Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
menyebabkan guru tidak bisa leluasa memilih dan menggunakan metode yang
tepat bagi siswa SMP 8, khususnya siswa kelas VIII A. Keterbatasan ruangan dan
LKS tersebut menyebabkan kegiatan praktikum tidak bisa berjalan dengan lancar
sehingga meskipun metodenya praktikum tetapi hakekatnya pembelajaran
berlangsung secara sentralistik. Dominasi pembelajaran masih lebih berat ke guru
dari pada ke siswa.
Rendahnya motivasi dan prestasi belajar siswa diatasi dengan menawarkan
metode belajar berbasis konstruktivistik dengan model belajar Siklus Belajar
(Learning Cycle). Salah satu metode pelajaran yang dapat meningkatkan motivasi
dan prestasi belajar siswa adalah metode konstruktivistik (Rahmawati, Erly,
2005:57). Siklus belajar sains (Science Learning Cycle) menurut Martin
merupakan salah satu metode pembelajaran sains yang konstruktivistik selain
scientific eksperimental methods, Suchman’s Inquiry dan Playful Science (Martin,
1977:303). Siklus belajar (learning cycle) mempunyai tahapan sebagai berikut: (1)
kegiatan awal (eksplorasi) meliputi penggalian pengetahuan awal dan eksplorasi
fenomena, (2) kegiatan inti (ekplanasi) meliputi perumusan masalah, perumusan
hipotesis, pengumpulan data, pencatatan data, analisis data, dan penarikan
kesimpulan, (3) kegiatan pemantapan (ekspansi) meliputi penerapan konsep dan
pemantapan konsep dan (4) evaluasi terhadap konsep-konsep dan penguasaan
ketrampilan proses.
Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration.
Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application masing-
masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase
sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan
Evaluation) (Lorsbach, 2002). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri
pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan
mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase
engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang
akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak
membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan
dalam tahap eksplorasi.
6
Siklus belajar dipilih dalam pembelajaran ini disebabkan siklus belajar ini
merupakan model yang paling efektif dalam pembelajaran IPA, mudah untuk
dipelajari, konsisten dengan paradigma pembelajaran masa kini, dan menciptakan
peluang untuk belajar ilmu pengetahuan (Lorsbach, 2000). Pendapat lain
berkaitan dengan siklus belajar adalah dari Lawson (2000) yang menyatakan
bahwa siklus belajar bersifat membangun terhadap konsep tersebut dari
pengetahuan atas konsep lama menjadi pengetahuan atas konsep yang baru,
membangitkan dan menguji gagasan, mengkonstruksi gagasan menjadi lebih
mudah. Pandangan ini adalah konsisten dengan Piaget (1964) dalam Lawson
(2000) ketika ia mengklaim bahwa pembelajaran yang hanya mengikuti instruksi
dari guru maka para siswa akan memiliki kekurangan ketrampilan dan
pemahaman konsep dibanding dengan siswa yang terlibat secara aktif
sebagaimana dalam siklus belajar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah penerapan pembelajaran model siklus belajar 5 E di kelas VIII
A SMP Negeri 8 Malang?
2. Bagaimanakah peningkatkan motivasi belajar IPA siswa kelas VIII A SMP
Negeri 8 Malang dalam pembelajaran model siklus belajar 5 E?
3. Bagaimanakah peningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas VIII A SMP
Negeri 8 Malang dalam pembelajaran model siklus belajar 5 E?
C. Tujuan Penelitian
D. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran
siklus belajar 5 E dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar IPA siswa
kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Belajar
Banyak definisi yang diberikan tentang 'belajar'. Misalnya Gage (1984),
mengartikan 'belajar' sebagai suatu proses di mana organisma berubah
perilakunya. Cronbach mendefinisikan belajar: "learning is shown by a change in
behavior as a result of experience" (belajar ditunjukkan oleh suatu perubahan
dalam perilaku individu sebagai hasil pengalamannya). Harold Spears
mengatakan bahwa: learning is to observe, to read, to imitate, to try something
themselves, to listen, to follow direction" (belajar adalah untuk mengamati,
membaca, meniru, mencoba sendiri sesuatu, mendengarkan, mengikuti arahan).
