You are on page 1of 35

Makalah Hasil Penelitian

Sejarah Perkembangan Agama Islam


di Sumatera Barat I

Oleh :

Drs. Irhash A. Shamad, M. Hum


Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang

Disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian :


“Sejarah Perkembangan Agama dan Lektur Keagamaan di Indonesia”
Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI

Wisma Haji Tugu, Puncak, Bogor, 25-26 Nopember 2005


Sejarah Perkembangan Agama Islam di Sumatera Barat I

Sumatera Barat, sebagaimana yang diketahui sekarang adalah salah


satu wilayah geografi politik Indonesia yang secara historis sebenarnya
merupakan wilayah kultural Minangkabau. Secara tradisional wilayah
Minangkabau terdiri dari dua kawasan utama, yaitu darek dan rantau.1
Kedua kawasan ini oleh masyarakatnya disebut dengan Alam
Minangkabau.2 Luas kawasan ini diperkirakan sekitar 18.000 mil bujur
sangkar. Luas ini berarti 11% dari luas Pulau Sumatera atau kurang dari
3% dari luas wilayah Indonesia sekarang.3 Kawasan darek merupakan
pusat atau inti Alam Minangkabau yang terletak di daerah dataran tinggi
yang membentang diantara kumpulan Bukit Barisan bagian tengah yang
membujur dari utara ke selatan Pulau Sumatera. Kawasan ini dipagari
oleh tiga buah gunung berapi yang menjulang tinggi yakni Gunung
Merapi (9500 kaki), Gunung Singgalang (9400 kaki), dan Gunung Sago
(5000 kaki).4 Kawasan darek disebut juga dengan Luhak Nan Tigo, karena
terdiri dari tiga wilayah yaitu: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak
Limapuluh Kota.5 Kawasan rantau pada mulanya adalah daerah koloni6

1 M. Joustra, 1923, Minangkabau: Overzich van Land, Geischiedenis en Volk s’, Dravenhagen: Martinus Nijhof,
h. 4.
2 Taufik Abdullah (a), 1971, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1931,
(Ithaca-New York: Cornell University,) h. 1; Tyuoshi Kato, 1985, “Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir
Minangkabau Abad XIX”, dalam Akira Nagazumi, Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang, Jakarta: Yayasan
Obor, h. 80.
3 Elizabeth E. Graves, 1981, Minangkabau Responce to Ducth Colonial Rule in The Nineteenth Century , Ithaca,
New York: Cornell University, h. 1.
4 Christine Dobbin, 1992, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Petani yang Sedang Berubah, terj. Lilian D.
Tedjasudhana Jakarta: INIS, h. 3.
5 Graves, op.cit., h. 3.
6 Dikatakan daerah koloni lantaran kawasan rantau berada di bawah perlindungan raja Minangkabau yang
berkedudukan di Pagaruyung dan setiap tahun wajib bayar kepada kerajaan. Untuk urusan dalam negeri
mereka diberi hak otonomi. Jenis pajak yang dimaksud di antaranya ialah pajak perdagangan dan pajak
pelabuhan. Lihat Datoek Sanggo Diradjo, 1919, Kitab Tjoerai Paparan Adat Lembago Alam Minangkabau, Fort
de Kock: Snelpersdrukkerijk Agam, h. 175-177; Datoek Batoeah Sango, op. cit., h. 77-80.

2 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


masyarakat Minangkabau. Mereka pergi meninggalkan daerah asal untuk
mencari penghidupan baru di luar wilayah luhak inti. Kawasan rantau
yang pertama7 terletak di sebelah timur kawasan darek yaitu daerah yang
terletak di sepanjang sungai-sungai yang bermuara di Selat Malaka
seperti Sungai Siak, Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Batang Hari,
dan Sungai Indragiri. Kawasan ini kemudian berkembang menjadi
daerah pemukiman secara permanen dan secara kultural ia tetap
menghubungkan diri dengan kawasan darek. Oleh karena letaknya di
bagian pinggiran, maka posisi rantau menjadi strategis bukan saja sebagai
pintu gerbang ke dan dari dunia luar tetapi juga sebagai tempat pertama -
masuknya ide-ide baru untuk diperkenalkan ke kawasan inti Alam
Minangkabau.8
Persoalan masuknya Islam ke Minangkabau hingga saat ini masih
mengasumsikan dua hal, yaitu : pertama : Islam masuk melalui pesisir
timur Minangkabau atau Minangkabau Timur. Teori jalur timur ini
didasarkan oleh intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai
yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka yang dapat
dilayari oleh pedagang untuk memperoleh komoditi lada dan emas.
Kegiatan perdagangan ini, diperkirakan, adalah awal terjadinya kontak
antara budaya Minangkabau dengan Islam. Kontak budaya ini kemudian
lebih intensif pada abad ke 13 pada saat mana munculnya kerajaan Islam
Samudra Pasai sebagai kekuatan baru dalam wilayah perdagangan selat
Malaka. Pada waktu ini, Samudra Pasai bahkan telah menguasai sebagian
wilayah penghasil lada dan emas di Minangkabau Timur. Kedua :
intensifnya kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad ke 16
M sebagai akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis, telah pula
mempengaruhi intensifnya penyebaran Islam. Pada waktu ini, pengaruh
kekuasan Aceh Darussalam (pelanjut kekuasan Pasai) sangat besar,
terutama pada wilayah pesisir barat Sumatera.

7 Daerah rantau juga meluas ke daerah pesisir barat yang terletak di dataran rendah yang sempit dan
membujur sepanjang pantai Barat Sumatera, seperti Tiku, Pariaman, Padang, Pesisir Selatan, dan lain-lain. Di
sebelah utara terdapat rantau Pasaman yang meliputi Rao, Lubuk Sikaping, Portibi, dan Air Bangis dan di
sebelah selatan dari Luhak Nan Tigo berbatasan dengan pegunungan Kerinci terdapat apa yang dinamakan
dengan Ekor Rantau Kapalo Darek yang meliputi Alahan Panjang, Sungai Pagu, Muara Labuh, dan Sawahlunto
Sijunjung, cf. Adrianus Khatib, 1991, “Kaum Paderi dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, Disertasi ,
Jakarta; Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, h. 40.
8 Taufik Abdullah, “Modernization in the Minangkabau World: West Sumatera in the Early Decades of 20th
Century” dalam Claire Holt (ed.), 1972, Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University
Press, h. 186.

3 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat
diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan
adalah Syathariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah telah
menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh
Burhanuddin Ulakan. Sentra tarikat inipun kemudian muncul di
beberapa wilayah pedalaman Minangkabau. Perkembangan aliran
tashauf di wilayah pedalaman Minangkabau menarik untuk dicermati,
karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan
yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri. Para
tokoh sufi pedalaman lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan
ekonomi masyarakatnya. Perkembangan ini ternyata telah melahirkan
sintesis-sintesis Islam yang baru sebagai akibat pertemuannya dengan
tradisi keislaman --yang sebenarnya-- telah menjadi basis kultural
masyarakat di daerah ini, atau mungkin oleh pertemuannya dengan
tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat ini juga memperoleh pijakan yang
kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin
lebih awal di banding Syathariyah sendiri9.
Keluasan cakupan implementasi ajaran tashauf di Minangkabau
sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena
kemampuan para tokoh tashauf dalam mentranformasikan inti ajaran
tashauf terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga
keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
masyarakat termasuk kehidupan ekonomi. Meskipun perkembangan
Islam di sini, dalam perjalanannya, di warnai oleh berbagai konflik
keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan
dalam abad ke 19 dan 20, namun hal ini sering dipandang sebagai suatu
keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat
Minangkabau sendiri.

