Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Kelompok 13
Anisa Nindiasari G0007038
Ari Revianto G0007040
Ariesia Dewi C. G0007042
Berty G0007044
Billy Joe G0007046
Brigitta Devi A. H. G0007048
Sari Mustikaningrum G0007154
Shabrina Nur Zidny G0007156
Sisilia Fitria Purnaningrum G0007158
Sunarto G0007160
Titisari Khoiria Qodriani G0007162
Evaluasi Keterangan
Anamnesis • Riwayat dan lama disabilitas/imobilisasi
• Kondisi medis yang merupakan faktor risiko dan penyebab
imobilisasi
• Kondisi premorbid
• Nyeri
• Obat – obatan yang dikonsumsi
• Dukungan pramuwedha
• Interaksi sosial
• Faktor psikologis
• Faktor lingkungan
Pemeiksaan Status kardiopolmonal
fisik Kulit
Muskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi
dan deformitas kaki
Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik
Gastrointertinal
Genitourinarius
Status Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari -
fungsional hari (AKS) Barthel
Status Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatri depression scale
Mental (GDS)
Status Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini-mental state
kognitif examination (MMSE), abbreviated mental test (AMT)
Tingkat Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di kursi
Mobilitas roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait), nyeri
saat bergerak
Pemeriksaan Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto
Penunjang lutut, ekokardiografi, dan lain-lain) dan komplikasi akibat imobilsasi
(pemeriksaan albumin, elektrolit, glukosa darah, hemostasis, dan
lain-lain)
2. Tipe Arteriosklerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan
kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit
pada pembuluh darah (arterosklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus
disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam
16 minggu.
3. Tipe Terminal
Terjadi pada pasien dengan tingkat keparahan tinggi, sulit untuk sembuh.
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah
terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus,
misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio. Usaha untuk meremalkan
terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton (Kadir, 2007).
Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus, skor
12-13 memiliki risiko sedang, skor < 12 berkaitan dengan peningkatan risiko 50 kali
lebih besar untuk mendapatkan ulkus dekubitus, sedangkan skor > 14 memiliki risiko
yang sangat kecil. Skor tersebut meliputi (Pranarka, 2009) :
Item Skor
Kondisi fisik
∼ Baik 4
∼ Sedang 3
∼ Buruk 2
∼ Sangat Buruk 1
Kesadaran
∼ Komposmentis 4
∼ Apatis 3
∼ Konfus/soporus 2
∼ Stupor/koma 1
Aktivitas
∼ Ambulan 4
∼ Ambulan dengan bantuan 3
∼ Hanya bisa duduk 2
∼ Tiduran 1
Mobilitas
∼ Bergerak bebas 4
∼ Sedikit terbatas 3
∼ Sangat terbatas 2
∼ Tak bisa bergerak 1
Inkontinensia
∼ Tidak 4
∼ Kadang-kadang 3
∼ Sering inkontinensia urin 2
∼ Inkontinensia alvi dan urin 1
Pasien dalam skenario hanya tidur-tiduran saja selama 2 minggu. Berbagai faktor
fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Rasa
nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis yang terjadi
akibat proses menua dapat menyebabkan imobilisasi pada pasien tersebut. Sejak 5 hari
yang lalu, pasien mengalami kesulitan BAB dan makan hanya sedikit. Kesulitan BAB pada
usia lajut dapat disebabkan oleh lamanya transit feses di kolon. Hal ini dipengaruhi oleh
adanya disfungsi pleksus mienterikus yang menginervasi kolon dalam gerak peristaltik.
Selain itu, pada beberapa lansia yang mengalami konstipasi juga ditemukan adanya
peningkatan kadar endorphin yang dapat berikatan dengan reseptor opioid di mukosa kolon
dan menghambat gerah peristaltik. Pada pasien dalam skenario ini, kesulitan BAB
dipengaruhi juga oleh imobilisasi yang akan semakin meningkatkan lama transit feses di
kolon. Akibatnya, penyerapan air akan meningkat dan feses menjadi keras sehingga
semakin sulit dikeluarkan. Sementara itu, kesulitan makan pada pasien lansia dipengaruhi
beberapa faktor seperti:
1. Kondisi traktus digestifus yang mulai menurun baik secara anatomis maupun fisiologis,
misalnya: berkuangnya jumlah gigi sehingga kemampuan mengunyah makanan
berkurang, menurunnya peristaltik usus sehingga lama transit makanan meningkat dan
mengurangi rasa lapar.
