You are on page 1of 178

Realitas Upah Buruh Industri

Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera


(PKPS)

Oleh
Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si

Didukung Oleh:
Oxfam Novib
Netherland

Medan, 2006

1
Kata Pengantar Lembaga

Persoalan-persoalan perburuhan yang terjadi di tingkat lokal maupun nasional


semakin lama cenderung semakin kompleks. Mulai dari hak-hak normatif yang kerap
dilanggar oleh pengusaha dengan perlindungan yang minim dari pemerintah, kebebasan
berserikat yang tidak sepenuhnya terjamin dan pengekangan hak-hak sosial politik, maupun
ketidakpastian nasib buruh sebagai dampak penerapan liberalisasi pasar tenaga kerja menjadi
realita sehari-hari yang harus dihadapi oleh buruh.
Tanggapan pemerintah sendiri terkait persoalan-persoalan yang dihadapi oleh buruh
tersebut sangat minimal dibandingkan perhatian yang diberikan kepada strategi dan langkah-
langkah pembangunan ekonomi maupun penciptaan iklim investasi. Beban dan tekanan yang
dihadapi oleh buruh malah dianggap sebagai salah satu faktor penghambat ataupun
pengganggu masuknya investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Salah satu alat yang digunakan oleh pengusaha dan pemerintah dalam rangka
menjaga pemulihan dan pertumbuhan ekonomi adalah menerapkan sistem pengupahan yang
mendukung sistem yang dibangun oleh pemerintah. Sistem pengupahan tersebut kita kenal
sebagai upah minimum. Walaupun sebenarnya sistem tersebut sekaligus sebagai jaring
pengaman bagi buruh, pada kenyataannya upah minimum kurang berkontribusi terhadap
kesejahteraan buruh, karena beban yang diterima oleh buruh tidak sesuai dengan
produktivitas ataupun hasil yang dinikmati oleh pengusaha.
Kepentingan pemerintah terhadap pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, pengusaha
dengan akumulasi modalnya dan buruh dengan hak-hak dasarnya tersebutlah yang terus
menerus menjadi polemik setiap tahun. Pertarungan kepentingan tersebut tentunya berjalan
secara tidak seimbang akibat ketimpangan kekuatan antar pihak tersebut. Walaupun tersedia
sebuah institusi yang seakan-akan mendemokratiskan proses penentuan upah, tetap saja
memposisikan buruh sebagai korban dari pemberlakuan sistem pengupahan.
Penelitian ini adalah bagian dari strategi membuka ketimpangan pengupahan yang
ada. Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) sebagai sebuah organ yang
berkonsentrasi pada penguatan buruh maupun serikat buruh merasa berkewajiban untuk
mengungkap sistem pengupahan yang selama ini dianggap menindas buruh. Semua pihak
nantinya setelah membaca hasil penelitian ini akan menilai bagaimana proses penindasan
berlangsung melalui pemberlakuan sistem pengupahan dan konsep upah minimum.

2
Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) sebagai sebuah organisasi non
pemerintah yang bergerak di bidang perburuhan dalam posisi ini mencoba menjadi
intelektual organik bagi kepentingan buruh. Salah satunya adalah dengan melakukan studi-
studi yang bermanfaat bagi proses perubahan sosial dengan tujuan membongkar sistem yang
menghisap, menindas dan tidak adil terhadap komponen rakyat marginal.

Medan, Jumat 23 Februari 2006

DIREKTUR EKSEKUTIF PKPS


SAHAT LUMBANRAJA

3
KATA PENGANTAR PENULIS

Setelah dua tahun berjalan, akhirnya penelitian pengupahan yang dilaksanakan oleh
PKPS sampai pada titik akhir. Dengan diterbitknnya buku hasil penelitian ini diharapkan
mengantarkan PKPS sebagai salah satu institusi non pemerintah bidang perburuhan dan isu-
isu sosial lainnya menjadi lebih memposisikan diri di pihak rakyat yang menjadi korban
pembangunan, terutama buruh.
Diakui bahwasannya ada banyak kendala yang menyebabkan hasil penelitian ini dari
segi waktu cukup terlambat dipublikasikan kepada masyarakat luas yang memiliki perhatian
sekaligus keprihatinan sama terhadap kondisi perburuhan, terutama terhadap sistem
pengupahan yang dirasakan sangat tidak adil.
Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) sendiri yang sudah 15 tahun
mengikatkan diri dalam perjuangan-perjuangan rakyat akar rumput dan buruh belum banyak
melakukan kerja-kerja kajian yang kemudian dipublikasikan secara lebih luas ke masyarakat
umum. Hasil-hasil kajian yang dilakukan lebih banyak untuk kepentingan strategi
pengorganisasian dan pemberdayaan buruh dan diasumsikan punya relasi kuat terhadap
perjuangan-perjuangan buruh dan masyarakat terpinggirkan lainnya, khususnya di Sumatera
Utara.
Melalui penelitian pengupahan ini setidaknya PKPS sudah memulai lebih maju
dalam melakukan riset-riset perburuhan, sehingga tidak lagi sekedar melakukan kajian bagi
kepentingan pengorganisasian, namun juga bagi tujuan-tujuan dalam skala makro, seperti
pengungkapan fakta-fakta sosial lebih luas semisal sistem pengupahan. Tujuan-tujuan seperti
itu tentunya menuntut penggunaan metodologi penelitian yang lebih empirik, ataupun
setidaknya sesuai dengan kaidah-kaidah yang diakui oleh lembaga pemerintah dan
masyarakat akademik. Aplikasi metodologi tersebut tentunya digunakan dengan catatan-
catatan tertentu. Bukan sekedar untuk memenuhi kaidah empirisme semata, namun juga tetap
diboboti dengan analisis keberpihakan yang tegas terhadap buruh.
Apalagi ketika dipahami bahwasannya selama ini ilmu pengetahuan dan metodologi
riset yang digunakan untuk mengungkapkan fakta atau realitas sosial sarat dengan
kepentingan rejim penguasa dan menghegemoni teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal itu
dapat dilihat dari perkembangan riset akademis maupun di kalangan organisasi non
pemerintah yang dengan mengatasnamakan empirisme, objektivitas, dan beberapa konsep
penelitian ilmiah lainnya sebenarnya melakukan pembelokan terhadap realitas yang
berlangsung di masyarakat. Penggunaan metodologi ilmiah selama ini lebih cenderung bukan
sebagai aktivitas memahami fakta yang sebenarnya, namun didasarkan atas kepentingan yang
lebih besar, yakni bagaimana realitas sosial yang diungkap ke permukaan berkontribusi
terhadap pembangunan.
Beberapa riset pengupahan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya institusi yang
memiliki kewenangan terhadap perumusan dan penetapan pengupahan selama ini dianggap
menggunakan azas-azas riset yang kurang lebih mengindikasikan praktek ketidakadilan
dalam melihat fakta sosial. Hal itu dapat dilihat dari proses survey Dewan Pengupahan
Daerah (DPD) yang banyak mereduksi realitas ekonomi yang dialami buruh sehingga
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang menyimpang jauh dari kondisi riil yang dialami
buruh. Penyimpangan-penyimpangan tersebut terkesan semakin lama semakin dilegitimasi
oleh pemerintah sehingga semakin mengentalkan kepentingan pemerintah dan modal.

4
Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) menyadari betul ketidakseimbangan
yang terjadi dalam sistem pengupahan yang didukung oleh paradigma pembangunan dan
ilmu pengetahuan yang sekedar melegalkan kepentingan mereka. Untuk itu jalan satu-satunya
adalah dengan mengembalikan paradigma riset pada prinsip objektivisme yang tidak
direduksi oleh kepentingan-kepentingan penguasa.
Melalui riset pengupahan ini diharapkan realitas kehidupan buruh dapat terungkap
sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, sehingga dapat dijadikan dasar pengkritisan terhadap
sistem pengupahan yang selama ini tidak adil bagi buruh. Studi terhadap sistem pengupahan
yang berlaku saat ini menjadi dasar bahwasannya upah yang diterima buruh berdasarkan
proses perumusan dan penetapan yang ada sudah sangat jauh dari kebutuhan hidup buruh.
Hal itu dapat dilihat dari persepsi buruh tentang institusi perumus upah, dasar yang digunakan
dalam penentuan upah, kebijakan yang diterapkan, dan respon buruh terhadap kebutuhan
konsumsinya berdasarkan upah yang diterima.
Gambaran terhadap kondisi kehidupan buruh tersebut adalah sebuah fakta
bahwasannya sistem pengupahan yang dijalankan saat ini tidak layak lagi untuk dijadikan
dasar penentuan upah buruh. Tekanan ekonomi yang sudah sangat besar terhadap buruh,
minimnya peran buruh dalam proses penentuan upah, kuatnya kepentingan modal dalam
proses perumusan dna penentuan upah, tidak adilnya standar yang digunakan oleh pemerintah
dalam perumusan upah, reduksi terhadap proses kerja institusi, dan metodologi yang
digunakan adalah indikasi ketidaklayakan sistem pengupahan yang berjalan saat ini.
Menyerahkan perubahan terhadap sistem pengupahan kepada pemerintah dan institusi yang
terlibat tidak mungkin dilakukan karena kepentingan akan investasi, pertumbuhan dan
stabilitas ekonomi selalu akan mengalahkan kepentingan buruh. Melakukan perubahan
parsial dengan harapan sekedar kenaikan jumlah nominal upah juga tidak menjawab karena
akan menuntun buruh kembali pada posisi terjebak pada sistem yang ada. Berdasarkan hasil
penelitian ini paling tidak diperoleh pemahaman bahwasannya perubahan yang lebih adil
terhadap sistem pengupahan menuntut proses yang lebih menyeluruh, menyangkut sistem
ekonomi, politik ekonomi, kebijakan dan konsep dasar tentang kerja dan upah.
Akhirnya, hanya buruh yang mengetahui apa yang disebut dengan keadilan, termasuk
keadilan pada sistem pengupahan. Hasil riset ini menjadi penghantar motif-motif perubahan
yang harus dilakukan demi kehidupan buruh yang lebih baik.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada kawan-kawan yang sudah
memulai penelitian ini, yakni Lina Sudarwaty, Henry Sitorus, yang keduanya adalah dosen di
Jurusan Sosiologi FISIP USU, Sri R.M dan kawan-kawan buruh anggota SBMI, baik itu yang
ada di Mabar, Binjai dan Tanjung Morawa. Keterlibatan kawan-kawan sangat menentukan
penelitian ini dapat dilaksanakan, mengingat sulitnya memulai sebuah penelitian. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada Direktur KPS, Sahat Lumbanraja, Berliana Siregar
sebagai sekretaris, kawan-kawan CO KPS, Daniel Marbun, Mesersius Manalu, Relies Yanti,
Rosmawaty, Daniel (Dolok) Sibarani, Juan Lingga dan Franky Sinaga. Dukungan juga
diperoleh dari Gindo Nadapdap, Tua Tampubolon, Kiki divisi Kampanye Pembelaan, Yudi
dan Sorta Gultom. Seluruh kontribusi kawan-kawan sedikit banyaknya menjadi indikasi
bahwasannya kolektivitas pengerjaan penelitian ini dapat dilaksanakan.

Medan, Februari 2006

5
Penulis

Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si

6
DAFTAR ISI

Kata Pengantar Lembaga

Kata Pengantar dari Tim Peneliti

Daftar Isi
V
Daftar Tabel


Latar Penelitian Pengupahan….1

Gambaran Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia….14

Sekilas Tentang Sistem Pengupahan….32

Realitas Sistem Pengupahan di Mata Buruh….46

Respon Buruh Terhadap Sistem Pengupahan….104

Sistem Pengupahan yang Tidak adil….117

7
DAFTAR GRAFIK

Grafik Responden Berdasarkan Kelompok Umur ......................................... 16


Grafik Responden Berdasarkan Status Kependudukan ................................. 17
Grafik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..................................... 18
Grafik Responden Berdasarkan Status Kawin ............................................... 21
Grafik Responden Berdasarkan Keanggotaan Serikat Buruh ........................ 26
Grafik Pengetahuan komponen/lembaga yang termasuk dalam UMP/UMSP41
Grafik Buruh Perlu Dilibatkan Dalam Proses Penetapan UMP/UMSP ......... 44
Grafik Komposisi Pengeluaran Biaya Sosial Buruh Lajang dan Menikah .... 75

8

Latar Penelitian Pengupahan_______

“…Atas dasar tjara produksi ini biaja produksi buruh


terdiri dari djumlah bahan² keperluan hidup-atau
harga bahan² keperluan hidup itu menurut uang-jang
rata² diperlukan untuk membuat dia sanggup bekerdja,
mendjaga dia tetap sanggup bekerdja, dan untuk
menggantinja dengan buruh baru, setelah dia pergi
karena usia tua, sakit, atau mati…”
Karl Marx

SEKILAS TENTANG KONDISI PENGUPAHAN
Kondisi pengupahan di Indonesia selama ini boleh dikatakan tidak mengalami
perubahan yang signifikan terhadap perubahan nasib buruh menjadi lebih baik. Pada
sisi kebijakan, perubahan pengupahan selama puluhan tahun tidak mampu
mendongkrak kesejahteraan buruh menjadi lebih tinggi dibandingkan masa-masa
ketika regulasi kebijakan perburuhan belum menjadi prioritas pemerintah. Malah
Yang terjadi saat ini adalah, sistem pengupahan yang dibangun oleh pemerintah
bersifat menghisap dan tidak bertujuan sesuai dengan kepentingan buruh dalam
memberbaiki kondisi buruh, namun lebih pada kepentingan pengusaha ataupun
investasi secara umum1.
Walaupun secara formal regulasi kebijakan perburuhan dan pengupahan sudah
berjalan selama 3 dekade belakangan, namun kebijakan tersebut secara substansial
masih belum memenuhi aspek keadilan bagi buruh. Kebijakan perburuhan dan secara
khusus tentang pengupahan masih sebatas memenuhi unsur formal, yakni dalam

1 Sumut Pos, Tanggal 19 februari 2004 dengan judul; Kadin-Apindo Siap Bela PT Japfa

9
kerangka besar pseudo demokrasi2 ekonomi. Jika acuan dan kepentingan dasarnya
adalah kepentingan dan kebutuhan buruh, jelas berbagai aturan pemerintah bidang
perburuhan dan pengupahan sama sekali tidak memenuhi prinsip keadilan.
Pemertintah sebagai lembaga regulator kebijakan pengupahan masih mendefinisikan
keadilan dari sisi pengusaha atau pemodal yang punya kontribusi langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketidakberpihakan pemerintah terhadap buruh dan pembelaan yang maksimal
terhadap pelaku industri tampak jelas dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan,
mulai dari kebijakan pengupahan masa orde lama hingga orde reformasi. Suara-suara
pengusaha dan pemodal selalu menjadi fokus perhatian pemerintah, sedangkan
kepentingan buruh dan pekerja sekedar menjadi analisis komplementer semata. Hal
itu dapat dilihat salah satunya adalah ketika pengusaha keberatan dengan adanya
rencana pemerintah yang dituangkan pada UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003
yang akan menetapkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar perumusan dan
penetapan upah. Pengusaha yang diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO) sangat keberatan dengan rencana tersebut. Menurut mereka, penerapan
upah berdasarkan KHL punya konsekuensi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi
dan kapasitas penyerapan tenaga kerja.
Pada satu sisi APINDO menyatakan, peberlakukan UMP berdasarkan KHL
akan meningkatkan upah buruh secara drastis. Namun peningkatan upah tersebut
dinyatakan akan berdampak negatif terhadap kondisi perusahaan. Untuk menetapkan
upah, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yakni produktivitas buruh,
kemampuan perusahaan, dan pertumbuhan ekonomi. Ketiga faktor tersebut harus
dipertimbangkan ketika pemerintah bermaksud merubah standar Kebutuhan Hidup
Minimum (KHM) dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Pihak pengusaha
menyatakan, perubahan seperti itu akan menyulitkan, bukan hanya dalam menetapkan
standar kehidupan layak, namun juga dalam proses perumusan dan penetapannya

2 Yakni demokrasi semu atau demokrasi seakan-akan.

10
yang sangat rumit. Pengusaha sendiri melalui APINDO cenderung lebih menyetujui
proses penetapan upah dilakukan secara bipartit, yakni antara pengusaha (pemberi
kerja) dengan pekerja atau buruh. Proses seperti ini akan lebih menguntungkan
karena yang mengetahui kondisi internal perusahaan dan produktivitas buruh adalah
dua komponen tersebut.
Keberatan tersebut kemudian secara otomatis dijadikan pertimbangan oleh
pemerintah, sehingga pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja mengeluarkan
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tertanggal 16 Juli 2004 yang meminta kepada
seluruh gubernur untuk tetap menggunakan Kebutuhan Hidup Minimum (KHL)
sebagai dasar penentuan UMP pada tahun 20043. Realitas seperti ini menjadi bukti
bahwasannya keberatan, protes, kritikan, negosiasi pihak pemodal dan pengusaha lah
yang menjadi panduan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pengupahan.
Walaupun kebijakan yang di atas telah mengakomodir kepentingan buruh, namun di
tingkat implementasi dan aturan pelaksanaannya, pemerintah masih terlalu besar
menerima kepentingan pengusaha dan investor.
Pada sistem ekonomi kapitalistik seperti yang diberlakukan di Indonesia saat
ini, buruh pada sektor industri hanya menjadi salah satu alat produksi semata. Dengan
logika seperti ini, posisi buruh tidak akan pernah menjadi menjadi elemen penting
dalam sebuah lembaga produksi. Posisi elemen buruh yang bekerja di perusahaan
disamakan dengan alat produksi lain, seperti bahan baku, mesin, dan input lainnya
dalam proses produksi. Otomatis, jika landasan berfikir seperti itu yang menjadi
fundamen sistem ekonomi dan pengupahan, maka perlakuan terhadap buruh
dipengaruhi oleh prinsip efisiensi, efektifitas dan logika ekonomi pasar lainnya.
Ibarat sebuah rantai dalam sebuah sistem produksi, maka buruh (khususnya
upah buruh) merupakan mata rantai terlemah. Lemah dalam artian sebagai satu sub
sistem yang paling mudah ditekan, dilemahkan, untuk kemudian akan ditiadakan
dalam satu proses produksi. Buruh sebagai sebuah elemen yang hidup diperlakukan

3 Kompas, 29 Juli 2004

11
sama dengan komponen alat produksi lain yang penggunaannya ditentukan oleh
dinamika pasar. Dengan demikian, serupa dengan komponen produksi lainnya, buruh
dipaksa untuk fleksibel. Salah satu fleksibilitas yang selalu dipaksakan terhadap
buruh adalah upah.
Pada sisi kebijakan, berbagai penyimpangan dan ketidakberpihakan pemerintah
dan pengusaha terhadap nasib buruh akan semakin jelas terlihat. Namun
ketidakberpihakan tersebut mudah untuk ditutupi sehingga tidak mendapat tentangan
yang besar bagi buruh dan masyarakat secara umum. Kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah perihal pengupahan selama ini dipandang sebagai satu alternatif
paling masuk akal sekaligus paling manusiawi dibandingkan kebijakan sebelumnya.
Setiap kebijakan baru tentang pengupahan dianggap lebih punya kontribusi positif
terhadap kesejahteraan buruh dibandingkan kebijakan sebelumnya, padahal, dari
tahun ke tahun, walupun kebijakan pengupahan diperbaharui, korelasinya terhadap
kesejahteraan buruh nyaris tidak ada sama sekali. Upah buruh tetap menjadi
permainan pemain ekonomi global yang tidak menginginkan membaiknya
(menguatnya) posisi buruh.
Hal itu dapat dilihat dari berbagai argumentasi pemerintah dan pemilik modal
yang sangat defensif dalam menanggapi tuntutan kenaikan upah buruh. Segala cara
dilakukan oleh pengusaha yang didukung oleh pemerintah untuk mencegah dan
menghindar dari kecenderungan kenaikan upah setiap tahunnya. Dengan alasan
menarik investor, mencegah hengkangnya (relokasi)4 beberapa perusahaan ke luar
negeri, keamanan investasi dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah menolak tuntutan
kenaikan upah yang disuarakan buruh. Pernyataan tersebut tentunya bertolak
belakang dengan pernyataan beberapa Organisasi Non Pemerintah (Ornop) beserta
Serikat Buruh/Serikat Pekerja (SB/SP. Kalangan serikat buruh dan pekerja yang

4 Medan Bisnis, 27Oktober 2003, yang diungkapkan oleh Direktur Utama PT Kawasan Industri Medan (KIM)

sebagai hasil seminar Himpunan Kawasan Industri Indonesia. Pada seminar itu dinyatakan, nilai UMP yang
setiap tahun naik rata-rata 20% sehingga akan menyulitkan perusahaan. Untuk itu kalangan pengusaha
menginginkan agar sistem pengupahan harus ditentukan oleh pasar atau berdasarkan supply dan demmand
seperti yang diberlakukan di negara-negara lain.

12
kemudian didukung oleh Organisasi Non Pemerintah menyatakan, banyaknya
perusahaan yang tutup (lock out) kemudian direlokasi ke beberapa negara di Asia
Tenggara bukanlah disebabkan oleh kecenderungan kenaikan upah setiap tahunnya,
namun lebih disebabkan faktor-faktor non upah, salah satunya adalah disebabkan
besarnya biaya siluman yang harus dikeluarkan perusahaan untuk berinvestasi
maupun sekedar memproteksi aktivitas produksi, biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan untuk upah buruh (direct labour cost) menurut penelitian hanya sebesar
kurang lebih 5,3% dari seluruh total biaya produksi, sedangkan komposisi biaya
siluman ataupun pungutan liar dapat mencapai 30% dari total biaya produksi.5
Standar pengupahan, maupun proses penentuan yang diberlakukan di Indonesia
jelas masih jauh dari harapan buruh. Jika ingin dieksplorasi lebih dalam dan
kemudian dicari akar permasalahannya, maka yang ditemui adalah jaringan
kepentingan modal yang cukup kuat. Untuk mendobraknya dibutuhkan kekuatan dan
pengorbanan yang cukup besar. Pemerintah selama ini juga memiliki argumentasi
yang tidak jauh berbeda. Pemerintah yang sebenarnya memiliki otoritas tertinggi
dalam hal pengupahan juga tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan modal dan
sistem pasar dunia yang turut campur dalam urusan politik dan ekonomi melalui
paket-paket kebijakan ekonomi6 Mau tidak mau, agar ekonomi suatu negara bisa
bertahan maka paket-paket pemulihan ekonomi yang ditawarkan oleh lembaga
keuangan internasional yang di dalamnya terdapat negara industri maju harus
diterima secara mutlak. Intervensi lembaga keuangan internasional tersebut salah
satunya dalam bentuk prasyarat penciptakan kondisi yang kondusif bagi investasi.
Secara tidak langsung, kebijakan seperti ini akan menekan buruh. Selama ini, buruh
dianggap sebagai salah satu elemen penghalang investasi. Buruh dipandang sebagai
elemen yang dapat merusak iklim investasi, sehingga gejolak yang ditimbulkannya
harus diredam seminimal mungkin.

5 Harian Waspada, 11 Desember 2003. Untuk menanggulangi biaya siluman dan pungutan liar tersebut, Jabsu
(Jaringan Advokasi Buruh Sumatera Utara) menginginkan pemerintah harus membuat Peraturan Daerah (Perda)
anti biaya siluman, yang bersifat mengikat dan berisi sanksi.
6 Baswir, Revrisond, 2003, Di Bawah Ancaman IMF, Jakarta.

13
Jika kita kembali ke masalah upah buruh, maka salah satu strategi yang
dijalankan oleh pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif dan
sistem ekonomi yang kompetitif adalah dengan menciptakan ketersediaan buruh
murah. Di tengah angka angkatan kerja yang berlimpah,7 jumlah penyerapan tenaga
kerja yang minim dan angka pengangguran yang sangat tinggi tersebut, maka
kebijakan upah murah menjadi pilihan yang paling masuk akal sekaliguys paling
menguntungkan bagi pemodal, punya peran terhadap penyerapan tenaga kerja dan
mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Bagaimana tidak? Rakyat butuh
pekerjaan untuk menghidupi keluarga dan memenuhi kebutuhan pribadi, sementara
untuk keluar dan mencari pekerjaan yang lebih baik sangatlah sulit, mengingat
sempitnya lapangan kerja. Maka satu-satunya cara agar dapat bertahan hidup, mampu
memenuhi kebutuhan dasar keluarga, sekedar makan adalah bekerja pada perusahaan-
perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan upah yang sangat rendah.
Untuk itulah, ketika kebijakan Upah Minimum (UM) dan konsep Kebutuhan
Fisik Minimum (KFM) maupun Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) diberlakukan,
tidak banyak penolakan yang muncul dari masyarakat. Apalagi dasar pertimbangan
keluarnya kebijakan upah minimum tersebut diembel-embeli dengan upaya
meminimalisir kesewenangan pengusaha dalam pemberian upah kepada buruh.
Latarbelakang seperti itulah yang menjadikan tidak adanya penolakan terhadap
pemberlakuan kebijakan tersebut. Apalagi dengan kondisi pasar kerja yang sangat
timpang dimana jumlah pencari kerja jauh lebih besar daripada jumlah lapangan kerja
yang ada. Kondisi seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah dan
menjadikan posisi buruh menjadi sangat lemah. Lihat saja pada tahun 2002. Menurut
catatan BPS, penduduk usia kerja pada tahun itu sudah mencapai 148.729.934 jiwa,
dengan perincian; angkatan kerja 100.779.270, pengangguran terbuka 9.132.104 jiwa
dan bukan angkatan kerja sebesar 47.950.664 jiwa8. Kondisi seperti itu tampaknya

7 Harian Kompas, Tanggal 29 April 2003 tentang jumlah pengangguran secara Nasional yang sudah mencapai
angka 40 juta dan penambahan pengangguran tahun 2003 yang mencapai angka 1,6 juta orang.
8 Badan Pusat Statistik, tahun 2002

14
dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan kecenderungan
negatif. Mulai tahun 2003 sampai 2004 kondisi tersebut juga tidak mengalami
perubahan. Jumlah setengah pengangguran dan pengangguran terbuka dari berbagai
kelompok umur, pendidikan, jenis kelamin dan sebagainya mengalami peningkatan
cukup berarti. Tahun 2003, jumlah pengangguran terbuka naik menjadi 9,531 juta
jiwa, sehingga dari dalam satu tahun terjadi kenaikan hampir 400 ribu jiwa.
Pemerintah menjadikan besarnya angka pengangguran dan pencari kerja sebagai
keunggulan dalam mengundang investor, dengan cara menyediakan buruh murah
bagi pemodal yang akan menanamkan investasinya di Indonesia. Selain
memberlakukan upah murah, salah satu kebijakan terbaru yang semakin
menyudutkan posisi buruh adalah dengan mengeluarkan UU Ketenagakerjaan No.13
Tahun 2003. Point penting yang paling mengganggu posisi buruh adalah yang terkait
dengan outsourcing. Praktek outsourcing yang seharusnya diberlakukan secara ketat
malah dijadikan strategi perusahaan untuk menekan biaya produksi9. Atas nama krisis
dan recovery sektor ekonomi, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan
pengupahan yang tidak adil bagi buruh. Sampai saat ini kelihatannya malah
pemerintah yang paling kuat mempertahankan kebijakan tersebut. Tanpa
memperhatikan realitas hidup buruh dan kondisi ekonomi kontemporer, pemerintah
masih tetap memakai pola standar lama dalam pengupahan.
Penelitian ini hanya salah satu cara untuk melihat realitas kehidupan buruh
untuk kemudian dihubungkan dengan level kebijakan pengupahan. Betapa memang
kebijakan pengupahan selama ini sudah sangat jauh dari realitas kebutuhan hidup
buruh, sedangkan pemerintah dianggap terlalu mementingkan pertumbuhan ekonomi
dan kepentingan pengusaha tanpa berusaha melihat keadaan hidup buruh yang
sesungguhnya.
Selama ini kebijakan pengupahan yang dikeluarkan oleh pemerintah setiap
tahunnya tidak pernah mendapat tentangan yang cukup kuat dari berbagai elemen

9 Medan Bisnis, Tanggal 18 Maret 2004.

15
buruh, sehingga angka yang direkomendasikan oleh institusi pengupahan (DPD)
sebagai lembaga yang punya fungsi perumusan dan penentuan jumlah upah minimum
selalu disetujui oleh Gubernur. Setiap tahun, kenaikan jumlah Upah Minimum
Propinsi (UMP) yang terlalu kecil selalu berjalan mulus dengan penolakan yang
minimal baik dari kalangan gerakan demokrasi maupun dari elemen buruh sendiri.
Pada tahun 2000 memang pernah terjadi kenaikan jumlah UMP (dahulu dikenal
dengan UMR=Upah Minimum Regional) yang cukup tinggi, yakni mencapai 25% di
36 daerah melalui Kepmenaker No 20/MEN/2000.10 Namun kenaikan tersebut
dianggap memiliki muatan politik yang cukup besar dan hanya menaikkan
popularitas pemerintah semata tanpa perhitungan yang matang11. Lonjakan-lonjakan
seperti inilah yang menjadikan kebijakan upah minimum semakin mapan dan tidak
terbantahkan. Dengan sengaja pemerintah memberikan angin segar kepada buruh, dan
membuat kesan bahwasannya upah minimum memang merupakan konsep paling
relevan dalam pengupahan buruh. Pemerintah menganggap kebijakan upah minimum
punya dasar teoritik dan basic realitas yang paling kuat sehingga mampu mendorong
peningkatan kesejahteraan buruh menjadi lebih baik, dan membangun kesan seakan-
akan kebijakan upah minimumlah yang terbaik bagi buruh. Dalam hal ini pemerintah
merasa yang paling memiliki otoritas data, fakta dan realitas sebenarnya dalam
menyusun standar pengupahan. Atas dasar itulah, penelitian ini menjadi alat untuk
sedikit mengupas kondisi pengupahan yang selama ini dianggap kurang berpihak
kepada buruh.

10 Kompas, Selasa 22 Februari 2000


11 Kompas, Rabu 2 Agustus 2000

16

BEBERAPA PERMASALAHAN PENGUPAHAN
Sudah sangat banyak sebenarnya penelitian dan bahasan yang dilakukan
pemerintah, pengusaha, kalangan elemen gerakan buruh dan berbagai stakeholder
pengupahan. Hasil penelitian dan analisis yang dilakukan selalu memunculkan
perdebatan yang semakin lama semakin memperuncing pertarungan kepentingan
berbagai stakeholder pengupahan. Namun pada intinya, segala perdebatan tersebut
kurang melihat respon dan persepsi buruh yang sebenarnya. Salah satu aspek yang
sering menjadi perdebatan adalah seputar kebijakan pengupahan12, peran institusi
perumus dan penentu jumlah upah13, berbagai indikator yang menjadi pertimbangan
penetapan upah, peran serikat buruh (SB) dalam mempengaruhi kebijakan
pengupahan dan beberapa indikator kebutuhan buruh, seperti standar kebutuhan fisik
minimum (KFM), kebutuhan hidup minimum (KHM), kebutuhan hidup layak (KHL)
dan perihal pengeluaran buruh14.
Penelitian ini sebenarnya mengambil sisi yang hampir bersamaan dengan
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Selain dilakukan secara spesifik di 3
zona pusat industri sekitar kota Medan, instrumen yang digunakan lebih menekankan
pada pencarian latar pengetahuan, pengalaman, dan perilaku buruh dalam
menanggapi berbagai persoalan upah.
Fokus utama penelitian ini adalah ingin melihat persepsi buruh tentang berbagai
sisi pengupahan, yakni terhadap kebijakan pengupahan, keterlibatan dalam
perumusan dan penetapan upah, tentang kebutuhan buruh, seputar pendapatan dan
pengeluaran buruh, strategi buruh dalam menghadapi kebijakan upah yang tidak adil
dan berbagai upaya perubahan menuju keadilan sistem pengupahan.

12 Haryadi, Dedy, Indrasari Tjandraningsih, Indraswari dan Juni Thamrin, 1994, Tinjauan Kebijakan Pengupahan

Buruh di Indonesia, Bandung.


13 Lihat hasil penelitian Popon Anarita dan Resmi Setia M.S., 2003, tentang Dewan Pengupahan, Strategiskah

Sebagai Media Perjuangan Buruh, AKATIGA, Bandung.


14 Ritongan, Bisman Agus, 2001, laporan Survey Pengeluaran Buruh Cimahi dan Majalaya, AKATIGA, Bandung.

17
18

TUJUAN PENELITIAN

Selama ini penerapan kebijakan pengupahan banyak mendapat kritikan dan


penolakan dari kalangan NGO maupun buruh. Efek kebijakan dan prinsip yang
digunakan telah menjauhkan proses, mekanisme perumusan, penetapan dan jumlah
upah dari kepentingan buruh. Perseteruan antara pemodal dan pemerintah dengan
buruh sangat jelas dan berlangsung kasat mata.Kepentingan pengusaha atau pemilik
modal dan alat poduksi adalah sangat jelas. Sebagai organisasi bisnis, perusahaan
bertujuan meningkatkan nilai perusahaan yang salah satunya adalah memperoleh
laba. Walaupun perusahaan juga memiliki fungsi menyediakan kesempatan kerja,
membantu penerimaan negara melalui pajak, dan peningkatan sumberdaya manusia15,
namun secara keseluruhan tujuan utamanya adalah keberlangsungan usaha.
Tujuan berbagai aksi protes dan aksi tuntutan buruh adalah kenaikan upah.
Upaya yang dilakukan buruh hanya satu, yakni meningkatkan kesejahteraan melalui
kenaikan upah yang lebih adil sesuai dengan kontribusi yang dilakukan oleh buruh
dalam proses produksi. Namun kenaikan jumlah upah dan secara tidak langsung
terhadap kesejahteraan buruh harus dibungkus dalam satu sistem yang mendukung.
Mulai dari perundangan dan peraturan, fundamen sistem ekonomi, prinsip produksi,
relasi pengusaha buruh sampai dengan berbagai aspek yang berhubungan kenaikan
jumlah upah adalah lahan yang harus digarap menuju sistem pengupahan yang
berkeadilan. Penelitian ini adalah satu upaha menuju perubahan sistem tersebut.
Bukan kenaikan upah an sich, revisi kebijakan, penguatan peran SB yang bersifat
parsial, karena strategi seperti itu tidak akan menyentuh persoalan substansial tidak
adilnya upah.

15Lihat Hendarmin, Ali, 2002, Kesejahteraan buruh dan kelangsungan Usaha, Upah Minimum dari Sisi Pandang
Pengusaha, dalam Jurnal Analisis Sosial AKATIGA, Vol.7 No.1 februari 2002, Bandung.

19

MEMADU PENDEKATAN SURVEY DENGAN YANG LEBIH BERPIHAK.

Salah satu pertimbangan dalam penelitian ini adalah menjadikan hasil penelitian
sebagai salah satu draft usulan kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan
pengupahan yang lebih adil bagi buruh. Dalam banyak kebijakan, pemerintah sering
berlindung disebalik obyektivitas. Fakta yang dijadikan dasar kebijakan selalu
berlandaskan paradigma obyektifitas yang dianggap lebih dapat menggambarkan
keadaan kondisi sosial yang sebenarnya. Para pihak yang kontra terhadap berbagai
kebijakan pemerintah memakai paradigma sebaliknya, yakni pada satu pendekatan
yang lebih bersifat subyektif dan berpihak. Dua perspektif tersebut tentunya sulit
untuk diketemukan. Apalagi selama ini kalangan yang menyatakan dirinya berpihak
pada pembangunan sangat sulit untuk menerima paradigma lain (kritis) yang sering
bertolakbelakang dengan logika pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dari
pemerintah dan pemilik modal. sama sekali tidak memiliki kontribusi terhadap
pembangunan.
Walaupun penelitian ini juga menggunakan pendekatan yang selama ini
dianggap tidak melihat kondisi buruh secara subyektif, namun kombinasi dengan
pendekatan FGD (Focus Group Discussion) dan penggalian melalui wawancara
mendalam terhadap pikiran aktor sosial (buruh) akan menutupi kelemahan metode
kuantitatif yang kurang dapat menangkap perspektif subyek16 sehingga melalui
pendekatan tersebut pandangan dari sisi pelaku akan terlihat. Demikian juga dengan
penggunaan pendekatan FGD. Pendekatan tersebut akan semakin membuka respon
dari buruh secara individual melalui kontrol yang dilakukan oleh individu lain17,

16 Salim, Agus, 2001, teori dan Paradigma Penelitian Sosial, dari Denzin Guba dan Penerapannya, Tiara
Wacana, Yogyakarta.
17 Bungin, Burhan, 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah

Penguasaan Model Aplikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

20
dengan demikian informasi yang diperoleh menjadi lebih lengkap, mendalam dan
terkoreksi oleh pandangan dari pelaku lainnya.
Memang pendekatan utama dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik
survey dalam memperoleh informasi dan respon dari buruh, namun bobot kualitatif
juga tidak ditinggalkan sama sekali. Data yang bersifat kuantitatif diperoleh dari
respon 505 sampel tentang beberapa variabel penelitian, khususnya tentang variabel
upah, potongan yang dikenakan kepada buruh, kondisi sosial ekonomi buruh dan
beberapa variabel lainnya. Data yang bersifat kuantitatif tersebut dalam konteks
penelitian ini digunakan untuk melihat sisi makro respon buruh terhadap beberapa
variabel pengupahan dalam penelitian ini.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ada tiga jenis. Teknik yang
pertama adalah dengan menyebarkan kuesioner kepada 505 orang buruh yang berasal
dari 22 perusahaan di 3 (tiga) zona dampingan lembaga, yakni Zona Mabar, Zona
Tanjung Morawa dan Zona Binjai. Jumlah responden dari ketiga zona tersebut tidak
sama besar. Responden terbesar adalah yang berasal dari Zona Mabar, yakni
sebanyak 270 orang, kemudian di Zona Tanjung Morawa sebanyak 152 orang dan di
Zona Binjai sebanyak 80 orang.
Jumlah 505 responden tersebut tentunya tidak mewakili jumlah buruh secara
keseluruhan di Kota Medan ataupun dari ketiga zona tersebut. Diakibatkan oleh tidak
representatifnya jumlah sampel tersebut maka metode analisis statistik yang
digunakan hanyalah dengan menggunakan teknik statistik nonparamatrik. Artinya,
analisis yang digunakan tidaklah dapat digeneralisir atas seluruh populasi, yakni total
buruh sektor industri yang ada di Kota Medan, namun hanya pada sebatas sampel
penelitian.
Dikarenakan metode yang digunakan adalah kombinasi antara pendekatan
kuantitatif dan kualitatif, maka proses analisisnya juga adalah kombinasi antara
keduanya. Namun titik sentral analisis data adalah pada data dari hasil survey untuk
kemudian dipertegas oleh data hasil FGD (Focus Group Discussion) dan Indepth
Interview. Data yang diperoleh dengan pendekatan kualitatif akan dianalisis melalui

21
interpretasi pada respon yang diberikan subyek tentang pengetahuan dan
pengalaman18.
Harus diakui juga bahwasannya beberapa data dan informasi yang diberoleh
melalui pendekatan survey tidak memenuhi target seperti yang direncanakan. Begitu
besarnya jumlah responden dan banyaknya item pertanyaan dalam kuesioner
sebenarnya bertujuan untuk meng-cover beberapa variabel yang terkait dengan
pengupahan, namun diakibatkan pelaksanaan di tingkat teknis yang kurang maksimal,
sehingga respon seluruh responden terhadap beberapa item pertanyaan tidak
sepenuhnya terjawab. Penyimpangan seperti itu tentunya menuntut perubahan proses
analisis, dari yang sebelumnya direncanakan menggunakan analisa statistik inverensi
non paramatrik, menjadi sekedar analisis deskriptif dengan sedikit sekali
menggunakan teknik-teknik analisis parametrik.

18LihatSalim, Agus, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, dari Denzin Guba dan Penerapannya, Tiara
Wacana, Yogyakarta, hal 25 yang menyatakan, yang menyatakan bahwa metode tersebut akan mengandalkan
pada ungkapan secara subyektif mengenai arti yang diberikan oleh individu.

22

Gambaran Kondisi Ketenagakerjaan
Indonesia


Pasca krisis ekonomi 1997 dan 1998, tidak seorangpun bisa mengambil suatu
kesimpulan, apakah Indonesia sudah pada posisi recovery ekonomi ataupun malah
semakin terpuruk. Pada satu sisi, setelah lewat 5 sampai 6 tahun, pertumbuhan
ekonomi secara nasional masih tergolong sangat rendah. Sebelum krisis berlangsung,
pertumbuhan ekonomi secara nasional bisa mencapai hampir 8% pertahun, bahkan
pada tahun 1996, pertumbuhan bisa mencapai angka 7,8%. Setelah krisis berlangsung
dan rencana pemulihan ekonomi berjalan, pertumbuhan masih berada di bawah angka
5%.
Rendahnya angka pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh keruntuhan
ekonomi nasional tersebut dalam perspektif ekonom liberal akan berdampak pada
banyak hal, salah satunya adalah pengaruh terhadap pasar tenaga kerja. Titik ekstrim
dapat dilihat pada tahun 1999. Kala itu, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 0,8%,
sedangkan pertambahan angkatan kerja baru mencapai 2,11 juta orang dan
pengangguran terbuka sebesar 6,23 juta atau 6,6%. Kondisi tersebut seakan semakin
terpola sampai saat ini. Walaupun pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan,
yakni 4,9% pada tahun 2000, 3,4% pada tahun 2001, 3,7% tahun 2002 dan 4,0 pada
tahun 200319, namun tetap saja tidak mampu mendorong penyerapan tenaga kerja dan
mengurangi angka pengangguran.

19 Lihat Harian Kompas, 17 Juni 2004 yang mengutip data Sakernas, proyeksi Bapenas.

23
Menurut kalangan ekonom, pertumbuhan ekonomi pada kisaran 4,5 sampai
dengan 5% sebenarnya masih sangat jauh dari memadai. Jika dilihat dari
pertambahan jumlah angkatan kerja sebesar hampir 2,5 juta pertahun, maka angka
pertumbuhan ekonomi tersebut sama sekali tidak mendukung pengurangan
pengangguran yang . Ketika angka tersebut dikaitkan dengan kondisi ekonomi makro
(khususnya keberadaan APBN), maka semakin tampaklah kerapuhan ekonomi
nasional20.
Kecenderungan tidak membaiknya kondisi ekonomi yang kemudian berdampak
pada rendahnya perluasan kesempatan kerja maupun peningkatan angka
pengangguran setiap tahunnya dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Dan Dan Pengangguran
Terbuka Pengangguran Terbuka
Jumlah Angkatan Jumlah Tambahan Pengangguran Terbuka
Pertumbuhan
Periode Angkatan Kerja ekonomi orang yang Lapangan
Kerja Baru (persen) bekerja Kerja Juta %
(Juta) (Juta) (juta) (juta)
1996 88,19 3,96 7,82 83,90 3,79 4,29 4,86
1999 94,85 2,11 0,79 88,82 1,14 6,03 6,36
2000 95,65 0,94 4,92 89,84 1,00 5,81 6,07
2001 98,81 3,16 3,44 90.81 0,97 8,00 8,10
2002 100,78 1,97 3,66 91,65 0,84 9,13 9,06
2003 102,8 2,10 3,99 92,75 1,10 10,13 9,85
2004 104,98 2,10 4,49 94,15 1,40 10,83 10,32
2005 107,08 2,10 5,03 95,89 1,75 11,19 10,45

Keterangan:
Untuk tahun 1996, 1999, 2000, 2001 dan 2002 menggunakan angka Sakernas_BPS. Untuk tahun 2000
tanpa Propinsi Maluku. Untuk tahun 2001 dan 2002 menggunakan definisi pengangguran terbuka yang
disempurnakan dan termasuk propinsi Maluku. Untuk tahun 2003-2005 menggunakan angka proyeksi
BAPENAS
Sumber: Makalah Dr. Soekarno Wirokartono, Deputi Bidang Ekonomi BAPENAS dalam Workshop
Report, “Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial Untuk Memperluas Kesempatan
Kerja, SMERU, 2004, Jakarta.

