Professional Documents
Culture Documents
Menurut Alfani Daud (1997), suku bangsa Banjar adalah suku asli
sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, kecuali di
Kabupaten Kota Baru.
Banjar Pahuluan
Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat
balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih
berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu
di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama
masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang
banyak sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan
Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan
terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan
kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya
Menurut Alfani Daud (Islam dan Masyarakat Banjar, 1997), inti suku
Banjar adalah para pendatang Melayu dari Sumatera dan sekitarnya,
sedangkan menurut Idwar Saleh justru penduduk asli suku Dayak
(yang kemudian bercampur membentuk kesatuan politik sebagaimana
Bangsa Indonesia dilengkapi dengan bahasa Indonesia-nya).
Menurut Tim Haeda dalam Islam Banjar; Tentang Akar Kultural dan
Revitalisasi Citra Masyarakat Religius (2009: 76), secara sosio-historis
masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang
terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan
tahun telah menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian
membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok sosial
heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak
sepenuhnya alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain yang cukup kompleks.
Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang
Banyu) terutama orang Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota
Negara (bekas ibukota Kerajaan Negara Daha), kecamatan Daha
Selatan, Hulu Sungai Selatan telah cukup lama mendiami wilayah
Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang Kelua
(urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya mendiami
daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar
ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju
setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.
Suku Banjar di Jawa Tengah hanya berkisar 10.000 jiwa, jadi tidak
sebanyak di Jambi, Riau dan Sumatera Utara. Suku Banjar terutama
bermukim di Kota Semarang dan Kota Surakarta. Di Semarang suku
Banjar (dahulu) kebanyakan bermukim di Kampung Banjar di
Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, Semarang. Dahulu kampung ini
merupakan wilayah kelurahan Banjarsari, Kecamatan Semarang
Tengah yang telah dilikuidasi karenanya adanya penataan wilayah
administrasif kota Semarang. Migrasi suku Banjar ke kota Semarang
kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di sebelah barat kali
Semarang berdekatan dengan kampung Melayu (Ex. Kelurahan Mlayu
Darat yang telah dilikuidasi). Di wilayah ini suku Banjar membaur
dengan suku lainnya seperti suku Arab-Indonesia, Gujarat, Melayu,
Bugis dan suku Jawa setempat. Keunikan suku Banjar di kampung ini ,
mereka mendirikan rumah panggung (rumah ba-anjung) seperti di
daerah asalnya, tetapi sayang kebayakan rumah tersebut sudah mulai
tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air
pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir
pasang air laut. Sedangkan di Surakarta suku Banjar kebanyakan
bermukim di Kampung Jayengan. Suku Banjar di Surakarta memiliki
yayasan Darussalam, yang diambil dari nama Pesantren terkenal yang
ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah
merupakan generasi ke-5 dari keturunan Martapura, Kabupaten
Banjar. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf
asal Martapura, yang pernah menjabat Bupati Pemalang dan Kepala
Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua Ikatan Keluarga
Kalimantan ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan Barat. Di
samping itu ada pula Ikatan Keluarga Banjar di Semarang, yang
diketuai H. Karim Bey Widaserana dari Barabai.
Islam Banjar
• 3.207.000 di Indonesia
• 1.238.000 di Malaysia
Orang Banjar Hulu Sungai yang bertutur Bahasa Banjar Hulu terdapat
pada 6 kabupaten (Banua Enam) yaitu :
• 114.265 jiwa di kabupaten Tapin
• 188.672 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Selatan
• 213.725 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Tengah
• 277.729 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Utara (termasuk kab.
Balangan)
• 141.347 jiwa di kabupaten Tabalong
Tokoh-tokoh Banjar
Istilah Tanah Banjar yang dimaksud dalam tulisan ini dibatasi pada
daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah Provinsi Kalimantan
Selatan (Kalsel). Disebut Tanah Banjar, karena daerah-daerah
dimaksud dahulunya (1526-1905) merupakan bekas wilayah Kerajaan
Banjar, dan mayoritas penduduk yang tinggal di sana disebut etnis
Banjar, sehingga daerah ini kemudian ditahbiskan sebagai pusat
kebudayaan Banjar.
