You are on page 1of 15

KATA PENGANTAR

Assalamua’laikum W.W.

Alhamdulillah, puji syukur yang tak terhingga penulis ucapkan kepada kehadirat

ALLAH SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas ini. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Besar

Muhammad SAW dan semua pengikutnya hingga datangnya hari penghabisan.

Untuk menyelesaikan perkeluliahan dalam mata kuliah politik hukum dengan

dosen pengampu Bapak H.M Husnu Abadi, S.H., M.Hum maka penulis mencoba untuk

membuat makalah ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan perkeluliahan

tersebut. Pada makalah ini penulis mencoba untuk mengemukakan suatu judul

“Analisis yuridis perlindungan hukum terhadap kebebasan pers di indonesia”. Penulis

menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan

banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan

atau ketidaksempurnaan di dalam penulisan makalah ini.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan beguna untuk

kedepannya. Apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini

penulis mohon saran dan maaf. Kekurangan adalah milik kita kesempurnaan hanyalah

milik ALLAH SWT.

Wassalamu’alaikum W.W.

Pekanbaru , 25 Desember 2009

Apkar Rahman,SH
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Orde baru telah berganti dengan masa orde reformasi, itu yang ada di bena

sebagian masyarakat Indonesia. Soeharto yang di ideentikkan deanga orde baru telah

turun akibat desakan rakyat dan di Indonesia telah terjadi perubahan yang cukp drastic

di lingkup politik Indonesia. Hal ini di tandai dengan diangkatnya tiga presiden dalam

kurun waktu yang relative singkat.

Perubaha juga disarakan di bidang pers, pada masa orde baru kebebasan pers

dapat dikatakan tidak ada. Pers baru bias merasakan kebebasan pada masa

pemerintahan Habibie yang menggantikan Soeharto. Kebebasan pertam kali

disarasakan ditandai dengan kemudahan pengurusan SIUPP (Surat Ijin Usaha

Penerbita Pers), dengan kemudahan tersebut tidak kurang dari 350 SIUPP telah

dikeluarka pemerintah dalam waktu yang sangat cepat.

Kebebasan bagi pers juga dirasakan saat kepemimpinan Gus Dur yang menjadi

presiden dengan pemilu dengan menggantikan posisi Habibie yang saat itu diangkat

dari wakil presiden menjadi presiden karena kemunduran Soeharto. Pada masa

pemerintahan Gus Dur, department penarangan yang yang oleh banyak pihak disarakan

sebagai alat pemerintah untuk mengekang pers pada zamam orde baru di tiadakan.

Hal yang sama juga di rasakan pada masa pemeritntaha Megawati yang

menggantikan Gus Dur melalui siding Istimewa. Sampai saat megawati tidak membuat

kebijakan bertentangan dengan iklim kebebasan pers, walaupun ia sempat membuat

pers khawatir dengan memasukkan menteri Negara informasi dan komunikasi ke dalam

cabinet.
Jatuhnya SOeharto emamng memberikan kebebasan bagi pers. Pers bagai

terlepas dari kurungan yang telah membelenggu selama puluhan tahun, kebebasan ini di

umbar oleh masyarakat pers dengan mencari SIUPP dan mengeluarkan berbagai

macam terbitan yang di jaman pemerintahan Soeharto dirasa sangat mustahil.

Kebebasan per situ sendiri sebenarya suatu yang seharusnya ada sejak indonsia

merdeka dan itu sudah di jamin dalam undang –undang dasar 1945 pasal 28 yang

berbunyi “kebebasan berserikat dan erkumpu, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan

tulisan dan sebagainya di tetapkan dengan undang-undang” yang telah di ubah dan di

tambah pada tanggal 18 Agustus 2000 menjadi pasal 28 yang terdapat dalam Bab X

tentang Hak Azasi Manusia dan yang mengatur mengenai kebebasan pers terdapat

pada pasal 28 F yang berbunyi “setiap orang berak untuk berkomunikasi dan

memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta

berhak untuk mencari dan memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan

menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia”.