9 Dobbin memperkirakan bahwa thariqat Naqsyabandiah masuk ke Minangkabau padaparuh pertama abad 17,
lihat : Christine Dobbin, 1992, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera
Tengah 1784-1847, terj. Lilian Tedjasudhana, Jakarta: INIS, h. 146. Azra mengemukakan bahwa yang
membawa thariqat ini adalah Jamal Al-Din, seorang Minangkabau yang belajar di Pasai sebelum ia melanjutkan
ke Bayt A-Faqih, Aden, Haramayn, Mesir dan India, lihat : Azyumardi Azra, 1995, Jaringan Ulama, Bandung :
Mizan, 291

4 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Latar depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat
mana lahirnya gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di
Minangkabau itu, tidak dapat dilepaskan dengan fenomena historis yang
terjadi sejak abad ke 16 atau mungkin sejak abad ke 13 seperti yang
diasumsikan sebagai awal kontak budaya Islam di wilayah ini. Kontak
awal Islam ini, demikian juga proses serta bentuk konversi terhadap
Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu akan menjadi salah satu
determinan yang memberi warna terhadap berbagai karakteristik yang
muncul dalam perkembangan historis masyarakat di wilayah ini. Akan
tetapi beberapa penjelasan sejarah yang banyak ditulis, sering
memandang fenomena tersebut dari perspektif sosial struktural semata,
sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput diperhatikan. Apalagi
pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta paradigma sejarah
yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari pengalaman
historis agama ini menjadi terabaikan.

Masuknya Islam ke Minangkabau : Analisis Ulang


Pada dasarnya, masuknya Islam ke Indonesia maupun ke Sumatera
Barat, tidak berada pada dua kerangka yang terpisah, akan tetapi
merupakan satu kesatuan utuh, karena Sumatera Barat (Minangkabau)
adalah salah satu wilayah lalu lintas perdagangan laut semenjak
berlangsungnya kontak dagang antara Asia barat dan Nusantara. Posisi
penting wilayah ini ditunjang oleh aktifnya lalu lintas perdagangan selat
Malaka, yang bahkan sudah berlangsung sejak sebelum kelahiran agama
Islam, di mana, beberapa komoditi dagang yang utama adalah berasal
dari sini. Selama berabad-abad wilayah pesisir timur Minangkabau telah
memegang peran dalam perdagangan emas dan rempah-rempah,
terutama lada yang banyak dihasilkan disekitar daerah aliran sungai
Kampar Kiri dan Kampar Kanan10. Kenyataan aktifitas perdagangan di
wilayah perairan selat Malaka ini yang mendasari pendapat yang
mengatakan bahwa Islam sudah masuk di Minangkabau sejak abad ke 7
atau 8 Masehi, diantaranya hasil Seminar Masuknya Islam ke
Minangkabau yang di adakan di Padang tahun 196011 yang
menyimpulkan bahwa Islam sudah masuk ke Minangkabau sejak abad-
abad awal Hijriyah.

10 Mansoer, M. D., dkk., 1970, Sejarah Minangkabau, Djakarta: Bhratara, hal. 40


11 Seminar ini diselenggarakan dengan atas kerjasama Center for Minangkabau Studies, LKAAM dan BKPUI
dengan mengambil tempat di IAIN Imam Bonjol Padang. Seminar ini dihadiri oleh 268 peserta. Pakar yang
hadir dalam seminar ini a.l. Prof. Dr. Hamka, Dr. Zakiah Darajat, Dr. Mukti Ali, Drs. Sidi Gazalba. Drs. Ibrahim
Buchari. Drs. H. Amura, Ir. M.O. Parlindungan, Dr. Alfian. Drs. Zuber Usman, Drs. Muhammad Rajab, Drs, MD.
Mansoer, dll.

5 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Mahmud Yunus (1971) tidak sependapat dengan hasil seminar di
Padang thn.1969 itu. Ia mengatakan bahwa Islam masuk ke Minangkabau
barulah pada abad ke –12. Alasan yang digunakan untuk itu adalah
dengan ditemukannya kuburan Islam tertua di Minangkabau timur
(berangka tahun 521 H./1128 M.), yaitu kuburan Panglima Nizamuddin
Al-Kamil yang ditemukan di daerah Bangkinang (ditepi sungai
Kampar)12. Namun dalam bukunya yang lain, Mahmud Yunus (1983)
mengemukakan pula bahwa pembawa Islam pertama ke Minangkabau
ialah Burhanuddin Al- Kamil yang dikuburkan di Kuntu, bertanggal 610
H/1214 M. Ia datang bersama Abdullah Arif dari tanah Arab ke Aceh.
Abdullah sendiri tinggal di Aceh, sedangkan Burhanuddin langsung ke
Minangkabau13. Tokoh yang disebut terakhir inilah yang sampai sekarang
lestari dalam ingatan masyarakat Kuntu dengan nama Syekh
Burhanuddin, sebagai penyebar Islam di wilayah ini. Pendapat ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh M.O. Parlindungan14. Ia
menyebutkan bahwa ada seorang panglima yang bernama Burhanuddin
al-Kamil wafat dan dimakamkan di kampung Kuntu, di tepi sungai
Kampar pada tahun 610 H (1214 M.). Bila bukti arkeologis tinggalan
kedua nisan makam ini dapat dijadikan dasar bagi perkiraan masuknya
Islam, maka dapat disimpulkan bahwa Islam sudah masuk ke wilayah
Minangkabau pada awal abad ke-13 atau mungkin beberapa waktu
sebelum abad ke-13.
Berbeda dengan apa yang dikemukakan terdahulu, dalam sumber
lain dikemukakan pula bahwa Islam masuk ke Minangkabau melalui
pesisir barat Sumatera lebih awal, yaitu sekitar tahun 1184. Dalam naskah
Muballighul Islam15, (selanjutnya disebut : naskah MI) diceritakan
tentang seorang pedagang Arab yang terdampar di pesisir barat
Sumatera Barat (Padang) pada tahun 580 H./1184 M. Ia dianggap telah
memperkenalkan Islam pertama kali di wilayah pesisi barat Sumatera
Barat.

12 Mahmud Yunus, 1971, Sedjarah Islam di Minangkabau, Djakarta, CV. Al-Hidayah, hal .8-9
13 Mahmud Yunus, 1983, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, hal.21
14 M.O.Parlindungan, 1964, Tuanku Rao, Djakarta : Tandjung Pengharapan, hal. 119
15 Imam Maulana Abdul Manaf , tt. Muballighul Islam, Riwayat Tiga Orang Muballigh Islam yang
Mengembangkan Agama Islam di Aceh dan Minangkabau, Naskah ini ditulis oleh pada tahun 1930an dengan
menggunakan tulisan Arab Melayu. Dari keterangan yang diberikannya pada awal naskah ini, ia mengakui
bahwa apa yang ditulis adalah merupakan salinan dari sebuah buku tua yang ia temukan di Surau Tuanku
Paseban dengan dilengkapi sebuah naskah terima dari seseorang tentang Syekh Abdur Rauf dan Syekh
Burhanuddin (selanjutnya disebut dengan : naskah MI).