Data di atas semakin meneguhkan anggapan semakin melemahnya kondisi


ketenagakerjaan di Indonesia. Setiap tahun sejak krisis ekonomi tahun 1997 terjadi,
lonjakan jumlah pengangguran terbuka, sedangkan pertumbuhan ekonomi sama

20 Harian Medan Bisnis, 12 September 2003

24
sekali tidak mendukung perluasan kesempatan kerja yang setiap tahunnya jauh
melebihi pertambahan angkatan kerja baru.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi dan semakin tidak tertampungnya angkatan
kerja semakin diperparah dengan adanya kebijakan kenaikan beberapa tarif dasar,
seperti Tarif Dasar Listrik (TDL), telepon dan BBM pada awal 2003. Kenaikan
tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi riil masyarakat dan terutama
buruh industri yang masih merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Pemerintah sendiri yang kemudian menawarkan dana kompensasi sebagai pengganti
subsidi BBM ternyata tidak serius mengelola dana sehingga target pengurangan
kemiskinan dan bantuan kepada kalangan ekonomi lemah tidak tercapai. Pada tahun
ini kondisi serupa juga terjadi. Pemerintah terkesan menjalankan suatu skenario
menaikkan harga BBM pasca penetapan UMP dan UMK di seluruh Indonesia. Bagi
buruh mekanisme seperti ini sesungguhnya sangat merugikan. Apalagi diketahui
selama ini, pertimbangan utama kenaikan UMP/UMK masih didasarkan pada inflasi,
belum terlalu memperhitungkan faktor-faktor lainnya yang juga berkontribusi
terhadap peningkatan dan variasi harga kebutuhan pokok masyarakat.
Pada awal tahun 2005 pemerintah kembali mengeluarkan menaikkan BBM.
Kebijakan yang tidak pernah populer di mata masyarakat ini dinyatakan sebagai
sebuah keharusan akibat besarnya beban subsidi yang harus ditanggung oleh
pemerintah, yakni sebesar kurang lebih 70 triliun rupiah setiap tahunnya.
Pemerintah merasa subsidi BBM yang berlangsung selama ini ternyata lebih
banyak dinikmati oleh masyarakat ekonomi kelas menengah dan atas. Subsidi Bahan
Bakar Minyak (BBM) yang diperuntukkan memperingan biaya produksi dan
meningkatkan beban ekonomi masyarakat dianggap salah sasaran sehingga harus
dirubah.
Sebagai ganti pengurangan subsidi BBM, pemerintah menyediakan dana
kompensasi ke 3 sektor utama yakni; pendidikan (pemberian beasiswa), kesehatan
dan penyediaan beras miskin (Raskin), disamping pada sub sektor lain, seperti

25
pembangunan infrastruktur perdesaan dan permukiman rakyat21. Namun kenaikan
kenaikan tersebut mendapat tentangan keras dari berbagai pihak. Salah satu kritikan
mengatakan, kenaikan
Di Propinsi Sumatera Utara sendiri, kondisi ketenagakerjaan dan industri tidak
jauh berbeda dengan kondisi nasional. Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk ke
4 terbesar secara nasional, propinsi ini juga mengalami banyak persoalan
ketenagakerjaan. Pada tahun 2002 saja penduduk Sumatera Utara sudah mencapai
angka 11,85 juta dengan kepadatan 165 jiwa per km2. Sebahagian besar penduduk
Sumatera Utara masih terkonsentrasi di wilayah perdesaan yakni sebesar 6,78 jiwa
atau 57,26%, sedangkan yang tinggal di perkotaan telah mencapai angka 5,06 juta
atau 42,74%.
Pada sisi ketenagakerjaan, sebahagian besar angkatan kerja di Sumatera Utara
masih berpendidikan SD ke bawah, yakni mencapai 45,92%. Angkatan kerja yang
berpendidikan setingkat SLTP mencapai 23,01% dan SLTA mencapai 25,99
sedangkan sisanya sebesar 5,08% adalah yang berpendidikan di atas SLTA.
Dari sejumlah tenaga kerja yang masih aktif bekerja, sebanyak 31,16% adalah
buruh atau karyawan, sedangkan penduduk yang berusaha dengan dibantu anggota
keluarga adalah sebesar 20,43% dan yang bekerja sebagai pekerja keluarga mencapai
24,22%. Jumlah penduduk Sumatera Utara yang merupakan angkatan kerja adalah
sebanyak 5,28 juta jiwa yang terdiri dari 4,93 juta jiwa masuk dalam kategori bekerja
dan sebesar 0,36 juta jiwa masuk dalam kategori pencari kerja karena tidak bekerja
tau sebagai pengangguran terbuka. Sebahagian besar penduduk yang bekerja terdapat
pada sektor pertanian, yakni sebesar 55,56%. Sektor kedua terbesar dalam menyerap
tenaga kerja adalah perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 16,45%. Sektor lainnya
adalah jasa (termasuk pegawai negeri sipil) yakni sebesar 11,25% dan hanya 6,55%
atau 322.807 yang bekerja di sektor industri22

21Harian Sumut Pos, 18 Februari 2005


22Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, yang diambil dari Buku, Sumatera Utara dalam Angka tahun
2002.

26
Jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Propinsi Sumatera Utara,
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Kota Medan sebagai ibukota propinsi
menunjukkan angka yang lebih rendah. Pada tahun 2002, TPAK di Sumatera Utara
mencapai 69,45%. Sedangkan di Kota Medan sendiri, TPAK hanya sebesar 64,82.
Sedangkan di kabupaten dan kota lain, misalnya Tebing Tinggi, Kabupaten Asahan,
Kabupaten langkat secara berurutan mencapai 68,19%, 72,50% dan 70,08%. Hal itu
menunjukkan bahwasannya penduduk usia kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi,
baik dalam keadaan bekerja maupun sedang mencari pekerjaan di Kota Medan
sebenarnya lebih rendah dibandingkan di kabupaten lain yang basis ekonominya
belum pada sektor industri.
Menurut data terakhir, jumlah pengangguran terbuka di Sumatera Utara
mencapai jumlah 389.023 atau 6,5%23. Dibandingkan dengan dengan tahun
sebelumnya, kecenderungan kenaikan jumlah pengangguran terbuka tersebut semakin
besar. Pada tahun 2003, jumlah angkatan kerja mencapai 5,296.825 juta, sedangkan
pada tahun 2002 masih sekitar 5,27 juta orang. Jika dilihat jumlah pengangguran
terbuka pada tahun 2002 sebesar 355.467 orang, maka tingkat pengangguran terbuka
menaik tajam. Hanya dalam kurun waktu 1 tahun saja, angka pengangguran terbuka
naik sebesar 0,6%.

23 Harian Medan Bisnis, 6 Januari 2004

27

APA KABAR BURUH DI TIGA ZONA INDUSTRI KOTA MEDAN?
Seperti yang direncanakan sebelumnya, jumlah sampel yang menjadi responden
dalam penelitian ini tergolong cukup besar. Besarnya sampel tersebut diupayakan
akan meningkatkan keterwakilan (reprentativenes) buruh di Kota Medan dan
Kabupaten Deli Serdang. Walaupun secara “statistik” jumlah tersebut tidaklah
representatif dari keseluruhan buruh yang jumlahnya puluhan ribu, namun paling
tidak dengan jumlah responden yang mencapai 505 orang mampu menggambarkan
beberapa karakter buruh industri di kota Medan dan sekitarnya, khususnya beberapa
variabel yang terkait dengan persoalan pengupahan.
Secara umum yang menjadi responden dalam penelitian ini sebahagian besar
adalah buruh yang masuk dalam kategori usia muda, yakni yang berumur 15 sampai
25 tahun18 dengan jumlah 281 orang atau 55,6%, sedangkan responden yang berusia
dewasa (26 sampai dengan 35) sebanyak 191 orang (37,8%) dan golongan umur tua
(>36 tahun) sebesar 33 orang atau (6,5%).

Tabel Responden Berdasarkan Golongan Umur


Golongan umur Jumlah %
dewasa 191 37,8
muda Sumber: Kuesioner 281 55,6
Tua 33 6,5
Total 505 100
Sumber: Kuesioner
Besarnya jumlah responden yang masuk dalam golongan usia muda tersebut
merupakan fenomena umum yang terjadi dalam sektor industri saat ini. Sebagian
besar dari mereka adalah buruh tamatan SMU yang terpaksa mencari pekerjaan
selepas sekolah yang salah satunya disebabkan oleh ketiadaan biaya untuk

28
melanjutkan pendidikan ke level yang lebih tinggi. Hal itu didukung dengan data
SUSENAS 1999-2002, dimana pada kelompok umur 10 sampai dengan 26 tahun
mencapai 31,1% dari total angkatan kerja24. Jika dikaitkan dengan status
kependudukan maka akan terlihat bahwasannya sebahagian besar buruh yang menjadi
responden dalam penelitian ini adalah yang berasal dari luar Kota Medan dan Deli
Serdang. Di wilayah Propinsi Sumatera Utara, tempat tinggal asal mereka tersebar
hampir diseluruh Kabupaten, yakni Kabupaten Tapanuli Tengah, Pematang Siantar,
Tapanuli Utara, Labuhan Batu, Langkat, Tebing Tinggi, Tapanuli Selatan, Samosir,
Toba Samosir, Nias, dan berbagai daerah lainnya. Selain itu, jumlah buruh yang
berasal dari luar Sumatera Utara juga cukup banyak. Mereka sebahagian besar
didominasi oleh buruh yang berasal dari Jawa Timur, bahkan ada yang berasal dari
Aceh, Ujung Pandang, Padang, dan Riau25. Di wilayah Propinsi Sumatera Utara
Sendiri, mereka datang dari berbagai kawasan pelosok yang selama ini dikenal
sebagai kantong sumber tenaga kerja, yakni; Tandam Hilir II, Sei Rampah, Sei Piring
Aek Kanopan, Perbaungan, Pagar Merbau, Pasar Bengkel, Nias, Kotacane, Galang,
dan berbagai kawasan lainnya.

24diolah kembali dari data SUSENAS 1999 sampai dengan 2002 BPS.
25 hal ini diasumsikan memiliki hubungan dengan jumlah Upah minimum di Sumatera Utara yang cenderung
selalu lebih besar dibandingkan Upah Upah Minimum di beberapa propinsi lain. Menurut data pencapaian UMP
(yang pada tahun 2000 dikenal dengan nama Upah Minimum Regional/UMR, pencapaian Upah Minimum dengan
KHM=Kebutuhan Hidup Minimum, sudah mencapai 97,32%. Ada 9 propinsi yang capaian UMR dengan KHM di
atas 90%, yakni Riau Kepulaian, Jawa Timur wilayah II, Jawa Timur wilayah IV , Riau, Jawa Timur, Batam,
Papua, Jawa Barat Wilayah IV dan Jawa Timur wilayah I, sedangkan propinsi lain, seperti Kalbar, Yogyakarta,
Kaltyeng, DKI Jakarta, Jambi danm lain-lain masih pada kisaran 80-89%, maupun Sumatera Barat, Jawa Tengah,
Bali, Kalimantan timur dan lain-lain yang capaian UMR dengan KHM masih pada kisaran 70-80%. Besaran relatif
UMR/UMP dan capaian dengan KHM Sumatera Utara tersebut menyebabkan migrasi buruh ataupun angkatan
kerja dari propinsi yang UMP/UMR nya lebih rendah, Harian Kompas, 22 Februari 2000.

29
Penduduk Asli

pendatang 202 / 40%


303 / 60%

Sumber: Kuesioner
Grafik Responden Berdasarkan Status Kependudukan

Hal ini menunjukkan bahwasannya jumlah buruh yang bekerja di sektor industri
yang ada di kota-kota besar (termasuk Medan) sebahagian besar adalah pendatang.
Mereka meninggalkan desa-desa dan kampung halaman dengan tujuan mencari
pekerjaan di sektor Industri yang memang sudah sangat jenuh akan tenaga kerja.
Sebahagian besar dari mereka seperti yang telah disebutkan di atas adalah lulusan
Sekolah Menengah Atas, yakni sebanyak 355 orang (70,3%).

360

320

280

240

200

160

120

80
Jumlah

40

0
tidak tamat SD SLTP perguruan tinggi
tamat SD SLTA

Pendidikan

Sumber: Kuesioner
Grafik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

30
Jika diasumsikan sebahagian besar responden adalah lulusan SMU, sedangkan
mayoritas responden adalah berumur 23 tahun (13,7% dari total responden),
sedangkan umur seseorang menamatkan SLTA adalah 19 tahun, maka dapat diambil
kesimpulan bahwasannya sebahagian besar buruh (yang tergolong usia muda)
tersebut telah bekerja kurang lebih selama 3 sampai dengan 4 tahun. Grafik di bawah
akan semakin menegaskan bahwasannya buruh sebagian besar telah bekerja selama 1
sampai dengan 4 tahun, yakni sebesar 48,7% dari total responden, sedangkan yang
bekerja dalam masa kurang dari 1 tahun hanya 25 orang atau 5%.
Satu temuan yang merupakan cerminan dari realitas sempitnya lapangan
pekerjaan pada saat ini adalah ditemukannya sejumlah responden yang pernah
mengecap pendidikan tinggi. Walaupun jumlahnya sangat kecil tidaklah sebesar
buruh yang berpendidikan SLTA maupun SLTP, namun kondisi tersebut menjadi
indikasi bahwa sempitnya lapangan pekerjaan telah mendorong buruh yang
berpendidikan tinggi untuk masuk ke lapangan pekerjaan yang selama ini didominasi
oleh buruh berpendidikan SLTA ataupun SLTP. Kecenderungan seperti ini bukan
hanya berlangsung pada sektor industri di kota Medan, namun menjadi fenomena
umum di seluruh tanah air.
Pada tahun 2002, pencari kerja dari tingkat pendidikan SLTA jauh lebih besar
dibandingkan jumlah pencari kerja tidak lulus SD, lulus SD, SLTP dan akademi atau
universitas, yakni mencapai angka 50,24%. Namun jika dikaitkan dengan tipe daerah,
perbedaan pencari kerja atau pengangguran tersebut tidak terlalu jauh antara pencari
kerja di perdesaan maupun perkotaan. Misalnya pada tahun 2002, pencari kerja
lulusan SLTA di perkotaan sebesar 55,48%, sedangkan di perdesaan sebesar
41,11%26. Realitas seperti itu kelihatannya akan tetap berlangsung. Lulusan SLTA
yang tidak tertampung pada pertambahan lapangan kerja akan berkompetisi lebih
ketat lagi, sehingga diprediksikan, struktur ketenagakerjaan yang didasarkan pada

26 BPS Propinsi Sumatera Utara yang diolah dari MK 2000 dan Susenas 2002

31
tingkat pendidikan pada tahun yang akan datang tetap akan didominasi oleh buruh
lulusan SLTA.
Tenaga kerja tamatan perguruan tinggi yang seharusnya masuk dalam kategori
skilled labour dan diorientasikan untuk bekerja pada jenis pekerjaan yang
memerlukan keahlian lebih tinggi telah ikut berkompetisi dalam pasar kerja yang
selama ini didominasi oleh buruh yang mayoritas berpendidikan rendah dan
menengah. Realitas sempitnya lapangan kerja, melimpahnya angkatan kerja,
ditambah dengan rendahnya mutu perguruan tinggi diasumsikan menjadi penyebab
munculnya fenomena seperti ini.
Pada buruh yang menamatkan pendidikan tinggi, hanya sebahagian kecil saja
yang bekerja pada posisi yang memerlukan keahlian khusus. Misalnya ada yang
bekerja pada bidang storage administrator, control cuality, dan teknisi listrik. Namun
ada juga beberapa responden berpendidikan tinggi tersebut yang bekerja pada bagian
yang tidak memerlukan keahlian khusus, misalnya pada bagian dumping. Namun
pada beberapa bidang khusus yang dilakukan oleh buruh berpendidikan tinggi,
ternyata posisinya juga ditempati oleh buruh yang hanya berpendidikan SLTP dan
SLTA. Hal ini menunjukkan sebenarnya yang dimaksud dengan keahlian khusus
tersebut bukanlah satu bidang pekerjaan yang mensyaratkan level pendidikan
tertentu. Beberapa jenis pekerjaan yang sebenarnya membutuhkan keahlian khusus
juga dapat dikerjakan oleh buruh tamatan SLTP dan SLTA, seperti pada bidang
operator mesin, teknisi, research and development dan berbagai bidang lainnya. Hal
ini menunjukkan sebenarnya level pendidikan tidaklah terlalu bermanfaat dalam
teknis operasi pekerjaan di berbagai bidang pada perusahaan, khususnya sektor
industri padat karya dimana sebahagian besar responden bekerja.
Tabel Kategori Masa Kerja
Kategori waktu Jumlah %
<1 25 5,0
>4 234 46,3
1-4 246 48,7
Total 505 100,0

32
Sumber: Kuesioner
Dibandingkan dengan buruh yang lulus perguruan tinggi, jumlah buruh
tamatan SLTA jauh lebih besar. Bahkan jumlah responden yang berpendidikan SLTP
masih lebih besar dibandingkan yang berpendidikan tinggi, yakni sebesar 113 orang
(22,4%) dari total responden. Dengan demikian terlihat bahwasannya perusahaan
dimana responden bekerja sebahagian besar memperkerjakan buruh yang
berpendidikan SLTA (SMU). Dalam banyak kasus perburuhan, level pendidikan
rendah selalu dijadikan dasar penentuan upah buruh, khususnya pada perusahaan
padat karya yang mempekerjakan buruh berpendidikan rendah, karena buruh yang
pendidikannya rendah akan lebih mudah untuk ditekan dan diperlakukan semena-
mena oleh perusahaan. Pada aspek lainnya, ada kecenderungan dari perusahaan untuk
memperkerjakan buruh yang masih belum menikah atau buruh lajang. Data dari profil
responden memperlihatkan bahwasannya jumlah buruh yang belum menikah lebih
besar dibandingkan yang sudah menikah, yakni sebesar 53,7% (271 orang). Ada
beberapa asumsi yang dapat dijadikan dasar oleh perusahaan untuk lebih memilih
buruh yang belum menikah untuk diperkerjakan di perusahaan. Pertama, buruh yang
belum menikah memiliki kebutuhan dan tuntutan hidup yang lebih kecil
dibandingkan buruh yang sudah menikah. Dengan demikian, tanggungan suami, anak
dan tanggungan lain, maupun aspek kebutuhan sosial tidak menjadi komponen dalam
proses perhitungan upah. Kedua, buruh yang sudah menikah tentunya memiliki
beberapa keterbatasan sebagai konsekuensi sebagai buruh yang sudah
berumahtangga, misalnya kebutuhan waktu untuk cuti hamil (maternal leaves),
urusan keluarga (kondangan, arisan, pesta), dan lain-lainnya yang bagi buruh lajang
tidak terlalu dibutuhkan. Apalagi jika dikaitkan dengan kebutuhan aktivitas sosial.
Tuntutan bagi buruh yang sudah menikah tentunya akan lebih besar dibandingkan
buruh yang belum menikah. Hal ini tentunya dianggap sebagai beban oleh perusahaan
dan mereka anggap menjadi penyebab rendahnya kapasitas produksi perusahaan.
Buruh yang terlalu banyak mengambil cuti melahirkan, cuti haid dan cuti mengikuti
aktivitas sosial, menuntut tunjangan anak maupun kebutuhan buruh berkeluarga

33
lainnya dianggap oleh pengusaha akan menambah labour cost, merendahkan
produktivitas buruh, dan akhirnya memperkecil keuntungan perusahaan.

Status kawin
300
280
260 271
240
220 234
200
180
160
140
120
100
80
Frequency

60
40
20
0
kawin belum kawin

Status kawin

Sumber: Kuesioner
Grafik Responden Berdasarkan Status Kawin

Jika data di atas bandingkan dengan masa kerja maka ada beberapa hal yang
bisa disimpulkan. Pertama untuk buruh yang bekerja di bawah 1 tahun, hanya 5 orang
yang sudah berstatus kawin, sedangkan yang berstatus belum kawin sebanyak 20
orang. Perbandingan ini menunjukkan, bahwa sebahagian besar buruh yang baru
bekerja/atau ketika diterima bekerja adalah yang berstatus belum kawin. Hal itu
terlihat pada buruh yang masuk dalam kategori masa kerja antara 1 (satu) sampai 4
(empat) tahun. Jumlah buruh yang belum kawin masih lebih besar, yakni 191 orang,
sedangkan buruh yang sudah kawin hanya sebesar 67 orang. Hal ini juga
menunjukkan kesimpulan yang sama, bahwasannya buruh cenderung memilih untuk
tidak menikah ketika masa kerja masih belum mencapai masa kerja lebih dari 4
tahun. Kedua, ketika masa kerja buruh sudah lebih dari 4 tahun rasio tersebut menjadi
terbalik. Sebahagian besar buruh dalam masa kerja ini sudah berstatus kawin. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwasannya setelah bekerja lebih dari 4 tahun, barulah
memutuskan untuk menikah.

34
Jika dianalisis lebih jauh, ada beberapa hal yang bisa diambil kesimpulan dari
informasi ini. Pertama, perusahaan memang boleh dikatakan alergi untuk melakukan
perekrutan terhadap buruh yang sudah menikah diakibatkan beberapa konsekuensi
lanjutan yang nantinya harus dipenuhi oleh perusahaan. Keputusan buruh untuk
menikah bukanlah disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan lain, seperti kesiapan
mental, keluarga, maupun persoalan keterbatasan ekonomi, namun lebih disebabkan
oleh sulitnya buruh untuk memperoleh pekerjaan ketika sudah berstatus kawin. Status
belum menikah tersebut ternyata tetap bertahan ketika buruh sudah bekerja.
Walaupun sudah melewati masa kerja 1 sampai 4 tahun, ternyata sebahagian besar
buruh belum memutuskan untuk menikah. Barulah ketika kondisi sudah sedikit
mapan, masa kerja sudah lebih lama dari 4 tahun buruh memiliki keberanian untuk
menikah. Kedua, keputusan buruh untuk tidak segera menikah tentunya dilandasi
oleh beberapa alasan. Sulit memang untuk mengungkapkan alasan dari buruh
tersebut, namun dari pola data di bawah, terlihat ada satu aturan tidak tertulis yang
membuat buruh untuk menunda pernikahan. Menurut beberapa buruh yang pernah
mencoba melamar pekerjaan, status menikah memang lebih sulit dibandingkan buruh
lajang untuk diterima bekerja pada perusahaan. Untuk mengantisipasi kendala
tersebut, sebagian besar buruh terpaksa menunda perkawinan, dan sebagian lagi
malah ada yang memanipulasi status pernikahan agar sekedar dapat diterima bekerja
di pabrik.

Tabel Status Kawin


Berdasarkan Kategori Masa Kerja
Status kawin kategori masa kerja
<1 1-4 >4 Total
tahun tahun tahun
Kawin 5 67 161 233
Belum kawin 20 191 61 272
25 258 222 505
Sumber: Kuesioner

35
Secara keseluruhan, responden dalam penelitian ini bekerja dalam perusahaan
yang memproduksi 15 jenis produk. Responden terbanyak adalah yang bekerja di
perusahaan yang memproduksi tali, ala, tikar dan benang, yakni PT United Rope
sebayak 75 orang (14,9%), sedangkan jenis produk kedua terbesar tempat bekerja
responden adalah pada PT Medan Canning, PT Growth Pasifik dan PT Toba Surimi
Industri (PT TSI), yakni sebanyak 62 orang, atau 12,3% dari total responden.
Tabel Responden Berdasarkan Jenis Produksi
Perusahaan Tempat Bekerja
No Jenis Produksi Frequency Percent
1 Anti nyamuk 33 6,5
2 Barang pecah belah 24 4,8
3 Besi, beton, kawat beton, baja, kawat duri, plat 33 6,5
dan paku
4 Gas, oksigen 9 1,8
5 Kaca Mata 43 8,5
6 Komponen elektronik 35 6,9
7 Pakan ternak 11 2,2
8 Pengawetan Hasil Laut 62 12,3
9 Permen 30 5,9
10 Piala 26 5,1
11 Plastik, pipa, sambungan pipa, selang, elbow 30 5,9
12 Rotan setengah jadi, pengawetan rotan dll 19 3,8
13 Sepatu 23 4,6
14 Tali, jala, tikar, pipa dan benang 75 14,9
15 Ubin, meubel, kayu, floring. keramik kayu, piner 52 10,3
Total 505 100,0
Sumber: Kuesioner

Salah satu jenis produksi yang jumlah responden dalam penelitian ini cukup
banyak adalah yang bergerak dalam bidang pengawetan dan produksi hasil laut.
Perusahaan yang memproduksi hasil laut terkonsentrasi di Zona Mabar. Ada beberapa
perusahaan yang menghasilkan jenis produksi yang sama di zona tersebut, yakni PT
Medan Canning, PT Growth Pacific dan PT TSI (Toba Surimi Industry).
Perusahaan tempat responden bekerja dan yang dijadikan sampel dalam
penelitian ini secara keseluruhan adalah 22 perusahaan. Perusahaan tersebut tersebar

36
di 3 (tiga zona), yakni Zona Mabar, Zona Binjai dan Zona Tanjung Morawa. Berikut
data nama perusahaan tempat responden bekerja.

Tabel Daftar Nama Perusahaan


Tempat Responden Bekerja
No Nama Perusahaan Frekuensi %
1 PMU 11 2,2
2 PT Asahi 12 2,4
3 PT. Canggih Lestari 30 5,9
4 PT. Duta Multi Inti Optik 43 8,5
5 PT. Girvi Mas 23 4,6
6 PT. Growth Pasifik 22 4,4
7 PT. Gunung Gahapi Sakti 33 6,5
8 PT. IAD 23 4,6
9 PT. Kedaung 24 4,8
10 PT. Manao Sumatera 19 3,8
11 PT. Medan Canning 23 4,6
12 PT. Medan Raya Jasa Abadi 9 1,8
13 PT. Mustindo Utama 19 3,8
14 PT. Pakanindo 6 1,2
15 PT. Samawood 52 10,3
16 PT. Serba Trophy 26 5,1
17 PT. Toba Surimi Industri 18 3,6
18 PT. Union Convectionary L 30 6,0
20 PT. United Rope 75 14,9
21 PT.GPS 4 ,8
22 PT.Perkasa Mustindo Utam 3 ,6
Total 505 100,0
Sumber: Kuesioner

Berdasarkan keanggotaan dalam serikat buruh, sebahagian besar responden


adalah anggota SBMI (191 orang) atau 37,8% dari total responden. Dikarenakan
kedekatan kelembagaan dan hubungan personal, akses terhadap responden lebih
mudah dilakukan terhadap SBMI yang merupakan mitra kerja dari KPS. Namun
responden dari serikat buruh lain juga cukup banyak dicover dalam penelitian ini. Hal
itu untuk menjaga keseimbangan dan keterwakilan sehingga buruh yang berasal dari
serikat buruh lain juga dijadikan responden dalam penelitian ini. Responden yang

37
berasal dari SPSI dalam penelitian ini adalah sebesar 141 orang atau 27,9%,
sedangkan yang berasal dari SBSI adalah sebesar 30 orang (5,9%).
Satu hal yang patut disoroti adalah, jumlah responden yang bukan anggota
dari serikat buruh manapun ternyata cukup besar. Menurut data hasil lapangan,
ketidakikutsertaan buruh dalam serikat buruh tersebut terbagi atas dua kategori, yakni
buruh yang memang tidak menjadi anggota anggota SB, dan buruh yang tidak ikut
menjadi anggota Serikat Buruh (SB) akibat tidak adanya SB di dalam perusahaan.
Sedangkan sisanya, adalah serikat buruh lain yang keanggotaannya sedikit, yakni
Gaspermi, PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia), dan SPKIM.

38
Grafik Responden
Berdasarkan Keanggotaan Serikat Buruh
300

250

200

150
J UML A H

100

50

0
SPSI PPMI lainnya tidak ada SB
SBSI SBMI bukan anggota SB

Sumber: Kuesioner
Berdasarkan etnis atau suku, secara garis besar responden penelitian
didominasi oleh suku Jawa, yakni mencapai 235 orang (46,5%), sedangkan
yang kedua adalah pada suku Batak, yakni sejumlah 143 orang (28,3%),
sedangkan sisanya adalah yang berasal dari suku lain, seperti; Simalungun,
Mandailing, Karo, Aceh, Minangkabau, dan sebagainya. Dominasi jumlah
buruh yang ber-etnis Jawa tersebut disebabkan oleh sebahagian besar buruh
tersebut memang berasal dari kantong-kantong tenaga kerja di sekitar kawasan
perkebunan lama. Mereka adalah keturunan dari buruh kontrak yang
didatangkan pada akhir abad XIX dan awal abad XX untuk bekerja di beberapa
perkebunan besar kolonial di daerah Tanah Deli.
Tabel Responden
Berdasarkan Suku/Etnis
No Suku/Etnis Jumlah %
1 Aceh 7 1,4
2 Banjar 4 0,8
3 Banten 2 0,4
4 Batak Toba 143 28,3
5 Chinese 1 0,2

39
6 Gayo 1 0,2
7 India 1 0,2
8 Jawa 235 46,5
9 Kalimantan 2 0,4
10 Karo 21 4,2
11 Mandailing 29 5,7
12 Melayu 28 5,5
13 Minangkabau 7 1,4
14 Nias 5 1,0
15 Pakpak Dairi 2 0,4
16 Punjabi 1 0,2
17 Simalungun 13 2,6
18 Sunda 3 0,6
Total 505 100,0
Sumber: Kuesioner
Deskripsi responden berdasarkan etnisitas tersebut boleh dikatakan menjadi
gambaran sederhana tentang karakteristik buruh industri berdasarkan suku bangsa di
Kota Medan. Walaupun komposisinya tidak begitu tepat, namun gambaran seperti di
atas sangat membantu dalam melihat respon buruh berdasarkan asal-usul suku bangsa
tersebut tentang pengupahan.

40

Selintas Tentang Sistem Pengupahan


Sejalan dengan semakin terpuruknya ekonomi secara nasional, regional dan
lokal, kondisi buruh (dalam hal ini persoalan upah) juga mendapat pengaruh yang
cukup besar. Hal itu tidak terlalu jauh berbeda dengan kondisi sistem pengupahan di
negara-negara lain, terutama di negara berkembang, seperti negara-negara di Asia
Tenggara27 yang mendapat pukulan cukup besar akibat pukulan krisis ekonomi
global.
Di Indonesia sendiri, krisis ekonomi global tersebut muncul dalam berbagai
bentuk. Dari sisi moneter, ketenagakerjaan, perbankan dan sektor riil, semuanya
mendapat hantaman keras dari gejolak ekonomi yang khususnya terjadi di kawasan
Asia Tenggara ini. Namun yang dibandingkan negara-negara tetangga seperti
Malaysia, Thailand, Philipina dan negara lainnya, pemulihan ekonomi di Indonesia
berjalan lebih lambat sehingga pengaruhnya semakin dalam.
Sektor yang mendapat pengaruh cukup besar akibat krisis ekonomi di Indonesia
adalah sektor ketenagakerjaan, salah satunya terhadap sistem pengupahan. Tragedi
ekonomi yang berlangsung mulai tahun 1998 menjadi bukti bahwasannya pemerintah
Indonesia memiliki kemampuan yang sangat rendah dalam hal manajemen krisis.
Investor yang enggan datang, kondisi ketidakamanan yang berlarut-larut,
hengkangnya beberapa industri strategis dari Indonesia, meningkatnya jumlah

27Salah satunya adalah negara Philipina, dimana persoalan utama yang sering menjadi permasalahan
perburuhan adalah pengupahan. Hampir sama dengan di Indonesia, Philipina juga menggunakan konsep upah
minimum yang perumusan dan penetapannya dilakukan oleh sebuah institusi pengupahan di tingkat nasional dan
lokal untuk kemudian secara formal ditetapkan oleh pemerintah.

41
pengangguran terbuka dan setengah terbuka tidak tertangani secara tepat, malah
terkesan berlarut-larut.
Satu persoalan yang terkesan berlarut-larut dan nyaris tanpa solusi adalah krisis
ketenagakerjaan. Pasca 1998 jumlah pengangguran terbuka maupun setengah terbuka
meningkat tajam. Tahun 2002 saja BPS mencatat jumlah 8,1 juta atau 8% dari seluruh
angkatan kerja dan telah mencapai 9 juta jiwa atau 9,1% pada tahun 200319, demikian
juga pada tahun 2004 dan kemungkinan juga akan terjadi pada tahun 2005. Pantaslah
kiranya beberapa ekonom Indonesia memberi kritikan yang sangat tajam terhadap
pemerintah perihal kondisi ketenagakerjaan yang berlangsung beberapa tahun
belakangan. Para ekonom memandang, jika melihat kinerja pemerintah saat ini, maka
tidak akan ada perubahan yang sangat berarti dalam bidang ketenagakerjaan. Malah
beberapa diantaranya menyatakan, pemerintah malah tidak punya solusi apapun
dalam mengatasi angka pengangguran di Indonesia.
Setiap tahunnya pertambahan jumlah pencari kerja baru dapat mencapai angka
2 juta jiwa, sedangkan kemampuan pemerintah –dalam hal ini Departemen Tenaga
Kerja setiap tahunnya hanya sekitar 130.000 jiwa, jadi dalam satu tahun beban
pertambahan pengangguran akan mencapai 1,5 juta jiwa. Bisa dibayangkan jika
dalam satu pertambahan jiwa mencapai 2 juta lebih sedangkan dalam yang dapat
diserap tidak lebih dari 500 ribu jiwa, maka pada satu waktu akumulasi jumlah
pengangguran di Indonesia akan sangat luar biasa besar20.
Kondisi serupa juga ditemui pada aspek sistem pengupahan di Indonesia sendiri
yang merupakan suatu contoh dari suatu kebijakan yang tidak pernah secara tulus
berpihak kepada buruh, karena lebih memprioritaskan pada kepentingan pengusaha
dan atau penanam modal. Berbagai upaya regulasi kebijakan ekonomi makro secara
umum tetap saja selalu menguntungkan pengusaha tanpa melihat kepentingan buruh

19Koran Tempo, 14 Januari 2002


20Lihat Harian Kompas 22 April 2003 dimana dinyatakan, Depnakertrans sendiri pada tahun 2003 hanya mampu
menyerap 128.337 tenaga kerja, dan program yang dilakukan untuk itu hanya dua, yakni program peningkatan
ketrampilan dan profesionalitas kerja, serta program perluasan dan pengembangan kerja yang dilakukan di 30
propinsi yang dananya diambil dari APBN dan dana kompensasi BBM sebesar Rp. 177,629 miliar

42
secara lebih luas. Lihat saja beberapa kebijakan investasi di Indonesia yang seperti
jalan tol, membuka seluas-luasnya iklim investasi, pemanfaatan sumberdaya alam
maupun menggunakan tenaga kerja tanpa batas. Berbagai kemudahan dan tindakan
penciptaan situasi kondusif-pun dilakukan oleh pemerintah agar perusahaan dan
pemodal asing tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Seperti yang
dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) yang membentuk task
force yang beranggota wakil-wakil dari aparat keamanan, penegak hukum, serta
instansi terkait yang bertugas membantu perusahaan-perusahaan untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi.
Strategi yang dilakukan oleh BKPM tersebut jelas menjadikan institusi
tersebut sebagai satu badan terdepan dalam menciptakan kondisi ekonomi dan politik
yang lebih memadai untuk masuknya investasi. BKPM menjadi institusi hamba pasar,
pendukung maupun partner para pemodal yang memiliki niat melakukan investasi di
Indonesia. Namun upaya menarik investor luar negeri dan penanam modal dalam
negeri tersebut selalu mengangkangi kepentingan rakyat, khususnya terhadap buruh.

PENGUPAHAN SECARA TEORITIK


Seorang intelektual yang dianggap sebagai peletak dasar konsep pengupahan
adalah Karl Marx. Sebagai tokoh yang banyak mengkritisi perkembangan ekonomi
kapitalisme klasik, Marx melihat ada kecenderungan eksploitatif dalam sistem
kapitalisme, khususnya antara pemilik modal atau pengusaha terhadap buruh atau
kelas pekerja.
Marx beranggapan, akar dari seluruh eksploitasi kelas borjuis (pemilik modal)
terhadap kelas pekerja adalah pada relasi kerja antar dua kelas tersebut, khususnya
diakibatkan oleh perbedaan kepemilikan alat produksi. Perbedaan tersebutlah yang
kemudian menjadi fondasi bangunan struktur sosial ekonomi masyarakat. Struktur
ekonomi seperti ini mengutamakan cara berproduksi yang menggunakan tenaga kerja

43
manusia, penggunaan mesin dan teknik30. Konsekuensi dari perbedaan kepemilikan
alat produksi tersebutlah kemudian yang melahirkan struktur produksi eksploitatif
pada masyarakat dan negara. Kelas buruh yang tidak memiliki alat produksi dan
hanya memiliki tenaga harus menyerahkan dalam proses produksi kepada kelas
pemilik modal dan pengusaha.
Sebagai hasil dari penyerahan tenaga dalam proses produksi tersebutlah
kemudian buruh menerima upah sesuai tenaga dan waktu yang dihabiskan di dalam
pabrik. Pengusaha sebagai pembeli tenaga kerja kemudian memberikan upah sesuai
dengan harga pasar. Untuk lebih jelasnya, berikut analisa Brian Burkitt31 tentang
pandangan Marx terhadap upah.

“…Marx stresses the dual character of labor; the worker sells his or her
own labor power, but the capitalist buys the worker's labor time, which is
an undefined, productive potential, determined by the hours worked, the
machinery employed and the intensity of the labor process. In Marx's
analysis, the crucial distinction remains that the wage is the price of labor
power, exchanged by buyers and sellers in the labor market, but not the
price of labor itself…”
Penjelasan seperti itu menjadi penegas bahwasannya dalam ekonomi
kapitalistik terdapat dualisme pandangan terhadap buruh yang saling bertolak
belakang. Pada satu sisi, buruh menjadi komponen penting dalam proses produksi
karena memiliki peran merubah bahan mentah dan alat produksi lainnya agar
memiliki nilai. Walaupun bahan mentah dan alat produksi sudah memiliki nilai
tersendiri namun buruh melengkapi melalui kerja yang dilakukan dalam proses
produksi. Nilai yang diberikan oleh kerja buruh sangat penting sehingga perannya
tidak dapat ditiadakan. Pada sisi lain, ternyata peran buruh dalam proses produksi
tersebut tidak dihargai dengan semestinya. Apa yang dimaksud oleh kerja yang
dilakukan oleh buruh dalam proses produksi dalam sistem ekonomi kapitalistik

30 Jean Francois Dortier, Marx dan Sosiologi, dalam Anthony Giddens, Daniel Bell, Michael Force, Sosiologi,
Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.
31 Marx's Wage Theory in Historical Perspective: Its Origin, Development Interpretation. - Review - book reviews

Labor History, Nov, 1999 by Brian Burkitt

44
bukanlah biaya produksi kerja yang dilakukan buruh dalam satu jam, satu hari,
ataupun satu bulan, namun diterjemahkan sebagai biaya produksi buruh hidup buruh.
Para ekonom kapitalistik memandang buruh yang bekerja dalam proses
produksi sama dengan menyewakan dirinya secara utuh pada majikan. Dengan kata
lain, yang dijual oleh buruh bukanlah sekedar tenagakerjanya saja, namun juga
menjual ataupun menyewakan dirinya dalam jangka waktu tertentu. Nilai baru yang
ditambahkan buruh terhadap barang tidak kemudian dikembalikan kepada buruh
sebagai ganti kontribusi yang diberikan, namun yang diberikan pada buruh adalah
sebatas besaran biaya produksi dirinya. Biaya produksi buruh yang kemudian
diberikan pemberi kerja merupakan nilai yang diberikan perusahaan agar buruh
sekedar dapat dan sanggup bekerja32
Hal senada juga dinyatakan oleh Frederich Engels. Atas ganti kerja yang
dilakukan oleh buruh dalam proses produksi, buruh kemudian mendapatkan upah
sesuai dengan nilai atau jumlah yang dibutuhkan oleh buruh untuk memperoleh
bekal-bekal kehidupan (means of existance) yang diperlukan, sesuai standar hidup,
dan menjaga kemampuan kerjanya. Tidak mungkin perusahaan atau majikan akan
memberikan upah sesuai dengan produk atau hasil kerjanya sendiri, karena pemberi
kerja atau majikan memiliki kepentingan untuk memperluas usaha dengan cara
mengakumulasi keuntungannya. Agar produksi tetap berjalan, satu-satunya cara
dalam ekonomi kapitalistik hanyalah dengan memberikan upah sesuai dengan
kebutuhan standar pekerja33.
Pada sistem pengupahan sistem kapitalistik upah dianggap sebagai imbalan
yang diterima pekerja atas jasa yang diberikan dalam proses memproduksi barang
atau jasa di perusahaan. Upah dalam perspektif ekonomi kapitalistik masih

32 Dikutip dari situs: www.Marxist.org, Karya Karl Marx dan Frederich Engels tentang Kerja Upahan dan Kapital.
Makalah ini merupakan ceramah-ceramah Karl Marx pada 14-30 Desember 1847, diterbitkan dalam Neue
Rheinische Zeitung tahun 1849, diterbitkan sebagai brosur dengan kata pengantar dan disusun oleh Frederich
Engels di Berlin tahun 1891, diterjemahkan ke Bahasa Indonesia ole S.Maun, dan diterbitkan oleh Yayasan
Pembaruan, Jakarta.
33 Dikutip dari situs: www.marxists.org, merupakan karya Frederich Engels dengan judul “Upah Sehari yang

Layak Bagi Kerja Sehari yang Layak, tahun 2002.

45
menetapkan standar kebutuhan dasar buruh, antara lain untuk pangan, sandang,
perumahan dan kebutuhan lainnya. Pada prinsipnya, upah hanya sekedar dijadikan
alat untuk mempertahankan buruh agar dapat bekerja. Agar buruh dapat bekerja, ia
harus memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatannya. Pekerja yang kurang protein akan
menderita lesu darah dan tidak akan produktif, sehingga kesejahteraan dan kualitas
hidup buruh dan keluarganya harus tetap dipelihara34.
Buruh yang bekerja di perusahaan dalam proses meningkatkan nilai barang
akan menerima upah sesuai dengan biaya produksi seorang buruh agar dapat tetap
bekerja. Artinya, upah yang diterima hanya merupakan bentuk biaya pengganti
pengeluaran hidup buruh secara minimal. Prinsip sistem pengupahan seperti itulah
yang kemudian banyak diterapkan di beberapa negara dunia ketiga, seperti Indonesia.
Tidak terbendungnya penyebaran paham ekonomi kapitalistik merupakan faktor
utama pendorong diterapkannya sistem pengupahan seperti yang berlangsung saat ini
di Indonesia. Percepatan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi seperti yang saat ini
dilakukan pemerintah mensyaratkan sebuah kondisi yang sangat kondusif sehingga
dapat memacu produksi dan konsumsi masyarakat. Salah satu strategi menumbuhkan
perekonomian adalah dengan meningkatkan jumlah investasi. Konsep ini merupakan
kata kunci dalam proses pertumbuhan ekonomi dikarenakan adanya keterbatasan
modal pemerintah dalam merangsang pemulihan ekonomi negara.
Atas dasar meningkatkan investasi tersebutlah kemudian pemerintah
membangun sebuah sistem pengupahan yang paling mendukung kondusifitas
investasi. Pilihan yang paling tepat dalam rangka mewujudkan iklim investasi,
sekaligus mempertinggi comparative advantage adalah dengan menyediakan buruh
murah dengan cara menerapkan Upah Minimum (UM) dalam sistem pengupahan.
Strategi tersebut dapat dikatakan cukup lazim diterapkan oleh negara-negara
berkembang yang mengutamakan investasi sebagai pemicu percepatan pertumbuhan
ekonomi.

34Simanjuntak, Pajaman, “Reformasi Sistem Pengupahan Nasional”, dalam Informasi Hukum, Vo. 5 Tahun VI,
jakarta, Tahun 2004.

