You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lepasnya Timor Timur adalah sebuah kehilangan besar bagi Indonesia yang
selama 23 tahun telah menganggap Timor Timur ibarat anak kandung sendiri. Integrasi dan
pembangunan selama kurun waktu tersebut terbukti telah meningkatkan taraf hidup
masyarakat, pendapatan per kapita, dan jumlah pengenyam pendidikan di Timor Timur.
Sulit dipercaya bahwa kemudian sebagian besar penduduknya memilih untuk hengkang
begitu saja dari Indonesia, mengabaikan lebih dari 3.500 pejuang integrasi, prajurit TNI,
dan Polri yang gugur serta lebih dari 2.000 korban luka dan cacat seumur hidup yang
berjuang dalam upaya menegakkan perdamaian dan ketertiban selama periode 1976-1999.
Ironisnya, langkah pemerintah Indonesia melepaskan Timor Timur juga
mengecewakan tidak hanya rakyat Indonesia tetapi juga rakyat Timor Timur kelompok
prointegrasi yang selama 23 tahun ikut berjuang bersama RI untuk melawan kelompok
antiintegrasi yang menimbulkan gangguan keamanan. Indonesia, yang terus menghadapai
tekanan internasional dari negara-negara asing, PBB, serta LSM-LSM internasional
mengenai status Timor-Timur juga tengah menghadapi rongrongan krisis multidimensional
dari dalam negeri di saat yang sama. Isu ekonomi, politik, dan HAM dijadikan
pertimbangan dalam mengatasi posisi Indonesia yang terjepit. Opsi yang ditawarkan
pemerintah Indonesia, mulai dari pemberian status Daerah Otonomi Khusus hingga
referendum terus digulirkan. Akhirnya, pada 30 Agustus 1999 diadakan referendum bagi
rakyat Timor Timur. Walau diliputi banyak kecurangan dan ketidakadilan selama
pelaksanaannya, Timor Timur pun tetap dinyatakan lepas dari Indonesia.
Bila direnungkan, andil masyarakat internasional dalam suksesi Timor Timur
perlu dipertanyakan. Kondisi Timor Timur pasca lepas dari Indonesia tidak lebih baik dari
keadaannya saat masih berstatus sebagai provinsi RI ke-27, bahkan terus memburuk.
Proses referendum pun ditengarai tidak sesuai prosedur yang berlaku. Walau mengetahui
proses suksesi yang cacat legitimasi ini, pihak-pihak asing terlihat begitu gigih mendorong
suksesi Timor Timur. Bahkan PBB yang seharusnya menjadi pihak netral pun tidak lepas
dari sikap keberpihakan
Masih segar ingatan kita terhadap bekas provinsi Timor Timur yang baru sepuluh
tahun silam terlepas. Kalau kita sudah tidak mengenangnya lagi, itu lebih karena
kesengajaan tidak mau mengingat. Bekas provinsi termuda ini hanyalah sebuah catatan
hitam dalam sejarah bangsa. NKRI, yang wajib kita pertahankan keutuhan wilayahnya,
dipaksa lepas atas hasil sebuah referendum (jajak pendapat) pada 30 Agustus 1999 yang
digelar oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Mission at East
Timor (Unamet). 1

1
http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/internasional/7001-rekonstruksi-timor-timur-10-
tahun-lalu.pdf.

Page | 1
Pengumuman hasil referendum pada 4 September 1999 menyatakan 78,5 persen
atau 344.580 suara menolak tawaran otonomi khusus yang diperluas (special status with
wide-ranging autonomy) dan 21,5 persen menerima. Kenyataan pahit ini sekaligus
meniscayakan jatuhnya opsi kedua pemerintah Indonesia, yakni melepas Timor Timur,
yang selanjutnya diatur oleh Misi PBB/UNTAET untuk membidani kelahirannya sebagai
negara baru. Timor Timur meninggalkan Indonesia setelah 23 tahun bersama secara de
facto. Dalam perspektif para penentang integrasi, posisi politik Indonesia hanya de facto
berada di sana. Tidak pernah ada suksesi negara, yakni peralihan kekuasaan dari pihak
Portugal. Pelepasan Timor Timur bagi mereka adalah sebuah pengembalian kedaulatan
sebuah negara yang sempat diproklamasikan pada 28 November 1975. Orang Timor Leste
tidak mengakui hari jajak pendapat, atau pengumuman hasilnya, sebagai hari
kemerdekaan.
Pandangan dari negara-negara lain, termasuk PBB, menganggap masuknya militer
Indonesia ke wilayah itu pada 7 Desember 1975, disusul legalisasi integrasi itu pada 17
Juli 1976, sebagai tindakan aneksasi dengan kekerasan terhadap sebuah wilayah. Karena
itu, ketika Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia 1999, yang terjadi bukanlah suksesi
negara, melainkan "pengembalian kedaulatan". Bagi perspektif Indonesia ini, rakyat Timor
Timur sudah melaksanakan dekolonisasi dan menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan
Resolusi PBB 1514 (XV) 1960 dan 1541 (XV) 1960 dengan integrasi. Karena itu, keluar
Undang-Undang No. 7 Tahun 1976 tentang pembentukan Provinsi Timor Timur, dan
pemerintahannya yang selanjutnya dikukuhkan dengan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1978.
Finalisasi masalah Timor Timur seperti itu tidak membuat fora internasional
menerima begitu saja. Portugal dan sejumlah negara menentang posisi itu dan
mempertahankan solusi penyelesaiannya dalam agenda Sidang Umum PBB. Sepanjang
tahun 1975-1982, masalah Timor Timur berhubungan dengan masalah dekolonisasi di
Majelis Sidang Umum dan Dewan Keamanan PBB. Atas prakarsa Sekjen PBB Javier
Perez de Cuellar pada 1983, masalah ini dibicarakan khusus dalam forum Dialog Segitiga.
Dialog ini tidak didasarkan atas sebuah resolusi PBB, melainkan hanya atas dasar general
mandate (wewenang umum) Sekretaris Jenderal PBB.
Jadi, legitimasi terlepasnya Timor Timur dan menjadi sebuah negara bersumber
dari mandat Sekjen PBB, bukan berdasarkan sebuah resolusi khusus untuk membentuk
forum yang belakangan dikenal dengan Tripartit, yakni forum bersama yang berhasil
membuat opsi-opsi penyelesaian masalah, seperti yang disepakati di New York, 5 Mei
1999. Kesepakatan antara Menteri Luar Negeri Indonesia, Menlu Portugal, dan Sekjen
PBB berujung suksesi sebuah negara.2
Terlepasnya Timor Timur tersebut dari wilayah Republik Indonesia dan kemudian
membentuk negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai masalah baru. Masalah
utamanya adalah adanya dua pendapat yang saling bertentangan antara Indonesia dan
negara-negara luar. Indonesia menganggap Timur Timur adalah wilayah yang sebelumnya
telah resmi menjadi bagian wilayah Indonesia pada tahun 1976. Karena itu, ketika Timor
Timur kemudian memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi
suksesi negara pada waktu itu.3
2
Ibid.
3
Ibid.

Page | 2
Pandangan kedua dari negara-negara lain, termasuk PBB, yang menganggap
peristiwa tahun 1976 tersebut adalah tindakan pendudukan dengan kekerasan terhadap
wilayah Timor Timur. Karena itu, ketika Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia, yang
terjadi bukanlah suksesi negara, tetapi “pengembalian kedaulatan”. Terlepas apakah telah
terjadi suksesi negara atau tidak, masalah mengenai status aset harta kekayaan pemerintah
Indonesia yang berada di wilayah Timor Timur (Timor Leste) ternyata kemudian menjadi
masalah kedua negara. Dari fakta ini, suksesi negara telah terjadi. Wilayah Timor Timur
sebelumnya adalah wilayah pendudukan (Portugis sebelum diambil alih Indonesia), bukan
wilayah merdeka. Karena itu dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun
1999, telah terjadi pemisahan wilayah dan kemudian telah lahirnya suatu negara baru.
Artinya, telah terjadi suatu proses suksesi negara.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses suksesi timor-timur tehadap negara indonesis dan apa
yang menyebabkan terjadinya suksesi tersebut?
2. Apa implikasi hukum dari suksesi timor-timur terhadap:
a. Perjanjian internasional
b. Status kewarganegaraan
c. Barang-barang dan hutang publik
d. Orde yuridik internasional

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan


1.3.1. Tujuan penulisan
a. Menjelaskan proses terjaadinya suksesi terhadap suatu negara.
b. Menjelaskan akibat hukum yang timbul dari proses suksesi negara.

1.3.2. Manfaat penulisan


a. Diharapkan dapat menambah referensi mengenai materi masalah-masalah
pengakuan negara merdeka dan sebagai bahan diskusi bagi mahasiswa
dikelas.
b. Diaharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dalam mempelajari hukum
internasional.

Page | 3
BAB II

PEMBAHASAN

b.1. Suksesi Negara dalam Hukum Internasional.

