Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Setiap agama mempunyai hukum dan aturan yang harus dijalankan oleh
pemeluknya, mulai dari hubugan antara manusia dengan Tuhannya dengan aturan cara
menyembahnya, aturan hubungan dengann sesama manusia dari golongan agamanya dan
lainnya, sampai pada aturan hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Dalam hal ini, agama Islam sebagai agama terbesar di Indonesia yang
penganutnya mencapai 88 % (sensus 2004) yang berpdeoman kepada Al-Qur’an dan
Sunnah tentunya juga ingin melaksanakan hukum-hukum Islam secara konstitusional,
karna ketentuan ini sudah diperintahkan oleh Allah Swt dalam firmannya Udkhulu fi
silmi Kaffah, Allah memerintahkan agar umat Islam melaksanakan hukum Islam secara
sempurna, tidak setengah-setengah.
Akan tetapi, Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang sudah sah
dan dijalankan lebih dari 60 tahun ini akankah bisa diganti menjadi sistem hukum Islam
(syariat Islam)? Atau Pancasila memang sudah pas menjadi dasar Negara ini? Mudah-
mudahan pembahasan ini bisa menjawabnya.
Ideologi berasal dari Bahasa Yunani dari kata eidos atau idein dan logia atau
logos. Idien berarti bentuk atau melihat, sedangkan logia berarti kata atau ajaran. Ideologi
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan
azas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup
pribadi atau masyarakat untuk memperjuangkan hidupnya. Dari makna diatas idoelogi
1
Makalah ini dipresentasikan pada Kajian Eksklusif DEBATING CLUB PCI Al-Washliyah Mesir pada
hari Kamis tanggal 1 April tahun 2010
2
Penulis adalah Mahasiswa Pegiat Egyptology dan Sejarah Peradaban Kuno
adalah kumpulan gagasan, cita-cita yang harus dicapai, pandangan atau paham secara
menyeluruh dan sistematis yang dijadikan dasar bagi perubahan suatu institusi
kepentingan golongan atau kelas sosial. Jadi, pandangan tersebut disatukan dalam satu
pandangan.
Pancasila berasal dari Bahasa Sansekerta yang terdiri dari panca yang berarti lima
dan sila yang berarti prinsip, secara bahasa Pancasila berarti lima prinsip dasar. Menurut
Istilah Pancasila adalah dasar Negara serta falsafah bangsa dan Negara Republik
Indonesia yan terdiri atas lima sila yaitu (1) Ketuhanan yang Maha Esa. (2) Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab. (3) Persatuan Indonesia. (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. (5) Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
Kata Islam berasal dari Bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata aslama-
yuslimu-islaman yang berarti berserah diri kepada Tuhan. Secara istilah Islam adalah
agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Islam adalah agama samawi yang
merupakan agama terbesar kedua di dunia setelah Kristen. Umat Islam di seluruh dunia
saat ini berjumlah lebih dari seperempat milyar.3
Salah satu contoh adalah sistem ekonomi, Islam yang sangat menjunjung tinggi
hak kepemilikan setiap rakyat dari lapisan manapun. Setiap rakyat diberi kebebasan
untuk memiliki apa saja dan berapa saja, yang terpenting didapatkan sechara halal, tidak
merugikan orang lain dan taat mengeluarkan zakat dari sebahagian hartanya untuk
membantu orang-orang yang lemah. Dalam hal hubungan sosial tidak ada keistimewaan
derajat manusia satu dengan manusia lainnya, misalnya : Jabatan Presiden bukanlah
ukuran kemuliaan seseorang, ia tidak lebih mulia dari seorang rakyat jelata yang miskin
sekalipun. Jabatan hanyalah amanat yang dipercayakan rakyat kepada dirinya untuk
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
4
Muhammad Sholeh al-Usaimin, “Syarh As-Siyasah as-Syar’iyyah” karya Ibnu Taimiyah, Dar Ibnu Hazm,
Cet. 1, Halaman 17
melayani sebaik-baiknya rakyat tersebut, bukan alat untuk menguasai atau menindas.
Inilah persetaraan yang didasarkan pada kecintaan kepada Allah yang memerintahkan
saling tolong menolong diantara sesama manusia.
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945]
serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila
mempunyai beberapa makna, yaitu:
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai
bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak
Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan
MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan
dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya
menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan
untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan
pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara
personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.5
A. Negara Islam
5
Satya Arinanto, ”Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila” (Tesis Program Pascasarjana Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997), Halaman 42-46.