46
KEBIJAKAN PENGUPAHAN YANG TIDAK PERNAH BERPIHAK
Sejarah kebijakan pengupahan di Indonesia dapat dikatakan sebagai sejarah
yang dipenuhi dengan ketidakadilan. Rejim demi rejim sudah berganti, namun
kebijakan pengupahan yang diterapkan tetap tidak memenuhi unsur keadilan bagi
buruh. Walaupun dari sisi perundangan telah semakin mengalami perbaikan (yang
katanya disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks ekonomi kontemporer) namun
tetap saja tidak memiliki keberpihakan terhadap nasib dan sesuai dengan tekanan
ekonomi buruh yang setiap tahunnya terus mengalami kenaikan cukup tinggi.
Untuk memahami sistem pengupahan yang diberlakukan saat ini, menurut
Hotman Siahaan harus ditelusuri jauh ke belakang, yakni pada proses sejarah
perkembangan industri dan ekonomi nasional. Terbentuknya sistem ekonomi maupun
sistem pengupahan tersebut harus dipahami melalui interaksi 3 (tiga) aktor, yakni
industri, negara dan rakyat sebagai sumber tenaga kerja. Hubungan ketiga aktor
tersebutlah yang membentuk beberapa karakter tertentu dari sistem ekonomi dan
pengupahan sampai pada akhirnya berpengaruh terhadap konsep dasar maupun sistem
pengupahan.
Sejak masa-masa awal pertumbuhan ekonomi di Indonesia, gejala
penyimpangan dan pergeseran ke arah sistem ekonomi dan industri yang tidak sehat
sebenarnya sudah terlihat. Hal itu tampak ketika sektor ekonomi masa kolonial yang
digerakkan oleh sistem ekonomi tanam paksa yang kemudian dilanjutkan dengan
pertumbuhan industri besar di pedesaan. Situasi ekonomi dan industri seperti telah
melahirkan sistem ekonomi dualistik, dimana basis ekonomi industri dengan
fundamental ekonomi masyarakat menjadi sangat timpang.
Tekanan ekonomi yang sangat tinggi, terbatasnya masyarakat pada faktor
produksi, minimnya lahan dan semakin tingginya pertumbuhan penduduk seperti
inilah yang kemudian di wilayah-wilayah tertentu di Pulau Jawa memunculkan
involusi ekonomi pertanian. Proses involusi tersebutlah yang kemudian menciptakan
petani gurem dan pengangguran dengan jumlah besar akibat terbatasnya lahan
pertanian yang dapat diolah untuk tanaman pangan atau perkebunan. Semakin

47
sempitnya lahan pertanian, besarnya buruh tani di perdesaan dan semakin melebarnya
kemiskinan tersebut mendorong tingkat migrasi para pengangguran, lulusan sekolah,
kaum perempuan ke kawasan perkotaan yang akhirnya memperbesar jumlah pencari
kerja dan pengangguran di kota-kota besar seluruh Indonesia.
Tingginya angka pencari kerja dan pengangguran tersebut lama-kelamaan
kemudian pasti akan berpengaruh terhadap bangunan struktur ekonomi dan sektor
industri. Selama beberapa dasawarsa pertumbuhan ekonomi dan industri masih
berbasiskan industri manufaktur padat karya yang memanfaatkan supply tenaga kerja
yang kurang terdidik. Untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan industri tersebut
maka pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi dan
perburuhan yang mendukung investasi, salah satunya adalah dengan mengeluarkan
kebijakan upah murah. Karena jika tidak maka pemerintah akan kesulitan menarik
investor dan pemodal yang selalu mensyaratkan kemudahan-kemudahan investasi,
rendahnya biaya produksi dan buruh murah.
Struktur ekonomi dan industri seperti itulah yang kemudian dikembangkan oleh
pemerintah sampai diterapkannya secara luas sistem upah minimum, dimana tonggak
sejarah kebijakan pengupahan di Indonesia sudah mulai terstandarisasi. Walaupun
kebijakan tersebut sudah mulai terumuskan, namun sebagai konsep awal, kebijakan
tersebut belum bisa dilaksanakan. Barulah setelah antara tahun 1974 sampai dengan
1976 secara terbatas kebijakan pengupahan tersebut sudah mulai diterapkan pada
perusahaan milik negara.
Penerapan konsep pengupahan tersebut ternyata tidak serta-merta menjadi
fokus perhatian dan dijadikan agenda penting bagi pemerintah. Untuk mengejar
ketertinggalan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerintah masih
menyelesaikan masalah perburuhan yang pada saat itu dianggap sebagai faktor
penghambat masuknya investasi. Berbagai kebijakan (misalnya kebijakan kontrol
terhadap serikat buruh dan konsep hubungan Industri Pancasila). Praktis kebijakana
pengupahan sama sekali tidak memiliki manfaat apapun yang sesuai dengan tujuan
awalnya. Pemerintah malah secara sengaja mengendalikan serikat buruh sehingga

48
membuat organisasi buruh menjadi semakin lemah dan tidak mengganggu iklim
investasi.
PENGUPAHAN MASA ORDE BARU
Penerapan kebijakan pengupahan secara lebih jelas di Indonesia sebenarnya
berlangsung pada tahun 1990-an. Hal ini tidak merupakan inisiatif dari pemerintah
sendiri, diakibatkan oleh tekanan dari buruh sendiri. Berdirinya beberapa serikat
buruh pada awal tahun 1990 an membentuk satu kekuatan perlawanan yang lebih
besar dari buruh, sehingga memaksa pemerintah untuk menelurkan beberapa
kebijakan perburuhan, salah satunya adalah perihal kebijakan pengupahan.
Landasan awal kebijakan pengupahan yang sampai saat ini masih dijadikan
pegangan oleh pemerintah, sekaligus menjadi ganjalan keadilan pengupahan adalah
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tentang Upah Minimum (UM).
Konsep dasar tentang upah minimum sendiri sebenarnya sudah sangat lama
dimunculkan oleh suatu institusi pengupahan yang bernama Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional dan daerah (DPPN/D) pada tahun 1969 dan 1970. Akan tetapi
seperti yang disebutkan di atas, kejelasan penerapannya baru berlangsung pasca
keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989.
Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) merupakan suatu lembaga
bentukan pemerintah yang bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada
pemerintah tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pengupahan. Keanggotaan institusi
tersebut terdiri dari departemen-departemen pemerintah, asosiasi pengusaha,
perguruan tinggi, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan
elemen serikat pekerja (SPSI). Sedangkan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah
(DPPD) yang berkedudukan di bawah Gubernur. Institusi ini berfungsi melakukan
penelitian untuk kemudian diajukan ke Gubernur dan Menteri Tenaga Kerja. Jika
memang jumlah yang diusulkan oleh DPPD dan DPPN sudah dianggap sesuai dengan
pertimbangan Menteri Tenaga Kerja dan Gubernur, maka jumlah tersebut akan
ditetapkan menjadi UMR.

49
Seperti yang disebutkan sebelumnya, perubahan proses kebijakan pengupahan
di Indonesia telah mengalami perubahan sejak kebijakan otonomi daerah
diberlakukan di seluruh wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Tentunya kebijakan
tersebut membawa konsekuensi pada pengalihan beberapa kewenangan yang
sebelumnya terpusat di Jakarta menjadi terdistribusi ke daerah propinsi dan
kabupaten kota, dari yang sifatnya terpusat di kementrian tenaga kerja dialihkan ke
kepala daerah.
Proses peralihan kewangan tersebut adalah selaras dengan semangat
desentralisasi, dimana beberapa kewenangan politik dan ekonomi yang selama ini
berada di tangan pemerintah pusat didistribusikan ke daerah, termasuk dalam hal ini
kewenangan dalam permasalahan pengupahan. Namun semangat tersebut dari
perspektif keadilan hanya menyentuh sisi permukaan, dimana pemerintahan daerah
memiliki peran politik dan ekonomi yang lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Ketidakadilan yang diretas hanya keadilan otoritas politik dan ekonomi pusat dan
daerah, namun sebenarnya tidak menyentuh substansi keadilan yang sebenarnya,
yakni antara kelas masyarakat yang tereksploitasi dengan minoritas pengusaha, dan
pemodal yang berkuasa atas sumberdaya alam dan faktor produksi.
Tidak ada perubahan yang begitu besar sebenarnya dengan perubahan
kebijakan pengupahan tersebut. Pada sisi institusional, memang terdapat perbubahan
dalam hal komposisi yang terlibat dalam lembaga penelitian dan pemberi saran
jumlah upah. Dari yang sebelumnya dianggap belum memenuhi aspek keseimbangan
antara beberapa stakeholder pengupahan menjadi keterwakilan yang lebih berimbang
antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses perumusan dan penetapan
upah. Maksud dari konsep keterwakilan berimbang ini adalah, keterlibatan tripihak,
antara pengusaha, pemerintah dan dari kalangan buruh dalam institusi ini menjadi
lebih seimbang dari sebelumnya.

50
Tabel Perbedaan Institusi Pengupahan
Masa DPPN/DPPD
Kriteria DPPN/D DPD/DEPEDA
Fungsi Merumuskan UMR Merumuskan UMP/K
Komposisi Dominasi pemerintah Model keterwakilan berimbang
Keanggotaan
Kewenangan Menteri Tenaga Kerja Gubernur/Bupati/Walikota
Penetapan UM
Pelaksana Survei Depnaker Unsur pemerintah, pengusaha dan
serikat buruh.
Mekanisme Menteri Tenaga Gubernur/Bupati menjadi penentu
Penetapan Kerja/Gubernur usulan struktur keanggotaan yang
Keanggotaan menjadi penentu usulan diajukan oleh Disnaker
struktur keanggotaan
yang diajukan oleh
Depnaker
Mekanisme DPPN/D DPD bertanggung jawab kepada
Pertanggung- bertanggungjawab Gubernur/Bupati
jawaban terhadap
Menaker/Gubernur
Sumber: Akatiga

Tabel di atas memperlihatkan bahwasannya titik berat yang dikatakan


perubahan hanyalah pada persoalan peralihan kewenangan, tanggungjawab dan
komposisi perwakilan komponen yang terlibat dalam Dewan Pengupahan Daerah
(DPD). Dewan Pengupahan Daerah (DPD/DEPEDA) bertugas melakukan penelitian
dan memberikan usulan kepada Gubernur dan Bupati perihal jumlah UMP yang akan
diterapkan selama satu tahun.
Secara konseptual, lembaga tersebut sudah memenuhi rasa keadilan,
khususnya bagi elemen buruh. Bersamaan dengan semakin banyaknya bermunculkan
Serikat buruh, maka keterlibatan elemen buruh dalam dewan pengupahan menjadi
semakin besar. Secara kuantitas keterwakilan buruh memang semakin besar dari
tahun ke tahun. Asumsinya, semakin banyak elemen buruh yang terlibat dalam DPD,
maka semakin terwakililah aspirasi buruh dalam proses penentuan upah. Namun
secara kualitas, aspirasi buruh ternyata teredam oleh berbagai kepentingan dan

51
kemampuan elemen pengusaha dan pemerintah. Jelas bahwasannya jika diamati lebih
dalam, perubahan kebijakan dari DPPN/D menjadi DPD Propinsi dan Kabupaten
Kota belumlah mampu secara signifikan merubah substansi persoalan upah yang
dihadapi oleh buruh.
Setelah beberapa dekade diterapkannya Upah Minimum (UM), terbukti sistem
tersebut tidak banyak merubah wajah buruh di Indonesia. Jika dilihat perkembangan
kontemporer dari kebijakan tersebut, ternyata hampir tidak ada keseriusan pemerintah
untuk benar-benar mensejahterakan buruh. Pertama; dari sisi kebijakan tidak ada
perubahan yang berarti yang pernah dilakukan pemerintah berdasarkan tuntutan
buruh dan masyarakat. Perkembangan terakhir pasca krisis ekonomi malah
berdampak secara negatif, salah satunya adalah memperlemah pertumbuhan sektor
formal35 yang sama sekali belum mendapat perlindungan yang sepantasnya oleh
pemerintah maupun pemberi kerja.
Penerapan kebijakan upah minimum yang pada awalnya merupakan upaya
memproteksi buruh dari kesewenangan pengusaha ternyata berubah menjadi
belenggu bagi buruh. Bukanlah peningkatan kesejahteraan yang kemudian dirasakan
oleh buruh, namun ternyata malah membatasi hak kaum pekerja untuk hidup lebih
baik dan melampaui batas minimum hidup. Kebijakan upah minimum yang sudah
diterapkan selama beberapa dekade ternyata cenderung lebih banyak merugikan
buruh karena sekedar dijadikan legitimasi oleh pihak-pihak yang menentang hak-hak
buruh. Bukti-bukti yang bisa diajukan untuk mengkritisi upah minimum sudah sangat
banyak muncul ke permukaan. Salah satunya adalah terkait dengan kenaikan jumlah
upah minimum setiap tahunnya yang belum sesuai dengan kenaikan kebutuhan hidup,
namun masih sekedar pada hitung-hitungan inflasi36. Padahal ada banyak faktor yang

35 Tulisan M Chatib Basri yang mengutip hasil penelitian Bird dan Chriss Manning pada tahun 2002 yang
menyatakan adanya kecenderungan perkembangan sektor informal dan lemahnya sektor formal adalah
disebabkan oleh kebijakan upah minimum.
36 Kompas, 22 September, 2004, dimana dinyatakan kenaikan upah buruh hanya berdasarkan inflasi, sehingga

menyulitkan buruh untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kenaikan upah yang terjadi paling besar hanya 20%,
bahkan beberapa perusahaan besar hanya menaikkan upah sebesar maksimal 8% , sedangkan kebutuhan hidup
terus melonjak, terutama pada hari-hari besar.

52
mengharuskan pemerintah dan pengusaha untuk menetapkan kenaikan upah dalam
jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan harga pasar, antara lain kenaikan BBM,
Tarif Dasar Listrik (TDL) dan beberapa kebutuhan lainnya37.
Dapat dikatakan malah, kenaikan upah yang terjadi pada saat ini sebenarnya
bukanlah kenaikan yang sebenarnya, namun masih merupakan penyesuaian atas
inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok di pasar. Kenaikan yang sebenarnya
sendiri belum pernah dirasakan oleh buruh, sehingga wajar saja jika banyak pihak
yang menyatakan, buruh tidak dapat berharap banyak dari UMP, karena tetap saja
pemerintah dan pengusaha tidak menyetujui kenaikan upah yang sesuai dengan
peningkatan biaya hidup buruh38
Argumentasi seperti itulah yang secara terus-menerus dijadikan alasan oleh
pemerintah untuk menahan kenaikan upah buruh. Apalagi jika dilihat dari sisi standar
kehidupan buruh yang selama ini masih didasarkan oleh 43 komponen atau jenis
kebutuhan pokok buruh. Ke empat puluh tiga (43) komponen tersebutlah yang setiap
tahunnya diteliti oleh Dewan Pengupahan Daerah (DPD) sebagai parameter
perumusan dan penentuan kenaikan upah setiap tahunnya sesuai dengan standar
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
Paramater kebutuhan hidup pokok yang dicantumkan dalam KHM sendiri
selama beberapa tahun malah belum 100% dicapai di setiap propinsi. Upah Minimum
Propinsi (UMP) pada tahun 2004 mungkin dapat mewakili kondisi ini. Pada tahun
2004, dari 30 propinsi, hanya 10 (sepuluh) propinsi yang sudah menetapkan UMP di
atas KHM, sedangkan sisanya masih lebih rendah dari KHM, bahkan untuk beberapa

37 Melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (SP
RTMM) pada tahun 2002 menyatakan, upah minimum untuk wilayah Propinsi DKI Jakarta pada tahun 2002
seharusnya mencapai Rp.750.000,- dan jumlah ini belum termasuk adanya rencana kenaikan BBM, TDL dan
kebutuhan hidup lainnya, Kompas, 29 Desember 2001.
38 Di Propinsi DKI Jakarta, kenaikan UMP tahun 2005 oleh Dewan Pengupahan Daerah (DPD) tidak akan

mungkin sama dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), karena dikhawatirkan akan meningkatkan angka
pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja oleh perusahaan.

53
propinsi, seperti Propinsi Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jawa
Barat dan Propinsi Bangka Belitung masih menerapkan UMP 90% dari KHM39.
Berdasarkan kondisi tersebut, tampaknya sangat sulit jika ada keinginan
elemen gerakan buruh termasuk pemerintah yang ingin menetapkan UMP agar sesuai
dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Walaupun standar KHL sudah dicantumkan
dalam Undang-Undang Perburuhan No.13 Tahun 2003, khususnya pada Pasal 88 dan
Pasal 8912. Namun sampai saat ini walaupun secara formal UUK No.13 Tahun sudah
diberlakukan, belum ada langkah-langkah dari pemerintah untuk menuangkan
kebijakan ketenagakerjaan, khususnya tentang upah layak dalam bentuk peraturan
yang lebih aplikatif. Hal itu dibuktikan dengan keluarnya Surat Edaran Menakertrans
No. B.601/2004 tentang Penetapan UMP/UMK berdasarkan KHM. Keluarnya
peraturan tersebut jelas telah mengingkari UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun yang
secara eksplisit sudah mencantumkan kebutuhan hidup layak sebagai parameter upah
buruh40.
Pengingkaran dan penolakan dari pemerintah dan pengusaha tersebut menjadi
bukti bahwasannya nasib buruh atau pekerja di Indonesia memang dalam jangka
waktu cukup lama tidak akan mengalami perbaikan. Walaupun sudah terjadi
pergeseran kebijakan pengupahan sesuai dengan tuntutan pekerja, namun belum tidak
secara otomatis diterapkan. Kepentingan yang lebih besar, seperti penciptaan iklim
investasi yang kondusif, mengindari pemberhentian pekerja akibat beban ekonomi
yang ditimbulkan oleh biaya upah, maupun meningkatkan daya saing produk

39 Dikutip dari Direktorat Pengupahan, Jamsos dan Kesejahteraan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
12 dalam penjelasan UU No.13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu
memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan, minuman,
sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.
40 Dalam Harian Kompas tanggal 22 November 2004, keluarnya kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh

argumentasi dari pihak pengusaha yang menyatakan, kenaikan upah sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak
(KHL) akan meningkatkan angka pengangguran, sebab pengusaha secara terpaksa akan memberhentikan
pekerja akibat ketidakmampuan untuk menggaji pekerja, sehingga pengusaha lebih setuju jika kenaikan upah
hanya didasarkan oleh inflasi semata.

54
domestik masih menjadi prioritas dibandingkan kepentingan untuk mensejahterakan
buruh di Indonesia.

Sistem Pengupahan Di Masa Liberalisasi Ekonomi


Kondisi terbaru memperliatkan ada beberapa perubahan terhadap sistem
pengupahan. Mulai tahun 2004 sampai 2005 pemerintah tampaknya semakin gencar
mengeluarkan beberapa kebijakan pengupahan. Didukung oleh semangat otonomi
daerah dan implementasi liberalisasi ekonomi pemerintah melakukan regulasi
kebijakan perburuhan yang semakin memperkuat belenggu terhadap buruh.
Sangat disayangkan sebenarnya, ketika kondisi yang semakin sulit dihadapi
buruh ternyata dijawab dengan keluarnya beberapa kebijakan perburuhan yang tidak
berpihak. Di satu sisi, dalam pemahaman awam, kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah menyangkut persoalan pengupahan adalah wujud dari pendemokrasian
sistem pengupahan dan sistem politik nasional. Melalui keluarnya kebijakan tersebut
pemerintah beranggapan akan dianggap lebih demokratis di mata masyarakat,
khususnya terhadap buruh.
Tahun 2003 tampaknya menjadi awal petaka paling besar yang kemudian
berlanjut sampai saat ini. Liberalisasi ekonomi semakin serius ditanggapi oleh
pemerintah sehingga mau tidak mau merembet pada seluruh sistem yang
berhubungan dengan sistem ekonomi, salah satunya terhadap sistem pengupahan.
Keluarnya Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menjadi start awal
yang paling vulgar untuk diungkap. Kebijakan tersebut di satu sisi merupakan bentuk
akomodasi pemerintah terhadap keinginan berbagai pihak dalam pendemokratisan
sistem ketenagakerjaan. Namun buruh memandang kebijakan tersebut justru malah
memperlemah posisi tawar dan memposisikan buruh semakin tidak pasti.
Kebijakan paling baru adalah yang terkait dengan kebijakan pengupahan.
Setelah mengalami perubahan berkali-kali, pada tahun 2004 pemerintah
mengeluarkan Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan.
Melalui kebijakan ini pemerintah mempertegas fungsi Dewan Pengupahan sebagai

55
sebuah lembaga nonstruktural yang bersifat tripartit, dimana salah satu tugas
utamanya adalah memberikan saran, pertimbangan kepada pemerintah dalam rangka
perumusan dan penetapan upah minimum, baik itu di tingkat nasional, propinsi
maupun kabupaten/kota.
Kebijakan ini pada hakekatnya bersifat mempertegas kebijakan sebelumnya
tentang Dewan Pengupahan, karena beberapa pasal yang di muat telah
mencantumkan secara lebih jelas tentang peran, tugas, dan keberadaan dewan
pengupahan di tengah-tengah institusi ketenagakerjaan. Pada aturan tersebut
dijelaskan bahwasannya terdapat stratifikasi Dewan Pengupahan, dari tingkat
nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. Setiap level dewan pengupahan tersebut
memiliki kewenangan dan tugas yang disesuaikan dengan kewenangan yang
diberikan oleh pemerintahan pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
Keberadaan kebijakan dewan pengupahan tersebut kemudian disusul oleh
keluarnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 17 Tahun 2005
tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Keluarnya kebijakan tersebut sebenarnya cukup membantu proses perumusan upah
minimum, dimana beberapa standar upah minimum sudah jelas diatur. Kebijakan ini
juga menurut pemerintah sudah mengakomodir kepentingan elemen pergerakan
buruh yang selama ini berupaya meningkatkan standar pengupahan. Sebelum
kebijakan ini dikeluarkan oleh pemerintah, standar upah minimum masih
menggunakan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang merupakan perubahan dari
Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Tuntutan untuk meningkatkan upah buruh agar
sesuai dengan kondisi beban hidup buruh kemudian diakomodir oleh pemerintah
melalui keluarnya Keputusan Menteri tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Pada dasarnya kebijakan ini tidak merubah substansi proses perumusan dan
penetapan upah yang sebelumnya diberlakukan. Namun penekanan pada otonomi
daerah pada beberapa sisi sedikit merubah mekanisme kerja Dewan Pengupahan yang
ada di daerah maupun propinsi.

56

Realitas Sistem Pengupahan Dimata
Buruh


Hampir sama dengan kondisi buruh lainnya di Kota-kota besar di Indonesia,
kondisi perburuhan di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan tidak jauh berbeda
daerah-daerah lain yang sama-sama mengalami tekanan dalam berbagai bentuk, salah
satunya tekanan dalam sisi pengupahan. Hal itu diakibatkan oleh standar umum
kebijakan pengupahan dari pemerintah yang tidak pernah mempertimbangkan
kebutuhan dan produktivitas buruh yang sesungguhnya. Walaupun dalam beberapa
tahun terakhir regulasi kebijakan perburuhan telah memasukkan karakteristik lokal
(Kabupaten/Kota) dalam proses perumusan dan penetapan upah, namun realitas upah
yang berjalan masih sangat jauh dari kelayakan yang diharapkan oleh buruh.
Salah satu aspek yang menyebabkan rendahnya upah dan tidak sejahteranya
buruh adalah adanya beberapa kebijakan pengupahan yang sangat tidak adil dan tidak
berpihak terhadap buruh. Sejak proses kebijakan pengupahan dirubah –dari yang
ditentukan oleh Presiden berdasarkan masukan dari kepala daerah (Gubernur dan
Bupati) menjadi diputuskan oleh pemerintah setingkat kepala daerah- kebijakan
pengupahan tetap tidak membawa perbaikan pada kondisi upah buruh.
Ada banyak reduksi yang berlangsung ketika kebijakan pengupahan diserahkan
pada Gubernur dan Bupati. Walaupun sebenarnya pengalihan wewenang tersebut
adalah bertujuan untuk mengakomodir berbagai karakteristik daerah (yang
merupakan satu bentuk penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah No.22 Tahun

57
1999), namun pelaksanaannya di lapangan ternyata tetap tidak membawa perubahan
yang cukup berarti bagi buruh. Perubahan kebijakan tersebut masih sekedar
menggeser kewenangan birokrasi dari pemerintah pusat ke daerah (propinsi dan
kabupaten/kota) tanpa merubah substansi dari kebijakan tersebut. Konsep-konsep inti
kebijakan pengupahan yang dirasakan tidak adil ternyata tidak mengalami perubahan
sama sekali, sehingga membuat pergeseran kewenangan pengupahan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah tersebut sama sekali menjadi tidak bermanfaat dalam
meningkatkan kesejahteraan buruh, malah menciptakan potensi-potensi
penyelewengan dan pembodohan yang lebih besar terhadap buruh.
Pada banyak sisi, sistem pengupahan yang diberlakukan saat ini belum sesuai
dengan harapan buruh, demikian juga secara institusional, konsep dasar, mekanisme,
maupun pada level aplikasi, sistem pengupahan masih jauh dari dimensi keadilan,
demokrasi, dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal itulah yang menjadi salah satu landasan
dari penelitian yang lebih dalam tentang sistem pengupahan, khususnya bagi buruh
sektor industri di perkotaan.
Realitas ketidakadilan sistem pengupahan dan tidak berpihaknya kebijakan
perburuhan tersebut dapat dilihat dengan cara mendeskripsikan pengetahuan,
pemahaman, atau persepsi buruh tentang berbagai aspek dalam sistem dan kebijakan
pengupahan, institusi yang memiliki otoritas dalam perumusan dan penetapan upah,
baik itu tentang proses, peran dari institusi atau stakeholder, maupun harapan dan
keinginan buruh terkait dengan proses perumusan dan penetapan upah. Apa yang
ingin diungkapkan nantinya akan menggambarkan bagaimana sebenarnya realitas
(pemahaman, pengetahuan dan persepsi buruh) tentang kebijakan maupun proses
perumusan dan penetapan upah. Selama ini pemahaman buruh memang kurang
diperhatikan sebagai pertimbangan lembaga pengupahan. Padahal, kebijakan
pengupahan yang menindas ini sudah lama berlangsung, sehingga pastinya akan
membentuk pemahaman dan pengetahuan secara subjektif.
Selama ini, upaya pengkritisan sistem pengupahan cenderung dilakukan secara
sepihak, antara lain dari perspektif pemerintah, kalangan elemen masyarakat pro

58
demokrasi, tanpa melihat penilaian atas persepsi buruh sendiri. Bagaimanapun juga,
sikap buruh terhadap sistem pengupahan terbentuk berdasarkan realitas kehidupan
sehari-hari mereka. Buruh yang mengalami secara langsung minimnya upah,
sehingga pantaslah jika pandangan kritis buruh tersebutlah yang harus diangkat ke
permukaan jika berkeinginan merubah sistem pengupahan yang berlaku saat ini.

59


KEBIJAKAN PENGUPAHAN DI MATA BURUH


Ada 2 variabel tentang kebijakan pengupahan yang ingin di lihat dalam proses
survey ini.
1. Pengetahuan dan pemahaman buruh terhadap elemen yang terlibat dalam
perumusan kebijakan pengupahan (UMP dan UMSP)
2. Persepsi buruh tentang keterlibatan buruh dalam proses perumusan kebijakan
pengupahan

Pengetahuan dan pemahaman buruh terhadap elemen yang terlibat dalam perumusan
kebijakan pengupahan (UMP dan UMSP)

Pengetahuan dan pemahaman buruh terhadap elemen yang terlibat dalam proses
perumusan dan penetapan kebijakan UMP/UMSP sangat penting dalam
mempengaruhi penguasaan buruh tentang konsep upah secara umum. Tanpa
pengetahuan dan pemahaman yang cukup, buruh tidak akan mengerti haknya tentang
upah. Ketidakpahaman seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh pengusaha,
pemerintah, maupun stakeholder lain yang berperan dan punya kepentingan yang
sangat besar dalam proses perumusan maupun penetapan upah buruh.

Tabel Pengetahuan Responden Tentang Jumlah UMP 2003


yang Ditetapkan Pemerintah
Respon Jumlah %
Ya (tahu) 238 47,1
Tidak tahu 267 52,9
Total 505 100,0

Data pada tabel di atas layaknya seperti membuka kotak pandora kebijakan
buruh. Angka tersebut sekaligus menjadi fakta disebalik kebijakan pengupahan yang
sudah berlangsung selama bertahun-tahun tersebut tersembunyi fakta ketidakpahaman

60
buruh tentang upah. Buruh sendiri yang menjadi objek pemberlakuan kebijakan
pengupahan lebih banyak yang tidak mengetahui jumlah upah yang ditetapkan oleh
pemerintah. Sebahagian besar responden (52,9%) menyatakan tidak tahu jumlah
UMP pada tahun 2003. Bagi buruh yang menyatakan mengetahui, ternyata mereka
lebih banyak mengetahui informasi jumlah UMP dari Serikat Buruh, yakni sebanyak
128 orang (25,3%). Hal ini menunjukkan pemerintah sebagai regulator kebijakan
pengupahan tidak menjalankan fungsi yang sebenarnya. Seharusnya, pemerintah
sebagai pelaksana kebijakan harus lebih aktif dalam memberikan informasi tentang
UMP/UMSP setiap tahunnya. Tugas yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah
dalam melakukan sosialisasi ataupun memberikan informasi tentang upah buruh
hampir tidak dijalankan sama sekali. Hal itu dapat dilihat dari respon buruh yang
sangat minimal tentang peran pemerintah dalam mensosialisasikan upah. Hasil
tabulasi membuktikan hanya 13 (2,6%) responden buruh yang menyatakan
pemerintah pernah memberikan ataupun mensosialisasikan UMP/UMSP. Hal ini
membuktikan bahwasannya pemerintah (Gubernur) belum mampu secara efektif
melakukan sosialisasi terhadap sistem pengupahan yang sedang berlangsung,
termasuk komponen yang berperan dan institusi yang memiliki otoritas legal dalam
menetapkan jumlah UMP/UMSP.
Lemahnya sosialisasi tersebut tentunya membawa konsekuensi terhadap
kurangnya pemahaman buruh tentang sistem pengupahan yang diterapkan pada
mereka. Satu hal yang paling sederhana dipahami oleh buruh adalah, selama ini yang
paling bertanggungjawab terhadap rendahnya upah yang diterima oleh buruh adalah
pengusaha. Salah satu penyebab dari pemahaman ini adalah adanya anggapan dari
buruh bahwasannya pengusaha merupakan pihak terdepan sekaligus paling
bertanggungjawab yang bertugas mensosialisasikan ataupun menerapkan kebijakan
upah yang telah diputuskan oleh Gubernur.
Mengharapkan informasi kebijakan upah dari perusahaan pada saat ini
merupakan harapan yang sangat sulit untuk dipenuhi. Kebijakan upah minimum yang
pada setiap tahunnya diperbaharui terus-menerus, disembunyikan, bahkan di tunda

61
publikasinya oleh perusahaan untuk tidak diketahui oleh kalangan buruh. Perusahaan
dengan sengaja tidak memberitahukan kepada buruh tentang adanya kenaikan,
maupun jumlah kenaikan yang sudah diputuskan. Respon dari buruh memperlihatkan
bahwasannya informator yang lebih aktif dalam kebijakan upah setiap tahunnya
adalah dari Serikat Buruh. Serikat Buruh memiliki peran dan fungsi yang lebih jelas
sehingga buruh menjadi mengetahui dan mengerti kenaikan UMP/UMSP setiap
tahunnya.
Efektivitas peran serikat buruh/pekerja dalam mensosialisasikan informasi
tentang upah tersebut dapat dilihat dari beberapa media yang digunakan, antara lain
diskusi-diskusi informal di tingkat pabrik, penggunaan radio komunitas, buletin dan
selebaran dan media lainnya. Penggunaan media informasi tersebut cukup efektif bagi
beberapa serikat buruh/pekerja sehingga buruh dapat mengetahui informasi upah
minimum setiap tahunnya maupun sistem pengupahan yang diberlakukan pada
mereka.
Tabel Informasi yang diperoleh
Tentang jumlah UMP/UMSP
Sumber Informasi Jumlah %
Media massa 52 10,3
Pemerintah 13 2,6
Pengusaha 25 5,0
Teman sekerja 22 4,8
SB (Serikat Buruh) 128 25,3
Total 242 47,9
Tidak menjawab 263 52,1
505 100,0
Sumber: Hasil pengolaan data kuesioner
Jika dikaitkan dengan keanggotaan SB, maka sangat jelas bahwasannya
keanggotaan dalam SB sangat membantu buruh dalam mengerti dan mengetahui
jumlah UMP/UMSP yang ditetapkan oleh pemerintah. Buruh yang menjadi anggota
Serikat Buruh lebih banyak yang mengetahui informasi tentang jumlah UMP/UMSP
dari Serikat Buruh, dan bukan dari sumber informasi lainnya, seperti Media Massa,
Pengusaha, Pemerintah, teman sekerja, dan sumber informasi lainnya. Keikutsertaan
dalam SB menjadi media bagi buruh untuk mengetahui jumlah upah secara lebih
terperinci. Jika berdasarkan sumber informasi lain, seperti media massa, buruh hanya

62
mengetahui kenaikan jumlah UMP secara umum tanpa mengetahui jumlah upah per
sektor industri (UMSP).
Minimnya pemahaman buruh terhadap sistem pengupahan secara umum dan
upah minimum sektoral tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Untuk
memahami sistem pengupahan secara holistik dibutuhkan satu proses pendidikan dan
pelatihan yang sistematis sehingga materi-materi tentang sistem upah dapat secara
lengkap dipahami oleh buruh. Sedangkan untuk dapat menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan, dibutuhkan waktu, biaya dan material pendidikan yang minim dimiliki
oleh buruh maupun serikat buruh.
Setelah dilakukan uji statistik Kolomogorov Smirnov dapat disimpulkan
bahwasannya berbagai sumber informasi tentang UMP memang menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Artinya, berbagai sumber tersebut memang punya peran
yang berbeda terhadap pengetahuan buruh tentang UMP. Sumber informasi yang
berkontribusi terhadap pengetahuan buruh sangat tidak merata antara media masa,
pemerintah, pengusaha, teman sekerja dan serikat buruh.
Kondisi tersebut diperparah lagi ketika dikaitkan dengan pengetahuan
responden buruh tentang komponen atau lembaga yang terkait dengan perumusan
atau penentuan kebijakan UMP/UMSP. Dari total responden buruh, hanya 52 orang
atau 10,3% yang menyatakan mengetahui, sedangkan yang menyatakan tidak adalah
sebanyak 427 responden (84,6%). Hal itu menunjukkan, buruh memang sangat
terasing dengan pihak-pihak yang turut dalam mekanisme penentuan UMP/UMSP.
Responden sendiri sebahagian besar bukan hanya tidak mengetahui komponen yang
terlibat dalam penentuan upah, namun juga tidak mengetahui pihak yang berwenang
dalam penetapan UMP/UMSP. Walaupun sebahagian besar responden menjawab
bahwasannya pemerintahlah yang paling berwenang, namun yang menyebutkan
Gubernur secara eksplisit sangatlah minim. Ada sebahagian responden buruh yang
bahkan menyebut lembaga yang berwenang untuk menetapkan UMP/UMSP adalah
pengusaha, manajer, Depnaker, DPRD, dan Serikat Buruh seperti SPSI. Fakta
tersebut tentunya menggambarkan ketidaktahuan buruh tentang konsep proses
perumusan atau penetapan UMP/UMSP. Walaupun secara eksplisit setiap tahunnya
gubernur selalu mengeluarkan Surat Keputusan UMP/UMSP, namun hal itu tidak
membentuk pemahaman buruh tentang institusi yang bertugas menetapkan. Ada

63
kekacauan pemahaman di kalangan buruh, sebenarnya pihak atau lembaga mana yang
ikut melakukan proses perumusan dan penentuan jumlah UMP/UMSP dan institusi
atau lembaga mana yang berwenang menetapkan dalam bentuk keputusan tentang
jumlah upah yang akan diberlakukan dalam satu tahun di sebuah pemerintahan
propinsi.

64
Grafik Pengetahuan komponen/lembaga
yang termasuk dalam UMP/UMSP
500

427
400

300

200
J U M L A H

100

52
0 26
tahu Tidak tahu tidak menjaw ab

Sumber: Hasil Pengolahan data Kuesioner


Respon buruh tentang komponen yang terlibat dalam proses penentuan upah
buruh ternyata cukup memadai. Buruh memahami bahwasannya pemerintah,
pengusaha, serikat buruh, akademisi dan DPD terlibat secara formal dalam
menentukan upah buruh. Respon yang tergolong tinggi dari buruh adalah tentang
keterlibatan pengusaha. Sebanyak 397 orang buruh menjawab pengusaha menjadi
bagian dari komponen yang menetapkan UMP/UMSP. Namun buruh kurang
mengetahui tentang keterlibatan akademisi dalam proses tersebut. Buruh yang
menjawab akademisi menjadi bagian komponen penetapan upah hanyalah 140 orang,
sedangkan yang menjawab tidak adalah 152 orang, dan yang menjawab tidak tahu
sebanyak 177 orang. Respon terhadap akademisi ini adalah yang paling rendah dan
paling lemah dari keseluruhan. Dengan kata lain, buruh kurang memahami
bahwasannya elemen akademisi punya peran yang sangat besar dalam proses
penentuan jumlah UMP/UMSP.
Fakta di sebalik temuan ini adalah, buruh sebenarnya memiliki pemahaman
yang cukup tentang siapa yang terlibat dalam proses penetapan upah. Namun
pemahaman tersebut masih didominasi oleh pandangan bahwasannya pengusaha
adalah pihak yang paling berperan dalam penentuan upah. Disebalik itu sebenarnya

65
pihak lain juga memiliki tanggungjawab yang tidak kalah besarnya dengan
pengusaha, seperti akademisi, pemerintah, dan serikat buruh/pekerja.
Selain itu, sebahagian besar buruh juga beranggapan bahwasannya legislatif
juga memiliki peran dalam proses perumusan maupun penetapan upah.
Mencantumkan komponen legislatif dalam penelitian ini sebenarnya hanya ingin
melihat respon buruh terhadap institusi negara yang berperan terhadap pengupahan.
Besarnya buruh yang memilih DPRD sebagai pihak yang berwenang dalam
pengupahan menjadi indikasi bahwasannya buruh secara umum belum memahami
istitusi yang bertanggungjawab terhadap penentuan upah. Buruh memiliki
pemahaman bahwasannya sebagai wakil rakyar, DPRD punya wewenang terhadap
upah, padahal yang sebenarnya peran legislatif secara institusional tidak terlibat.
Dewan Perwakilan Rakyat memiliki wewenang yang berbeda dengan eksekutif,
dalam hal ini pemerintah. Walaupun legislatif memiliki peran dalam sistem
ketenagakerjaan, namun dalam perumusan upah hanya sebagai institusi yang dimintai
pendapat oleh pemerintah tanpa ada garansi untuk dilaksanakan.

66
Tabel Respon Buruh Tentang Komponen yang terlibat
dalam Penetapan UMP/UMSP
Komponen yang terlibat dalam Jawaban
penetapan UMP/UMSP Ya Tidak Tidak
tahu
Pemerintah 437 19 34
DPRD 330 72 85
Pengusaha 397 63 32
Serikat Buruh 376 58 54
DPD 246 56 178
Akademisi 140 152 177
Ket: Total Responden 505 orang dan sebahagian kecil responden ada yang
tidak menjawab sama sekali.
Sumber: Hasil pengolahan data Kuesioner

Seperti yang disebutkan oleh seorang mantan anggota DPD (Dewan Pengupahan
Daerah) yang berasal dari komponen Serikat Buruh (SB). Walaupun pemerintah
sudah memiliki tim ahli yang memiliki kualifikasi pendidikan tinggi dan dianggap
memiliki kapasitas penguasaan sistem upah yang cukup memadai, namun dalam
prakteknya tidaklah demikian. Banyak personal dari pihak pemerintah yang
ditugaskan untuk terlibat dalam DPD ternyata tidak menguasai masalah. Secara
teoritis dan praktek di lapangan, komponen yang berasal dari akademisilah yang lebih
banyak berperan dalam hal landasan teoritis dari upah. Mereka lebih punya landasan
berfikir yang lebih murni, sehingga dapat diterima oleh personal lainnya dalam
komponen DPD. Peran yang mereka tunjukkan dalam setiap proses diskusi bahkan
cenderung lebih dominan. Mereka memegang posisi yang sangat vital dalam institusi
DPD, dan hal inilah yang kurang dimengerti oleh buruh tentang besarnya peran
akademisi dalam proses perumusan kebijakan upah tersebut.

