggap retroaktif ini karena dalam hukum pidana
bertentangan dengan asas legalitas dalam asas kardinal yang dipegang teguh adalah
hukum pidana. asas legalitas dimana tidak ada
penghukuman tanpa adanya pemidanaan
a. Dasar pengaturan terlebih dahulu. 57 Diluar ketentuan KUHP,
larangan untuk pemberlakuan pengaturan
Asas berlaku surut ini menjadi sebuah asas yang berlaku surat juga terdapat dalam
yang paling kontroversial dalam aturan Pasal 28 I undang-undang 1945. Dalam
mengenai pengadilan HAM ad hoc ini. Pasal konvensi internasional untuk hak sipil dan
43 ayat 1 yang menyatakan bahwa politik juga dilarang digunakannya
pelanggaran HAM yang berat yang yang peraturan yang bersifat surut.
terjadi sebelum diundangkannya undang-
undang ini diperiksa dan diputus oleh Dalam UU No. 26 Tahun 2000 disinggung
pengadilan HAM ad hoc. Dalam pengaturan mengenai dasar yuridis digunakannya
mengenai kasus-kasus masa lalu sebelum prinsip retroaktif ini. Landasan yang
diundangkannya undang-undang ini tidak digunakan adalah Pasal 28 huruf j ayat (2)
memberikan batasan secara limitatif sampai yang berbunyi bahwa dalam menjalankan
tahun berapa kasus-kasus masa lalu dapat hak dan kebebasannya setiap orang wajib
diperiksa. tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan
Seperti diketahui bahwa kejahatan terhadap maksud semata-mata untuk menjamin
kemanusiaan dan kejahatan genosida pengakuan serta penghormatan atas hak
sebelumnya memang belum dijadikan delik dan kebebasan orang lain dan untuk
tersendiri dalam hukum pidana kita. Dalam memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
kitab undang-undang hukum pidana pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
(KUHP) yang ada adalah kejahatan yang keamanan, ketertiban umum dalam suatu
berupa pembunuhan (murder), perampasan masyarakat demokratis. Dengan ungkapan
kemerdekaan (imprisonment), lain bahwa asas retroaktif dapat
penyiksaan/penganiayaan (torture), dan diberlakukan dalam rangka melindungi hak
perkosaan (rape) yang sifatnya biasa. asasi manusia itu sendiri. 58
Bentuk-bentuk kejahatan diatas menjadi
elemen spesifik untuk adanya kejahatan 57 Lihat Pasal 1 ayat 1 KUHP.
terhadap kemanusiaan yang membutuhkan 58 Landasan dapat diterapkannya asas
elemen umum yang dalam UU No. 26 retroaktif karena sesuai dengan Pasal 28 J ayat (2)
Bulan Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, Pengadilan HAM, Kompas, 2 Maret 2000.
Jakarta, 20 Januari 2004.
60 Ibid.
dan norma nasional. Peradilan yang Setelah peradilan Nurenbeg, tidak ada ad
dibentuk adalah peradilan untuk kasus hoc tribunals yang bisa dikatakan melanggar
Nurenberg dan Tokyo. asas legalitas. Peradilan untuk eks
Yugoslavia melalui ICTY dan untuk
Dalam kasus Nurenberg Tribunal Rwanda melalui ICTR dianggap tidak
menerapkan dan mempraktekkan sifat extra melanggar asas legalitas karena semata-
legal dengan menerapkan definisi yang mata belum adanya suatu pengadilan
sangat longgar terhadap prinsip legalitas kejahatan internasional yang bersifat
dan melanggarnya. Para penjahat perang permanen sedangkan norma-norma
yang dihadapkan ke peradilan tersebut kejahatan tersebut sudah tersedia sejak
telah diadili dengan norma-norma yang adanya peradilan Nurenberg dan Tokyo.