Uud 45 pasal 28 sebenarnya di rancang oleh pendiri Negara kita untuk

memberika jaminan dan hak bagi warga Negara untuk dapat bebas berpendapat

termasuk diantaranya adalah kebebasan pers. Tetapi ternyata dalam praktek orde lama

dan orde baru pasal itu pasal tersebut berlaku pada awal-awal pemerintahan orde baru

saja.

Penjabaran pasal 28 UUD 45, ke dalam undang-undang pokok pers No. 11

tahun 1966 sebnarnya sudah memberikan dasar yuridis yang kuat bagi pers untuk

mendapatkan kebebasan berpendapat maupun berekspresi, nmaun seperti yang


dikemukakan di atas, pemerintah pada kedua orde mengunakan kekuasaan

untukmembatasi gerak pers.

Seperti yang dikatakan Oemar Seno Adji “kebebasan per situ bukanlah tujuan,

melainkan alat untuk mencari tujuan yang lebih tinggi, yaitu kepentingan dan

kesejahteraan umum serta moral yang baik. Tujuan inilah yang harus pula menjadi

batas bagi kemerdekaan pers”.1

Pada masa pemerintahan Habibie pers melihat adanya peluang untuk maju,

mereka mendesak pemerintahan Habibie untukmengeluarkan undang-undang pers yang

baru yang di rasa lebih akomodatif dan memberi jaminan bagi pers. Maka pemerintah

saat itu mengeluarkan Undang-undang No.40 thaun 1999 tentang pers.

Tujuan dengan adanya pers menurut undang-undang No. 21 tahun 1982 tentang

perubahan atas undang-undang No. 4 tahun 1967 terdapat pada pasal 2 ayat (1) yang

berbunyi “Pers nasional adalah alat perjuangan nasional dan merupakan mass media

yang bersifat aktif, dinamais, kreatif, edukatif, informative dan mempunyai fungsi

kemasyarakatan pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis dan konstruktif progresif

meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia”. Sedang kan menurut

undang-undang No.40 tahun 1999 di dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) menyebutkan “pers

nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan hiburan dan control

social” dan “dan di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1) pers nasional dapat

berfungsi sebagai lembaga ekonomi”.

Dengan adanya fungsi-fungsi tersebut jelaslah bagi kita tujuan dari per situ.

Yaitu hal-hal yang berfungsi untuk tercapainya fungasi-fungsi tersebut. Sehingga

1
Oemar Seno Adji, 1977, pers aspek-aspek hokum,erlangga, jakarta, hlm.322
undang-undang per berfungsi sebagai alat jkontrol dalam pencapaiian tujuan nasional

itu agar fungsi dan tujuan pers dapat terjalankan dengan baik.

B. TUJUAN LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERS

Di dalam undang-undang pers ini terdapat beberapa hal ayng menjadi pertimbangan

lahirnya undang-undang tentang pers ini yaitu :

a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat

yang enjdai unsure yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan

yang bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang demokratis, sehingga

kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum

dalam pasal 28 UUD ’45 harus di jamin.

b. Bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang

demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai

dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi , merupakan hak asasi

manusia yang hakiki, yang di perlukan untuk menegakkan keadilan dan

kebenaran, memajukan kesejahteraan umum danmencerdaskan kehidupan

bangsa.

c. Bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebaran

informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi,

hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan

kemerdekaan pers yang propesional.

d. Bahwa pers nasional berperan dan ikut serta ,dalam menjaga ketertiban

dunia berdasakan kemerdekaan, perdaiian abadi, dan keadilan social.


e. Bahwa undang-undang no. 4 tahu 1966 tentang ketentuan –ketentuan

pokok pers sebagaimana telah di ubah dengan undang-undang no 4 tahun

1967 dan diubah dengan undang-undang no. 21 tahun 1982 sudah tidak

lagi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

f. Bahwa berdasarkan pertimnbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

a,b,c,d,e perlu dibentuk undang-undang tentang pers.