6
Rifyal Ka’bah , “Hukum Islam di Indonesia”, Universitas Yasri Jakarta, 1999, Halaman 69
Surat Al-Maidah ayat 48-49:
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-
hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Bgeitu juga adanya ayat-ayat ancaman bagi orang-orang yang tidak mengikuti Allah dan
Rasul-Nya. Antara lain:
2. Banyaknya hadits Rasulullah SAW yang memperjelas adanya perintah Allah untuk
berpegang kepada Al-Qur’an dan mengikuti langkah beliau. Adapun perintah tersebut
menurut ketentuan asal adalah wajib dan beliau pun dalam langkah dan perjuangannya
juga menegakkan syariat Islam, sehingga ajaran Islam pada zaman risalah telah
ditegakkan dengan baik dan sempurna.7 Diantara hadits tersebut adalah:
Apabila aku melarang kalian terhadap sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku
menyuruh kalian melaksanakan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian.
Akan tetapi dalam prakteknya, hampir tidak ada kesepakatan bulat di kalangan
pemikir politik Muslim modern tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam
konsep negara Islam. Kenyataan ini sangat mudah terlihat dengan begitu beragamnya
sistem negara dan pemerintahan di dunia ini yang mengklaim dirinya sebagai negara
Islam. Namun begitu, secara teoritis, dewasa ini sudah ada berbagai upaya untuk
mencoba merumuskan sebuah konsep formal mengenai apa yang dimaksud dengan
Negara Islam. Paling tidak telah ada kesepakatan minimal bahwa suatu negara disebut
sebagai Negara Islam jika memberlakukan hukum Islam. Dengan lain perkataan,
7
Ahmad Husnan, “Tantangan Penerapan Syariah Islam”, Isy Karima, tanpa tahun, halaman 142
pelaksanaan hukum Islam merupakan prasyarat formal dan utama bagi eksisnya suatu
Negara Islam.
Gamal Al-Banna dalam bukunya mengatakan tidak ada satu pun contoh negara
Islam yang ideal selain pada masa Madinah al-Munawarah, yang berlangsung hanya
dalam waktu 25 tahun. Sepuluh tahun pada masa kenabian, sementara lima belas tahun
setelahnya adalah di bawah khalifah Abu Bakar dan Umar. Setelah itu, yang ada tidak
lebih dari bentuk pemerintahan yang ekspansif dan rakus, sampai berakhirnya masa
kekhalifahan Turki, termasuk pada masa khalifah Othman dan Ali kerana keduanya tidak
mengikuti cara kedua khalifah pendahulunya.8
Rashid Rida seorang ulama terkemuka di awal abad ke-20, yang dianggap paling
bertanggung jawab dalam merumuskan konsep Negara Islam modern, menyatakan bahwa
premis pokok dari konsep Negara Islam adalah bahwa syariat merupakan sumber hukum
tertinggi. Dalam pandangannya, syariat mesti membutuhkan bantuan kekuasaan untuk
tujuan implementasinya, dan adalah mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa
kehadiran Negara Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan hukum
Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang amat menentukanuntuk membedakan
antara suatu negara Islam dengan negara non-Islam.
8
Gamal Al-Bana, “Realsi Agama dan Negara”, Mata Air Publishing, 2004, Halaman 114
9
KH. Abdurrahman Wahid, Pengantar Editor pada buku “Ilusi Negara Islam”, LibForAll Foundation,
2009, Halaman 16
10
Tempo, Edisi. 24/XXXV/07 - 13 Agustus 2006
Ada sebagian kecil kaum Muslim, yang memandang bahwa perubahan Pancasila
dari Piagam Jakarta dengan eksklusivitas Islamnya, menjadi seperti yang ada sekarang,
secara khusus, sebagai wujud kekalahan politik wakil-wakil Muslim, dan secara umum,
sebagai simbol kekalahan kaum Muslim di Indonesia.
