You are on page 1of 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penelitian ini dimulai dari observasi lapangan berupa wawancara dengan
Wakasek SMPN 8 Malang (Bapak Darmo, S.Pd) pada tanggal 19 November
2008. Informasi yang diperoleh bahwa SMPN 8 Malang sudah menggunakan
kurikulum KTSP pada semua tingkatan kelas. Pembelajaran IPA dilaksanakan
dengan model IPA terpadu dalam pengertian IPA diajarkan oleh seorang guru,
namun demikian secara isi, fisika, biologi dan kimia masih diajarkan secara
sendiri-sendiri. SMPN 8 menggunakan moving class. Wawancara yang kedua
dilakukan dengan guru IPA kelas VIII A SMPN 8 Malang (Ibu Riyati, S.Pd) yang
dalam penelitian ini berperan sebagai guru mitra. Informasi yang diperoleh bahwa
ketika mengajar fisika guru menggunakan langkah-langkah pembelajaran sebagai
berikut. Guru menjelaskan materi, siswa mendengarkan; guru mencatat ringkasan
materi di papan tulis, siswa mencatat; guru memberi contoh soal hitungan, siswa
menyalin; dan guru memberi tugas, siswa mengerjakan LKS. Jika tugas
mengerjakan LKS tidak selesai, tugas itu dijadikan PR untuk diperiksa pada
pertemuan berikutnya. Metode demonstrasi sesekali dilakukan untuk memperkuat
penjelasan materi. Metode eksperimen tidak selalu bisa dilakukan. Alasannya,
SMP VIII hanya memiliki satu ruang laboratorium dan kelas VIII A hanya
mendapat jatah di laboratorium seminggu 1 kali pertemuan (2 jam pelajaran)
diantara 3 kali pertemuan ( 6 jam pelajaran). Guru berpendapat bahwa
pelaksanaan metode eksperimen secara terus menerus banyak menemui kendala.
Kendala itu adalah terbatasnya penggunaan ruang laboratorium. Kendala lainnya
adalah anggapan guru bahwa metode eksperimen menghabiskan waktu sehingga
khawatir materi tidak terselesaikan. Tidak selesainya materi dalam satu semester
akan berpengaruh pada penumpukan materi di semester berikutnya. Hal ini akan
menambah beban belajar siswa. Beban materi yang terlalu berat akan mengganggu
kesuksesan siswa dalam menempuh ujian akhir semester untuk penentuan
kenaikan kelas. Intinya guru masih dominan menggunakan pendekatan produk
1
daripada pendekatan proses, karena guru menganggap bahwa siswa yang sukses
2

menempuh UNAS adalah sasaran akhir pembelajaran dan sekaligus harapan


orangtua murid. Menurut guru mitra, hambatan yang ditemui dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran IPA adalah terbatasnya buku pegangan siswa, terbatasnya
ruang laboratorium dan waktu yang terbuang akibat perpindahan siswa ketika
moving class. Hambatan-hambatan itu menyebabkan guru tidak bisa bebas
memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran.
Obervasi dilanjutkan dengan mengamati langsung pembelajaran yaitu
pada hari Kamis, tanggal 24 November 2008 di kelas VIII A. Siswa sedang
belajar IPA (fisika) topik usaha dan energi. Guru telah memilih metode
pembelajaran yang mengarah pada pemberdayaan siswa. Guru membagi siswa
dalam kelompok-kelompok untuk menunjang pembelajaran kooperatif. Guru
memilih metode eksperimen dengan panduan LKS. Dalam pelaksanaannya
ternyata masih terdapat masalah-masalah yang menghambat tercapainya tujuan
pembelajaran. Setelah alat dibagikan, untuk beberapa lama siswa tampak tidak
melakukan aktivitas apapun. Siswa kurang mampu memahami petunjuk
praktikum yang ada di LKS. Siswa juga kurang terampil dalam merangkai alat
dan menggunakan alat ukur. Beberapa kelompok yang mulai bekerja, pekerjaan
hanya didominasi oleh satu atau dua orang siswa saja. Sementara itu beberapa
siswa yang lain tampak kurang antusias. Sebagian diantara mereka hanya diam
dan pasif, bahkan ada beberapa siswa yang memain-mainkan alat praktikum.
Akibatnya guru sering memberikan peringatan agar siswa lebih bersemangat dan
serius dalam mengerjakan praktikum. Adanya peringatan-peringatan itu
menyebabkan suasana belajar siswa cenderung tegang. Guru juga sering
memberikan instruksi di tengah-tengah siswa melakukan kegiatan untuk
meluruskan langkah-langkah kegiatan praktikum. Pada akhir kegiatan
pembelajaran, guru meminta kelompok membacakan jawaban atas pertanyaan
yang ada di LKS. Selanjutnya guru menjelaskan teori fisika yang berkaitan
dengan usaha dan energi sekaligus menarik kesimpulan. Gambaran suasana
belajar di atas menunjukkan bahwa siswa kurang termotivasi dalam belajar.
Kemampuan psikomotorik siswa berkenaan dengan pelaksanaan praktikum juga
masih perlu ditingkatkan.
3