Adapun Geoch, menegaskan bahwa: "learning is a change in performance as
result of practice." (belajar adalah suatu perubahan di dalam unjuk kerja sebagai
hasil praktik).
Kemudian, menurut Ratna Willis Dahar (1988: 25-26), "belajar
didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman".
Paling sedikit ada lima macam perilaku perubahan pengalaman dan dianggap
sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar: (1) pertama, pada tingkat
emosional yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku diakibatkan dari
perpasangan suatu stimulus tak terkondisi dengan suatu stimulus terkondisi.
Sebagai suatu fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu pada suatu waktu
memeroleh kemampuan untuk mengeluarkan respons terkondisi. Bentuk semacam
ini disebut responden, dan menolong kita untuk memahami bagaimana para siswa
menyenangi atau tidak menyenangi sekolah atau bidang-bidang studi, (2) kedua,
belajar kontiguitas, yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang
lain pada suatu waktu, dan hal ini banyak kali kita alami. Kita melihat bagaimana
asosiasi ini dapat menyebabkan belajar dari 'drill' dan belajar stereotipe-stereotipe,
(3) ketiga, kita belajar bahwa konsekuensi-konsekuensi
12 perilaku memengaruhi
apakah perilaku itu akan diulangi atau tidak, dan berapa besar pengulangan itu.
Belajar semacam ini disebut belajar operant, (4) keempat, pengalaman belajar
sebagai hasil observasi manusia dan kejadian-kejadian. Kita belajar dari model-
8
model dan masing-masing kita mungkin menjadi suatu model bagi orang lain
dalam belajar observasional, (5) kelima, belajar kognitif terjadi dalam kepala kita,
bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita, dan dengan
insight, belajar menyelami pengertian.
Akhirnya, Depdiknas (2003) mendefinisikan 'belajar' sebagai proses
membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses
membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama
orang lain. Proses itu disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan awal), dan
perasaan siswa. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi
bentukan guru. Hal ini terbukti, yakni hasil ulangan para siswa berbeda-beda
padahal mendapat pengajaran yang sama, dari guru yang sama, dan pada saat
yang sama. Mengingat belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun
pemahaman, maka partisipasi guru jangan sampai merebut otoritas atau hak siswa
dalam membangun gagasannya.
Partisipasi guru harus selalu menempatkan pembangunan pemahaman itu
adalah tanggung jawab siswa itu sendiri, bukan guru. Bila siswa bertanya tentang
sesuatu, maka pertanyaan itu harus selalu dikembalikan dulu kepada siswa itu atau
siswa lain, sebelum guru memberikan bantuan untuk menjawabnya. Seorang
siswa bertanya, "Pak/Bu, apakah tumbuhan punya perasaan?" Guru yang baik
akan mengajukan balik pertanyaan itu kepada siswa lain sampai tidak ada seorang
pun siswa dapat menjawabnya. Guru kemudian berkata, "Saya sendiri tidak tahu,
tetapi bagaimana jika kita melakukan percobaan?".
Jadi, berdasarkan deskripsi di atas, 'belajar' dapat dirumuskan sebagai
proses siswa membangun gagasan/pemahaman sendiri untuk berbuat, berpikir,
berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan guru; baik
melalui pengalaman mental, pengalaman fisik, maupun pengalaman sosial.
B. Hakekat Pembelajaran
Pembelajaran merupakan wujud pelaksanaan kurikulum, dengan kata lain
pembelajaran adalah kurikulum dalam kenyataan implementasinya. Kegiatan
pembelajaran yang dilakukan dimaksudkan agar tercipta kondisi yang
memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan
9
fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju
kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan
konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan
daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini
pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang
sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak
menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem
solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan
percobaan lebih lanjut.. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman
konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari
konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran
menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase
tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat
pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan
dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC biasanya
diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas
pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus
berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya
dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai
hasilnya memuaskan.
LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5
dan 6 fase. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration
dan ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini,
tahap concept introduction dan concept application masing-masing diistilahkan
menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E
(Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation) (Lorsbach,
2002).
Model pembelajaran ini bisa membantu cara berpikir siswa dan membuat
fisika menjadi salah satu pelajaran yang menyenangkan. Tahapan ini harus
dilakukan semuanya dengan urutan di atas.
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada Gambar 2.1 di bawah ini.
11
dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari
intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam
menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988)
mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas.
Dalam hal ini pebelajar diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan
cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara
mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan
konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki
untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh
Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi
konsep . Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi, dan organisasi)
mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam LC (Abraham et al, 1986).
Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih
tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement
dalam LC 5E termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih
merupakan proses organisasi. Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan
teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar
yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar
bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi
pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara
berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam
pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan
bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi
baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan
pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer
pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi
merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa
secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna
13
dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi pengetahuan fungsional yang
setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah
menengah tentang implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan
keberhasilan model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar
siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan
Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang gurunya
mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan menjelaskan yang lebih baik
dari pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough
(dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu bagi
pembelajaran sain di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan
memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Dilihat dari dimensi guru penerapan
strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam
merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pebelajar,
penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut: 1) meningkatkan
motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses
pembelajaran, 2) membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar, 3)
pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Kekurangan penerapan model pembelajaran ini yang harus selalu
diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio, 2000): 1) efektifitas
pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah
pembelajaran, 2) menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang
dan melaksanakan proses pembelajaran, 3) memerlukan pengelolaan kelas yang
lebih terencana dan terorganisasi, 4) memerlukan waktu dan tenaga yang lebih
banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan
yang dipilih dalam tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan: 1) konsep apa
yang akan diberikan ? atau kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ?, 2)
aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar
tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi tersebut ? ,
Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa
sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik
14
dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan
semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung
konstruktivistik adalah : 1) tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa, 2) tersedianya berbagai alternatif
pengalaman belajar jika memungkinkan, 3) terjadinya transmisi sosial, yakni
interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya, 4) tersedianya media
pembelajaran, 5) kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian
rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan
pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo, 2001)
D. Motivasi
1. Pengertian Motivasi
Banyak pakar yang merumuskan definisi 'motivasi' sesuai dengan kajian
yang diperdalamnya. Rumusannya beraneka ragam, sesuai dengan sudut pandang
dan kajian perspektif bidang telaahnya. Namun demikian, ragam definisi tersebut
memiliki ciri dan kesamaan. Di bawah ini dideskripsikan beberapa kutipan
pengertian 'motivasi'.
Michel J. Jucius (Onong Uchjana Effendy, 1993: 69-70) menyebutkan
'motivasi' sebagai "kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri
sendiri untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki". Menurut Dadi
Permadi (2000: 72) 'motivasi' adalah "dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu,
baik yang positif maupun yang negatif". Sedangkan menurut Ngalim Purwanto
(2004: 64-65), apa saja yang diperbuat manusia, yang penting maupun kurang
penting, yang berbahaya maupun yang tidak mengandung resiko, selalu ada
motivasinya. Ini berarti, apa pun tindakan yang dilakukan seseorang selalu ada
motif tertentu sebagai dorongan ia melakukan tindakannya itu. Jadi, setiap
kegiatan yang dilakukan individu selalu ada motivasinya. Lantas, Nasution
(2002: 58), membedakan antara 'motif' dan 'motivasi'. Motif adalah segala daya
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motivasi adalah
usaha-usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi, sehingga orang itu mau atau
ingin melakukannya.
15
2. Motivasi Belajar
Dalam kegiatan pembelajaran, 'perhatian' berperan amat penting sebagai
langkah awal yang akan memacu aktivitas-aktivitas berikutnya. Dengan
'perhatian', seseorang berupaya memusatkan pikiran, perasaan emosional atau segi
fisik dan unsur psikisnya kepada sesuatu yang menjadi tumpuan perhatiannya.
