You are on page 1of 23

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi
Permukaan korteks serebri superficial terdiri dari 6 lapisan. Kortek motor
frontal terutama terdiri sel pramidal ( = kortek granular ). Kortek sensoris
parietal terutama lapisan granular ( = kortek granular )

Fungsi hemisfer kanan dan kiri


Kerusakan otak unilateral akan
memberikan

gejala

berbeda.

Hemisfer kiri merupakan hemisfer


dominan untuk orang tangan kanan
(right handed). Orang kidal 80%
hemisfer dominan tetap dikiri. Kerusakan hemisfer kiri akan memberi gejala
gangguan bahasa / aphasia, sedang hemisfer kanan terutama visuospatial.

14

Lobus frontal
1. Presental gyrus merupakan area
motor

kontralateral

dari

lengan, tungkai,batang.
2. Area brocca's merupakan

wajah,
pusat

bicara motorik pada lobus dominan.


3. Suplementari motor area untuk
gerakan kontralateral kepala dan lirikan mata.
4. Area prefrontal merupakan area untuk kepribadian dan inisiatif.
5. Lobulus parasental merupakan pusat kontrol inhibisi untuk miksi dan
defikasi.
Gangguan lobus frontal
1. Presentral gyrus: monophlegi atau hemiphlegia area Brocca disfasia
2. Suplementari motor area : paralysis kepala dan gerakan bola mata
berlawanan arah lesi, sehingga kepala dan mata kearah lesi hemisfer
3. Area prefrontal: kerusakan sering bilateral karean gangguan aneurisma a.
Communican anterior, mengakibatkan gangguan tingkab laku / kehilangan
inhibisi.
Ada 3 sindroma prefrontal :
- Sindroma orbitofrontal : disinhibisi. Fungsi menilai jelek, emosi
labil.
- Sindroma frontal konveksitas : apati. Indiferens. Pikiran abstrak.
- Sindroma frontal medial: akineti, inkontinen, sparse verbal output
4. Lobulus parasentral : inkontinentia urin at alvi
Lobus parietal
Fungsi lobus parietal
1. gyrus postcentral : merupakan kortek sensoris yang menerima jaras
afferent dari posisi, raba dan gerakan pasif.
2. gyrus angularis dan supramarginal : hemisfer dominan merupakan bagian
area bahwa Wernics, dimana masukkan auditori dan visual di

15

integrasikan. Lobus non dominan penting untuk konsep " body imge", dan
sadar akan lingkungan luar.
Kemampuan untuk kontruksi bentuk, menghasilkan visual atau ketrampilan
proprioseptik. Lobus dominan berperan pada kemampuan menghitung atau
kalkulasi. Jaras visual radiatio optika melalui bagian dalam lobus parietal.

Gangguan lobus parietal


1. Gangguan korteks sensoris dominan / non - dominan menyebabkan
kelainan sensori kortikal berupa gangguan : sensasi postural, gerakan
pasif, lokalisasi akurat raba halus, " two points discrimination",
astereognosia," sensory inattention"
2. Gyrus angularis dan supramarginal : aphasia wernicke's
3. Lobus non - dominan : anosognosia (denies), dressing apraksia,
geografikal agnosia, konstruksional apraksia. Lobus dominan : gerstsman
sindroma : left & right disorientasi, finger agnosia, akalkuli dan agrafia.
4. Gangguan radiasio optika : homonim kuadrananopsi bawah.
Lobus temporal

16

1. Kortek

auditori

permukaan
superior

terletak

gyrus
=

gyrus

pada

temporal
Heschl).

Hemisfer dominan penting untuk


pendengaran

bahasa,

sedang

hemisfer non - dominan untuk


mendengar nada, ritme dan musik.
2. Gyrus temporalis media & inferior berperan dalam fungsi belajar &
memori.
3. Lobus limbic : terletak pada bagian inferior medial lobus temporal,
termasuk hipokampus & gyrus parahipokampus. Sensasi olfaktoris melalui
jaras ini, juga emosi / sifat efektif. Serabut olfaktori berakhir di uncus.
Jaras visual melalui bagian dalarn lobus temporal sekitar cornu posterior
ventrikel lateral.
Gangguan lobus Temporal
1. Kortek auditori : tuli kortikal. Lobus dominan ketulian untuk mendengar
pembicaraan atau amusia pada lobus non - dominan
2. Gyrus temporal media & infrior : gangguan memori / belajar
3. Kerusakan lobus limbic : halusinasi olfaktori seperti pada bangkitan parsia
komplek. Agresif / kelakuan antisosisal, tidak mampu untuk menjaga
memori baru.
4. Kerusakan radiasio optika : hemianopsi homonim kuadranopia bagian
atas.
Lobus Occipital
Lesi Kortikal
Lesi kortikal memberikan gejala homonim dengan / tanpa kelainan
macula. Bila hanya kutub occipital terkena maka kelainan macula dengan

17

penglihatan

perifer

normal.