Selanjutnya peneliti menggali data prestasi siswa VIIIA. Data prestasi


siswa yang berhasil diperoleh adalah data hasil ulangan umum. Peneliti
berkesempatan mengoreksi ulangan umum IPA semester satu tahun pelajaran
2008/2009 . Data selengkapnya yang diperoleh adalah sebagai berikut. Jumlah
soal IPA sebanyak 40 item, terdiri atas 20 soal fisika dan 20 soal biologi. Bentuk
soal pilihan ganda dengan 4 option. Nilai tertinggi 52,5, nilai terendah 25,0 dan
nilai rata-rata 33,25. Ditinjau dari KKM SMP 8 yaitu 75,0 prestasi belajar di atas
kurang memuaskan. Prestasi belajar siswa selama proses pembelajaran kurang
memuaskan. Hal itu tercermin dari tidak tercapainya tujuan pembelajaran oleh
siswa. Berdasarkan hasil tes lisan pada akhir pembelajaran, hanya sebagian kecil
siswa yang mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan.
Sebagai pelengkap observasi awal, peneliti membagikan angket dan
melakukan wawancara dengan beberapa siswa. Berdasarkan anket diperoleh data
bahwa 60,5 % siswa menyenangi pelajaran fisika. Sebanyak 82,3 % siswa
menginginkan fisika diajarkan secara eksperimen dan hanya 56,7 % siswa
menyukai fisika diajarkan dengan metode ceramah. Berdasar wawancara dengan
beberapa siswa diperoleh informasi bahwa sebenarnya siswa menginnginkan
suasana belajar fisika yang tidak terlalu tegang. Mereka ingin guru memberikan
selingan cerita atau humor. Mereka juga mengungkapkan bahwa selama ini
pelajaran fisika lebih sering diajarkan dengan diterangkan kemudian mengisi titik-
titik pada LKS, sementara itu praktikum dilakukan dengan frekuensi yang
terbatas. Berdasar wawancara ini terungkap pula bahwa siswa rata-rata hanya
memiliki satu buku fisika yaitu LKS. Mayoritas siswa tidak memiliki buku paket
atau buku referensi lain. Apabila diperlukan buku paket, siswa meminjam
diperpustakaan saat pembelajaran berlangsung dan dikembalikan begitu pelajaran
selesai.
IPA(Fisika) meliputi dua hal yaitu IPA(fisika) sebagai produk dan IPA
(Fisika) sebagai proses. Produk IPA(Fisika) terdiri atas fakta, konsep, prinsip,
prosedur, teori, hukum dan postulat. Ditinjau dari proses dimaksudkan segala
kegiatan yang dilakukan dan sikap yang dimiliki para ilmuwan untuk
menghasilkan produk IPA (Wartono, 2002:131). Fakta yang diperoleh dari
observasi di SMP 8 kelas VIIIA di atas semakin menguatkan bahwa
4

