Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
1 M. Joustra, 1923, Minangkabau: Overzich van Land, Geischiedenis en Volk s’, Dravenhagen: Martinus Nijhof,
h. 4.
2 Taufik Abdullah (a), 1971, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1931,
(Ithaca-New York: Cornell University,) h. 1; Tyuoshi Kato, 1985, “Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir
Minangkabau Abad XIX”, dalam Akira Nagazumi, Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang, Jakarta: Yayasan
Obor, h. 80.
3 Elizabeth E. Graves, 1981, Minangkabau Responce to Ducth Colonial Rule in The Nineteenth Century , Ithaca,
New York: Cornell University, h. 1.
4 Christine Dobbin, 1992, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Petani yang Sedang Berubah, terj. Lilian D.
Tedjasudhana Jakarta: INIS, h. 3.
5 Graves, op.cit., h. 3.
6 Dikatakan daerah koloni lantaran kawasan rantau berada di bawah perlindungan raja Minangkabau yang
berkedudukan di Pagaruyung dan setiap tahun wajib bayar kepada kerajaan. Untuk urusan dalam negeri
mereka diberi hak otonomi. Jenis pajak yang dimaksud di antaranya ialah pajak perdagangan dan pajak
pelabuhan. Lihat Datoek Sanggo Diradjo, 1919, Kitab Tjoerai Paparan Adat Lembago Alam Minangkabau, Fort
de Kock: Snelpersdrukkerijk Agam, h. 175-177; Datoek Batoeah Sango, op. cit., h. 77-80.
7 Daerah rantau juga meluas ke daerah pesisir barat yang terletak di dataran rendah yang sempit dan
membujur sepanjang pantai Barat Sumatera, seperti Tiku, Pariaman, Padang, Pesisir Selatan, dan lain-lain. Di
sebelah utara terdapat rantau Pasaman yang meliputi Rao, Lubuk Sikaping, Portibi, dan Air Bangis dan di
sebelah selatan dari Luhak Nan Tigo berbatasan dengan pegunungan Kerinci terdapat apa yang dinamakan
dengan Ekor Rantau Kapalo Darek yang meliputi Alahan Panjang, Sungai Pagu, Muara Labuh, dan Sawahlunto
Sijunjung, cf. Adrianus Khatib, 1991, “Kaum Paderi dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, Disertasi ,
Jakarta; Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, h. 40.
8 Taufik Abdullah, “Modernization in the Minangkabau World: West Sumatera in the Early Decades of 20th
Century” dalam Claire Holt (ed.), 1972, Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University
Press, h. 186.
9 Dobbin memperkirakan bahwa thariqat Naqsyabandiah masuk ke Minangkabau padaparuh pertama abad 17,
lihat : Christine Dobbin, 1992, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera
Tengah 1784-1847, terj. Lilian Tedjasudhana, Jakarta: INIS, h. 146. Azra mengemukakan bahwa yang
membawa thariqat ini adalah Jamal Al-Din, seorang Minangkabau yang belajar di Pasai sebelum ia melanjutkan
ke Bayt A-Faqih, Aden, Haramayn, Mesir dan India, lihat : Azyumardi Azra, 1995, Jaringan Ulama, Bandung :
Mizan, 291
12 Mahmud Yunus, 1971, Sedjarah Islam di Minangkabau, Djakarta, CV. Al-Hidayah, hal .8-9
13 Mahmud Yunus, 1983, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, hal.21
14 M.O.Parlindungan, 1964, Tuanku Rao, Djakarta : Tandjung Pengharapan, hal. 119
15 Imam Maulana Abdul Manaf , tt. Muballighul Islam, Riwayat Tiga Orang Muballigh Islam yang
Mengembangkan Agama Islam di Aceh dan Minangkabau, Naskah ini ditulis oleh pada tahun 1930an dengan
menggunakan tulisan Arab Melayu. Dari keterangan yang diberikannya pada awal naskah ini, ia mengakui
bahwa apa yang ditulis adalah merupakan salinan dari sebuah buku tua yang ia temukan di Surau Tuanku
Paseban dengan dilengkapi sebuah naskah terima dari seseorang tentang Syekh Abdur Rauf dan Syekh
Burhanuddin (selanjutnya disebut dengan : naskah MI).