67

PERSEPSI TENTANG KETERLIBATAN BURUH DALAM PROSES PERUMUSAN
KEBIJAKAN PENGUPAHAN

Keterlibatan buruh dalam proses penetapan upah, atau perumusan kebijakan


pengupahan terlihat sangat minim. Minimalnya keterlibatan buruh yang telah
berlangsung pada masa pemertintahan rejim Soeharto tetap berlangsung sampai saat
ini. Ketika kebijakan pengupahan mengalami perubahan dari pola lama yang bersifat
sentralistis menjadi lebih terdesentralisasi, ternyata prinsip keterlibatan dan partisipasi
buruh ternyata masih jauh dari harapan. Aturan penyerahan kewenangan penetapan
jumlah upah kepada kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) tidak menjadikan
kebijakan pengupahan menjadi lebih berpihak kepada buruh. Malah yang terjadi
adalah sebaliknya. Penyerahan kewenangan dari Menteri Tenaga Kerja kepada kepala
daerah telah menciptakan kesewenangan baru. Gubernur dan Bupati/Walikota malah
telah menjadi rejim lokal yang tidak pernah menunjukkan niat baiknya untuk
meningkatkan keterlibatan buruh. Padahal, esensi dari aturan kewenangan tersebut
adalah mendekatkan proses perumusan kebijakan pengupahan dengan dengan buruh.
Diharapkan dengan memperbesar wewenang kepala daerah, maka kepentingan buruh
akan semakin cepat dan lebih besar terakomodir dalam penentuan jumlah upah.
Namun kenyataannya tidaklah demikian. Pertimbangan dan konsideran yang
dijadikan referensi penentuan jumlah upah tetap semakin jauh dari kepentingan dan
harapan buruh. Bahkan mungkin kondisinya lebih parah dari sebelumnya. Selain
memasukkan berbagai aspek ekonomi, politik dan keamanan secara nasional sebagai
dasar pertimbangan, acuan penentuan jumlah upah juga ditambah dengan aspek lokal,
seperti kondisi sosial, politik, demografis dan keamanan propinsi, Kabupaten/Kota.
Jika hal demikian yang berlangsung, maka tujuan penyerahan kewenangan tersebut
akan hilang sama sekali. Prinsip dasar pergeseran kewenangan tersebut tertutupi oleh
berbagai pertimbangan lain yang tidak berkorelasi langsung dengan kepentingan dan
harapan buruh.
Tentunya, harapan buruh untuk dilibatkan dalam proses perumusan dan
penetapan jumlah upah sangatlah besar. Keinginan buruh untuk turut serta dalam
proses perumusan kebijakan maupun penetapan jumlah UMP/UMPS sangatlah tinggi,
sehingga harus diakomodir. Melalui tabel di bawah terlihat bahwa harapan buruh
tersebut sama sekali belum sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan buruh.
Grafik Buruh Perlu Dilibatkan
Dalam Proses Penetapan UMP/UMSP

68
500

450

400 425

350

300

250

200

150
JUML A H

100

50
44 36
0
ya tidak tidak menjaw ab

Sebanyak 84,2% responden buruh menyakan komponen buruh harus dilibatkan


dalam proses penetapan UM/UMSP, sedangkan yang menyatakan “tidak” hanya 44
orang (8,7%) dari total responden. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh
buruh yang menyetujui keterlibatan buruh tersebut.
Tabel Alasan Jawaban Perlunya Buruh Dilibatkan
Dalam Proses Penetapan UMP/UMSP
No Alasan
1. Agar buruh bisa memberikan masukan
2. Agar buruh juga tahu tentang pengupahan
3. Agar buruh tahu berapa kenaikan upah
4. Agar buruh tahu bagaimana prosesnya
5. Agar buruh tahu UU ketenaga kerjaan
6. Agar pemerintah tahu kebutuhan buruh
7. Agar pemerintah tidak sewenang-wenang
8. Agar pengusaha tahu keluhan pekerja
9. Agar tahu sistem pengupahan
10. Agar tidak melenceng dari yang ada
11. Agar upahnya sesuai dengan kebutuhan
12. Agar mereka mengetahui kondisi buruh
13. Belum cocok
14. Biar buruh bisa memprotes dan menyetujui segala keputusan
15. Biar kebijakan bisa adil
16. Buruh yang merasakan kalau ujpah yang diterimanya tidak cukup
17. Buruh punya hak untuk berbicara mengenai nasibnya

69
18. Buruh yang lebih mengetahui berapa kebutuhan hidupnya dalam sebulan
19. Buruh yang mengalami akibat dari UMP/UMSP yang rendah
20. Buruh yang mengalami akibat dari upah yang rendah
21. Karena ada kerjasama buruh dengan pengusaha sehingga buruh perlu diminta
pendapat mengenai upah
22. Karena buruh ingin lebih sejahtera
23. Karena selama gaji tidak mencukupi
24. Kepentingan buruh perlu diperjuangkan
25. Nasib buruh yang paling memprihatinkan
26. Sebagai buruh berhak menentukan gaji sendiri sesuai dengan pekerjaan
27. Sebagai karyawan ya harus ikut dilibatkan penentuan upah, biar tahu dan
tidak ditipu
28. Selama ini buruh yang memberikan tenaga, maka buruh yang dapat mengukur
kebutuhan yang diperlukan
29. Supaya seimbang antara keinginan pengusaha dan buruh
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner
Secara umum ada 29 alasan yang dikemukakan buruh tentang keterlibatan
buruh dalam proses penetapan upah. Ada 4 alasan yang patut dicermati lebih dalam.
Misalnya saja tentang alasan agar tidak melenceng dari yang ada. Alasan seperti ini
tentunya punya dasar tersendiri dan riil dialami oleh buruh. Buruh melihat, proses
penentuan kebijakan pengupahan (khususnya penetapan UMP/UMSP) selama ini
dianggap melenceng atau tidak sesuai dengan mekanisme yang sebenarnya.
Akhirnya, ketika proses atau mekanisme tersebut melenceng, maka kebijakan yang
dihasilkan tentunya bukanlah kebijakan yang adil dan diharapkan bagi buruh. Ada
beberapa level proses perumusan dan penetapan jumlah upah yang dianggap buruh
sudah tidak sesuai lagi dengan aturan yang dalam undang-undang.
1. Pada level penentuan komponen personal dan institusi yang terlibat dalam
DPD
2. Pada level investifasi atau riset jumlah harga kebutuhan pasar
3. Proses diskusi penetapan jumlah oleh DPD
4. Referensi atau dasar pertimbangan penentuan jumlah upah
5. Proses sosialisasi dan penetapan jumlah upah secara resmi oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota

Buruh menganggap, pelencengan penerapan kebijakan pengupahan telah


berlangsung pada tiap tahapan tersebut. Apalagi jika diketahui selama ini

70
bahwasannya posisi buruh selalu lemah dan dianggap lemah ketika berhadapan
dengan kemampuan dan kapabilitas komponen DPD lainnya, seperti akademisi,
asosiasi pengusaha dan pemerintah. Buruh sendiri mengakui bahwasannya terdapat
keterbatasan kemampuan buruh –khususnya dalam memahami upah secara teoritis
maupun dalam kaitannya dengan sistem ekonomi secara makro. Keterbatasan
kemampuan buruh tersebutlah yang sering dimanfaatkan oleh komponen lainnya
sehingga suara dan kepetingan buruh kurang terakomodir dalam proses perumusan
jumlah UMP/UMSP. Konsekuensi dari lemahnya kapabilitas dan posisi buruh
tersebut tentunya sangat besar mempengaruhi posisi tawar, sehingga dalam beberapa
tahun, kenaikan upah yang diharapkan oleh buruh tidak pernah terrealisasi. Walaupun
prinsip keterwakilan berimbang sudah diterapkan dalam institusi perumus
pengupahan, namun secara kualitas posisi buruh masihlah sangat lemah, sehingga
sering dikalahkan oleh kepentingan yang lebih besar dari komponen pengusaha dan
pemerintah.
Buruh juga melihat bahwasannya proses penentuan kebijakan pengupahan yang
berlangsung selama ini mengandung unsur penipuan (alasan no 27). Untuk itu, buruh
beranggapan, agar tidak terjadi proses penipuan, maka buruh harus dilibatkan. Alasan
yang terakhir, ternyata buruh menginginkan adanya keseimbangan suara dalam
proses penentuan upah. Satu hal yang pasti dari alasan seperti ini adalah, buruh
menganggap elemen yang selama ini terlibat dalam proses kebijakan pengupahan
tidak berlaku adil. Buruh menganggap proses yang berlangsung selama ini tidak
benar-benar melihat kebutuhan buruh sehari-hari, sehingga jumlah upah yang
ditetapkan selalu jauh berada dibawah kebutuhan buruh.
Selain mengharapkan perlunya keterlibatan buruh dalam proses penetapan upah
dan kebijakan pengupahan, terdapat juga jawaban yang sebaliknya, yakni tidak
mengharapkan buruh untuk ikut dalam proses tersebut. Ada beberapa alasan yang
dikemukakan buruh tentang itu.
1. Buruh hanya bekerja, organisasi lain yang menentukan
2. Karena pekerja tidak tidak mungkin menetapkan upah

71
3. Karena tidak mau digugat
4. Namanya saja pekerja, kalau upahnya naik syukur, kalau tidak tidak apa-
apa
5. Sebagai seorang yang bekerja itu bukanlah tugas kita atau hak kita
netapan kebijakan UMP/UMSP
6. Tidak ada gunanya
7. Tidak ingin terlibat karena rumit
8. Yang mengurus biar saja pemerintah dan pengusaha

Berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh buruh tersebut, ada beberapa hal
yang bisa dijadikan kesimpulan. Pertama, buruh melihat bahwasannya proses
penentuan kebijakan pengupahan bukanlah kompetensi buruh. Selain karena
dianggap sangat rumit, buruh juga menganggap bukanlah tugas buruh untuk
mempengaruhi proses penentuan upah. Upah dalam aras kebijakan tidak menjadi
bagian tugas buruh, untuk itu harus diserahkan saja kepada pemerintah dan
pengusaha yang dianggap lebih mengerti. Pernyataan seperti ini sebenarnya dapat
dipahami dalam dua artian. Pertama, terdapat buruh yang memang merasa
bahwasannya buruh memang tidak pantas untuk dilibatkan dalam proses perumusan
dan penetapan upah. Buruh merasa sadar bahwasannya kemampuan yang mereka
miliki tidak adakan mampu membahas hal-hal diluar pekerjaan, untuk itu harus
diserahkan kepada pihak lain yang dianggap lebih mengerti, seperti pemerintah dan
pengusaha. Dengan kata lain, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa buruh merasa
kurang percaya diri dan tidak akan bisa memahami hal-hal di luar kerja rutin yang
mereka lakukan di pabrik. Kedua, pernyataan tersebut memiliki arti bahwasannya
buruh merasa skeptis dan pesimis terhadap proses perumusan dan penetapan upah
yang berlangsung saat ini yang sama sekali tidak pernah berpihak pada kepentingan
buruh. Dengan kata lain, buruh sudah merasa bosan dengan kegagalan dan
ketidakmampuan elemen buruh dalam mempengeruhi proses tersebut. Alasan seperti
inilah yang sebenarnya lebih mendominasi keengganan buruh untuk terlibat dalam
perumusan pengupahan. Berbagai upaya yang sudah dilakukan oleh elemen buruh

72
untuk mempengaruhi tidak pernah terakomodir secara lebih proporsional, sehingga
memunculkan rasa tidak percaya bagi buruh.
Salah satu elemen yang dalam aturan proses penetapan upah adalah Serikat
Buruh (SB). Tanggapan buruh tentang keterlibatan Serikat Buruh menunjukkan
kondisi yang cukup positif. Positif dalam artian tingginya keinginan buruh untuk
terlibat dalam proses perumusan dan penetapan UMP/UMSP.

Tabel Serikat Buruh (SB) perlu dilibatkan pada proses penetapan


kebijakan UMP/UMSP
Jumlah %
Ya 415 82,2
Tidak 44 8,7
Tidak menjawab 46 9,1
Total 505 100,0
Sumber: Hasil pengolahan data Kuesioner
Tabel di atas memperlihatkan bahwasannya keinginan buruh agar Serikat Buruh
(SB) agar dilibatkan dalam proses penetapan upah sangatlah tinggi, yakni mencapai
415 orang (82,2%), sedangkan yang menyatakan tidak menyetujui adalah sebanyak
44 orang (8,7%) dari total responden buruh. Walaupun demikian (walau hanya
sebahagian kecil), terdapat buruh yang tidak menyetujui keterlibatan buruh dalam
proses penetapan upah. Buruh yang menjawab tidak perlu dilibatkan memiliki 2 (dua)
alasan utama. Pertama, buruh tersebut tidak pernah menjadi dan memahami manfaat
dari Serikat Buruh. Kedua, buruh tersebut tidak menemui ada organisasi buruh yang
dapat dimasuki. Namun ada juga buruh yang tetap beranggapan bahwa urusan
penetapan upah bukanlah menjadi tugas buruh, namun menjadi wewenang
pemerintah dan elemen lain yang dianggap lebih memahami proses dan mekanisme
perumusan dan penetapan upah.
Jika dilihat penyebaran dari respon buruh terhadap tidak perlunya buruh
dilibatkan dalam proses perumusan dan penetapan UMP/UMSP, terlihat
bahwasannya pernyataan tersebut tidaklah tergantung pada keanggotaan dalam
Serikat Buruh. Bukan hanya buruh yang tidak menjadi anggota salah satu SB yang

73
memiliki persepsi negatif tentang hal tersebut, namun juga bagi buruh yang sudah
menjadi anggota SB. Hal itu membuktikan bahwasannya keterlibatan keterlibatan
dalam SB tidak menjadi penentu pandangan optimisme tentang peran buruh dalam
proses perumusan dan penetapan UMP/UMSP.
Bagi buruh yang menganggap keterlibatan Serikat Buruh diperlukan dalam
proses penetapan upah, ada beberapa tahapan keterlibatan yang harus diintervensi
oleh Serikat Buruh (SB).
Tabel Respon Buruh dalam Tiap Tahapan Proses
Penetapan UMP/UMSP
Tahapan Proses penetapan Jawaban
UMP/UMSP Ya Tidak
Tahapan perencanaan 395 22
Tahapan pengumpulan data 371 76
Tahapan perumusan 366 28
Tahapan Penetapan 367 35
Tahapan Sosialisasi 365 28
Ket: Total Responden 505 orang dan sebahagian kecil responden ada
yang tidak menjawab sama sekali.
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner
Tabel di atas memperlihatkan tingginya keinginan buruh agar SB terlibat dalam
setiap tahapan penetapan upah sangatlah tinggi. Jika didasarkan pada respon
responden buruh tentang sudah tepatnya proses penetapan UMP/UMSP, maka
menjadi masuk akal keinginan buruh untuk diikutsertakan dalam setiap proses
penetapan upah.
Jika dikaitkan respon buruh tersebut terhadap keanggotaan SB, maka dapat
dilihat bahwasannya asumsi terdapatnya pengaruh antara keterlibatan buruh dalam
SB mempengaruhi respon perlunya buruh dilibatkan dalam proses perumusan dan
penetapan upah adalah benar. Hal itu dapat dlihat dari besarnya responden yang
menjadi anggota SB yang menyatakan perlunya SB dilibatkan dalam proses
perumusan dan penetapan UMP/UMSP. Hal itu bisa dipahami dikarenakan buruh

74
yang telah ikut serikat buruh memiliki pemahaman pemahaman lebih dari buruh yang
tidak ikut dalam SB dalam hal manfaat dan fungsi dari organisasi.

Tabel Respon Buruh Tentang Perlunya Dilibatkan dalam Proses Perumusan dan
Penetapan Kebijakan UMP/UMSP Berdasarkan Keanggotaan SB
Keanggotaan SB Serikat buruh perlu T
(serikat buruh) dilibatkan pada proses otal
penetapan kebijakan
UMP/UMSP
Ya Tidak Tdk
menjawab
SPSI 128 13 6 148
SBSI 25 2 2 29
PPMI 1 2 3
SBMI 167 4 14 185
Lainnya 18 1 - 19
Bukan anggota SB 50 20 25 95
tidak ada SB di 4 1 8 13
Perusahaan
Total 393 41 57 492
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Sebagai wadah penyalur kepentingan dan harapan buruh, keberadaan serikat


buruh menjadi penting ketika secara individual, maupun dalam kelompok kecil upaya
tuntutan kenaikan upah dan berbagai tuntutan hak normatif lainnya sulit untuk
dicapai. Buruh yang sudah tergabung dengan serikat buruh dapat memahami
bahwasannya tuntutan yang disalurkan melalui serikat buruh akan membawa hasil
yang lebih baik dibandingkan jika melakukan tuntutan secara individual. Khususnya
bagi buruh yang tergabung dalam SPSI, mereka tidak membedakan pada tahapan
mana prioritas keterlibatan SB harus lebih besar. Walaupun ada perbedaan jumlah
responden yang menjawab namun secara statistikal, perbedaan tersebut tidak besar,
sehingga dapat disimpulkan bahwasannya anggota SPSI menginginkan peran serikat
buruh pada setiap level proses perumusan dan penetapan jumlah upah. Demikian juga
dengan responden buruh yang berasal dari SBSI dan SBMI memiliki harapan yang

75
besar jika SB dilibatkan dalam setiap tahapan proses perumusan dan penetapan
UMP/UMSP. Harapan dan kepentingan buruh tersebut cukup beralasan jika dikaitkan
dengan respon buruh tentang sudah tepat atau tidaknya proses perumusan dan
penetapan UMP/UMSP yang dijalankan oleh institusi yang berwenang dalam
kebijakan pengupahan di daerah.

Tabel Proses Penetapan UMP/UMSP Sudah Tepat


Cumulative
Respon Jumlah %
%
Valid 2 0,4 0,4
Ya 85 16,8 17,2
Tidak 251 49,7 66,9
Tidak tahu 157 31,1 98,0
tidak 10 2,0 100,0
menjawab
Total 505 100,0
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner
Selama ini buruh merasa tidak puas dengan hasil proses penetapan upah yang
sudah dijalankan oleh pemerintah. Walaupun elemen serikat buruh (dalam hal ini
SPSI dan SBSI) sudah dilibatkan, namun tetap saja buruh merasa hasilnya kurang
memuaskan kepentingan dan harapan buruh. Ada beberapa alasan yang dikemukakan
oleh buruh yang menjawab proses penetapan upah belum tepat, antara lain adalah;

1. Adanya keberpihakan yang tidak menguntungkan buruh


2. Tidak adanya kompromi terhadap buruh tentang proses perumusan dan
penetapan upah
3. Keterwakilan buruh di DPD yang hanya diwakilkan buruh hanya
diwakilkan segelintir orang
4. Tidak validnya pengumpulan data dan proses survey pada lapisan paling
bawah
5. Adanya tindakan KKN dalam proses perumusan dan penetapan upah
6. Masih jauhnya jumlah upah yang ditetapkan dibandingkan dengan
kebutuhan buruh untuk hidup layak.
7. Masih kecilnya pelibatan buruh dibandingkan peran yang dijalankan
oleh pemerintah dan pengusaha.

76
Sebahagian besar buruh yang berpendapat kurangtepatnya proses penetapan
upah adalah yang terlibat dalam Serikat Buruh. Hal ini menjadi satu kesimpulan
bahwasannya menjadi anggota dalam serikat buruh dapat membantu memahami dan
meningkatkan kekritisan buruh tentang kebijakan upah. Sebahagian besar responden
buruh yang terlibat dalam serikat buruh menyatakan ketidakpuasannya terhadap
proses perumusan dan penetapan UMP/UMSP yang berlangsung selama ini. Namun
ada pengecualian untuk buruh yang berasal dari SPSI. Jika sebahagian besar buruh
dari SBMI dan SBSI lebih banyak yang menyatakan ketidakpuasannya, ternyata
setengah responden buruh dari SPSI menyatakan proses perumusan dan penetapan
jumlah UMP/UMSP sudah tepat. Jika ditelusuri lebih jauh, ada satu hal yang
diasumsikan menjadi penyebab respon tersebut. Salah satunya adalah keterlibatan
komponen SPSI yang sebenarnya sudah cukup besar dalam institusi DPD. Selama
institusi DPD berdiri keterlibatan SPSI memang sudah sangat besar. Sebagai sebuah
organisasi pekerja/buruh yang didirikan oleh pemerintah, SPSI mengklaim sebagai
serikat pekerja/buruh yang memiliki anggota terbesar, sehingga keterlibatan dalam
proses perumusan dan penetapan kebijakan upah harus lebih besar dibandingkan
dengan serikat buruh lainnya. Diakibatkan oleh besarnya keterlibatan itulah yang
menyebabkan respon buruh SPSI terhadap proses perumusan dan penetapan upah
menjadi lebih positif dibandingkan dengan serikat buruh lainnya.

77


KONDISI TEMPAT TINGGAL BURUH


Data tempat tinggal buruh adalah berisi tentang realitas kondisi tempat tinggal
sehari-hari buruh. Pada umumnya tempat tinggal buruh masih sangat jauh dari
kondisi ideal. Parameter utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah parameter
fisik, karena dengan demikian akan terlihat bagaimana nantinya dengan upah dan
pendapatan yang ada buruh dapat memenuhi kebutuhan dasar tempat tinggalnya.
Melalui realitas kondisi tempat tinggal tersebut dapat digambarkan bagaimana
sebenarnya upah yang diterima buruh selama bekerja dapat memenuhi kebutuhan
untuk membangun dan membiayai tempat tinggal. Penggambaran tersebut akan lebih
jelas melihat bagaimana kesejahteraan buruh dari sisi tempat tinggalnya, selain
berdasarkan pemenuhan kebutuhan pokok semata.
Tempat tinggal buruh berdasarkan kepemilikan rumah dapat dilihat pada tabel
berikut ini. Pada tabel ini, pada umumnya buruh tinggal di ruang kost, yakni
mencapai 30,3%, sedangkan yang sudah memiliki rumah sendiri sebanyak 140 orang
(27,7%) dan yang mengontrak rumah adalah juga sebanyak 140 orang. Jumlah buruh
yang masih tinggal di rumah orang tua tidak terlalu banyak, yakni 12,3%, sedangkan
yang tinggal di tempat-tempat yang disediakan perusahaan hanya 6 orang.

Tabel Status kepemilikan rumah yang ditempati


Status Jumlah %
rumah sendiri 140 27,7
Kontrak 140 27,7
Kost 153 30,3
Menumpang orang 62 12,3
tua
Disediakan 6 1,2
perusahaan
lain-lain 4 0,8
Total 505 100,0

78
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner
Besarnya jumlah buruh yang memiliki rumah sendiri tersebut tentunya
merupakan satu hal yang luarbiasa. Namun jika dilihat sumber kepemilikan rumah
tersebut, ternyata sebahagian besar adalah warisan dari orang tua. Hal itu
menunjukkan, bahwasanya bukanlah kemampuan buruh yang berasal dari upah-lah
yang mendorong kemampuan buruh. Dari angka 140 orang (27,7%) dari total
responden buruh tersebut, ternyata 58 orang mendapatkannya dari warisan orang tua,
sedangkan 53 orang dibangun sendiri, 7 orang mendapatkan rumah dengan cara
mencicil, dan 2 orang mendapatkannya dari perusahaan.

Tabel Cara Mendapatkan Rumah Milik Sendiri


Jumlah % Valid Cumulative
Percent Percent
385 76,2 76,2 76,2
Warisan 58 11,5 11,5 87,7
cicilan/kredit 7 1,4 1,4 89,1
dibangun sendiri 53 10,5 10,5 99,6
diberi oleh 2 0,4 04 100,0
perusahaan
Total 505 100,0 100,0
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner
Tetap saja angka tersebut dianggap belum menunjukkan kondisi buruh yang
sebenarnya. Dari sisi kondisi tempat tinggal, biasanya buruh tinggal di sekitar
kawasan industri yang sudah lebih baik kondisi permukimannya. Jadi, walaupun
fasilitas kamar, WC, air dan listrik sudah tersedia, namun itu bukan fasilitas tersendiri
yang diperoleh dari kemampuan upah buruh. Pada umumnya buruh tinggal di ruang
kost secara bersama-sama oleh beberapa orang sekaligus (3-4 orang untuk satu
kamar). Dari data yang diperoleh, ukuran kamar buruh sudah cukup memadai. Dari
seluruh 470 buruh yang mengisi jawaban ukuran kamar tidur, 187 orang tinggal di
kamar berukuran 3x 3 meter, sedangkan yang lainnya sebanyak 96 orang tinggal di
kamar berukuran 3x4.

79
Sudah dibuktikan bahwasannya kepemilikan sendiri tempat tinggal tidak
menjadi indikasi dari kemampuan buruh. Sebahagian besar memperolehnya dari
warisan. Fakta seperti itu juga semakin jelas berdasarkan hasil pengujian antara masa
kerja dan status kepemilikan rumah. Hasil korelasi menunjukkan negatif. Artinya,
hubungan antara masa kerja bersifat terbalik terhadap status kepemilikan rumah.
Semakin panjang masa kerja seorang buruh, maka kecenderungan untuk lebih layak
dalam hal tempat tinggal semakin rendah. Buruh yang sudah lama bekerja, belum
tentu akan semakin baik status kepemilikan tempat tinggal. Bahkan kecenderungan
yang muncul adalah, semakin lama buruh bekerja, semakin kurang baik atau kurang
mapanlah kepemilikan buruh atas tempat tinggal.
Kecenderungan negatif antara masa kerja dengan status kepemilikan tempat
tinggal juga terbukti jika didasarkan pada usia. Seperti yang disebutkan sebelumnya,
usia berkorelasi dengan masa kerja. Semakin tua usia buruh, maka semakin panjang
jugalah masa kerja yang dijalani. Hasil pengujian membuktikan, semakin tua usia
buruh, maka buruh cenderung tidak mapan dalam hal kepemilikan tempat tinggal. Hal
ini tentunya menunjukkan adanya kecenderungan yang negatif, berlawanan dengan
beberapa prinsip beberapa komponen upah dimana masa kerja menjadi salah satu
pertimbangan meningkatnya jumlah upah.
Semakin lama buruh bekerja di sebuah perusahaan, ternyata tidak menjamin
buruh untuk lebih sejahtera. Salah satu ukurannya kesejahteraan tersebut adalah
kepemilikan tempat tinggal sendiri. Buruh yang sudah bekerja puluhan tahun ternyata
tidak berhubungan dengan kemandirian kepemilikan rumah. Sebahagian buruh yang
sudah berusia tua malah tidak lebih mandiri dan mapan dibandingkan dengan buruh
yang masih tergolong dewasa dan muda. Namun dari sejumlah buruh golongan usia
muda dan dewasa, sebahagian besar memperolehnya dari hasil warisan keluarga,
sedangkan yang mendapatkannya dari cicilan/kredit, membangun sendiri, dan diberi
perusahaan sangat sedikit. Hal ini membuktikan bahwasannya kemampuan buruh,
baik yang dalam golongan usia muda, dewasa dan tua tidaklah murni.

80
81
Tabel Tabulasi Silang Antara Golongan Umur
dengan Cara Mendapatkan Rumah Sendiri
Golongan umur Tot
Dewasa muda Tua al
Cara Warisan 32 44 2 78
mendapatkan cicilan/kredit 7 7 1 15
rumah milik dibangun sendiri 27 9 15 51
sendiri diberi oleh - 1 1
perusahaan
Total 66 61 18 145
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner
Dalam proses perumusan jumlah UMP/UMSP, salah satu item yang dijadikan
landasan oleh komponen DPD dalam menentukan jumlah upah yang akan
diberlakukan dalam satu tahun adalah pengeluaran sewa rumah dalam satu bulan.
Ukuran seperti itu tentunya sama sekali tidak memperhitungkan dari sisi luas, kualitas
maupun lokasi dari rumah tinggal ataupun ruang kost yang ditempati. Dengan kata
lain, ukuran yang digunakan oleh pemeritah dalam menetapkan jumlah upah sama
sekali tidak menggunakan standar khusus yang lebih spesifik tentang kualitas, luasan,
bentuk, maupun hal-hal lain yang lebih layak bagi tempat tinggal buruh.
Berdasarkan hubungan antara usia dan masa kerja dengan status kepemilikan
tempat tinggal dapat dilihat bahwasannya point sewa rumah yang terdapat dalam
komponen upah tidaklah mampu memberdayakan buruh untuk mampu membeli,
maupun mencicil rumah. Jika memang komponen sewa rumah tersebut selama ini
diterapkan, dari sisi jumlah jelas sangat tidak memungkinkan buruh untuk memiliki
rumah sendiri. Upah yang diberikan selama ini hanya cukup untuk membiayai sewa
rumah dengan kondisi yang seadanya. Buruh yang sudah bekerja dalam waktu yang
cukup lama tentunya punya kemampuan lebih dibandingkan buruh yang baru satu
atau 4 tahun bekerja di perusahaan. Tapi kenyataannya sama sekali tidak
memungkinkan bagi buruh untuk menyisihkan upah yang diterima untuk menyimpan
sejumlah uang bagi persiapan membangun atau mencicil pembelian rumah.

82
Sebahagian besar buruh (50,1%) menyatakan kurang dan 28,3% menyatakan upah
tidak cukup untuk ditabung (lihat lampiran).
Antara buruh yang bekerja kurang dari 1 tahun, antara 1 sampai 4 tahun dan
lebih dari 4 tahun

83


PERSEPSI BURUH TENTANG UPAH


Konsepsi persepsi berkaitan dengan berbagai aspek kognitif maupun afektif dari
buruh. Pengetahuan, pemahaman, pengalaman buruh tentang upah merupakan aspek
kognitif. Artinya, yang lebih banyak mempengaruhi adalah perhitungan secara
rasional tentang bagaimana upah yang diterima buruh dapat memenuhi beberapa
kebutuhan. Sedangkan aspek afektif adalah yang terkait dengan sisi emosional buruh
tentang bagaimana kecukupan upah bagi kehidupan buruh. Namun tidaklah mungkin
untuk menyajikan respon tersebut secara terpisah, karena dalam membentuk persepsi,
dua aspek tersebut saling pengaruh-mempengaruhi sehingga memunculkan suatu
pandangan tentang upah.
Terdapat 6 item yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat persepsi
buruh tentang upah dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup.

Upah dapat memenuhi kebutuhan makan keluarga/bulan


Berdasarkan upah yang diterima buruh, sebahagian besar buruh menyatakan
bahwasannya upah yang diterima sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan makan
keluarga dalam satu bulan.
Tabel Persepsi Upah
dalam Memenuhi Kebutuhan Makan Keluarga
Jumlah %
Lebih 5 1,0
Cukup 342 67,7
Kurang 152 30,1
sangat kurang 6 1,2
Total 505 100,0
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner
Jika respon di atas dikorelasikan dengan kategori upah yang diterima oleh buruh,
maka dapat dilihat bahwasannya buruh yang sebahagian besar menyatakan upah

84
cukup memenuhi kebutukan makan keluarga adalah yang menerima upah sesuai
dengan UMP yang diberlakukan pada tahun 2003. Namun juga tidak dipungkiri
terdapat juga responden buruh yang masuk dalam kategori upah di bawah UMP,
namun menyatakan upah yang diterima sudah cukup memenuhi kebutuhan makan.

Tabel Persepsi Pemenuhan Kebutuhan Makan


Berdasarkan Kategori Upah
Upah dapat memenuhi kebutuhan
kategori
makan keluarga/bulan (persepsi Total
upah
tentang upah)
lebih cukup kurang sangat
kurang
<UMP 38 19 57
UMP 5 299 132 6 442
layak 5 1 6
5 342 152 6 505
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner
Dengan kata lain, untuk kebutuhan dasar, 67,7% dari total responden menyatakan
cukup. Hanya sebahagian kecil saja, yakni 1% yang menyatakan lebih. Namun dari
data tersebut dapat dilihat bahwa tidaklah sedikit buruh yang menyatakan upah yang
diterima kurang memenuhi kebutuhan makan keluarga dalam satu bulan.

Upah dapat memenuhi kebutuhan pakaian keluarga/bulan


Ketika upah yang diterima dipertanyakan kecukupannya untuk memenuhi
kebutuhan lainnya, yakni kebutuhan pakaian, terlihat sudah semakin sedikit yang
menyatakan upah sudah mencukupi.

Tabel Persepsi Upah


Dalam Memenuhi Kebutuhan Pakaian Keluarga
Jumlah %
lebih 2 0,4
cukup 191 37,8
kurang 299 59,2
sangat kurang 13 2,6
Total 505 100,0
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

85
Dari total responden, hanya 191 orang yang menyatakan cukup, sedangkan lebih dari
setengah (59,2%) buruh menyatakan kurang, dan 13 orang menyatakan sangat
kurang. Hal ini menunjukkan, upah yang diterima buruh sudah semakin sedikit
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan sandang. Semakin kebutuhan bergeser
ke arah diluar sekedar kebutuhan makan, maka terlihat kemampuan buruh semakin
rendah. Memang untuk mengukur respon buruh tersebut akan sangat sulit. Namun
respon buruh tersebut menunjukkan bahwasannya kemampuan buruh untuk
memenuhi kebutuhan pakaian keluarga menjadi semakin lemah. Memang terdapat
juga sejumlah buruh yang menyatakan upah sudah mencukupi dalam memenuhi
kebutuhan untuk membeli pakaian. Namun jika dijabarkan lebih dalam arti dari
cukup tersebut sebenarnya sungguh jauh dari mampu. Alokasi uang yang
dibelanjakan oleh buruh untuk membeli pakaian masih terlalu kecil dibandingkan
harga pakaian dan sandang lainnya yang semakin lama harganya semakin tinggi.
Dibandingkan dengan prioritas kebutuhan lainnya, kebutuhan untuk membeli pakaian
ditempatkan pada posisi belakangan, sebab masih banyak kebutuhan lain dari buruh
yang sangat mendesak.
Respon buruh tentang pemenuhan kebutuhan pakaian tersebut tidak terlalu
berbeda antara buruh perempuan dan laki-laki. Walaupun sedikit ada perbedaan
dimana respon buruh laki-laki lebih baik daripada perempuan, hal itu dilandasi oleh
kebutuhan buruh laki-laki akan pakaian yang sedikit lebih sederhana dibandingkan
buruh perempuan. Buruh laki-laki hanya membutuhkan beberapa potong kemeja dan
celana panjang dalam satu tahun, sedangkan kebutuhan buruh perempuan lebih rumit
dari itu. Buruh perempuan tidak sekedar membutuhkan pakaian penutup tubuh
semata, namun juga harus mempertimbangkan aspek estetika dan kecantikan yang
harus dipenuhi dalam memenuhi kebutuhan akan pakaian.

Tabel Upah Dapat Memenuhi Kebutuhan Pakaian Keluarga/bulan


Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Kawin

86
Upah dapat memenuhi
Status kebutuhan pakaian
Jenis kelamin Total
kawin keluarga/bulan (persepsi
tentang upah)
laki-laki perempuan
Lebih - 1 1
Cukup 53 25 78
kawin Kurang 97 52 149
sangat kurang 5 - 5
Total 155 78 233
Lebih 1 - 1
Cukup 45 68 113
belum
Kurang 49 101 150
kawin
sangat kurang 3 5 8
Total 98 174 272
Sumber: Hasil pengolahan data kuesiner

Jika didasarkan pada jenis kelamin dan status kawin, respon buruh tentang upah
untuk memenuhi kebutuhan pakaian keluarga dalam satu bulan cenderung tidak
berbeda. Pada buruh laki-laki yang sudah kawin sebahagian besar menyatakan upah
kurang mampu memenuhi kebutuhan pakaian. Hal ini disebabkan tanggungjawab
yang lebih besar dari buruh laki-laki sebagai suami, sehingga ia lebih memahami
bagaimana ketidakmampuan upah yang diterima dalam mencukupi kebutuhan akan
sandang atau pakaian. Untuk buruh yang belum menikah, respon negatif cenderung
didominasi oleh buruh perempuan. Walaupun tidak secara total buruh perempuan
menyatakan upah sangat minim dalam memenuhi kebutuhan pakaian, namun jumlah
tersebut menjadi salah satu indikator bahwasannya kemampuan sebahagian besar
buruh perempuan lajang sangatlah rendah dalam memenuhi kebutuhan pakaian.

Upah dapat memenuhi kebutuhan sewa/bulan rumah


Respon tentang kemampuan upah dalam memenuhi kebutuhan sewa rumah juga
tidak jauh berbeda dengan respon sebelumnya. Walaupun tidak seluruh responden
buruh menjawab pertanyaan tersebut, namun dari 318 reponden, 229 orang

87
menyatakan upah yang diterima sudah cukup memenuhi kebutuhan sewa rumah,
sedangkan 87 orang menyatakan kurang, dan hanya 2 orang yang menyatakan lebih.

Tabel Persepsi Upah


dalam Memenuhi Kebutuhan Sewa Rumah
Resp Jumlah %
on 187 37,0
Lebih 2 ,4
Cukup 229 45,3
Kurang 87 17,2
Total 505 100,0
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner
Upah Dapat Memenuhi Kebutuhan Uang Transport/bulan Keluarga
Data pada tabel di bawah menunjukkan bahwasannya buruh yang menyatakan
upah buruh masih dirasakan kurang untuk memenuhi pembiayaan transportasi cukup
besar, yakni mencapai 40,6%, sedangkan yang menyatakan sangat kurang hanya
2,4%. Kebutuhan transportasi bagi buruh tergolong vital. Selain butuh biaya untuk
pergi ke tempat kerja, buruh juga butuh sejumlah uang yang diperoleh dari upah
untuk membiayai mobilitas untuk kepentingan lain, seperti rekreasi, mengunjungi
keluarga dan mengikuti aktivitas sosial lainnya.
Tabel Persepsi Responden Terhadap Upah dalam
Memenuhi Kebutuhan Transport
Respon Jumlah %
Tidak 119 23,6
menjawab
Cukup 169 33,5
Kurang 205 40,6
sangat kurang 12 2,4
Total 505 100,0
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner
Fakta di atas memang tidak menunjukkan kondisi ekstrim. Perbandingan antara
buruh yang merespon negatif dengan yang cenderung menilai upah sudah cukup
memenuhi kebutuhan transportasi tidak terlalu jauh. Alokasi biaya yang dikeluarkan
oleh buruh untuk transportasi dalam satu bulan biasanya antara Rp.30.000,- sampai

88
dengan Rp.70.000,-. Untuk beberapa buruh yang tinggal berdekatan dengan lokasi
pabrik, tentunya biaya transportasi yang harus dikeluarkan lebih kecil dibandingkan
dengan buruh yang tempat tinggalnya jauh dengan tempat kerja. Sedangkan pada saat
ini, pihak perusahaan sering sekali mengambil buruh dari kawasan-kawasan tertentu
yang sangat jauh dari lokasi pabrik. Padahal, tidak semua perusahaan menyediakan
transportasi khusus bagi buruh masing-masing.
Pada beberapa perusahaan yang menyediakan jasa bis bagi buruhnya,
sebahagian besar biaya transportasi dikenakan kepada buruh. Sangat jarang terdapat
perusahaan yang secara gratis menyediakan pelayanan transportasi dari lokasi pabrik
ke tempat tinggal buruh. Salah satu pola yang digunakan oleh perusahaan adalah
melakukan pemotongan dari gaji buruh. Untuk buruh yang lokasi tempat tinggalnya
sangat jauh dari kawasan pabrik, maka tidak ada pilihan selain merelakan sebahagian
gajinya dipotong. Rata-rata untuk buruh yang lokasi tempat tinggalnya jauh, jumlah
uang yang dipotong dari upah antara Rp.60.000,- sampai dengan Rp.70.000,-. Jumlah
tersebut tentunya sangat memberatkan buruh. Jika dalam satu bulan buruh menerima
upah sebesar Rp.600.000,- maka sisa upah yang diterima oleh buruh setelah dipotong
biaya transportasi adalah sebesar Rp.530.000,- sampai dengan Rp.540.000,-. Belum
lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh untuk aktivitas lain diluar aktivitas
kerja. Padahal, buruh juga butuh melakukan aktivitas lain diluar kegiatan kerja,
seperti mengunjungi keluarga, rekreasi, berbelanja, dan berbagai aktivitas lain yang
membutuhkan alat transportasi.

89
Upah Dapat Memenuhi Kebutuhan Biaya Sosial

Sebahagian responden buruh (53,9%) sudah menikah, sedangkan sisanya


adalah buruh lajang. Bagi masyarakat yang masih memegang nilai tradisi budaya.
Dari segi etnis, 28,3% responden adalah Batak Toba, dan yang terbesar adalah etnis
Jawa, yakni sebesar 46,5% disusul suku Karo, Mandailing, Melayu dan berbagai suku
lain. Bagi suku Batak Toba yang sudah menikah, maka akan diikuti oleh konsekuensi
sosial budaya yang cukup besar. Jika seorang keluarga buruh Batak Toba yang sudah
menikah, maka akan muncul keharusan untuk mengikuti aktivitas sosial budaya, jika
tidak maka akan berimplikasi secara negatif kehidupan keluarga tersebut. Demikian
juga dengan suku lain, seperti Jawa, Mandailing, Karo dan sebagainya. Ada tuntutan
bagi seseorang yang sudah berkeluarga untuk mengikuti berbagai aktivitas
tradisional. Aktivitas tradisi tersebut bukan hanya bersifat memaksa kepada seseorang
yang sudah berkeluarga, namun juga merupakan satu strategi bagi buruh untuk tetap
bertahan dikala sulit. Keluarga besar dan ikatan kesukuan merupakan satu jaringan
penting yang harus tetap dibangun dan dapat dijadikan jaminan sosial buruh dan
keluarga buruh. Untuk itu aktivitas sosial menjadi satu kegiatan penting yang harus
dilakukan, dan itu memerlukan biaya yang tidak kecil.

Tabel Persepsi Buruh Tentang Upah dalam Memenuhi


Kebutuhan Biaya Sosial
Jumlah %
51 10,1
cukup 145 28,7
kurang 278 55,0
sangat kurang 31 6,1
Total 505 100,0
Sumber: hasil pengolahan data kuesioner

Berdasarkan tabel di atas, sebahagian besar responden buruh menyatakan


pengeluaran yang dialokasikan untuk kebutuhan biaya sosial tidaklah cukup jika
berasal dari upah. Hanya sebahagian kecil saja yang menyatakan upah yang diterima

90
dalam satu bulan bisa menutupi kebutuhan buruh untuk melakukan aktivitas sosial.
Ada berbagai aktivitas sosial yang dalam satu bulan harus dilakukan. Bagi buruh
yang sudah berkeluarga tuntutan tersebut akan semakin besar dibandingkan buruh
lajang. Buruh yang sudah berkeluarga dituntut untuk tetap melakukan interaksi sosial
yang lebih intensif, seperti menghadiri pesta perkawinan, upacara kematian,
bergabung dengan kelompok persaudaraan, komunitas lingkungan dan hajatan
lainnya. Sedangkan bagi buruh yang masih lajang tuntutan tersebut lebih berkurang.
Namun bukan tidak ada sama sekali. Buruh lajang juga sering menghadiri beberapa
kegiatan sosial sebagai bentuk solidaritas dan kohesi mereka pada komunitas dimana
buruh hidup.

Tabel Upah dan Kebutuhan Biaya Sosial


Berdasarkan Status Kawin dan Kategori Upah
Status Upah dapat memenuhi
kawin kebutuhan biaya sosial Kategori upah Total
(persepsi tentang upah)
<UMP UMP layak
kawin Cukup 2 61 1 64
Kurang 13 115 4 132
sangat kurang 1 15 - 16
Tidak menjawab 1 20 - 21
Total 17 211 5 233
belum Cukup 10 71 - 81
kawin
Kurang 22 123 1 146
Sangat kurang 4 11 - 15
Tidak menjawab 4 26 - 30
Total 40 231 1 272
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

91
Tabel di atas memperlihatkan bahwasannya pada satu sisi, sebahagian besar
buruh menyatakan upah memang kurang dapat memenuhi kebutuhan biaya sosial.
Hal itu dialami bukan saja oleh buruh yang upahnya masih berada di bawah UMP
sebesar Rp.505.000 (UMP tahun 2003), namun juga oleh buruh yang upahnya sudah
sesuai standar upah minimum. Hal itu menandakan bahwasannya sebenarnya tidak
ada perbedaan kemampuan yang signifikan antara buruh yang upahnya sudah sesuai
dengan UMP ataupun yang masih berada di bawah upah minimum.
Ada satu realita penting yang juga dilihat dari tabel tersebut. Pertama, bukan
hanya buruh yang sudah menikah saja yang butuh merasakan kecilnya kemampuan
untuk mengikuti kegiatan sosial berdasarkan jumlah upah yang ada, namun juga hal
itu dirasakan oleh buruh yang masih lajang. Bahkan, jumlah buruh yang lajang yang
menyatakan kurangnya upah untuk membiayai kebutuhan sosial lebih besar dari
buruh yang sudah menikah. Dengan demikian, asumsi yang menyatakan
bahwasannya kegiatan sosial hanya diwajibkan pada buruh yang sudah menikah,
namun juga oleh buruh yang masih lajang. Tentunya, buruh lajang memiliki alasan
tersendiri sehingga memberi respon seperti itu.

Upah dapat memenuhi kebutuhan biaya rekreasi


Bagi buruh yang sudah penat dan lelah bekerja dalam kurun waktu tertentu,
rekreasi merupakan sebuah pilihan paling sederhana untuk menghilangkan kejenuhan
maupun kepenatan buruh. Untuk dapat berrekreasi, tentunya dibutuhkan sejumlah
biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh ataupun keluarga buruh. Sebahagian besar
responden buruh menyatakan bahwasannya upah memang kurang bisa andalkan
untuk membiayai kegiatan rekreasi.
Tabel Persepsi Buruh Tentang Upah dalam Memenuhi
Kebutuhan Biaya Rekreasi
Jumlah %
Respon
43 8,5
cukup 88 17,4

92
kurang 345 68,3
sangat kurang 29 5,7
Total 505 100,0
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Bagi buruh yang masa kerjanya masih di bawah 1 tahun, 1 sampai dengan 4
tahun ataupun di atas 4 tahun sama-sama memberi respon negatif tentang kondisi ini.
Sebahagian besar buruh menyatakan upah kurang dapat memenuhi kebutuhan akan
rekreasi. Keterbatasan tersebut bukan hanya dialami oleh buruh yang sudah menerima
upah sesuai UMP, namun juga oleh buruh yang masih menerima di bawah upah
minimum. Buruh yang sudah bekerja lebih dariu 4 tahun juga tetap merasakan
bahwasannya upah yang diterima selama ini kurang mampu membiayai aktivitas
rekreasional buruh. Lamanya masa kerja buruh tidak menjamin dipenuhinya
kebutuhan untuk menghilangkan sejenak kejenuhan dan kepenatan bekerja.

Tabel Upah Dapat Memenuhi


Kebutuhan Biaya Rekreasi
Kategori Upah dapat memenuhi
Kategori upah Total
masa kerja kebutuhan biaya rekreasi
<UMP UMP LAYAK
<1 tahun Cukup - 4 - 4
Kurang - 17 - 17
sangat kurang - 1 - 1
1 2 - 3
Total 1 24 - 25
1-4 tahun Cukup 8 44 52
Kurang 23 149 2 174
sangat kurang 4 11 - 15
1 16 - 17
Total 36 220 2 258
> 4 tahun Cukup 1 31 - 32
Kurang 15 135 4 154
sangat kurang 2 11 - 13
2 21 - 23
Total 20 198 4 222
Sumber: hasil pengolahan data kuesioner

93
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari realitas di atas. Pertama,
untuk pemenuhan kebutuhan dasar, seperti makan, pakaian, dan sewa rumah,
sebahagian besar buruh lebih banyak yang menyatakan cukup. Upah yang selama ini
didasarkan pada kebutuhan hidup minimum (KHM) sudah dapat memenuhi beberapa
kebutuhan dasar. Walaupun demikian, terdapat juga buruh yang menyatakan, upah
yang diterima selama ini kurang, dan sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan
dasar. Namun ketika kebutuhan sudah beranjak pada komponen kebutuhan sosial dan
rekreasi, terlihat lebih banyak buruh yang menyatakan kurang dan kurang cukup.

PENGELUARAN DAN PENDAPATAN BURUH

Pengeluaran
Ada beberapa item yang masuk dalam kategori pengeluaran buruh. Data yang
diperoleh dalam pendekatan survey dianggap kurang dapat menggambarkan
pengeluaran buruh secara riil setiap bulannya. Melalui proses FDG dengan beberapa
kelompok buruh di beberapa zona, maka dapat digambarkan pola pengeluaran buruh
secara lebih jelas.
Variasi pengeluaran buruh lajang laki-laki dan perempuan terlihat cukup besar.
Pengeluaran beberapa buruh lajang cukup besar, bahkan hampir menyamai
pengeluaran buruh yang sudah berkeluarga.
Secara umum ada 19 item pengeluaran rutin yang harus dikeluarkan oleh buruh
lajang, yakni;

Tabel Jenis Pengeluaran Rutin Buruh Lajang


1 Makan 11 listrik,air
2 sewa rumah 12 komunikasi
3 transport ketempat kerja 13 salon (perempuan)
4 iuran organisasi, jamsostek 14 kondom/alat kontrasepsi
5 Rokok 15 biaya kesehatan
6 kosmetik (untuk perempuan) 16 biaya rekreasi
7 peralatan mandi 17 angsuran/kredit

94
8 pembalut (perempuan) 18 tabungan setiap bln
9 Pakaian
10 jula-jula

Rata-rata pengeluaran buruh laki-laki dan perempuan terlihat cukup bervariasi.


Ada beberapa buruh lajang laki-laki yang pengeluarannya cukup besar sehingga
hampir menyamai buruh yang sudah berkeluarga. Misalnya saja pengeluaran buruh
bernama Hotdianto. Setiap bulannya, ia harus menghabiskan uang sebanyak
Rp.848.610,-. Jika dilihat komposisi pengeluarannya tersebut, maka terlihat
bahwasannya pengeluaran Hotdianto paling besar ternyata adalah untuk membayar
hutang. Diakibatkan oleh tidak mencukupinya upah yang diterima oleh Hotdianto,
maka ia harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam satu bulan.