Secara harfiah, istilah Suksesi Negara (State Succession atau Succession of State)
berarti “penggantian atau pergantian negara”. Namun istilah penggantian atau pergantian
negara itu tidak mencerminkan keseluruhan maksud maupun kompleksitas persoalan yang
terkandung di dalam subjek bahasan state succession itu. Memang sulit untuk membuat
suatu definisi yang mampu menggambarkan keseluruhan persoalan suksesi negara. Tetapi
untuk memberikan gambaran sederhana, suksesi negara adalah suatu keadaan di mana
terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi
semacam “pergantian negara” yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.
Negara yang lama atau negara yang “digantikan” disebut dengan istilah Predecessor State,
sedangkan negara yang “menggantikan” disebut Successor State. Contohnya : sebuah
wilayah yang tadinya merupakan wilayah jajahan dari suatu negara kemudian
memerdekakan diri. Predecessor state-nya adalah negara yang menguasai atau menjajah
wilayah tersebut, sedangkan successor state-nya adalah negara yang baru merdeka itu.
Contoh lain, suatu negara terpecah-pecah menjadi beberapa negara baru, sedangkan negara
yang lama lenyap. Predecessor state-nya adalah negara yang hilang atau lenyap itu,
sedangkan successor state-nya adalah negara-negara baru hasil pecahan itu.
Yang menjadi masalah utama dalam pembahasan mengenai suksesi negara
adalah : apakah dengan terjadinya suksesi negara itu keseluruhan hak dan kewajiban
negara yang lama atau negara yang digantikan (predecessor state) otomatis beralih kepada
negara yang baru atau negara yang menggantikan (sucessor state)? Sebagaimana yang
dikatakan oleh Starke,
“... dalam masalah suksesi negara, yang dimasalahkan terutama adalah
mengenai pemindahan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara yang telah berubah
atau kehilangan identitasnya kepada negara atau satuan lainnya yang menggantikannya.
Perubahan atau hilangnya identitas itu disebabkan oleh perubahan seluruh atau sebagian
dari kedaulatan negara itu”.4
Dalam hukum internasional positif, masalah suksesi negara ini diatur dalam
Konvensi Wina 1978, yaitu Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam Hubungan
dengan Perjanjian Internasional (Vienna Convention on Succession of State in respect of
Treaties).
Suksesi negara adalah salah satu obyek pengkajian klasik dalam hukum
internasional publik. Oscar Schachter mengungkapkan bahwa "State succession is one of
the oldest subjects of international law." Meskipun sudah menjadi obyek kajian yang telah
lama, namun hukum internasional masih belum jelas mengatur masalah ini. Czaplinski

4
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2 (Aksara Persada Indonesia, 1989) hlm.3.

Page | 4
menyatakan bahwa hukum suksesi Negara “... is one of the underdeveloped areas of
international law.” 5
Dewasa ini kajian terhadap bidang ini kembali menarik perhatian cukup besar dari
para sarjana hukum internasional. Sebab utamanya adalah cukup banyaknya negara baru
yang lahir.Tercerai-berainya Uni Sovyet (Rusia) dan pecahnya Yugoslavia menjadi
beberapa negara baru pada tahun 1991 adalah keadaan di mana perhatian terhadap suksesi
negara menjadi signifikan.
Hukum internasional positif yang mengatur bidang ini masih belum ada. Belum
ada aturan baku yang menjadi acuan atau mengikat bagi negara-negara. Praktek telah pula
menunjukkan bahwa tidak ada aturan yang dapat diterima umum sebagai hukum
internasional. Hal ini agak mengherankan, mengingat hukum internasional telah lama
berupaya mengatur bidang ini.6 Hukum yang ada dari sejak awal perkembangan di bidang
hukum ini adalah berbagai perjanjian bilateral antara negara baru dan lama.
Contoh klasik mengenai perjanjian bilateral ini adalah Perjanjian tahun 1919
yakni the Treaty of Paris yang mengatur utang-utang publik (negara lama) yang beralih
kepada negara baru, yaitu Hungaria.7
Upaya pembentukan hukum atau perjanjian internasional mengenai hal ini
bukannya tidak ada. Kekosongan hukum mengenai bidang hukum ini telah mendorong
Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission atau ILC) untuk
mengkodifikasi hukum internasional di bidang hukum ini. Tahun 1978, ILC mengesahkan
Konvensi Wina mengenai suksesi negara dalam kaitannya dengan perjanjian. Lalu pada
tahun 1983, ILC juga mengesahkan Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam
kaitannya dengan Harta Benda, Arsip-arsip dan Utang-utang Negara. Khususnya untuk
Konvensi Wina 1983, Konvensi ini mensyaratkan ratifikasi agar Konvensi dapat berlaku
efektif. Namun hingga ini baru diketahui hanya 5 negara saja yang meratifikasi Hal ini
begitu sulit untuk mendapat pengaturan hukum internasional karena Masalahnya adalah, di
dalam suksesi negara terkait di dalamnya berbagai faktor hukum dan factor - faktor non-
hukum lainnya yang melekat. Faktor-faktor ini tampak cukup banyak mengingat kasus-
kasus yang menyangkut lahirnya suksesi negara ini satu sama lainnya tidak sama.

5
Wladyslaw Czaplinski, “Equity and Equitable Principles in the Law of
State Succession,” dalam: Mojmir Mrak (ed.), Succession of States, The
Hague: Martinus Nijhoff, 1999, hlm. 61; Budi Lazarusli dan Syahmin
A.H., Suksesi negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internasional, Bandung: Remadja
Karya, 1986, hlm. 2; lihat pula: John O’Brien, International Law, London: Cavendish, 2001, hlm.
587.
6
Menurut Santiago Torres Bernandez, para sarjana telah berupaya
menggambarkan pengaturan bidang ini sejak tahun 1880. Pada waktu itu
sarjana berkebangsaan Perancis Selosse telah menulis karyanya berjudul
Traité de l'annexion au territoire francais et de son déinembrement,
Paris (1880).
7
The Treaty of Paris atau the Treaty of St Germain, Trianon and Paris
adalah perjanjian yang menentukan status Rumania sebagai suatu negara
baru

Page | 5
Dalam pandangan para sarjana, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang
dipandang sebagai suksesi negara, yang bisa juga dikatakan sebagai bentuk-bentuk suksesi
negara adalah:8
1. Penyerapan (absorption), yaitu suatu negara diserap oleh negara lain. Jadi
di sini terjadi penggabungan dua subjek hukum internasional. Contohnya, penyerapan
Korea oleh Jepang tahun 1910.
2. Pemecahan (dismemberment), yaitu suatu negara terpecah-pecah menjadi
beberapa negara yang masing-masing berdiri sendiri. Dalam hal ini bisa terjadi, negara
yang lama lenyap sama sekali (contohnya, lenyapnya Uni Soviet yang kini menjadi negara-
negara yang masing-masing berdiri sendiri) atau negara yang lama masih ada tetapi
wilayahnya berubah karena sebagian wilayahnya terpecah-pecah menjadi sejumlah negara
yang berdiri sendiri (contohnya, Yugoslavia).
3. Kombinasi dari pemecahan dan penyerapan, yaitu satu negara pecah
menjadi beberapa bagian dan kemudian bagian-bagian itu lalu diserap oleh negara atau
negara-negara lain. Contohnya, pecahnya Polandia tahun 1795 yang beberapa pecahannya
masing-masing diserap oleh Rusia, Austria, dan Prusia.
4. Negara merdeka baru (newly independent states). Maksudnya adalah
beberapa wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah negara lain atau berada
di bawah jajahan kemudian memerdekakan diri menjadi negara-negara yang berdaulat.
5. Bentuk-bentuk lainnya yang pada dasarnya merupakan penggabungan dua
atau lebih subjek hukum internasional (dalam arti negara) atau pemecahan satu subjek
hukum internasional (dalam arti negara) menjadi beberapa negara.
Sementara itu, dalam perkembangannya, dalam Konvensi Wina 1978 memerinci
adanya lima bentuk suksesi negara, yaitu :
1. Suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan
internasional menjadi tanggung jawab negara itu kemudian berubah menjadi bagian dari
wilayah negara itu (Pasal 15).9
2. Negara merdeka baru (newly independent state), yaitu bila negara pengganti
yang beberapa waktu sebelum terjadinya suksesi negara merupakan wilayah yang tidak
bebas yang dalam hubungan internasional berada di bawah tanggung jawab negara negara
yang digantikan (Pasal 2 Ayat 1f). 10
3. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah
atau lebih menjadi satu negara merdeka.
4. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah
atau lebih menjadi menjadi suatu negara serikat (Pasal 30 Ayat 1).11
5. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat terpecah-pecahnya suatu negara
negara menjadi beberapa negara baru (Pasal 34 ayat 1).12
Sementara itu, untuk persoalan legal state succession, sebagaimana telah
disebutkan tadi adalah berbicara tentang akibat hukum yang ditimbulkan oleh terjadinya

8
J.G. Starke, Op,cit. hlm.5.
9
Pasal 15 Konvensi 1983.
10
Pasal 2 (1) (f) Konvensi 1983.
11
Pasal 30 (1) Konvensi 1983.
12
Pasal 34 (1) Konvensi 1983.