Akan tetapi, tidaklah demikian dengan pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Ia justru memandang bahwa Pancasila versi yang ada sekarang, adalah wujud
kemenangan politik wakil-wakil Muslim, dan bahkan kemenangan kaum Muslim di
Indonesia. Menurut Cak Nur, dari pandangan bahwa Islam menghendaki para
pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan li al-alamin), dan kembali
ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistim yang menjamin kebaikan
konstitusional bagi keseluruhan bangsa ialah sistim yang telah kita sepakati bersama,
yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila menurut semangat UUD 1945. Cak
Nur menegaskan bahwa hal stereotipikal ini penting dan terpaksa harus sering
dikemukakan, terutama karena hal itu menyangkut persoalan pokok yang untuk sebagian
masyarakat Muslim dianggap belum selesai benar. Padahal menurut Cak Nur, kaum
Muslim di Indonesia seharusnya tidak perlu menolak Pancasila (dan UUD 1945) karena
ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan pada 2 pertimbangan yakni:
Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, dan Kedua, fungsinya
sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan
sosial-politik bersama.
Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia
menurut Cak Nur, sekalipun tidak dapat disamakan, sebenarnya dapat dianalogkan
dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pertama dalam sejarah Islam (yang kini
dikenal sebagai Piagam Madinah/ Mitsaq al-Madinah) pada masa-masa awal setelah
hijrah Nabi Muhammad SAW. Jadi, segera setelah Nabi SAW tiba di Yastrib (Madinah)
pada 622, beliau membuat perjanjian antara orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah
yang ikut hijrah bersama Nabi), Anshar (penduduk Muslim Madinah) dan orang-orang
Yahudi. Perjanjian inilah yang disebut sebagai Piagam Madinah.
Pancasila melalui slogannya Bhineka Tuggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu
jua), mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik
dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya tetapi mereka diikat dan disatukan
oleh sebuah landasan hidup bersama yakni Pancasila. Secara serupa, Piagam Madinah
juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim
Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok non-Muslim di kota
itu untuk membangun tatanan sosial-politik bersama.11
11
Bachtiar Effendy, “Islam and The State in Indonesia”, Institut of Shouteast Asian Studies, Singapore,
tahun 2003, halaman 109
adalah satu bangsa atau umma wahida dan bahwa mereka semua memiliki hak dan
kewajiban yang sama.12 Memang, setelah terjadinya peristiwa-peristiwa pengkhianatan
Yahudi tersebut, resminya Piagam Madinah itu sudah tidak berlaku lagi, namun prinsip-
prinsipnya sebenarnya tetap sah dan diikuti ditempat lain. Oleh karena itu, menjadi jelas
bahwa ketika orang-oran Arab melakukan gerakan-gerakan pembebasan ke daerah-
daerah luar Arabia, dan mendapatkan masyarakat yang plural/majemuk, maka yang
pertama kali mereka lakukan adalah mengatur hubungan antar kelompok itu dengan
mencontoh praktek dan kebjiaksanaan Nabi sewaktu di Madinah dahulu.
Bunyi dan spirit Piagam Madinah itu, yang menurut Cak Nur merupakan salah
satu sumber etika politik Islam, sangatlah menarik untuk dikaji kembali dalam konteks
pandangan etika politik modern. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan
kenegaraan modernpun mengagumkan. Dalam Piagam itulah dirumuskan ide-ide yang
kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap
kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan
ekonomi antar golongan dan sebagainya. Akan tetapi, juga ditegaskan suatu kewajiban
umum, yakni partisipasi dalam upaya pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar.
Menurut Cak Nur, gagasan pokok eksperimen politik di Madinah ini ialah, adanya suatu
tatanan sosial-politik yang diperintah, bukan oleh kemauan pribadi, melainkan secara
bersama-sama, Jadi, bukan oleh prinsip-prinsip yang dapat berubah-ubah sejalan dengan
kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang telah dilembagakan didalam
dokumen kesepakatan dari semua anggota masyarakat, yang dalam zaman modern ini
disebut konstitusi kenegaraan seperti Undang-Undang Dasar (UUD).
Sebanding dengan kaum Muslim Indonesia dalam menerima Pancasila dan UUD
1945, menurut Cak Nur, orang-orang Muslim pimpinan Nabi SAW itu menerima
Konstitusi Madinah adalah juga atas pertimbangan nilai-nilainya yang dibenarkan oleh
ajaran Islam dan fungsinya sebagai kesepakatan antar golongan untuk membangun
tatanan kehidupan sosial-politik bersama. Demikian pula, sama halnya dengan umat
Islam Indonesia yang tidak memandang Pancasila dan UUD 1945 itu sebagai alternatif
terhadap agama Islam, Nabi SAW dan pengikut beliau itupun tidak pernah terbetik dalam
pikiran mereka bahwa konstitusi Madinah itu menjadi alternatif bagi agama baru mereka.
