Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
1
Lihat : Irhash A. Shamad, dkk., 2005, Sejarah Perkembangan Agama Islam di Sumatera Barat,
(Laporan Penelitian), Puslitbang Lektur Keagamaan, Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan
Dept. Agama R.I. hal.46 dst.
2
lihat : Hamka, 1967, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amullah dan Perjuangan Kaum
Agama di Sumatera, Djakarta : Djajamurni, hal. 79
3
Pepatah adat Minangkabau yang mengajarkan bahwa konflik itu perlu, berbunyi : Basilang kayu
dalam tungku, baitu api mangko ka iduik (bersilang kayu dalam tungku, demikian api baru hidup)
4
Sebagaimana diungkapkan dari seorang antropolog hukum Franz von Benda-Beckmann dalam
pengantar bukunya : Properti dan Kesinambungan Sosial : Kesinambungan dan Perubahan dalam
Hubungan-Hubungan Properti Sepanjang Masa di Minangkabau (terjemahan), Jakarta : PT Gramedia –
KITLV, 2000
7
Burhanuddin Daya, op.cit., h. 55
8
Isi dari Palakat Panjang ini disarikan dari terjemahan naskah asli berbahasa Belanda oleh Rusli
Amran, dimuat dalam bukunya Sumatera Barat Plakat Panjang, Jakarta : Sinar Harapan : 1984, hal.
15-19
9
Lebih jauh tentang hal ini lihat umpamanya dalam Sjafnir A.Nain, Tuanku Imam Bonjol: Sejarah
Intelektual Islam di Minangkabau 1784-1832 (Padang: ESA, 1988), h. 82 dan 117.
11
Syekh Khatib Muhammad Ali termasuk ulama Kaum Tua yang produktif menulis. Karangannya
banyak bertebaran dalam bentuk buku, risalah-risalah dan menuskrip dan hampir semuanya tidak
dapat ditemukan lagi.
12
Majalah Al-Imam, terbit di Singapura pada tahun 1906 (Juli) dibawah pimpinan (mudir) Syekh
Muhammad bin Salim Al-Kalali seorang hartawan keturunan Arab . Penulis utama adalah Syekh
Thaher Jaluddin Al-Azhary. Wakil di Maninjau : H. Abdul Karim Amarullah, sedangkan wakil di
Padangpanjang adalah H. Abdullah Ahmad, wakil untuk pulau Jawa adalah Sayid Muhammad
bin Abdurrahman bin Syahab. Pada penerbitan ke tiga Abdullah Ahmad mengajukan pertanyaan
tentang hukum berdiri ketika membaca marhaban, yang dijawab oleh pengasuh Al-Imam bahwa
hal itu tidak berdasarkan syara’ . (Hamka, Ayahku, hal.80 dan 92). Masalah inilah yang pada
awalnya telah memancing reaksi kalangan ulama yang disebut Kaum Tua di Minangkabau. Majalah
ini terbit hingga tahun 1909
13
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Datuk Soetan Maradjo, seorang tokoh adat yang juga
sebagai wartawan. Kaum Muda adalah sebutan untuk tokoh-tokoh gerakan pembaharuan yang
dipelopori murid-murid Ahmad Khatib, karena gerakan ini mirip dengan gerakan Kaum Muda di
Turki yang dipimpin oleh Anwar Pasya yang telah menggoncangkan negeri itu. Selengkapnya
mengenai asal-usul timbulnya kedua istilah tersebut, lihat Sanusi Lathief, “Gerakan Kaum Tua di
Minangkabau”, Disertasi (Jakarta: Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1988), h. 127-
133.
14
Telah dikemukakan bahwa Syekh Ahmad Khatib mendapat legalitas dari Syarif Al-Haramain
menjadi guru besar mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. Kitab-kitab yang diajarkan pada halakah
pengajiannya pada umumnya adalah kitab-kitab dalam mazhab ini. Jadi adalah meragukan asumsi
bahwa pembaharuan Islam tahap kedua ini dihubungkan langsung dengan namanya, sebagai yang
banyak ditulis, karena salah satu misi pembaharuan awal abad ke-20 ini ditujukan memberantas
taqlid terhadap imam mazhab, namun yang pasti bahwa Syekh Ahmad Khatib sangat anti kepada
tarikat dan sistem adat Minangkabau, bukan pada penganutan terhadap mazhab.