Page | 6
suksesi negara. Dalam hubungan ini ada dua teori, yaitu teori yang dikenal sebagai
Common Doctrine dan teori tabula rasa (Clean State).
Menurut common doctrine, dalam hal terjadinya suksesi negara, maka segala hak
dan kewajiban negara yang lama lenyap bersama dengan lenyapnya negara itu
(predecessor state) dan kemudian beralih kepada negara yang menggantikan (successor
state). Sedangkan mereka yang berpegang pada teori tabula rasa (clean state) menyatakan
bahwa suatu negara yang baru lahir (successor state) akan memulai hidupnya dengan hak-
hak dan kewajiban yang sama sekali baru. Dengan kata lain, tidak ada peralihan hak dan
kewajiban dari negara yang digantikan (predecessor state).
Sesungguhnya kedua pendirian ini sama tidak realistisnya. Sebab praktik
menunjukkan ada hal-hal yang dianggap dapat beralih dari predecessor state kepada
successor state. Sebaliknya, ada hal-hal yang memang tidak beralih, sebagaimana
ditunjukkan oleh praktik negara-negara selama ini. Dengan kata lain, tidak mungkin
dibuat kriteria yang bersifat general dalam hubungan ini melainkan harus dilihat kasus per
kasus.
Kasus-kasus yang dimaksud, antara lain :
 Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap kekayaan negara
(public property)?
 Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap keberadaan kontrak-
kontrak konsesional (concessionary contracts) yang ada?
 Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap keberadaan hak-hak
privat (private rights)?
 Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara dalam hubungan dengan
tuntutan-tuntutan terhadap perbuatan melawan hukum (claims in tort or delict)?
 Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap pengakuan
(recognition)?
 Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap keberadaan utang-
utang negara (public debts)?

Ada dua cara terjadinya suksesi negara, yakni :


1. Tanpa kekerasan. Dalam hal ini yang terjadi adalah perubahan wilayah
secara damai. Misalnya beberapa negara secara sukarela menyatakan bergabung dengan
suatu negara lain dan menjadi bagian daripadanya. Atau sebaliknya, suatu negara tanpa
melalui kekerasan (misalnya perang saudara) secara sukarela memecah dirinya menjadi
beberapa negara yang masing-masing berdiri sendiri.
2. Dengan kekerasan. Cara terjadinya suksesi negara yang melalui kekerasan
dapat berupa perang ataupun revolusi.

Ada dua macam atau jenis suksesi negara, yaitu :


 Suksesi universal; dan
 Suksesi parsial.

Page | 7
Perbedaan dari kedua jenis suksesi negara ini terletak pada bagian wilayah dari
suatu negara yang digantikan kedaulatannya. Bilamana suksesi itu terjadi terhadap seluruh
wilayah suatu negara (berarti negara yang lama atau predecessor state lenyap) maka
suksesi yang demikian dinamakan suksesi universal. Sedangkan bilamana suksesi negara
itu hanya meliputi bagian tertentu saja dari wilayah suatu negara (berarti predecessor state
masih ada hanya wilayahnya saja yang berubah), maka suksesi yang demikian dinamakan
suksesi parsial.
Dengan demikian, pada suksesi universal, identitas internasional dari suatu negara
lenyap sebagai akibat lenyapnya seluruh wilayah negara itu. Di sini, “kepribadian hukum
internasional” (international legal personality) dari negara itu hilang. Sedangkan pada
suksesi parsial, identitas internasional dari negara itu tidak hilang melainkan hanya luas
wilayahnya saja yang berubah. Dalam hubungan ini, negara itu tidak kehilangan
kepribadian hukum internasionalnya.

b.2. Tinjauan Sejarah Timor-Timur13

Berawal dari kedatangan orang Australoid dan Melanesia, orang dari Portugal
mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-16 dan menjajahnya pada
pertengahan abad itu juga Selama 450 tahun sejak kedatangannya pada tanggal 18 Agustus
1515, Portugal menjajah wilayah Timor Timur yang mencakup dari bagian timur pulau
Timor, pulau Kambing atau Atauro, pulau Jaco dan sebuah eksklave di Timor bagian barat
yang dikelilingi oleh provinsi Nusa Tenggara Timur. Akibat penjajahan ini, wilayah Timor
Timur menjadi tercerai berai karena politik devide et empera. Banyak pemberontakan yang
muncul tetapi semuanya dapat dipadamkan karena masih bersifat lokal. Berikut beberapa
catatan tentang peristiwa dan perang yang pernah terjadi di Timor Timur:

•Perang Manufahi (1910-1912)

Para raja lokal bersatu di bawah kepemimpinan seorang Liurai (raja) Same
bernama Don Boaventura. Portugal mendatangkan pasukan dari Mozambique dan Macau.
Sekitar 3.000 orang Timor terbunuh, dan 4.000 lainnya ditawan Portugal. Dampak dari
pemberontakan ini adalah semakin berkurangnya kekuasaan Liurai karena Portugal
menghapus kerajaan mereka.

• Revolusi Bunga di Portugal (25 April 1974)

Pergantian rezim pemeritahan yang berkuasa di Portugal memicu kebijakan


politik dekolonisasi di sejumlah daerah jajahannya, termasuk di Timor Timur. Pemerintah
Portugal berjanji akan mengembalikan hak-hak sipil dan demokrasi, serta kebebasan
membentuk partai politik. Akan tetapi karena kondisi politik dalam negeri Portugal yang
tidak menentu serta kebijakan dekolonisasi yang tidak matang maka janji-janji tersebut
hanya isapan jempol belaka. Kegagalan dekolonisasi ini memicu terjadinya Perang
Saudara 1975.

• Perang Saudara 1975


13
http://hellomycaptain.blogspot.com/2009/08/timor-timur-di-titik-nol-intervensi.html

Page | 8
Dua pihak yang bersengketa adalah Fretilin di satu pihak, dan kelompok
gabungan Apodeti, UDT, KOTA dan Trabalhista di pihak lain. Fretilin, yang beraliran
Marxis Maois, berkeinginan untuk segera merdeka dari Portugal sehingga sering disebut
kelompok Pro-Kemerdekaan. Sedangkan kelompok gabungan Apodeti, UDT, KOTA dan
Trabalhista mendukung integrasi dengan Indonesia sehingga disebut kelompok Pro-
Integrasi. Gubernur terakhir Portugal di Timor Timur, Lemos Pires, tidak mendapatkan
jawaban dari pemerintah pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor
Timur yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk
menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste kemudian melakukan
evakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro.

Setelah Portugal pergi, Fretilin mendeklarasikan Timor Timur sebgai Republik


Demokratik Timor Leste pada 28 November 1975. Ribuan senjata milik eks Portugal jatuh
ke tangan Fretilin. Akibatnya, lebih dari 60.000 warga Pro-Integrasi dibantai pada kurun
waktu Agustus 1975 hingga Februari 1976, kebanyakan adalah wanita dan anak-anak. Tiga
kuburan masal yang menjadi bukti pembantaian Fretilin ini terdapat di Kabupaten Aileu
(bagian tengah Timor Timur), masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan
Aisirimoun. Selain itu juga terdapat monument di Same dan Aileu serta kesaksian dari
korban selamat. Perang Saudara ini juga mendorong eksodus 55.000 pengungsi dari Timor
Timur ke Nusa Tenggara Timur.

• Integrasi dengan Indonesia (17 Juli 1976)14

Berdasarkan situasi yang mencekam ini, kelompok pro-integrasi kemudian


mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian
meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Timur dari kekuasaan Fretilin.
Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975,
Fretilin memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk dijadikan
perisai hidup (human shields) dalam melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang
dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga
yang mati di kota setelah menyerahkan diri ke tentara Indonesia, karena Tim Palah Merah
Internasional tidak mampu menyelamatkan semuanya.

Pada masa itu keinginan berintegrasi dengan Indonesia diterima oleh banyak
negara yang berdiri di belakang Indonesia, termasuk Australia dan Amerika Serikat.
Walaupun secara resmi PBB menganggap Timor Timur sebagai non-self governing
territory dan Portugal bersikeras menjadikan Timor Timur sebagai provinsi seberang lautan
(provincia ultra marina).

Selama 23 tahun berintegrasi, pemerintah Indonesia menerapkan operasi


antiinsurjensi untuk mengamankan wilayah dan menjamin keselamatan warga Timor
Timur dari konflik tiada henti antara kelompok Pro-Integrasi dan Anti-Integrasi. Tercatat
lebih dari 3.500 pejuang integrasi, prajurit TNI, dan Polri yang gugur dalam operasi ini
selama tahun 1976-1999. Lebih dari 2.000 korban luka dan cacat seumur hidup. Sementara
14
http://MajalahDharmaWiratamaTNI-AL/Beberapa Aspek Hukum Internasional Disintegrasi
Timor Timur Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.html

Page | 9
itu, pemerintah Indonesia terus mengupayakan pengakuan internasional di PBB atas
integrasi Timor Timur. Sampai 1982, isu ini selalu dibahas dalam sidang PBB dan
Indonesia terus berhadapan dengan Portugal.

• Insiden Dili (November 1991)15

Insiden Dili terjadi saat demonstrasi memakan korban jiwa 19 orang dan sejumlah
orang luka tembak ketika aparat polisi berusaha melindungi diri dari amukan massa. Hal
ini menjatuhkan citra Indonesia di mata dunia dan nyaris menghapus kerja keras Indonesia
dalam menyelesaikan masalah Timor Timur sebelumnya. Penyelesaian secara politik
menjadi lebih sukar karena peristiwa ini dikaitkan dengan isu-isu HAM.