pembelajaran IPA masih didominasi oleh faham objektivisme. Faham


objektivisme menitikberatkan hasil pembelajaran pada penguasaan produk
pengetahuan sehingga pembelajaran semata-mata bertujuan siswa mengingat
informasi faktual. (Nurhadi, 2003:33). Guru yang baik adalah guru yang bisa
memotivasi siswa dalam pembelajarannya. Motivasi belajar yang tinggi
berpengaruh pada peningkatan prestasi belajar. Pembelajaran IPA (Fisika) yang
baik adalah bila dilakukan sebagaimana IPA itu ditemukan (Depdiknas, 2005:4).
Sebagaimana faham konstruktivisme yang menyarankan bahwa strategi
memperoleh pengetahuan (proses) lebih diutamakan dibandingkan seberapa
banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. (produk). Oleh karena itu
tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara 1) menjadikan
pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, 2) memberi kesempatan siswa
menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan 3) menyadarkan siswa agar
menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar (Nurhadi, 2003:33).
Kesenjangan antara situasi dan kondisi pembelajaran di SMP 8 dan
kondisi ideal pembelajaran IPA menimbulkan beberapa masalah pembelajaran
yang harus segera dicai solusinya. Masalah itu yang pertama adalah rendahnya
prestasi belajar siswa. Masalah yang kedua adalah rendahnya aktivitas belajar
siswa dan masalah yang ketiga adalah rendahnya motivasi belajar siswa.
Guru sebenarnya sudah berusaha untuk mengatasi masalah itu. Apa yang
telah dilakukan oleh guru dalam pembelajaran yaitu dengan metode eksperimen
sebenarnya sudah sesuai dengan keinginan siswa. Namun demikian penggunaan
ruang kelas regular untuk kegiatan praktikum dengan jumlah siswa sebanyak 44
anak, membatasi guru dalam melakukan pembimbingan pada tiap-tiap kelompok.
Gerak guru terhalang oleh meja dan kursi siswa sehingga guru sulit menjangkau
kelompok-kelompok yang ada di belakang. Petunjuk praktikum yang digunakan
guru adalah LKS produk MGMP yang diberlakukan di seluruh sekolah di Kota
Malang. Penggunaan LKS bersama sedikit menimbulkan masalah. Karakteristik
sekolah yang satu dengan sekolah yang lain tentu tidak seratus persen sama.
Fasilitas belajar mengajar tentu ada perbedaan. Karakteristik siswanya juga
berbeda. Sehingga kalau digunakan LKS yang seragam akan menimbulkan
permasalahan di tingkat mikro, yaitu di kelas itu sendiri. Keseragaman LKS
5

menyebabkan guru tidak bisa leluasa memilih dan menggunakan metode yang
tepat bagi siswa SMP 8, khususnya siswa kelas VIII A. Keterbatasan ruangan dan
LKS tersebut menyebabkan kegiatan praktikum tidak bisa berjalan dengan lancar
sehingga meskipun metodenya praktikum tetapi hakekatnya pembelajaran
berlangsung secara sentralistik. Dominasi pembelajaran masih lebih berat ke guru
dari pada ke siswa.
Rendahnya motivasi dan prestasi belajar siswa diatasi dengan menawarkan
metode belajar berbasis konstruktivistik dengan model belajar Siklus Belajar
(Learning Cycle). Salah satu metode pelajaran yang dapat meningkatkan motivasi
dan prestasi belajar siswa adalah metode konstruktivistik (Rahmawati, Erly,
2005:57). Siklus belajar sains (Science Learning Cycle) menurut Martin
merupakan salah satu metode pembelajaran sains yang konstruktivistik selain
scientific eksperimental methods, Suchman’s Inquiry dan Playful Science (Martin,
1977:303). Siklus belajar (learning cycle) mempunyai tahapan sebagai berikut: (1)
kegiatan awal (eksplorasi) meliputi penggalian pengetahuan awal dan eksplorasi
fenomena, (2) kegiatan inti (ekplanasi) meliputi perumusan masalah, perumusan
hipotesis, pengumpulan data, pencatatan data, analisis data, dan penarikan
kesimpulan, (3) kegiatan pemantapan (ekspansi) meliputi penerapan konsep dan
pemantapan konsep dan (4) evaluasi terhadap konsep-konsep dan penguasaan
ketrampilan proses.
Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration.
Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application masing-
masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase
sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan
Evaluation) (Lorsbach, 2002). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri
pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan
mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase
engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang
akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak
membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan
dalam tahap eksplorasi.
6