15
Mestika Zed, 2002, “Politik Identitas, Respon-Respon Orang Minangkabau terhadap Perubahan
Sejarah” (makalah Temu Budaya), BKSNT Padang
16
lihat : Franz von Benda-Beckmann, 2000, Properti dan Kesinambungan Sosial, Kesinambungan dan
Perubahan dalam Pemeliharaan Hubungan-Hubungan Properti Sepanjang Masa di Minangkabau, Jakarta :
Grasindo hal. 418
17
Seperti sikap yang ditunjukkan oleh Syekh Muhammad Thaib Umar terhadap kaum Adat di
Sungayang yang karena sikap tegas yang dimilikinya kadang-kadang menimbulkan bentrokan
dengan kaum adat Sungayang, lihat : Hamka, 1963, Ayahku, Djakarta : Djajamurni, hal. 239
18
di Minangkabau dikenal dengan Koffiestelsel (Wajib tanam Kopi), Peraturan ini sangat
menyakitkan rakyat karena sangat bertentangan dengan isi perjanjian Plakat Panjang yang ditanda
tangai oleh Belanda
19
Rusli Amran, 1988, hal. 80
20
tentang ini selengkapnya lihat : Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso (ed.), 1983/84, Sejarah
Sosial di Daerah Sumatera Barat, Jakarta: Depdikbud, hal, 44-45
24
Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah, 1980/1981), h. 88.
25
Surau Jembatan Besi Padangpanjang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad pada tahun 1914. Di
surau ini mengajar Syekh Abdul Karim Amarullah. Pada waktu H. Abdullah Ahmad pindah ke
Padang, kepemimpinan surau Jembatan Besi beralih ke tangan Syekh Abdul Karim Amarullah.
26
Di dalam organisasi ini berhimpun tidak saja ulama-ulama Kaum Muda akan tetapi juga dari
kalangan Kaum Tua. Tercatat tidak kurang dari 15 orang ulama sebagai pendukung pada waktu
pertama kali organisasi ini didirikan (lihat : Marjani Martamin, 1997, Sejarah Pendidikan Daerah
Sumatera Barat, Jakarta : Depdikbud, hal. 104
28
Lebih jauh tentang peristiwa Silungkang, lihat : Benda dan Mc.Vey (eds.), 1960, The Communist
Upsrising of 1926-1927 in Indonesia Ithaca-New York: Cornell University ; Hendrik Bouman, 1949,
Eenige Beschouwing over de Ontwikkeling van het Indonesisch Nationalism op Sumatra West Kust,
Batavia: Wolter, h. 50-78; Mestika Zed, 1980, “Pemberontakan Silungkang pada Tahun 1927: Suatu
Studi tentang Gerakan Sosial di Sumatera Barat”, (Skripsi), Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada.
29
Burhanuddin Daya, 1990, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, h. 264.
30
Ibid.
31
Deliar Noer, op.cit., h. 196.
32
Imran Jamil dan Haji Abdul Malik Karim, 1928, Peringatan (Verslag) dari Madjelis Permoesjawaratan
'Oelama Minangkabau ' membitjarakan 'Goeroe Ordonantie ' pada tanggal 19 Agustus 1928 dan 'Madjelis
Permoesjawaratan 'Oelama' pada tanggal 4 November 1928 menerima Verslag Perdjalanan Oetoesan
mehadap Toean Gouverneur Generaal, Fort de Kock: Boekhandel en Taman Poestaka "Sumatra
Thawalib", h. 2 menyebutkan bahwa pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 20 orang.
33
Imran Djamil dan Abdul Malik, op.cit., h. 1; Taufik Abdullah, op.cit., 114; Deliar Noer, op.cit., h. 195.
Versi Burhanuddin Daya, h. 263, menyebutkan bahwa tanggal 18 Agustus adalah rapat tertutup
dan tanggal 19 rapat terbuka.
34
Mailrapport, no. 316x/29, ANRI no. 9.
35
Imran Djamil dan Abdul Malik, op.cit., h. 14.
42
Hal penting lainnya yang disepakati dalam pertemuan itu adalah adanya keinginan untuk
menyusun standar kurikulum dan buku-buku teks untuk dipergunakan Sumatera Thawalib. Juga
diintrodusir pelajaran-pelajaran umum seperti pertanian, ekonomi, geografi, kesehatan, dan
sejarah. Lihat, Taufik Abdullah (b), op.cit., h. 125. Burhanuddin Daya, op.cit., h. 266.
43
Konferensi ini dihadiri oleh sekitar 2.500 orang utusan, termasuk dari wakil pemerintah; 27 orang
dari pers; 29 orang dari berbagai organisasi. Lihat, Burhanuddin Daya, loc.cit.
44
Pergantian nama ini dimaksudkan supaya organisasi ini menjadi lebih terbuka bagi seluruh
rakyat Indonesia sebagaimana dicetuskan pada Konferensi Sumatra Thawalib di Batusangkar.
Lihat, Politiek Politionale Overzich van de Residen Sumatra Westkust 2de Kwartal 1930, Maillrapport no.
812/30; Medan Ra'jat, no.2, 10 September 1932, h. 1.
45
Medan Ra'jat, no. 13, 1 Agustus 1931, h. 139; Taufik Abdullah (b), op.cit., h. 131.