Proses disintegrasi timor-timur.16

Pada hari Rabu Tanggal 27 Januari 1999, sesuai Sidang Kabinet Menlu Ali Alatas
mengeluarkan sebuah statement yang merupakan sikap dan kebijaksanaan dari
pemerintahan Presiden Habibie yaitu bahwa “setelah 22 tahun kita mengalami sejarah
kebersamaan dengan rakyat kita di Timor-Timur untuk menyatu dengan kita. Maka kiranya
adalah wajar dan bijaksana, bahkan demokratis dan konstitusional bila kepada wakil-wakil
rakyat kita yang kelak akan terpilih diusulkan untuk mempertimbangkan agar dapat
kiranya Timor-Timur secara terhormat, secara baik-baik berpisah dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Diplomasi pemerintah RI untuk meyakinkan masyarkat Internasional mencapai
puncaknya pada tanggal 21 – 23 April 1999, dimana Opsi yang ditawarkan pemerintah
yaitu “Otonomi luas” dibawa ke meja perundingan Tripartit di New York yang melibatkan
Pemerintah RI, Portugal dan PBB. Tawaran pemerintah RI tersebut berisi 60 pasal, dengan
harapan kiranya dapat diterima oleh rakyat Timor-Timur dalam hal ini Fretelin. Hal-hal
penting yang ditawarkan pemerintah RI tentang Pemberian Otonomi luas kepada Timor-
Timur meliputi antara lain :
1)   Timor-Timur akan mempunyai bendera dan bahasa sendiri. Bahasa Indonesia
hanya dipergunakan untuk keperluan resmi (sebagai bahasa resmi).
2)    Timor-Timur hanya mempunyai Polisi untuk menjamin keamanan dan
ketertiban (intern) dan tidak ada tentara (militer).
3)    Anggaran pembangunan tetap sama seperti selama ini, dengan rincian 93
% berasal dari pemerintah pusat dan sisanya 7 % dari pendapatan asli daerah (PAD)
Timor-Timur sendiri.
4)   Pemanfaatan/pengalokasian dana pembangu-nan tersebut diputuskan atau
ditentukan sendiri oleh Pemerintah Daerah Otonomi Khusus Timor-Timur.
5)    Pemerintah pusat hanya akan mengontrol mata uang dan system
keuangan, politik luar negeri serta masalah pertahanan dari ancaman luar negeri.
Memang dilihat sepintas, tawaran tersebut sangat menjanjikan buat masa depan
Timor-Timur. Namun ternyata tawaran inipun ditolak sehingga tidak ada pilihan lain selain
merdeka atau harus melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini

15
Ibid
16
Ibid.

Page | 10
sebagaimana dikemukakan oleh mantan Gubernur Timor-Timur yaitu : Mario Viegas
Carrascalao bahwa “ itulah daging yang akan disantap oleh orang Timor-Timur sementara
pemerintah pusat hanya kebagian tulangnya. Tapi kalau memang tawaran seperti itupun
ditolak, ya memang kemerdekaan jalan keluarnya”.
Dalam sebuah komentarnya, Benedict Anderson seorang pakar masalah Indonesia
dari Cornell University Amerika Serikat (1998) mengemukakan bahwa maraknya tekanan
terhadap pemerintah Indonesia agar melepaskan Timor-Timur adalah merupakan sebuah
keharusan dan kemerdekaan Timor-Timur adalah sebuah sollen yang tidak bisa dibendung
lagi. Memang benar, konflik dan tindak kekerasan merebak dimana-mana, pemerintah RI
kehabisan cara untuk mengatasi situasi diwilayah tersebut. Pada akhirnya tanggal 08
Agustus 1998, semua satuan-satuan tempur TNI ditarik dari Timor-Timur.
Terjadilah kekosongan kekuatan “Vacuum of Power” tindak kekerasan semakin
merajalela dan banyak memakan korban jiwa. Pada saat itu muncul dua kelompok
kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Kelompok pertama adalah mereka yang ingin
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau “Pro Kemerdekaan”
kelompok ini dibawah kendali, Xanana Gusmao. Kelompok ini membawahi beberapa
kelompok perlawanan seperti Falantil (sayap militer Fretelin) dan kelompok bersenjata
lainnya yang bergerilya dan tersebar dihutan-hutan belantara Timor-Timur. Kelompok
yang kedua adalah mereka yang berjuang ingin tetap bersatu dengan Indonesia atau dikenal
dengan kelompok “Pro Otonomi”. Kelompok ini menerima tawaran pemerintah yaitu oleh
Eurico Gutteres yang membawahi Milisi Aitarak, Mahidi, Laksaur, Mahadoni, Besi Merah
Putih, PPI (Pasukan Pejuang integrasi (dipimpin Joao da Silva Tavares)
Pada tanggal 5 Mei Menteri Luar Negeri (Menlu) Ali Alatas dan Menlu Portugal
Jame Gama, bersama sekretaris Jenderal PBB Kofi Anan menandatangani kesepakatan
pelaksanaan penentuan pendapat pada tanggal 8 Agustus 1999 di Timor-Timur, di Markas
PBB New York. Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan tersebut.
Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan tersebut. Disepakati,
tanggung jawabkeamanan akan diserahkan kepada Polri yang dibantu TNI. Hal itu tertuang
dalam dua kesepakatan, yaitu:
1. Kesepakatan tentang modalitas pelaksanaan ppenentuan pendapat melaluli
jejak pendapat.
2. Kesepakatan tentang Polisi (Polri) sebagai penanggung jawab keamanan
Pada akhir Agustus suasanan Timtim kembali tidak menentu, terjadi kerusuhan
dimana-mana. Kelompok milisi menghadang dan mengepung sekitar 150 staf UNAMET
untuk wilayah Ermera yang akan menuju Dili, di Atsabe dan Gleno. Seiring dengan itu,
wakil Panglima PPI Eurica Guteres mulai memblokade seluruh akses keluar dari Timtim,
baik darat, laut, maupun udara. Keesokan harinya terjadi eksodus besar-besaran warga
Timtim. Meski berniat memblokade, namun, Eurico Guterres dan seluruh pasukan PPI
tidak menghalang-halangi warga Timtim yang akan eksodus. Kota Dili semakin
mencekam. Milisi menyerang markas UNAMET di Balide. Tiga anggota milisi memukuli
koresponden BBC News untuk Indonesia Jonathan Head yang terjebak di kantor
UNAMET, dengan ditembak senjata laras panjang dan menendang kepalanya. Jonathan
terselamatkan oleh rompi yang ia kenakan. Sementara, wartawan lain diberondong dengan
peluru.

Page | 11
Pada tanggal 3 September Sekjen PBB menyampaikan hasil jajak pendapat
kepada Dewan Keamanan PBB, 344.580 suara menolak otonomi (78,5%), 94.388 suara
menerima otonomi (21%), dan 7.985 suara dinyatakan invalid.
Terjadi eksodus lagi di kalangan wartawan asing, nasional, maupun local. Muncul
daftar dan rencana pembunuhan terhadap 14 tokoh elite politik Timtim. Keesokan harinya,
hasil jejak pendapat secara resmi diumumkan di Dili. Sesaat kemudian, terjadi kerusuhan
yang bersifat missal di Dili. Salah satu pihak tidak bisa menerima kekalahan, mereka
langsung menghamburkan tembakan. Front Bersama untuk Otonomi Timtim (UNIF)
protes keras dan menolak hasil jajak pendapat. Mereka mengutuk keras gaya dan cara kerja
Unamet yang tidak netral, memihak, bahkan manipulative. Presiden BJ Habibie
menyatakan menerima hasil jejak pendapat.
Pada tanggal 10 Oktober terjadi insiden “salah lirik”. Terjadi kontak tembak
antara TNI dengan INTERFET di perbatasan desa Mota’ain, kecamatan Tasifeto Timur.
Anggota pasukan Brimob, Prada Ari Sudibyo, gugur dengan tiga anggota lain terluka,
yaitu Sertu Sudarto, Sertu Agus Susanto, dan seorang warga sipil Alcino Barros. Interfet
memasuki wilayah kedaulatan RI dan melesak sekitar 297 meter dari jembatan dan tugu
yang bertuliskan “Selamat Datang. Anda memasuki Desa Silawan, NTT” di jembatan
Sungai Malilmeak.
Pada tanggal 30 Oktober Pukul 09.00 waktu setempat, Bendera Merah Putih
diturunkan dari Timor-Timur dalam upacara yang sangat sederhana dan tanpa liputan.
Interfet melarang wartawan untuk meliput acara tersebut, kecuali RTP Portugal. Pada
tanggal 31 Oktober pukul 00.00 waktu setempat seluruh prajurit dan perwira TNI
meninggalkan perairan Dili. Timor Timur telah lepas dari pangkuan Ibu pertiwi. Secara
resmi Tim Tim bukan lagi bagian dari wilayah kedaulatan NKRI.

b.3. Akibat Hukum terjadinya Suksesi Timor-Timur

Dapat dikatakan bahwa berdirinya Timor Timur sebagai negara baru yang
merdeka termasuk dalam salah satu bentuk suksesi negara menurut hukum inernasional
karena memenuhi salah satu cara adanya suksesi, yaitu apabila suatu wilayah negara atau
suatu wilayahyang dalam hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara tersebut
kemudian berubah menjadi wilayah negara baru, sehingga akan berpengaruh terhadap hak-
hak dan kewajiban-kewajibanIndonesia atas Timor Timur secara internasional. Menurut
hukum internasional, munculnya negara baru ini akan membawa banyak konsekuensi
internasio-nal, seperti hutanghutang negara lama, arsip-arsip, pengakuan dan
keterikatannya pada perjanjian inter-nasionalyang telah diratifikasi oleh negara lama. Hal
itu tidak terkecuali Timor Timur yang menjadi negara baru yang merdeka terlepas dari
Indonesia. Kondisi di atas akan dihadapi baik oleh Timor Timur sendiri sebagai negara
yang baru merdeka maupun Indonesia yang telah kehilangan kedaulatannya di wilayah
Timor Timur.
Hal tersebut adalah wajar, karena Timor Timur sebagai negara baru telah
memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, berhak menentukan kebijakan politik dalam
dan luar negerinya. Sehingga berkaitan dengan itu pula Timor Timur berhak menentukan