Buta kortikal : Karena lesi


kortikal yang luas, reflek pupil
normal & persepsi cahaya (- ).
Anton's sindroma : Kerusakan
striata dan para striata menyebabkan kelainan interpretasi visual. Pasien tidak
sadar buta dan menyangkal. Karena kelainan arteri cerebri posterior, juga
dapat mengikuti hipoksia & hipertensi ensefalopati. Balin sindroma : tidak
bisa melirikkan mata volunteer disertai visual agnosia, karena lesi parietooccipital bilateral.
Halusinasi visual
Halusinasi karena lesi occipital biasanya sederhana, tampak sebagai pola
(zigzag, kilatan) dan mengisi lapangan hemianopsi, sedang halusinasi karena
lobus temporal berupa bentuk komplek clan mengisi seluruh lapang pandang.
Ilusi visual : distoris bentuk, hilangnya warna, makropsia / mikrosia, sering
pada lesi non - dominan.
Prosopagnosia : pasien mengenal wajah orang tidak bisa menyebutkan
namanya.
Pendekatan diagnosa dysphasia
Dengarkan isi dan kelancaran bahasa, amati dengan perintah sederhana
sampai komplek Penilaian ditujukan pada : bicara spontan, penamaan,
pengulangan, baca dan tulis.
Brocca dysphasia : bicara tak lancar, tertahan, pengertian baik.

18

Wernicke dysphasia: pengertian terganggu, bicara lancar tapi tak bearti,


neologisme, paraphrasia, tulisan jelek.
Global dysphasia : bicara tak lancar, pengertian jelek.
Area reseptif dan ekspresi dihubungkan melalui fasikulus arkuata untuk
menjalankan fungsi intergrasi.
Dysphasia adalah kelainan dapatan yang ditandai dengan hilangnya
kemampuan produksi atau pengertian terhadap pembicara dan/tulisan karena
kerusakan otak sekunder.
3.2 Epilepsi
3.2.1 Definisi
Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi
sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan
serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik,
perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Pelepasan aktifitas
listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron
terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia,
anatomi dengan manifestasi baik lokal maupun general. Epilepsi adalah suatu
kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih
dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali
definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi

yang

dapat

mencetuskan

bangkitan

epileptik,

perubahan

neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang


diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan
epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai

19

tanda dan / gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu :
a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (unprovoked).

3.2.2 Epidemiologi
Secara keseluruhan insiden epilepsi tertinggi terjadi pada masa bayi dan
kanak-kanak, dan pada masa tua. Namun, distribusi berbentuk U ini tidak benar
pada epilepsy yang terkait dengan lokasi kelainannya, di mana kejadian ini
terjadi sekitar 20 / 100.000 / tahun dari lahir sampai 60 tahun, setelah itu angka
kejadian meningkat drastis. Dalam sebuah penelitian di Inggris, kejadian
epilepsi (hampir semua terkait lokasi) meningkat dari 76 / 100.000 pada orang
60-69 tahun menjadi 159 / 100.000 pada usia 80 tahun dan yang lebih tua.

20

Selama periode 50-tahun 1934-1984, 880 orang didiagnosis dengan epilepsi


di Rochester, Minnesota (masyarakat kelas menengah yang didominasi
ras Kaukasia). Lima puluh tujuh persen memiliki epilepsi dengan lokasi
kelainan tertentu dan dua pertiga memiliki kejang parsial kompleks. Insidensi
menurut

umur

individu

dengan kejang

parsial

kompleks

adalah

16/100.000/thn. Di Southwest Prancis insiden keseluruhan epilepsi yang


berhubungan dengan lokasi kelainan adalah 17.1/100.000 dan 33.2 /100.000
pada mereka yang berusia 60 atau lebih tua. Dalam sebuah studi di Denmark
dari 1508 orang dewasa, 73,5% mengidap epilepsi yang terkait dengan
lokasi kelainannya (simptomatik), dan individu dengan kejang parsial kompleks
sekitar 38,2% dari semua kasus. Pasien dengan kejang parsial kompleks berkisar
21,4% dari kasus dalam studi baru-baru ini di Icelandic tapi hampir setengah
dari kasus yang terdaftar sebagai kejang umum, bukan sebaliknya
3.2.3 Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita
sebut sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu
kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi
menjadi dua, yaitu :
Tabel 3.1 Etiologi Epilepsi
Kejang Fokal Kejang Umum
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor (Neoplasma)
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis

Kejang Umum
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif

21

3.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang
epilepsi :
Tabel 3.2 Klasifikasi Kejang Epilepsi
No.
Klasifikasi kejang epilepsi
1. Kejang Kejang parsial sederhana
parsial

Kejang parsial kompleks

Kejang parsial sederhana dengan


gejala motorik
Kejang parsial sederhana dengan
gejala somatosensorik atau sensorik
khusus
Kejang parsial sederhana dengan
gejala psikis
Kejang parsial kompleks dengan onset
parsial sederhana diikuti gangguan
kesadaran
Kejang parsial kompleks dengan
gangguan kesadaran saat onset

Kejang
parsial
yang Kejang parsial sederhana menjadi
menjadi
kejang kejang umum
generalisata sekunder
Kejang parsial kompleks menjadi
kejang umum
Kejang parsial sederhana menjadi
kejang parsial kompleks dan
kemudian menjadi kejang umum
2. Kejang
umum

Kejang absans
Absans atipikal
Kejang mioklonik
Kejang klonik
Kejang tonik-klonik
Kejang atonik

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk


sindroma epilepsi :

22

Tabel 3.3 Klasifikasi Sindroma Epilepsi


No
1 Berkaitan
dengan
letak
fokus

Klasifikasi
sindroma epilepsi
Idiopatik

Simtomatik

2.Epilepsi
umum

Kriptogenik
Idiopatik

Kriptogenik
simtomatik

Simtomatik

Epilepsi anak benigna dengan


gelombang paku di
sentrotemporal (Rolandikbenigna)
Epilepsi anak dengan
paroksimal oksipital
Simtomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
Kronik progresif parsialis
kontinu

Kejang neonates familial


benigna
Kejang neonates benigna
Epilepsi mioklonik benigna
pada bayi
Epilepsi absans pada anak
(pyknolepsy)
Epilepsi absans pada remaja
Epilepsi mioklonik pada
remaja
Epilepsi dengan serangan
tonik-klonik saat terjaga
atau Sindroma West (spasme bayi)
Sindroma Lennox-Gastaut
Epilepsi dengan kejang
mioklonik-astatik
Epilepsi dengan mioklonik
Absans
Etiologi non spesifik
- Ensefalopati
mioklonik
neonatal
- Epilepsi ensefalopati pada
bayi

23

Gejala epilepsi umum lain


yang
tidak
dapat
didefinisikan
Sindrom spesifik
- Malformasi serebral
- Gangguan metabolisme
3 Epilepsi
dan
sindrom
yang tidak
dapat
ditentukan
fokal atau
generalisat
a

Serangan
fokal dan
umum
Tanpa
gambaran
tegas fokal
atau umum

Kejang neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada
bayi
Epilepsi dengan gelombang
paku kontinu selama
gelombang rendah tidur
(Sindroma Taissinare)
Sindroma Landau-Kleffner

4 Sindrom
khusus

Kejang demam
Status epileptikus
Kejang berkaitan
dengan
gejala
metabolik
atau
toksik akut

3.2.5 Kejang Parsial Kompleks


Epilepsi terbagi menjadi kejang parsial sederhana, kejang parsial kompleks,
dan kejang parsial sekunder generalisata. Semua bermula dari pusat kejang di
daerah kortikal. Kejang parsial sederhana cukup lokal bahwa tidak ada
penurunan kesadaran, dan gambaran klinis kejang adalah refleksi dari lokasi
pusat kejang. Kejang parsial kompleks menjalar melibatkan bagian dari
hemisper yang berlawanan, dan hal itu mengakibatkan gangguan kesadaran,
yaitu penurunan kontak dengan lingkungan. Kejang umum sekunder dimulai
dari