Siklus belajar dipilih dalam pembelajaran ini disebabkan siklus belajar ini
merupakan model yang paling efektif dalam pembelajaran IPA, mudah untuk
dipelajari, konsisten dengan paradigma pembelajaran masa kini, dan menciptakan
peluang untuk belajar ilmu pengetahuan (Lorsbach, 2000). Pendapat lain
berkaitan dengan siklus belajar adalah dari Lawson (2000) yang menyatakan
bahwa siklus belajar bersifat membangun terhadap konsep tersebut dari
pengetahuan atas konsep lama menjadi pengetahuan atas konsep yang baru,
membangitkan dan menguji gagasan, mengkonstruksi gagasan menjadi lebih
mudah. Pandangan ini adalah konsisten dengan Piaget (1964) dalam Lawson
(2000) ketika ia mengklaim bahwa pembelajaran yang hanya mengikuti instruksi
dari guru maka para siswa akan memiliki kekurangan ketrampilan dan
pemahaman konsep dibanding dengan siswa yang terlibat secara aktif
sebagaimana dalam siklus belajar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah penerapan pembelajaran model siklus belajar 5 E di kelas VIII
A SMP Negeri 8 Malang?
2. Bagaimanakah peningkatkan motivasi belajar IPA siswa kelas VIII A SMP
Negeri 8 Malang dalam pembelajaran model siklus belajar 5 E?
3. Bagaimanakah peningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas VIII A SMP
Negeri 8 Malang dalam pembelajaran model siklus belajar 5 E?

C. Tujuan Penelitian
D. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran
siklus belajar 5 E dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar IPA siswa
kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang.

E. Manfaat Hasil Penelitian


G. Definisi Operasional
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Belajar
Banyak definisi yang diberikan tentang 'belajar'. Misalnya Gage (1984),
mengartikan 'belajar' sebagai suatu proses di mana organisma berubah
perilakunya. Cronbach mendefinisikan belajar: "learning is shown by a change in
behavior as a result of experience" (belajar ditunjukkan oleh suatu perubahan
dalam perilaku individu sebagai hasil pengalamannya). Harold Spears
mengatakan bahwa: learning is to observe, to read, to imitate, to try something
themselves, to listen, to follow direction" (belajar adalah untuk mengamati,
membaca, meniru, mencoba sendiri sesuatu, mendengarkan, mengikuti arahan).
Adapun Geoch, menegaskan bahwa: "learning is a change in performance as
result of practice." (belajar adalah suatu perubahan di dalam unjuk kerja sebagai
hasil praktik).
Kemudian, menurut Ratna Willis Dahar (1988: 25-26), "belajar
didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman".
Paling sedikit ada lima macam perilaku perubahan pengalaman dan dianggap
sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar: (1) pertama, pada tingkat
emosional yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku diakibatkan dari
perpasangan suatu stimulus tak terkondisi dengan suatu stimulus terkondisi.
Sebagai suatu fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu pada suatu waktu
memeroleh kemampuan untuk mengeluarkan respons terkondisi. Bentuk semacam
ini disebut responden, dan menolong kita untuk memahami bagaimana para siswa
menyenangi atau tidak menyenangi sekolah atau bidang-bidang studi, (2) kedua,
belajar kontiguitas, yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang
lain pada suatu waktu, dan hal ini banyak kali kita alami. Kita melihat bagaimana
asosiasi ini dapat menyebabkan belajar dari 'drill' dan belajar stereotipe-stereotipe,
(3) ketiga, kita belajar bahwa konsekuensi-konsekuensi
12 perilaku memengaruhi
apakah perilaku itu akan diulangi atau tidak, dan berapa besar pengulangan itu.
Belajar semacam ini disebut belajar operant, (4) keempat, pengalaman belajar
sebagai hasil observasi manusia dan kejadian-kejadian. Kita belajar dari model-
8