Page | 12
tetap akan terikat atau tidak pada perjanjian internasional, baik bilateral maupun
multilateralyang telah dilakukan oleh Indonesia. Bagi Indonesia sendiri merdekanya Timor
Timur tersebut berakibat tidak memilikinya kedaulatan atas wilayah tersebut.
Konsekuensi selanjutnya adalah bahwa setiap kebijakan internasional yang telah
dibuat Indonesia yang berkaitan dengan Timor Timur termasuk perjanjian-perjanjian
internasional harus ditinjau kembali atau menjadi tidak berlaku menurut hukum
internasional. Salah satu perjanjian internasionalyang telah dibuat oleh Indonesia yang
berobyek atau yang berkaitan dengan dengan Timor Timur adalah perjanjian mengenai
Zona Kerjasama di Daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian Utara.

a. Suksesi Timor-Timur dan akibatnya terhadap Perjanjian Internasional

Bagi Pemerintah Republik Indonesia, terlepasnya Timor-Timur dari Negara


Kesatuan Republik Indonesia menunjukkan bahwa gagalnya pemerintah Republik
Indonesia untuk mempertahankan integritas/keutuhan wilayah dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Secara yuridis, disintegrasi Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia membawa dampak sebagai berikut :

1) Pengamanan dan kelanjutan dari aset-aset pemerintah yang ada di Timor-


Timur.
2)  Masalah kelanjutan dari perjanjian antara RI dengan pemerintah Australia
tentang pengelolaan zona kerjasama didaerah antara Propinsi Timor-Timur dan Australia
bagian Utara (Timor GAP).
3) Penetapan batas-batas wilayah darat, laut dan udara termasuk menyiapkan
suatu ruang laut dan udara khusus untuk daerah kantong Timor-Timur ke dan dari Oekusi
(Mabeno).
4) Mengingat Selat Ombai adalah termasuk dalam ALKI maka harus dibuat
kesepakatan bilateral untuk menentukan batas laut teritorial dan ALKI yang baru.
5) Kelanjutan dari bentuk perjanjian/-kerjasama lainnya baik bilateral, regional
maupun multilateral yang berkaitan dengan keberadaan Timor-Timur sebagai propinsi
yang ke-27.
Berawal dari belum tercapainya kesepakatan batas landas kontinen antara RI dan
Australia di Selatan Timor Timur (Celah Timor) dan agar tidak mengganggu hubungan
bilateral yang baik dengan Australia, serta agar tidak tertundanya pemanfaatan potensi
sumber daya minyak dan gas bumi di Celah Timor, maka pada tanggal 11 Desember 1989
ditanda-tangani perjanjian antaraIndonesia dan Australia mengenai Zona Kerjasama di
daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian Utara, untuk selanjutnya disebut
"Perjanjian". 17
Perjanjian tersebut merupakan pengaturan sementara yang bersifat praktis untuk
memungkinkan dimanfaatkannya potensi sumber daya minyak dan gas bumi tanpa harus
menunggu tercapainya kesepakatan batas landas kontinen,yang akan terus diupayakan.
Dengan demikian Perjanjian tersebut bukan merupakan Perjanjian untuk menetapkan batas
17
Deplu, Tentang Traktak Celah Timor, dalam: < http://www.dfa-deplu.go.
id/policy/releases/2001/celahtimor.htm>.

Page | 13
landas kontinen kedua negara. Perjanjian tersebut mengatur mengenai "Zona
Pengembangan Bersama" (Joint Development Zone) di daerah "tumpang tindih klaim"
negara-negara yang bersangkutan (dispute area). Lembaga "Zona Pengembangan Bersama"
sebagai suatu pengaturan sementara lebih diperkuat lagi dalam Konvensi Hukum Laut
1982 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.
Pasal 83 ayat (3) Konvensi tersebut menentu-kan bahwa:18
"Sementara persetujuan penetapan batas landas kontinen belum tercapai, negara-negara
yang bersangkutan dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya berupaya
untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama berlangsungnya
masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya untuk mencapai
persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan penetapan garis batas
landas kontinenyang final". Pembagian Daerah di dalam Zona kerjasama menurut
Perjanjian Zona Kerjasama dibagi menjadi 3 daerah dengan kekuasaan hukum (legal
regim) yang berbeda-beda sesuai dengan status hukum dari masing-masing daerah
tersebut.
Eksistensi Perjanjian karena Timor Timur Merdeka.19

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu implikasi yang muncul dari
adanya suksesi adalah, keterikatan negara pengganti pada perjanjian internasional yang
telah dibuat oleh negara pendahulu, atau tentang eksistensi perjanjian internasional yang
telah dibuat negara pendahulu apabila terjadi suksesi. Sebagai pegangan dasar dan agar
tidak menyim-pang jauh dalam pembahasannya, maka setiap kajian tentang akibat suksesi
terhadap perjanjian interna-sional tidak akan lepas dari konvensikonvensi hukum
internasional yang telah ada yang berkaitan dengan suksesi dan perjanjian internasional,
yaitu Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasi-onal dan Konvensi
Wina tahun 1978 tentang Suksesi Negara dalam kaitan dengan Perjanjianperjanjian.
Prinsip dasar dalam perjanjian internasional sebagaimana ditentukan dalam pasal
34 Konvensi Wina 1969 adalah bahwa suatuperjanjian tidak menciptakan baik hak maupun
kewajiban bagi negara ketiga tanpa persetujuan daripadanya (negara ketiga tersebut). Hal
itu dapat dikatakan sebaliknya, jika pihak ketiga mau terikat oleh perjanjian, maka harus
memberikan persetujuan. Persetujuan ini diberikan secara tertulis serta kewajiban dan hak
pihak ketiga tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam perjanjian itu.
Kewajiban pihak ketiga harus bertindak sesuai dengan syarat-syarat yang
ditentukan dalam perjanji-an, dan ia akan tetap terikat pada perjanjian tersebut selama ia
tidak menyatakan kehendaknya yang berlainan (Mieke Komar, 1972: 19). Hal ini berkaitan
dengan asas yang menjadi dasar dan yang telah diterima secara umum dalam hukum
internasional, yaitu pacta tertiis nec nocent nec procent, suatu asas yang berkaitan erat
dengan prinsip kedaulatan negara dan persamaan negara.
Pasal 73 Konvensi Wina tahun 1969 mengatur bahwa :20

18
Pasal 83 (3) Konvensi 1983.
19
http://one.indoskripsi.com/ EKSISTENSI PERJANJIAN ANTARA INDONESIA DENGAN AUSTRALIA TENTANG
ZONA KERJASAMA DI DAERAH.htm
20
Pasal 73 Konvensi Wina 1969

Page | 14
ketentuan-ketentuan Konvensi ini tidak akan mempersoalkan dahulu setiap
masalah yang mungkin timbul mengenai suatu perjanjian dari suatu suksesi negara-negara
atau dari pertanggungjawaban internasional suatu negara atau dari pecahnya permusuhan
di antara negara-negara. Berkaitan dengan itu, Pasal 8 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1 :
Konvensi Wina tahun 1978 menentukan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dari negara yang digantikan berdasarkan perjanjian yang mengikat pada saat terjadinya
suksesi negara, tidak menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara pengganti
terhadap peserta lain dari perjanjian itu, kecuali apabila antara negara yang diganti dengan
negara pengganti telah diadakan perjanjian penyerahan yang menyatakan bahwa hak-hak
dan kewajibankewajiban itu diserahkan kepada negara pengganti. Dan bahwa hak-hak dan
kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian yang berlaku pada saat terjadinya suksesi
negara, tidak menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara pengganti atau negara
peserta lain yang menjadi pihak dalam perjanjian itu, kecuali apabila ada pernyataan dari
negara pengganti itu yang menegaskan mengenai kelanjutan berlakunya perjanjian itu di
wilayahnya.
Ketentuan tersebut sesuai dengan asas res inter alios acta, yaitu bahwa pihak yang
bukan peserta dari perjanjian tidak terikat perjanjian yang dibuat oleh negara peserta
perjanjian itu. Teori lain mengatakan bahwa mengenai keter-ikatan negara pengganti pada
perjanjian internasi-onal yang dibuat oleh negara pendahulu, tidak ada aturan yang berlaku
umum. Terhadap pihak ketiga pergantian negara tidak mempunyai pengaruh, tetapi
persoalan biasanya diselesaikan dengan perjanjian bilateral antara pihak yang terkait.
Perjanjian internasional yang berkaitan dengan wilayah tetap mengikat negara pengganti.
Demikian juga perjanjian internasional multilateral universal tetap mengikat
negara pengganti. Tetapi perjanjian internasional mengenai politik tidak mengikat negara
pengganti. Demikian juga tidak ada kaidah umum bahwa semua hak dan kewajiban traktat
beralih, begitu pula tidak ada prinsip yang diterima secara umum yang demikian kuat
menyokong kemungkinan berlanjutnya hubungan-hubungan traktat.
Suksesi merupakan peristiwa yang terjadi dalam suatu negara yang dalam
peristiwa itu terdapat perubahan keadaan yang fundamental (fondamental Change of
circumstances) atau lebih dikenal dengan doktrin "rebus sic stantibus". Para ahli hukum
internasional enggan untuk menentukan atau membatasi lingkup doktrin tersebut dan
enggan mengatur secara ketat, demi keamanan perjanjian dengan adanya doktrin tersebut .
Bahkan Komisi Hukum Internasional dalam sidangnya yang ke 18 tahun 1966
menolak teori yang tersirat tentang adanya klausula rebus sic stantibus itu, dan lebih suka
mendasarkan pada doktrin perubahan keadaan-keadaan yang fundamental dengan alasan
persamaan derajad dan keadilan serta telah membuang kata-kata rebus sic stantibus, karena
menimbulkan akibat-akibat tidak diinginkan.
Para penulis mengatakan bahwa di dalam sistem hukum internasional diakui
bahwa apabila timbul perubahan yang mendasar dalam kenyataan-kenyataan yang ada
pada perjanjian itu diadakan, yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perjanjian,
maka keadaan yang demikian dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri perjanjian
atau menarik diri dari perjanjian tersebut.
Memang sebagian besar penulis hukum internasional mengakui adanya faktor
perubahan keadaan yang mendasar dalam kaitannya dengan dasar sebagai alasan tidak