dibuat untuk kepentingan pengadilan itu Sifat ad hoc untuk kedua peradilan baik
sendiri. Dalam hal ini berarti, norma-norma Yugoslavia maupun rwanda tidak mengatur
itu dibuat untuk melarang, dan kemudian ketentuan yang belum diatur dan
mengadili dan menghukum, terhadap diterapkan hukumnya (ex post facto law) bagi
perbuatan-perbuatan yang sudah terjadi, pelaku kejahatan tetapi karena badan
yang sebelumnya tidak dilarang (ex post peradilan yang permanen yang berpegang
facto law). Dari sini pertama kalinya pada asas legalitas belum terbentuk.62
dilakukan penyimpangan terhadap asas
legalitas dengan menerapkan prinsip Pandangan yang berbeda terdapat dalam
retroaktif.61 penerapan terhadap kejahatan kemanusiaan
sebagai salah satu bentuk kejahatan HAM
Penyimpangan terhadap asas legalitas ini yang berat. Apabila diterapkan secara
bukannnya tanpa disadari oleh para retroaktif dianggap tidak melanggar standar
pembentuknya tetapi adanya kesadaran asas legalitas dalam hukum pidana
bahwa pelanggaran terhadap asas legalitas internasional, sebab kejahatan tersebut
ini dipilih secara sadar karena suatu semata-mata merupakan perluasan
keadaan yang tidak terelakkan, dan adanya yurisdiksi (jursidiction extention) dari
komitmen yang sungguh untuk membatasi kejahatan perang (an outgrowth of war crimes)
akibatnya, komitmen untuk membatasi dan diterima sebagai hukum kebiasaan
dampak dari pelanggaran asas legalitas ini internasional (international customary law)
memberikan sifat ad hoc bagi peradilan serta telah diputuskan oleh pengadilan
tersebut. Sifat ad hoc ini mempunyai internasional yang bersifat ad hoc.
pengertian bahwa harus berakhir ketika
kasus yang ditanganinya selesai dan tidak Praktek peradilan-peradilan di atas
dapat digunakan untuk mengadili kasus- memberikan paradigma dalam
kasus lainnya. Jadi sifat ad hoc ini berfungsi perkembangan hukum yang bergeser yakni
untuk limiting the damage yang bisa adanya pandangan yang semula berpegang
diakibatkan oleh sifat extra judicial dari teguh pada nullum crimen sine lege menjadi
peradilan tersebut. nullum crimen sine iure (tiada kejahatan
tanpa penghukuman), dan yang terakhirlah
yang menjadi dasar legalitas dari hukum
pidana internasional. Prinsip ini menjadikan
Non Retroactivity, Catatan Ke Arah Amandemen 62 PBHI, Ad Hoc Extra Judicial National
setiap perbuatan yang merupakan bentuk Argumen majelis hakim dalam menentukan
kejahatan internasional akan dihukum berlakunya asas retroaktif adalah apabila
walaupun belum ada hukum yang ditinjau lebih jauh lagi UU No. 26 Tahun
mengaturnya. Argumen lainnya yaitu 2000 dalam bentuk atau formatnya sejalan
bahwa nullum crimen sine lege sebenarnya dengan penyimpangan atas asas non
bukan batasan kedaulatan tetapi merupakan retroaktif berdasarkan pada preseden proses
prinsip keadilan (principle of justice) peradilan Nuremberg tahun 1946 yang
sehingga menjadi tidak adil ketika yang mengawali pengecualian atas asas legalitas.
bersalah tidak dalap dihukum dan Sementara substansi atau norma hukum
dibiarkan bebas (unpunished).63 yang diterapkan terutama yang berkaitan
dengan kejahatan genosida dan kejahatan
c. Argumen penerapannya dalam kasus terhadap kemanusiaan.