1. makan Rp 150.000 17,67%


2. Sewa rumah Rp 40.000
3. Listrik dan air Rp 10.000
4. transport Rp 25.000
5. Jula-jula Rp 200.000 23,5%
6. Pakaian Rp 150.000
7. Odol/sikat gigi Rp 25.000
8. Sosial Rp 100.000
9. Kredit/utang Rp 210.000 24,7%
10. Iuran SBMI Rp 2500
11. Jamsostek Rp 11.110
Jumlah Rp 848.610

95


Rata-rata Pegeluaran Buruh Setiap Bulan


Pengeluaran rutin dalam satu bulan tentunya tidak akan bisa menggambarkan
relitas kebutuhan buruh yang sebenarnya. Ada banyak hal yang muncul setiap hari
yang membebani biaya pengeluaran buruh.
Tabel Rata-rata total pengeluaran buruh
berdasarkan jenis kelamin
Jenis Rata-rata (Rp)
kelamin
Laki-laki Rp. 570.000,-

Perempuan Rp. 568.800,-


Total Rp. 1.138.800,-
Sumber: Diolah dari data FGD

Untuk buruh yang sudah berkeluarga dan atau yang memiliki tanggungan
lainnya, tentunya pengeluaran per bulan akan semakin besar jumlahnya. Bagi buruh
yang sudah berkeluarga secara otomatis beberapa item pengeluaran, dari sisi kualitas
maupun kuantitasnya akan bertambah. Misalnya, untuk yang sudah berkeluarga
namun belum memiliki anak, maka akan dibutuhkan biaya lainnya, seperti
penambahan biaya kesehatan, makan, biaya sosial (pesta dan resepsi) dan berbagai
kebutuhan lainya. Tentunya bagi keluarga buruh yanag sudah memiliki anak beban
pengeluaran akan semakin besar.
Biaya pengasuhan satu anak minimal dibutuhkan biaya antara Rp.80.000
sampai dengan Rp.200.000,- per bulan. Tentunya itu merupakan hitungan minimal.
Sebuah keluarga buruh tidak hanya memberikan makan dan minum saja kepada anak.
Kebutuhan akan kesehatan dan penambahan gizi bagi anak sudah harus diperhatikan
pula. Jika seorang buruh menghabiskan uang Rp.150.000 per bulannya untuk makan,
maka jika sudah berkeluarga pengeluaran untuk makan akan bertambah dua kali lipat.

96
Seorang buruh yang belum berkeluarga juga belum tentu tidak memiliki
tanggungan sama sekali. Terdapat beberapa buruh yang masih sendiri ternyata harus
membiayai kebutuhan saudaranya. Biaya yang biasanya dikeluarkan oleh buruh
tersebut adalah untuk membiayai sekolah adik dan membantu kebutuhan sehari-hari
keluarga.
Secara umum, berdasarkan jenis kelamin, maka dapat digambarkan
bahwasannya responden buruh laki-laki lebih banyak memiliki tanggungan
dibandingkan buruh perempuan.

Tabel Ada atau tidaknya Tanggungan


Berdasarkan Jenis Kelamin
Ada tidaknya
Jenis
tanggungan Total Status kawin
kelamin
Belum
Ada tidak ada Kawin
kawin
laki-laki 157 96 253 155 98
perempuan 98 154 252 78 174
Total 255 250 505 233 272
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Data di atas selain dapat menggambarkan lebih banyaknya buruh laki-laki yang
memiliki tanggungan, namun jika dilihat jumlah buruh laki-laki yang berstatus kawin,
maka dapat disimpulkan bahwasannya tanggungan buruh laki-laki tersebut hanyalah
tanggungan untuk istri. Kondisi tersebut sedikit berbeda dengan buruh perempuan.
Walaupun secara umum jumlah buruh perempuan yang memiliki tanggungan lebih
kecil dari buruh laki-laki, jika dibandingkan dengan jumlah buruh perempuan yang
sudah menikah, maka tanggungan buruh perempuan sebahagian besar adalah
terhadap anggota keluarga lain, seperti adik dan saudara. Misalnya seorang responden
buruh bernama Monda. Ia bekerja di perusahaan PT Narindu yang memproduksi
Mebel di Jalan Binjai. Pengeluaran total yang harus dihabiskannya dalam satu bulan
adalah Rp.830.000,-. Uang yang ia harus keluarkan untuk membiayai uang sekolah

97
adiknya adalah Rp.150.000,- per bulan, atau 18,07% dari total pengeluarannya per
bulan.
Jika diperbandingkan pengeluaran buruh antara yang sudah menikah dan
masih lajang, tergambar bahwasannya pengeluaran buruh yang sudah menikah pada
beberapa pos pengeluaran jauh lebih besar. Misalnya saja pengeluaran untuk
konsumsi, dimana pengeluaran buruh yang sudah menikah adalah dua kali lipat dari
buruh yang masih lajang. Kemudian juga pada pos pengeluaran untuk biaya sosial.
Buruh yang masih lajang hanya menghabiskan uang Rp.25.000,- sampai dengan
Rp.70.000,- per bulan, sedangkan buruh yang sudah menikah mencapai Rp.250.000,-.
Jumlah ini sangat mencolok dibandingkan dengan pengeluaran lainnya, sebab
tanggungjawab buruh yang berkeluarga untuk menghadiri pesta atau kemalangan
lebih besar dibandingkan buruh yang masih lajang.
Menurut data survey, jumlah pengeluaran buruh untuk biaya sosial tersebut
tidak begitu jauh berbeda. Untuk buruh lajang yang belum menikah, uang yang harus
dikeluarkan adalah sebesar kurang lebih Rp.28.000,-, sedangkan bagi buruh yang
sudah menikah, rata-rata pengeluaran adalah sebesar kurang lebih Rp.40.000,-.
Namun jumlah tersebut merupakan rata-rata dalam satu bulan. Kurang lebih 10,7%
buruh harus mengeluarkan uang lebih dari Rp.50.000,- untuk biaya sosial dalam satu
bulan.
Dari sisi jenis kelamin, terlihat biaya sosial yang dikeluarkan oleh buruh
perempuan dan laki-laki berbeda. Buruh laki-laki cenderung lebih banyak
mengeluarkan biaya sosial dibandingkan buruh perempuan. Dalam satu bulan, 33
buruh laki-laki bisa menghabiskan lebih dari Rp.50.000,- untuk melakukan aktivitas
sosial. Menurut data survey, malah ada beberapa buruh laki-laki yang menghabiskan
biaya sebesar Rp.150.000,- sampai dengan Rp.200.000,- perbulannya.

98
Tabel Hubungan Antara Jenis Kelamin
dengan Pengeluaran Biaya Sosial
kategori pengeluaran biaya
Jenis kelamin Total
sosial
<11ribu 11-50ribu >50ribu
laki-laki 55 134 33 222
Perempuan 45 141 12 198
Total 100 275 45 420
Sumber: hasil pengolahan data kuesioner

buruh menikah
28,20

buruh laki-laki
4,70
buruh perempuan
5,60

Grafik Komposisi Pengeluaran


Biaya Sosial Buruh Lajang dan Menikah

Namun jika diperbandingkan pengeluaran buruh lajang perempuan dan laki-


laki, jelas, pada 6 pos pengeluaran, buruh perempuan masih lebih besar. Hanya pada
satu pos pengeluaran laki-laki lebih besar, yakni pengeluaran untuk konsumsi atau
makan.

99
Tabel Komposisi Pengeluaran
Buruh Lajang dan Menikah
Jenis pengeluaran Buruh Lajang
% Buruh Menikah
Perempuan Laki-laki %
% %
Konsumsi/makan 19,2 19,8 39,6
Transportasi 6,8 5 14,1
Biaya sosial 5,6 4,7 28,2
Kesehatan 2,26 1,5 6,8
Sewa rumah 4 3,01 6
listrik, air dll 5,31 3,4 7,3
Pengeluaran sandang 7,06 6,21 22,6
(pakaian, kometik,
dll)
Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner dan FGD

100


Pengeluaran Untuk Konsumsi


Salah satu item pengeluaran yang sangat besar untuk dihabiskan oleh buruh
dalam satu bulan adalah pengeluaran konsumsi. Dalam penelitian ini, item konsumsi
dijadikan satu item penting yang mempengaruhi buruh, terutama kesehatan buruh.
Berdasarkan hasil FGD, frekuensi makan buruh sebenarnya belumlah layak.
Frekuensi makan buruh dalam satu bulan belum memenuhi kebutuhan dasar.
Beberapa buruh hanya makan 1 sampai 2 kali dalam satu hari, sehingga dalam satu
bulan hanya makan sebanyak 20 dan 60 kali. Tentunya frekuensi seperti ini masih
jauh dari kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh buruh. Misalnya saja Evi, Alal Ali
dan Purwanto yang frekuensinya tidak sampai 90 kali dalam satu bulan. Tidak
rutinnya buruh makan nasi disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya saja kasus
Purwanto yang masih tinggal dengan orang tua. Ia tidak menyukai makan nasi,
namun menggantinya dengan makan ikan dan telur. Ia mengkonsumsi telur lebih
banyak dari buruh lainnya, yakni sekitar butir.
Beratnya kerja buruh tentunya mengeluarkan energi yang sangat besar bagi
buruh. Dengan pola makan yang tidak teratur dan input gizi yang tidak memadai,
tentunya akan mempengaruhi kesehatan dan kemampuan buruh untuk bekerja.
Kemampuan buruh dalam memenuhi kebutuhan pemenuhan gizi juga masih sangat
rendah.

Tabel Frekuensi dan Sumber Minum Susu dalam 1 Minggu


Sumber
Frekuensi Frekuensi minum
Jawaba Jlh % Membe Diberi Diberi 0-1x 2-3x >4x
n li perusah teman/
sendiri aan keluarg
a
Konsumsi Susu
Ya 136 26,9 235 71 4 28 28 75

101
Kadang 150 29,7 34 78 28
2
tidak 219 43,4 21 13 5

Konsumsi Makan daging

teman/kel
perusaha
Membeli
sendiri
Diberi

Diberi

pesta
Saat
Ya 82 16,2 48 24 6
Kadang 215 42,6 216 11 7 29 113 60 6
2
tidak 173 34,3 66 26 3

Konsumsi Makan Buah-buahan


perusahaa

teman/kel
Membeli
sendiri
Diberi

Diberi

kebun
Lain2
Dari

Ya 155 30,7 24 37 89
34
Kadang 241 47,7 2 1 12 1 53 123 40
2
2
Tidak 109 21,6 35 24 3
Sumber: Diolah sendiri

Tabel di atas memperlihatkan bahwasannya sebahagian besar buruh (43,4%)


menyatakan tidak pernah minum susu dalam satu minggu. Setelah dikoreksi melalui
jawaban frekuensi minum, jawaban tidak diartikan dengan frekuensi minum yang
sangat rendah, yakni antara 1-3 kali dalam satu minggu. Buruh yang menyatakan
jawaban “ya”, jumlahnya sebanyak 136 orang, atau 26,9%, dan yang menjawab
“kadang-kadang” sebanyak 150 orang. Jika dikoreksi melalui sumber memperoleh
susu, ternyata buruh yang menyatakan “ya” dan “kadang-kadang” tersebut sebanyak
235 orang memperolehnya dari membeli sendiri, dan hanya 71 orang yang
mendapatkannya dari perusahaan. Hal ini tentunya sangat memberatkan buruh. Upah
yang rendah, kerja berat yang dilakukan buruh tidak diimbangi dengan perhatian
perusahaan dalam memberikan input energi yang cukup. Jika dibandingkan antara
buruh yang menjawab “ya” untuk minum susu dalam satu minggu dengan yang

102
menjawab “tidak”, maka angka 75 orang yang minum susu lebih dari 4 kali dalam
satu minggu hanyalah 55,1% dari 136 orang. Bandingkan dengan angka buruh yang
menyatakan “tidak” namun menjawab minum lebih dari 4 kali dalam 1 minggu yang
hanya 5 orang (2,8% dari 219 orang). Jadi, secara total, buruh yang minum susu
dalam kategori jawaban “tidak” hanyalah 17,8% dari total 219 orang. Angka ini
tentunya sangatlah kecil dibandingkan kebutuhan ideal susu bagi buruh.
Kondisi serupa juga terjadi pada keluarga buruh. Dari 372 buruh yang
menjawab pertanyaan tentang frekuensi keluarga buruh dalam minum susu, hanya 59
orang yang menyatakan “ya”, sedangkan yang menjawab “kadang-kadang” dan
“tidak” adalah sebanyak 313 orang. Data seperti ini tentunya berkorelasi dengan
konsumsi susu buruh secara personal. Rendahnya konsumsi buruh secara individual
juga terjadi pada keluarga buruh. Rendahnya frekuensi keluarga buruh untuk membeli
susu menjadi cerminan ketdakmampuan buruh untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
susu.
Konsumsi daging malah menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan
konsumsi susu dalam satu minggu. Dua ratus lima belas responden (42,6%) buruh
menyatakan kadang-kadang minum susu, sedangkan 82 orang menyatakan “ya” dan
34,3 buruh menyatakan “tidak”. Namun jika dilihat berdasarkan sumber memperoleh
daging, 216 orang membelinya sendiri, sedangkan yang diberi oleh perusahaan
hanyalah 11 orang. Salah satu kesempatan makan daging selain membeli sendiri,
diberi teman atau keluarga dan diberi perusahaan adalah makan daging pada saat
pesta. Kesempatan mengikuti pesta biasanya akan dimanfaatkan oleh buruh.
Tentunya kesempatan seperti itu tidak pasti ada dalam satu minggu. Tetap saja,
dengan begitu keadaan gizi buruh sangat jauh dari kebutuhan idealnya.
Demikian juga dengan konsumsi buah-buahan. Sebahagian besar buruh
memperoleh buah-buahan untuk dikonsumsi dari membeli sendiri, yakni 342 orang,
sedangkan yang diberi oleh perusahaan hanya dua orang. Buruh yang menyatakan
“kadang-kadang”, ternyata 123 orang (57% dari 216 orang) hanya makan buah-
buahan sebanyak 2 sampai 3 kali. Frekuensi makan buah dalam kasus ini bukan

103
hanya dalam artian memakan buah dalam bentuk utuh dan segar. Beberapa buruh
ternyata memperoleh buah-buahan ketika makan rujak. Mengkonsumsi rujak
dianggap oleh buruh sama dengan mengkonsumsi buah segar. Salah satu alasan
paling mempengaruhi rendahnya konsumsi buruh adalah tidak cukupnya gaji yang
diperoleh. Berdasarkan keterbatasan upah yang dimiliki, maka buruh harus memilih
antara makan daging, minum susu atau makan buah. Jika dihadapkan pada pilihan
tersebut, maka berdasarkan kebutuhan, maka buruh lebih memilih untuk makan
daging atau minum susu. Dalam kondisi lebih parah, ketika upah sudah tidak
mencukupi lagi maka sering sekali buruh mengganti minum susu dengan hanya
minum teh manis.

Konsumsi Lauk dalam Satu Bulan


Seperti disebutkan sebelumnya, aktivitas kerja yang berat tentunya
membutuhkan energi yang sangat besar. Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut,
tentunya konsumsi buruh pada beberapa jenis lauk berprotein tinggi menjadi sangat
penting.

104
Tabel Frekuensi konsumsi lauk
Jenis Lauk Frekuensi Konsumsi dalam 1 bulan Responden
4-10 yang tidak
<4x % % >10 %
x menjawab
Makan lauk daging 166 32,8 32 6,3 2 0,4 305
sapi/kambing dalam
sebulan
Makan lauk daging 215 42,6 208 41,2 19 3,8 63
ayam dalam sebulan
Makan lauk ikan laut 20 4,0 150 29,7 305 60,4 30
dalam sebulan
Makan lauk ikan 79 15,6 17 3,4 2 0,4 407
mas dalam sebulan
Makan lauk udang 123 24,4 51 10,1 5 1,0 326
dalam sebulan
Makan lauk kepiting 59 11,7 13 2,6 6 1,2 427
dalam sebulan
Makan lauk kerang 117 23,2 30 5,9 4 0,8 354
dalam sebulan
Makan lauk ikan teri 42 8,3 192 38,0 200 39,6 71
dalam sebulan
Makan lauk ikan 107 21,2 196 38,8 64 12,7 138
asin dalam sebulan
Makan lauk ikan 44 8,7 66 13,1 5 1,0 390
lele/belut
Makan lauk telur 34 6,7 228 45,1 207 41,0 36
dalam sebulan
Makan lauk tahu 66 13,1 253 50,1 80 15,8 106
dalam sebulan
Makan lauk tempe 55 10,9 261 51,7 106 21,0 83
dalam sebulan
makan indomie 69 13,7 192 38,0 156 30,9 88
dalam sebulan
Makan tulang sop 94 18,6 33 6,5 4 0,8 374
dalam sebulan
Keterangan: Tidak seluruhnya responden menjawab pertanyaan
Sumber: hasil analisis data kuesioner

Berdasarkan tabel di atas, hanya pada 2 (dua) jenis jenis lauk yang dikonsumsi
oleh buruh lebih dari 10 kali dalam satu bulan, yakni konsumsi ikan laut dan

105
konsumsi ikan teri, sedangkan untuk konsumsi lauk daging sapi/kambing, daging
ayam, ikan mas, udang, kepiting, kerang, dan sop tulang sebahagian besar responden
mengkonsumsinya kurang dari 4 kali dalam satu bulan. Artinya, untuk beberapa jenis
lauk, sebahagian besar buruh mengkonsumsi kurang dari 4 kali. Hal ini berarti dalam
satu minggu, belum tentu buruh mampu mengkonsumsi beberapa jenis lauk yang
mengandung protein tinggi, seprti daging, kepiting, ikan mas, sop dan lain-lain yang
harganya lebih mahal dibandingkan ikan laut. Misalnya saja konsumsi daging
sapi/kambing dan daging ayam. Sebanyak 32,8% dari 200 orang yang jawab
pertanyaan tentang konsumsi daging sapi/kambing hanya punya kemampuan
mengkonsumsi kurang dari 4 kali dalam satu bulan. Demikian juga dengan konsumsi
daging ayam. Sebanyak 215 orang menyatakan kurang dari 4 kali mengkonsumsi
daging ayam dalam satu bulan. Sedangkan yang menyatakan mengkonsumsi lebih
dari 10 kali hanya 19 orang atau 3,8% dari total responden.
Frekuensi konsumsi yang lebih dari 10 kali dalam satu bulan hanyalah pada
lauk ikan laut dan ikan teri. Kemungkinan pertama dari jumlah ini adalah, ikan laut
dan teri merupakan lauk utama yang paling banyak disediakan di rumah-rumah
makan. Buruh yang sebahagian besar kost dan kontrak tentunya lebih banyak makan
di kedai atau rumah makan dibandingkan memasak makanan sendiri, sehingga mau
tidak mau pola konsumsi lauk disesuaikan dengan lauk yang tersedia di rumah
makan. Kemungkinan kedua, lauk ikan laut dan ikan teri cenderung lebih murah
dibandingkan menu lauk lainnya seperti daging dan jenis lauk laut non ikan.
Menu lauk lain yang cenderung lebih stabil untuk dikonsumsi oleh buruh
adalah menu telur, tahu, tempe dan indomie. Jumlah buruh yang mengkonsumsi tahu,
tempe, telur dan indomie, 4 sampai 10 kali dan lebih dari 10 kali dalam satu bulan
tidak terpaut terlalu besar. Hal ini menunjukkan menu lauk tersebut menjadi menu
umum yang dikonsumsi. Jika pun angka konsumsi lebih dari 10 kali dalam satu bulan
tersebut tidaklah terlalu besar, hal itu dikarenakan keinginan buruh untuk membuat
variasi dari menu yang dimakan dalam satu bulan.

106
Perilaku mengkonsumsi lauk buruh menunjukkan beberapa karakter
ketidakmampuan buruh dalam memenuhi kebutuhan makan. Secara umum, dapat
dikatakan pilihan lauk untuk dikonsumsi cenderung homogen atau tunggal. Pilihan-
pilihan lauk sangat tidak bervariasi, sehingga konsekuensinya akan menurunkan
kualitas kesehatan buruh.
Dari proses analisis statistik, sebenarnya sangat sedikit yang berkorelasi
secara signifikan. Maksud dari hubungan signifikan dalam hubungan ini adalah,
dalam satu bulan konsumsi satu jenis lauk pasti akan diikuti dengan konsumsi jenis
lauk lainnya. Dengan kata lain, dalam satu bulan, buruh mengkonsumsi dua jenis lauk
secara mencukupi. Dari seluruh proses analisis statistik, ada kurang lebih 33 proses
analisis yang menunjukkan hubungan signifikan, yakni;
1. antara lauk tahu dengan lauk ikan asin (0,240)
2. antara lauk tempe dengan makan ikan asin (0,271)
3. antara makan lele/belut dengan makan lauk tempe (0,329)
4. antara makan lauk telur dengan lauk tempe (0,213)
5. antara lauk tahu dengan lauk tempe (0,698)
6. antara makan indomie dengan tempe (0,197)
7. antara usia dengan makan lauk tahu (0,029)
8. antara makan buah dengan makan lauk tahu (-0,121)
9. antara ikan laut dengan lauk tahu (0,115)
10. antara makan kepiting dengan makan indomie (-0,269)
11. antara minum susu dengan makan lauk tahu (-0,199)
12. antara makan telur dengan makan lauk tahu (0,281)
13. antara lauk tahu dengan makan tahu (0,229)
14. antara makan indomie dengan lauk tahu (0,229)
15. antara lauk daging ayam dengan ikan lele/belut (0,335)
16. antara lauk kerang dengan lauk telur (0,257)
17. antara lauk tahu dengan ikan lele/belut (0,205)
18. antara lauk tahu dengan lauk telur (0,281)
19. antara makan indomie dengan lauk telur (0,308)
20. antara lauk udang dengan lauk kerang (0,492)
21. antara kepiting dengan kerang (0,511)
22. antara makan daging dengan ikan asin (-0,126)
23. antara usia dengan kepiting (-0,183)
24. antara usia dengan daging (-0,111)
25. antara makan buah dengan makan daging (0,236)
26. antara makan daging ayam dengan makan daging (0,254)

107
27. antara konsumsi susu dengan makan kepiting (-0,210)
28 antara makan tulang sop dengan makan daging (0,272)
29 antara makan buah dengan makan ikan laut (0,242)
30antara makan buah dengan lauk ikan mas (0,341)
31 antara makan buah dengan lauk daging ayam (0,197)
32 antara makan ikan lele/belut dengan lauk daging ayam (0,335)
Sumber: hasil analisis statistik dari data kuesioner

Dari seluruh proses analisis tersebut, korelasi yang cukup meyakinkan hanyalah
antara konsumsi lauk tempe dengan tahu yakni sebesar 0,698. Artinya, besarnya
jumlah konsumsi lauk tempe dalam satu bulan, ternyata diimbangi dengan konsumsi
lauk tahu. Apa yang bisa diambil dari bukti seperti ini? Lauk tempe dan tahu
tergolong murah dan tersedia mencukupi di pasar tradisional, kedai di sekitar tempat
tinggal buruh dan di tersedia cukup banyak di rumah makan disekitar tempat tinggal
buruh. Kecenderungan seperti itu ternyata tidak diikuti dengan konsumsi jenis lauk
lain. Diantaranya adalah konsumsi susu dan kepiting, indomie dengan kepiting, usia
dengan daging, dan konsumsi buah dengan makan lauk tahu. Masing-masing jenis
lauk tidak dikonsumsi secara bersamaan dalam satu bulan. Jika buruh sudah
mengkonsumsi susu, maka kepiting ditiadakan, jika buruh mengkonsumsi indomie,
maka lauk kepiting bukan jadi pilihan pengganti, jika usia buruh semakin tinggi,
maka konsumsi daging semakin berkurang, dan jika buruh mengkonsumsi buah,
maka konsumsi tahu ditiadakan.
Fenomena ini memperlihatkan, buruh sangat jarang memiliki pilihan untuk
mengkonsumsi beberapa jenis lauk sekaligus dalam satu bulan. Buruh harus memilih
jenis lauk yang lebih murah. Konsumsi beberapa jenis lauk yang sedikit mahal
otomatis akan menghilangkan kemampuan buruh untuk mengkonsumsi jenis lauk lain
yang lebih murah.
Salah satunya adalah tentang konsumsi lauk indomie. Dalam satu bulan,
sebanyak 156 orang mengkonsumsi indomie sebanyak lebih dari 10 kali. Bahkan
terdapat sejumlah buruh yang mengkosumsi indomie 30 (tigapuluh) kali dalam satu
bulan. Dengan demikian, dalam satu bulan, setiap harinya buruh hanya

108
mengkonsumsi indome. Bisa dibayangkan jika buruh mengkonsumsi indomie setiap
hari. Bagaimana buruh bisa bekerja dan tetap mempertahankan kesehatan agar dapat
bekerja jika setiap harinya hanya mengkonsumsi indomie.
Bagi buruh yang mencoba untuk membuat menu lebih bervariasi, misalnya
dengan makan kepiting, maka kemampuan buruh untuk mengkonsumsi indomie akan
jauh berkurang. Demikian juga dengan konsumsi susu dan kepiting. Dalam satu bulan
rata-rata buruh mengkonsumsi susu dan lauk kepiting sebanyak 4 kali. Namun
konsumsi dua jenis lauk tersebut jarang bersamaan. Buruh harus memilih, antara
mengkonsumsi susu atau kepiting. Jika buruh sudah mengkonsumsi susu, maka mau
tidak mau ia harus mengurangi makan kepiting, dan sebaliknya, jika buruh memilih
makan kepiting, maka ia harus mengurangi minum susu.
Pola makan seperti itu tentunya tidak hanya terjadi pada menu-menu tertentu
yang tercantum dalam penelitian ini saja. Kesimpulan umum yang bisa ditarik dari
fenomena ini adalah;
1. Secara umum kemampuan buruh untuk mengkonsumsi lauk lebih bervariasi
sangatlah rendah. Dalam satu bulan, menu yang dikonsumsi buruh cenderung
sama. Sangat jarang ditemui buruh yang mampu mengkonsumsi beberapa jenis
lauk secara bersamaan dalam satu bulan.
2. Ada kecenderungan buruh yang ingin membuat menu lauk bervariasi ternyata
harus memilih antara jenis menu lauk tertentu. Jika buruh mencoba mengganti
satu jenis menu yang sering dikonsumsi, maka konsekuensinya, buruh harus
meniadakan jenis menu tertentu yang biasa dikonsumsi.

Dua kecenderungan seperti ini tentunya merupakan dampak dari kecilnya


upah yang diterima buruh. Walaupun secara umum buruh merasa upah sudah cukup
memenuhi kebutuhan makan keluarga, namun deskripsi dari kebutuhan makan
tersebut masih sangat minimal. Ada kemungkinan buruh sudah merasa cukup ketika
sudah mampu mengkonsumsi indomie setiap hari. Hal ini tentunya menunjukkan
kesederhanaan pemahaman buruh tentang kebutuhan makan. Buruh tidak menyadari

109
bahwasannya yang disebut “cukup” bukan sekedar bisa makan setiap harinya, namun
lebih dari sekedar itu. Kebutuhan konsumsi bukan sekedar frekuensi makan dan
kuantitas menu yang dikonsumsi dalam satu bulan, namun juga terkait dengan variasi
menu dalam satu bulan dan kualitas menu tersebut.
Dari seluruh buruh yang mengkonsumsi jenis menu tertentu yang tergolong
mahal, ternyata tidak keseluruhan jenis lauk tersebut dibeli oleh buruh. Beberapa
buruh menyatakan, mengkonsumsi daging ayam, daging sapi dan beberapa jenis lauk
berharga mahal hanya ketika buruh menghadiri pesta, hanya pada saat gajian, karena
disediakan atau dimasak oleh orang tua, menu rantangan, dan alasan lainnya yang
bukan didasarkan kemampuan buruh untuk membeli. Dengan kata lain, beberapa
buruh yang mencoba untuk membuat menu dalam satu bulan bervariasi bukanlah atas
dasar keinginan dan kemampuan buruh. Sebahagian besar buruh dengan sengaja
memanfaatkan momentum menghadiri pesta untuk sekedar dapat makan daging dan
menu lauk lain yang harganya mahal. Sebahagian besar buruh menyatakan tidak
mampu membeli daging atau mengkonsumsi daging secukupnya dalam satu bulan.
Buruh yang benar-benar sadar tentang pentingnya variasi menu makanan sangatlah
sedikit. Mereka hanya mampu membeli dan mengkonsumsi daging hanya pada saat-
saat tertentu, seperti pada saat gajian saja.

110


PENDAPATAN
Upah Buruh

Data yang diperoleh melalui proses survey memperlihatkan upah pokok


responden secara umum sebagian besar sudah sesuai dengan Upah Minimum propinsi
(UMP) tahun 2003, yakni Rp.505.000,-.

Tabel Jawaban Responden


Berdasarkan Kategori Upah
Kategori Jumlah %
UMP
<UMP 57 11,3
>UMP 179 35,4
UMP 269 53,3
Total 505 100,0
Sumber: hasil analisisi data kuesioner

Hanya 57 (11,3%) responden buruh yang upah pokoknya masih di bawah UMP,
sedangkan 53,3% sesuai dengan UMP dan 179 orang (35,4%) yang upahnya sudah
berada di atas UMP. Rata-rata upah buruh secara keseluruhan adalah
Rp.552.362,23,- sehingga jika memang ukuran kesejahteraan dan perbaikan nasib
buruh adalah kesesuaian antara kebijakan Upah Minimum (UM) dengan realitas upah
di pabrik, maka berdasarkan hasil survey kondisinya dapat dikatakan sudah lebih
baik. Namun jika dilihat dari sisi pengeluaran dan kebutuhan riil buruh sehari-hari,
upah berdasarkan standar UMP tersebut sangatlah tidak mencukupi lagi.
Jika didasarkan pada status pekerjaan, beberapa jenis masukan yang dapat
digolongkan pada komponen buruh ternyata realitasnya masih sangat jauh dari
harapan. Ada 11 komponen upah yang sebenarnya harus dipenuhi oleh pengusaha,
baik kepada buruh tetap, kontrak, borongan dan buruh harian lepas.
1. upah pokok

111
2. uang makan (/hari)
3. uang transport (/hari)
4. tunjangan perumahan
5. uang kerajinan (/bulan)
6. insentif
7. bonus
8. upah berkala (/3 tahun)
9. cuti haid
10. tunjangan kemahalan
11. Uang Lembur

Tabel Gambaran Respon Komponen Upah


Berdasarkan Status Pekerjaan
Status Pekerjaan
Buruh Home
Komponen
No Buruh tetap harian kontrak borongan base
Upah
lepas worker
ada Tidak ada tidak ada tidak Ada tidak ada tidak
1 Upah pokok 450 2 25 9 14 1 3 1 - -
2 Uang 289 163 8 26 - 15 - 4 - -
makan
3 Uang 295 157 2 32 - 15 - 4 - -
transpor
4 Tunjangan
9 443 - 34 - 15 - 4 - -
perumahan
5 Uang 221 229 5 29 - 15 - 4 - -
kerajinan
6 Insentif 162 290 3 31 - 15 - 4 - -
7 Bonus 74 376 3 31 3 12 - 4 - -
8 Upah 193 259 - 34 - 15 - 4 - -
berkala
9 Cuti haid 197 255 5 29 - 15 - 4 - -
10 Tunjangan 30 422 1 33 - 15 - 4 - -
kemahalan
11 Uang 303 149 8 26 1 14 1 3 - -
lembur
Sumber: hasil analisisi data kuesioner

Berdasarkan data di atas, sebagian besar buruh non tetap banyak tidak menerima
komponen upah. Pada beberapa komponen upah, hak buruh tetap juga masih belum

112
sepenuhnya terpenuhi. Misalnya saja pada komponen uang makan, uang transpor,
tunjangan perumahan, uang kerajinan, insentif, bonus, upah berkala, tunjangan
kemahalan dan upah lembur. Satu-satunya komponen upah yang hampir secara
keseluruhan dipenuhi hanyalah pada item upah pokok. Namun masih tetap ada
responden dari buruh tetap (2 orang) yang menyatakan belum menerima upah tetap.
Kondisi paling parah adalah terlihat pada buruh dalam kategori buruh harian lepas,
kontrak dan borongan. Dari seluruh komponen upah yang ada, hanya sedikit sekali
buruh yang hak upahnya dipenuhi oleh perusahaan, dan sebahagian besar malah tidak
menjawab sama sekali. Tidak menjawab sama sekali dalam hal ini diartikan buruh
tidak pernah bahkan tidak mengenal sebahagian besar komponen upah yang ada.
Jelas melalui tabel ini dapat kita lihat bahwasannya hak buruh kontrak, buruh harian
lepas dan buruh borongan masih jauh dari kondisi ideal.
Jika upah pokok ditambah dengan beberapa komponen upah lainnya
dijumlahkan dalam satu bulan, nominal yang sepantasnya (sebelum dilakukan
potongan) juga masih jauh dari kebutuhan buruh. Seperti yang terjadi pada buruh di
zona Mabar. Rata-rata mereka menerima upah pokok sebesar Rp.540.000,- per bulan.
Jika memang perusahaan tempat mereka bekerja memenuhi beberapa komponen upah
secara lebih baik, maka kenaikan upah yang sepantasnya mereka tidaklah signifikan.
Misalnya saja seorang buruh bernama Janter. Ia menerima upah pokok sebesar
Rp.540.000,-. Ada 3 (tiga) komponen upah yang secara rutin diterimanya dari
perusahaan, yakni tunjangan jabatan, lembur dan jaminan hari tua. Total, jika ia
menerima beberapa komponen upah tersebut dalam satu bulan, maka yang ia terima
hanyalah Rp.692.000,-. Berdasarkan kebutuhan hidupnya sebagai buruh yang sudah
berkeluarga, maka tentungan angka tersebut masih jauh lebih kecil dari pengeluaran
yang harus dia keluarkan dalam satu bulan, yakni sebesar Rp.964.000,- dengan
perincian sebagai berikut:

1. makan Rp 350.000,-
2. listrik dan air Rp 70.000,-
3. transport sosial Rp 50.000,-

113
4. transport kerja Rp 75.000,-
5. uang sekolah anak Rp21.000,-
6. uang jajan anak Rp30.000,-
7. uang kridit Rp353.000,-
8. rokok Rp150.000,-
9. sosial kemalangan dll Rp250.000,-
10. uang iuran organisasi kerja Rp 5.000,-
11. uang iuran jamsostek Rp30.000,-
12. Jumlah Rp 964.000

Dengan demikian, jika dibandingkan antara pendapatan dan pengeluaran Janter,


maka akan ada kekurangan sebesar Rp. 272.000,- yang harus dia cari untuk
menambah kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk mengatasi
kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam satu bulan. Beberapa
diantaranya adalah dengan menjadi agen sepeda motor, membungakan uang, Multi
Level Marketing (MLM) dan sebagainya. Pendapatan yang diperoleh melalui
pekerjaan sampingan tersebut untuk beberapa buruh sangat membantu menambah
upah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Misalnya saja, bagi seorang buruh yang
bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi tali. Dalam satu bulan ia
memperoleh upah riil sebesar Rp.700.000,-. Untuk menambah kebutuhan hidupnya
sehari-hari, ia bekerja sebagai agen sepeda motor di sela-sela waktu kerjanya. Dalam
satu bulan, rata-rata ia bisa memperoleh keuntungan dari pekerjaannya tersebut
sebesar Rp. 100.000, sehingga total uang yang ia bisa alokasikan untuk memenuhi
kebutuhan rutin sehari-hari adalah Rp.800.000,-. Ada juga buruh yang menambah
penghasilannya dengan cara membungakan uang. Keuntungan yang ia bisa dapatkan
dari pekerjaan sampingannya tersebut adalah Rp.150.000,-. Jika dalam satu bulan ia
memperoleh upah dari perusahaan sebesar Rp.900.000,- , maka dalam satu bulan ia
bisa mengantongi uang sebesar Rp.1.050.000,-.
Tentunya tidak semua buruh memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah
penghasilannya dalam satu bulan. Sebahagian besar buruh mengalami kesulitan
dalam hal mencari pekerjaan sampingan yang tidak mengganggu pekerjaannya di
pabrik. Selain itu, untuk mencari pekerjaan sampingan dianggap oleh buruh tidaklah

114
mudah. Untuk melakukan usaha sampingan, buruh menyatakan diperlukan beberapa
syarat agar secara berkesinambungan dapat dilakukan, yakni harus ada bakat, waktu,
modal, relasi dan tempat.

115
Potongan Perusahaan Terhadap Buruh

Ada 8 (delapan) item potongan yang dicantumkan dalam daftar pertanyaan.


Potongan yang paling umum dikenakan kepada buruh adalah potongan Jamsostek,
yakni mencapai 81,2%. Dari angka ini masih terlihat adanya beberapa jumlah buruh
yang tidak dikenakan potongan. Dengan kata lain, 18,8% buruh tersebut tidak atau
belum menjadi anggota Jamsostek. Potongan untuk OKP yang selama ini
diasumsikan mempengaruhi upah buruh ternyata tidak terlihat. Memang tidaklah
mungkin perusahaan dengan sengaja mencantumkan secara khusus item potongan
untuk OKP dari upah yang diterima buruh. Tidaklah mungkin secara terus terang
perusahaan secara langsung memotong upah buruh untuk kepentingan OKP. Untuk
mengetahuinya, memang perlu ada suatu penelitian khusus. Namun dari respon yang
ada, 3 orang buruh yang menyatakan adanya potongan merupakan satu temuan yang
penting. Selama ini, seperti pernah disebutkan dalam beberapa penelitian, salah satu
kontributor biaya tinggi (high cost) sektor industri di Indonesia adalah banyaknya
pungutan liar. Pungutan yang dimaksud bukan hanya dilakukan oleh aparat
pemerintah yang dengan sengaja mengambil keuntungan dalam berbagai mekanisme
birokratis, namun juga dilakukan oleh kelompok pemuda yang terorganisir. Dengan
alasan keamanan, biasanya OKP meminta bantuan kepada perusahaan. Dengan
terdapatnya respon tersebut, tentunya semakin memperkuat bukti bahwasannya
jumlah upah buruh yang sudah sangat kecil harus di tekan lagi dengan adanya
potongan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan relasi buruh-pengusaha
dalam proses produksi.
Satu hal yang bisa dicermati adalah adanya potongan denda akibat kesalahan.
Dari total responden buruh, 59 orang (11,7%) menyatakan adanya potongan jika
buruh melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaan, sedangkan 446 orang buruh
menyatakan tidak ada potongan kesalahan tersebut. Jika dilihat nominal potongan
terhadap upah buruh, rata-rata jumlah potongannya adalah Rp.10.603,-. Jumlah
potongan terlihat bervariasi antar buruh.

116
Tabel Respon Buruh
Terhadap Beberapa Jenis Potongan
Respon buruh
Jenis potongan
Ya % tidak %
potongan jamsostek 410 81,2 95 18,8
potongan iuran SB 339 67,1 166 32,9
potongan keagamaan 42 8,3 463 91,7
potongan koperasi 117 23,2 388 76,8
potongan biaya 17 3,4 488 96,6
transportasi
potongan OKP 3 0,6 502 99,4
potongan denda karena 59 11,7 446 88,3
kesalahan
potongan lain-lain 13 0,6 418 99,4
Sumber: hasil analisisi data kuesioner
Tabel Rata-rata, Jumlah Minimum
dan Maksimum Potongan
Jenis potongan Nilai Mean, minimum dan Maximum
Mean Minimum Maximum
Jumlah potongan Rp. 10.603 Rp. 1100 Rp. 53.000
jamsostek
Jumlah potongan iuran SB Rp. 2206 Rp. 500 Rp. 11.000
Jumlah potongan Rp. 3166 Rp. 1000 Rp. 15.000
keagamaan
Jumlah potongan koperasi Rp. 11.360 Rp. 1000 Rp. 96.650
Jumlah potongan Rp. 21.125 Rp. 1000 Rp. 90.000
transportasi
Jumlah potongan OKP Rp. 1000 Rp. 1000 Rp. 1000
Jumlah potongan denda Rp. 17.130 Rp. 3000 Rp. 50.000
karena kesalahan
Jumlah potongan lain-lain Rp. 15.400 Rp. 1000 Rp. 50.000
Sumber: hasil analisisi data kuesioner
Jika buruh dalam tiap bulannya harus dikenakan potongan-potongan seperti
diatas, tentunya didasarkan jumlah upah yang diterima (take home pay) sudah sangat
memberatkan. Total potongan rata-rata jika setiap potongan di atas dikenakan pada
buruh, maka dalam satu bulan, upah buruh harus dipotong sebesar Rp. 81.990,-. Jika
upah yang diterima buruh dalam satu bulan hanya Rp.600.000,- maka jumlah

117
potongan tersebut sudah mencapai 13,6% dari total upah. Jika dibandingkan dengan
alokasi untuk kebutuhan lain, tentunya jumlah potongan tersebut sudah menyamai
atau bahkan lebih besar. Misalnya saja untuk kebutuhan pembiayaan transportasi.
Total biaya transportasi buruh dalam satu bulan dari gaji hanya mencapai 6%.
Sedangkan potongan bisa mencapai 13,6%, sehingga dapat disimpulkan, biaya yang
dipotong dari buruh bisa lebih besar dari beberapa jenis pengeluaran lain.