model dan masing-masing kita mungkin menjadi suatu model bagi orang lain
dalam belajar observasional, (5) kelima, belajar kognitif terjadi dalam kepala kita,
bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita, dan dengan
insight, belajar menyelami pengertian.
Akhirnya, Depdiknas (2003) mendefinisikan 'belajar' sebagai proses
membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses
membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama
orang lain. Proses itu disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan awal), dan
perasaan siswa. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi
bentukan guru. Hal ini terbukti, yakni hasil ulangan para siswa berbeda-beda
padahal mendapat pengajaran yang sama, dari guru yang sama, dan pada saat
yang sama. Mengingat belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun
pemahaman, maka partisipasi guru jangan sampai merebut otoritas atau hak siswa
dalam membangun gagasannya.
Partisipasi guru harus selalu menempatkan pembangunan pemahaman itu
adalah tanggung jawab siswa itu sendiri, bukan guru. Bila siswa bertanya tentang
sesuatu, maka pertanyaan itu harus selalu dikembalikan dulu kepada siswa itu atau
siswa lain, sebelum guru memberikan bantuan untuk menjawabnya. Seorang
siswa bertanya, "Pak/Bu, apakah tumbuhan punya perasaan?" Guru yang baik
akan mengajukan balik pertanyaan itu kepada siswa lain sampai tidak ada seorang
pun siswa dapat menjawabnya. Guru kemudian berkata, "Saya sendiri tidak tahu,
tetapi bagaimana jika kita melakukan percobaan?".
Jadi, berdasarkan deskripsi di atas, 'belajar' dapat dirumuskan sebagai
proses siswa membangun gagasan/pemahaman sendiri untuk berbuat, berpikir,
berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan guru; baik
melalui pengalaman mental, pengalaman fisik, maupun pengalaman sosial.

B. Hakekat Pembelajaran
Pembelajaran merupakan wujud pelaksanaan kurikulum, dengan kata lain
pembelajaran adalah kurikulum dalam kenyataan implementasinya. Kegiatan
pembelajaran yang dilakukan dimaksudkan agar tercipta kondisi yang
memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan
9

pembelajaran dapat dikatakan terjadi belajar, apabila terjadi proses perubahan


perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman (Dimyati, 1990:124).
Dalam halaman yang lain Dimyati (1990:142) menyatakan pembelajaran adalah
proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar
bagaimana belajar dan memproses pengetahuan, keterampilan dan sikap. Imron
(1996:43) menyatakan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan
untuk menciptakan suasana sehingga siswa belajar. Marsiti (2002) mengartikan
pembelajaran sebagai suatu cara yang ditempuh guru untuk sampai pada tujuan
pembelajaran (siswa belajar). Hasibuan (1986:3) menyatakan bahwa
pembelajaran adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan
terjadinya proses belajar. Jadi pembelajaran adalah suatu cara yang digunakan
oleh guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa agar siswa dapat belajar.

C. Model Siklus Belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model)


Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC
adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered).
LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi
sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi
yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada
mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep
(concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan
Their dalam Renner et al, 1988).
Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan
panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan
melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan
fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain.
Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya
(cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-
pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high
level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana
(Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut
sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya,
10

fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju
kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan
konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan
daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini
pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang
sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak
menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem
solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan
percobaan lebih lanjut.. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman
konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari
konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran
menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase
tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat
pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan
dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC biasanya
diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas
pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus
berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya
dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai
hasilnya memuaskan.
LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5
dan 6 fase. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration
dan ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini,
tahap concept introduction dan concept application masing-masing diistilahkan
menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E
(Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation) (Lorsbach,
2002).
Model pembelajaran ini bisa membantu cara berpikir siswa dan membuat
fisika menjadi salah satu pelajaran yang menyenangkan. Tahapan ini harus
dilakukan semuanya dengan urutan di atas.

Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada Gambar 2.1 di bawah ini.
11

Gambar 2.1 the 5 E Learning Cycle Model


( Sumber: www.coe.ilstu.edu)
Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran bersiklus
seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan
guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman
mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Berdasarkan uraian di atas, LC
dapat dimplementasikan dalam pembelajaran bidang-bidang sain maupun sosial.
LC patut dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner
et al, 1988), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan
bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur,
isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat
tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah
perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi
merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan
organisasi (Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada
proses asimilasi individu menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk
memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Dalam asimilasi
individu berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam
struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental individu dapat berubah,
sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari
struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental. Pemerolehan
konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu
harus dapat menghubungkan konsep yang baru dipelajari dengan konsep-konsep
lain dalam suatu hubungan antar konsep. Konsep yang baru harus diorganisasikan
12

dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari
intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam
menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988)
mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas.
Dalam hal ini pebelajar diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan
cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara
mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan
konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki
untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh
Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi
konsep . Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi, dan organisasi)
mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam LC (Abraham et al, 1986).
Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih
tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement
dalam LC 5E termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih
merupakan proses organisasi. Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan
teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar
yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar
bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi
pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara
berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam
pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan
bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi
baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan
pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer
pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi
merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa
secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna
13

dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi pengetahuan fungsional yang
setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah
menengah tentang implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan
keberhasilan model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar
siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan
Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang gurunya
mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan menjelaskan yang lebih baik
dari pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough
(dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu bagi
pembelajaran sain di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan
memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Dilihat dari dimensi guru penerapan
strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam
merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pebelajar,
penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut: 1) meningkatkan
motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses
pembelajaran, 2) membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar, 3)
pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Kekurangan penerapan model pembelajaran ini yang harus selalu
diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio, 2000): 1) efektifitas
pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah
pembelajaran, 2) menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang
dan melaksanakan proses pembelajaran, 3) memerlukan pengelolaan kelas yang
lebih terencana dan terorganisasi, 4) memerlukan waktu dan tenaga yang lebih
banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan
yang dipilih dalam tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan: 1) konsep apa
yang akan diberikan ? atau kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ?, 2)
aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar
tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi tersebut ? ,
Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa
sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik
14

dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan
semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung
konstruktivistik adalah : 1) tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa, 2) tersedianya berbagai alternatif
pengalaman belajar jika memungkinkan, 3) terjadinya transmisi sosial, yakni
interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya, 4) tersedianya media
pembelajaran, 5) kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian
rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan
pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo, 2001)

D. Motivasi
1. Pengertian Motivasi
Banyak pakar yang merumuskan definisi 'motivasi' sesuai dengan kajian
yang diperdalamnya. Rumusannya beraneka ragam, sesuai dengan sudut pandang
dan kajian perspektif bidang telaahnya. Namun demikian, ragam definisi tersebut
memiliki ciri dan kesamaan. Di bawah ini dideskripsikan beberapa kutipan
pengertian 'motivasi'.
Michel J. Jucius (Onong Uchjana Effendy, 1993: 69-70) menyebutkan
'motivasi' sebagai "kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri
sendiri untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki". Menurut Dadi
Permadi (2000: 72) 'motivasi' adalah "dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu,
baik yang positif maupun yang negatif". Sedangkan menurut Ngalim Purwanto
(2004: 64-65), apa saja yang diperbuat manusia, yang penting maupun kurang
penting, yang berbahaya maupun yang tidak mengandung resiko, selalu ada
motivasinya. Ini berarti, apa pun tindakan yang dilakukan seseorang selalu ada
motif tertentu sebagai dorongan ia melakukan tindakannya itu. Jadi, setiap
kegiatan yang dilakukan individu selalu ada motivasinya. Lantas, Nasution
(2002: 58), membedakan antara 'motif' dan 'motivasi'. Motif adalah segala daya
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motivasi adalah
usaha-usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi, sehingga orang itu mau atau
ingin melakukannya.
15