Timor-Timur
Bahwa proses peradilan Nuremberg
Dalam peradilan HAM ad hoc kasus Timor- tersebut yang menerapkan asas retroaktif
timor, keberatan terhadap diberlakukannya telah dianggap sebagai norma kebiasaan
asas retroaktif adalah karena bertentangan Internasional dan telah memiliki ciri-ciri ius
dengan UUD 1945 amandemen ke 2 (Pasal cogen yaitu norma tertinggi yang harus
28 I), bertentangan dengan Universal dipatuhi dan tidak boleh dikurangi
Declaration of Human Rights, bertentangan sehingga semua negara anggota PBB
dengan asas Legalitas dalam KUHP, dan termasuk Indonesia secara hukum terkait
bertentangan denga rasa keadilan dan untuk melaksankannya tanpa harus
kepastian hukum.64 meratifikasinya. Bahwa kemudian putusan
peradilan Nuremberg tersebut dikuatkan
melalui Resolusi PBB tanggal 11 Desember
63 Atas dasar International Customary 1946 sebagai suatu aplikasi prinsip-prinsip
Law, alasan dapat digunakan asas retroaktif hukum internasional, seterusnya diikuti
adalah 1) atas dasar principle of justice yang pula oleh Peradilan Tokyo 1948, Peradilan
artinya bahwa impunity terhadap pelaku Bekas Yugoslavia/International Criminal
pelanggaran HAM yang berat akan dirasakan Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) 1993,
lebih tidak adil dibandingkan dengan tidak
Peradilan Rwanda/International Criminal
menerapkan asas legalitas, yang juga ditujukan
Tribunal for Rwanda (ICTR) 1995, RUU
untuk menciptakan kepastian hukum dan
keadilan, dan b) dalam hal ini tidak ada Peradilan ad hoc Khmer Merah 1999
persoalan asas legalitas, sebab tidak ada khususnya terhadap pelanggaran HAM
perundang-undangan yang baru. Yang terjadi yang berat (gross violation of human rights),
adalah penerapan hukum kebiasaan sekalipun untuk kurun waktu tertentu saja.
internasional dalam peradilan ad hoc dengan Bahwa Pemberlakuan asas retroaktif pada
locus dan tempos delicti tertentu yang sudah peradilan Nuremberg memberikan
dikenal dalam praktek hukum internasional justifikasi terhadap pengecualian asas
(Nurenberg, Tokyo, Rwanda dan Yugoslavia)
legalitas. Kemudian tentunya setelah diikuti
dalam hal ini berlaku asas nullum delictum nulla
dan diterapkan pada negara-negara
poena sine iure. Lihat Muladi, Mekanisme Domestik
untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui sesudahnya asas retroaktif ini menjadi asas
sistem Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun legalitas untuk pengadilan-pengadilan
2000, Makalah dalam Diskusi Panel 4 Bulan sesudahnya, karena menjadi dasar hukum
Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, Jakarta,
20 Januari 2004
penasehat hukum terdakwa dalam Pengadilan
64Argumen-argumen ini merupakan HAM ad hoc Timor-timur.
argumen yang dikemukakan dalam eksepsi tim
terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang dalam rangka melindungi HAM itu sendiri
berat yang terjadi kemudian khususnya berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.66
kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida.65 Terlepas dari pemberlakuan asas retroaktif
yang berdasarkan praktek internasional
Majelis hakim menyatakan bahwa dapat tersebut, majelis hakim juga menyatakan
diberlakukannya asas retroaktif adalah bahwa nilai keadilan lebih tinggi daripada
berdasarkan pengkajian terhadap praktek kepastian hukum terlebih-lebih perwujudan
pengadilan pidana internasional dari keadilan universal seperti dalam kasus-
praktek negara-negara sejak pengadilan kasus pelanggaran HAM yang berat tidak
penjahat perang di Nurenberg dan Tokyo mengenal ruang dan waktu. Oleh karena itu
dan pengadilan pidana internasional ad hoc dalam hal ini non retroaktif dapat
untuk Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda dikesampingkan dan masalah ini sebagai
(ICTR), dan Kasus Adolf Eichman di aturan khusus. Argumen tentang masalah
pengadilan distrik Yerusalem ternyata asas apakah ada pertentangan antara kepastian
non retroaktif disimpangi demi tegaknya hukum dengan keadilan majelis hakim
keadilan. menyatakan bahwa apabila terjadi
pertentangan antara dua prinsip maka yang
Kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, didahulukan adalah prinsip yang dapat
dan genosida merupakan hostis human mewujudkan keadilan yang lebih nyata.67
generis (musuh bersama seluruh umat
manusia) yang termasuk dalam kejahatan
internasional sehingga di bawah yurisdiksi
universal. Berdasarkan prinsip yurisdiksi
universal ini setiap negara berhak untuk
mengadili pelaku kejahatan ini atau untuk
mengekstradisikannya ke negara atau pihak
lain yang memiliki yurisdiksi tanpa melihat
kejadian, kewarganegaraan pelaku maupun
kewarganegaraan korban.
sehingga penghukuman terhadap pelaku Abilio Jose Osorio Soares (Mantan Gubernur
mutlak diperlukan tanpa dibatasi waktu Timor-timur) tanggal 4 April 2002.