Saat membicarakan kemerdekaan pers, ucapan salah seorang pemikir dan bapak

bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson seringkali muncul : “….jika saya harus

memilih antara pemerintahan tanpa surat kabar, atau surat kabar tanpa perintahan, maka

saya tidak akan piker panjang untuk memilih yang terakhir.”. pernyataan dari presiden

ke-3 Amerika Serikat ini (1801-1809) dimaksudkan untuk menegaskan bahwa : pers

adalah salah satu pilar penting pada sebuah Negara yang berlandaskan dekokrasi.

C. BENTUK-BENTUK KEBEBASAN PERS

Adapun bentuk-bentuk kebebasan pers dalam undang –undang ini antara lain

adalah :

1. Pasal 7 ayat (1) : wartawan bebas memilih organisasi wartawan.

2. Pasal 7 ayat (2) : wartyawan memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik

3. Pasal 8 : dalam melaksanakan propesibya wartawan mendapat

perlindungan hokum.

4. pasal 9 ayat (1) : setiap warga Negara Indonesia dan Negara berhak

mendirikan perusahaan pers.


Kebebasan pers pada dasarnya adalah hak pers untuk mempublikasikan

peristiwa, fakta-fakta dan pandangan–pandangan hukum (opini) pers dan masyarakat

terhadap peristiwa tanpa tekanan dan fakta tersebut secara bebas.

D. ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEBEBASAN

PERS DI INDONESIA

Pada masa Orde Baru,. MPR mengeluarkan ketetapan MPR No.2/MPR/1998

tentang garis besar haluan Negara yang menyatakan : “ dalam rangka meningkatkan

peranan pers dalam pembangunan perlu ditingkatkan usaha pengembanan pers yang

sehat, pers yang bebas dan bertangung jawab yaitu pers yang dapat menjalankan

fungsinya sebagai

1. penyebar informasi yang objektif dan edukatif,

2. melakukan control social yang konstruktif

3. menyalurkan aspirasi rakyat

4. meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat.

Adanya ketentuan, seperti diajarkan oleh teori libertanian di pertanian bahwa

pers tidak dapat dipidana sehubungan dengan kecaman-kecamannya terhadap

pemerintah mauppun penguasa, menjadilan pers bergerak amat leluasa sehiigga

kebebasan yang mereka miliki nyaris mutlak. Sepanjang berkaitan dengan opini dan

keyakinannya, setiap kesalahan yang dilakukan oleh pers dilindungi, sama halnya

dengan kebenaran yang dipublikasikannya.

Ketentuan- ketentuan seperti yang diajarkan oleh libertanian itu menjadikan

pers takubahnya seperti watch dog yang setiap saat menyerang tindakan
tindakan dan kebijaksanaan pemerintah, terlepas dari pada apak tindakan-

tindakan atau kebijaksanaan tersebut benar atau tidak.

Perjalan sejarah Indonesia menunjukan bahhwa sekalipun dalam era demokrasi

liberal ( periode 1945-1959) pers Indonesia belum pernah menikmati kebebasan seperti

yang diajarkan oleh teori libertarian. Kebebasenala libertarian itu tidak kunjung datang

karena persbedel ordonnatie 1931 peninggalan colonial baru pada tanggal 2 agustus

1954 berhasil di cabut. Berdasarkan pada pasal 33 Undang-Undang Dasar Sementara

Republik Indonesia, kebebasan pers segera ditata dengan ketentuan sebagai berikut:

jadi walaupun pasal 19UUDS RI dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang

berhak atas kebebasan, mempunyai dan mengeluarkan pendapat tetapi kebebasan itu

dibatasi dalam hal pengakuan dan penghormatan hak-hak asasi oaring lain serta demi

ketemtraman,kesusilaan dan kesejahteraan Negara.

Pebatasan yang demikain ini tidak kita temukan didalm Undang-Undang Dasar

1945 kendatipun pasal 28 yang menetapkan adaya kebebasan tersebut sebenarnya

lahir sebagai hasil kompromi pandangan-pandangan yang berkembang dalam rapat-

rapat BPUPKI tatkala menyusun rancangan UUD ’45 mengenai hak azasi manusia.