Page | 15
terikatnya suatu negara pada perjanjian internasional. Perkembangannya kemudian adalah
bahwa dalam menerima keberadaan dan atau penggunakan doktrin rebus sic stantibus, para
ahli hukum internasional menerima doktrin tersebut dengan suatu kecenderungan untuk
membatasi ruang lingkupnya dan mengatur prosedur penggunaan alasan ini dengan
saksama. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, bahwa adanya sikap yang demikian mengingat dalam sistem hukum
internasional tidak dikenal yurisdiksi memaksa (compulsory yuris-diction), khususnya di
pengadilan internasional.
Demikian juga apabila di dalam mendefinisikan klausula atau doktrin itu tidak
hati-hati, maka mungkin dipakai dan sering kali dipakai hanya untuk membenarkan
tindakan pelanggaran terhadap suatu kewajiban dalam perjanjian, yang dianggap berat oleh
suatu negara untuk dipenuhi.
Berdasarkan Pasal 62 ayat 1 Konvensi Wina 1969, jika terjadi perubahan yang
mendasar, baru dapat digunakan sebagai dasar untuk menghentikan suatu perjanjian atau
untuk menarik diri dari perjanjian apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:21
1. Perubahan suatu keadaan tidak terdapat pada waktu pembentukan perjanjian.
2. Perubahan tersebut adalah perihal suatu keadaan yang fundamental
bagi perjanjian tersebut.
3. Perubahan tersebut tidak dapat diramalkan sebelumnya oleh para pihak.
4. Keadaan yang berubah merupakan dasar yang penting atas mana
diberikan persetujuan terikatnya (concent) negara peserta.
5. Akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas
lingkup kewajiban yang harus dilaksanakan menurut perjanjian itu Namun
demikian tetap terdapat beberapa macam perjanjian tertentu tetap berlaku
mengikat walaupun terpenuhinya doktrin rebus sic stantibus antara lain:
1. Traktat-traktat yang secara langsung berkenaan dengan wilayah yang
telah berganti pemilik seperti, traktat-traktat yang menetapkan rezim perbatasan,
servitude, atau quasi servitude, misalnya hak melintas, atau traktat-traktat
netralisasi atau demiliterisasi wilayah terkait.
2. Konvensi-konvensi multilateral yang berkaitan dengan kesehatan,
narkotika, hak-hak manusia dan hal-hal serupa, yang dimaksudkan untuk
berlaku, meskipun ada perubahan-perubahan wilayah.
Pendapat tersebut sesuai dan sejalan dengan Konvensi Wina tahun 1969 yang
menentukan bahwa suatu perubahan keadaankeadaan yang mendasar yang telah terjadi
terhadap keadaan- keadaan yang telah ada pada saat pembuatan perjanjian, dan yang tidak
terlihat oleh para pihak, tidak dapat dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau
menarik diri dari perjanjian kecuali:
1. Keberadaan keadaan-keadaan itu merupakan suatu dasar esensial bagi
persetujuan pihak-pihak untuk terikat pada perjanjian.
2. Pengaruh perubahan-perubahan itu adalah untuk mengubah secara radikal
luasnya kewajiban-kewajiban yang masih harus dilaksanakan menurut perjanjian itu.
3. Kemudian Pasal 62 ayat 1a, 1b dan ayat 2a Konvensi Wina 1969menentukan
bahwa suatu perubahan keadaan-keadaan yangmendasar tidak boleh dikemukakan sebagai
21
Pasal 2 (1) (f) Konvensi 1983.

Page | 16
dasar untukmengakhiri atau menarik diri dari perjanjian apabila perjanjian itumenetapkan
perbatasan.
Prinsip clean slate lebih senang dipakai dalam masalah susesi ini terutama bagi
negara-negara baru hasil proses dekolonisasi, karena berdasarkan prinsip tersebut negara
baru sama sekali tidak terikat pada perjanjian internasional yang dibuat oleh negara
pendahulu. Tetapi dalam praktek tidak mutlak demikian, sebab untuk kelangsungan
eksistensinya, negara baru yang bersangkutan perlu mengadakan hubungan dengan negara
lain lewat perjanjian internasional. Di samping itu perlu juga menghindari kesan bahwa
negara baru tidak mau menghormati perjanjian internasional yang berkaitan dengan
wilayah negara baru, yang dibuat oleh negara pendahulu.
Karena alasan tersebut, maka sering dipergunakan prinsip pilihan bebas atau free
choice. Dalam melakukan pilihan umumnya negara baru tidak mengabaikan
kecenderungan masyarakat internasional dalam menentukan kelangsungan mengikatnya
perjanjian internasional pada negara pengganti. Di samping itu Negara baru dapat
memberitahukan pemilahan (pick-and-choose) terhadap perjanjian-perjanjian yang
sebelumnya berlaku (Shaw, 1986: 442-444, Starke, 1989: 329-330).
Kemudian Pasal 16 mengatakan, pada pokoknya negara baru tidak terikat untuk
tunduk atau untuk menjadi pihak pada suatu perjanjian, kecuali apabila perjanjian itu telah
mengikat pada saat terjadinya suksesi negara. Pasal ini dapat pula ditafsirkan bahwa negara
baru yang terbentuk dari hasil suksesi itu mempunyai kebebasan untuk memilih atau
mengadakan pemilahan perjanjianperjanjian mana yang akan mengikatnya. Telah
diketahui bahwa yang menjadi obyek penjanjian antara Indonesia dan Australia tentang
Zona Kerjasama adalah daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian Utara. Dalam hal
Timor Timur berdasarkan hasil jajak pendapat kemudian menjadi negara baru, maka Timor
Timur bukan lagi sebagai bagian wilayah Indonesia.
Berdasarkan Hukum Internasional khususnya Konvensi Wina 1969 dan Konvensi
Wina 1978, berdirinya negara Timor Timur Merdeka merupakan salah satu bentuk suksesi
negara. Berlakukah alasan untuk menerapkan doktrin rebus sic stantibus (fundamental
change of circumstences). Hal itu berakibat bahwa Indonesia sudah tidak mempunyai
kedaulatan lagi di Timor Timur. Akibat lebih jauh lagi adalah bahwa segala perjanjian
yang dilakukan oleh Indonesia berkaitan dengan Timor Timur akan tidak berlaku lagi atau
setidaktidaknya akan ditinjau kembali. Termasuk di dalamnya adalah perjanjian mengenai
Zona Kerjasama di Daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian Utara, yang jelas-
jelas obyek adalah daerah di Timor Timur.22

b. Suksesi Timor-Timur dan akibatnya terhadap status kewarganegaraan 23


Masalah pelepasan Timor Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan menjadi negara baru Republica Democratia de Timor Leste (RDTL)
membawa permasalahan baru dalam bidang kewarganegaraan. Negara Timor Leste
dulunya merupakan bagian dari wilayah Negara Indonesia, sebagai propinsi termuda.
Masuknya Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia disahkan melalui UU No. 7

22
Deplu, ibid.
23
http://www.skripsi-tesis.com/06/15/pengaruh-kemerdekaan-timor-leste-terhadap-status-
kewarganegaraan-penduduk-timor-timur-pdf-doc.htm

Page | 17
Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu juga lahir PP No. 19 Th. 1976 (LN. 1976-36)
tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur serta dipertegas lagi melalui
Ketetapan MPR No. VI/MPR/1976 yang mengukuhkan penyatuan wilayah Timor Timur
yang terjadi pada tanggal 17 Juli 1976 ke dalam wilayah Nergara Kesatuan RI. Proses
integrasi ini didasarkan pada Deklarasi Balibo yang ditandatangani pada tanggal 30
November 1975. Deklarasi Balibo dan ketentuan-ketentuan di atas menjadi dasar klaim
bagi pemerintah Indonesia.

