Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi
Permukaan korteks serebri superficial terdiri dari 6 lapisan. Kortek motor
frontal terutama terdiri sel pramidal ( = kortek granular ). Kortek sensoris
parietal terutama lapisan granular ( = kortek granular )
gejala
berbeda.
14
Lobus frontal
1. Presental gyrus merupakan area
motor
kontralateral
dari
lengan, tungkai,batang.
2. Area brocca's merupakan
wajah,
pusat
15
integrasikan. Lobus non dominan penting untuk konsep " body imge", dan
sadar akan lingkungan luar.
Kemampuan untuk kontruksi bentuk, menghasilkan visual atau ketrampilan
proprioseptik. Lobus dominan berperan pada kemampuan menghitung atau
kalkulasi. Jaras visual radiatio optika melalui bagian dalam lobus parietal.
16
1. Kortek
auditori
permukaan
superior
terletak
gyrus
=
gyrus
pada
temporal
Heschl).
bahasa,
sedang
17
penglihatan
perifer
normal.
18
yang
dapat
mencetuskan
bangkitan
epileptik,
perubahan
19
tanda dan / gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu :
a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (unprovoked).
3.2.2 Epidemiologi
Secara keseluruhan insiden epilepsi tertinggi terjadi pada masa bayi dan
kanak-kanak, dan pada masa tua. Namun, distribusi berbentuk U ini tidak benar
pada epilepsy yang terkait dengan lokasi kelainannya, di mana kejadian ini
terjadi sekitar 20 / 100.000 / tahun dari lahir sampai 60 tahun, setelah itu angka
kejadian meningkat drastis. Dalam sebuah penelitian di Inggris, kejadian
epilepsi (hampir semua terkait lokasi) meningkat dari 76 / 100.000 pada orang
60-69 tahun menjadi 159 / 100.000 pada usia 80 tahun dan yang lebih tua.
20
umur
individu
dengan kejang
parsial
kompleks
adalah
Kejang Umum
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif
21
3.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang
epilepsi :
Tabel 3.2 Klasifikasi Kejang Epilepsi
No.
Klasifikasi kejang epilepsi
1. Kejang Kejang parsial sederhana
parsial
Kejang
parsial
yang Kejang parsial sederhana menjadi
menjadi
kejang kejang umum
generalisata sekunder
Kejang parsial kompleks menjadi
kejang umum
Kejang parsial sederhana menjadi
kejang parsial kompleks dan
kemudian menjadi kejang umum
2. Kejang
umum
Kejang absans
Absans atipikal
Kejang mioklonik
Kejang klonik
Kejang tonik-klonik
Kejang atonik
22
Klasifikasi
sindroma epilepsi
Idiopatik
Simtomatik
2.Epilepsi
umum
Kriptogenik
Idiopatik
Kriptogenik
simtomatik
Simtomatik
23
Serangan
fokal dan
umum
Tanpa
gambaran
tegas fokal
atau umum
Kejang neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada
bayi
Epilepsi dengan gelombang
paku kontinu selama
gelombang rendah tidur
(Sindroma Taissinare)
Sindroma Landau-Kleffner
4 Sindrom
khusus
Kejang demam
Status epileptikus
Kejang berkaitan
dengan
gejala
metabolik
atau
toksik akut
pusat
kortikal,
kemudian
menyebar
ke
diencephalon
dan
24
25
26
atau apraxia. Kejang yang timbul dari atau menyebar ke daerah mata parietal
dapat menyebabkan gerakan ipsilateral mata, berbeda dengan kejang yang
melibatkan daerah mata bagian frontal, yang mendorong mata kontralateral ke
pusat kejang.
3.2.6 Faktor Risiko
Gangguan stabilitas neuron neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi,
dapat terjadi saat :
Tabel 3.4 Faktor Risiko Epilepsi
Prenatal
Natal
a. Umur ibu saat hamil
a. Asfiksia
terlalu muda (<20
b. Bayi dengan berat
tahun) atau terlalu tua
badan lahir rendah
(>35 tahun)
(<2500 gram)
b. Kehamilan dengan
c. Kelahiran prematur
eklamsia dan hipertensi
atau postmatur
c. Kehamilan primipara
d. Partus lama
atau multipara
e. Persalinan dengan
d. Pemakaian bahan
alat
toksik
Postnatal
a. Kejang demam
b. Trauma kepala
c. Infeksi SSP
d. Gangguan
metabolik
27
28
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan,
3.2.8 Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan
muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah
muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian
intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui
akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat,
kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi
cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi
akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain,
sehingga terjadilah epilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas
listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang
penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali
bangkitan
tanpa
provokasi.
Bangkitan
epilepsi
disebabkan
oleh
29
oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi
mental.
3.2.9 Penegakan Diagnosa
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang
yang tidak dipicu (Rudzinski dan Shih, 2011). Diagnosis pasti dapat ditegakkan
hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat
dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang
tetap yang paling utama.
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis
epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang
khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami
penderita. Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis,
meliputi:
a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
30
adanya
keterlambatan
perkembangan,
organomegali,
31
dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur (Sunaryo, 2006). Gambaran
EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya
gelombang tajam (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksismal.
b. Pemeriksaan Radiologis.
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak
(neuroimaging) bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi
data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama,
lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan
menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single
Photon Emission Computerised Tomography (SPECT), Positron Emission
Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk
menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan
struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan
lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan (Consensus
Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).
c. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin,
dan ureum dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia , hipoglikemia,
hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan
timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan
glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test
fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.
3.2.8
Penatalaksanaan
32
33
Parsial kompleks,
Umum sekunder
Kejang umum
Tonik-klonik,
Klonik
Absans
Absans atipikal,
Atonik,
Tonik
Mioklonik
Lamotrigine
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Topiramate
Valproate
Clonazepam
Gabapentin
Phenobarbitone
Phenytoin
Carbamazepine
Lamotrigine
Topiramate
Valproate
Ethosuximide
Lamotrigine
Valproate
Valproate
Acetazolamide
Levetiracetam
Phenobarbitone
Phenytoin
Acetazolamide
Clonazepam
Valproate
Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam
34
from
all
subcortical
structures,
and
the
Prognosis
35
sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada
pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk
penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas
serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah
tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka
perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian
obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah
penghentian obat. Berbagai faktor predictor yang meningkatkan risiko
terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi
sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG. Berbagai penelitian
memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih
tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah
pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit
kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering
disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya
bangkitan epilepsi.
36