You are on page 1of 5

Hakekat Psikologi Islam

April 16th, 2008


Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di
dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai psikologi yang ditawarkan oleh para psikolog.
Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran
yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat
disederhanakan dalam tiga pengertian. Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche),
seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang
kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, Psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi,
kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, Psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia
terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
HAKEKAT PSIKOLOGI ISLAM
Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di
dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai psikologi yang ditawarkan oleh para psikolog.
Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran
yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat
disederhanakan dalam tiga pengertian. Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche),
seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang
kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, Psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi,
kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, Psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia
terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
Pengertian pertama lebih bernuansa filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa. Psikolog di
sini berperan untuk merumuskan hakekat jiwa yang proses penggaliannya didasarkan atas
pendekatan spekulatif. Kelebihan pengertian pertama ini dapat mencerminkan hakekat psikologi
yang sesungguhnya, sebab ia dapat mengungkap hakekat jiwa yang menjadi objek utama kajian
psikologi. Kelemahannya adalah bahwa pengertian ini belum mampu membedakan antara disiplin
filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris. Psikologi seakan-akan
masih menjadi bagian dari disiplin filsafat, yang salah satu kajiannya membahas hakekat jiwa.
Pengertian kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga fokus
kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan
ingatan. Namun pemisahan ini belum sempurna, sehingga antara disiplin filsafat dengan psikologi
masih berbaur. Pengertian psikologi yang lazim dipakai dalam wacana Psikologi Kontemporer
adalah pengertian ketiga, karena dalam pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagai
disiplin ilmu yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat. Pada pengertian ketiga ini, fokus
kajian psikologi tidak lagi hakekat jiwa, melainkaan gejala-gejala jiwa yang diketahui melalui
penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki jiwa, namun
secara empirik hakekat jiwa tersebut tidak dapat diketahui, sehingga psikologi hanya membahas
mengenai proses, fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagi psikolog tertentu, khususnya dari
kalangan Psiko-behavioristik, tidak begitu tertarik dengan membicarakan hakekat jiwa. Mereka
bahkan tidak memperdulikan perbedaan jiwa manusia dengan jiwa binatang. Yang terpenting bagi
mereka adalah bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada jiwa tersebut agar ia mampu
meresponsnya dalam bentuk perilaku.
Pengertian psikologi yang dimaksud dalam buku ini lebih cenderung pada pengertian pertama.
Ada beberapa alasan mengapa pengertian pertama yang dipilih: Pertama, Psikologi Islam sebagai
disiplin ilmu yang mandiri baru memasuki proses awal. Pendekatan yang digunakan lebih
mengarah pada pendekatan spekulatif, yang membicarakan hakekat mental dan kehidupannya.
Sumber data yang digunakan berasal dari proses deduktif, yang digali dari nash (al-Qur`an dan
al-Sunnah) dan hasil pemikiran para filosof atau sufi abad klasik, dan belum memasuki wilayah
empiris-eksperimental; Kedua, Psikologi Kontemporer Barat dalam perkembangannya mengalami
distorsi yang fundamental. Psikologi seharusnya membicarakan tentang konsep jiwa, namun
justru ia mengabaikan bahkan tidak tahu-menahu tentang hakekat jiwa, sehingga ia mempelajari
ilmu jiwa tanpa konsep jiwa. Ketiga, karena alasan ke dua di atas, psikologi kontemporer
mempelajari manusia yang tidak berjiwa. Atau, menyamakan gejala kejiwaan manusia dengan
gejala kejiwaan hewan, sehingga temuan-temuan dari perilaku hewan digunakan untuk
memahami perilaku manusia. Atas dasar ketiga alasan di atas, penulis lebih cenderung
menggunakan pengertian pertama. Pemilihan ini tidak berarti menafikan keberadaan pengertian
psikologi yang lain, tetapi penulis berharap agar ada perimbangan atau bandingan dalam memilih
model pengembangan disiplin psikologi. Untuk beberapa tahun mendatang, barangkali Psikologi
Islam dapat mengembangkan pengertian yang ketiga, setelah kerangka konseptualnya telah
mapan dan diakui secara objektif dalam perbendaharaan Psikologi Kontemporer.
Psikologi secara etimologi memiliki arti ilmu tentang jiwa. Dalam Islam, istilah jiwa dapat
disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun
istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan
ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua
istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Istilah Ilm al-Nafs banyak dipakai dalam literatur Psikologi Islam. Bahkan Sukanto Mulyomartono
lebih khusus menyebutnya dengan Nafsiologi. Penggunaan istilah ini disebabakan objek kajian
psikologi Islam adalah al-nafs, yaitu aspek psikopisik pada diri manusia. Term al-nafs tidak dapat
disamakan dengan term soul atau psyche dalam psikologi kontemporer Barat, sebab al-nafs
merupakan gabungan antara substansi jasmani dan substansi ruhani, sedangkan soul atau psyche
hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia. Menurut kelompok ini, penggunaan term al-nafs
dalam tataran ilmiah tidak bertentangan dengan doktrin ajaran Islam, sebab tidak ada satupun
nash yang melarang untuk membahasnya. Tentunya hal itu berbeda dengan penggunaan istilah
al-ruh yang secara jelas dilarang mempertanyakannya (perhatikan Q.S. al-Isra` ayat 85).