19 Sebagaimana seminar Masuknya Islam ke Minangkabau yang telah disinggung pada bagian terdahulu.
20 Dep. P & K, 1982, Sejarah Daerah Riau, halaman 69.
21 Dalam naskah MI diceritakan bahwa sewaktu Pedagang-pedagang Arab menetap di wilayah perairan sungai
pesisir timur Minangkabau, mereka sering mengadakan jamuan terhadap penduduk setempat dengan
menyembelih sapi, lihat :naskah MI halaman : 96-97.
22 Darusman, 1994, “Syekh Burhanuddin dan Pengembangan Islam di Kuntu Kampar Kiri Abad XIII”,( skripsi),
Padang : Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab IAIN Iman Bonjol Padang, hal-54-64
23 Berbeda dengan hasil penelitian ini, dalam naskah MI disebutkan bahwa Syekh Burhanuddin datang
menghadap Raja Kampar dan meminta agar dia diakui sebagai anak kemenakan ninik mamak di Kampar dan
diberi bersuku sepanjang adat yang berlaku, lihat : Naskah MI halaman 97. Sayang tidak ditemukan
penjelasan tentang apakah Datuk Makhudum itu sekaligus menjadi raja Kampar atau bukan.
24 Sampai sekarang, penduduk dari suku Datuk Makhudum menganggap bahwa mereka adalah keturunan
Syekh Burhanuddin.
26 Herwandi, 1994, “ Refleksi Proses Akulturasi Budaya Pra-Islam dengan Islam pada Bangunan Ibadah dan
Makam di Minangkabau : Suatu Kajian Sejarah Kebudayaan”, (makalah), Padang : Fakultas Adab IAIN IB
Padang.
27 Herwandi, 1994, “Nisan-Nisan di Situs Mejan Tinggi Desa Talago Gunung, Sumatera Barat : Kajian tentang
Kelanjutan Budaya Tradisi Megalitik ke Tradisi dan Budaya Islam, (Thesis S2) Jakarta : Universitas Indonesia
30 Abu Nain, Syafnir, 1991, “Sumpah Satie di Bukit Marapalam : Perpaduan Adat dengan Syarak”, (makalah),
Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas.
31 Lihat : Mansoer, op.cit., halaman 64-65 ; Parlindungan, Mangaraja Onggang (1964), Tuanku Rao, Jakarta :
Tanjung Pengharapan, halaman 523-25
32 Naskah MI, halaman 97
33 Himpunan Prasaran dan Kertas Kerja Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau, Padang : Pemda
Kodya Padang, 1970, hal. 34
34 Abdullah, Taufik (1972), "Modernization in Minangkabau World : West Sumatra in the Early Decades of the
Twentieth Century" dalam : Claire Holt (ed.) 1972, Culture and Politics in Indonesia, Ithaca and London :
Cornell University Press, halaman : 198
35 Martamin, Marjani, dkk., 1978, Sejarah Sumatera Barat, Jakarta : Dept P & K, halaman : 42.
36 Pernyataan ini baru berupa asumsi awal dan mungkin memerlukan penelitian tersendiri untuk mengetahui
lebih jauh tentang keterkaitan itu
37 Dalam berita perjalanan Marcopolo dari Cina ke Venesia dicatatkan bahwa ia singgah di Sumatera bagian
utara dan timur pada abad ke-13 (1293-1294), menurutnya, ketika itu Islam mulai berkembang di daerah itu
(lihat :MD. Mansoer, 1979 majalah Kebudayaan Minangkabau No. 8, Oktober 1979 ; 26:, dan di wilayah pesisir
terdapat penduduk yang penganut agama Islam yang mereka pelajari dari pedagang-pedagang Arab, lihat :
Marsden,1999:204. Pada tahun 1301 di daerah Kuntu Kampar Kiri berdiri satu kerajaan Islam, yaitu Kesultanan
Kuntu. Kesultanan ini didirikan oleh Kesultanan Aru Barumun Sumatera Utara yang pada waktu itu berhasil
menguasai kembali daerah penghasil lada di sekitar lembah sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Kesultanan
inilah yang kemudian pada tahun 1394 dirangkul kembali oleh Adityawarman ke dalam kekuasaan kerajaan
Pagaruyung.