Namun dengan adanya penyatuan ini, tidak berarti semuanya akan terlaksana
dengan baik. Status Timor Timur selalu dipermasalahkan, sehingga Sekjend PBB selalu
memprakarsai untuk mengadakan pembicaraan bertiga (tripartie talks) yang dihadiri oleh
Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri Luar Negeri Portugal dalam mencari suatu
penyelesaian masalah di Timor Timur secara adil, menyeluruh dan diterima secara
internasional. Namun dalam forum tersebut, tidak banyak diperoleh kemajuan karena
masing-masing pihak bersikeras mempertahankan sikapnya masing-masing.
 Indonesia di satu pihak telah menolak pembicaraan di forum itu dengan
mengaitkan resolusi-resolusi tentang Timor Timur yang ada. Di lain pihak, Portugal selalu
menekankan perlunya segera dilaksanakan hak penentuan nasib sendiri (self-
determination) bagi warga negara Timor Timur.Namun keadaan ini hanya berlangsung
sampai dengan tahun 1998. Negara Indonesia mengalami gejolak sosial politik yang
menyebabkan Presiden Soeharto turun dari kursi kepresidenannya setelah selama 32 tahun
menguasai negeri ini. Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai wakil presiden diangkat
secara sepihak oleh Soeharto untuk meneruskan jabatan presiden RI dimasa transisi dan
penuh kritis itu.
Salah satu kebijakan politis Habibie yang sangat kontroversial dan fenomenal
pada waktu itu adalah memberikan dua opsi atau pilihan kepada rakyat Timor Timur yakni
referendum atau otonomi khusus.Rakyat Timor Timur memilih jalan referendum untuk
menentukan nasib masa depan mereka. Maka pada tanggal 30 Agustus 1999, Misi PBB
UNAMET (United Nation Mission for East Timor) mengadakan jajak pendapat
(referendum), dengan opsi tetap bergabung dengan Indonesia atau memilih lepas dari
Indonesia.
Hasil referendum yang melibatkan PBB dan beberapa negara asing seperti
Amerika Serikat dan Australia itu membuat Indonesia kaget. Bagaimana tidak, lebih dari
70% peserta referendum menentukan pilihan: Timor Timur harus memisahkan diri dari
negara RI dan mendirikan negara yang merdeka dan mempunyai kedaulatan sendiri. Maka
berdirilah negara baru di abad 21 ini, yakni “Negara Republica Democratia de Timor
Leste). Pada bulan Mei 2002 Timor Leste resmi menjadi negara anggota PBB.Berdirinya
negara baru Timor Leste didasarkan atas hak self-determination. Interpretasinya, mereka
telah menentukan politiknya secara bebas, termasuk kesadaran dan pengetahuan akan
perubahan status kewarganegaraan. Hak ini sepatutnya dihormati karena semua bangsa
mempunyai hak untuk menentukan nasib dan status politiknya sendiri.Kemerdekaan Timor
Leste ini jelas mempengaruhi status kewarganegaraan penduduk Timor Timur. Muncul
pertanyaan yang sangat wajar tetapi merupakan pertanyaan yang sangat penting dalam

Page | 18
berbangsa dan bernegara, yakni apakah dengan pemisahan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan berdiri sendiri sebagai negara yang mandiri, otomatis
mempengaruhi status kewarganegaraan dari Warga Negara Indonesia menjadi Warga
Negara Timor Leste.  Pertanyaan ini tampaknya sangat sederhana tapi amat penting dalam
pemahaman kehidupan internasional dan hubungan bilateral Negara Republik Indonesia
dengan Negara Timor Leste. Penentuan status kewarganegaraan ini harus jelas mengingat
hak dan kewajiban negara terhadap warga negara pada hakekatnya ditentukan oleh hukum
di wilayah negara tersebut dan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.
Kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional, kini semakin mantap
dengan bertambahnya perjanjian internasional yang menetapkan kewajiban individu
tersebut, meskipun hanya dalam artian sempit, yaitu menyangkut hak dan kewajiban
hukum internasional material.Hak dan kewajiban individu dalam perjanjian internasional
(material) banyak dikaitkan dengan kewarganegaraan, karena status kewarganegaraan yang
jelas akan memudahkan peradilan internasional dalam memecahkan permasalahan yang
timbul, terutama masalah hukum yang berlaku baginya karena ada hubungan-hubungan
tertentu yang tidak dimiliki individu tanpa kewarganegaraan seperti perlindungan
diplomatik di luar negeri, maupun mengenai tanggung jawab negara apabila individu
melakukan tindak kejahatan di luar negeri, dan lain-lain.

c. Suksesi Timor-Timur dan akibatnya terhadap Barang-barang dan hutang


publik.24

Sewaktu Timor Leste menyatakan “perpisahannya” dari RI, masalah yang segera
timbul adalah bagaimanakah status hukum aset-aset pemerintah RI yang ada di dalam
wilayah negara tersebut. Pendirian RI dan Timor Leste berbeda. RI berpendapat bahwa
aset-asetnya di wilayah itu tidak secara otomatis beralih, tetapi status tersebut harus atau
tunduk kepada aturan-aturan hukum internasional yang berlaku. Sebaliknya Timor Leste
berpendapat bahwa aset tersebut adalah milik negaranya sesuai dengan Konstitusinya. 25
Sudah diakui umum, suksesi terhadap harta benda (aset) publik dari negara yang diambil
alih adalah suatu prinsip hukum kebiasaan internasional. Praktek negara-negara mengakui
suksesi negara baru terhadap aset atau harta kekayaan milik negara sebelumnya. Sarjana
terkemuka yang memiliki otoritas di bidang kajian ini, yakni D.P. O'Connell,
mengemukakan bahwa negara pengganti (successor state) memiliki hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari hak milik dari negara yang digantikannya. Konvensi Wina 1983
tidak membedakan harta benda publik dan privat. Konvensi lebih menekankan kepada
perlakuan yang seragam dari harta benda negara (State property).
Tampaknya yang menjadi alasan Konvensi untuk tidak memberikan pembedaan
ini karena tidak adanya kriteria dalam hukum kebiasaan internasional mengenai pengertian
24
Adolf, Huala. Beberapa Masalah Suksesi Negara dalam Kasus Timor Timur.
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/08/07/0019.html
25
Konstitusi Timor Leste yang baru (2001). ada satu pasal dalam Konstitusi yang mungkinmenjadi
penafsiran pemerintah Timor Leste yang digunakan untukpendirian tersebut. Section 139 dari
Konstitusi Timor Leste menyebutkan: “The resources of the soil, the subsoil, the territorial
waters, the continental shelf and the exclusive economic zone, which are essential to the
economy, shall be owned by the State and shall be used in a fair and equitable manner in
accordance with national interests.

Page | 19
harta negara ini. Berdasarkan Konvensi 1983, harta benda negara (State property) adalah
"property, rights and interests (in a legal sense) which, at the date of the succession of
State, were owned by that State." Dengan kata lain, harta benda negara adalah harta benda,
hak dan kepentingan (dalam arti hukum) yang dimiliki oleh negara pada waktu terjadinya
suksesi negara. Dalam hal negara pengganti (succession States) tersebut bukan suatu
negara baru merdeka, maka para negara akan berupaya mencari kesepakatan (agreement).
Manakala para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pada prinsipnya benda-benda
bergerak yang berada di dalam wilayah negara pengganti beralih kepada negara tersebut.
Pasal 17 (1) (b) Konvensi 1983 menjelaskan lebih lanjut bahwa harta benda bergerak yang
beralih tersebut adalah harta benda yang ada kaitannya dengan kegiatan negara yang
diganti (lama) di wilayah yang sekarang menjadi milik negara pengganti. Tidak termasuk
dalam hal ini adalah harta benda yang diperoleh oleh negara yang digantikan sebelum,
misalnya, terjadinya kolonisasi atas wilayah yang sekarang menjadi negara pengganti
(baru). Sedangkan harta benda bergerak lainnya di mana suatu bagian wilayah terpisah
harus dibagi berdasarkan pembagian yang adil ("equitable proportion").
Namun dalam hal negara pengganti adalah suatu negara yang baru merdeka
(newly independent State), maka kesepakatan di antara para pihak tidak diperlukan (Pasal
15 (1) (b)). Demikian pula negara baru merdeka ini juga mewarisi harta benda bergerak
yang semula "milik" wilayah yang sekarang menjadi negara baru meredeka selama jangka
waktu wilayah tersebut masih dimiliki negara lama.13 Ketentuan yang sama juga berlaku
terhadap harta benda bergerak yang semula dimiliki atau dibentuk oleh wilayah yang
sekarang merdeka.14 Dari uraian di atas tampak bahwa Konvensi internasional memberi
hak kepada negara yang baru merdeka untuk mengklaim dirinya sebagai pemilik baru atas
aset negara lama. Dalam hal ini, Timor Leste sebagai negara baru merdeka menjadi
pemilik atas aset negara RI yang berada di sana. Pada umumnya, negara-negara
mempunyai hukum nasional-nya yang mengatur masalah suksesi negara ini. Hukum
nasional Timor Leste telah dikemukakan di atas. Hukum Indonesia mengatur suksesi
negara dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional.
Namun UU ini hanya mengatur suksesi negara dalam kaitannya dengan status hukum
perjanjian internasional di negara baru (pasal 20). RI tidak punya aturan susesi negara
mengenai status aset negara di suatu wilayah negara baru.
Contoh lain sebagai perbandingan adalah hukum Amerika Serikat (AS).
Pengaturan Suksesi Negara dalam hukum AS terdapat dalam the Foreign Relations Law.
Menurut Section 209 UU ini, "Subject to agreement between the predecessor and
successor states, title to state property passes as follows: ... (c) where part of a state
becomes a separate state, property of the predecessor state located in the territory of the
new state passes to the new state." Hukum Amerika Serikat tersebut tampak senada dengan
hukum nasional (Konstitusi) Timor Leste. Namun yang menarik dari hukum AS ini adalah
bahwa kepemilikan tersebut akan beralih apabila ada kesepakatan di antara para pihak.
Artinya, ia tidak beralih secara otomatis. Dari ulasan di atas, tampak ada persamaan
berikut. Aset negara lama (RI) yang terdapat di dalam wilayah negara yang baru merdeka
pada prinsipnya beralih menjadi milik negara yang baru merdeka. Ketentuan ini ditegaskan
dalam Konvensi Wina 1983, hukum