Kompromi ini melahirkna suatu rumusan dalam pasal 28 yang memberikan atribusi

kewenangan kepada poembuat undang-undang menetapkan lebihlanjut mengenai

kebebasan pers yang telah ditentukan.

Melalui atribusi inilah ternyata kemudian pemerintah Orde Baru membuat

peraturan perUndang- undangan yang justru membatasi kebebasan pers. Hal tersebut

dimungkinkan karena DPR sendii tealah di intervensi oleh pemerintah sehingga

pembuatan undang-undang hanya mengiyakan saja kehendak pemerintah. Karena


sesuai pula saat itu dengan system politik indoesia sehingga sepenunnya sesuai

kehendak pemerintah maka berdasarkan delegasi perundang-undangan materi yang

telah di terapakan di dalam undang-undang di tuangkan lagi kedalam peraturan

pelaksaan.

Lahirnya peraturan pelaksanaan itu, misalnya peraturan mentri penerangan No. 01

th 1984, yang mengharuskan setiap media cetak memiliki srat izin penerbiatn pers,

kendati secara yuridis formal tidak bertentangan dengan UUD’45 sebab lahir dari

atribusi kewenangan yang diberikannya dalam membuat undang-undang yang

kemudian mendelegasikan kepasa pemerintah untuk membuat peraturan

pelaksanannya, membawa masalah tersendiri karenan substansinya yang bertentangan

dentgan undang-undang, yakni undang-undang No.11 tahun 1966 jo No.21 tahun

1982 yang derajatnya lebih tingi yang justru dengan tegas menyatakan bahwa pers

tidak membutuhkan izin. Azas “ lex superior derogated lex inferiori “.

Walaupun secara yuridis formal dalam masa orde baru telah terpenuhi 3 syarat

pokok yang menurut krisna harahap harus di penuhi demi tercipatanya kebebabsan

pers, yakni :

1. tidak di perlukan izin untuk penerbitan pers,

2. tidak ada sensor,

3. tidak ada pembredelan

kita tidak dapat mengatakan bahwa dalam orde baru terdapat kebebasan pers.

Sebaliknya pengekangan kebebasan tersebut lah yang ada , sama halnya dengan apa

yang terjadi dalam masa demokrasi terpimpin.


Berlakunya era demokrasi terpimpin dan ode baru berlalu pula masa

pengekanyan kebebasan pers. Seiring denagn tibanya masa reformasi, hendak di cari

bentuk kebebasan pers yang pas yakni kebebasan pers di dalam Negara hukum

Indonesia.

Dengan di undangkannya undang-undang No.40 tahun 1999 tentang pers, arah

yang di cari sudah ditemukan yakni pada pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa

terhadap pers nasional tidak dikenakan poenyensoran, pembredelan atau pelanggaran

penyiaran. Bahwa ketentuan tersebut tidak dapat di persamakan dengan pasal 4 UU

No.11 tahun 1966. meraka yang tidak memntaati pasal 4 ayat (2) UU No. 40 tahun

1999 oleh pasal 8 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 2 Tahun atau

denda paling banyak Rp. 500.000.000,-

Berakhirnya pemerintahan orba yang otoriter memungkinkan pers menikmati

kembali kebebasannya yang selama 3 dasawarsa terakhir dirampas oleh pemerintah.

Tidaklah mengherankan apabila setelah puluahn tahun kebebasannya di pasung, pers

berada dalam masa EUPHORIA. Kebebasan pers diartikan sebagai kebabasan tanpa

batas, kebebasan mutlak. Dalam keadaan demikian pers dinilai telah “kebablasan”

dalam enggunakan kebebasannya dan pada gilirannya menimbulkan predatori press

freedom atau kebebasan pers yang bersifat ganas, tak mengindahkan kepantingan lain.

Keadaan tersebut tentu saja tidak boleh terus berlangsung karena seperti yang

ditetapkan dalam pasal 29 deklarasi universal hak azasi manusia PBB :

1. setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang

memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan

penuh.
2. dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya setiap orang harus tunduk

semata-mata pada pembatasan yang dientukan oleh hukum dengan

maksud untuk menjamin pengakuan orang lain, dan untuk memenuhi

syarat-syarat yang adil bagi moralitasnya, ketertiabn dan

kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis.

