You are on page 1of 7

Anam Hady Nugroho

ETIKA
LINGKUNG
AN
Beberapa Model Etika Lingkungan

2/6/2016

Etika Lingkungan
Etika menurut arti katanya adalah ilmu tentang akhlak dan tata kesopanan, 1
sementara lingkungan menurut arti katanya adalah kawasan wilayah dan segala
sesuatu yang terdapat di dalamnya, golongan, dan kalangan. 2 Maka dari itu etika
lingkungan menurut arti katanya bisa disebut sebagai tata kesopanan dalam
berperilaku terhadap segala hal yang terdapat dalam suatu kawasan.
Sementara itu etika lingkungan menurut pandangan lingkungan hidup
diungkapkan oleh Sonny Keraf sebagai Relasi di antara semua kehidupan alam
semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada
alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara
keseluruhan. Termasuk di dalamnya, berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang
mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap alam.3
Pandangan yang saat ini mendominasi bagaimana cara manusia berinteraksi
dengan

lingkungan

adalah

pandangan

antroposentrisme.

Pandangan

ini

menerapkan nilai dan moral yang ada pada kehidupan manusia kedalam interaksi
terhadap makhluk hidup lainnya, padahal nilai dan moral tersebut sangat kental
dengan kepentingan dari manusia itu sendiri. Sehingga yang kita lakukan selama
ini belum mampu mengakomodir kepentingan dari lingkungan dan makhluk hidup
lainnya.
Akibat penggunaan etika yang sepihak oleh manusia ini menyebabkan
pandangan manusia terhadap lingkungan juga sepihak dari sisi kepentingan

Kamisa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. 1997. Surabaya: Kartika., hlm.


164.
2
Ibid., hlm. 342.
3
Sonny Keraf, 2010, Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas, hlm. 41-42

manusia belaka. Sehingga manusia menganggap lingkungan sebagai obyek


pemenuh kebutuhan manusia saja. Akhirnya saat ini lingkungan hidup mengalami
kerusakan yang terus menerus meningkat sebagai akibat dari aktivitas pemenuhan
kebutuhan manusia. Kesalahan manusia bersikap terhadap lingkungan ini juga
diungkapkan oleh Albert Schweitzer dalam Sonny Keraf yang menyatakan bahwa,
Kesalahan terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya
berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia.4
Dengan melihat perkembangan manusia yang dinamis dan diikuti dengan
perkembangan ilmu pengetahuan maka teori etika lingkungan hidup juga
mengalami perkembangan. Perkembangan teori etika lingkungan hidup ini paling
tidak berkembang menjadi tiga model, yaitu:
1. Antroposentrisme
Pandangan ini melihat manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan
ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik
secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan
perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam
pun dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam
tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.5
4
5

Ibid., hlm. 41.


Ibid., hlm. 47.

Dengan pandangan ini manusia menganggap mampu memanfaatkan alam


semaksimal mungkin demi kelangsungan hidup manusia. Saat usaha mereka itu
justru menyebabkan kerusakan lingkungan, manusia masih berusaha sebagai
tuhan yang mampu mengubah-ubah kondisi lingkungan agar sesuai dengan
standar hidup manusia dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Usaha pelestarian lingkungan itupun juga dilakukan jika hanya pelestarian itu
bermanfaat bagi kepentingan manusia lainnya. Jika ternyata alam itu tidak
memberi manfaat bagi manusia lainnya, maka alam itu akan diabaikan dan tidak
di pedulikan.
2. Biosentrisme
Pandangan mendasar biosentrisme menganggap semua makhluk hidup di
bumi ini mempunyai nilai dan moral sendiri. Hubungan antar komunitas makhluk
hidup ini harus dijalankan berdasar pemahaman yang sama tentang nilai dan
moral

oleh

semua

makhluk

hidup.