6 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Kemudian kira-kira dalam tahun 580 Hijrah terpasahlah seorang Arab
yang karam dalam perjalanannya atau pelayarannya untuk berniaga ke
negeri timur ini. Dia terdampar dekat muara sungai Arau yang waktu itu
belum dihuni oleh manusia.... ........ Akhirnya bertemulah olehnya
beberapa buah dangau [=pondok, pen.] dekat batang durian besar di
pinggir sungai itu, maa pergilah orang Arab itu menemui orang dangau
yang di bawah batang durian itu. Setelah bertemu diceriterakannya
keadaan dirinya dengan memakai isyarat saja, sebab dia belum pandai
berbahasa Minangkabau, maka sangatlah kasihan orang dangau itu
mendengar perasaian [=penderitaan, pen.] orang Arab yang karam itu,
lalu diajaklah oleh orang dangau itu supaya orang Arab itu mau tinggal
bersama-sama dengan mereka di situ. Ajakan itu diterima oleh Sayyid
Abdullah, itulah nama orang Arab yang karam itu16.
Naskah ini lebih jauh menceritakan tentang bagaimana Abdullah
mengajarkan Islam kepada keluarga yang --kebetulan--, adalah salah
satu keluarga kerajaan Pagaruyung itu17. Pengajaran Islam ini kemudian
meluas ke beberapa daerah di sekitar Padang. Bila riwayat ini
dihubungkan dengan apa yang dikemukakan oleh M.D. Mansoer bahwa
sejak tahun 1128 telah ada usaha pihak saudagar asing yang beragama
Islam dari Perlak dan Pasai untuk menguasai daerah produsen lada di
sekitar sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan18, maka diperkirakan
bahwa pedagang-pedagang Arab telah melakukan pelayaran dagang di
sekitar wilayah pesisir barat dan timur Minangkabau sejak awal abad ke-
12. Hanya saja penyebaran Islam oleh pedagang yang datang dari pesisir
barat tidak meluas ke pedalaman Minangkabau sebagaimana yang
dilakukan oleh muballigh/pedagang yang melalui pesisir timur. Hal ini
disebabkan oleh karena kondisi geografis yang berat dan sulit ditempuh
antara pesisir barat dan pedalaman.

Konversi terhadap Islam

16 Naskah MI, hal. 95


17 Keluarga ini terusir dari Pagaruyung sebagai hukuman, karena melakukan sebuah kesalahan.
18 Mansoer, op.cit., hal : 53

7 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Sebagaimana telah dikemukakan bahwa masuknya Islam ke
Minangkabau melalui dua jalur yaitu pesisir timur, di daerah-daerah
aliran sungai menuju selat Malaka, dan juga melalui pesisir barat.
Pengenalan awal Islam di Minangkabau dilakukan oleh pedagang-
pedagang asing, diantaranya berasal dari negeri Arab. Upaya pengenalan
Islam terhadap masyarakat di wilayah jalur perdagangan yang kemudian
diiringi dengan konversi, secara umum berlangsung dengan sukarela
tanpa kekerasan.
Di daerah pesisir timur Minangkabau, sebagai yang dikemukakan
terdahulu, Islam dibawa oleh salah seorang muballigh yang bernama
Syekh Burhanuddin dengan menjadikan daerah Kuntu di Kampar Kiri
sebagai pusat pengembangannya. Daerah ini sejak abad ke-5 M. sudah
dikenal oleh padagang-pedagang asing karena produksi lada yang
menjadi komoditi terpenting di lintasan perdagangan dunia waktu itu.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila ada yang berasumsi bahwa
Islam sudah diperkenalkan ke wilayah ini sejak abad ke-7 dan abad ke-8
M.19. Namun keterangan tentang Islam masuk ke wilayah ini pada abad
ke-13, agaknya banyak memiliki dukungan sumber, seperti yang
dikemukakan terdahulu. Dalam sumber lain dijelaskan :
Pada pertengahan abad ke XIII M., dinasti Abbasiyah mengalami
keruntuhan dan pusat kegiatan Islam berpindah ke Mesir di tangan raja-
raja Mameluk. Pada zaman keemasan dinasti Mameluk inilah pedagang
dari daerah Mesir, Maroko, Persia dan lain-lain kembali berhubungan
dengan daerah Riau, khususnya Kuntu/Kampar, sebagai pusat penghasil
lada/rempah-rempah. Mereka inilah yang membawa Islam untuk kedua
kalinya20

19 Sebagaimana seminar Masuknya Islam ke Minangkabau yang telah disinggung pada bagian terdahulu.
20 Dep. P & K, 1982, Sejarah Daerah Riau, halaman 69.

8 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Pada waktu inilah Syekh Burhanuddin datang dan menyebarkan
Islam ke wilayah disekitar Kampar Kiri, untuk kemudian menetap di
daerah Kuntu. Pada saat ia datang ke Kuntu, sebagian besar penduduk
wilayah Kampar memeluk agama Budha. Ia mulai melakukan
pendekatan dengan rakyat Kuntu untuk memperkenalkan agama Islam,
hingga akhirnya, secara berangsur-angsur, penduduk tertarik dengan
ajaran agama baru ini. Dalam riwayat yang terdapat dalam naskah MI
dikemukakan tentang bagaimana masyarakat Kuntu menjadi tertarik
dengan ajaran Islam pada awalnya, diantaranya dengan mengadakan
“perjamuan”. Syekh Burhanuddin diriwayatkan sering mengundang
masyarakat untuk menghadiri jamuan makan, dan masyarakat sangat
senang menghadiri perjamuan itu. Melalui cara ini, Burhanuddin secara
berangsur-angsur memberi pengajaran tentang agama Islam kepada
penduduk setempat21.

21 Dalam naskah MI diceritakan bahwa sewaktu Pedagang-pedagang Arab menetap di wilayah perairan sungai
pesisir timur Minangkabau, mereka sering mengadakan jamuan terhadap penduduk setempat dengan
menyembelih sapi, lihat :naskah MI halaman : 96-97.

9 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Dalam sebuah penelitian22 yang didasarkan pada memori kolektif
yang diwarisi oleh masyarakat Kuntu secara turun temurun,
dikemukakan bahwa Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan agama
Islam sering mengunjungi pemuka pemuka masyarakat. Bahkan
diceritakan bahwa ia sendiri mula-mula menetap di rumah seorang
pemuka masyarakat yang bergelar Datuk Makhudum23. Rumah ini
kemudian sekaligus menjadi basis pengembangan agama oleh
Burhanuddin, setelah seisi rumah memeluk agama Islam. Bahkan ia
sendiri diakui sebagai bagian anggota keluarga (kemenakan) dari suku
Datuk Makhudum24. Pengakuan ini kemudian menjadi faktor yang juga
berperan banyak memuluskan jalan bagi Burhanuddin untuk
mengembangkan ajaran Islam. Di samping itu ia juga dikenal sebagai
memiliki keperibadian mulia, suka menghargai orang lain tanpa padang
bulu, baik yang kaya maupun miskin, tua ataupun muda. Sikap dan
kepribadian ini menjadi kekuatan tersendiri untuk membuat masyarakat
menerima apa yang diajarkannya dan meninggalkan apa yang dilarang
oleh agama. Secara berangsur-angsur, kemudian kebiasaan lama yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagai yang diajarkannya, mulai
ditinggalkan oleh masyarakat.
Akan halnya di pesisir barat Sumatera Barat, sebagaimana naskah
MI, pada awalnya Islam diperkenalkan oleh salah seorang pedagang
yang terdampar, karena kapalnya mengalami kecelakaan diperairan
pantai Padang, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Pedagang
yang berasal dari Arab ini telah mengislamkan seorang kepada dusun
yang kebetulan adalah keluarga kerajaan Pagaruyung. Keluarga ini
menetap disebuah dusun yang bernama Kampung Durian. Kegiatan
pengislaman ini kemudian berlanjut hingga seluruh penduduk dusun itu
menganut Islam. sebagaimana dikemukakan :

22 Darusman, 1994, “Syekh Burhanuddin dan Pengembangan Islam di Kuntu Kampar Kiri Abad XIII”,( skripsi),
Padang : Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab IAIN Iman Bonjol Padang, hal-54-64
23 Berbeda dengan hasil penelitian ini, dalam naskah MI disebutkan bahwa Syekh Burhanuddin datang
menghadap Raja Kampar dan meminta agar dia diakui sebagai anak kemenakan ninik mamak di Kampar dan
diberi bersuku sepanjang adat yang berlaku, lihat : Naskah MI halaman 97. Sayang tidak ditemukan
penjelasan tentang apakah Datuk Makhudum itu sekaligus menjadi raja Kampar atau bukan.
24 Sampai sekarang, penduduk dari suku Datuk Makhudum menganggap bahwa mereka adalah keturunan
Syekh Burhanuddin.