2. Depresi yang mengurangi motivasi untuk makan
Penurunan nafsu makan pada pasien juga dapat disebabkan oleh imobilisasi. Hal
tersebut disebabkan adanya penurunan kecepatan metabolik sehingga terjadi penurunan
rangsang lapar. Rangsang lapar yang menurun menyebabkan pasien makan hanya sedikit.
Saat dirawat dirumah anaknya keadaan pasien yang tampak semakin lemas dan tidak mau
makan sama sekali. Keadaan tidak mau makan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh
faktor psikis pasien terhadap perubahan lingkungan tempat tinggalnya. Kurangnya
perhatian dan kasih sayang juga dapat mengakibatkan keadaan tersebut. Selain itu, keadaan
penyakit yang dideritanya juga berperan terhadap kondisi pasien. Dengan penyakit yang
diderita pasien ditambah dengan keadaan tidak mau makan, asupan gizi pasien menjadi
tidak adekuat, menyebabkan pasien tampak semakin lemas.
Sejak 3 minggu yang lalu, pasien juga mengalami batuk berdahak, tidak berdarah,
tidak demam, dan tidak didapatkan nyeri dada. Dan sejak satu hari yang lalu, pasien
gelisah dan tampak bingung. Batuk adalah keluhan paling sering didapatkan pada hampir
semua penyakit yang mengenai saluran napas. Batuk merupakan mekanisme pertahanan
untuk membersihkan dan melindungi saluran napas dari bahan yang tidak diinginkan yang
terdapat di saluran napas. Etiologi batuk dapat dibagi menjadi 4 kategori yaitu infeksi akut
maupun kronik, inflamasi parenkim ataupun saluran napas, tumor, benda asing, dan
gangguan kardiovaskular. Sementara itu, dahak adalah materi yang dikeluarkan dari
saluran napas bawah oleh batuk. Batuk dengan dahak menunjukkan adanya eksudat bebas
dalam saluran pernapasan, seperti pada bronkitis kronik, bronkiektasis, dan kavitas.
Gelisah dan bingung yang terjadi pada pasien dapat merupakan tanda depresi. Pada usia
lanjut gejala depresi seringkali tidak khas. Beberapa karakteristik depresi pada usia lanjut
antara lain sedih/murung biasanya kurang tampak, keluhan hipokondriasis yang dominan,
gangguan memori, apatis dan kehilangan motivasi, ansietas dan agitasi.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan GCS 7, E3M2V2, tekanan darah 120/70
mmHg (normal), RR 30 kali per menit (meningkat), suhu (T) 36°C (normal bawah), dan
HR 108 kali per menit (meningkat). E3 (eye opening 3) berarti bahwa pasien membuka
mata dengan rangsang nyeri, M2 (motoric respons 2) berarti bahwa pasien mengalami
extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal
dan kaki extensi) saat diberi rangsang nyeri, sedangkan V2 (verbal respons 2) berarti
bahwa pasien mengeluarkan suara tanpa arti (mengerang). Skor GCS 7 menunjukkan
terjadinya penurunan kesadaran pada pasien. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya
riwayat penyakit batuk pada pasien yang mengakibatkan terjadinya penurunan saturasi O2
yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran pada pasien. Penurunan O2 akan
dikompensasi tubuh dengan cara meningkatkan RR dan HR untuk mencukupi kebutuhan
O2 tubuh yang semakin menurun (Parhusip, 2004).
Pada pemeriksaan paru sebelah kanan pasien didapatkan ronkhi basah kasar, suara
dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Tampak luka pada punggung bawah
berukuran 4 x 5 cm dengan dasar luka kemerahan. Skor Norton 9, lekosit 7.500 dan dari
pemeriksaan foto thoraks menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.
Ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan peningkatan fremitus raba yang
disertai dengan gejala batuk berdahak tidak berdarah tanpa demam, nyeri dada, mialgia,
dan leukositosis yang tidak terlalu tinggi menunjukkan gejala atypical pneumonia. Pada
pneumonia terjadi infeksi pada parenkim paru, asinus terisi cairan eksudat, dan infiltasi sel
radang ke dinding alveoli. Adanya infiltrat sel radang menyebabkan konsolidasi pada paru
sehingga fremitus raba meningkat karena penghantaran getaran oleh infiltrat. Ronkhi basah
adalah suara nafas tambahan berupa vibrasi terputus-putus akibat getaran yang terjadi
karena adanya cairan dalam jalan nafas. Ronkhi basah kasar menunjukkan adanya sekret
yang berlebihan pada saluran nafas. Suara dasar bronkhial adalah ekspirasi lebih panjang
dan jelas, seperti suara dekat trakea. Suara bronkhial terjadi karena adanya konsolidasi
dalam jalan nafas. Kesuraman homogen paru pada pasien pneumonia disebabkan karena
adanya kerusakan jaringan parenkim paru. Fremitus taktil yang meningkat terjadi karena
timbunan sekret yang menggantikan udara yang mengisi sebagian besar jaringan paru
(Faridawati, 1995; Irawaty, 2009). Tidak adanya nyeri dada pada pasien terjadi karena
sedikitnya jumlah reseptor nyeri yang terdapat di paru-paru dan pleura.
Luka pada punggung bawah pasien menunjukkan bahwa pasien telah mengalami
dekubitus. Dekubitus pada usia lanjut sering terjadi karena terjadi perubahan kulit yang
berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain berkurangnya jaringan lemak subkutan,
berkurangnya jaringan kolagen dan elastik, serta menurunnya efisiensi kolateral kapiler
pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh (Pranarka, 2009). Dekubitus yang
terjadi pada pasien kemungkinan merupakan komplikasi imobilisasi. Tekanan lebih dari 25
mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama akan
menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Bila kompresi berlangsung lama akan
mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen
mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan pembuluh darah tidak
dapat terbuka sehingga terbentuk luka akibat tekanan (Setiati dan Roosheroe, 2007). Skor
Norton 9 pada pasien menunjukkan bahwa pasien memiliki resiko tinggi terkena dekubitus.
Pada pasien tersebut tidak didapatkan demam dan leukositosis. Hal ini terjadi
karena penurunan respon inflamasi (penurunan respon interleukin-1, faktor nekrosis tumor
dan IL-6 terhadap adanya pirogen) pada lansia yang menyebabkan tidak terjadinya reaksi
inflamasi misalnya peningkatan suhu tubuh (demam). Pada lansia juga terjadi penurunan
sistem imunitas tubuh yang disebabkan penurunan produksi immunoglobulin, terjadinya
atrofi thymus sehingga sel T dan limfosit T kehilangan fungsi, antibodi yang dihasilkan
dalam jumlah sedikit dan durasi antibodi dalam darah lebih singkat, terjadi perubahan
sistem proliferasi limfosit karena penurunan interleukin 2. Salah satu penyebab
menurunnya produksi/proliferasi sel T yang berakibat supresi imunitas yaitu peningkatan
antagonis sitokin pada usia lanjut. Tidak adanya panas pada setiap infeksi pada usia lanjut
selain menyulitkan diagnosis, juga menunjukkan prognosis yang jelek, karena panas itu
sendiri menunjukkan adanya kemampuan badan dalam melawan infeksi (Rahayu dan
Bahar, 2007).
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien meliputi terapi preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif. Terapi preventif dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi
yang lebih lanjut pada pasien. Untuk mencegah timbulnya dekubitus pada pasien
imobilisasi bisa dilakukan beberapa tindakan antara lain merubah posisi pasien yang tidak
dapat bergerak sendiri (minimal setiap 2 jam sekali) untuk mengurangi tekanan,
melindungi bagian tubuh yang tulangnya menonjol dengan bahan-bahan yang lembut
(misalnya bantal, bantalan busa), mengkonsumsi makanan sehat dengan zat gizi yang
seimbang, menjaga kebersihan kulit dan mengusahakan agar kulit tetap kering, jika pasen
harus menjalani tirah baring dalam waktu yang lama, bisa digunakan kasur khusus (kasur
dekubitus), yaitu kasur yang diisi dengan air atau udara (Nurcahyo, 2010). Selain itu,
pencegahan dekubitus juga dapat dilakukan dengan melatih pergerakan dengan
memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan. Pemberian
minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi (Setiati
dan Laksmi, 2007). Pengontrolan tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat-obatan
yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan
untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan yang
mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi.