Sejarah kehidupan di Tanah Banjar sudah dimulai setidak-tidaknya
sejak 6-10 tahun SM.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya fosil manusia purba ras
Austromelanesia berjenis kelamin wanita (40-60 tahun) di Gua Batu
Babi, Gunung Batu Buli, Desa Randu, Kecamatan Muara Uya,
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, pada tahun 2000 yl.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Balai Arkeologi
Banjarbaru (Dr. Harry Widianto dkk) menunjukkan bahwa fosil manusia
purba itu berusia sekitar 6-10 ribu tahun (SKH Banjarmasin Post, 4
Februari 2000).
Sejak zaman prasejarah dahulu suku bangsa yang tinggal di Pulau
Kalimantan sudah memiliki ciri-ciri yang menunjukkan identitas
mereka sebagai suku bangsa ras Melayu (Malayan Mongoloid)
(Sulaksono, 2004:2).
Namun, ini bukan berarti suku bangsa ras Melayu (Malayan Mongolid)
yang tinggal di Pulau Kalimantan pada zaman prasejarah ini berasal
dari komunitas suku bangsa Melayu yang dulu melakukan migrasi dari
Pulau Sumatera (1025-1026) atau dari Semenanjung Melayu ke Pulau
Kalimantan (1511).
Menurut Maunati (2004:60), suku bangsa yang tinggal di Pulau
Kalimantan pada masa prasejarah itu sesungguhnya berasal dari satu
tempat yang sama, yaitu : Propinsi Yunan di Republik Rakyat Cina
sekarang ini.
Bahasa yang mereka pergunakan sebagai bahasa pergaulan (liungua
franca) juga berasal dari bahasa yang bersifat semula jadi yang
dipelajari nenek moyang mereka ketika masih tinggal di Yunan dahulu.
Identitas Genetik
Identitas religi sebagai penganut agama Islam yang saleh mulai
dilekatkan sebagai identitas baru kepada penduduk asli Pulau
Kalimantan sejak tahun 1526, yakni sejak Sultan Suriansyah
memegang tampuk kekuasaan di Kerajaan Banjar yang berideologi
ajaran agama Islam.
Konsekwensi logis akibat ditetapkannya ajaran agama Islam sebagai
ideologi negara adalah ditempatkannya agama Islam sebagai agama
resmi di Kerajaan Banjar.
Politik religius ini sudah barang tentu akan menempatkan warga
negara Kerajaan Banjar yang beragama Islam sebagai warga negara
kelas satu.
Tertarik dengan ajaran agama Islam yang begitu istimewa berikut
status sosial politik yang juga istimewa, maka semakin hari semakin
banyak saja warga negara Kerajaan Banjar yang melepaskan
keyakinan lamanya untuk kemudian memeluk agam Islam.
Penetapan agama Islam sebagai agama resmi atau ideologi negara di
Kerajaan Banjar bukannya tanpa masalah, warga negara Kerajaan
Banjar yang beragama Hindu, Budha, Kaharingan, dan penganut
agama yang lainnya memilih pindah menjauhi pusat pemerintahan.
Warga negara Kerajaan Banjar yang tidak memeluk agama Islam inilah
yang di kemudian hari menjadi cikal bakal suku bangsa Balangan,
Barito, Dusun, Lawangan, Maratus, Halong, Ngaju, Ot Danum, Siang,
dan suku bangsa lainnya.
Pada tahun 1895, Dr. August Kaderland memperkenalkan istilah etnis
Dayak untuk menyebut semua kolektif suku bangsa penduduk asli
Pulau Kalimantan yang belum memeluk agama Islam (Maunati,
2004:59).
Pasca runtuhnya Kerajaan Banjar pada tahun 1905, istilah orang Banjar
tidak lagi dipahami sebagai istilah kesatuan politik (warga negara
Kerajaan Banjar), tetapi sudah mengalami pengerucutan sebagai
istilah kesatuan suku bangsa (etnis Banjar).
Identitas Religi
Identitas Bahasa
KONSTRUKSI IDENTITAS
KOLEKTIF ETNIS BANJAR
Menurut sensus yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun
2000, jumlah populasi orang Banjar di Kalsel ada sebanyak 2.271.586
jiwa (Wikipedia Indonesia).