10 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Setelah beberapa bulan Sayyid Abdullah tinggal di situ yang siangnya
membantu orang dangan tempat dia tinggal itu bekerja tani, maka
diberinyalah orang dangau itu penerangan agama Islam. Akhirnya
terpahamlah oleh orang dangau itu akan penerangan Sayyid Abdullah,
hingga seisi dangau itu memeluk agama Islam. Oleh orang dangau itu
disampaikannya pula kepada kawan-kawannya pada dangau yang lain
bahwa orang Arab itu ada membawa agama baru, agama yang benar
bernama agama Islam. Oleh karena orang dangau tempat tinggal Sayyid
Abdullah yang menjadi kepala pada dusun itu, dia yang menganjurkan
memasuki agama Islam kepada seluruh penduduk dusun, maka memeluk
Islamlah seluruh penduduk dusun itu.
Selanjutnya diceritakan pula:
Begitulah hal Sayyid Abdullah tinggal di dusun itu yang siangnya
membantu orang tempat dia menumpang itu dan malamnya mengajarkan
peraturan-peraturan agama Islam kepada penduduk dusun itu. Karena
ketua dusun tempat Sayyid Abdullah tinggal ada mempunyai seorang
anak gadis, maka berminatlah dia hendak mengawinkan anak gadisnya itu
dengan Sayyid Abdullah. Maka disuruhnyalah salah seorang penduduk
dusun itu buat menyampaikan hal itu kepada Sayyid Abdullah. Oleh
Sayyid Abdullah lamaran ketua Dusun itu diterima dengan segala senang
hati. Maka pada hari ketika yang baik yang telah dimufakati dilansungkan
perkawinan antara Sayyid Abdullah dengan putri ketua Dusun itu yang
dihadiri oleh seluruh penduduk Dusun itu25.

Akulturasi Budaya Islam dan Budaya Minangkabau

25 Naskah MI, halaman 95.

11 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Sebelum kedatangan agama Islam, di wilayah pedalaman
Minangkabau, setidaknya berkembang dua unsur budaya, yaitu tradisi
Hindu Budha di kalangan istana dan tradisi Megalit yang banyak
berkembang di kalangan masyarakat awam. Kedatangan agama Islam di
Minangkabau, telah menyebabkan terjadinya kontak budaya antara Islam
dengan kedua unsur budaya itu ; budaya Hindu-Budha yang berpusat
disekitar istana kerajaan, dan dengan tradisi Megalit yang umumnya
terdapat di nagari-nagari maupun di daerah rantau Minangkabau.
Namun, karena tradisi megalit dianut secara luas, maka Islam lebih
banyak menyesuaikan diri dengan tradisi megalit itu26 meskipun tidak
sedikit bukti yang menunjukkan akulturasi Islam dengan agama Hindu-
Budha sendiri. Berdasarkan tinggalan arkeologis yang ditemukan pada
makam-makam kuno di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau
dapat diketahui tentang telah terjadinya keberlanjutan tradisi megalit
dengan budaya Islam di kawasan ini, antara lain transformasi fungsi
bentuk menhir ke dalam nisan kubur seperti menhir-menhir yang
terdapat di kabupaten Lima Puluh Kota, kemudian cendrung mengalami
perubahan kepada nisan makam seperti yang terdapat di Tanah Datar.
Demikian juga beberapa tradisi membuat jirat (batu yang disusun
bertingkat untuk kubur) merupakan kelanjutan dari tradisi megalitik
‘teras berundak’ berlandaskan kepercayaan zaman megalitik yang
menghormati tempat yang lebih tinggi, karena di tempat yang tinggilah
bersemayamnya arwah-arwah nenek moyang mereka27.

26 Herwandi, 1994, “ Refleksi Proses Akulturasi Budaya Pra-Islam dengan Islam pada Bangunan Ibadah dan
Makam di Minangkabau : Suatu Kajian Sejarah Kebudayaan”, (makalah), Padang : Fakultas Adab IAIN IB
Padang.
27 Herwandi, 1994, “Nisan-Nisan di Situs Mejan Tinggi Desa Talago Gunung, Sumatera Barat : Kajian tentang
Kelanjutan Budaya Tradisi Megalitik ke Tradisi dan Budaya Islam, (Thesis S2) Jakarta : Universitas Indonesia

12 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Tradisi surau sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam
Minangkabau, diperkirakan berawal dari tradisi pembuatan bihara yang
dilakukan oleh Adytiawarman. Salah satu bihara yang didirikannya pada
tahun 1386 sebagai tempat orang-orang muda mempelajari adat yang
sakral dan agama Budha serta untuk menyelesaikan masalah-masalah
sosial, terdapat di Saruaso. Kata “Saruaso” berasal dari dua kata, yaitu
surau dan aso yang artinya surau pertama. Setelah Islam berkembang di
Minangkabau tradisi surau dengan fungsi yang sama tetap dilanjutkan28
sebagai tempat mendalami agama Islam. Surau inilah yang kemudian
menjelma menjadi Madrasah sebagai sistem pendidikan yang dikelola
oleh kalangan ulama-ulama Minangkabau pada masa-masa kemudian.
Demikian juga misalnya suatu strata sosial bidang agama pandito dalam
struktur masyarakat pra Islam, kemudian menjadi malin dalam fungsi
yang sama. Malin adalah merupakan salah satu unsur yang harus
terdapat dalam sistem kepemimpinan di nagari-nagari Minangkabau
setelah Islam yang kedudukannya sejajar dengan penghulu. Dari status
kepemimpinan agama seperti ini terlihat bahwa terjadi penyesuaian
(akulturasi) budaya Islam dengan budaya Minangkabau. Dapat
dikatakan bahwa Islam dikembangkan di Minangkabau dengan cara-cara
yang sesuai dengan local genius masyarakat di mana Islam itu
dikembangkan, sehingga proses akulturasi berjalan dengan damai.

Islam dalam Hirarki Sistem Politik Kerajaan


Dalam “Naskah Ulakan”, dikemukakan tentang upaya Syekh
Burhanuddin dan Orang nan Sebelas Ulakan pergi berunding ke pusat
kerajaan Pagaruyung untuk mendapatkan legitimasi bagi kalangan
ulama untuk mengajarkan Islam di seluruh wilayah Minangkabau.
Perundingan ini29 menjadi monumental, ketika hal itu dianggap sebagai
awal perpaduan antara Islam dan adat Minangkabau dan melahirkan
konsensus Adat basandi Syara’ Syara’ basandi Adat. Kenyataan ini perlu
dilakukan penganalisisan lebih jauh, mengingat bahwa pada waktu
kedatangan rombongan Syekh Burhanuddin ke Pagaruyung itu,
sebenarnya Islam sudah bersepadu dengan adat Minangkabau, bahkan
sudah menjadi bagian dari struktur kekuasaan kerajaan Pagarruyung
sendiri, yaitu dengan adanya struktur yang disebut Basa Ampek Balai,
sebagaimana diungkapkan dalam Naskah Ulakan sendiri :