38 Lihat : Hamka, 1963, “Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Daerah Pesisir Sumatera Utara”,
(makalah), Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, Medan 1963, hal. 85
39 Martamin, op.cit., hal :49
40 ibid.
41 Tidak ditemukan catatan tentang pada tahun berapa Syekh Burhanuddin kembali ke Ulakan setelah 13 tahun
belajar di Aceh. Tapi dari masa hidupnya (1646-1692) dapat diperkirakan pada tahun 1670an.
42 Cerita ini dituturkan dalam naskah Muballighul Islam (MI), hal. 122-125
43 Dalam kisah yang lain disebut Tuanku Nan Basarung, lihat : Bustami, dkk, 1981, Aspek Arkeologi Islam
tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan, Padang : Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat.
50 Seperti yang diduga oleh Dobin (1992: 150-151) dan Azra (1994:290). Azra dengan mengutip naskah HSJ
menjelaskan bahwa Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek ini adalah murid Tuanku Mansiangan Nan Tuo
yang adalah murid Syekh Burhanuddin, tanpa melanjutkan bahwa Tuanku Nan Tuo ini juga mengambil ilmu
dari beberapa orang Tuanku yang telah Masyhur di luhak nan Tigo pada waktu itu.
51 Lihat : Hamka, 1967, Ayahku, Jakarta : Djajamurni, hal. 24
52 lihat naskah HSJ, halaman : 7
53 dalam naskah HSJ, Jalaluddin tidak menyebutkan tentang aliran tarikat yang digunakan oleh Tuanku Nan
Tuo maupun dirinya sendiri.
54 Selanjutnya lihat : Hamka, 1967, Ayahku,Riwayat Dr. H. Abd. Karim Amarullah dan Perjuangan Kaum Agama
di Sumatera, Djakarta : Djajamurni : 24-25;
55 lihat : B.J.O. Schrieke, 1973, Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi, Jakarta :
Bhratara, halaman ; 24-27
56 Selanjutnya baca : Hamka, op.cit , halaman : 25
57 Sebagaimana telah diterangkan pada bahagian terdahulu bahwa di wilayah Agam, Lima puluh Kota dan juga
Tanah Datar pada umumnya lebih menggemari pengajaran Fiqh. Lihat juga : keterangan yang diberikan
Jalaludin dalam naskah HSJ halaman : 10 ,seperti yang telah dikutip pada bagian lain tulisan ini.
58 Walaupun dia diceritakan pernah belajar dangan salah seorang murid Syekh Burhanuddin.
59 Lihat : Dobbin, op.cit., hal. 149.
Gerakan Padri
Gerakan pembaharuan tahap awal yang dilancarkan oleh Tuanku
Nan Tuo dan muridnya Jalaluddin, berkembang ke dalam bentuk lain
setelah bergabungnya tiga orang haji yang baru kembali dari tanah suci
Mekkah pada tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji
Piobang. Jika gerakan sebelumnya lebih memilih cara-cara yang
persuasif, maka sejak waktu ini muncul keinginan dari kalangan murid
Tuanku Nan Tuo untuk menggunakan jalan pintas dengan cara-cara yang
radikal. Gerakan yang muncul kemudian inilah yang dalam sejarah
Minangkabau dikenal sebagai Gerakan Padri.