Tidak

seperti

dalam

pandangan

antroposentrisme yang menganggap manusia sebagai pemilik tunggal nilai dan


moral. Biosentrisme berpendapat bahwa semua makhluk hidup yang ada di bumi
ini mempunyai nilai dan moralnya sendiri.
Biosentrisme menekankan pada cara berhubungan antar komunitas
makhluk hidup, jadi pusat perhatian pandangan ini pada semua makhluk yang
hidup baik manusia maupun nonmanusia secara komunitas, bukan sebagai
individu. Biosentrisme sendiri menurut Paul Taylor dalam Sonny Keraf
didasarkan pada empat keyakinan yaitu:6

Ibid., hlm. 69.

a. Pertama, keyakinan bahwa manusia adalah anggota dari komunitas


kehidupan di bumi, dalam arti yang sama dan dalam kerangka yang
sama di mana makhluk hidup yang lain juga anggota dari komunitas
yang sama.
b. Kedua, keyakinan bahwa spesises manusia, bersama dengan semua
spesies lain, adalah bagian dari sistem yang saling teergantung
sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup dari makhluk hidup
mana pun, serta peluangnya untuk berkembang biak atau sebaliknya,
tidak ditentukan oleh kondisi fisik lingkungan melainkan oleh
relasinya satu sama lain.
c. Ketiga, keyakinan bahwa semua organisme adalah pusat kehidupan
yang mempunyai tujuan sendiri sesuai dengan caranya sendiri.
d. Keempat, keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendiri tidak lebih
unggul dari makhluk hidup lain.
3. Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan pengembangan lanjut dari teori biosentrisme,
maka dari itu sering biosentrisme dan ekosentrisme disamakan. Padahal kedua
pandangan

ini

berbeda.

Perbedaan

keduanya

ditunjukkan

pada

fokus

perhatiannya, pada biosentrisme fokus perhatiannya pada hubungan antar


komunitas makhluk hidup, sementara ekosentrisme melihat hubungan ini pada
hubungan semua makhluk hidup dan tak hidup, baik secara individu maupun
secara komunitas.

Ekosentrisme juga dikenal dengan istilah lain yang dipopulerkan oleh


Arne Naess dalam Sonny Keraf sebagai Deep Ecology.7 Teori ini menekankan
perhatiannya pada semua spesies termasuk spesies bukan manusia. Selain itu teori
ini juga memberi perhatiannya pada kepentingan jangka panjang bukan jangka
pendek, sehingga teori ini berusaha melakukan perubahan melalui sebuah gerakan
konkrit dan nyata sebagai usaha memperbaiki hubungan antar manusia maupun
non manusia, baik biotik maupun abiotik.8
Pandangan ekosentrisme ini jauh berbeda dengan teori antroposentrisme
yang sempit dan dangkal. Pandangan ekosentrisme melihat manusia sebagaisalah
satu spesies yang hidup di bumi dan sangat bergantung kepada alam. Alam sendiri
sudah menunjukkan bahwa ia dapat bertahan selama jutaan tahun tanpa adanya
campur tangan manusia. Sehingga pandangan ini menolak anggapan yang
menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling berkuasa. Maka dari itu
Otto Soemarwoto dalam bukunya yang berjudul Ekologi, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan, menyarankan kita untuk lebih merendahkan diri, karena
sebenarnya kelangsungan hidup manusia bukan di tangan kita, sehingga
kehidupan kita sebenarnya amat rentan. 9
Bentuk kerendahan diri manusia terhadap alam ini sebenarnya juga ada di
Indonesia yang sudah cukup dikenal dalam filsafat hidup orang Minangkabau.
Menurut pandangan ini manusia dianggap sebagai murid-murid dari alam dan
alam sebagai gurunya, atau lingkungan mereka, dan karenanya manusia harus
mampu menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungannya, serta semua makhluk
7

Ibid., hlm. 93.


Lihat Sonny Keraf, ibid., hlm 93-94.
9
Lihat Otto Soemarwoto 2008. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Jakarta: Djambatan., hlm. 51.
8

yang ada sebagai akibat dari perubahan kehidupan yang terjadi secara terus
menerus.10

10

Lihat Zoeraini Djamal Irwan. 2012. Prinsip-Prinsip Ekologi, Ekosistem,


Lingkungan dan Pelestariannya. Jakarta: Bumi Aksara., hlm 4.

You might also like