28 Kroeskamp, 1931, De Weskusten Minangkabau (1665-1668), Utrecht, halaman 92.


29 Yang sering diasumsikan sebagai “Sumpah Satie Bukit Marapalam” pada tahun 1668.

13 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


...Berkat kekuasaan Allah SWT akhirnya didapatlah keputusan untuk
pergi ke Pariangan Padang Panjang terus ke Sungai Tarab menemui Basa
Ampek Balai dan langsung menghadap Daulat Yang Dipertuan
Pagaruyung, karena walaupun Orang nan Sebelas ini sudah faham namun
tiada jua artinya jika dibawah saja yang jernih sedangkan di atas masih
keruh30
Struktur Basa Ampek Balai di Minangkabau adalah dewan menteri
yang berada di bawah Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung. Dewan
ini terdiri dari : Bandaro Titah di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri,
Tuan Kadi di Padang Ganting yang membidangi urusan keagamaan,
Indomo di Saruaso dalam urusan keuangan, dan Makhudum di Sumanik
yang mengurusi soal pertahanan dan daerah rantau31. Jadi, bila
keterangan dalam Naskah Ulakan itu adalah benar, maka seyogianya
dapat disimpulkan bahwa pada waktu Syekh Burhanuddin bersama
Urang nan Sebelas Ulakan datang ke Pagaruyung, Islam sudah masuk ke
dalam struktur kekuasaan Pagaruyung.
Dalam naskah MI juga dikemukakan tentang upaya pengislaman
pembesar kerajaan Pagaruyung yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin,
seorang ulama Arab yang bermukim dan mengembangkan Islam di
Kuntu Kampar (Minangkabau Timur), sebagaimana yang dikemukakan
terdahulu. Ia datang mengunjungi kerajaan Pagaruyung dalam rangka
meluaskan da’wah Islam dan mengajak raja bersama keluarga kerajaan
untuk masuk Islam, termasuk Basa Ampek Balai. Peristiwa ini terjadi
beberapa abad sebelum kedatangan rombongan Syekh Burhanuddin
Ulakan ke Pagaruyung, tepatnya pada tahun 610 H./1214 M.32
Bila apa yang dikemukakan dalam naskah yang disebutkan terakhir
ini dapat dianggap bernilai historis, maka pernyataan tentang Basa Ampek
Balai itu tentu masih bersifat fakta hipotetis, karena boleh jadi penyalin
dan penyadur naskah Muballighul Islam (MI) pada bagian ini tidak
terlalu mempersoalkan tentang pihak pembesar kerajaan yang ditemui,
tetapi lebih dipengaruhi oleh cerita kunjungan Syekh Burhanuddin
Ulakan sebagai yang menjadi perhatian paling banyak dan utama pada
naskah ini.

30 Abu Nain, Syafnir, 1991, “Sumpah Satie di Bukit Marapalam : Perpaduan Adat dengan Syarak”, (makalah),
Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas.
31 Lihat : Mansoer, op.cit., halaman 64-65 ; Parlindungan, Mangaraja Onggang (1964), Tuanku Rao, Jakarta :
Tanjung Pengharapan, halaman 523-25
32 Naskah MI, halaman 97

14 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Apa yang dapat disimpulkan dari kedua sumber ini, paling tidak,
fakta bahwa konversi kalangan bangsawan Minangkabau terhadap Islam
telah berlangsung sebelum Syekh Burhanuddin Ulakan. Ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Christine Dobbin bahwa pada
waktu terjadi perang saudara di Minangkabau setelah wafatnya
Aditiawarman, keluarga Raja pindah ke daerah-daerah di antara Buo dan
Sumpur Kudus. Keluarga raja menetap di berbagai tempat di lembah-
lembah Sinamar dan Sumpur, juga di daerah yang dulu disebut dengan
Pagarruyung (dekat Kumanis di mana sungai Sinamar biasa dilayari
perahu dagang ke Inderagiri). Pada waktu tinggal di sinilah keluarga raja
berhubungan dengan pedagang muslim.. Peristiwa ini diperkirakan
terjadi pada akhir abad ke 14, dan berarti beberapa abad sebelum
kedatangan Syekh Burhanuddin Ulakan sebagai telah disebutkan
terdahulu.
Silsilah raja pagaruyung dapat dijumpai melalui keterangan pada
tambo-tambo. Dalam tambo Pagaruyung misalnya, terdapat silsilah raja-
raja Pagaruyung mulai dari Adityawarman, Ananggawarman, Sultan
Bakilap Alam, Sultan Parsambahan, Sultan Alif, Sultan Muning I, Sultan
Patah (Sultan Muning II), Sultan Muning III, Sultan Sembahyang dan
seterusnya33. Bila apa yang dikemukakan oleh tambo ini dapat diterima,
maka dapat dipastikan bahwa setidaknya corak Islam telah mewarnai
struktur kekuasaan di Pagaruyung sejak raja ke-3 yaitu Sultan Bakilap
Alam. Asumsi ini didasari oleh gelar Sultan yang sudah digunakan untuk
mengawali nama raja. Diperkirakan bahwa Sultan Bakilap Alam naik
tahta pada paruh pertama abad ke-15.

33 Himpunan Prasaran dan Kertas Kerja Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau, Padang : Pemda
Kodya Padang, 1970, hal. 34

15 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Dalam hirarki kerajaan Pagaruyung, terdapat pula suatu struktur
yang membawahi Basa Ampek Balai, yaitu Rajo Tigo Selo (Raja Tiga Tahta).
Struktur ini terdiri dari : Pertama : Rajo Alam sebagai Yang Dipertuan
Minangkabau yang berkedudukan di Pagaruyung. Ia memegang struktur
tertinggi. Kedua, Rajo Adat sebagai pemegang kekuasaan di bidang adat
yang berkedudukan di Buo, dan ketiga Rajo Ibadat sebagai pemegang
kekuasaan dalam bidang agama dan berkedudukan di Sumpur Kudus 34.
Tentang Struktur kekuasaan ini tidak banyak bukti tertulis yang dapat
diperpegangi, sehingga sulit menentukan dengan pasti kapan
terbentuknya struktur Rajo Tigo Selo, demikian juga Basa Ampek Balai itu.
Beberapa analisa menyebutkan bahwa kedua struktur itu dibentuk secara
bersamaan. Sebagaimana diceritakan dalam tambo-tambo, bahwa
penobatan dan pelantikan Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai
dilaksanakan sejalan dengan pengangkatan dan pengiriman Sultan nan
Delapan ke rantau Minangkabau, yaitu : Aceh, Palembang, Tambusai,
Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Sri Indrapura, dan Rembau Sri
Menanti. Pelantikan dan pengiriman ini dilakukan oleh Rajo Alam yaitu
Sultan Bakilap Alam. Bila pemberitaan ini dapat diterima, maka
diperkirakan bahwa pembentukan struktur itu dalam sistem kekuasaan
Pagaruyung diperkirakan setelah tahun 140935.
Dengan demikian, bila dihubungkan dengan apa yang kita
kemukakan terdahulu tentang Sultan Bakilap Alam, maka dapat
diperkirakan bahwa di masa pemerintahan Sultan Bakilap Alam, Islam
telah mewarnai struktur kekuasaan di Minangkabau. Sumpur Kudus
sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat adalah logis, karena daerah inilah
yang diperkirakan paling awal berhubungan dengan pedagang-
pedagang muslim, sebagai telah diuraikan terdahulu. Mungkin bukan
sebagai sebuah kebetulan pula, bahwa munculnya kesadaran
berdemokrasi di kalangan rakyat Minangkabau setelah terjadinya
pertempuran Padang Sibusuk 1409, yang ditandai dengan berakhirnya
sistem kekuasaan yang sentralistis di Minangkabau, adalah bagian yang
tidak terpisahkan dengan masuknya unsur-unsur baru itu, yaitu Islam36.