118

Respon Buruh Terhadap Kebijakan
Pengupahan


Persepsi buruh terhadap kebijakan pengupahan yang berlangsung di Sumatera
Utara menunjukkan bukti bahwasannya proses penentuan jumlah upah maupun
terhadap institusi yang berwenang menentukan upah tersebut kurang disetujui dan
dipahami oleh buruh. Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, buruh menganggap
proses penetapan UMP/UMSP tidak tepat. Sebahagian besar buruh (49,7%)
menyatakan proses penetapan upah tidaklah tepat. Ada begitu banyak alasan yang
dikemukanan oleh buruh perihal tidak tepatnya proses penetapan UMP/UMPS.
Beberapa buruh menyatakan, proses penetapan UMP/UMPS yang berlangsung
selama ini belum melibatkan buruh secara maksimal. Padahal, buruh merasa
merekalah yang paling mengetahui kebutuhan hidup yang selama ini sudah semakin
mahal. Kebutuhan yang sudah sangat tinggi tersebut dianggap buruh tidak dijadikan
perhitungan dalam proses penentuan jumlah UMP/UMPS. Buruh juga beranggapan,
dominasi dari pemerintah dan pengusaha terlalu besar dalam proses penentuan upah
tersebut. Dengan demikian, buruh merasa diperlakukan tidak adil. Apalagi ada
anggapan dari buruh bahwasannya terdapat unsur KKN dalam proses penentuan
tersebut. Kepentingan yang begitu besar dari pemerintah beserta pengusaha selalu
meminggirkan kepentingan buruh yang sudah semakin besar.
Secara umum, buruh menganggap alasan utama ketidaktepatan proses penetapan
upah adalah terkait dengan ketidaksesuaian jumlah dengan kebutuhan buruh yang

119
sudah semakin besar. Buruh menanggap angka yang selama ini ditetapkan masih jauh
dari kebutuhan riil sehari-hari buruh. Kehidupan buruh yang sudah semakin tinggi
tidak dibarengi dengan peningkatan upah pokok yang sesuai, sehingga kesejahteraan
dan kehidupan yang layak masih jauh dari harapan.
Buruh juga menyinggung tentang kurang transparannya proses penetapan yang
dilakukan oleh DPD. Buruh merasa penelitian yang dilakukan oleh DPD tidak sesuai
dan tidak sampai pada tingkat bawah. Belum lagi jika dikatkan dengan keterbukaan
DPD. Buruh selama ini hanya menjadi objek kebijakan tanpa mengerti proses yang
berlangsung didalamnya. Apa yang menjadi pertimbangan, bagaimana proses
penetapannya, bagaimana riset yang dilakukan oleh DPD tidak dipahami oleh buruh.
Saat di bandingkan dengan pengetahuan buruh tentang komponen yang terlibat dalam
DPD, maka semakin jelas bahwasannya buruh memang menjadi mainan elemen yang
terlibat dalam DPD. Bahkan dari jawaban yang diberikan, buruh tidak mengetahui
komponen yang terlibat dalam DPD.
Walaupun sebenarnya elemen buruh juga sudah terlibat dalam elemen DPD,
namun buruh sendiri tetap menganggap keterlibatan buruh masih sangat minimal.
Keterlibatan elemen buruh dalam DPD tidaklah secara langsung menjadi garansi
bahwasannya kepentingan dan keinginan buruh akan terwakili didalamnya. Jadi,
dapat disimpulkan bahwasannya keterwakilan buruh yang cukup di DPD tidak
menjamin jumlah upah akan meningkat sesuai dengan kebutuhan buruh.
Salah satu kendala yang menghempang kepentingan buruh untuk benar-benar
terakomodir dalam proses perumusan dan penetapan upah dalam istitusi DPD adalah
tentang komposisi yang kurang seimbang antara komponen buruh dengan non buruh.
Menurut salah seorang mantan anggotan DPD yang berasal dari komponen Serikat
Buruh, ada dua kepentingan yang saling bertarung ketat dalam setiap proses
perumusan dan penentuan jumlah UMP/UMSP setiap tahunnya dalam institusi DPD
di Sumatera Utara. Pada kurun waktu tahun 2001 sampai dengan 2003, anggota DPD
propinsi Sumatera Utara sebanyak 25 orang dengan perincian; 7 orang dari Serikat
Buruh, 7 orang dari elemen pengusaha, 7 orang dari pemerintah dan 4 orang dari

120
Dewan Pakar atau elemen akademisi. Tarik-menarik kepentingan paling kuat adalah
terjadi pada antara pihak serikat buruh dengan non serikat buruh. Walaupun
komponen yang terlibat sudah menganut keterwakilan berimbang, namun dalam
setiap proses perumusan dan penetapan, keempat komponen (SB, Pengusaha,
Pemerintah dan Dewan Pakar) langsung terpolarisasi dalam dua kubu yakni, kutub
serikat buruh dan non serikat buruh. Namun dalam setiap perumusan, kekuatan buruh
terpecah dalam beberapa bagian lagi sehingga melemahkan suara buruh untuk
berhadapan dengan komponen lain di luar buruh.
Besarnya suara Serikat Buruh dalam institusi DPD tidak menjadi jaminan
bahwasannya kepentingan dan suara buruh bisa mempengaruhi proses perumusan dan
penetapan jumlah UMP/UMSP. Dalam setiap proses perumusan dan penetapan upah,
suara buruh terbagi atas beberapa bagian yang saling berbeda satu sama lain. Prinsip
keterwakilan berimbang yang tujuannya agar dapat mengakomodir kepentingan
buruh menjadi lebih besar ternyata menjadi sia-sia ketika suara buruh sendiri
terpecah. Serikat buruh yang sejarah pembentukannya di dukung oleh pemerintah
cenderung lebih berpihak kepada pengusaha dan pemerintah dibandingkan
menyuarakan kepentingan buruh. Apalagi ketika dalam setiap proses pengambilan
keputusan, institusi DPD sering menggunakan mekanisme voting. Ketika mekanisme
ini dijalankan, melihat minimnya perwakilan dari buruh maka sudah dapat dipastikan
suara buruh selalu akan kalah.
Harus diakui juga bahwasannya kemampuan buruh dibandingkan komponen lain
menjadi satu masalah tersendiri yang menjadikan kekuatan buruh menjadi lemah.
Penguasaan terhadap materi konsep upah dari buruh masih lebih rendah dibandingkan
kapasitas komponen lain, seperti pengusaha, pemerintah dan dewan pakar. Dengan
kata lain, dalam setiap proses survey, analisis data hasil investigasi dan diskusi,
komponen diluar buruh masih sangat mendominasi. Dominasi bukan hanya dalam hal
penguasaan materi belaka, namun juga dalam kemampuan mempengaruhi antar
komponen. Walaupun sulit untuk dibuktikan tentang pengaruh tersebut, namun dalam

121
banyak tahapan voting, suara buruh tidak pernah satu dalam mengusung kepentingan
jumlah upah sesuai dengan kebutuhan buruh secara umum.
Kenaikan upah dari tahun ke tahun yang tidak pernah sesuai dengan kebutuhan
riil buruh tentunya kontradiktif dengan keinginan buruh untuk terlibat dalam DPD
dan realitas keikutsertaan beberapa Serikat Buruh dalam DPD. Jika memang
keterlibatan buruh tidak mampu mengangkat jumlah UMP/UMPS, berarti ada
masalah lain yang lebih berpengaruh dibandingkan dari sekedar buruh terlibat dalam
DPD. Jika memang aspek kuantitas sudah terpenuhi, maka terdapat aspek kualitas
yang belum terpenuhi. Menurut Penelitian AKATIGA, salah satu aspek kurang
mampunya elemen buruh dalam mempengaruhi kinerja DPD adalah akibat dominasi
elemen pengusaha dan pemerintah yang terlalu besar sehingga meminggirkan
kepentingan dan kebutuhan buruh. Pada satu sisi, kelemahan buruh memang bisa
dipahami sehingga tidak terlalu maksimal dalam menyuarakan kepentingan buruh
dalam tubuh DPD. Elemen lain yang terdiri atas pemerintah dan pengusaha sering
sekali sulit untuk dibendung oleh elemen buruh.
Belum lagi jika dikaitkan dengan suara elemen buruh yang secara sengaja
diredam oleh elemen pengusaha dan pemerintah. Kepentingan pengusaha adalah
jelas. Mereka ingin jumlah kenaikan UMP/UMPS serendah mungkin sehingga tetap
dapat mengambil keuntungan yang sebesar mungkin dari tenaga buruh, sedangkan
kepentingan pemerintah adalah menciptakan stabilitas ekonomi, politik dan
pertimbangan yang lebih bersifat makro. Ditengah proses penetapan UMP/UMPS
yang terjadi selama ini, sangat jarang terdengar pertentangan yang sengit antara
elemen buruh dengan elemen pengusaha dan pemerintah. Walaupun elemen buruh
sudah terwakilkan dalam DPD, namun suara keras dan penentangan terhadap jumlah
yang ditetapkan dari tahun ke tahun tidak terdengar sama sekali dari elemen buruh.
Hal ini menunjukkan bahwasannya elemen buruh sendiri kurang kuat menyampaikan
kepentingan atas kenaikan upah yang sesuai dengan kebutuhan buruh.
Jika dikaitkan dengan keanggotaan dalam keterlibatan SB dan persepsinya
terhadap kepuasan proses penetapan UMP/UMPS, maka dapat dilihat bahwasannya

122
buruh yang menyatakan puas lebih besar dari SPSI. Sebagai organisasi buruh jaman
orde baru, bagaimanapun respon buruh terhadap proses penetapan upah lebih banyak
yang menyatakan sudah puas. Dari 161 orang yang merupakan anggota SPSI, 25,5%
menyatakan proses penetapan UMP/UMPS sudah tepat, 43,5% menyatakan tidak,
dan 30,4% menyatakan tidak tahu. Dibandingkan dengan buruh yang berasal dari
SBMI dan SBSI, tentunya respon buruh dari SPSI tersebut lebih besar. Buruh yang
berasal dari SBMI hanya 12% yang menyatakan proses tersebut sudah tepat.

Tabel Uji Beda Serikat Buruh


Terhadap Proses Penetapan UMP/UMPS
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 29,443 18 0,043
Likelihood Ratio 30,280 18 0,035
N of Valid Cases 505

Jika data dibawah dianalisis lebih lanjut, maka salah satu kesimpulan yang dapat
diambil adalah, respon buruh yang berasal dari berbagai Serikat Buruh tersebut
berbeda satu dengan lainnya. Uji Chi Square menunjukkan bahwasannnya antara
SPSI, SBSI, SBMI, PPMI, dan lainnya tersebut memiliki respon yang berbeda. Atau
dengan kata lain, beberapa serikat buruh tersebut memiliki perbedaan dalam
memandang proses penetapan UMP/UMPS.

Tabel Respon Terhadap Proses Penetapan UMP/UMPS


Berdasarkan Keanggotaan SB
Proses penetapan UMP/UMSP sudah tepat
Keanggotaan
ya Tidak tidak tahu tidak Total
SB
menjawab
SPSI 41 70 49 1 161
SBSI 4 20 5 - 29
PPMI 1 1 1 - 3
SBMI 22 106 51 6 185
lainnya 3 9 7 - 19
Bukan anggota 13 40 39 3 95
SB

123
tidak ada SB di 1 7 5 - 13
Perusahaan
85 253 157 10 505


UPAH MURAH DAN JALAN LAIN UNTUK HIDUP
Seperti yang disebutkan pada Bab sebelumnya, secara nominal, upah buruh
berdasarkan Upah Minimum tidak akan pernah mencukupi untuk membiayai
kehidupan sehari-hari buruh lajang apalagi buruh yang sudah berkeluarga. Upah
buruh yang ditetapkan oleh pemerintah melalui keputusan Gubernur dengan
kebijakan UMP/UMPS-nya selalu berada di bawah kebutuhan hidup buruh secara
layak. Jangankan untuk hidup layak, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari
secara normalpun dirasakan oleh buruh sudah sangat sulit. Untuk memenuhi
kebutuhan buruh tersebut, ada berbagai cara yang pernah dilakukan oleh buruh.
Tekanan kebutuhan buruh sehari-hari memaksa buruh untuk melakukan pekerjaan
lain yang sudah pasti akan membawa konsekuensi pada kesehatan buruh. Itupun
sebenarnya tidak dilakukan oleh seluruh buruh. Ada berbagai keterbatasan yang
membuat buruh tidak memiliki kesempatan untuk menambah pendapatannya. Salah
satunya adalah jam kerja yang memaksa buruh untuk tidak punya pilihan atau
alternatif lain untuk memperoleh penghasilan tambahan.
Dengan kondisi seperti itu, maka sudah dapat dipastikan posisi buruh akan
semakin tertekan. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat tidak pernah dijadikan
pertimbangan untuk menentukan upah buruh. Memang dalam lembaga penentu
jumlah UMP/UMPS, salah satu tahapan yang dilakukan adalah melakukan survey
untuk melihat harga-harga kebutuhan buruh. Namun jika dilihat realitasnya di
lapangan, jumlah yang ditetapkan tetap saja masih jauh dari kebutuhan yang
sebenarnya. Belum lagi jika dikaitkan dengan standar atau acuan yang dijadikan dasar
penetapan UMP yang masih berdasarkan kehidupan hidup minimum. Jika
sebelumnya kebijakan pengupahan didasarkan pada standar kebutuhan fisik minimum

124
(KFM), maka saat ini sudah pada kehidupan hidup minimum (KHM). Perubahan
tersebut ternyata jumlah upah sama sekali tidak mengubah secara signifikan terhadap
kebutuhan hidup buruh.
Standar kebutuhan hidup buruh yang dijadikan acuan penentuan jumlah upah
masih pada kisaran kebutuhan dasar semata, tanpa mempetimbangkan aspek
kebutuhan lain yang memang sudah mendesak untuk diperhitungkan. Selama ini,
acuan Dewan Pengupahan Daerah (DPD) dalam menentukan jumlah UMP masih
tetap pada kebutuhan dasar tersebut. Seakan pemerintah (melalui DPD dan Gubernur)
tidak memahami realitas yang sebenarnya, bahwa kebutuhan buruh bukan sekedar
kebutuhan untuk “asal” dapat hidup saja. Jelas dalam mekanisme yang ada, buruh
belum dianggap manusia yang sebenarnya, karena aspek sosiologis dan psikologis
buruh tidak dijadikan komponen yang penting dalam menentukan jumlah
UMP/UMPS.
Dasar penentuan upah minimum yang berlaku sepanjang orde baru hingga saat
ini adalah Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dan kemudian berubah menjad KHM
(Kebutuhan Hidup Minimum). Konsep KHM merupakan perbaikan dari konsep KFM
yang dianggap acuan lama yang sudah diterapkan sejak tahun 1959. Secara
kuantitatif, jumlah komponen yang ditetapkan dalam KHM sebenarnya lebih sedikit
dibandingkan dengan acuan KFM. Dari yang sebelumnya 47 komponen menjadi
hanya 31 komponen. Salah satu dasar perubahan tersebut adalah ada beberapa jenis
komponen yang secara kualitatif lebih baik dibandingkan dengan komponen yang ada
dalam KFM. Misalnya saja komponen pakaian. Dalam KFM tidak ada dibedakan
antara pakaian wanita dengan pria, sedangkan pada KHM, sudah dibedakan antara
celana atau rok kualitas sedang, kemeja tangan pendek atau blus kualitas sedang.
Pembedaan tersebut memang pada satu sisi sudah mengakomodir kebutuhan
sandang dan pakaian berdasarkan perspektif gender. Namun jika dilihat komponen
lainnya, ada banyak komponen yang sudah dipangkas. Misalnya saja tentang
kebutuhan makanan dan minuman. Pada KFM, buruh masih bisa menikmati beras
sebagai standar kebutuhan makanan pokok. Sedangkan pada KHM, buruh dipaksa

125
untuk memilih antara beras, jagung atau sagu. Penurunan tersebut juga terjadi pada
komponen lain, seperti kebutuhan buruh daalam mengkonsumsi teh dan kopi. Pada
acuan KFM, buruh masih bisa menikmati 2 item tersebut, sedangkan pada KHM,
buruh dipaksa untuk memilih antara mengkonsumsi teh atau kopi. Standar seperti itu
tentunya merupakan penurunan dari acuan yang ada dalam KFM. Konsep KFM
sudah lebih baik sebagai acuan upah buruh. Dengan demikian, konsep KHM secara
kualitas dan kuantitas lebih rendah dibandingan acuan yang sebelumnya.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui survey, ada 23 komponen kebutuhan
buruh yang tercakup untuk melihat kebutuhan buruh dalam satu bulan. Hasil
perhitungan memperlihatkan bahwasannya hanya berdasarkan 23 komponen tersebut,
secara rata-rata kebutuhan buruh dalam satu bulan sudah mencapai Rp. 1.688.697,-.
Tentunya jumlah ini jauh lebih besar UMP yang ditetapkan oleh pemerintah selama
ini.
Hal itu dapat dilihat dari komponen kebutuhan fisik minimum (KFM) yang
sebelumnya menjadi acuan penentuan UMR. Dari 47 komponen KFM, yang terkait
dengan kebutuhan selain kebutuhan fisik dasar sangatlah minim. Misalnya saja
komponen rekreasi. Komponen tersebut malah digabungkan dengan kebutuhan lain-
lain yang hanya 15% dari total komponen KFM bersama dengan komponen
transportasi, pendidikan/bacaan, obat-obatan, sikat gigi, pasta gigi, dan lain-lain,
pengeluaran buruh dalam buruh dalam satu bulan sebesar Rp.650.000,- dan
kebutuhan pakaian, perumahan/alat dapur, bahan bakar/penerangan/peneduh,
makanan/minuman sebesar Rp.560.000,- maka hanya tinggal Rp.90.000,- uang yang
dibagi untuk biaya pendidikan, obat-obatan, transportasi, rekreasi dan kebutuhan
lainnya. Tentunya jumlah tersebut sangat tidak mampu memenuhi kebutuhan buruh
yang seharusnya. Bagaimana buruh bisa memenuhi kebutuhan akan obat-obatan,
tansportasi, sikat gigi, rekreasi dan lain-lain jika alokasi pengeluaran hanya sebesar
15% dari total pendapatan buruh. Jika pendapatan buruh dalam satu bulan sebesar
Rp.650.000, maka uang yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan obat-obacan,
sikat gigi, pendidikan, transportasi dan sebagainya hanya sebesar Rp.97.500,-. Jika

126
uang sejumlah itu dibagi secara merata untuk 6 pos pengeluaran, maka alokasi untuk
masing-masing hanya sebesar Rp.16.250,-. Bagaimana mungkin dengan sejumlah
uang tersebut buruh bisa berrekreasi menghilangkan penat setelah selama satu bulan
bekerja. Apalagi jika seorang buruh sudah berkeluarga, maka biaya rekreasi
membutuhkan biaya yang lebih besar.
Standar penentuan jumlah upah memang sudah mengalami perubahan. Dari
yang hanya berdasarkan kebutuhan fisik semata, kemudian dikatakan meningkat
menjadi standar kehidupan minimum (KHM). Pada komponen lain-lain, seperti
transport, rekreasi, obat-obatan, pendidikan, pangkas rambut dan lain-lain, porsinya
diperbesar menjadi 20%. Jika pendapatan buruh tetap sebesar Rp.650.000,- dalam
satu bulan, maka alokasi pengeluaran untuk komponen lain-lain adalah sebesar
Rp.130.000,- yang akan dibagi untuk 6 atau lebih pos pengeluaran. Kalau sejumlah
uang tersebut dibagi secara merata, maka masing-masing pos pengeluaran hanya
mendapat kurang lebih Rp.18.000,- sampai dengan Rp.21.000,-.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, secara kualitatif komponen kebutuhan
hidup buruh sudah mengalami perbaikan dibandingkan dengan sebelumnya ketika
masih berdasarkan kebutuhan fisik minimum (KHM). Salah satu pos pengelaran yang
porsinya diperbesar adalah komponen pengeluaran lain-lain sebesar 20% dari total
kebutuhan makanan dan minuman, perumahan dan fasilitas rumah tangga, dan
sandang/pakaian. Berdasarkan realitas kebutuhan hidup buruh saat ini, sangatlah tidak
mungkin jika alokasi alokasi untuk kebutuhan lain-lain tersebut hanya pada kisaran
Rp.18.000,- sampai dengan Rp.21.000,-.
Data yang diperoleh dari hasil FGD menunjukkan, bahwasannya kebutuhan
buruh untuk transportasi saja sebenarnya sudah lebih dari Rp.40.000,-, bahkan ada
yang mencapai Rp.90.000 per bulannya. Jika alokasi pengeluaran buruh untuk
kebutuhan lain-lain tersebut hanya Rp.130.000,- maka sisa yang untuk membiayai
kebutuhan lain selain transportasi hanyalah Rp.40.000,-. Bisa dibayangkan jika buruh
hanya memiliki uang sebesar itu untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan, dikat gigi,
kosmetik, pendidikan dan sebagainya.

127
Jumlah upah yang ditetapkan oleh pemerintah (dalam hal ini gubernur melalui
hasil penelitian yang diusulkan DPD) memang sudah sangat tidak sesuai dengan
kebutuhan buruh yang sebenarnya. Prinsip dasar yang menjadi acuan penentuan
jumlah upah pokok sudah tidak sesuai dengan realitas ekonomi dan sosial buruh yang
sudah sangat tinggi. Jadi, boleh dikatakan tuntutan pemenuhan hak normatif seperti
yang dilakukan selama ini oleh elemen buruh bersama elemen lain sudah tidak
mampu mengatasi masalah yang sebenarnya.
Sudah sejak tahun diberlakukannya kebijakan UMP sampai sekarang, terlihat
kenaikan upah memang sudah tidak mencukupi lagi bagi pemenuhan kebutuhan
buruh. Jumlah upah yang ditetapkan oleh pemerintah seperti merangkak pelan,
sedangkan angka inflasi, kenaikan harga barang dan sebagainya melaju cepat
mendahului pendapatan buruh. Jika pemerintah tetap berpegang pada prinsip lama,
yakni dengan konsep Upah Minimum, maka sudah dapat dipastikan kondisi buruh
akan semakin tertekan. Tertekan bukan saja diakibatkan oleh kondisi kerja yang
sangat tidak manusiawi, namun juga tekanan dari kenaikan kebutuhan sehari-hari di
pasar-pasar yang sudah semakin tinggi.
Hal itu semakin tampak ketika beberapa variabel karakteristik buruh
dihubungkan dengan kondisi upah yang ada. Dari segi lama bekerja saja dapat dilihat
bahwasannya masih banyak upah buruh yang berada di bawah UMP, walaupun masa
kerja buruh sudah lebih dari 4 tahun. Walaupun sebahagian besar responden buruh
sudah menerima upah sama dengan UMP ataupun lebih besar dari UMP, namun tidak
dapat dipungkiri dari angka ini, bahwasannya penerapan UMP belum sepenuhnya
dijalankan. Hal ini dapat diartikan sebagai tindakan ketidakpatuhan dari pengusaha
untuk secara otomatis memberikan upah sebagaimana yang sudah tercantum didalam
peraturan ketenagakerjaan bahwasannya walaupun buruh bekerja dalam waktu 0
(null) tahun sudah harus menerima upah pokok sebesar UMP.

128
TabelUpah Minimum Propinsi
Berdasarkan Masa Kerja
Kategorial UMP Total
kategori <UMP UMP >UMP
masa <1 1 18 6 25
kerja tahun
1-4 36 162 60 258
tahun
>4 20 90 112 222
tahun
Total 57 270 178 505
Secara kasat mata, jumlah buruh dalam masa kerja >4 tahun yang menerima
upah sesuai atau >UMP sudah cukup besar, yakni sebanyak 112 orang. Namun jika
dilihat dari angka korelasi antara masa kerja dengan jumlah UMP, ternyata hasilnya
tidak cukup besar. Walaupun secara nyata terdapat hubungan antar masa kerja dengan
jumlah upah, besarnya hanya sebesar 0,275. Angka sebesar itu memiliki arti
hubungan yang sangat rendah. Walaupun perbedaan kategori upah memiliki
perbedaan secara signifikan dengan kategori UMP, namun tidak berarti hubungan
antara masa kerja dengan jumlah upah menjadi besar. Dengan kata lain, masa kerja
memang berhubungan dengan semakin tingginya upah yang diterima buruh, namun
hubungan tersebut tidaklah tinggi. Artinya, setiap pertambahan masa kerja buruh dari
0 (nol) tahun sampai lebih dari 4 tahun belum tentu akan mempertinggi upah yang
diterima oleh buruh.

Jika dihubungkan dengan tingkat pendidikan, terlihat ada perbedaannya


terhadap jumlah upah atau kategori upah berdasarkan UMP. Sebahagian besar buruh
yang menerima upah di sesuai UMP adalah buruh yang berpendidikan SMA, yakni
sebesar 355 orang, sedangkan buruh berpendidikan tidak tamat SD, tamat SD dan
SLTP adalah sebesar 11, 13 dan 95 orang. Namun jika dilihat dari sisi umur,
hubungannya dengan upah tidaklah terlalu signifikan. Walaupun secara statistik
terlihat ada hubungan antara umur dengan jumlah upah pokok yang diterima, namun
hubungan tersebut tidaklah pasti (hanya sebesar 0,250). Artinya, semakin tua usia

129
buruh, belum tentu jumlah upah yang diterima akan semakin besar. Padahal dari hasil
korelasi antara usia dengan masa kerja, terlihat sangatlah signifikan. Dengan kata
lain, semakin tua usia buruh, maka semakin panjang masa kerja yang sudah dia
lewati. Hal ini menunjukkan, pada umumnya buruh rata-rata masuk kerja pada usia
muda, dan sangat jarang ditemukan yang masuk pada usia dewasa atau tua. Jika dua
hubungan tersebut dikombinasikan, terlihat bahwasannya masa kerja dan usia buruh
tidaklah berkorelasi secara meyakinkan terhadap kenaikan upah buruh. Salah satu
item yang kelihatan ditiadakan dalam komponen upah adalah lemahnya penerapan
upah berkala. Jika komponen upah berkala dijalankan sebagaimana mestinya,
semakin lama buruh bekerja, tentunya akan berkorelasi terhadap jumlah kenaikan
upah. Namun hal tersebut tidak ditemukan dari hasil penelitian ini.

Efektifkah Keberadaan Serikat Buruh di Dewan Pengupahan?


Selama dua tahun terakhir, keberadaan serikat buruh independen dan
serikat pekerja lokal sudah mulai dilibatkan dalam proses perumusan upah di
daerah, baik itu di propinsi maupun di kabupaten/kota. Pada satu sisi
keterlibatan tersebut menjadi indikasi bahwasannya serikat buruh yang selama
ini kritis terhadap pemerintah maupun pengusaha.

Selama ini serikat buruh/pekerja yang kritis cukup mendapat tekanan dari
pemerintah maupun pengusaha. Serikat buruh/pekerja independen yang kritis tersebut
dianggap terlalu banyak mengganggu iklim investasi dengan aksi-aksi yang
mengangkat persoalan struktural. Pengakuan tersebut pada awalnya diterima secara
positif oleh serikat buruh, dikarenakan selama ini serikat buruh kritis lebih banyak
memainkan strategi di luar sistem sehingga tidak dapat mengetahui proses perumusan
dan penetapan upah yang sebenarnya.

Pada tahun 2005, khususnya di Kota Medan dan Sumatera Utara terdapat
beberapa serikat buruh/pekerja yang cukup kritis terhadap pemerintah duduk dalam

130
dewan pengupahan. Tentunya posisi tersebut menimbulkan beberapa perdebatan di
kalangan pengurus maupun anggota serikat buruh. Keberadaan serikat buruh
independen pada satu sisi harus ditempatkan secara permanen di luar sistem, karena
sistem yang ada saat ini tidak dapat dipercaya dan cenderung meminggirkan
kepentingan-kepentingan buruh yang sebenarnya. Hal itu dapat dilihat dari
keterlibatan beberapa serikat buruh di tahun-tahun sebelumnya yang tidak dapat
mewarnai proses perumusan dan penetapan upah sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan buruh.

Atas dasar tersebutlah keberadaan serikat buruh kemudian melakukan


pertimbangan secara serius terhadap tawaran tersebut. Namun di sisi lain, beberapa
pihak di serikat buruh beranggapan bahwasannya tawaran untuk duduk di dewan
pengupahan sangat positif bagi serikat. Keberadaan serikat buruh mandiri di dewan
pengupahan dapat digunakan untuk merekam proses yang terjadi di dewan
pengupahan. Selama ini serikat buruh kritis kurang mengetahui proses dan
mekanisme yang terjadi didalam institusi tersebut, sehingga dengan masuknya utusan
serikat buruh maka segala perkembangan dan proses yang terjadi di dewan
pengupahan dapat diketahui.

Kedua, dengan terlibat di dewan pengupahan maka setidaknya serikat buruh


sejati dapat memberi warna ataupun mempengaruhi proses kerja dewan sehingga
beberapa kepentingan dan kebutuhan buruh yang selama ini diabaikan dapat
terakomodir. Selama ini yang diketahui oleh serikat buruh kritis masih samar-samar
tentang mekanisme yang dijalankan oleh dewan pengupahan. Dengan masuk ke
dalam sistem tersebut maka hal-hal teknis yang selama ini hanya didengar dari luar
dapat diketahui dengan jelas.

Untuk kepentingan yang kedua memang cenderung sulit untuk dijalankan oleh
utusan yang ada dewan pengupahan, sebab selama ini dari sisi jumlah, serikat buruh
sendiri jumlahnya sangat kecil di dewan sehingga akan sulit untuk mempengaruhi
kerja-kerja di dewan pengupahan. Apalagi jika dilihat pengalaman dari pemerintah

131
dan pengusaha yang sudah belasan tahun duduk di dewan pengupahan. Pengalaman
panjang seperti itu tentunya dapat digunakan oleh pemerintah, pengusaha dan serikat
pekerja kuning sebagai strategi menutup kepentingan serikat buruh kritis. Jika hal itu
yang terjadi maka keberadaan serikat buruh kritis akan semakin sulit untuk
memasukkan kepentingan basis-basis serikat yang sudah sangat tertekan.

Satu kasus mungkin dapat dijabarkan dalam penelitian ini, yakni tentang
keberadaan SBMI di Dewan Pengupahan Daerah (DEPEDA) Kota Medan. Sebagai
sebuah institusi pengupahan yang masih baru terbentuk di kota Medan, sebenarnya
kesempatan utusan SBMI cukup strategis sehingga dapat memasukkan kepentingan-
kepentingan SBMI yang selama ini cenderung lebih banyak melakukan pengkritisan
dari luar sistem.

Secara garis besar ada beberapa alasan yang menguatkan SBMI untuk
mendudukkan utusannya dalam dewan pengupahan kota Medan. Pertama, dewan
pengupahan kota Medan masih baru terbentuk sehingga kesempatan untuk
mempengaruhi perumusan sistem kerja sangatlah terbuka. Peran tersebut dapat
dimainkan dikarenakan pada awal masa kerja, Dewan Pengupahan Kota Medan
belum memiliki format kerja yang jelas, sedangkan petunjuk pelaksanaan dari
Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2004 minim sekali mengatur hal-hal teknis
penuntun kerja dewan pengupahan.

Dengan kekosongan format kerja tersebut maka SBMI berharap akan dapat
memasukkan beberapa point mekanisme kerja yang sesuai dengan kepentingan
buruh. Selama ini, seperti yang dilakukan di dewan pengupahan propinsi, terdapat
mekanisme kerja yang dirasakan tidak adil dan memanipulasi buruh. Antara lain
tentang mekanisme kerja survey, proses pembahasan maupun pada saat pengambilan
keputusan. Beberapa persoalan yang timpang, tidak adil dan tidak transparan dalam
kerja-kerja dewan pengupahan kemungkinan akan dapat diperbaiki jika masukan dari
serikat buruh dapat tertampung dalam proses penyusunan mekanisme kerja dewan
pengupahan.

132
Tujuan selanjutnya adalah yang paling minimal dapat dilakukan utusan serikat
buruh di dewan pengupahan, yakni sekedar memahami mekanisme kerja dari dewan
pengupahan. Selama ini serikat buruh kritis, seperti SBMI lebih banyak
mendengarkan persoalan-persoalan pengupahan hanya dari media dan beberapa
informasi jaringan yang ikut dalam dewan pengupahan. Strategi kampanye dan
publikasi maupun aksi tentang pengupahan yang dilaksanakan selama ini masih
didasarkan pada sumber-sumber data dan informasi skunder.

Melalui pelibatan dalam dewan pengupahan, maka informasi dan data terkait
dengan mekanisme atau proses kerja, pengambilan keputusan maupun penetapan
upah minimum dapat diketahui dengan jelas. Memasukkan utusan ke dalam dewan
pengupahan dianggap sebagai proses penelitian secara terlibat sehingga informasi dan
data yang diperoleh tidak diragukan lagi validitas dan objektivitasnya. Informasi dan
data tersebut akan lebih mengena nantinya ketika akan dikemas dalam bentuk isu
pengupahan, baik itu yang akan dijadikan strategi pengorganisasian serikat buruh,
kampanye, dan publikasi persoalan perburuhan.

Dari dua tujuan yang ditetapkan oleh serikat buruh tersebut, ternyata dalam
pelaksanaanya hanya satu yang terpenuhi, yakni menjadikan keterlibatan SBMI
sebagai sebuah penelitian tentang kerja-kerja yang dilakukan oleh dewan
pengupahan. Dari awal terbentuknya dewan pengupahan, proses survey dan
pembahasan, sampai mekanisme pengambilan keputusan diperoleh secara lengkap
oleh serikat buruh. Namun tujuan yang prinsipil tentang keberadaan serikat buruh di
dewan pengupahan jelas masih sangat sulit untuk dilakukan, disebabkan di dalam
institusi tersebut telah terkondisi proses dominasi, hegemoni dari pihak-pihak
mayoritas terhadap pihak-pihak yang terlemah dan terkecil dari sisi kuantitas.

Dalam kerja-kerja dewan pengupahan, keberadaan serikat buruh kritis dapat


dikatakan sulit bergerak. Hal itu dikarenakan kondisi institusi dewan pengupahan
sengaja diciptakan bersifat intimidatif, sehingga suara-suara kritis dan berbeda
terhadap suara mayoritas dengan mudah dapat dianulir ataupun ditiadakan. Dalam

133
beberapa tahapan utusan dari serikat buruh merasa telah dilangkahi hak-haknya
sebagai salah satu komponen dewan pengupahan. Hal itu salah satunya dapat dilihat
dari proses survey. Kecilnya jumlah utusan serikat buruh kritis dalam tim survey yang
dibentuk oleh dewan merupakan salah satu titik lemah dari serikat buruh. Dari
beberapa tim survey yang dibentuk, serikat buruh kritis hanya bisa menempatkan
utusannya di satu atau dua tim saja. Dalam tim dimana utusan serikat buruh kritis
berada sebenarnya pengawasan terhadap kerja-kerja tim dapat dikontrol dengan
maksimal karena tim yang terdiri atas pengusaha, pemerintah dan serikat buruh dapat
bekerja secara kolektif dalam melakukan survey di satu pasar tradisional. Namun
untuk tim survey lainnya, proses kontrol sulit untuk dilakukan karena sebahagian
besar berasal dari utusan yang selama ini kurang berpihak terhadap buruh.

Keyaninan serikat buruh untuk menerapkan proses survey yang adil ternyata
cukup sulit untuk dilakukan. Walaupun tim survey merupakan gabungan 3 unsur
tripartit yang bekerja secara kolektif namun pada prakteknya tidak dapat dijalankan
dengan baik. Hal itu disebabkan adanya kesempatan tim untuk mengatur sendiri
metode kerja survey di pasar tradisional. Dari pengamatan yang dilakukan di dewan
pengupahan kota dan propinsi di wilayah Sumatera Utara, tim survey dapat bekerja
secara terpisah. Ketika terdapat 2 atau lebih pasar yang akan disurvey maka yang
lebih didorong untuk melakukan survey adalah individu-individu dalam tim tersebut.
Dengan demikian, tim tidak bekerja secara bersama-sama namun terjadi penugasan-
penugasan pribadi yang ada dalam tim.

Mekanisme kerja survey tersebut tentunya tidak dapat dikatakan menyalahi


aturan, karena aturan teknis survey tidak dijelaskan secara cukup detail dalam
Permennakertrans No. 17 Tahun 2005 tentang Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup
Layak. Persoalan-persoalan seperti inilah yang tampaknya mendominasi kaburnya
kerja-kerja dewan pengupahan daerah.

Selain dari sisi kebijakan pengupahan yang dirasakan belum adil, ketidakjelasan
aturan teknis kerja dewan pengupahan tampaknya menjadi persoalan yang harus

134
diperbaiki. Dari pengalaman yang terjadi di dewan pengupahan propinsi Sumatera
Utara dan Kota Medan, ketiadaan ataupun ketidakjelasan aturan pelaksanaan kerja
dewan pengupahan ibarat sebagai sebuah lobang besar yang dapat dimanfaatkan oleh
komponen terkuat di dewan pengupahan. Salah satunya adalah mekanisme analisis
dan pembahasan hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Aturan dalam Perpres
No 17 Tahun 2004 hanya mengatur tentang proses pembahasan hasil survey yang
dilakukan oleh dewan pengupahan dengan koordinasi pemerintah, terutama Badan
Pusat Statistik (BPS). Namun pada prakteknya ternyata tidaklah demikian. Unsur
sekretariat yang merupakan komponen pendukung administrasi dewan pengupahan
ternyata berperan lebih besar dibandingkan Badan Pusat Statistik. Hal ini dapat
dibuktikan ketika ternyata hasil survey yang dilakukan oleh tim survey ternyata
diolah oleh anggota sekretariat yang sebahagian besar dari pemerintahan daerah
(Pemda) dan Dinas Tenaga kerja yang notabene saat ini berada di bawah pemerintah
daerah.

Demikian juga dalam proses pembahasan hasil analisis yang dilakukan oleh
forum rapat dewan pengupahan. Mekanisme yang dijalankan oleh dewan pengupahan
Kota Medan dan Propinsi Sumatera Utara cenderung “asal-asalan” dan tidak
sistematis. Dalam setiap rapat dewan pengupahan terjadi pengulangan pembahasan
sehingga tidak jelas sistematika ataupun alur yang jelas. Pengalaman di dewan
pengupahan kota Medan, sistematika pembahasan hampir selurunya dilakukan oleh
pimpinan dewan pengupahan, dalam hal ini oleh unsur pemerintah daerah (utusan
dari Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi). Kemudian alur yang disusun oleh
pimpinan dewan pengupahan ditawarkan kepada anggota dewan dalam rapat pleno
yang dihadiri oleh seluruh anggota. Hal ini berlangsung terus menerus dalam setiap
rapat dewan.

Konsekuensi dari kacaunya alur pembahasan tersebut tidak dianggap terlalu


serius oleh seluruh unsur di dewan pengupahan terutama ketua dewan. Padahal
dampaknya bagi proses pembahasan secara umum sangatlah besar karena telah

135
membuka peluang perubahan yang terus menerus terhadap aturan main pembahasan.
Salah satu dampak paling besar namun tidak dianggap serius adalah tentang hak suara
dan berpendapat. Sebelum pembahasan hasil survey dilakukan, tidak ada kesepakatan
dari dewan tentang bagaimana aturan main hak suara dan pendapat, sehingga masing-
masing institusi yang terlibat dapat memberikan pendapat atau melakukan ulasan
terhadap hasil survey. Namun kemudian dalam rapat-rapat selanjutnya, muncul suara-
suara dari anggota dewan yang meminta agar pendapat dan suara ditentukan oleh
unsur tripartit yang ada dalam dewan pengupahan. Dengan demikian, pemerintah,
pengusaha, serikat buruh/pekerja dan unsur pakar hanya memiliki satu pendapat
ataupun suara. Usulan ini tentunya menimbulkan polemik di kalangan anggota dewan
sebab muncul secara tiba-tiba dan dapat diinterpretasikan sebagai bentuk permainan
ataupun strategi satu komponen untuk meniadakan ataupun meminimalisasi peran
institusi lain.

Ketidakjelasan mekanisme pembahasan di dewan pengupahan juga dapat


dikaitkan dengan kurang jelasnya penggunaan panduan maupun prinsip-prinsip
pembahasan. Padahal, keberadaan dewan pengupahan jelas-jelas harus menggunakan
dua aturan pengupahan, yakni Perpres No. 107 Tahun 2004 dan Permennakertrans
No. 17 Tahun 2005. Realitanya, dua aturan utama tersebut sangat minim dipatuhi
oleh dewan pengupahan. Salah satunya adalah tentang penggunaan standar KHL.
Sudah jelas bahwasannya berdasarkan dua aturan tersebut dewan pengupahan
hanyalah memiliki tugas mengembangkan sistem pengupahan dan
merekomendasikan upah minimum yang akan diberlakukan selama satu tahun kepada
kepala daerah. Namun beberapa anggota dewan pengupahan malah memasukkan
prinsip tahapan pencapaian KHL menjadi salah satu tugas dari dewan pengupahan.

Usulan untuk memasukkan prinsip pencapaian KHL menjadi panduan kerja


dewan pengupahan tentunya adalah salah satu bentuk kesalahan interpretasi dari
unsur dewan pengupahan, karena tahapan pencapaian KHL menjadi kewenangan
Gubernur. Tidak ada hak dewan pengupahan untuk merubah hasil survey ataupun

136
menegasikan angka yang muncul dari proses pembahasan dewan. Masuknya
pemikiran untuk menggunakan prinsip tahapan pencapaian KHL dianggap sebagai
strategi beberapa unsur dewan pengupahan untuk meniadakan hasil survey yang
merupakan angka paling riil untuk upah minimum.

Tentunya usulan tersebut kemudian dibahas kembali oleh dewan pengupahan.


Jika prinsip tersebut ditetapkan di awal rapat dewan, maka usulan-usulan yang
menyalahi peraturan jelas langsung akan ditolak oleh forum dewan sehingga tidak
mengganggu alur pembahasan. Akhirnya, kesalahan paling fatal akibat ketiadaan
mekanisme kerja pembahasan di dewan pengupahan adalah ketika dewan meniadakan
hasil survey sebagai nilai patokan dasar pembahasan upah.

Kejadian seperti ini tampaknya di tahun-tahun depan akan terjadi jika tidak ada
ketegasan dari pemerintah dan dorongan dari serikat buruh kritis. Pada tahun-tahun
sebelumnya, yang disebut dengan kenaikan upah minimum sudah cukup menyalah
karena terjadi bukanlah kenaikan, namun sekedar penyesuan upah minimum yang
didasarkan oleh inflasi. Pola seperti itu tampaknya masih terjadi pada proses
perumusan dan penetapan upah minimum tahun 2006.

Pada awalnya, seluruh anggota dewan pengupahan sepakat bahwasannya


landasan penetapan upah adalah hasil survey KHL yang dilakukan pada bulan
September 2006 yakni setelah dirata-ratakan sebesar Rp. 799.000,-. Kemudian sesuai
dengan Permennakertrans No. 17 Tahun 2005, angka tersebut akan ditambahkan
dengan inflasi berjalan dan yang akan berlaku pada tahun berikutnya. Setelah itu
beberapa pertimbangan ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi dan kemampuan
perusahaan dimasukkan dalam pembahasan. Ternyata pembahasan di dewan
pengupahan tidak seperti yang tertera dalam peraturan tersebut.

Secara khusus, komponen pengusaha memberi argumentasi, bahwasannya


angka hasil survey KHL tidak dapat mentah-mentah digunakan sebagai patokan
pembahasan upah minimum. Argumentasi tersebut jelas-jelas sudah melanggar

137
kesepakatan awal dan sudah menyalahi aturan resmi pengupahan yang mensyaratkan
dasar pembahasan upah minimum dari hasil survey KHL. Namun yang patut
disayangkan, forum ternyata menyediakan waktu kepada pihak-pihak yang memberi
argumentasi menyimpang tersebut. Ditambah lagi, kalangan akademisi dan pakar
yang sebenarnya harus memberikan referensi akademis ternyata malah mendukung
argumentasi tersebut dengan memberi perhitungan-perhitungan dan logika
penyesuaian dan bukan kenaikan.

Alasan yang dikemukakan oleh unsur pengusaha ternyata masih menggunakan


landasan-landasan lama pada tahun-tahun sebelumnya, yakni menjadikan inflasi
sebagai variabel utama perubahan upah minimum. Dari hasil analisis dan pemetaan
kepentingan diantara unsur yang ada di dewan pengupahan, pihak pengusaha sendiri
sebenarnya sudah terjebak dengan kesepakatan pertama dimana upah minimum harus
didasarkan pada hasil survey KHL, sehingga dianggap akan memberatkan dunia
usaha di kota Medan.

Munculnya angka Rp. 799.000,- sebagai hasil perhitungan survey KHL


dianggap oleh pengusaha tidaklah masuk akal untuk diterapkan, sehingga harus
digunakan mekanisme lama yang lebih realistis. Hal itu diperparah lagi dengan
adanya beberapa argumentasi dari beberapa anggota serikat pekerja, pemerintah dan
pakar yang menyatakan bahwa inflasi sudah merupakan representasi dari perubahan
ekonomi lokal, sehingga patut dijadikan faktor utama pembahasan upah minimum.

Simplifikasi seperti itu sesungguhnya merupakan proses pembodohan yang


sudah berjalan bertahun-tahun lamanya. Unsur pemerintah dan terutama pengusaha
sendiri dari situasi ini ternyata tidak siap untuk memberlakukan aturan pengupahan.
Namun yang harus dilihat dari semuanya adalah, kepentingan dunia usaha dan
pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kondusifitas iklim investasi, stabilitas
ekonomi lokal dan nasional masih menjadi tujuan utama proses penetapan upah
minimum. Namun kepentingan tersebut selalu ditutupi dengan pertimbangan-
pertimbangan sulit untuk dijelaskan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dari

138
seluruh argumentasi yang diungkapkan, tidak satupun yang bersifat membela
kepentingan buruh yang sudah semakin tertekan.

Keseluruhan kesalahan dan penyimpangan yang berlangsung di dalam dewan


pengupahan ini jelas mendapat penentangan dari unsur serikat buruh kritis. Namun
penolakan dan kritikan tersebut tampaknya tidak diakomodir secara proporsional oleh
sebahagian besar anggota maupun pemimpin dewan pengupahan. Apalagi dengan
jumlah utusan yang sangat minim maka serikat buruh kritis semakin sulit melakukan
pelurusan proses pembahasan.

Kesulitan tersebut terjadi dalam beberapa aspek dan tahapan perumusan


maupun penetapan upah. Pertama, dari sisi jumlah unsur serikat buruh kritis kalah
jauh dengan unsur lain sehingga akan selalu kalah jika pengambilan keputusan
didasarkan pada logika mayoritas. Kedua, minimnya jumlah anggota dari unsur
serikat buruh kritis akan berdampak pada kecilnya keterlibatan utusan serikat buruh
dalam setiap kerja-kerja komisi ataupun tim. Ketiga, praksis utusan serikat buruh
kritis tidak mendapat dukungan dari unsur lainnya akibat kedekatan unsur-unsur lain,
seperti pengusaha, serikat pekerja kuning, pemerintah, dan akademisi. Kekuatan
gabungan beberapa unsur tersebut jelas menimbulkan kondisi intimidatif yang sangat
besar pengaruhnya terhadap utusan serikat buruh kritis.

Keempat, ketiadaan mekanisme yang detail tentang kerja-kerja dewan


pengupahan ternyata merugikan serikat buruh pada umumnya, karena dengan
demikian alur perumusan sangat kondisional sifatnya dan menegasikan beberapa
aturan dan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Untuk memperbaiki kondisi ini,
mau tidak mau dewan pengupahan dan pemerintah daerah harus segera melakukan
perubahan dengan cara menyusun sistem pengupahan dan mekanisme perumusan
yang sistematis.

Jauh hari sebelum ceremonial perumusan dan penetapan upah yang biasanya
berlangsung mulai dari bulan September sampai dengan Desember, dewan

139
pengupahan harus bekerja lebih awal sehingga memiliki banyak waktu untuk
merumuskan sistematika dan proses pembahasan upah minimum yang berkeadilan
bagi seluruh komponen yang terlibat.