Terapi promotif yang dapat diberikan pada pasien berupa edukasi kepada pasien
dan keluarganya mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan
ambulasi dini untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Sementara itu, untuk mencegah
infeksi pada luka perlu dilakukan edukasi mengenai cara merawat luka yang baik dan
benar serta pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang timbul. Pada
pasien telah dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik dan terapi cairan. Terapi
oksigenasi diberikan untuk menjaga asupan oksigen pada pasien sehingga tidak timbul
hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi, sedangkan
pemberian antibiotik dilakukan untuk mengobati infeksi bakterial yang terjadi pada pasien.
Pada tahap awal sebaiknya diberikan antibiotik empirik yang sesuai dengan lokasi infeksi,
lokasi penderita dan lokasi terjadinya infeksi (di masyarakat atu dirumah sakit) sambil
menunggu hasil kultur dari dahak. Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis antibiotika
perlu diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai akibat proses menua serta
komorbid yang ada pada lansia yang kesemuanya akan berakibat pada terjadinya
perubahan distribusi obat, metabilisme obat, eksresi dan interaksi obat (Rahayu dan Bahar,
2007). Untuk pasien pneumoni yang dirawat dirumah sakit dapat diberikan klindamisin
dan seftazidim. Sementara itu, untuk mengatasi dekubitus yang terjadi pada pasien
disesuaikan derajatnya. Berdasarkan diskusi kelompok kami dengan melihat gambaran
dekubitus yang ada pada skenario tersebut, kemungkinan besar pasien tersebut mengalami
dekubitus derajat II. Oleh karena itu, penatalaksanaannya pun disesuaikan dengan
tatalaksana dekubitus derajat II seperti yang tercantum pada tinjauan pustaka.
Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi rehabilitasi.
Tujuan terapi rehabilitasi adalah untuk mempertahankan monilitas dan kekuatan otot serta
menurunkan ketergantungan pasien terhadap orang lain. Rehabilitasi medik dilakukan
dengan latihan bertahap dan aman bagi pasien. Indikasi diberikan terapi rehabilitasi medik
berupa kemunduran muskuloskeletal (penurunan tonus, kekuatan, ukuran, dan ketahanan
otot, keterbatasan rentang gerak sendi serta penurunan kekuatan skeletal), kemunduran
kardiovaskuler, kemunduran respirasi (tanda dan gejala atelektasis dan pneumonia),
perubahan-perubahan integument (adanya daerah eritema yang tidak teratur), perubahan-
perubahan fungsi urinaria (berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah,
dan batas kandung kemih yang dapat diraba, tekanan atau nyeri pada abdomen bagian
bawah), perubahan-perubahan gastrointestinal (pengosongan rektum yang tidak sempurna,
anoreksia, mual gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan, dan sakit kepala serta
sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah,
rasa penuh, tekanan), faktor-faktor lingkungan (kamar mandi tanpa pegangan, karpet yang
lepas, penerangan yang tidak adekuat, tangga yang tinggi, lantai licin, dan tempat duduk
toilet yang rendah dapat menurunkan mobilitas pasien) (Juwita, 2009).
Lima tujuan mengarahkan intervensi keperawatan untuk mencegah atau
meniadakan sekuel fisiologis dari imobilitas meliputi (Juwita, 2009):
1. Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal, yang termasuk
pengkondisian program latihan harian baik kontraksi otot isometrik dan isotonik,
aktivitas penguatan aerobik, nutrisi untuk meningkatkan anabolisme protein dan
pembentukan tulang, dan sikap komitmen terhadap latihan.
a. Kontraksi otot isometrik
Kontraksi otot isometrik meningkatkan tegangan otot tanpa mengubah panjang otot
yang menggerakkan sendi. Kontraksi digunakan untuk mempertahankan kekuatan
otot dan mobilitas dalam keadaan berdiri (misalnya otot-otot kuadrisep, abdominal
dan gluteal) dan untuk memberikan tekanan pada tulang bagi orang-orang dengan
dan tanpa penyakit kardiovaskuler. Kontraksi isometrik dilakukan dengan cara
bergantian mengencangkan dan merelaksasikan kelompok otot.
b. Kontraksi otot isotonik
Kontraksi otot yang berlawanan atau isotonik berguna untuk mempertahankan
kekuatan otot-otot dan tulang. Kontraksi ini mengubah panjang otot tanpa
mengubah tegangan. Karena otot-otot memendek dan memanjang, kerja dapat
dicapai. Kontraksi isotonik dapat dicapai pada saat berada di tempat tidur, dengan
tungkai menggantung di sisi tempat tidur, atau pada saat duduk di kursi dengan cara
mendorong atau menarik suatu objek yang tidak dapat bergerak. Ketika tangan atau
kaki dilatih baik otot-otot fleksor dan ekstensor harus dilibatkan.
c. Latihan kekuatan
Aktivitas penguatan adalah latihan pertahanan yang progresif. Kekuatan otot harus
menghasilkan peningkatan setelah beberapa waktu. Latihan angkat berat dengan
meningkatkan pengulangan dan berat adalah aktivitas pengondisian kekuatan.