46
Usul Iljas Ja'cub ini dimungkinkan oleh keterkesanannya dengan pergerakan nasional Bangsa
Mesir yang memadukan semangat Islam dengan paham nasionalisme. Lihat "Surat-Surat Dari
Mesir" dalam Medan Ra'jat, no. 9, 20 November 1932, h.5.
47
Medan Ra'jat, no. 2, 10 September 1932, h. 1.
48
Untuk menelusuri lebih jauh mengenai sejarah dan perkembangan gerakan komunis di Indonesia
lihat antara lain dalam Ruth Mc Vey, The Rise of Indonesian Communism (New York: Cornell
University Press, 1968), dan Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai (Jakarta:
Antar Kota, 1989).
49
Mestika Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang 1927 (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004) h. 51.
50
Ibid., h. 58, lihat juga dalam Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di SumateraBbarat (Jakarta: Umminda, 1982), h. 144
55
Lihat : Hamka, 1967, Ajahku,Djakarta : Djajamurni, hal. 110
63
Lihat : Mestika Zed, 1998, Sumatera Barat di Panggung Sejarah,1945-1995, Jakarta : Sinar Harapan,
halaman 17 ; Marjani Martamin dkk, 1978, Sejarah Daerah Sumatera Barat, Jakarta : Depdikbud, hal.
118.
64
Salah satu ekspresi ketidak puasan berbagai golongan masyarakat adalah terjadinya peristiwa 3
Maret 1947 yang dikenal sebagai percobaan kudeta terhadap pemerintahan dan Tentara Republik
Indonesia di Bukittinggi dan kota-kota lainnya di Sumatera Barat sebagai koreksi atas berbagai
kelemahan pemerintah dan TNI dalam menjalankan rode revolusi. Selanjutnya lihat : Taufik
Abdullah dan S. Budhisantoso, 1984, Sejarah Sosial di Daerah Sumatra Barat, Jakarta : Depdikbud,
hal. 150-155
67
lihat : Franz von Benda-Beckmann, 2000, Properti dan Kesinambungan Sosial, Kesinambungan dan
Perubahan dalam Pemeliharaan Hubungan-Hubungan Properti Sepanjang Masa di Minangkabau, Jakarta :
Grasindo hal. 418
68
Persoalan tentang harta pusaka dan harta pencaharian sebagai yang menjadi pembahasan dalam
kedua konferensi ini serta bagaimana implementasinya dalam praktek peradilan di Minangkabau
secara lengkap dikemukakan oleh Benda-Beckmann (2000) ibid.
V. Penutup
1. Kesimpulan
Mengamati perjalanan sejarah agama Islam di Sumatera Barat pada abad
ke-19 dan ke-20 sebagai suatu episode perkembangan Islam di Indonesia dalam
kerangka pengalaman di tingkat lokal, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut :
1. Sebagaimana perkembangan sejarah agama Islam pada periode sebelumnya,
Islam di Minangkabau pada abad ke-19 dan ke-20 berkembang melalui suatu
proses dialektis dalam rangka menemukan bentuknya yang ideal sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Proses dialektika Islam di wilayah ini
justru tumbuh dari kerangka budaya Minangkabau yang terbuka, kosmopolit
dan senantiasa memelihara “konflik”. Proses dialektika perkembangan itu
selalu diawali dengan munculnya konflik internal atau oleh tantangan
eksternal. Ketika konflik internal menguat maka serta merta memunculkan
praksis-praksis kultural sebagai refleksi dari perkembangan pemikiran
masyarakatnya. Namun ketika muncul tantangan eksternal, maka intensitas
konflik internal menjadi menurun, bahkan melahirkan integrasi sebagai
praksis kultralnya. Demikian juga ketika tantangan eksternal menurun, maka
potensi konflik internal “dimunculkan” kembali.
2. Pada paruh kedua abad ke 19 intensifnya kegiatan intelektual Islam untuk
belajar ke Timur Tengah merupakan praksis kultural dari munculnya
kembali perdebatan seputar tarikat Naqsyabandiah dan Syathariah serta
menguatnya kembali protes terhadap praktek adat Minangkabau setelah
berakhir Perang Paderi. Implikasi ‘perjalanan intelektual’ pada waktu ini
terlihat pada awal abad ke-20 dengan terjadi polarisasi pemikiran dan
pemahaman keagamaan ; Kaum Tua dan Kaum Muda. Konflik kedua kubu ini
menjadikan aktifitas surau meningkat, terjadi transformasi sistem
pendidikan, pembahasan terhadap wacana-wacana keislaman meningkat
pesat, demikian juga mejamurnya penerbitan media pers dan lektur-lektur
keagamaan.
3. Menjalarnya semangat pergerakan dan masuknya faham komunisme ke
dalam lembaga Sumatera Thawalib di Minangkabau pada tahun 1920an telah
memilah komposisi elit Minangkabau kepada tiga kelompok besar yaitu :
Nasionalis Sekuler yang terdiri dari kalangan intelektual pendidikan Belanda