2. Motivasi Belajar
Dalam kegiatan pembelajaran, 'perhatian' berperan amat penting sebagai
langkah awal yang akan memacu aktivitas-aktivitas berikutnya. Dengan
'perhatian', seseorang berupaya memusatkan pikiran, perasaan emosional atau segi
fisik dan unsur psikisnya kepada sesuatu yang menjadi tumpuan perhatiannya.
Gage dan Berliner (1984) mengungkapkan, tanpa adanya perhatian tidak
mungkin terjadi belajar. Jadi, seseorang siswa yang menaruh minat terhadap
materi pelajaran, biasanya perhatiannya akan lebih intensif dan kemudian timbul
motivasi dalam dirinya untuk mempelajari materi pelajaran tersebut.
Di sini, motivasi belajar dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha
seseorang (siswa) untuk menyediakan segala daya (kondisi-kondisi) untuk belajar
sehingga ia mau atau ingin melakukan proses pembelajaran. Dengan demikian,
motivasi belajar dapat berasal dari diri pribadi siswa itu sendiri (motivasi
intrinsik/motivasi internal) dan/atau berasal dari luar diri pribadi siswa (motivasi
ekstrinsik/motivasi eksternal). Kedua jenis motivasi ini jalin-menjalin atau kait
mengait menjadi satu membentuk satu sistem motivasi yang menggerakkan siswa
untuk belajar.

3. Peningkatan Motivasi Belajar


Motivasi belajar dikatakan meningkat bila indikator motivasi belajar
meningkat. Indikator motivasi belajar itu meliputi minat, perhatian, konsentrasi
dan ketekunan. Motivasi belajar siswa di kelas, pada saat proses belajar mengajar
dapat diamati dari aspek minat, perhatian keseriusan dan ketekunan. Peningkatan
minat diamati dari bagaimana peningkatan aktivitas siswa dalam ketepatan waktu
menyelesaikan tugas, peningkatan semangat, peningkatan rasa ingin tahu dan
peningkatan frekuensi bertanya. Peningkatan motivasi belajar aspek perhatian
dapat diamati dari peningkatan aktivitas siswa dalam mengikuti setiap instruksi
guru, melaksanaan praktikum dan berpendapat. Peningkatan motivasi siswa aspek
konsentrasi dapat diamati dari peningkatan aktivitas siswa dalam memusatkan
perhatian ketika guru memberi penjelasan, bimbingan, melakukan demonstrasi
dan arahan sebelum praktikum. Peningkatan motivasi siswa aspek ketekunan
dapat diamati dari peningkatan aktivitas siswa dalam usahanya menyelesaikan
16

masalah, menyelesaikan tugas secepatnya, diskusi dalam kelompok, melakukan


praktikum dan mengerjakan evaluasi.

E. Prestasi Belajar
1. Pengertian Prestasi Belajar
Belajar dapat membawa suatu perubahan pada individu yang belajar.
Perubahan ini merupakan pengalaman tingkah laku dari yang kurang baik menjadi
lebih baik. Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada
hasil yang akan dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut
Poerwodarminto (1991: 768), prestasi belajar adalah hasil yang dicapai
(dilakukan, dekerjakan), dalam hal ini prestasi belajar merupakan hasil pekerjaan,
hasil penciptaan oleh seseorang yang diperoleh dengan ketelitian kerja serta
perjuangan yang membutuhkan pikiran.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang
dicapai oleh siswa dengan melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya setelah
siswa itu melakukan kegiatan belajar. Pencapaian hasil belajar tersebut dapat
diketahui dengan mengadakan penilaian tes hasil belajar. Penilaian diadakan
untuk mengetahui sejauh mana siswa telah berhasil mengikuti pelajaran yang
diberikan oleh guru. Di samping itu guru dapat mengetahui sejauh mana
keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar di sekolah.
2. Peningkatan Prestasi Belajar.
Prestasi belajar dikatakan meningkat bila indikator prestasi belajar
meningkat. Indikator Prestasi belajar itu meliputi aspek koqnitif, psikomotorik
dan afektif. Peningkatan prestasi belajar aspek Koqnitif dilihat dari perkembangan
hasil evaluasi tiap-tiap akhir pembelajaran dan perkembangan hasil tes akhir
siklus PTK. Peningkatan prestasi belajar aspek psikomotorik dilihat dari
peningkatan aktivitas siswa dalam menyiapkan alat praktikum, merangkai alat,
melakukan pengamatan, menggunakan alat ukur, membaca alat ukur dan menjaga
keberfungsian alat-alat praktikum. Peningkatan prestasi belajar aspek afektif
dapat diamati dari peningkatan kehadiran siswa, kemampuan siswa dalam
mengajukan pertanyaan, kemampuan mengajukan gagasan dan aktivitas belajar.
17