dan tempat maka praktek internasional
telah menghapuskan batas daluwarsa
67 Argumen ini didasarkan pada
pemeriksaan sebagaimana disebutkan komparasi mengenai ukuran untuk menetukan
ada tidaknya kepastian hokum dan keadilan
dalam penjelasan UU No. 26 Tahun 2000
khusus dalam penegakan HAM yaitu nilai
menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang keadilan tidak diperoleh melalui tingginya nilai
berat merupakan extra ordinary crime dan kepastian hukum melainkan dari keseimbangan
berdampak secara luas. Dengan ungkapan perlindungan hukum atas korban, dan pelaku
lain asas retroaktif dapat diperlakukan kejahatan dan semakin serius suatu kejahatan
maka semakin besar nilai keadilan yang harus di
pertahankan lebih dari nilai kepastian hukum.
65 Lihat Putusan sela dengan terdakwa Lihat Putusan sela dengan terdakwa M. Noer
M. Noer Muis (Mantan Komandan Korem) 164, Muis (Mantan Komandan Korem) 164, Timor-
Timor-timur. Tanggal 20 AUSTUS 2002. timur. Tanggal 20 Agustus 2002.
3. Hukum Acara
Pasal 44 UU No. 26 Tahun 2000 melampaui ketentuan undang-undang.68
menyatakan bahwa pemeriksaan di Ketentuan tentang jangka waktu ini
pengadilan HAM ad hoc dan upaya terdapat ketidakjelasan mengenai jangka
hukumnya dilakukan sesuai dengan waktu antara penyidikan dinyatakan selesai
ketentuan dalam undang-undang ini. Hal dan kapan hasil penyidikan itu harus
ini berarti bahwa hukum acara yang diserahkan untuk dilakukan penuntutan.
digunakan dalam pengadilan HAM ad hoc Dalam UU No. 26 Tahun 2000 hanya
sama dengan ketentuan yang digunakan dinyatakan bahwa penuntutan harus
dalam pengadilan HAM yaitu diselesaikan dalam jangka waktu 70 hari
menggunakan ketentuan dalam UU No. 26 terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan
Tahun 2000. Seperti halnya dengan diterima. Jadi UU No. 26 Tahun 2000 hanya
Pengadilan HAM, ketentuan mengenai mengatur tentang lama penyidikan dan
hukum acara yang digunakan juga mengacu lama penuntutan tetapi tidak diatur
pada Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 yang mengenai kewajiban atau batasan waktu
mensyaratkan digunakannya ketentuan diserahkannya hasil penyelidikan ke
dalam KUHAP kecuali yang ditentukan penuntutan.
secara khusus dalam UU No. 26 Tahun 2000.
IV. PENUTUP
Pengaturan tentang pengadilan HAM dan dengan penjelasan mengenai unsur-unsur
pengadilan HAM ad hoc berdasarkan UU tindak pidananya (elements of crimes). UU
No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilah
HAM. Yurisdiksi dari pengadilan HAM HAM ini juga tidak mengatur tentang
adalah untuk memeriksa dan memutus prosedur pembuktian secara khusus untuk
perkara pelanggaran HAM yang berat yaitu mengadili kejahatan yang sifatnya “extra-
kejahatan terhadap kemanusiaan dan ordinary crimes”.
kejahatan genosida. Pengadilan HAM juga
mempunyai kewenangan untuk Kelemahan-kelemahan UU No. 26 Tahun
memutuskan tentang kompensasi, restitusi 2000 dalam prakteknya menyulitkan proses
dan rehabilitasi kepada para korban peradilan HAM yang mengakibatkan
pelanggaran HAM yang berat. majelis hakim melakukan terobosan-
terobosan hukum untuk menafsirkan atau
UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan menerjemahkan peraturan sesuai dengan
HAM masih banyak mengandung pertimbangan majelis hakim. Kedepan,
kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan untuk memperkuat jaminan kepastian
hambatan-hambatan yuridis dalam hukum dan pencapaian keadilan kepada
penerapan UU No. 26 Tahun 2000 tersebut. korban maka UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain Pengadilan HAM ini perlu diamandemen
tidak secara lengkap menyesuaikan tindak sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman
pidana yang diatur yaitu kajahatan pelaksanaan peradilan-peradilan HAM
terhadap kemanusiaan dan kejahatan sebelumnya.
genosida yang seharusnya juga disertai