Professional Documents
Culture Documents
BAB II
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno
pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang
berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan
dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan
perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan
kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat,
atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini
disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu
negara.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika
fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak
mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut
pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan
berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan
anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk
rakyat.
Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan
oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga
jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg
sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini
diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya
pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak
wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak
dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara
berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Demokrasi di Indonesia
Periode ini dimulai dengan saat Soeharto memegang kekuasaan pada 11 Maret
1966. Orde Baru yang lahir dari Supersemar, bertekad mewujudkan tatanan
Kenyataan memang membuktikan bahwa di bawah era Orde Baru, banyak kema-
juan yang diperoleh bangsa Indonesia. Kehidupan di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya dan pertahanan keamanan terpelihara secara mantap, dinamis,
tertib dan terkendali. Tingkat kesejahteraan masyarakat pun terus meningkat.
Namun yang tak banyak disinggung orang adalah Orde Baru ternyata juga
menghasilkan sejumlah "kemajuan" lain, yaitu makin lebar jurang antara yang
kaya dan miskin, makin membesar kesenjangan sosial, makin tidak adanya kepas-
tian hukum dan sebagainya. Atau malah bisa disebut sebagai sebuah penyimpan-
gan pelaksaan UUD 1945 oleh Orde Baru, di antaranya adalah:
Penyimpangan pertama. Menempatkan UUD 1945 di bawah Sapta Marga dan Sumpah
Prajurit. Sebagai hasilnya lahir lah "konsensus nasional" yang memungkinkan
Presiden mengangkat 1/3 anggota MPR dan 100 kursi DPR bagi ABRI. Perkembangan
lebih lanjut adalah munculnya 5 Paket UU Politik pada 1985. Untuk hal ini
barangkali perlu dilihat kembali pidato Presiden Soeharto tanpa teks di depan
RAPIM ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980 dan Keprihatinan Petisi 50 atas pidato
presiden tersebut yang pada intinya pemerintah membenarkan semua perbuatan yang
tidak terpuji pihak penguasa untuk secara berencana melumpuhkan UUD 1945,
dengan dalih Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, padahal kedua ikrar itu tidak
mungkin berada di atas UUD 1945.
Menurut Letjen (Purn) Hasnan Habib yang mantan Dubes RI untuk AS, pen-
gangkatan anggota ABRI sebagai anggota DPR merupakan pemberian hak konstitu-
sional khusus hanya kepada ABRI. Jadi hal itu adalah sebuah diskriminasi
politik. Jika ABRI memang hendak menjalankan fungsi sosial politiknya secara
demokratis, maka semua anggotanya (yang dipilih oleh pimpinan ABRI) harus ikut
Pemilu. Kalau mereka terpilih, berarti dwifungsi memang memiliki legit-
imasi sosial. Jika tidak terpilih, berarti dwifungsi ABRI tak mempunyai
legitimasi sosial, Jadi ada sesuatu yang salah dalam pelaksanaan Dwifungsi
selama ini.
UU No 5/1985 jelas bertentangan dengan Pasal 37 UUD 1945 yang membuka
peluang bagi diadakannya perubahan UUD 1945 asal sekurang-kurangnya didukung
oleh 2/3 anggota MPR yang hadir. UU No 5/1985 justru merintangi terlaksananya
ketentuan Pasal 37 tersebut dengan diharuskannya melakukan referendum.
UU No 8/1985 memberi hak pada Mendagri untuk membina organisasi kema-
syarakatan, termasuk PPP dan PDI. Mendagri sebagai orang Golkar, tentu saja
pembinaannya akan selalu menguntungkan Golkar. Tegasnya, UU No 8/1985 bertu-
juan memperkuat UU No 1/1985 guna memenangkan Golkar dalam setiap Pemilu dan
sekaligus merupakan legitimasi baru bagi ORBA. Bukan untuk membina tegaknya
kedaulatan rakyat, seperti yang dikehendaki UUD 1945.
Mengenai Dwifungsi ABRI ini, mantan staf PB Front Nasional Kie Oetomo
Dharmadi, mengatakan, "....dalam Demokrasi Terpimpin semua golongan fungsion-
il berDwifungsi ABRI, berDwifungsi Hankam dan sosial politik. Begitu juga semua
golongan fungsionil selain berfungsi menurut profesinya, masing-masing juga
berfungsi sosial politik, karena masuk dalam MPR. Sesungguhnya semua rakyat
sipi pun berDwifungsi bila menilik Pasal 30 Ayat 1 yang berbunyi 'Tiap-tiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara".
Sudah tentu peran sosial politik dari golongan fungsionil ini dalam
penerapannya sama sekali tidak boleh bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 1 UUD
1945. Jelas, semangat Demokrasi Pancasila dan UUD 1945 tidak memungkinkan
golongan apa pun atau fungsionil, yang memiliki hak istimewa."
Itu lah sejumlah penyimpangan pelaksaan UUD 1945 yang dilakukan Orde Baru
di bawah Soeharto yang secara berencana melumpuhkan UUD 1945, seperti yang
dikatakan Pernyataan Keprihatinan Petisi 50.
Penyimpangan pelaksanaan UUD 1945 yang terjadi dalam periode 5 Juli 195 9
s/d 11 Maret 1966 (?) diakibatkan karena terjebak dalam strategi Suhardiman
yang hendak menggagalkan Pemilu pada tahun 1963. Usaha Suhardiman ini dibantu
Subandrio dan Idham Chalid.
Jadi, apa yang dimaksud dengan janji Orde Baru yang bertekad melaksana-
kan UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen? Apanya yang murni dan
apanya yang konsekuen? Bukan kah Orde Baru justru melumpuhkan Pancasila dan UUD
45 secara sistematis? (HABIS)