3. hak-hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalan kan secara

bertentangan dengan maksud-maksud dan prinsip-prinsip PBB.

Jadi, kebebasan pers dibatasi oleh :

1. undang-undang setempat,

2. jiwa (moralitas) masyarakat,

3. ketertiban social dan politik (public order) masyarakat demokaratis.

Dalam ayat (1) pasal 29 demokrasi tersebut bahkan disebut bahwa setiap orang

mempunyai kewajiban terhadap masyarakat, yaitu karena ia memerlukan masyarakat

justru untuk perkembangan pribadinya.

Untuk saat ini pembatasan kebebasan pers diatur dalam peraturan perundang-

undangan diantaranya dalam UUD ’45 pasal 28 J ayat (1) berbunyi : “setiaporang wajib

menghormati hak azasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara”. Dan dalam ayat (2) berbunyi : “dalam menjalankan hak dan

kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatansan yang di tetapkan dengan

undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta

penghormatan ata shak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan yang

adil sesuai dengan pertimbangan moral, niali-nilai agama, kemanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokaratis.


Pembatasan kebebasan pers juga di atur dalam undang-undang no.40 tahun

1999 tentang pers yaitu dalam pasal 5 ayat (1) berbunyi : pers nasional berkewajiban

memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa

kesusilaan masyarakat serta azas praduga tak bersalah.


E. KESIMPULAN

Pada masa orba, ternyata per situ belum merasakan kebebasan dalam

melaksanakan fungsi nya untuk mencapai tujuan di adakannya pers. Karena control

pemerintah saat itu sangat kuat dan semuanya di jadiakan alat politik. Termasuk dalam

pembuatan undang-undang pers yang [eraturan pelaksaannya di serahkan ke pemeritah.

Banyak kita melihat beberapa perusahaan pers saat masa orba yang di tutup atau

dilarang terbit. Sehingga timbullah suatu ketakutan dan kekakuan dalam kinerja pers.

Tetapi pada saat reformasi dan keluarnya undang-undang no 40 tahun 1999 ini banyak

sekali perubahan-perubahan terjadi di dalam undang – undangn tersebt. Dan praktek di

lapangan pun sudah mulai bebas. Sayangnya kebebasan ini di pergunakan secara

berlebihan oleh per situ sendiri.

Dengan perubahan yang signifikan ini, kita dapat menilai bahwa peraturan dan

undang-undang yang di buat pada masa orde baru itu sebenarnya hanya peraturan fiktif

saja yang tidak berlaku dan menguntungkan pembuatnya. Dan pers yang berguna untuk

membuka mata masyarakat dan control menjadi sesuatu abah untuk mencapai tujuan /

kepantingan pribadi ataupun kelompok tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,


Bandung: Citra Aditya Bakti.

Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, 2004, Hak kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum, Jakarta: Rajawali Pers

Anna Nahdya. Abrar, panduan buat pers , pustaka pelajar offset, yogyakarta, 1995

Djafar. H. Assegat, Jurnalistik Masa Kini, Ghalia indonesia, jakarta, 1983

Krishna Harahap, kebebasan pers di indonesia, Grafitri budi utami, Bandung, 2000

B. Perundang-undangan

UUD 1945 (amandeman)

UU No. 11 Tahun 1966 tentang ketentua pokok pers

UU No. 39 Tahun 1999 tenang hak azasi manusia

UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

B. WEBSITE

Arya Gunawan, kemerdekaan pers dan komitmen elit politik, Http;//www.google.com/


POLITIK HUKUM
Analisis yuridis perlindungan hukum terhadap kebebasan
pers di indonesia

Di susun oleh:
Apkar Rahman, S.H

Kelas A angkatan XIII

Dosen :

H.M. HUSNU ABADI, S.H., M.Hum

PROGRAM PASCA SARJANA


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2009

You might also like