pusat

kortikal,

kemudian

menyebar

ke

diencephalon

dan

24

hemisper berlawanan dan menyebabkan penurunan kesadaran yang lengkap dan


kejang umum tonik-klonik. Semiologi klinis pada kejang parsial kompleks
tergantung pada lokasi pusat kejang di kortikal.
Lobus temporal adalah lokasi yang paling umum menjadi pusat kejang
parsial kompleks. Sekitar 80% dari pasien dengan epilepsi memiliki kejang yang
berasal dari lobus temporal. Kejang parsial kompleks yang berasal dari lobus
temporal menurut studi MRI sering dikaitkan dengan mesial temporal sclerosis
dan sering dimulai dengan aura. Paling umum adalah sensasi viscerosensorik
seperti sensasi naik dari perut, atau rasa takut. Dj vu dan sensasi penciuman
merupakan aura yang kurang umum. Otomatisasi Oro-pencernaan (bibir
mengunyah) menjadi gejala yang umum. Kepala beralih ke sisi ipsilateral,
Otomatisasi manual pada sisi ipsilateral, atau sikap dystonic dari ekstremitas
atas yang kontralateral dapat membantu menentukan pusat kejang.Kebingungan
yang terjadi setelahnya biasanya berlangsung setidaknya beberapa menit, setelah
itu terjadi pemulihan bertahap. Biasanya, pasien mengalami amnesia
selama kejang parsial kompleks terjadi. Namun, banyak pasien bersikeras
bahwa mereka mampu melihat lingkungan mereka selama kejang terjadi. Hal ini
mungkin karena mereka ingat bahwa bagian dari kejang parsial sederhana
mereka anggap sebagai kejang lengkap.
Kejang parsial kompleks yang berasal dari lateral atau neokorteks lainnya
terjadi pada kurang dari 10% pasien. Hal itu menegaskan bahwa kejang yang
berasal dari neokorteks lobus temporal paling sering dimulai dengan ilusi indera
atau halusinasi pendengaran, cepat hilangnya kontak dengan lingkungan, sikap
kontralateral distonik tanpa Otomatisasi oro-pencernaan, durasi kejang lebih

25

pendek, dan sering tipe epilepsy parsial sekunder generalisata. Maillard et AL


telah menjelaskan bahwa ada tiga subtipe elektropsikologi dari epilepsi lobus
temporal.
Pada lobus frontal onset kejang parsial kompleks yang paling sering di
malam hari. Biasanya mereka tiba-tiba kejang, pendek durasinya, dan memiliki
sedikit atau tidak ada kebingungan pasca kejang. Perilaku dapat menjadi histeris
dan aneh/ganjil. Karena perilaku aneh dan sering terjadi kesulitan merekam
gelombang pada EEG (karena sebagian besar kawasan korteks frontal tidak
dapat diakses ke permukaan elektroda), kejang kadang-kadang dianggap seperti
kejang nonepileptic psikogenik. Namun, sifat stereotip kejang seperti pada
pasien tertentu, terlepas dari bagaimana anehnya perilaku tersebut, dokter harus
waspada untuk kemungkinan kejang berasal dari lobus frontal.
Karakteristik kejang lobus frontal dapat bervariasi, tergantung pada lokasi
dari fokus kejang dalam lobus frontal. Karakteristik dari tujuh jenis kejang lobus
frontal telah dirinci dalam International Classification of epilepsi dan epilepsi
Syndromes.
Kejang parsial kompleks yang bersal dari lobus oksipital lobus masih
kurang umum dibandingkan yang berasal dari temporal atau frontal, dan
ditandai dengan halusinasi visual dasar atau kompleks atau ilusi. Paksa berkedip
atau kelopak mata bergetar pada awal kejang juga telah menjelaskan bahwa
kejang berasal dari oksipital.
Epilepsy dari lobus parietal adalah yang paling umum dari epilepsi
yang berhubungan dengan lokasi kelainannya. Kejang parsial yang berasal dari
lobus parietal onsetnya terdiri dari perubahan sensorik, disorientasi visuospatial,

26

atau apraxia. Kejang yang timbul dari atau menyebar ke daerah mata parietal
dapat menyebabkan gerakan ipsilateral mata, berbeda dengan kejang yang
melibatkan daerah mata bagian frontal, yang mendorong mata kontralateral ke
pusat kejang.
3.2.6 Faktor Risiko
Gangguan stabilitas neuron neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi,
dapat terjadi saat :
Tabel 3.4 Faktor Risiko Epilepsi
Prenatal
Natal
a. Umur ibu saat hamil
a. Asfiksia
terlalu muda (<20
b. Bayi dengan berat
tahun) atau terlalu tua
badan lahir rendah
(>35 tahun)
(<2500 gram)
b. Kehamilan dengan
c. Kelahiran prematur
eklamsia dan hipertensi
atau postmatur
c. Kehamilan primipara
d. Partus lama
atau multipara
e. Persalinan dengan
d. Pemakaian bahan
alat
toksik

Postnatal
a. Kejang demam
b. Trauma kepala
c. Infeksi SSP
d. Gangguan
metabolik

3.2.7 Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks

27

Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,


tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat
dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti
oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak
jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur,
dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik

28

Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan,
3.2.8 Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan
muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah
muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian
intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui
akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat,
kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi
cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi
akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain,
sehingga terjadilah epilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas
listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang
penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali
bangkitan

tanpa

provokasi.