Penggunaan istilah Ilm al-Ruh ditemukan dalam karya psikolog Zuardin Azzaino. Istilah itu
kemudian dijadikan dasar untuk membangun Psikologi Ilahiah, yaitu psikologi yang dibangun dari
kerangka konseptual al-ruh yang berasal dari Tuhan. Boleh jadi Azzaino tidak mengikuti
perkembangan literatur Psikologi Islam, sebab literatur yang digunakan dalam bukunya tidak
satupun yang bersumber dari Ilm al-Nafs fi al-Islam (Psikologi Islam). Tetapi yang menarik dari
tawaran Azzaino tersebut adalah bahwa ruh yang menjadi objek kajian psikologi Islam memiliki
ciri unik, yang tidak akan ditemukan dalam Psikologi Kontemporer Barat. Objek kajian Psikologi
Islam adalah ruh yang memiliki dimensi ilahiah (teosentris), sedangkan objek kajian Psikologi
Kontemporer Barat berdimensi insaniah (antroposentris). Karena perbedaan yang mendasar inilah
maka Azzaino terpaksa menggunakan term khusus untuk menentukan ciri unik Psikologi Islam.
Menanggapi kedua polemik ini, penulis lebih cenderung menggunakan istilah Ilm al-Nafs. Selain
istilah itu lebih populer dan masuk dalam perbendaharaan literatur psikologi, secara ideologis
pembahasan objek al-nafs tidak bertentangan dengan nash. Hanya saja yang patut
dipertimbangkan adalah kritikan Malik B. Badri bahwa Psikologi Islam kini nyaris masuk dalam
liang Biawak, yang sulit keluar darinya. Kritikan itu nampaknya dapat ditangkap dengan cermat
oleh Azzaino, sehingga ia mencoba mencari alternatif peristilahan baru. Dengan demikian,
kebolehan menggunakan istilah Ilm al-Nafs dengan catatan tidak menyalahi kerangka filosofis
Psikologi Islam.
Hakekat psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: kajian Islam yang berhubungan
dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk
kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Hakekat definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok; Pertama, bahwa psikologi Islam
merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki kedudukan yang sama
dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam,
Kebudayaan Islam, dan sebagaianya. Penempatan kata Islam di sini memiliki arti corak, cara
pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau
memilili pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat
membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada
umumnya. Tentunya hal itu tidak terlepas dari kerangka ontologi (hakekat jiwa), epistimologi
(bagaimana cara mempelajari jiwa), dan aksiologi (tujuan mempelajari jiwa) dalam Islam. Melalui
kerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti Psikopatologi
Islam, Psikoterapi Islam, Psikologi Agama Islam, Psikologi Perkembangan Islam, Psikologi Sosial
Islam, dan sebagainya.
Kedua, bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-
aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh, al-nafs, al-kalb, al-`aql, al-dhamir, al-lubb, al-fuad,
al-sirr, al-fithrah, dan sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme,
proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui al-Quran, al-Sunnah, serta dari khazanah
pemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga apa
hakekat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensial
yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiyar)-nya.
Dari sini nampak bahwa psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia
untuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam kebebasan
tersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah Swt.
Ketiga, bahwa Psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakan
demikian sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar
mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa, lalu ia tumbuh
dan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin
yang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsep
diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau
diri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya penyimpangan perilaku
maka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuasa ilahiyah, agar dapat
mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaan
hidup di segala zaman. Walhasil, mempelajari psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakan
diri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasiangan,
kegersangan, dan kegelisahan.
Psikologi Islam sudah sepatutnya menjadi wacana sains yang objektif, bahkan boleh dikatakan
telah mencapai derajat supra ilmiah. Anggapan bahwa Psikologi Islam masih bertaraf pseudo-
ilmiah adalah tidak benar, sebab Psikologi Islam telah melampaui batas-batas ilmiah. Objektifitas
suatu ilmu hanyalah persoalan kesepakatan, yang kreterianya bukan hanya kuantitatif melainkan
juga kualitatif. Psikologi Kontemporer telah mendapatkan kesepakatan dari kalangannya sendiri.
Demikian juga Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jika
orang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, serta
mengklaim keabsahan dan objektifitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal yang
sama, yaitu mengedepankan pemikiran Psikologi Islam berdasarkan pola pikir Islam.
Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar seperti Freud, Jung dan McDougall tidak hanya
berijazah dalam ilmu kedokteran, tetapi juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal ini
menunjukkan bahwa pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktek
kedokteran dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak di antara metode dan teknik yang
dikembangkan justru menyalahi dan memberontak terhadap masalah-masalah normatif yang
sudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan menjadikan psikologi kepribadan
dilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam pengembangan diskursus-diskursus lain.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Psikologi Kontemporer Barat pada mulanya tidak mengikuti
aturan-aturan ilmiah yang berlaku di dunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka teruji
secara empirik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, maka pemikiran mereka diakui
sebagai disiplin yang objektif.
Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-kahir ini telah membukan jendela untuk
mengintip wacana yang berkembang di dalam khazanah Islam. Mereka sadar bahwa Psikologi
Barat Kontemporer baru berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan fenomena
kejiwaan dalam Islam telah lama berkembang. Mereka mengetahui kedalaman materinya, lalu
mereka masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulis
satu bab khusus untuk Psikologi Timur. Menurutnya, salah satu sumber yang sangat kaya dari
psikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi
(pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan. Tasawwuf merupakan
dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan
perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk),
proses penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dan
sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.
Frank. J. Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, terj. Cecilia G. Samekto, judul asli, “Dictionary of
Key in Psychology”,(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 236-237
Misalnya yang terjadi pada aliran Behaviorisme John Dollard, Neal E. Miller, B.F. Skinner dari
Psiko-operan yang tidak begitu tertarik dengan persoalan struktur kejiwaan manusia yang
menetap dan relatif stabil. Mereka lebih berminat mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dapat
mengakibatkan respons-respons tertentu yang pada gilirannya membangkitkan stimulus-stimulus
yang memiliki sifat pendorong. Atau berminat pada tingkah laku yang dapat diubah. Lihat!, Calvin
Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Sifat dan Psikobehavioristik, diterjmahkan oleh Yustinus,
judul asli; Theories of Personality, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 320-221,326
Lihat! Nafsiologi; Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi (1986) karya Sukanto
Mulyomartono, kemudian disempurnakan bersama A. Dardiri Hasyim dengan judul Nafsiologi;
Sebuah Kajian Analitik (1995); (2) Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Islmiy (1979) karya Hasan Muhammad
al-Syarqawiy; (3) Ilm al-Nafs al-Mashir fi Dhaw’i al-Islm (1983) karya Muhammad Mahmud
Mahmud; (4) Ilm al-Nafs al-Islamiy (1989) karya Maruf Zarif; dan (5) al-Quran wa Ilm al-Nafs
(1982) karya Muhammad Usman Najati.
Asas-asas Psikologi Ilahiah; Sistema Mekanisme Hubungan antara Roh dan Jasad (1990)
karya H.S. Zuardin Azzaino.
Maksud keunikan di sini terutama menyangkut masalah-masalah yang mendasar (kerangka
filosofis) dan bukan masalah-masalah teknis-operasional. Psikologi Islam tidak akan mentolerir
masalah-masalah yang fundamenatal, sebab jika hal itu diabaikan maka mengakibatkan
pengkaburan antara hakekat Psikologi Islam dengan Psikologi Kontemporer Barat. Sedangkan
masalah-masalah teknik-operasional, Islam tidak banyak menyinggungnya, sehingga tidak ada
salahnya jika mengadopsi dari yang lain. Misalnya dalam pembagian struktur manusia, Islam tidak
menerima teori Sigmund Freud yang membagi struktur jiwa manusia dengan id, ego, dan super
ego. Pembagian ini menafikan alam supra sadar, sehingga kepercayaan akan Tuhan atau agama
dinyatakan sebagai delusi atau ilusi. Islam mempercayai adanya struktur al-ruh yang berdimensi
ilahiyah dan bersentuhan dengan alam supra sadar, sehingga orang yang beragama merupakan
bentuk tertinggi dari aktualisasi diri kepribadian manusia. Demikian juga masalah mimpi. Freud
dan para psikolog lainnya menyatakan bahwa mimpi hanyalah produk psikis, sedangkan dalam
Islam, mimpi boleh jadi berasal dari produk psikis, dan boleh jadi dari dunia eksternal seperti dari
Tuhan dan syetan. Jika seseorang tidak percaya adanya mimpi dari dunia eksternal berarti ia tidak
mempercayai sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diterima oleh Nabi melalui mimpi.
Namun jika persoalan mimpi berkaitan dengan teknik analisis untuk keperluan terapi, maka tidak
ada salahnya jika hal itu diadopsi dari teori Freud atau psikolog yang lain.
Penjelasan masing-masing term tersebut dapat dilihat dalam pembahasan struktur dan
dinamikanya.
Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), terj. Yustinus, judul
asli, “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 20-21
Di antaranya: (1) Shafii, Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and Psychotherapy,
(1985); (2) Hoesen Nasr (ed.), Islamic Spirituality: Foundation, (1989); dan (3) Ronald Alan
Nicholson, Fi al-Tashawwuf al-Islami wa Tarihihi, terj. Abu al-ala al-Afifi (1969).
Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), terj.
Yustinus, judul asli, Theories of Personality, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 222

You might also like