Gage dan Berliner (1984) mengungkapkan, tanpa adanya perhatian tidak
mungkin terjadi belajar. Jadi, seseorang siswa yang menaruh minat terhadap
materi pelajaran, biasanya perhatiannya akan lebih intensif dan kemudian timbul
motivasi dalam dirinya untuk mempelajari materi pelajaran tersebut.
Di sini, motivasi belajar dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha
seseorang (siswa) untuk menyediakan segala daya (kondisi-kondisi) untuk belajar
sehingga ia mau atau ingin melakukan proses pembelajaran. Dengan demikian,
motivasi belajar dapat berasal dari diri pribadi siswa itu sendiri (motivasi
intrinsik/motivasi internal) dan/atau berasal dari luar diri pribadi siswa (motivasi
ekstrinsik/motivasi eksternal). Kedua jenis motivasi ini jalin-menjalin atau kait
mengait menjadi satu membentuk satu sistem motivasi yang menggerakkan siswa
untuk belajar.
E. Prestasi Belajar
1. Pengertian Prestasi Belajar
Belajar dapat membawa suatu perubahan pada individu yang belajar.
Perubahan ini merupakan pengalaman tingkah laku dari yang kurang baik menjadi
lebih baik. Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada
hasil yang akan dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut
Poerwodarminto (1991: 768), prestasi belajar adalah hasil yang dicapai
(dilakukan, dekerjakan), dalam hal ini prestasi belajar merupakan hasil pekerjaan,
hasil penciptaan oleh seseorang yang diperoleh dengan ketelitian kerja serta
perjuangan yang membutuhkan pikiran.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang
dicapai oleh siswa dengan melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya setelah
siswa itu melakukan kegiatan belajar. Pencapaian hasil belajar tersebut dapat
diketahui dengan mengadakan penilaian tes hasil belajar. Penilaian diadakan
untuk mengetahui sejauh mana siswa telah berhasil mengikuti pelajaran yang
diberikan oleh guru. Di samping itu guru dapat mengetahui sejauh mana
keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar di sekolah.
2. Peningkatan Prestasi Belajar.
Prestasi belajar dikatakan meningkat bila indikator prestasi belajar
meningkat. Indikator Prestasi belajar itu meliputi aspek koqnitif, psikomotorik
dan afektif. Peningkatan prestasi belajar aspek Koqnitif dilihat dari perkembangan
hasil evaluasi tiap-tiap akhir pembelajaran dan perkembangan hasil tes akhir
siklus PTK. Peningkatan prestasi belajar aspek psikomotorik dilihat dari
peningkatan aktivitas siswa dalam menyiapkan alat praktikum, merangkai alat,
melakukan pengamatan, menggunakan alat ukur, membaca alat ukur dan menjaga
keberfungsian alat-alat praktikum. Peningkatan prestasi belajar aspek afektif
dapat diamati dari peningkatan kehadiran siswa, kemampuan siswa dalam
mengajukan pertanyaan, kemampuan mengajukan gagasan dan aktivitas belajar.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Kehadiran Peneliti
D. Rancangan Penelitian
E. Instrumen Penelitian
BAB IV
PAPARAN DATA
A. Hasil observasi awal
BAB V
PEMBAHASAN
BAB VI
PENUTUP
B. Kesimpulan
berikut.
Learning Cycle Model) pada mata pelajaran fisika pokok bahasan bunyi dan
I, 93 % di siklus II dan 100% di siklus III. Hal ini berarti pada akhir siklus
Belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) yaitu, pada siklus I (60,7 %),
Peningkatan prestasi belajar ranah koqnitif siklus I,II dan III sebesar 77,8 %
; 78,6 % dan 80,2 %. Peningkatan prestasi belajar ranah afektif siklus I,II dan
III sebesar 73,6 % , 77,8 %; dan 79,3 % . Peningkatan prestasi belajar ranah
psikomtor siklus I,II dan III sebesar 76,2 % ; 79,4 % dan 85,5 %. Prestasi
133
19
belajar secara akumulatif meningkat dari siklus I (75,9 %), ke siklus II (78,6
C. Saran
1. bagi guru mata pelajaran fisika kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang perlu
lebih baik.