Seluruh proses yang berlangsung di dewan pengupahan pada saat ini menjadi
indikasi awal bahwasannya posisi buruh sangatlah lemah berhadapan dengan unsur
dewan lain yang dari segi kuantitas tidak seimbang. Walaupun utusan dari serikat
buruh memiliki kemampuan dan pemahaman yang cukup luas dan mendalam tentang
sistem pengupahan, namun itu tidak menjamin kepentingan buruh dapat terakomodir.
Kuantitas keanggotaan di dewan pengupahan masih menjadi landasan perumusan
upah minimum, sehingga proses demokratisasi yang berlangsung pun cenderung pada
penindasan mayoritas terhadap minoritas.

Sulitnya menyuarakan kepentingan buruh berhadapan dengan komponen dewan


pengupahan lainnya cukup menjadi alasan bahwasannya keberadaan serikat buruh,
khususnya serikat buruh kritis kurang efektif. Jika tidak ada mekanisme dan
sistematika kerja yang jelas di dewan pengupahan, maka keberadaan serikat buruh
kritis hanya menjadi pelengkap semata tanpa memiliki kontribusi yang signifikan
terhadap perubahan nasib buruh.

Akhirnya, kepentingan pemerintah untuk menjadikan dewan pengupahan


sebagai alat legitimasi upah minimum tampaknya sudah tercapai. Keberadaan serikat
buruh hanyalah pelengkap untuk membentuk image bahwasannya upah minimum
sudah ditetapkan secara demokratis dan memenuhi syarat-sarat legal. Tetap saja
kepentingan pertumbuhan ekonomi, peningkatan investiasi dan stabilitas ekonomi
menjadi tujuan utama dengan meminggirkan kepentingan buruh yang saat ini sudah
semakin tertekan akibat liberalisasi ekonomi.

140

Sistem Pengupahan yang Tidak Adil


Tujuan utama dilakukannya penelitian ini bukan sekedar
memberi gambaran secara lebih luas tentang kebijakan upah,
penerapan aturan upah dalam sektor industri, beserta
hubunganya dengan realitas kehidupan buruh. Namun yang ingin
dicapai adalah bagaimana melihat kebijakan upah yang
diterapkan selama ini, prinsip yang mendasarinya, serta
tekanan yang bersifat struktural lainnya telah menjadikan
nasib buruh sampai saat ini belum beranjak menuju perbaikan
yang lebih berarti.
Kacaunya sistem pengupahan dan minimnya aspek keadilan
kebijakan pengupahan tersebut ternyata belum disoroti secara
serius oleh elemen demokrasi di Indonesia. Memang sejak
kebijakan upah minimum diberlakukan secara nasional,
perdebatan kebijakan pengupahan tidak pernah berhenti. Namun
perdebatan tersebut masih sekedar pengkritisan pelaksanaan
sistem, maupun terhadap beberapa konsep dasar upah dan belum
dilanjutkan dengan perubahan terhadap kebijakan yang
sebelumnya dianggap sebagai kendala upaya perbaikan nasib
pekerja.
Perdebatan yang bermuara pada keinginan perubahan kebijakan yang selama
ini berlangsung masih bersifat incremental (tambal sulam)41. Sejak kebijakan upah
minimuum dijalankan, praktis sebenarnya tidak ada perubahan yang cukup mendasar
dan komprehensif. Lihat saja misalnya kebijakan pergeseran kewenangan

41 Abidin, Jaenal, Kedaulatan Buruh, sebuah makalah yang disampaikan dalam Semiloka Pengupahan yang
diselenggarakan oleh Kelompok Pelita Sejahtera, Medan, 2004. Pada makalah ini dikatakan, perubahan
kebijakan yang berlangsung saat ini bersifat incremental, sehingga hanya cocok pada jangka pendek. Pada
jangka panjang harus ada pemikiran yang komprehensif dan menyentuh akar masalah oleh gerakan buruh dalam
meretas persoalan perburuhan.

141
pengupahan dari pusat ke daerah, yang sebenarnya hanya merupakan konsekuensi
formal dari diberlakukannya undang-undang desentralisasi atau otonomi daerah.
Pergeseran kewenangan tersebut di tingkat substansial tidak merubah persoalan
utama pengupahan.
Proses demokratisasi pengupahan masih dilihat secara parsial, namun masih
tetap dalam ruang kebijakan yang sama. Fokus persoalan yang selama ini
diasumsikan menjadi substansi pengupahan masih pada aspek konsistensi, ketaatan
pemerintah dan pengusaha dalam menerapkan kebijakan perburuhan, termasuk aturan
pengupahan, redefinisi konsep dasar upah, maupun pada level peran institusi
stakeholder pengupahan. Tuntutan yang diusung oleh elemen pergerakan buruh
masih pada seputar tekanan kepada pemerintah dan pengusaha untuk menjalankan
aturan pengupahan tanpa melihat sisi fundamen politik ekonomi yang mendasari
berbagai kebijakan upah buruh.
Contoh paling jelas dalam melihat periferal-nya elemen perburuhan dalam
persoalan pengupahan adalah yang diungkapkan oleh ILO (International Labour
Organization). Laporan organisasi buruh internasional tersebut cenderung melihat
persoalan pengupahan pada level marginal. Ada sebelas konklusi yang telah mereka
peroleh dalam memandang sistem pengupahan di Indonesia.
1. Rendahnya secara relatif jumlah upah pada berbagai jenis pekerjaan, dan
turunnya upah riil berdasarkan kenaikan harga pasar kebutuhan.
2. Lemahnya kemampuan/kekuatan tawar serikat buruh
3. Ketidakakuratan dan inkonsistensi proses koleksi data dalam menyusun
jumlah kebutuhan fisik minimum (sekarang kebutuhan hidup minimum)
sebagai dasar kebijakan upah minimum
4. Jenjang atau rasio yang terlalu jauh antara level upah tertinggi dan upah
minimum
5. Tidak adanya sumberdaya manusia, atau staf yang bekerja secara penuh pada
komisi pengupahan nasional dan propinsi dan rendahnya pemahaman,
kemampuan teknis tentang administrasi pengupahan

142
6. Di tingkat pabrik, kenaikan upah belum sepenuhnya dipengaruhi oleh
peningkatan produktivitas
7. Regulasi pengupahan yang diberlakukan masih menggunakan standar umum
yang dijalankan oleh perusahaan
8. Terlalu banyaknya regulasi pengupahan yang pelaksanaannya tidak
transparan
9. Kegagalan beberapa pemberi kerja untuk menerapkan berbagai aturan dan
regulasi pengupahan, dan juga rendahnya penegakan hukum pengupahan
10. Banyaknya perusahaan yang tidak memiliki skema strata dan struktur
penggajian yang komprehensif
11. Tidak dijalankannya evaluasi kerja (job evaluation) di perusahaan-
perusahaan besar.42

Identifikasi persoalan pengupahan tersebut sebenarnya riil dihadapi oleh buruh.


Demikian juga dengan berbagai analisis teoritik yang digunakan dalam memahami
dan mengkritik sistem pengupahan. Ada beberapa kerangka teoritik yang sering
digunakan, antara lain; kerangka teoritik pertama adalah yang mempertimbangan sisi
permintaan tenaga kerja sebagai dasar penentuan tingkat upah sektor industri. Sisi
permintaan menekankan berbagai aspek kompetisi, motif maupun tekanan ekonomi
yang mempengaruhi tingkat upah. Tidak ada pertimbangan lain dalam prinsip seperti
ini. Sistem permintaan tenaga kerja menawarkan satu konsep yang melulu
berdasarkan pertimbangan ekonomi semata. Jika demikian, maka buruh atau pekerja
dianggap sebagai salah satu komponen biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha
dalam melakukan proses produksi. Dengan demikian, kemampuan pengusaha untuk
memproduksi suatu barang tergantung dari kemampuannya menyediakan modal dan
membeli tenaga kerja dalam kuantitas tertentu. Jika dalam waktu tertentu dan nilai
atau harga dari suatu produk tertentu pengusaha hanya mampu memperkerjakan
sejumlah tenaga kerja atau buruh, maka tingkat upah yang diberikan kepada buruh
adalah sebesar hasil pengurangan hasil penjualan produk dalam volume tertentu
dengan modal yang dikeluarkan.
Aspek kedua adalah pertimbangan penawaran tenaga. Jika pada sisi
permintaan dasar pertimbangan utamanya adalah kompetisi, tekanan dan motif
ekonomi, maka pada sisi penawaran tenaga kerja, tekanan diletakkan pada aspek

42International Labour Organization (ILO), Social Adjustment Through Sound Industrial Relations and Labour
Protection, Final Report of An ILO/UNDP TSS1 Advisory Mission, Jakarta, 1995.

143
kualitas sumberdaya manusia. Pada sisi ini, tingkat upah lebih ditentukan oleh tingkat
pendidikan, pengalaman kerja, keahlian kerja dan berbagai pertimbangan lainnya.
Aspek ketiga yang menjadi saat sekarang ini menjadi acuan di banyak negara
adalah adalah intervensi dari pemerintah dan serikat buruh. Dikarenakan tidak
terjadinya kesempurnaan pasar dalam menentukan tingkat upah, maka perlu ada
konsep penyangga sehingga kepentingan buruh tidak selalu dikalahkan oleh
ketidakpastian pasar. Konsep ketiga inilah yang menawarkan adanya jaring
pengaman (safety net) dalam kebijakan upah buruh. Melepaskan jumlah upah buruh
berdasarkan mekanisme pasar dianggap tidak sangat manusiawi, sehingga perlu
ditetapkan satu jumlah minimal agar buruh dapat sekedar hidup dan bekerja.
Dalam perspektif ekonomi klasik dapat kita telusuri konsep upah minimum
tersebut dari tawaran David Ricardo. Sebagai salah satu peletak dasar ekonomi klasik,
Ricardo mengusulkan adanya tingkat upah tertentu sebagai imbal jasa bagi tenaga
kerja. Imbalan tersebut hanya sekedar buruh dapat mempertahankan dan melanjutkan
kehidupan. Dalam teori upah yang ditawarkan oleh Ricardo, tingkat upah yang
diterapkan merupakan harga keseimbangan tenaga kerja. Memang tidak selamanya
jumlah upah akan tetap, namun dikarenakan adanya akumulasi modal, kemajuan
teknologi dan tekanan ekonomi lainnya, jumlah upah tersebut akan turun naik.
Berdasarkan realitas upah yang dialami oleh buruh maupun kebijakan
pengupahan yang dimunculkan oleh pemerintah, jelas landasan teori dan fundamen
yang mendasari kebijakan upah masih sangat kental dengan kepentingan pengusaha.
Secara terbuka pemerintah lebih menyetujui tingkat upah ditentukan oleh mekanisme
pasar. Tetapi dalam mekanisme pasar, tidak ada kepastian tentang jumlah upah bagi
buruh. Tingkat upah lebih ditentukan oleh hitung-hitungan biaya yang dikeluarkan
oleh pengusaha dalam satu proses produksi, kompetisi antar perusahaan, jumlah
permintaan dan penawaran tenaga kerja dan kepentingan pertumbuhan ekonomi dari
pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh Adam Smith ada dua atau tiga bagian nilai
yang dihasilkan buruh, yakni upah untuk buruh, keuntungan untuk pengusaha yang
menyediakan modal dan membeli bahan mentah, serta uang sewa untuk pemilik

144
tanah. Dalam tatanan yang lebih modern, pembagian dari Adam Smith tersebut sudah
tidak sesuai lagi. Smith tidak memasukkan faktor negara atau pemerintah sebagai
salah satu komponen yang turut menerima keuntungan dari sistem ekonomi
kapitalistik yang dibangun.
Sebagai komponen regulator bidang ekonomi, peran pemerintah sudah
sedemikian besar terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga berbagai kebijakan
ekonomi maupun secara khusus kebijakan sektor industri dan perburuhan adalah yang
mampu menopang pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Apalagi ketika
muncul kebijakan desentralisasi kewenangan pemerintahan melalui Undang-Undang
otonomi Daerah. Salah satu aspek yang turut terpengaruh oleh kebijakan tersebut
adalah dalam hal kebijakan pengupahan.
Proses penetapan kebijakan upah yang sebelumnya ditentukan oleh
pemerintah pusat melalui Menteri Tenaga Kerja sudah mulai didistribusikan kepada
kepala daerah, yakni Gubernur dalam menentukan UMP (Upah Minimum Propinsi),
Bupati/Walikota yang merumuskan dan menentukan UMK (Upah Minimum
Kabupaten/Kota). Prinsip pergeseran kewenangan yang sebenarnya bertujuan agar
unsur lokalitas lebih dipertimbangan dalam proses perumusan dan penetapan upah
ternyata tidaklah signifikan sama sekali dalam menaikkan upah buruh, apalagi
meningkatkan kesejahteraan buruh secara umum.
Ada beberapa aras proses perumusan dan penetapan upah buruh yang masih
timpang dalam sistem yang berlangsung saat ini.

1. Pada proses penentuan komponen yang dilibatkan dalam Dewan Pengupahan


Daerah (DPD,
2. Pada tahapan survey dan penelitian kondisi kebutuhan buruh yang didasarkan
kondisi pasar harga
3. Dasar kebutuhan hidup buruh yang masih sebatas Kebutuhan Hidup Minimum
4. Pada tahapan analisis dan diskusi informasi hasil survey,
5. Pada proses pengambilan keputusan jumlah upah, dan

145
6. Pada proses sosialisasi kebijakan jumlah upah UMP

Terlihat bahwasannya dalam setiap tahapan perumusan dan penetapan upah,


secara institisional, DPD dengan Gubernur telah cacat. Hal itu tidak terlalu jauh
berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh seorang mantan anggota DPD yang berasal
dari komponen serikat buruh. Pada tahapan survey dan penelitian terdapat indikasi
beberapa anggota dalam DPD tidak melakukan hal yang sebagaimana mestinya.
Walaupun sulit untuk dibuktikan, namun dari setiap hasil survey dan penelitian, data
yang ditemukan selalu sangat berbeda dengan data atau informasi yang diperoleh oleh
komponen DPD dari Serikat Buruh.
Selain keenam keganjilan tersebut, satu hal yang kurang mendukung proses
perumusan dan penetapan upah adalah ketiadaan dana. Secara formal, alokasi dana
yang secara khusus membiayai proses perumusan dan penetapan upah oleh institusi
DPD sangatlah minim. Padahal, dilihat dari tanggungjawab, proses kerja dan efek
dari kerja yang dilakukan oleh DPD sangatlah besar. Kondisi tersebutlah yang
diasumsikan menyebabkan kerja-kerja yang dilakukan DPD secara institusional tidak
efektif. Secara personal, input materi yang diberikan kepada anggota DPD hanya
pada saat diskusi dan rapat perumusan. Belum lagi jika dikaitkan dengan dana yang
diberikan dalam setiap proses survey dan penelitian yang sampai saat ini belum jelas
sama sekali. Pemerintah propinsi yang sebenarnya paling bertanggungjawab terhadap
kinerja DPD tidak memiliki format khusus dalam hal pembiayaan. Sampai saat ini
tidak ada alokasi yang jelas dan cukup besar dalam membiayai kerja-kerja DPD,
padahal efek yang ditimbulkan dari institusi ini membawa pengaruh yang sangat
besar terhadap kondisi ekonomi Sumatera Utara dan kesejahteraan buruh.

Apa yang terjadi di dewan pengupahan kota Medan tampaknya menjadi satu
pelajaran bahwasannya anggaran dewan pengupahan memang sangat menentukan
kinerja dewan. Di dewan pengupahan kota Medan sebenarnya sudah tersedia
anggaran operasional yang tercantum dalam APBD. Namun dari surat keputusan
penetapan dewan pengupahan kota Medan dicantumkan satu point tentang nomor
rekening dewan pengupahan. Hal ini jika tidak diawasi dengan tepat akan membuka
ruang penyalahgunaan wewenang yang nantinya akan mengganggu independensi

146
dewan pengupahan. Memang belum ada bukti bahwasannya rekening tersebut
disalahgunakan oleh pimpinan dewan pengupahan ataupun pemerintah daerah, namun
keberadaannya harus dicermati secara teliti oleh serikat buruh maupun komponen
yang ada di dewan pengupahan. Untuk menghindari hal-hal yang akan memperlemah
dewan pengupahan, anggaran dewan dalam APBD dan rekening dewan harus
dikelola secara transparan.
Minimnya anggaran operasional dewan pengupahan sendiri sebenarnya dapat
diterjemahkan dari dua sisi yang sifatnya dapat menguatkan maupun melemahkan.
Satu sisi, utusan yang ada di dewan pengupahan tidak meratas secara materiil. Pihak
pengusaha dan pemerintah jelas-jelas tidak akan terganggu dengan minimnya
anggaran tersebut karena kerja-kerja mereka dalam dewan pengupahan adalah bagian
dari kerja-kerja pemerintahan. Sedangkan pengusaha tentunya tidak akan kesulitan
karena kontribusi utusan tiap-tiap perusahaan dalam asosiasi pengusaha sudah jelas.
Bagi komponen serikat buruh kritis yang masih berusaha mandiri, minimnya
ketersediaan dana operasional jelas sangat mengganggu. Apalagi kerja-kerja di dewan
pengupahan memang sangat membutuhkan anggaran yang cukup, seperti dalam
pembiayaan proses survey, pembahasan, pencarian refferensi, penyediaan tempat
rapat yang kondusif dan mungkin juga biaya pengganti waktu bagi anggota dewan.
Namun di sisi lain, kecukupan dana tersebut dapat melemahkan posisi dewan maupun
anggota karena akan memunculkan ketergantungan yang kemudian berdampak
kepada independensi maupun kekritisan dewan. Ketatnya perdebatan di dewan
pengupahan mengakibatkan permasalahan anggaran akan semakin sensitif sehingga
mau tidak mau harus dikelola secara jelas dan transparan, sebab jika tidak akan
memunculkan ruang-ruang manipulasi dan penyelewengan baru.
Sistem pengupahan yang diberlakukan di Sumatera Utara dan secara umum
di Indonesia sampai saat ini memang sangat tidak jelas. Di mata buruh, sistem
pengupahan yang berjalan masih sangat kabur. Pada beberapa sisi, seperti
pengetahuan tentang komponen, begaimana proses perumusan dan penetapan
berjalan, institusi yang berperan, jumlah upah yang ditetapkan maupun aspek
informasi dari kebijakan upah masih sangat kurang dipahami oleh buruh. Hal itulah

147
yang mendorong persepsi buruh terhadap sistem kebijakan upah yang dijalankan
dirasakan masih sangat jauh dari kepentingan dan kebutuhan buruh.
Keterlibatan buruh dalam sistem yang dijalankan juga masih sangat rendah.
Prinsip keterwakilan berimbang dalam komponen DPD terbukti tidak signifikan
dalam memperbesar pengaruh serikat buruh dalam proses perumusan dan penetapan
UMP. Pengaruh komponen lain, seperti pengusaha, pemerintah dan kaum pakar dari
institusi akademik masih memarjinalisasi kepentinga dan kebutuhan buruh. Walaupun
ada juga buruh yang beranggapan bahwa keterlibatan buruh dalam sistem kebijakan
upah tidak diperlukan, namun hal itu lebih disebabkan oleh pengalaman negatif pada
masa lalu. Selama kebijakan pengupahan dijalankan, jumlah upah yang ditetapkan
tidak pernah sesuai dengan kebutuhan buruh. Kenaikan upah tidak pernah menyentuh
jumlah yang diinginkan oleh buruh. Hal itu dapat dilihat dari kenaikan jumlah UMP
yang selalu jauh lebih rendah dari kenaikan riil pengeluaran buruh. Hal itulah yang
menjadi pendorong beberapa buruh memiliki persepsi negatif terhadap keterlibatan
buruh dalam proses perumusan dan penetapan UMP pada institusi DPD. Keterlibatan
buruh dalam DPD dianggap tidak ada guna, buruh tidak memiliki kapasitas untuk
membahas upah dan proses penetapan upah bukan dianggap tugas dari buruh.
Bagi yang masih menganggap keterlibatan buruh sangat penting dalam proses
perumusan dan penetapan upah, keterlibatan tersebut harus pada setiap tahapan
proses. Selain agar semakin besarnya kepentingan buruh dapat terakomodir dalam
proses tersebut, buruh menganggap mekanisme yang berjalan masih penuh
kecurangan. Praktek KKN, tidak benarnya proses penelitian, dan adanya kompromi
antar pihak yang terlibat dalam DPD menjadi beberapa faktor yang mendorong
elemen buruh untuk terlibat lebih dalam dalam proses perumusan dan penetapan
jumlah UMP.
Satu hal yang patut dicatat dari hasil penelitian ini adalah, persepsi buruh
terhadap kemampuan upah dalam memenuhi kebutuhan hidup buruh cukup lemah.
Semakin kebutuhan mengarah kepada hal-hal yang lebih pada kebutuhan sosial, maka
kemampuan buruh untuk membiayainya semakin sulit. Untuk kebutuhan akan makan

148
keluarga, sebahagian besar buruh terlihat masih mampu. Namun jika sudah mengarah
pada kebutuhan membiayai kebutuhan sosial dan rekreasi, maka kemampuan buruh
semakin lemah.
Jika dibandingkan dengan pendapatan yang diterima buruh dari hasil kerja di
pabrik, terlihat sangatlah timpang dengan pengeluaran yang harus dibiayai oleh buruh
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rata-rata pengeluaran buruh laki-laki
maupun perempuan memang tidak terlalu jauh dari jumlah upah yang diterima dalam
satu bulan. Jika hanya didasarkan pada fakta tersebut tentunya tingkat kesulitan
pemenuhan kebutuhan buruh menjadi lebih rendah. Namun jika dilihat dari
komponen pengeluaran buruh, terlihat sangat minim dibandingkan dengan kebutuhan
satu orang secara layak. Volume makan, jenis barang konsumsi yang dibeli sangat
minim sehingga wajar jika pengeluaran buruh tidak terlalu besar. Namun jika
dikomparasikan pada buruh lainnya yang berusaha untuk hidup lebih layak, maka apa
yang dikonsumsi, frekuensi makan, jenis makanan yang dikonsumsi terlihat sangat
tidak masuk akal. Hal itu salah satunya diakibatkan oleh adanya strategi buruh untuk
tetap bertahan hidup. Dengan kondisi upah yang sangat minim, buruh dipaksa untuk
mengurangi pengeluaran. Dari sisi volume dan kualitas, apa yang dikonsumsi oleh
buruh sangat jauh dari kebutuhan hidup manusia secara normal.
Dari beberapa komponen, pengeluaran buruh terbesar adalah untuk
konsumsi.Sebahagian besar pengeluaran konsumsi dibeli oleh buruh. Hal itu terlihat
dari konsumsi buruh akan susu, daging dan buah-buahan. Beban kerja yang sangat
berat tentunya membutuhkan kalori yang cukup besar. Rata-rata buruh sangat jarang
mengkonsumsi sumber makanan yang berkalori dan bervitamin tinggi seperti susu,
daging dan buah-buahan. Tentunya hal ini akan sangat mengganggu kesehatan buruh
dalam jangka waktu lama. Kemampuan buruh yang sangat rendah untuk
mengkonsumsi makanan ataupun minuman yang berkualitas baik tidak didukung oleh
supplay suplemen makanan dari perusahaan. Dari beberapa jenis lauk yang umum
dikonsumsi, rata-rata frekuensi hanya kurang dari 4 kali dalam satu bulan. Bisa
dibayangkan jika dalam satu bulan buruh hanya makan daging 1 atau 2 kali dalam

149
satu bulan. Satu-satunya jenis lauk yang mampu dibeli dan dikonsumsi dalam
frekuensi yang cukup tinggi hanyalah ikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan,
variasi jenis lauk yang dikonsumsi oleh buruh sangatlah rendah. Dari seluruh jenis
lauk, yang paling sering dikonsumsi oleh buruh adalah yang berharga murah, seperti
indomie, tempe, tahu dan telur. Ada berbagai alasan yang dikemukakan buruh tentang
kondisi tersebut. Salah satunya adalah, makanan seperti itu yang cukup tersedia di
sekitar permukiman buruh sekaligus cukup murah dibandingkan jenis lauk lain.
Pada sisi pendapatan, rata-rata buruh sudah menerima sesuai dengan UMP. Data
seperti ini tentunya dapat menjadi bumerang bagi buruh. Jika ukurannya adalah
kebutuhan hidup minimum, maka kebijakan standar upah minimum (UMP)
sudah sudah tercapai. Namun jika ukurannya adalah kelayakan hidup buruh, maka
sama sekali pendapatan tersebut masih sangat timpang. Apalagi jika dilihat dari
beberapa komponen upah yang umum diterima oleh buruh. Dari keseluruhan
komponen upah, hanya komponen upah pokok yang rutin diberikan kepada buruh
tetap. Tentang komponen upah lainnya, ternyata hanya sebahagian kecil yang merasa
dipenuhi. Kondisi buruh kontrak, buruh harian lepas dan borongan lebih parah lagi.
Sebahagian besar komponen upah tidak diterima oleh buruh non tetap. Hal ini
menunjukkan, status buruh memang sangat mempengaruhi pendapatan buruh. Bukan
hanya dari sisi ketidakpastian status, namun juga pada sisi pemenuhan hak normatif
buruh. Padahal, saat ini proses peralihan status dari buruh tetap menjadi buruh
kontrak atau borongan semakin tinggi. Undang-undang yang mengatur perlindungan
hak buruh kontrak dan borongan terbukti tidak efektif.
Upah minimum yang selalu diperbaharui setiap tahunnya ternyata sama sekali
tidak mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi oleh buruh. Jumlah upah
yang merangkak naik masih jauh dari kebutuhan hidup buruh untuk hidup layak.
Berbagai kebutuhan buruh yang sebenarnya layak untuk dipenuhi masih jauh dari
harapan. Ketika dikomparasikan dengan kondisi saat ini, maka upah minimum sama
sekali tidak akan mampu memenuhi kebutuhan buruh. Untuk itu, berbagai aspek yang
terkait dengan sistem pengupahan harus mengalami perubahan.

150
Berbagai kajian dan analisis tentang pengupahan sudah banyak dilakukan,
baik itu oleh elemen gerakan perburuhan, organisasi non pemerintah, akademisi
perguruan tinggi, serikat buruh maupun lembaga perburuhan internasional. Kajian
yang dilakukan oleh berbagai institusi tersebut kebanyakan mengacu pada sisi
normatif dari kebijakan pengupahan. Demikian juga dengan upaya-upaya perlawanan
buruh serta serikat buruh tentang upah.
Sejak kebijakan upah minimum diberlakukan, boleh dikatakan intensitas
perlawanan buruh dengan mengusung isu upah semakin tinggi. Sebagai sebuah
kebijakan jaring pengaman, upah minimum belum dilaksanakan secara maksimal.
Pemberlakuan upah minimum kemudian membongkar praktek-praktek curang dalam
pengupahan di tingkat perusahaan. Setiap tahunnya, bermunculan kasus-kasus
pengupahan secara nasional maupun di tingkat lokal, dan hal ini menjadi indikasi
bahwasannya persoalan upah menjadi isu penting, selain kasus perburuhan lainnya.
Mengapa isu pengupahan selalu muncul dalam dinamika perburuhan pada
intensitas frekuensi yang sangat tinggi? Padahal, jika dilihat dari regulasi yang
dikeluarkan legislatif dan pemerintah, tema-tema pengupahan menjadi priorotas yang
cukup besar. Sejak awal orde baru berkuasa sampai saat ini, belasan aturan sudah
dikeluarkan, namun tampaknya kontribusi regulasi tersebut terhadap kesejahteraan
buruh masih sangat jauh.
Beberapa kajian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwasannya
kekacauan persoalan pengupahan di Indonesia dilatarbelakangi oleh satu konsep
yakni kebijakan ketentuan upah minimum. Setidaknya kesimpulan seperti itulah yang
sering dikemukakan oleh kalangan reformis perburuhan. Mulai kebijakan tersebut
diterapkan sampai saat ini, output pemberlakukan upah minimum tersebut tidak
membawa kesejahteraan bagi buruh.
Seperti yang sudah disebutkan dalam bab-bab sebelumnya, upah minimum
merupakan sebuah jaring pengaman (safety net) bagi buruh dari kesewenangan
pengusaha. Ketentuan upah minimum tersebut muncul ketika mekanisme pasar
permintaan dan penawaran tenaga kerja maupun sistem ekonomi pasar tidak mampu
melindungi buruh dalam sektor industri.
Indonesia sebagai sebuah negara yang tengah merangkak menuju sistem
ekonomi berbasis industri juga mengalami hal yang sama. Situasi tersebut terutama
dialami pada masa-masa awal pemerintahan orde baru. Target pertumbuhan ekonomi

151
yang berusaha dicapai dengan penciptaaan stabilitas ekonomi, politik dan
peningkatan jumlah investasi kurang memperhatikan nasib buruh. Program-program
pembangunan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan orde baru terlalu memihak
pada kepentingan pengusaha dan investor, tanpa mempertimbangkan penghisapan
dan kesewenangan perusahaan terhadap buruh.
Menjelang akhir tahun 1980-an, barulah intervensi pemerintah dalam bidang
pengupahan mulai diterapkan secara serius. Hal itu salah satunya disebabkan oleh
tekanan dari berbagai elemen perburuhan dalam maupun luar negeri yang khawatir
dan prihatin dengan kondisi ekonomi maupun perburuhan di Indonesia. Salah satunya
adalah dilatarbelakangi oleh prasyarat dari beberapa negara importir produk
manufaktur, yakni Amerika Serikat yang menghendaki perubahan kondisi
ketenagakerjaan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal itulah kemudian
yang mendorong pemerintah Indonesia harus menata kondisi ketenagakerjaan
nasional agar produk non migas diterima di negara-negara importir43.
Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka menata
sistem ketenagakerjaan di Indonesia adalah mengenai upah minimum (UM). Tekanan
dari negara-negara tujuan ekspor produk manufaktur Indonesia mendorong
pemerintah untuk mengurangi dampak eksploitasi modal terhadap buruh.
Kebijakan upah minimum tersebut mulai diterapkan secara serius oleh
pemerintah mulai tahun 1989, yakni setelah keluarnya Peraturan Menteri Tenaga
Kerja no. 05/Men/1989 tentang ketentuan upah minimum. Peraturan tersebut adalah
bertujuan menetapkan upah terendah yang boleh diberikan pengusaha kepada
buruhnya44. Setelah dilaksanakan selama hampir sepuluh tahun, kemudian aturan
upah minimum tersebut diperbaiki kembali melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Ri No. Per-01/Men/1999 yang merupakan penyempurnaan dari kebijakan
sebelumnya.
Selama itu pula beberapa aturan pelaksana upah minimum dikeluarkan oleh
pemerintah, termasuk pembentukan institusi yang berwenang dalam merumuskan dan
menetapkan jumlah upah minimum, salah satunya adalah surat Dirjen BINAWAS
No. B.16/BW/2001 tentang Dewan Pengupahan Daerah (DEPEDA/DPD). Namun

43 Suryahadi Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira, dan Sudarno Sumarto, dalam Jurnal Analisis Sosial
Akatiga, Vol. 7 No.1 Februari, Bandung, 2002, hal 21.
44 Tjandraningsih Indrasari, Kebutuhan Fisik Minimum dan Upah Minimum, dalam Dedy Haryadi, dkk, 1994,

TinjauanKebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia, Bandung. Akatiga.

152
pelaksana kebijakan upah minimum tersebut tetap saja belum memenuhi rasa
keadilan bagi buruh, khususnya tentang keterwakilan buruh dalam lembaga DPD
tersebut.
Ada banyak sebenarnya persoalan yang muncul sebagai dampak dari
pemberlakuan kebijakan upah minimum tersebut. Selain secara institusional belum
memenuhi aspek keadilan, tidak konsistennya kontrol yang dilakukan pemerintah,
lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan upah
minimum maupun persoalan-persoalan di tingkat pelaksanaan, konsekuensi paling
besar sebenarnya terletak pada stagnasi nilai upah buruh dan eksploitasi sistematis
terhadap buruh.
Selain sebagai jaring pengaman, ada satu landasan penerapan upah minimum
yang sampai saat ini sulit untuk dimengerti. Secara teoritik, tingkat upah ditentukan
oleh mekanisme permintaan dan penawaran tenaga, dan juga beberapa variabel
lainnya. Upah minimum merupakan jalan tengah ketika mekanisme pasar telah gagal
menjaga stabilitas tingkat upah sesuai dengan kebutuhan dan produktivitas buruh.
Beberapa studi empirik menyatakan, jika upah minimum berada di atas tingkat upah
keseimbangan pasar, maka efeknya akan mengurangi tingkat permintaan tenaga kerja
dan kemudian memperbesar angka pengangguran45. Teori seperti inilah yang banyak
dijadikan pedoman negara-negara di dunia maju dan berkembang dalam menangani
persoalan upah. Dengan pedoman seperti itu maka pemerintah di negara berkembang,
termasuk Indonesia kemudian menjalankan kebijakan upah minimum.
Pada satu sisi, memang kebijakan seperti itu mampu menyelamatkan iklim
investasi di negara berkembang. Dengan tingkat upah yang rendah dan berada di
bawah upah keseimbangan pasar, maka akan menjadi daya tarik bagi pemodal. Hal
itu juga dapat menolong pemodal domestik yang berusaha berkembang dengan
kemampuan investasi dan finansial yang terbatas. Pada satu fase memang kebijakan
upah minimum memang menguntungkan. Selain bisa menarik investor, juga

45Suryahadi Asep, dkk, Upah dan Kesempatan Kerja, Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Penyerapan
Tenaga Kerja Sektor Formal Perkotaan, Jurnal Analisis Sosial Akatiga, Bandung, Vol.7 No. 1 Februari 2002.

153
menolong pemodal domestik yang masih lemah. Namun ternyata pada fase
selanjutnya, ketika pertumbuhan ekonomi sudah cukup baik, kontribusi pemodal
nasional terhadap pertumbuhan ekonomi sudah memadai, kebijakan upah minimum
sebenarnya sudah sangat tidak layak untuk diterapkan.
Ada beberapa alasan yang menjadi landasan ketidaklayakan kebijakan upah
minimum untuk diterapkan lagi. Pertama, kebijakan upah minimum sering dijadikan
alasan oleh pemerintah untuk enggan menaikkan tingkat upah sesuai dengan
kebutuhan dan produktivitas buruh. Sejak upah minimum diberlakukan secara merata
tahun 1989 sampai saat ini, tidak satupun tahapan kenaikan upah yang mampu
mengejar tingkat inflasi dan kenaikan kebutuhan hidup buruh secara layak. Walaupun
ada beberapa fase, yakni tahun 1990, 1994 dan 2000 dimana kenaikan upah minimum
riil pernah mencapai lebih dari 50%,21 namun tetap saja belum dibarengi dengan
peningkatan daya beli buruh terhadap beberapa kebutuhan hidup.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pemerintah selalu berpedoman
pada aspek teoritik dalam masalah pengupahan. Kenaikan upah secara terus menerus
dianggap akan memperbesar beban pengusaha sehingga nantinya memperkecil
jumlah penyerapan tenaga kerja, yang akhirnya mempertinggi angka pengangguran.
Padahal teori seperti ini juga masih harus dipertanyakan lagi. Lihat saja penilaian dari
beberapa lembaga riset ekonomi internasional. Walaupun tingkat upah di Indonesia
secara nominal tergolong rendah, namun sama sekali tidak menjadikan negara ini
sebagai tujuan investasi penting bagi investor47
Kedua, kebijakan upah minimum sendiri sebenarnya mengingkari sistem
pengupahan alternatif yang lebih berkeadilan. Konsep upah minimum sendiri
sebenarnya sudah lama ditinggalkan oleh negara-negara berkembang lain, khususnya
di kawasan asia tenggara. Secara empirik, upah minimum yang diberlakukan di

46 Ibid,
hal 24.
47 Bahkan menurut seorang pengusaha besar di Kota Medan dan Sumatera Utara, pemberlakuan upah minimum
telah menyulitkan pengusaha dalam mengatur sistem pengupahan di tingkat perusahaan. Di tiap perusahaan
terdapat perbedaan kemampuan dalam menggaji buruhnya, sehingga harus diberi kebebasan membentuk sistem
tersendiri.

154
Indonesia bertolakbelakang dengan dinamika ekonomi yang sedang berjalan. Walau
pernyataan tersebut berasal dari perspektif ekonomi pasar, namun hal ini menjadi
indikasi betapa terbelakangnya Indonesia dalam hal sistem pengupahan. Jika memang
prinsip upah keseimbangan pasar diterapkan secara murni, upah minimum yang
diberlakukan saat ini sudah sangat kecil dibandingkan upah yang ditentukan oleh
pasar48.
Ketiga, upah minimum telah dijadikan indikator utama bagi upah buruh
sektor formal. Hal ini tentunya berbahaya bagi penciptaan sebuah sistem pengupahan
yang lebih adil bagi buruh. Menjadikan upah minimum sebagai indikator upah telah
merembet ke berbagai konsep-konsep lainnya, seperti kesejahteraan, keadilan,
stabilitas ekonomi, politik sampai pada persoalan kemanusiaan.
Melebarnya pemaknaan upah minimum tersebut tentunya telah mereduksi
banyak hal. Menyamakan upah minimum dengan kesejahteraan buruh, pertumbuhan
ekonomi dan keadilan sosial merupakan praktek pembodohan terhadap buruh. Lihat
saja beberapa perdebatan setiap tahunnya tentang upah minimum antara elemen
buruh dengan institusi pengupahan bersama dengan pemerintah. Polemik yang
berlangsung tentang pengupahan masih sekedar pada nominal upah semata, tanpa
melihat aspek yang lebih mendasar dan pada skala yang lebih luas. Padahal, dari sisi
standar yang digunakan, institusi yang terlibat dalam proses perumusan dan kriteria-
kriteria yang digunakan sudah menyalah.
Setiap tahun, hanya satu sisi yang selalu menjadi topik pengupahan, yakni
mengenai jumlah upah minimum yang akan diberlakukan untuk satu tahun ke depan.
Pihak pemerintah dan pengusaha selalu bertahan dengan jumlah kenaikan serendah
mungkin berdasarkan hasil survey pasar, indeks harga konsumen, tingkat inflasi,
kondisi investasi dan pertumbuhan ekonomi maupun berbagai variabel lainnya,

48 Harian Medan Bisnis, 19 November 2003. Pada kolom ini, seorang ekonom di Sumatera Utara menyatakan,

upah yang ditentukan oleh pasar sebenarnya lebih baik jika didasarkan pada konsep upah minimum. Pasar tidak
dapat didustai, karena dinamika pasar akan berbanding lurus dengan jumlah upah. Untuk itu, antara pengusaha
dan buruh harus bekerja sama untuk meningkatkan permintaan agar secara otomatis menaikkan upah buruh.
Negara-negara yang tetap menerapkan upah minimum nantinya akan terjebak pada upah buruh yang rendah.

155
sedangkan elemen buruh menginginkan kenaikan upah lebih besar dari hasil survey
dan perumusan institusi pengupahan.
Walaupun dalam jangka pendek perdebatan tersebut bermanfaat, namun
sebenarnya telah menjebak buruh dalam persoalan yang tidak substansial. Padahal
jika dilihat dari perdebatan yang ada, argumentasi, landasan teoritik maupun bukti
empirik yang diajukan oleh pemerintah dan pengusaha masih perlu diuji
kebenarannya. Misalnya saja tentang alasan akan adanya pengurangan permintaan
tenaga kerja akibat kenaikan upah minimum. Memang ada hasil kajian yang
menunjukkan adanya korelasi kenaikan upah minimum terhadap pengurangan
permintaan tenaga kerja. Menurut penelitian dari SMERU49, yang menyatakan setiap
kenaikan upah minimum riil akan menyebabkan berkurangnya lapangan kerja di
sektor formal perkotaan sebesar 2%, lepangan kerja bagi buruh perempuan dan
pekerja berusia muda sebesar 6% dan lapangan kerja bagi unskilled workers sebesar
4%, namun tetap saja masih bisa dipertanyakan. Salah satunya adalah hasil penelitian
yang dilakukan oleh Islam dan Nazara tahun 200050. Hasil penelitian yang mereka
lakukan membuktikan sebenarnya tidaklah ada hubungan antara kenaikan upah
dengan berkurangnya penyerapan tenaga kerja. Penelitian tersebut juga menyatakan,
bahwa keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan skala menengah dan besar
sebenarnya tidak berkurang akibat kenaikan upah minimum. Dan secara nasional, jika
terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar 4%, maka akan dapat meningkatkan upah
minimum sebesar 24% per tahun. Kenaikan ini pada kenyataannya tidak akan
berpengaruh terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja.
Perbedaan pandangan dan bukti empirik seperti inilah yang membuat setiap
proses perumusan dan penetapan upah minimum selalu menimbulkan polemik.
Namun tetap saja, korban pertama dari polemik tersebut adalah buruh. Keterbatasan

49 Suryadi, Asep, dll, 2001. Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in the Indonesian Urban
Market, Jakarta.
50 Setia, Resmi, Serba-serbi Sistem Pengupahan:Tinjauan Singkat Terhadap Kebiajakan Upah Minimum di

Indonesia, makalah pada Semiloka Pengupahan Alternatif, yang diselanggarakan Kelompok Pelita Sejahtera,
Medan. 2004.

156
data dari serikat buruh, lemahnya argumentasi empirik tentang pengupahan
menjadikan elemen buruh terpinggirkan dalam setiap proses perumusan dan
penentuan upah. Hal ini berkaitan dengan alasan keempat.
Secara institusional dan di tingkat regulasi, stakeholder pengupahan memang
tidak punya kompetensi yang mencukupi untuk membahas sesuatu yang menyangkut
kelangsungan hidup buruh. Ambil contoh tentang keberadaan Dewan Pengupahan
Daerah (DPD/Depeda). Lembaga ini sebenarnya memiliki kewenangan yang cukup
besar dalam merumuskan dan menetapkan jumlah upah minimum di tingkat propinsi
maupun di kabupaten/kota. Namun kewenangan tersebut tidak dilanjutkan dengan
kewenangan memutuskan besaran upah yang melalui proses survey tersebut.
Dewan Pengupahan Daerah (DPD) merupakan institusi perumus besaran upah
untuk kemudian merekomendasikannya ke kepala daerah propinsi dan
kabupaten/kota. Sesuai dengan Surat Dierjen Binawas No.B 16/BW/2001 tanggal 30
April 2001 ditegaskan, bahwa dari sisi keanggotaan, Dewan Pengupahan Daerah
(DPD) terdiri dari unsur tripartit plus dengan komposisi 1:1:1 ditambah unsur dari
perguruan tinggi, sedangkan keterlibatan serikat buruh/pekerja diatur dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep.201/MEN/2001
tanggal 10 Desember 2001 tentang keterwakilan dalam kelembagaan hubungan
industrial51.
Sebagai sebuah institusi pengupahan yang memiliki kewenangan cukup besar
di bidang pengupahan, kontribusi DPD untuk menaikkan besaran upah sebenarnya
sangat diharapkan. Namun diakibatkan lemahnya posisi tawar buruh, besarnya
kepentingan pengusaha, kolaborasi beberapa komponen dalam menekan komponen
buruh, korporatisme dalam beberapa serikat buruh, proses perumusan maupun
mekanisme pengambilan keputusan yang tidak demokratis membuat lembaga ini
hanya menjadi alat bagi pengusaha untuk melegitimasi kepentingan mereka atas upah
murah.

51Sitorus, Toga, Sistem Penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) di Propinsi Sumatera Utara, disampaikan
dalam Semiloka Pengupahan Alternatif yang diselenggarakan Kelompok Pelita Sejahtera, Medan. 2004.