Latihan ini meningkatkan kekuatan dan massa otot serta mencegah kehilangan
densitas tulang dan kandungan mineral total dalam tubuh.
d. Latihan aerobik
Latihan aerobik adalah aktivitas yang menghasilkan peningkatan denyut jantung
60-90% dari denyut jantung maksimal dihitung dengan (220-usia seseorang) x 0,7.
Aktivitas aerobik yang dipilih harus menggunakan kelompok otot besar dan harus
kontinu, berirama, dan dapat dinikmati. Contohnya termasuk berjalan, berenang,
bersepeda, dan berdansa.
2. Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan rentang gerak,
posisi yang tepat, dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
a. Latihan rentang gerak baik aktif maupun pasif
Latihan aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta
meningkatkan penampilan kognitif. Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu menggerakkan
sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya membantu
mempertahankan fleksibilitas.
b. Mengatur posisi
Mengatur posisi digunakan untuk meningkatkan tekanan darah balik vena. Jika
seseorang diposisikan dengan tungkai tergantung, pengumpulan dan penurunan
tekanan darah balik vena akan terjadi. Posisi duduk di kursi secara normal dengan
tungkai tergantung secara potensial berbahaya untuk seseorang yang beresiko
mengalami pengembangan trombosis vena. Mengatur posisi tungkai dengan
ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki)
mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah.
3. Ketiga, pemeliharaan ventilasi yang normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi serta
menghilangkan sekresi.
4. Keempat, pemeliharaan sirkulasi yang adekuat meliputi tindakan-tindakan pendukung
untuk mempertahankan tonus vaskuler (termasuk mengubah posisi dalam hubungannya
dengan gravitasi), stoking kompresi untuk memberikan tekanan eksternal pada tungkai,
dan asupan cairan yang adekuat untuk mencegah efek dehidrasi pada volume darah.
Pergerakan aktif memengaruhi toleransi ortostatik.
5. Terakhir, pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal bergantung pada
dukungan nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk memfasilitasi
eliminasi. Pembahasan tentang intervensi disajikan di sini.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pasien mengalami imobilisasi dengan komplikasi berupa dekubitus derajat II,
pneumonia atipikal, dan gangguan buang air besar.
2. Berbagai faktor, seperti faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan
terjadinya imobilisasi pada lansia.
3. Selain dekubitus, pneumonia, dan gangguan buang air besar, komplikasi yang
ditimbulkan imobilisasi dapat berupa thrombosis, emboli paru, kelemahan otot,
kontaktur otot dan sendi, osteoporosis, hipotensi postural, ISK, serta gangguan
nutrisi (hipoalbuminemia).
B. Saran
1. Pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, pembuatan rencana
terapi yang mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target
terapi, dan berbagai upaya pencegahan komplikasi lanjutan sebaiknya segera
dilakukan untuk mengatasi kondisi pasien.
2. Edukasi mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya menjaga kebersihan diri
dan lingkungan serta latihan bertahap dan ambulasi dini untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut perlu diberikan kepada pasien dan keluarganya.
3. Terapi rehabilitasi medik sebaiknya diberikan secara rutin pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Martono, H.H. 2009. Aspek Fisiologik dan Patologik Akibat Proses Menua. Dalam :
Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu
Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal : 56-74.
Pranarka, K. Dekubitus. 2009. Dalam : Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds). Buku Ajar
Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 272-83.
Rahayu, R.A. dan Bahar, A. 2007. Penatalaksanaan Infeksi pada Usia Lanjut Secara
Menyeluruh. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati,
S. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal : 1405-10.
Setiati, S. dan Laksmi P.W. 2007. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur. Dalam :
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal : 1378-9.
Setiati S dan Roosheroe, A G. 2006. Imobilisasi pada Usia Lanjut. Dalam : Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 1388-90.