Berdasarkan penjelasan di atas, Cak Nur sampai pada kesimpulan bahwa, sikap
umat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat
dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Dari sudut pandang
itu pula kita harus menilai kesungguhan para founding fathers dan para tokoh Islam yang
selalu menegaskan bahwa antara Islam serta kaum Muslim Indonesia dan Pancasila serta
UUD 1945 tidak ada masalah. Kesulitan-kesulitan sosial-politik yang datang dari
kalangan Muslim, menurut Cak Nur, tidak harus selalu dilihat dalam kerangka
hubungannya dengan Pancasila dan UUD 1945, melainkan sebaiknya juga dilihat kaitan-
kaitan nisbinya saja serta dicarikan pemecahannya secara pragmatis. Misalnya,
dipertimbangkan bahwa kesulitan serius datang dari kalangan Islam karena memang
sebagian besar rakyat beragama Islam, dan kesulitan yang sama atau sebanding juga
12
Suratno, “Kompatibilitas Islam dan Modernitas Dalam Neo-Modernisme Nurcholis Madjid” dalam
Jurnal Universitas Paramadina, Vol 4, No 3, Agustus 2006, halaman 332
datang dari kalangan non-Muslim. Menurut Cak Nur, kecenderungan untuk secara
gampang mencari keterangan atas suatu kesulitan sosial-politik yang datang dari suatu
kelompok dengan stereotipikal mengkaitkannya kepada hal-hal yang prinsipiil seperti
Pancasila dan UUD 1945 adalah satu petunjuk kemampuan berpikir yang sederhana dan
ketidakberanian menghadapi kenyataan persoalan. Atau, mungkin juga hal itu dilakukan
karena mengharap keuntungan sosial-politik dengan mudah, akan tetapi, dengan akibat
bahwa kerusakan negara menjadi semakin parah dan persoalan yang sebenarnya tidak
terselesaikan.
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam
atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang
diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (12 Sjawal 1368) oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong,
Tasikmalaya, Jawa Barat.13
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Indonesia
14
Robert Cribb, “Historical Atlas of Indonesia” University Of Hawaii Press, tahun 2000, halaman 162
Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I. Dalam kehidupannya,
Kartosuwiryo mempunyai cita - cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.
Untuk mewujudkan cita - citanya, Kartosuwiryo mendirikan sebuah pesantren di
Malangbong, Garut, yaitu Pesantren Sufah. Pesantren Sufah selain menjadi
tempat menimba ilmu keagamaan juga dijadikan sebagai tempat latihan
kemiliteran Hizbullah dan Sabillah. Dengan pengaruhnya, Kartosuwiryo berhasil
mengumpulkan banyak pengikut yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari
pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Dengan demikian, kedudukan
Kartosuwiryo semakin kuat.
1. DI/TII Aceh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud
Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah
pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.
Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina.
Gerakan yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk
mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini
dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir,
dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina.
Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah,
termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris,
Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke
Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia,
dan Australia.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di
kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut
Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid,
perkantoran, perusahaan, dan perumahan.
Majelis Mujahidin bersifat Tansiq atau aliansi gerakan (amal) di antara ummat
Islam (mujahid) berdasarkan ukhuwah, kesamaan aqidah serta manhaj perjuangan,
sehingga majelis ini mampu menjadi panutan ummat dalam hal berjuang menegakkan
Dienullah di muka bumi ini, tanpa dibatasi oleh suku, bangsa ataupun negara.
Penutup
Perdebatan tentang ideologi Negara ini tentunya masih akan panjang. Menurut
penulis, pelaksanaan syariat Islam di Indonesia masih perlu dukungan dan perjuangan
panjang. Setidaknya, tercapainya pelaksanaan syariat Islam tanpa Negara Islam sudah
merupakan hasil yang sangat menggembirakan. Karna jaminan kesejahteraan manusia
dengan menjalankan syariat Islam bukanlah datang dari manusia, tapi sudah menjadi
jaminan dari Allah Swt.
16
http://majelismujahidin.wordpress.com/2008/01/31/profil-majelis-mujahidin/#more-4
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org
http://hizbut-tahrir.or.id
http://majelismujahidin.wordpress.com/