157
Seperti yang ditunjukkan dari penelitian Popon Anarita dan Resmi Setia
tentang dewan pengupahan propinsi Jawa Barat. Secara umum ada 5 sisi yang harus
disoroti mengenai Dewan Pengupahan Daerah di propinsi Jawa Barat, dan mungkin
juga menjadi titik lemah DPD secara nasional.
Pertama, tidak adanya transparansi dan kriteria yang baku dalam proses pemilihan
unsur DPD. Selama ini proses pembentukan DPD sangat tidak transparan, khususnya
dalam menentukan unsur yang terlibat dalam DPD. Disnaker sebagai pihak yang
pertama kali menyusun keanggotaan DPD tidak pernah memberikan informasi
tentang pertimbangan untuk mengundang komponen yang terlibat dalam DPD,
sehingga memungkinkan unsur yang diundang untuk mengutus orang-orang yang
kurang berkompeten dalam masalah pengupahan.
Kedua, terdapat beberapa komponen yang sebenarnya tidak relevan untuk dilibatkan,
namun tetap diundang dan dimasukkan dalam DPD. Komponen yang kurang relevan
tersebut biasanya berasal dari pemerintah. Misalnya saja seperti yang terjadi di
Propinsi Jawa Barat. Dinas perkebunan yang tidak berurusan dan mengatur masalah
perburuhan dipaksakan untuk masuk dalam institusi DPD. Jelas keberadaan
komponen yang tidak relevan untuk dilibatkan tersebut patut dicurigai, karena terlihat
sekedar memperkuat posisi pemerintah dalam proses perumusan upah.
Ketiga, proses survey yang tidak optimal. Mulai dari fase persiapan survey,
penyusunan komponen kebutuhan yang akan di survey, peran unsur tripartit dalam
proses survey, pelaksanaan survey, maupun kualitas data yang diperoleh dipenuhi
kecurangan dan rekayasa. Misalnya saja, dalam proses survey, sudah menjadi
kebiasaan DPD untuk melakukan survey di lokasi pasar yang jumlahnya lebih sedikit
dari jumlah lokasi pasar yang direncanakan.
Keempat, Netralitas yang berpihak dari unsur perguruan tinggi. Salah satu
pertimbangan mengapa komposisi DPD adalah tripartit plus adalah guna memenuhi
aspek netralitas, dan unsur yang dipilih adalah dari perguruan tinggi. Namun dalam
banyak kasus, unsur perguruan tinggi yang sebenarnya harus berdiri pada posisi
netral ternyata lebih berpihak kepada pengusaha dan pemerintah. Kapabilitas yang

158
dimiliki unsur perguruan tinggi ternyata tidak dimanfaatkan untuk menengahi
perbedaan antara unsur tripartit, namun malah digunakan untuk mendukung salah
satu unsur, yakni pengusaha dan atau pemerintah.
Kelima, ketiadaan aliansi dan koordinasi antar komponen serikat buruh. Keterlibatan
beberapa serikat buruh dalam proses perumusan dan penetapan besaran upah di
tingkat daerah ternyata tidak diikuti dengan peningkatan peran. Dari sisi komposisi,
kekuatan buruh sendiri sebenarnya sudah lemah jika pemerintah dan pengusaha
berkolaborasi. Lemahnya posisi serikat buruh tersebut ternyata semakin diperparah
dengan adanya perbedaan sikap, sehingga membatasi kemungkinan koordinasi dan
aliansi untuk melawan tekanan pemerintah, pengusaha dan unsur dari perguruan
tinggi.
Keenam, seringnya mekanisme voting dilakukan dalam pengambilan keputusan.
Perdebatan dalam institusi DPD dalam merumuskan besaran upah biasanya sangatlah
sengit, terutama antara serikat buruh dengan pengusaha. perdebatan tersebut biasanya
berakhir dengan ketiadaan kesepakatan. Seringkali, dikarenakan mengejar target
waktu dan efektivitas kerja, DPD menggunakan voting dalam mengambil keputusan.
Walaupun memenuhi aspek demokrasi, namun jelas mekanisme seperti ini
mengingkari tahapan-tahapan sebelumnya. Dengan demikian, jika mekanisme voting
selalu dilakukan, maka proses penetapan upah minimum bukan lagi merupakan
perumusan dan penetapan besaran upah yang didasarkan kondisi objektif kebutuhan
buruh, namun sudah berubah menjadi pertarungan kekuatan dari berbegai
kepentingan pengupahan.

159

Langkah Ke Depan Menuju Sistem Pengupahan yang Lebih Adil
Melihat kondisi pengupahan yang dijalankan oleh pemerintah saat ini, kecil
kemungkinan kesejahteraan buruh akan terangkat. Jika memang demikian, sistem
pengupahan seperti apakah yang paling tepat untuk diterapkan, sekaligus realistis
dijalankan berdasarkan sistem ekonomi nasional dan internasional yang berlangsung
saat ini?
Memang tidak mudah untuk memunculkan sistem pengupahan alternatif di
negara ini. Upaya seperti itu akan semakin sulit ketika sistem ekonomi nasional dan
global memang tidak memberi peluang lahirnya sistem ekonomi dan pengupahan
yang lebih berkeadilan, sedangkan buruh sebagai sebuah kelas sosial posisinya
semakin lama dikondisikan secara struktural semakin lemah dan tidak diuntungkan
dalam sistem sosial, ekonomi maupun politik.
Lihat saja misalnya upaya-upaya kaum modal dan pengusaha dunia, baik itu
institusi keuangan internasional maupun perusahaan multi dan transnasional. Mereka
berupaya membangun sistem ekonomi liberal yang sangat tidak berpihak kepada
kaum buruh. Dengan berbagai strategi ekonomi maupun politik yang mereka
jalankan, ada upaya menyingkirkan peran-peran negara dalam kesejahteraan rakyat,
untuk kemudian membentuk sistem ekonomi pasar yang terlepas sama sekali dari
intervensi pemerintah.
Di kalangan aktivis pro demokrasi, akademisi dan ilmuan sosial politik,
degradasi hak sosial politik dan ekonomi kelas masyarakat yang termarginalisasi,
termasuk buruh menjadi perdebatan sengit jika dilihat dari perspektif peran
pemerintah. Sebahagian dari antara mereka –yakni yang memiliki pandangan modern
tentang developmentalism- sudah saatnya sistem ekonomi, sosial dan politik saat ini
dilepaskan dari kepentingan dan intervensi pemerintah.
Dalam sebuah sistem ekonomi dan sosial politik modern, liberal dan demokratis,
peran pemerintah harus diminimalisir sehingga tidak mengganggu mekanisme

160
berjalannya sistem ekonomi dan sosial politik. Pemerintah sendiri tampaknya mulai
dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan proses global yang berlangsung pada saat
ini, dimana peran pemerintah (government) harus pada batasan pengaturan proses dan
hak-hak dasar yang tidak mungkin diserahkan kepada sektor publik. Hal ini dapat
dilihat dari paket pemulihan ekonomi yang ditawarkan oleh IMF ketika Indonesia
jatuh ke dalam krisis.
Krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997 memaksa pemerintah untuk
menderegulasi berbagai kebijakan intervensi sosial politik dan ekonomi menjadi lebih
demokratis (baca:liberal). Output dari pesanan IMF tersebut dapat dilihat kemudian
dalam beberapa tahun sesudah Letter of Intent (LoI) ditandatangani. Sebagai contoh
dapat dilihat perubahan status di beberapa badan usaha milik negara (BUMN) yang
semakin lama karakter pelayanannya semakin menciut, digantikan dengan karakter
profit yang diorientasikan semakin besar. Badan usaha milik negara yang berfungsi
pelayanan kepada masyarakat dan secara finansial ditanggungjawabi oleh pemerintah
jumlahnya semakin sedikit. Sebahagian besar badan usaha tersebut kini berubah
bentuk menjadi layaknya perusahaan swasta yang tujuan utamanya adalah mencetak
keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemerintah52.
Di sisi lain, intervensi pemerintah terhadap berbagai kebijakan ekonomi nasional
dianggap masih diperlukan, mengingat dunia usaha sama sekali belum memiliki misi
sosial sama sekali, sehingga dapat mengancam kepentingan masyarakat umum yang
rentan pelanggaran hak ekonomi dari kalangan swasta. Hal itulah yang pada era tahun
1970 sampai 1980-an kemudian mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan
pengupahan yang menggunakan sistem upah minimum.
Walaupun penerapannya secara riil baru pada tahun 1990-an, namun jelas visi
utamanya adalah melindungi kepentingan pekerja yang diperlakukan sewenang-

52 Menurut Revrisond Baswir dalam “Drama Ekonomi Indonesia, Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru”,

Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, jumlah BUMN yang berfungsi pelayanan, seperti Perjan dan Perum semakin
lama semakin sedikit, sedangkan dari tahun ke tahun, jumlah Perseroan Terbatas, baik itu yang bersifat tunggal
maupun patungan semakin besar jumlahnya, sehingga kontribusinya terhadap penerimaan pajak dan bukan
pajak mengalami peningkatan taham untuk pemerintah.

161
wenang oleh perusahaan, khususnya dalam hal upah. Di luar persoalan apakah
kebijakan tersebut sudah bisa mensejahterakan buruh atau tidak, sistem upah
minimum yang kemudian disebut dengan UMR (Upah Minimum Regional) yang
kemudian berganti menjadi Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/Kota sedikit sudah
mendisiplinkan perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebijakan pemerintah.
Kelompok liberal menyatakan, diserahkannya berbagai mekanisme ekonomi
kepada komponen yang terlibat langsung dalam proses produksi akan menghindari
para pemburu rente yang selama ini membebani sektor industri menjadi tidak
efisien53. Namun realitas saat ini tampaknya langkah-langkah isolasi dunia usaha,
termasuk dalam hal pengupahan sangat spekulatif untuk dilakukan.
Ada beberapa hal yang diasumsikan meletakkan kebijakan liberalisasi sistem
pengupahan menjadi sangat spekulatif. Pertama, pihak dunia usaha sendiri secara
praktis belum bersedia menjalankan proses perumusan dan penentuan upah secara
internal antara buruh dan pengusaha yang didasarkan oleh karakteristik perusahaan
dan aturan sistem pasar. Perusahaan tampaknya sudah terlalu menikmati proses yang
berlangsung saat ini yakni pemberlakuan upah minimum54.
Realitas seperti ini menjadi kendala serius dalam upaya membangun sebuah
tatanan masyarakat yang lebih sejahtera, salah satunya dengan menciptakan satu
sistem pengupahan yang lebih berkeadilan bagi buruh. Membicarakan masalah upah
tidak lagi sekedar urusan perusahaan dengan buruhnya, bukan juga hanya terkait
dengan perusahaan, buruh dan pengusaha, dalam konteks mikro. Namun upaya
membangun sistem pengupahan sudah akan melibatkan satu struktur ekonomi dan

53 Menurut Arya B Gaduh dan Raymond Atje dalam Economics Working Paper Series, CSIS Tahun 2004,

efisiensi tersebut merupakan bagian dari reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh IMF, untuk melindungi dan
mengisolasi dunia usaha agar tercipta institusi pengelola yang kuat dan memunculkan transparansi kebijakan
yang harus dilaksanakan dengan segera.
54 Dalam banyak media, perusahaan setiap tahunnya selalu memprotes kenaikan upah minimum propinsi (UMP)

atau Kota/kabupaten, namun mengingat dominannya peran mereka beserta pemerintah dalam institusi
pengupahan (DPD), maka protes yang diungkapkan kalangan pengusaha sepertinya hanya ingin memunculkan
persepsi ketertekanan yang dialami oleh dunia usaha kepada kalangan buruh.

162
politik yang lebih luas, karena semakin banyak pihak yang berkepentingan terhadap
pengupahan.
Sistem pengupahan tidak hanya terkait dengan beberapa unsur lama seperti,
keuntungan perusahaan, produktivitas buruh, faktor produksi, kebijakan pemerintah,
komponen kebutuhan, pertumbuhan ekonomi, maupun aspek mikro lainnya. Bicara
masalah sistem pengupahan juga telah melibatkan berbegai kepentingan non ekonomi
dan keuangan semata, namun sudah terkait dengan kepentingan ekonomi global,
perdagangan internasional, dinamika politik internasional, pertumbuhan sektor
industri, bahkan telah menyinggung persoalan ideologi.
Ada dua aliran, perspektif, ataupun paradigma dalam memandang sistem
pengupahan yang berlangsung saat ini. Dua aliran atau paradigma tersebut setidaknya
muncul dari berbagai pihak yang melihat sistem pengupahan yang berlangsung saat
ini kurang memenuhi aspek keadilan bagi buruh, sehingga harus dilakukan
perubahan.
Perspektif pertama lebih melihat ketimpangan sistem pengupahan yang
berlangsung saat ini adalah disebabkan ketidakadilan yang terjadi di dalam sistem
pengupahan itu sendiri. Sudut pandang seperti ini cenderung melihat persoalan
pengupahan, baik itu aspek ketidakadilannya, ketimpangannya, maupun kecilnya
kontribusi terhadap kesejahteraan buruh lebih pada aspek unsur, ketentuan, institusi,
aturan/kebijakan, kriteria, maupun unsur-unsur pengupahan yang bersifat mikro.
Salah satu persoalan yang selalu dianggap menjadi penghalang utama ketidakadilan
pengupahan adalah kepentingan institusi yang terlibat dalam pengupahan.
Dalam sistem pengupahan, terdapat 3 institusi yang terlibat, yakni pemerintah,
pengusaha beserta asosiasinya dan serikat buruh. Ketiga elemen inilah yang
dipandang oleh perspektif pertama menjadi penentu status quo atau perubahan dalam
sistem pengupahan. Pertarungan, perdebatan maupun dinamika pengupahan hanya
dapat ditelaah dari berbagai kepentingan tiga elemen tersebut. Untuk itu, perubahan
dan pergeserannya harus didasarkan pada motif, kepentingan, maupun nilai yang
dianut oleh ketiganya.

163
Pada sisi pemerintah, terdapat unsur regulator dan fungsi-fungsi kenegaraan
lainnya, seperti stabilisator ekonomi, politik, sosial dan budaya, fungsi integrasi
politik, nasionalisme dan target-target pertumbuhan ekonomi, yang semuanya
dibatasi dalam kawasan teritorial tertentu yang dinamakan negara. Pemerintah
memiliki otoritas ataupun kekuasaan politik yang mutlak dalam sebuah sistem
kenegaraan, sehingga berhak membuat kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat.
Pengusaha memiliki fungsi yang sedikit berbeda dengan pemerintah. Mereka
adalah agen ekonomi yang punya fungsi ganda dalam melakukan aktivitasnya. Pada
satu sisi, perusahaan punya target komersial atau orientasi profit yang mutlak.
Artinya, keberlangsungan sebuah perusahaan ditentukan oleh kemampuannya
memperoleh keuntungan dengan penggunaan faktor dan modal produksi minimal.
Selain itu, pemodal juga memiliki fungsi ekonomi, sosial, budaya dan politik yang
bersifat melayani publik atau masyarakat. Mulai dari faktor produksi maupun barang
yang dihasilkan selalu bersentuhan dengan masyarakat banyak sebagai konsumen.
Dengan demikian, fungsi yang dijalankan oleh perusahaan/pemodal punya implikasi
sosial, politik, ekonomi dan budaya yang tidak terisolasi.
Unsur ketiga yang paling lemah dalam sistem pengupahan dalam perspektif
pertama ini adalah institusi buruh dengan asosiasinya, yakni serikat buruh. Lepas dari
ideologi ataupun nilai apapun yang memandangnya, fungsi buruh adalah tetap sama,
yakni sebagai salah satu “faktor produksi” dalam sebuah sistem produksi. Walaupun
tidak sama dengan faktor produksi lainnya, seperti teknologi, modal dan bahan baku,
keberadaan buruh adalah mutlak, sehingga tidak mungkin dilepaskan dalam sistem
pengupahan. Yang membedakannya dari unsur lain adalah, buruh merupakan elemen
yang hidup, tidak seperti faktor produksi lain yang hanya barang mati. Buruh punya
tenaga, punya beban psikologis dan sosiologis. Buruh memiliki keterbatasan-
keterbatasan kemampuan dan ketahanan tertentu yang sedikit ditemui pada faktor
produksi lainnya. Ada unsur kemanusiaan, kolektivitas dan psikologis pada elemen
buruh yang membuatnya harus diperlakukan berbeda dengan faktor produksi lainnya.

164
Masih dalam perspektif pertama, persoalan pengupahan akan terkait dengan
beberapa unsur berikut ini, yakni; Kebijakan pengupahan, struktur kebutuhan hidup
buruh, peran institusi pengupahan, peran dan kontrol negara sebagai regulator
pengupahan, peran serikat buruh dalam mendorong, mengkritisi dan menuntut
kenaikan upah, transparansi keuangan dan motif profit pengusaha, penegakan hukum
oleh institusi hukum, maupun saat ini sudah dihubungkan dengan elemen lain yang
menyebabkan tertekannya jumlah upah buruh.
Ketidakpatuhan ketiga elemen ini dalam menjalankan kebijakan pengupahan
yang telah ditetapkan ditenggarai menjadi pemicu ketidakadilan sistem pengupahan.
Untuk itu, perbaikan, penegakan hukum atas pelanggaran kebijakan pengupahan,
optimalisasi fungsi kontrol pemerintah, soliditas kekuatan serikat buruh, regulasi
kebijakan pengupahan, maupun peningkatan representativeness institusi pengupahan,
dan keadilan mekanisme proses dan penentuan upah menjadi entry point paling
relevan dalam perbaikan sistem pengupahan.
Pada kasus lokal dan nasional perdebatan dari sisi inilah yang paling sering
berlangsung. Sebut saja misalnya upaya dari beberapa serikat buruh dalam merubah
standar (struktur dan komponen) pengupahan dari Kebutuhan Fisik Minimum (KFM)
menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan kemudian tuntutan dari KHM
menjadi Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Alasan dari tuntutan tersebut adalah sederhana, yakni bagaimana standar,
komponen dan struktur kebutuhan hidup buruh sudah sangat tidak sesuai lagi dengan
beban ekonomi dan kebutuhan hidup buruh yang sebenarnya. Perubahan standar
kebutuhan hidup buruh dari kebutuhan fisik minimum (KFM) yang kemudian
berubah menjadi kebutuhan hidup minimum (KHM) belum menjawab kebutuhan dan
keinginan buruh dalam memperbaiki ekonominya. Dasar kebutuhan hidup tersebut
hampir sama dengan yang dikatakan oleh Marx bahwasannya upah masih sekedar
jaminan kepada buruh untuk dapat bekerja, tanpa mempertimbangkan aspek
kebutuhan lain sebagai manusia.

165
Dasar kebutuhan hidup minimum sendiri yang sudah diberlakukan selama
beberapa tahun sama sekali masih jauh dari kebutuhan hidup buruh yang sebenarnya.
Apalagi diketahui bahwasannya ukuran kebutuhan dasar buruh seperti KFM dan
KHM sendiri penerapannya belum maksimal. Ukuran kebutuhan dasar yang
ditetapkan, baik itu KHM dan KHM sebenarnya belum sesuai dengan pengeluaran riil
buruh. Sejak diberlakukannya KFM dan KHM sebagai nilai barang atau jasa
minimum yang dibutuhkan oleh buruh dalam satu bulan, persentase upah minimum
dalam memenuhi standar tersebut hanya pada kisaran 70%. Bisa dibayangkan dengan
dasar kebutuhan fisik yang ada saja buruh sudah mengalami kesulitan, apalagi jika
upah yang diterima hanya sebesar 70% dari KFM55. Dengan jumlah upah yang tidak
mencapai kebutuhan fisik tersebut, maka tidak dapat dibayangkan lagi bagaimana
buruh harus hidup.
Setelah kebutuhan fisik minimum mengalami perubahan,dan digantikan dengan
kebutuhan hidup minimum (KHM), ternyata kontribusinya dalam meningkatkan
kondisi buruh masih sangat kecil. Sejak diberlakukan sampai saat ini, UM
Proponsi/kota/kabupaten tetap mengalami kondisi yang sama ketika KFM digunakan,
yakni upah yang diberlakukan belum mencapai 100% dari kebutuhan hidup minimum
buruh. Bahkan dari tahun ke tahun, setiap kebijakan kenaikan upah annual bukan
hanya masih berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum, namun juga belum
secara disiplin dipatuhi oleh perusahaan.
Setiap tahunnya selalu banyak perusahaan yang merasa tidak mampu untuk
memberikan upah buruh sesuai dengan UMP/UM Kota/Kabupaten. Banyak alasan
yang dikemukakan oleh pihak perusahaan untuk melakukan penundaan penerapan
kebijakan kenaikan upah minimum, yang hampir keseluruhannya terkait dengan
kebijakan dan peran pemerintah, seperti dampak kenaikan BBM dan beberapa tarif
dasar, biaya produksi yang tinggi akibat pengeluaran non produktif seperti pungutan

55Sedangkan ketika upah sudah 100% memenuhi KFM, dalam satu hari buruh pada tahun 1990 dan 1990 dalam
satu hari hanya mampu mengeluarkan uang sebesaar Rp.800,- sehingga dalam satu kali makan hanya Rp.400,-.
Jumlah uang tersebut setara dengan 2 bungkus mie instan, 8 potong gorengan, atau semangkuk mie ayam, yang
hanya mengenyangkan namun kualitas gizinya tidak terjamin.

166
liar, biaya entertaiment kepada birokrat, biaya administrasi yang tinggi, kebijakan
ekonomi makro dari pemerintah yang tidak efektif, kompetisi pasar produk yang
tidak menguntungkan dan berbagai alasan lainnya.
Namun sering sekali akar dari berbagai permasalahan ekonomi yang membuat
perusahaan punya argumentasi untuk menunda pelaksanaan upah minimum adalah
kondisi ekonomi makro, melalui kebijakan pemerintah yang tidak mendukung
keberadaan dunia usaha di Indonesia. Menyalahkan kondisi makro selalu menjadi
alasan perusahaan, yang sering dikemukakan oleh institusi atau asosiasi yang
mewakili perusahaan-perusahaan swasta. Keberadaan asosiasi ini terbukti sangat
efektif dalam melakukan lobby dan negosiasi kepada pemerintah untuk memahami
“kesulitan” yang dialami oleh perusahaan.
Buntut dari segala argumentasi ini adalah, perusahaan pasti akan mengumumkan
kepada buruh bahwasannya perusahaan dalam keadaan merugi. Tentu alasan seperti
ini sangat ampuh sehingga buruh dengan mudah memahaminya. Namun pada
umumnya perusahaan hanya mengungkapkan kondisi perusahaan hanya secara
sepihak, tersembunyi sehingga kondisi riil keuangan perusahaan sama sekali tidak
diketahui oleh buruh. Strategi ini selalu mulus dijalankan oleh perusahaan, sedangkan
pemerintah sama sekali tidak memiliki kemampuan kontrol, atau memang “tidak
ingin” secara lebih jauh melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap
perusahaan-perusahaan yang memanipulasi kondisi internal (keuangan) perusahaan
untuk menunda pemberlakukan upah minimum setiap tahunnya.
Contoh kasus adalah apa yang dilakukan oleh Jaringan Advokasi Buruh
Sumatera Utara (JABSU), mulai dari tahun 2002, 2003 dan 2004. Mereka pertama
kali melandasi perubahan standar kebutuhan buruh tersebut berdasarkan adanya
kenaikan beberapa tarif dasar listrik dan BBM tahun 2003. Kenaikan tarif dasar yang
berkorelasi dengan kebutuhan hidup dasar buruh tersebut ditenggarai telah
menyebabkan kenaikan beberapa kebutuhan dasar buruh, seperti pangan, sandang,
papan/perubahan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Kenaikan beberapa kebutuhan

167
dasar tersebut telah meningkatkan beban hidup buruh, sedangkan kenaikan nilai upah
buruh sama sekali tidak pada level yang signifikan untuk membantu buruh.
Jaringan Advokasi Buruh Sumatera Utara juga menilai, upah buruh di Indonesia
masih sangat rendah dibandingkan dengan total biaya produksi. Mereka mengutip
beberapa penelitian dan investigasi yang menyatakan bahwasannya total direct labour
cost yang dialokasikan untuk upah buruh masih 5% dari total biaya produksi.
Komposisi seperti ini tergolong masih sangat rendah dibandingkan komposisi lain,
seperti untuk biaya siluman dan biaya lobby, ataupun masih terlalu rendah
dibandingkan komposisi upah di negara lain, seperti Thailand dan Malaysia yang
mencapai angka 13%.
Pola pengkritikan dan tuntutan yang dilakukan dalam perspektif ini terlihat
ketika JABSU menyoroti ketiadaan perubahan substansial sejak desentralisasi
kebijakan pengupahan. UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang
memperbesar kewenangan pemerintah daerah dalam beberapa hal, termasuk tentang
pengupahan melalui SK Menakertrans No. 226 tahun 2000 tentang peralihan
kewenangan pengupahan dari Menteri ke Gubernur tidak mampu menyentuh
kepentingan buruh.Legitimasi kepala daerah (Gubernur dan Bupati/walikota) dalam
kebijakan pengupahan jelas dianggap tidak mampu merubah substansi kebijakan
pengupahan. Pergeseran kewenangan ternyata tetap mempertahankan upah murah
yang sangat tidak adil dan layak.
Ada dua hal pokok yang disoroti oleh JABSU guna menumbuhkan sebuah sistem
pengupahan yang berkeadilan. Pertama adalah dalam level penetapan upah. Hal ini
dikaitkan dengan keberadaan serikat buruh yang menjadi bagian dalam institusi
pengupahan daerah (Dewan Pengupahan Daerah/DPD) propinsi. Keberadaan serikat
buruh tertentu dalam institusi DPD dijadikan legitimasi pemerintah dalam melakukan
perumusan dan penetapan jumlah Upah Minimum Propinsi (UMP), padahal hanya
sebahagian kecil serikat buruh yang sudah terlibat, sedangkan sebahagian besar sama
sekali belum.

168
Proses penetapan UMP juga dianggap belum transparan, karena suara publik
masih sangat minim dilibatkan. Dewan Pengupahan Daerah dianggap tidak
menjalankan mekanisme keterbukaan, melalui seminar, dialog publik, sosialisasi
melalui media dan strategi lain dalam menampung partisipasi masyarakat. Penelitian
yang dilakukan DPD juga masih sangat timpang. Misalnya dalam proses penelitian.
Proses penelitian yang dilakukan oleh DPD tidak mengakomodir kepentingan serikat
buruh dan serikat pekerja di Sumatera Utara, sehingga jumlah UMP yang keluar pun
jauh dari harapan buruh.
Level kedua yang disoroti oleh JABSU adalah tentang standar upah. Mereka
cenderung melihat ketidakadilan upah yang berlangsung secara nasional dan lokal
masih kurang memenuhi syarat-syarat kemanusiaan. Padahal dalam beberapa nilai
dasar negara dan kemanusiaan global sangat mendukung perubahan upah menjadi
lebih layak, seperti Deklarasi hak asasi manusia (DUHAM) dan UUD 1945.
Sistem pengupahan, khususnya standar upah dianggap telah bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan nasional dan internasional. Salah satu kebijakan yang
dianggap melanggar nilai dasar tersebut adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.1
Tahun 1999 tentang upah minimum. Kebijakan telah mengkerdilkan kehidupan
buruh, karena menetapkan standar hidup dibawah nilai-nilai kelayakan sebagai
manusia. Misalnya saja dengan menetapkan standar kebutuhan hidup manusia pada
43 komponen kebutuhan hidup semata.
Atas dua alasan tersebutlah kemudian organisasi seperti JABSU merancang
strategi perubahan sistem pengupahan. Untuk itu JABSU kemudian menyusun satu
komponen kebutuhan hidup layak berdasarkan standar hidup yang lebih tinggi,
misalnya dengan meningkatkan jenis kebutuhan menjadi 61 komponen, dan
memperbesar beberapa komponen tunjangan56
Apa yang dilakukan oleh JABSU merupakan salah satu strategi perubahan
sistem pengupahan dalam perspektif pertama. Organisasi seperti itu tetap bermain

56Dikutip dari pernyataan sikap dan tuntutan jaringan advokasi buruh Sumatera Utara tentang Upah Minimum
Propinsi 2004.

169
dalam sistem pengupahan yang ada, dengan melakukan perbaikan dan perubahan
secara parsial terhadap standar, konsep, proses, mekanisme dan peran dari beberapa
institusi yang terlibat.
Perspektif kedua melihat persoalan sistem pengupahan dalam sudut pandang
yang lebih luas daripada perspektif pertama. Persoalan sistem pengupahan yang
timpang, eksploitatif dan tidak berkeadilan tidak sekedar implikasi dari lemahnya
peran serikat buruh, kurangnya kontrol dari pemerintah, minimnya standar upah,
menyimpangnya mekanisme perumusan dan penetapan upah, maupun ketiadaan
transparansi dari perusahaan, namun mencakup aspek yang lebih luas, yakni
menyangkut persoalan-persoalan struktural, penghisapan kelas penguasa,
ketimpangan ekonomi, sejarah dominasi alat produksi dan hegemoni pemerintah yang
berkolaborasi dengan modal dalam melakukan penghisapan terhadap buruh.
Persoalan sistem pengupahan dalam perspektif kedua melihatnya dalam wilayah
yang lebih luas, yakni melibatkan aspek sistem ekonomi nasional dan internasional,
struktur sosial, politik dan budaya, maupun sisi ideologis yang melatarbelakangi
sebuah sistem ekonomi.
Berdasarkan luasnya cakupan dalam perspektif ini sehingga konsep perubahan
yang ditawarkan menjadi lebih absurd57 dibandingkan perspektif pertama. Perubahan
sistem pengupahan akan menyentuh konsep-konsep dasar tentang sistem ekonomi
yang menjadi fundamen upah itu sendiri. Ada proses elaborasi dan dialektika yang
cukup mendalam tentang konsep upah, sehingga proses perubahan yang ditawarkan
juga akan menyentuh level teori, ideologi ekonomi dan prinsip-prinsip dasar sebuah
sistem ekonomi.
Tidak banyak memang elemen perburuhan yang mengkritisi prinsip dasar atau
dimensi struktural dari sebuah sistem pengupahan. Hal ini diakibatkan oleh luasnya
cakupan konsep yang harus dielaborasi dalam melakukan perubahan sistem
pengupahan. Salah satunya adalah tentang sistek ekonomi kapitalistik yang dari

57Kaum developmentalisme memandang analisis struktural dalam menganalisis persoalan ekonomi sangat utopis
sehingga kecil kemungkinan untuk diwujudkan.

170
awalnya memang sama sekali kurang mendukung sebuah sistem pengupahan yang
berkeadilan. Selama sistem ekonomi tersebut masih dijadikan acuan sistem
pengupahan, maka selama itu juga sistem pengupahan tidak akan pernah adil.
Sistem ekonomi kapitalis adalah yang paling mendukung perdagangan liberal
dimana akumulasi, pertukaran dan lalu lintas modal berlangsung tanpa batas. Aktor
utama dari pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dan mendukung berdagangan
bebas maupun pemuja pasar bebas adalah pemodal, pengusaha swasta. Merekalah
yang menjadi pemegang kunci pertumbuhan ekonomi, sehingga berbagai sub sistem
ekonomi haruslah melindungi aktivitas produksi.
Sistem ekonomi kapitalistik menjadi sangat eksploitatif dikarenakan tidak
terkontrolnya kepemilikan pribadi atas faktor produksi. Kepemilikan atas faktor
produksi pada segelintir orang tersebutlah yang memicu sistem ini menjadi sangat
memeras dan merugikan kelompok masyarakat lain, yakni buruh yang hanya
memiliki tenaga dan terbatas aksesnya terhadap faktor produksi. Kepemilikan alat
produksi yang tidak terkontrol dan lemahnya intervensi pemerintah, ditambah dengan
akses yang terbatas dari kelompok masyarakat terpinggir inilah yang memicu proses
akumulasi modal menjadi tidak terbatas.
Di tingkat perusahaan proses akumulasi menjadi contoh paling jelas untuk
menggambarkan proses penghisapan melalui akumulasi modal yang dilakukan
perusahaan terhadap buruh. Proses akumulasi tersebut secara nyata dapat dilihat
dalam sistem pengupahan. Dikarenakan segelintir orang yang memiliki modal dan
alat produksi, maka mereka berhak atas sebahagian besar keuntungan yang
dihasilkan. Padahal, sebagian besar keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan
tersebut merupakan kontribusi tenaga buruh. Komposisi dari keuntungan yang
merupakan kontribusi buruh tersebutlah yang tidak kembali kepada buruh dalam
bentuk upah dan tunjangan lainnya.
Menurut kajian yang dilakukan oleh elemen buruh, total biaya yang dialokasikan
untuk upah buruh dari seluruh biaya produksi hanya sebesar 5%. Sedangkan total
biaya produksi biasanya lebih kecil dari hasil penjualan yang diperoleh perusahaan

171
dalam jangka waktu tertentu. Jika memang total biaya produksi lebih kecil dari hasil
penjualan, maka komposisi labor cost dalam bentuk upah yang diambil dari hasil
penjualan adalah lebih kecil dari 5% (<5%).
Dalam tataran teoritik, khususnya perspektif Marx, keuntungan dari hasil
penjualan barang produksi yang tidak kembali ke buruh tersebutlah yang dinamakan
surplus value (nilai lebih). Untuk itu, arah perubahan yang diharapkan oleh perspektif
kedua ini adalah bagaimana mengembalikan surplus value tersebut kepada buruh.
Untuk memperoleh hak buruh yang sebenarnya atas surplus value yang dicuri
oleh pemilik modal dan rente ekonomi lain tersebut, maka strategi perubahan sistem
pengupahan bukan lagi sekedar mereformasi sistem pengupahan yang tidak adil,
namun harus sudah masuk pada tataran dekonstruksi sistem yang ada, untuk
kemudian membangun sistem pengupahan yang lebih adil dan berpihak kepada
buruh.
Tentunya target seperti itu menghendaki penyusunan sebuah tatanan sistem
ekonomi (termasuk sistem pengupahan) yang sangat mendalam, karena dalam proses
dekonstruksi sistem ekonomi, harus disandingkan dengan sebuah tawaran sistem
ekonomi alternatif. Untuk membangun sebuah sistem ekonomi dan sistem
pengupahan yang lebih berpihak kepada buruh, harus ada tawaran konsep yang
minimal memuat beberapa sub sistem ekonomi yang cukup lengkap. Sistem ekonomi
alternatif tersebut harus menawarkan satu sub sistem kepemilikan alat produksi
alternatif, sub sistem relasi buruh dan majikan, struktur produksi,
ketenagakerjaan/perburuhan, kejelasan konsep keadilan, sistem pasar alternatif,
konsep akumulasi modal, maupun teori tentang nilai yang berbeda dengan nilai dalam
perspektif kapitalistik. Semua konsep dan sistem tersebut haruslah berpihak kepada
buruh dan memuat nilai-nilai keadilan.
Melakukan elaborasi, memberi definisi, sampai kemudian membangun sebuah
sistem ekonomi dan sistem pengupahan yang berkeadilan seperti inilah belum tuntas.
Belum muncul sebuah tawaran sistem alternatif yang memuat nilai keadilan sekaligus

172
relevan untuk diterapkan guna menghilangkan aspek eksploitasi dan penghisapan
pemodal terhadap buruh.
Memang terdapat jalan tengah dari antara dua perspektif tersebut. Jika perspektif
pertama menghendaki reformasi pada sistem ekonomi dan sistem pengupahan yang
ada dan perspektif kedua menuntut adanya dekonstruksi untuk kemudian membangun
sistem ekonomi alternatif, maka sistem pengupahan (dan juga sistem ekonomi) jalan
tengah menghendaki reformasi dan dekokstruksi sistem ekonomi dan pengupahan
secara parsial. Namun gejala pencarian jalan tengah perubahan sistem tersebut sering
diterjemahkan dalam dua aras.
Pertama, jalan tengah yang dimaksud adalah membangun sebuah sistem
pengupahan yang liberal. Artinya, mekanisme perumusan dan penetapan upah buruh
diserahkan pada level bipartit, yakni antara buruh dengan pengusaha. Tentunya
proses seperti ini mengharuskan adanya transparansi keuangan perusahaan, dan
diakuinya keberadaan serikat buruh, melalui dewan buruh di tingkat perusahaan.
Ketika sistem seperti ini diterapkan, maka penentuan jumlah upah merupakan
hasil tawar-menawar antara buruh dengan pengusaha, tanpa adanya intervensi dari
pemerintah dalam bentuk kebijakan. Sistem pengupahan yang diberlakukan saat ini
masih mensyaratkan adanya intervensi atau campur tangan pemerintah. Salah satu
intervensi tersebut adalah melalui Peraturan Menteri Tenaga kerja No. 01 Tahun 1999
tentang upah minimum (UM). Apa yang dimaksud oleh kebijakan ini sebenarnya
bertujuan sebagai jaring pengaman (safety net) bagi buruh dari kesewenangan dan
pelanggaran yang dilakukan pengusaha dalam pengupahan.
Jika sistem dengan prinsip safety net ini dirubah, dan kemudian digantikan
dengan sistem yang lebih liberal, dimana kebijakan upah diserahkan secara bipartit,
antara buruh dan pengusaha, maka intervensi atau campur tangan pemerintah akan
minimal atau hilang sama sekali. Apakah sistem seperti ini layak untuk diterapkan?
Jika layak dan kemudian dapat dilaksanakan, maka buruh akan terjebak pada sistem
ekonomi liberal murni yang memang pada akhirnya merupakan tujuan pemodal.
Padahal, komponen buruh sendiri belumlah kuat. Jika posisi buruh masih lemah

173
seperti sekarang, maka pemberlakukan mekanisme seperti itu akan sangat merugikan
buruh.
Sistem lain yang dianggap lebih memenuhi beberapa aspek keadilan tanpa
melakukan dekonstruksi terhadap sistem yang ada adalah melalui restrukturisasi
kepemilikan alat produksi secara parsial. Dalam sistem seperti ini, sub sistem yang
harus dirubah adalah kepemilikan alat produksi dan reposisi buruh dalam sistem
produksi. Dalam sistem seperti ini, buruh harus memiliki wadah serikat buruh yang
kuat, baik itu di tingkat pabrik maupun dalam geopolitik nasional. Posisi buruh
tersebut harus benar-benar kuat, sehingga memiliki pengaruh di tingkat perusahaan
untuk mempengaruhi berbagai kebijakan produksi (termasuk kebijakan pengupahan),
sekaligus memiliki posisi tawar dalam konstalasi politik nasional guna mempengaruhi
kebijakan pemerintah dalam bidang politik ekonomi.
Persoalan yang muncul saat ini tentang pengupahan adalah, hanya ada dua
sistem umum yang bisa diterapkan, yakni sistem pengupahan yang berlaku saat ini,
yakni menggunakan kebijakan upah minimum (UM) sebagai bentuk intervensi
pemerintah dengan keterlibatan tripartit (pemerintah, buruh dan pengusaha) dan
sistem pengupahan yang bersifat sosialistik dimana upah yang diterima oleh buruh
didasarkan pada kebutuhan buruh yang seutuhnya diproteksi dan diolah oleh
pemerintah.
Sistem terakhir inilah yang kemudian memunculkan perdebatan panjang diantara
elemen perburuhan dan pro demokrasi, karena sistem tersebut sangat sarat dengan
muatan ideologis dan politis. Jika dilihat implementasi kebijakan upah yang
berlangsung saat ini, sedikitpun tidak ada kemungkinan berkontribusi terhadap
kesejahteraan buruh. Dari tahun ke tahun, sistem pengupahan yang menggunakan
konsep upah minimum ini penuh pelanggaran, baik itu yang dilaksanakan oleh
pemerintah dan pengusaha. Dengan berbagai kepentingannya, baik itu secara
institusional maupun dalam scope yang lebih luas tidak ada niatan dari pemerintahan
yang menganut ekonomi liberal maupun ekonomi pasar untuk memberikan hak yang
seharusnya diterima oleh buruh.

174
Analisis Karl Marx tentang upah minimum sangatlah persis dalam
menggambarkan kesia-siaan mengharapkan kapitalisme dalam mensejahterakan
buruh, khususnya dalam menyusun kebijakan yang lebih adil. Diakui bahwasannya
sistem pengupahan yang berlangsung pada saat ini masih jauh dari harapan buruh. Di
Sumatera Utara sendiri yang upah minimum pada tahun 2003 sudah 110,75% dari
KHM juga tidak menjamin kesejahteraan buruh. Tahun 2003 UMP di Sumatera Utara
ditetapkan oleh Gubernur sebesar Rp. 505.000,- sedangkan KHM sebesar Rp.
455.996,-. Jika melihat jumlah ini, maka kondisi di Sumatera Utara sudah jauh lebih
baik dibandingkan Propinsi Naggroe Aceh Darusalam yang masih 81,59%, Bengkulu
65, 35%, Riau 67,58%, DKI Jakarta 84,57%.58
Persentase UMP berdasarkan KHM di beberapa propinsi pada tahun 2003
tersebut menunjukkan bahwasannya kebijakan upah minimum yang dilandaskan
kebutuhan hidup minimum pada masa otonomi daerah ini masih jauh dari harapan.
Hasil penelitian dari penelitian ini juga menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda
dengan kondisi pengupahan dan buruh secara lebih luas. Kebutuhan dasar buruh
sendiri, yang tercantum dalam standar kebutuhan hidup minimum (KHM) masih
sangat jauh dari kebutuhan riil buruh yang harus dikeluarkan setiap hari atau setiap
bulannya. Angka 3000 kalori minimal setiap hari yang tercantum dalam KHM dan 43
jenis kebutuhan buruh lajang tiap harinya adalah ibarat praktek penghancuran
generasi secara sistematis.
Seperti yang disinggung sebelumnya, sangatlah sulit menjadikan sistem
pengupahan yang diberlakukan saat ini sebagai dasar peningkatan kesejahteraan
buruh. Fundamen bangunan sistem pengupahan saat ini didirikan di atas struktur
ekonomi dan politik ekonomi yang sangat kental dengan ketidakadilan bagi kelas
masyarakat yang terbatas aksesnya terhadap alat-alat produksi. Buruh dipandang
sebagai salah satu skrup dalam sistem ekonomi makro yang nasibnya sangat

58 Depnakertrans, Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial, 2003.

175
ditentukan oleh mekanisme pasar dan kebaikan hati kaum modal dan pemerintah
yang sudah pasti sangat sulit untuk diperoleh.
Sebagai komponen paling penting dalam proses produksi, nilai kerja yang
dihasilkan buruh menjadi sangat marginal ketika komponen tersebut dianggap
sebagai salah satu alat produksi yang harus mengikuti dinamika permintaan dan
penawaran. Dengan kata lain, buruh bukan dianggap sebagai manusia lagi, namun
sudah disamakan dengan bahan baku, teknologi, dan input lainnya dalam proses
produksi yang ketersediaan dan permintaanya ditentukan oleh pasar tenaga kerja.
Satu sisi, perbaikan ke arah sistem pengupahan yang lebih baik namun tetap
dalam kerangka struktur ekonomi yang ada terus dicita-citakan oleh kalangan buruh
dan komponen sosial politik yang paham akan nasib buruh. Perbaikan parsial, baik itu
dari sisi penegakan aturan pengupahan, optimalisasi peran berbagai institusi,
demokratisasi kebijakan pengupahan, perbaikan standar kebutuhan hidup buruh
maupun peningkatan posisi tawar buruh dalam proses perumusan dan penentuan
jumlah upah minimum.

176
DAFTAR BACAAN

Baswir, Revrisond, 2004. Drama Ekonomi Indonesia, Belajar dari Kegagalan


Ekonomi Orde Baru, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Baswir, Revrisond, 2003. Di Bawah Ancaman IMF, Jakarta.
Bungin, Burhan, 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Burkitt, Brian, 1999. Marx's Wage Theory in Historical Perspective: Its Origin,
Development Interpretation. Review - book reviews, Labor History, Dikutip
dari situs: www.Marxist.org
Gaduh, Arya, B., dan Raymond Atje, 2004. Economics Working Paper Series, CSIS.
Haryadi, Dedy, Indrasari Tjandraningsih, Indraswari dan Juni Thamrin, 1994.
Tinjauan Kebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia, Bandung.
Hendarmin, Ali, 2002. Kesejahteraan buruh dan kelangsungan Usaha, Upah
Minimum dari Sisi Pandang Pengusaha, dalam Jurnal Analisis Sosial
AKATIGA, Vol.7 No.1 februari 2002, Bandung.
International Labour Organization (ILO), 1995. Social Adjustment Through Sound
Industrial Relations and Labour Protection, Final Report of An ILO/UNDP
TSS1 Advisory Mission, Jakarta.
Jean Francois Dortier, 2004. Marx dan Sosiologi, dalam Anthony Giddens, Daniel
Bell, Michael Force, Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Kreasi
Wacana, Yogyakarta.
Ritongan, Bisman Agus, 2001. Laporan Survey Pengeluaran Buruh Cimahi dan
Majalaya, AKATIGA, Bandung.
Salim, Agus, 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, dari Denzin Guba dan
Penerapannya, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Simanjuntak, Payaman, 2004. Reformasi Sistem Pengupahan Nasional, dalam
Informasi Hukum, Vo. 5 Tahun VI, Jakarta.
Sitorus, Toga, 2004. Sistem Penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) di Propinsi
Sumatera Utara, disampaikan dalam Semiloka Pengupahan Alternatif yang
diselenggarakan Kelompok Pelita Sejahtera, Medan..
Suryahadi Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira, dan Sudarno Sumarto, 2002.
dalam Jurnal Analisis Sosial Akatiga, Vol. 7 No.1 Februari, , hal 21, Akatiga,
Bandung
Suryahadi Asep, dkk, 2002. Upah dan Kesempatan Kerja, Dampak Kebijakan Upah
Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Formal Perkotaan, Jurnal
Analisis Sosial Akatiga, Vol.7 No. 1 Februari, Bandung.

177
Tjandraningsih Indrasari, 1994. Kebutuhan Fisik Minimum dan Upah Minimum,
dalam Dedy Haryadi, dkk, TinjauanKebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia,
Akatiga, Bandung.

178

You might also like