Page | 20
AS dan hukum Timor Leste. Permasalahannya adalah, apakah Konvensi Wina
1983 bersifat mengikat? Dan, apakah hukum nasional dapat dipakai sebagai pedoman
dalam sengketa sekarang ini? Pertama, Konvensi 1983 pada prinsipnya tidak berlaku
terhadap Indonesia karena Indonesia tidak meratifikasinya. Meskipun demikian, Konvensi
1983 dapat berfungsi atau dianggap sebagai sumber hukum berupa doktrin. Dalam hal ini
ketentuan dalam Konvensi 1983 adalah hasil dari pendapat dari para ahli hukum
internasional terkemuka (para anggota ILC). Kedua, status hukum nasional yang mengatur
masalah suksesi negara. Hukum nasional Timor Leste dan hukum AS sudah barang tentu
tidak berlaku keluar atau mengikat pihak lainnya. Hukum nasional tersebut tidak mengikat
RI. Namun demikian, apabila dilihat seksama, tampak bahwa bunyi ketentuan mengenai
suksesi negara antara hukum nasional (Konstitusi Timor Leste) dengan hukum
internasional tidak jauh beda. Artinya, klaim pemerintah Timor Leste terhadap aset negara
RI memiliki dasar hukum yang cukup kuat.

d. Suksesi Timor-Timur dan akibatnya terhadap Orde Yuridik Internasional

Kedudukan individu-individu dalam orde yuridik internasional telah


menyebabkan terjadinya perdebatan doktrinalyang cukup hangat. Ada yang menyatakan
seperti prof. Georges scelle, bahwa masyarakat internasional pada hakikatnya adalah
masyarakat individu yang diatur secara langsung oleh hukum internasional, bertentangan
dengan anggapan bahwa individu tidak mempunyai tempat dalam orde yuridik
internasional. Sehingga untuk mengetahui mana yang benar natara kedua pandangan ini
tidaklah mudah karena hukum internasional tidak mempunyai kejelasan mengenai hal
tersebut. Tidaklah disangsikan bahwa individu-individu mempunyai kepentingan terhadap
sejumlah besar ketentuan-ketentuan hukum internasional, baik dalam bentuk manfaat yang
diperolehnya maupun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya. Tetapi itu tidak
dapat berakibat bahwa individu-individu merupakan subjek hukum internasional, karena
pada umumnya negara bertindak sebagai layar antara individu-individu hukum
intenasional. 26
Secara prinsip merupakan tugas negara bahwa para individu tunduk pada
yurisdiksinya mematuhi ketentuan-ketentuan yang berasal dari hukum internasional.
Sbealiknya sangat jarang bahwa individu-individu secara langsung mendapatkan manfaat
yang diberikan norma-norma tertentu hukum internasional tanpa perantara negara dari
individu yang bersangkutan. Namun, setelah berakhirnya perang dunia I, kategori individu
tertentu diberi hak secara langsung untuk mengajukan tuntutan kepada negaranya melalui
negaranya untuk menuntut negara asing di peradilan internasional. Pengakuan secara
terbatas terhadap individu sebagai subjek hukum internasional mengalami perkembangan
yang nyata sesudah perang dunia II. Dalam kerangka konstitusi regional, konvensi eropa
mengenai hak-hak asasi manusia tahun 1959, perjanjian roma tahun 1957 dan pada tingkat
universal dengan diterimanaya the international convennant on civil and political rights
(ICPR) dan the international convennant on economic and social cultural rights (ICES) di
tahun 1966 teah meningkatkan status individu yang bukan hanya sebagai objek tetapi juga
dalam hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional. Peningkatan status individu ini
26
http://kakniam.wordpress.com/2009/07/21/orde-yuridik-internasional/

Page | 21
makin lama makin bertambah nyata setelah terjadinya pembunuhan massal, perbuatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan pelanggaran dan pelanggaran-
pelanggaran berat HAM lainnya di berbagai tempat di dunia.
Kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan perbuatan genosida yang terjadi di
negara eks yugoslavia dari tahun 1992-1999 yang menewaskan sekitar 200.000 orang,
kejahatan yang terjadi di kamboja selama rezim pol pot dari tahun 1975-1979 yang
menelann korban sekitar 1.700.000 orang dan pembantaian suku minoritas tutsi oleh suku
mayoritas hulu di rwanda yang menelan korban sekitar 800.000 jiwa di tahun 1994 telah
memperkuat tekad masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas dan
menghukum para pelaku berbagai kejahatan kemanusiaan tersebut. Untuk itu telah
dibentuk mehkamah kriminal yugoslavia, mahkamah kriminal rwanda, sierra leone dan
kamboja untuk emngadili dan menghukum para pejahat kemanusiaan tersebut. Lahirnya
mahkamah pidana internasional melalui statuta roma bulan juli 1998 yang dapat mengadili
para pelaku genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan
bukti nyata bahwa pada kasus-kasus tertentu individu-individu pun telah dianggap subjek
hukum internasional.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Terlepasnya Timor Timur dari wilayah Republik Indonesia dan kemudian


membentuk negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai masalah baru. Masalah
utamanya adalah adanya dua pendapat yang saling bertentangan antara Indonesia dan
Page | 22
negara-negara luar Indonesia menganggap Timur Timur adalah wilayah yang sebelumnya
telah resmi menjadi bagian wilayah Indonesia pada tahun 1976. Karena itu, ketika Timor
Timur kemudian memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi
suksesi negara pada waktu itu.
Dari uraian di atas, tampak bahwa terlepasnya Timor Timur dari wilayah RI
merupakan masalah suksesi negara. Masalah-masalah yang serta merta lahir daripadanya,
yakni masalah status aset pemerintah RI di wilayah Timor Leste, status Perjanjian Timor
Gap, masalah status kewarganegaan masyarakat Timor Leste pasca terjadinya suksesi, dan
Orde yuridik Internasional merupakan sebagian kecil saja masalah yang timbul dari
terlepasnya Timor Timur dari RI. Kasus Timor Timur juga menunjukkan bahwa masalah
suksesi negara ini semakin relevan dewasa ini. Kasus ini sekaligus juga menunjukkan
bahwa hukum mengenai suksesi negara ini berkembang dan kasus ini memiliki
kekhasannya. Kasus ini di samping masalah klasik yang melekat setelah terjadinya proses
suksesi negara, yakni masalah status aset negara lama, juga terdapatnya perjanjian yang
jenisnya bukan perjanjian perbatasan, tetapi pengaturan sementara. Karena itu, doktrin atau
prinsip hukum yang berlaku umum untuk masalah perbatasan ini, yakni doktrin uti
possidetis, tidak berlaku dalam kasus ini.

3.2. Saran

Proses suksesi negara yang berlangsung hendaknya menhormati hak-hak asasi


manusia dengan tidak melalui jalur kekerasan. Selain pihak-pihak yang ingin melakukan
suksesi terhadap sebuah negara hendaknya mempertimbangkan dampak dari suksesi yang
akan dilakukan tersebut, apakah akan berdampak baik bagi warga negaranya kedepan atau
malah menjadi derita di msas yang akan datang.

Mengenai penyelesaian sengketa berkenaan dengan dampak suksesi negara,


khusunya dampak di bidang hukum hendaknya ditempuh cara-cara yang diplomatis sesuai
dengan aturan Hukum Internasional.

Keep peace on our lovely earth for our generation in the future, for the better life.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Starke, J.G. 1989. Pengantar Hukum Internasional 2. Aksara Persada Indonesia: Jakarta.

Page | 23
Artikel:

Adolf, Huala. Beberapa Masalah Suksesi Negara dalam Kasus Timor Timur.
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/08/07/0019.html. diakses pada 19 maret
2010.

Deplu, Tentang Traktak Celah Timor, dalam: < http://www.dfa-deplu.go.


id/policy/releases/2001/celahtimor.htm>. diakses pada 16 Maret 2010.

http://hellomycaptain.blogspot.com/2009/08/timor-timur-di-titik-nol-intervensi.html.
diakses pada 19 Maret 2010.

http://kakniam.wordpress.com/2009/07/21/orde-yuridik-internasional.htm. diakses pada 19


Maret 2010.

http://MajalahDharmaWiratamaTNI-AL/Beberapa Aspek Hukum Internasional


Disintegrasi Timor Timur Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.html. diakses pada 16
Maret 2010.

http://one.indoskripsi.com/ EKSISTENSI PERJANJIAN ANTARA INDONESIA


DENGAN AUSTRALIA TENTANG ZONA KERJASAMA DI DAERAH.htm. diakses
pada 16 Maret 2010.

http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/internasional/7001-rekonstruksi-timor-
timur-10-tahun-lalu.pdf. diakses pada 16 Maret 2010

http://www.skripsi-tesis.com/06/15/pengaruh-kemerdekaan-timor-leste-terhadap-status-
kewarganegaraan-penduduk-timor-timur-pdf-doc.htm. diakses pada 16 Maret 2010.

Page | 24

You might also like