Masih menurut sumber data yang sama orang Banjar juga ditemukan
keberadaannnya dalam jumlah yang signifikan di Kalbar (24.117),
Kalteng (435.758), dan Kaltim (340.381).
Jumlah orang Banjar di Pulau Jawa, di DKI Jakarta (7.977), dan Jabar
(5.923). Sayang sekali data-data populasi orang Banjar di Bali, Banten,
DI Yogyakarta, Jatim, Jateng, NTB, dan NTT tidak dicantumkan dalam
sumber di atas. Padahal, jumlah populasi orang Banjar di daerah-
daerah tersebut pastilah banyak sekali.
Jumlah orang Banjar di Pulau Sumatera, Jambi (83.458), Nangroe Aceh
Darussalam (1.726), Riau (179.380), Sumut (111.886), dan Sumsel
(921). Sayang sekali data-data populasi orang Banjar di Bengkulu,
Lampung, dan Sumbar tidak dicantumkan dalam sumber di atas.
Padahal, jumlah populasi orang Banjar di daerah-daerah tersebut
pastilah banyak sekali.
Keberadaan orang Banjar di daerah-daerah di luar Kalsel sebagaimana
yang ditunjukkan oleh data-data BPS tersebut di atas merupakan bukti
bahwa orang Banjar termasuk suku bangsa yang suka merantau
(bahasa Banjar, madam).
Orang Banjar tidak hanya merantau di kawasan NKRI saja, tetapi juga
ke luar negeri. Hanya saja datanya belum ada. Khusus populasi orang
Banjar di Malaysia, menurut versi situs Joshua Project jumlahnya tidak
kurang dari 519.000 orang.
Keberadaan orang di luar wilayah domestiknya (Kalsel) tidak hanya
pada masa-masa sekarang ini, tetapi sudah ada sejak zaman kolonial
Belanda dahulu.
Pada tahun 1930, pemerintah kolonial Belanda melakukan Volkstelling,
hasilnya adalah data berikut ini. Jumlah orang Banjar di Pulau
Sumatera (77.836 orang), Pulau Sulawesi (2.319 orang), Nusa
Tenggara (151 orang), dan di Malaysia Barat (20.339).
Sesungguhnya, jauh sebelum tahun 1930, orang Banjar sudah banyak
yang pergi merantau ke luar daerah bahkan ke luar negeri.
Fakta sejarah menunjukkan, di antara etnis Banjar yang tinggal di
pulau Sumatera dan Semenanjung Melayu, ada yang merupakan anak,
cucu, intah, piat dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga
gelombang migrasi besar pada tahun 1780, 1862, dan 1905.
Pada tahun 1780, terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera.
Etnis Banjar yang menjadi imigran ketika itu adalah para pendukung
Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang saudara
antara sesama bangsawan Kerajaan Banjar, yakni raja usurpatur
Pangeran Tahmidullah.
Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kerajaan Banjar karena
sebagai musuh politik mereka sudah dijatuhi hukuman mati, sehingga
darah mereka sudah dihalalkan untuk ditumpahkan.
Pada tahun 1862, terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau
Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali ini adalah para
pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar.
Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar
di kota Martapura karena posisi mereka sudah terdesak sedemikian
rupa.
Pasukan Residen Belanda yang menjadi mus-uh mereka dalam Perang
Banjar sudah berhasil menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan
Banjar.
Pangeran Antasari sendiri sudah memindahkan pusat perlawanannya
ke daerah Muara Teweh, Kalteng.
Pada tahun 1905, etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-
besaran ke Pulau Sumatera.Kali ini mereka terpaksa melakukannya
karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi raja di Kerajaan Banjar
ketika itu mati syahid di tangan pasukan militer Belanda.
Sepeninggal Sultan Muhammad Seman, maka praktis mereka akan
hidup sebagai warga negara tanpa kelas dari suatu negara yang
dijajah Belanda.
Migrasi penduduk ke pulau Borneo telah terjadi sejak tahun 400 yang
dibuktikan dengan adanya prasasti yupa peninggalan Kerajaan Kutai,
Kalimantan Timur yang menunjukkan adanya masyarakat pendatang
yang membawa agama Hindu ke daerah tersebut. Demikian pula di
daerah Kalimantan Selatan juga mengalami jejak migrasi penduduk
yang panjang. Menurut pendapat sebagian ahli sejarah, orang melayu
(melayu kuno) telah datang ke daerah ini pada sekitar abad ke-6.