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

B. Kehadiran Peneliti

C. Lokasi, Waktu dan Subjek Penelitian

D. Rancangan Penelitian

E. Instrumen Penelitian

F. Data dan Teknik Pengambilan Data

G. Teknik Analisis Data

BAB IV
PAPARAN DATA
A. Hasil observasi awal

B. Pemberian Tindakan Kelas

BAB V

PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pembelajaran Model Siklus Belajar 5E (Learning Cycle)


18

BAB VI

PENUTUP

B. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut.

1. Keterlaksanaan penerapan pembelajaran Model Siklus Belajar 5E (The 5E

Learning Cycle Model) pada mata pelajaran fisika pokok bahasan bunyi dan

cahaya di kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang telah mencapai 86 % di siklus

I, 93 % di siklus II dan 100% di siklus III. Hal ini berarti pada akhir siklus

penelitian, tahapan pembelajaran Model Siklus Belajar 5E telah dapat

dilaksanakan oleh peneliti dalam proses pembelajaran.

2. Motivasi belajar siswa aspek minat, perhatian, keseriusan dan ketekunan

mengalami peningkatan selama penerapan pembelajaran Model Siklus

Belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) yaitu, pada siklus I (60,7 %),

siklus II (68,5 %) dan siklus III ( 77,6 %).

3. Prestasi belajar siswa ranah Koqnitif, afektif dan psikomotorik mengalami

peningkatan selama penerapan pembelajaran Model Siklus Belajar 5E (The

5E Learning Cycle Model) pada siklus I , siklus II maupun siklus III.

Peningkatan prestasi belajar ranah koqnitif siklus I,II dan III sebesar 77,8 %

; 78,6 % dan 80,2 %. Peningkatan prestasi belajar ranah afektif siklus I,II dan

III sebesar 73,6 % , 77,8 %; dan 79,3 % . Peningkatan prestasi belajar ranah

psikomtor siklus I,II dan III sebesar 76,2 % ; 79,4 % dan 85,5 %. Prestasi

133
19

belajar secara akumulatif meningkat dari siklus I (75,9 %), ke siklus II (78,6

%) dan ke siklus III (81,7 %).

C. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas dikemukakan beberapa saran kepada

beberapa pihak sebagai berikut:

1. bagi guru mata pelajaran fisika kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang perlu

menggunakan model Siklus Belajar 5E (The 5E learning Cycle Model)

untuk meningkatkan motivasi belajar dan prestasi belajar siswa pada

pokok bahasan selain bunyi dan cahaya,

2. bagi peneliti lain perlu menggunakan model Siklus Belajar 5E (The 5E

learning Cycle Model) untuk meningkatkan aspek lain dari proses

pembelajaran, misalnya aktivitas belajar siswa, ketrampilan proses sains,

atau kinerja ilmiah pada pokok bahasan sejenis maupun lainnya.

3. penerapan model Siklus Belajar 5E (The 5E learning Cycle Model)

memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan penerapan metode

pembelajaran tradisional, sehingga peneliti/guru harus mempersiapkan diri

lebih baik.

You might also like