60 Bahkan van Ronkel demikian juga Dobbin sewaktu menjelaskan perkembangan Syathariyah di wilayah Agam
menyebut bahwa surau Tuanku Nan Tuo sebagai beraliran Syathariyah yang berorientasi Naqsyabandiyah,
lihat : Dobbin, op.cit., halaman : 146
61 lihat : Azyumardi Azra, 1995, op.cit., halaman : 291
Kesimpulan
a. Islam masuk ke Minangkabau antara abad ke-12 dan 13 M. yang
diperkenalkan oleh muballigh-muballigh dan saudagar-saudagar
Arab yang bermukim di Minangkabau timur, terutama di daerah
aliran sungai yang berhulu ke pusat kerajaan Minangkabau di
pedalaman. Perluasan kerajaan Pasai dan kemudian Samudra Pasai
ke Minangkabau timur sangat berpengaruh bagi intensifnya
penyebaran Islam di wilayah ini dan wilayah Minangkabau lainnya.
b. Proses konversi terhadap Islam berlangsung dengan damai, karena
diperkenalkan melalui pendekatan-pendekatan local genius
masyarakat di lingkungan budaya setempat. Di samping itu
pendekatan awal yang dilakukan para muballigh terhadap pemuka
masyarakat di mana mereka menetap, lebih memberi kemudahan
proses penyebarannya. Dalam proses akulturasi budaya Islam
dengan budaya masyarakat Minangkabau terdapat bukti-bukti yang
menunjukkan terjadinya keberlanjutan budaya asli yang disesuaikan
dengan Islam.
Kepustakaan
Dobbin, Christine, 1992, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Petani yang
Sedang Berubah, terj. Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta:INIS.
Faqih Shaghir Alamiyah Tuanku Samia’ Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo,
Hikayat Syekh Jalaluddin.
Graves, Elizabeth E., 1981, Minangkabau Responce to Ducth Colonial Rule in The
Nineteenth Century, Ithaca, New York: Cornell University.
------, 1994, “Nisan-Nisan di Situs Mejan Tinggi Desa Talago Gunung, Sumatera
Barat : Kajian tentang Kelanjutan Budaya Tradisi Megalitik ke Tradisi dan
Budaya Islam, (Thesis S2) Jakarta : Universitas Indonesia
Imam Maulana Abdul Manaf, 1354 H. Muballighul Islam, Riwayat Tiga Orang
Muballigh Islam yang Mengembangkan Agama Islam di Aceh dan Minangkabau
(transliterasi : Irhash A. Shamad), Padang : Museum Negeri
Aditiawarman.
Joustra, M,. 1923, Minangkabau: Overzich van Land, Geischiedenis en Volk s’,
Dravenhagen: Martinus Nijhof.
Martamin, Marjani, dkk., 1978, Sejarah Sumatera Barat, Jakarta : Dept P & K,
Nain, Syafnir Abu, 1991, “Sumpah Satie di Bukit Marapalam : Perpaduan Adat
dengan Syarak”, (makalah), Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas.
Nasroen, M., 1957, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Jakarta: Bulan Bintang.
Navis, A.A. 1984, Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau,
Jakarta : PT. Grafiti Pers.
Panitia Seminar, 1963, Risalah Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia,
Medan : Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia.
Parlindungan, M.O., 1964, Tuanku Rao, Djakarta : Tandjung Pengharapan.
Parve, H.A. Steijn, 1990, "Kaum Padari (Padri) di Padang darat Pulau
Sumatera" , dalam, Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
Reid, Anthony, 1992, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jakarta:
Yayasan Obor.
Ronkel, van, S, Ph., "Het Helligdom te Oelakan", dalam TBG , IVI, 1914,
Steenbrink, Karel A.,1984, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
Jakarta : Bulan Bintang.
Syarifuddin, Amir, 1984, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung.
Thomas, Lynn L. and Franz von Benda-Backmann, 1985, Change and Continuity
in Minangkabau : Local, Regional, and Historical Perspectives On West Sumatra,
Athens, Ohio : Ohio University
Yayasan Bhakti Wawasan, 1992, Sumatrera Barat : Profil Propinsi Republik
Indonesia, Jakarta: Yayasan Bhakti Nusantara
Zed, Mestika, 1982, "Melayu Kopi Daun di Minangkabau Sumatera Barat: 1847-
1908", Thesis Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.