Diperkirakan orang melayu datang melalui selat Karimata yang
memisahkan pulau Belitung dengan wilayah kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat yang penduduknya saat ini dikenal dengan sebutan
orang Melayu Ketapang. Di sungai Amas, Kabupaten Tapin telah
ditemukannya patung Buddha Dipamkara (ketenangan air) yang sering
dibawa oleh pelaut dan juga sebuah batu terpotong bertuliskan aksara
Pallawa, Siddha (mungkin selengkapnya Jaya Siddha Yatra/Perjalanan
yang Mencapai Keberhasilan) menunjukkan pengaruh agama Buddha
dan migrasi orang Melayu dari Kerajaan Melayu maupun Sriwijaya
abad ke-7 atau sebelumnya.
Dayak Maanyan
Wilayah Majapahit
Masyarakat kerajaan Hindu inilah yang juga menjadi cikal bakal suku
Banjar yang mungkin dapat kita namakan sebagai orang Hindu
Batangbanyu (orang Banjar Hindu). Bahasa yang digunakan di wilayah
Batangbanyu sejak abad ke-13 telah mendapat pengaruh bahasa Jawa-
Majapahit misalnya kata lawang (pintu), anum (muda) yang berasal
dari bahasa Jawa, sedangkan orang Bukit yang tinggal di pegunungan
jauh dari pesisir tetap menggunakan beberapa kosa kata bahasa
Melayu seperti pintu, muda, dinding, kunyit, padi, balai, dan
sebagainya.
Banjar
Migrasi ke Sumatera
Migrasi ke Malaysia
Ulama Banjar
Ulama Banjar adalah ulama yang berasal dari Tanah Banjar maupun
berketurunan suku Banjar.
Diantaranya :
• Malaysia
1. Guru Danau
2. Ustadz Muhammad Arifin Ilham
3. Dato Seri (DR) Harussani bin Haji Zakaria, mufti negeri Perak,
Malaysia
4. Syaikh Muhammad Nuruddin Marbu Abdullah AlBanjary
AlMakky,salah satu ulama kontemporer madzhab syafi'ie di
Nusantara, pengarang dan pentahqiq puluhan buku berbahasa
Arab
Seni Tari
Seni Tari suku Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang
dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang
dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama
"Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan
kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan
tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan
busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini.
Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai
dengan adab islam mengalami sedikit perubahan. Seni tari daerah
Banjar yang terkenal misalnya :
• Karawitan Sekar,
• Karawitan Gending,
• Karawitan Sekar Gending
Karawitan Sekar
Karawitan Gending
Gamelan Banjar
1. babun
2. gendang dua
3. rebab
4. gambang
5. selentem
6. ketuk
7. dawu
8. sarun 1
9. sarun 2
10. sarun 3
11. seruling
12. kanung
13. kangsi
14. gong besar
15. gong kecil
1. babun
2. dawu
3. sarun
4. sarantam
5. kanung
6. kangsi
7. gong besar
8. gong kecil
Perkembangan
Sejarah
1. 2 buah sarun
2. 1 buah sarantam
3. 1 buah kanung
4. 1 buah katuk
5. 1 buah kangsi
6. 1 buah babun
7. gong besar
8. gong kecil
Lagu Daerah
• Ampar-Ampar Pisang
• Sapu Tangan Babuncu Ampat
• Paris Barantai
• Lagu Banjar lainnya
• Daftar penyanyi lagu-lagu Banjar
• Daftar pencipta lagu-lagu Banjar
Seni Anyaman
Seni anyaman dengan bahan rotan, bambu dan purun sangat artistik.
Anyaman rotan berupa tas dan kopiah.
Seni Tatah/Ukir
Motif jambangan bunga dan tali bapilin dalam seni tatah ukir Banjar
Seni ukir terdiri atas tatah surut (dangkal) dan tatah babuku (utuh).