34 Abdullah, Taufik (1972), "Modernization in Minangkabau World : West Sumatra in the Early Decades of the
Twentieth Century" dalam : Claire Holt (ed.) 1972, Culture and Politics in Indonesia, Ithaca and London :
Cornell University Press, halaman : 198
35 Martamin, Marjani, dkk., 1978, Sejarah Sumatera Barat, Jakarta : Dept P & K, halaman : 42.
36 Pernyataan ini baru berupa asumsi awal dan mungkin memerlukan penelitian tersendiri untuk mengetahui
lebih jauh tentang keterkaitan itu

16 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Perubahan sistem kekuasaan kerajaan Pagaruyung dari sentralistis
menjadi demokratis pada awal abad ke 15, telah menjadikan nagari-
nagari yang ada di wilayah inti (luhak yang tiga) memiliki otonomi yang
penuh dan tidak terkait secara struktural dengan pusat kekuasaan.
Mereka bebas menentukan diri sendiri di bawah kepemimpinan
penghulu-penghulu mereka sesuai dengan kelarasan yang mereka anut.
Hubungan nagari-nagari dengan pusat kerajaan lebih hanya bersifat
kultural, kecuali itu pada aspek-aspek yang menyangkut sengketa nagari
yang diteruskan penyelesaiannya kepada Basa Ampek Balai pada aspek
yang menjadi kewenangannya. Di nagari-nagari terbentuk pemerintahan
otonom di bawah penghulu-penghulu suku yang dipilih secara primus
interpares dengan di dampingi oleh manti (urusan pemerintahan umum),
dubalang (urusan keamanan), dan malin (urusan keagamaan).

Ordo Sufi dan Pengembangan Islam di Minangkabau Abad ke-17

17 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Dari beberapa fakta yang dikemukakan terdahulu diketahui bahwa
setidaknya pada awal abad ke-13 Islam sudah masuk di Minangkabau
timur yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab yang lalu lalang di
sekitar selat Malaka dan menyusuri sungai-sungai di dataran pesisir
timur Sumatera. Bagaimana perkembangan Islam di Minangkabau pada
abad-abad sesudah abad ke-13, tidak banyak bukti-bukti tertulis primer
yang dapat digunakan. Meskipun dari beberapa sumber sekunder,
ditemukan beberapa fakta yang dapat dijadikan dasar untuk melihat
gambaran perkembangan Islam pada akhir abad ke-13, terutama di
wilayah jalur perdagangan37. Meskipun tidak ditemukan penjelasan yang
lebih rinci tentang kegiatan islamisasi sejak waktu ini hingga masuknya
aliran sufi pada abad ke-17, namun diketahui beberapa bentuk kegiatan
penyebaran Islam yang dilakukan oleh muballigh Minangkabau ke luar
wilayah Minangkabau sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rajo
Bagindo, seorang bangsawan Minangkabau yang menyebarkan Islam ke
Midanao dan Sulu, Pilipina selatan38, dan Syekh Ahmad yang
mengembangkan Islam di Negeri Sembilan pada tahun 146739. Baru pada
awal abad ke-17 (1605) diketahui pula tentang tiga orang penyebar Islam
di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan Abdul Makmur Chatib Tunggal
(Datuk Ribandang), Khatib Sulaiman (Datuk Patimang), dan Khatib
Bungsu (Datuk Ri Tiro)40.

37 Dalam berita perjalanan Marcopolo dari Cina ke Venesia dicatatkan bahwa ia singgah di Sumatera bagian
utara dan timur pada abad ke-13 (1293-1294), menurutnya, ketika itu Islam mulai berkembang di daerah itu
(lihat :MD. Mansoer, 1979 majalah Kebudayaan Minangkabau No. 8, Oktober 1979 ; 26:, dan di wilayah pesisir
terdapat penduduk yang penganut agama Islam yang mereka pelajari dari pedagang-pedagang Arab, lihat :
Marsden,1999:204. Pada tahun 1301 di daerah Kuntu Kampar Kiri berdiri satu kerajaan Islam, yaitu Kesultanan
Kuntu. Kesultanan ini didirikan oleh Kesultanan Aru Barumun Sumatera Utara yang pada waktu itu berhasil
menguasai kembali daerah penghasil lada di sekitar lembah sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Kesultanan
inilah yang kemudian pada tahun 1394 dirangkul kembali oleh Adityawarman ke dalam kekuasaan kerajaan
Pagaruyung.
38 Lihat : Hamka, 1963, “Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Daerah Pesisir Sumatera Utara”,
(makalah), Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, Medan 1963, hal. 85
39 Martamin, op.cit., hal :49
40 ibid.

18 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Dalam banyak sumber dikemukakan tentang kisah “penyambutan”
masyarakat nagari Ulakan Pariaman terhadap Syekh Burhanuddin yang
baru pulang menuntut ilmu pengetahuan kepada Syekh Abdur Rauf
Singkel41. Diterangkan bahwa pada waktu Syekh Burhanuddin mendarat
di Pariaman, masyarakat di sini sudah lama meninggalkan ajaran agama
Islam, dan kembali ke tradisi lama. Kedatangan Syekh Burhanuddin
bersama rombongan diwarnai dengan peperangan antara pasukan
pengawal Syekh Burhanuddin dengan para pendekar dan jawara nagari
Ulakan42. Kemenangan pasukan yang dikomandoi oleh Khatib Sangko43
ini, membuka jalan selanjutnya bagi Syekh Burhanuddin untuk
menyebarkan Islam dan menyadarkan kembali rakyat Ulakan dan
sekitarnya terhadap agama Islam.
Kegiatan islamisasi yang dilancarkan oleh Syekh Burhanuddin pada
tahap awal, sebagaimana diceritakan dalam naskah MI berjalan dengan
mulus. Hal ini disebabkan karena dia memperoleh dukungan dari
masyarakat, terutama dari orang-orang yang dulu pernah sama-sama
belajar dengan Syekh Burhanuddin sebelum ia berangkat ke Aceh. Di
samping itu, Burhanuddin memprioritaskan pendidikan agama terhadap
anak-anak, karena generasi ini dianggap berpotensi untuk
pengembangan jangka panjang. Pendekatan yang digunakan adalah
dengan cara “masuk” ke dunia anak-anak itu sambil memberi
pengertian-pengertian tentang Tuhan, Agama dan sebagainya.

41 Tidak ditemukan catatan tentang pada tahun berapa Syekh Burhanuddin kembali ke Ulakan setelah 13 tahun
belajar di Aceh. Tapi dari masa hidupnya (1646-1692) dapat diperkirakan pada tahun 1670an.
42 Cerita ini dituturkan dalam naskah Muballighul Islam (MI), hal. 122-125
43 Dalam kisah yang lain disebut Tuanku Nan Basarung, lihat : Bustami, dkk, 1981, Aspek Arkeologi Islam
tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan, Padang : Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat.

19 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Adapun beliau Syekh Burhanuddin turut pula dalam permainan itu,
tetapi tatkala beliau memulai menggadakan damar itu, beliau
membaca doanya, oleh sebab itu selalu beliau beroleh kemenangan.
Melihat kejadian itu maka bertanyalah anak-anak kepada beliau ya
Tuan Syekh, apakah doanya yang Tuan baca tatkala menggadakan
gundu damar itu, bolehkah kami menuntut doanya, boleh saja kata
Syekh Burhanuddin. Sebentar itu beliau ajarkanlah doa itu
Bismillaah, dengan tolong Allah. Itulah yang mula beliau ajarkan
kepada anak-anak itu. Yang membaca doa itu menang pula mereka,
kemudian beliau sambung pula sekerat lagi yaitu ar-Rahmaanir
Rahiim. Begitulah caranya Syekh Burhanuddin memberikan
pelajaran kepada anak-anak itu dengan mencampuri permainan
mereka pada awalnya dan mengajarkan doa dengan lunak
lembutnya perkataan beliau dan dengan jalan berangsung-angsur,
begitu juga terhadap tingkah laku dan budi pekerti anak-anak itu
beliau robah sedikit demi sedikit, akhirnya dengan tidak
disadarinya, mereka menjadi penganut agama Islam yang kuat dan
menjadi ahli dakwah kepada ibu bapak masing-masing........ 44

Sufisme dan Aktifitas Sosial dan Ekonomi


Di wilayah pedalaman Minangkabau sekitar tahun 1784, tepatnya
Koto Tuo sebuah desa kecil di wilayah Agam, hidup seorang ulama yang
sangat disegani karena keluasan ilmu agama yang dimilikinya. Dia
adalah Tuanku Nan Tuo (1723-1830). Ia mengajarkan berbagai bidang
ilmu agama, mulai dari fiqh, tafsir, hadits, mantiq, ma’ani, ilmu alat
(nahu dan saraf), dan lain-lain, di sebuah surau yang didirikannya di
Koto Tuo Ampek Angkek Canduang. Banyak murid-murid yang datang
untuk belajar ke surau Tuanku Nan Tuo ini, sehingga ilmunya menyebar
ke berbagai nagari yang ada di luhak Agam dan Lima Puluh Kota.