Bangkitan

epilepsi

disebabkan

oleh

ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan


muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak
dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai

29

oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi
mental.
3.2.9 Penegakan Diagnosa
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang
yang tidak dipicu (Rudzinski dan Shih, 2011). Diagnosis pasti dapat ditegakkan
hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat
dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang
tetap yang paling utama.
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis
epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang
khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami
penderita. Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis,
meliputi:
a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

30

g. Usia saat serangan pertama


h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda
meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan

adanya

keterlambatan

perkembangan,

organomegali,

perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal


gangguan pertumubuhan otak unilateral. Pemeriksaan neurologis lengkap dan
rinci adalah penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan
bahkan sindrom epilepsi (Markand, 2009). EEG juga dapat membantu
pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien (Smith, 2005).
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar

31

dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur (Sunaryo, 2006). Gambaran
EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya
gelombang tajam (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksismal.
b. Pemeriksaan Radiologis.
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak
(neuroimaging) bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi
data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama,
lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan
menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single
Photon Emission Computerised Tomography (SPECT), Positron Emission
Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk
menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan
struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan
lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan (Consensus
Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).
c. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin,
dan ureum dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia , hipoglikemia,
hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan
timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan
glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test
fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.
3.2.8

Penatalaksanaan

32

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi


(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan
kejang sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung
sampai beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian
sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan
epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi
dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan
faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental.
Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai
pengobatan, pendekatan yang mulai dengan rendah, lanjutkan dengan
lambat (start low, go slow) akan mengurangi risiko intoleransi obat.
Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka
panjang.
Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan
keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan
politerapi.
Tabel 3.5 Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya
Tipe kejang
Lini pertama
Lini kedua
Kejang parsial
Parsial sederhana,
Carbamazepine
Acetazolamide

33

Parsial kompleks,
Umum sekunder

Kejang umum
Tonik-klonik,
Klonik
Absans
Absans atipikal,
Atonik,
Tonik
Mioklonik

Lamotrigine
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Topiramate
Valproate

Clonazepam
Gabapentin
Phenobarbitone
Phenytoin

Carbamazepine
Lamotrigine
Topiramate
Valproate
Ethosuximide
Lamotrigine
Valproate
Valproate

Acetazolamide
Levetiracetam
Phenobarbitone
Phenytoin
Acetazolamide
Clonazepam

Valproate

Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam

2. Terapi bedah epilepsi


Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan
meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi
dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama
2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis
kejangnya atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping
yang tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan
membuang atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa
mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal didekatnya.
Berikut 4 Jenis terapi pembedahan dari epilepsy:

34

1. Anteromedial temporal resection (AMTR) This is the most


commonly performed procedure, with the clearest indications and
best results
2. Corpus callosotomy The aim of this procedure is to disrupt 1 or
more major central nervous system (CNS) pathways used in
seizure generalization, thus reducing the frequency and severity of
primary or secondary generalized seizures
3. Multiple subpial transection (MST) The aim of this nonresective
procedure is to abolish epileptiform discharges and correlative
seizures from epileptogenic cortex by disrupting intracortical
synchronization and thereby (theoretically) reducing or eliminating
the epileptogenic potential of the seizure focus
4. Functional hemispherectomy In this procedure, the cortex is
disconnected

from

all

subcortical

structures,

and

the

interhemispheric commissures are divided, but the brain remains in


place
3.2.9

Prognosis

Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,


faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat.
Prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi
serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu
waktu akan dapat berhenti minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan
dengan terjadinya remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status
psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang

35

sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada
pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk
penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas
serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah
tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka
perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian
obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah
penghentian obat. Berbagai faktor predictor yang meningkatkan risiko
terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi
sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG. Berbagai penelitian
memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih
tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah
pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit
kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering
disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya
bangkitan epilepsi.

36

You might also like