Seni ukir diterapkan pada kayu dan kuningan. Ukiran kayu diterapkan
pada alat-alat rumah tangga, bagian-bagian rumah dan masjid, bagian-
bagian perahu dan bagian-bagian cungkup makam. Ukiran kuningan
diterapkan benda-benda kuningan seperti cerana, abun, pakucuran,
lisnar, perapian, cerek, sasanggan, meriam kecil dan sebagainya. Motif
ukiran misalnya Pohon Hayat, pilin ganda, swastika, tumpal, kawung,
geometris, bintang, flora binatang, kaligrafi, motif Arabes dan Turki.
Rumah adat Banjar ada beberapa jenis, tetapi yang paling menonjol
adalah Rumah Bubungan Tinggi yang merupakan tempat kediaman
raja (keraton). Jenis rumah yang ditinggali oleh seseorang
menunjukkan status dan kedudukannya dalam masyarakat. Jenis-jenis
rumah Banjar:
1. Penes
2. Kelotok
Wayang Banjar
Mamanda
Tradisi Bananagaan
1. Naga Badudung
2. Kepala Naga Gambar Sawit
3. Kepala Naga Darat
Madihin berasal dari kata madah dalam bahasa Arab artinya nasihat,
tapi bisa juga berarti pujian. Puisi rakyat anonim bergenre Madihin ini
cuma ada di kalangan etnis Banjar di Kalsel saja. Sehubungan dengan
itu, definisi Madihin dengan sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan
cara mengadopsinya dari khasanah di luar folklor Banjar.
Bentuk fisik
Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar di Kalsel masih belum
begitu akrab dengan sistem ekonomi uang, imbalan jasa bagi seorang
Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa Banjar :
Pinduduk). Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal benang,
selain itu juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan,
perikanan, dan peternakan.
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun sekali, jika tidak, tuah
magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung
dilakukan dalam sebuah ritus adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh
Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Menurut Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan cara
membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula
kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh. Jika Datu
Madihin berkenan memenuhi undangan, maka Pamadihinan yang
mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada saat
kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-
syair Madihin yang diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin yang
menyurupinya ketika itu. Sebaliknya, jika Pamadihinan yang
bersangkutan tidak kunjung kesurupan sampai dupa yang dibakarnya
habis semua, maka hal itu merupakan pertanda mandatnya sebagai
Pamadihinan telah dicabut oleh Datu Madihin. Tidak ada pilihan bagi
Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur secara
sukarela dari panggung pertunjukan Madihin
Simpulan
Pantun Banjar
Disebut pantun mulia jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi sebagai
persiapan isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai
isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia adalah pantun yang
sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis
saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi pantun di larik
3-4.
Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang yang
secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan tukang baca
pantun (bahasa Banjar Pamantunan). Uji publik kemampuan atas
seorang Pamantunan yang handal dilakukan langsung di depan
khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau saling bertukar pantun
yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para Pamantunan
tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan dalam
ajang Baturai Pantun ini tidak hanya kehormatan pribadinya semata,
tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang
diberikan oleh Datu Pantun. Konon, berkat Pulung inilah seorang
Pamantunan dapat mengembangkan bakat alam dan
intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel
dapat menekuni profesi sebagai Pamantunan, karena Pulung hanya
diberikan kepada oleh Datu Pantun kepada Pamantunan yang secara
genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan
nepotisme).
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah
magisnya akan hilang tak berbekas lagi. Proses pembaruan Pulung
dilakukan dalam sebuah ritus adat yang khusus digelar untuk itu, yakni
Aruh Pantun. Aruh Pantun dilaksanakan pada malam-malam gelap
tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29) di bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Pada zaman sekarang ini, pantun, khususnya pantun Banjar, tidak lagi
menjadi puisi rakyat yang fungsional di Kalsel. Sudah puluhan tahun
tidak ada lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi sebagai
ajang adu kreatifitas bagi para Pamantunan yang tinggal di desa-desa
di seluruh daerah Kalsel.
Pantun Banjar yang masih bertahan hanya pantun adat yang
dibacakan pada kesempatan meminang atau mengantar pinengset
(bahasa Banjar Patalian). Selebihnya, pantun Banjar cuma diselipkan
sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi
para pejabat atau dalam naskah-naskah tausiah para ulama.