44 Naskah MI, hal. 130

20 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Selain kedalaman penguasaan ilmu, ia juga dikenal sebagai seorang
yang zuhud dan senang berzikir. Karena itu, oleh Steijn Parve
digambarkan sebagai seorang yang disamping mengajarkan ilmu hakikat
yaitu ilmu tauhid, sering tenggelam dalam renungan menuju Tuhan,
seakan-akan melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawy45. Kesaksian
Jalaluddin Faqih Shaghir (salah seorang murid Tuanku Nan Tuo) yang ia
tulis sendiri dalam naskah yang berjudul Hikayat Syekh Jalaluddin
(selanjutnya disebut : naskah HSJ), hampir dapat memastikan bahwa apa
yang dikemukakan oleh Steijn Parve itu agak berlebihan. Naskah HSJ
menjelaskan tentang Tuanku Nan Tuo sebagai berikut : “.... maka terlebih
sangatlah masyhur Tuanku Nan Tuo, ulama yang pengasih lagi
penyayang, tempat pernaungan segala anak dagang, ikutan segala sidang
imam Syari’ah Ahlussunnah dan Ahlul Jama’ah... dst”46 Dalam naskah
HSJ lebih banyak diceritakan tentang aktifitas dakwah yang dijalankan
oleh Tuanku Nan Tuo di samping kegiatan pengajiannya di surau, juga
turun langsung ke desa-desa di luar Koto Tuo, ketimbang dia sebagai
seorang ahli zikir yang tidak mempedulikan hal-hal duniawy yang terjadi
diseputar dirinya. Bahkan disebutkan bahwa Tuanku Nan Tuo juga
menekuni aktifitas perdagangan sebagai layaknya masyarakat
kebanyakan.
Pertumbuhan perdagangan produksi pertanian yang cepat agaknya
telah mendorong Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya melibatkan diri
dalam soal-soal perdagangan, terutama menyangkut pendalaman materi
ajaran yang berhubungan dengan hukum Islam yang mengatur
pelaksanaan perdagangan. Beberapa kondisi telah menuntut Tuanku nan
Tuo untuk mengambil jalan ini, diantaranya adalah karena pesatnya
permintaan komoditi kopi yang tidak diiringi dengan adanya aturan-
aturan dagang. Di samping itu, penyelesaian berbagai sengketa dagang
sering mengalami kesulitan apabila diselesaikan secara adat oleh
penghulu-penghulu. Keputusan yang dihasilkan oleh kerapatan adat
sering tidak menyelesaikan masalah, karena kurang mengikat kedua
belah pihak yang bersengketa juga ketentuan adat yang sangat terbuka
untuk ditafsirkan secara berbeda-beda di setiap nagari. Dalam kaitan ini,
posisi suraulah yang dianggap strategis untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa antar nagari, karena surau lebih merupakan lembaga “supra
nagari” yang mampu menembus batas-batas wilayah hukum adat yang
diberlakukan di masing-masing nagari itu sendiri.

45 Dobbin, op.cit. halaman 149.


46 Faqih Shaghir Alamiyah Tuanku Samia’ Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, Hikayat Syekh Jalaluddin. Naskah
ini pernah diterbitkan oleh Maursinge, diterjemahkan oleh W.R. van Hoevell tahun 1849 dan diterbitkan dalam
bentuk resensi yang panjang oleh Hollander di Leiden pada tahun 1857 (selanjutnya disebut : naskah HSJ)..

21 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Dengan demikian keberadaan surau semakin diperlukan untuk
mengatasi berbagai persoalan yang timbul di kalangan masyarakat,
terutama para pedagang dan petani produsen, apalagi beberapa surau
telah ikut mengambil peran dalam kegiatan perdagangan dan penghasil
komoditi dagang ini. Ajaran Islam menyediakan beberapa aturan yang
jelas menyangkut perdagangan dan cara-cara menyelesaikan masalah ini
secara rasional. Syari’at Islam mengajarkan bagaimana seseorang dapat
meningkatkan keuntungan perdagangan secara halal, namun tetap
memperhatikan hak-hak perseorangan dalam hubungannya dengan
harta kekayaan. Implikasi dari meluasnya masalah yang ditemui oleh
masyarakat dalam hal perdagangan, maka surau dianggap lebih dapat
memberikan tawaran solusi atas masalah-masalah itu melalui kaidah-
kaidah agama yang jelas dan rasional.
Sebagai daerah penghasil utama komoditi kopi, Agam sekaligus
juga menjadi pusat pengajaran Fiqh (hukum Islam). Beberapa surau
melakukan pendalaman fiqh terutama pada aspek perdagangan. Keadaan
ini lebih dipicu oleh banyaknya persoalan-persoalan kemasyarakatan dan
perdagangan yang dimintai penyelesaiannya secara syar’i di surau-surau
yang ada. Kedekatan masyarakat dengan surau-surau seperti inilah yang
pada gilirannya telah memberi jalan bagi hukum Islam di wilayah ini.
Oleh karena itu semenjak 1784, hukum Islam menjadi suatu bidang kajian
yang penting pada beberapa surau di Ampek Angkek, sebagaimana
diungkapkan dalam naskah HSJ : “....maka sebab itu banyaklah orang
berhimpun-himpun kepada tempat itu mengambil ilmu menghafazkan
kitab fiqh itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa itu ialah ilmu
fiqh...dst”47.
Sejak saat itu surau-surau menyesuaikan diri dengan perkembangan
dan kebutuhan masyarakat. Gerakan kembali ke syari’at menjadi
prioritas utama untuk disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat.
Tuanku nan Tuo dan murid-murid surau Koto Tuo telah mengambil
peran dalam menyerukan perubahan sikap dan membimbing masyarakat
dalam kehidupan sebagai muslim yang baik48. Ia mengirim murid-
muridnya berdakwah di desa-desa sekitarnya. Semua usaha yang
dijalankan oleh Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya ini, nampak cukup
berhasil, sehingga menjelang tahun 1790 daerah Ampek Angkek di luhak
Agam mengalami kemajuan yang pesat dalam lapangan ini, terutama

47 Naskah HSJ., halaman 10


48 Meskipun diantara murid-murid Tuanku Nan Tuo ada yang menempuh jalan radikal untuk tujuan itu,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tuanku Nan Renceh bersama dengan Tuanku-Tuanku lainnya yang
dikenal dengan “Harimau nan Salapan”.

22 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


dalam menertibkan prilaku ekonomi masyarakat, sehingga Tuanku Nan
Tuo sendiri dikenal sebagai pelindung para pedagang49
Dari uraian di atas jelaslah bahwa setidaknya pada akhir abad ke-18,
agama Islam memainkan peranan yang sangat besar dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau. Peran mana, pada dasarnya sulit dipahami
sebagai sebuah gerakan sufisme yang, lazimnya, hanya larut dalam
renungan mencari Tuhan dan menghindarkan diri dari persoalan-
persoalan duniawy. Apa yang dikemukakan itu, terutama lebih terlihat di
wilayah pedalaman Minangkabau, daripada aktifitas sufi di wilayah
pesisir barat. Hal ini mungkin dapat diasumsikan menjadi rangka sebuah
perspektif, di mana, wilayah ini --beberapa waktu kemudian--
memunculkan berbagai gagasan pembaharuan keagamaan dan
kemasyarakatan. Salah satu alasan yang dapat ditunjukkan untuk itu
adalah dinamika dan dialektika agama dan kemasyarakatan yang
mampu dibangun oleh tokoh-tokoh agama pada waktu ini.

Pembaharuan Awal dan Dinamika Sufisme di Pedalaman


Perkembangan yang menarik dari kaum sufi Minangkabau adalah
pada saat munculnya suatu fenomena baru pada perkembangannya di
akhir abad ke-18, terutama di wilayah pedalaman Minangkabau.
Perkembangan ini ditandai dengan munculnya bibit-bibit pembaharuan
tahap awal dalam bentuk gerakan kembali ke syari’at yang dicanangkan
oleh Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek bersama murid-
muridnya yang berbasis di surau Koto Tuo sendiri. Salah seorang
muridnya yang setia adalah Jalaluddin Faqih Shaghir yang riwayatnya
banyak digunakan dalam tulisan ini. Gerakan ini muncul seiring dengan
meningkatnya taraf perekonomian masyarakat Agam umumnya karena
meningkatnya permintaan akan komoditi kopi yang banyak dihasilkan di
wilayah ini.

49 Kroeskam, op.cit., halaman :11

23 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Dalam naskah HSJ tidak dijelaskan dengan pasti bahwa Tuanku
Nan Tuo adalah pelanjut ajaran Syathariyah sebagaimana dianggap oleh
beberapa penulis50, akan tetapi bahwa salah seorang gurunya adalah
Tuanku Nan Tuo di Mansiang yang pernah belajar dengan Syekh
Burhanudin Ulakan51. Naskah HSJ juga mengemukakan bahwa
disamping ia pernah belajar dengan Tuanku Nan Tuo di Mansiang, ia
juga mempelajari bermacam-macam ilmu dengan beberapa Tuanku-
Tuanku yang lain seperti Tuanku di Kamang yang ahli ilmu alat, Tuanku
Sumanik (hadits, tafsir dan ilmu faraidh), Tuanku Koto Gadang (ilmu
mantiq dan ma’ani) dan Tuanku Paninjauan. Dijelaskan pula bahwa ilmu
mantiq dan ma’ani yang diajarkan oleh Tuanku Nan Kecil Koto Gadang
berasal dari Tuanku Tampang di Rao yang mempelajarinya dari Mekkah
dan Madinah, sedangkan ilmu hadits, tafsir dan ilmu faraidh dibawa oleh
Tuanku Sumanik dari negeri Aceh. Jalaluddin mengemukakan : “..maka
berhimpunlah ilmu mantiq dan ma’ani, hadits dan tafsir dan beberapa
kitab yang besar-besar dan sekalian yang menghasilkan ilmu syari’at dan
hakikat kepada Syekh kita Tuanku Nan Tuo dalam negeri Koto Tuo
semuanya….”52.
Tidak didapatkan keterangan apakah guru-guru (selain Tuanku Nan
Tuo Masiang) itu juga mengajarkan tarikat atau tidak. Kalaupun mereka
juga mengajarkan tarikat, maka dipastikan bahwa itu bukanlah tarikat
Syathariyah, karena nama-nama Tuanku itu tidak pernah disebut dalam
mata rantai pengembangan tarikat Syathariyah di pedalaman
Minangkabau. Dengan dasar analisis ini, penulis memiliki dugaan yang
kuat bahwa Tuanku Nan Tuo pernah belajar tarikat Syatariyah, namun ia
tidak benar-benar mengambil peran dalam pengembangannya, dan
nampaknya ia lebih cendrung mengajarkan ilmu-ilmu syari’at ketimbang
mengajarkan tarikat.

50 Seperti yang diduga oleh Dobin (1992: 150-151) dan Azra (1994:290). Azra dengan mengutip naskah HSJ
menjelaskan bahwa Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek ini adalah murid Tuanku Mansiangan Nan Tuo
yang adalah murid Syekh Burhanuddin, tanpa melanjutkan bahwa Tuanku Nan Tuo ini juga mengambil ilmu

24 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Dalam beberapa sumber diketahui bahwa pada akhir abad ke-18,
setidaknya terdapat dua aliran Tashauf di Minangkabau yang sangat
berpengaruh, yaitu aliran Ulakan dan aliran Cangking Ampek Angkek.
Cangking adalah sebuah desa di nagari Candung Koto Laweh, Ampek
Angkek, di mana Jalaluddin, murid utama Tuanku Nan Tuo membuka
surau dan mengembangkan ilmu-ilmu agama dalam rangka meluaskan
misi pengajaran Tuanku Nan Tuo sendiri. Kedua aliran ini terlibat dalam
pertentangan karena perbedaan pemahaman dalam soal-soal yang
menyangkut syari’ah dan implementasi ajaran tarikat itu sendiri.
Meskipun untuk beberapa sumber primer, tidak dikemukakan secara
eksplisit53, namun beberapa sumber sekunder menyebutkan bahwa
pertentangan ini sebenarnya adalah pertentangan antara penganut
Syathariyah yang dikembangkan di Ulakan dengan tarikat
Naqsyabandiyah yang dikembangkan oleh Jalaluddin di Cangking
Ampek Angkek54. Persoalan yang diperdebatkan tentulah persoalan
yang menyangkut perbedaan paham antara kedua aliran ini, terutama
tentang martabat yang tujuh sebagai ajaran tujuh tahap pancaran dari
Yang Ada, sebagai yang dianut oleh pengikut Syathariyah yang oleh
pengikut Jalaluddin dianggap sebagai bid’ah. Pertentangan ini kemudian
merembet ke persoalan ‘ubudiyah seperti penentuan awal puasa, arah
kiblat dan sebagainya55.
Menurut Hamka (1967), pertentangan kedua paham ini sebenarnya
lebih disebabkan oleh perbedaan dalam implementasi ajaran Islam
terhadap tatanan kehidupan masyarakat yang secara historis berbeda
latar belakang kultural dan politik serta perbedaan faktor ekternal yang
mempengaruhi. Posisi Ulakan sebagai daerah rantau pesisir Minangkabau,
dianggap oleh kalangan ulama pedalaman sebagai masih sangat kuat
dipengaruhi oleh Aceh. Sementara Ulama di pedalaman (Agam dan
sekitarnya) dikatakan sangat dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Islam
di wilayah pedalaman Minangkabau menurut mereka belum dapat
diperbaiki oleh kalangan ulama56.

dari beberapa orang Tuanku yang telah Masyhur di luhak nan Tigo pada waktu itu.
51 Lihat : Hamka, 1967, Ayahku, Jakarta : Djajamurni, hal. 24
52 lihat naskah HSJ, halaman : 7
53 dalam naskah HSJ, Jalaluddin tidak menyebutkan tentang aliran tarikat yang digunakan oleh Tuanku Nan
Tuo maupun dirinya sendiri.
54 Selanjutnya lihat : Hamka, 1967, Ayahku,Riwayat Dr. H. Abd. Karim Amarullah dan Perjuangan Kaum Agama
di Sumatera, Djakarta : Djajamurni : 24-25;
55 lihat : B.J.O. Schrieke, 1973, Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi, Jakarta :
Bhratara, halaman ; 24-27
56 Selanjutnya baca : Hamka, op.cit , halaman : 25

25 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Suatu hal yang dapat dicatatkan dari perkembangan ajaran tarikat di
Sumatera Barat hingga akhir abad ke-18 ialah, bahwa hampir semua
ulama-ulama di sini adalah penganut tarikat. Meskipun untuk beberapa
kasus, sulit mengidentifikasi aliran apa yang dianut oleh ulama-ulama
itu, karena pada umumnya, ulama-ulama Minangkabau --terutama di
pedalaman-- tidak langsung terjun membuka pengajian tarikat dan
memimpin kegiatan pembimbingan tarikat bagi para penganut tarikat di
wilayahnya. Ulama-ulama pedalaman lebih banyak menyibukkan diri
dengan pengajaran yang berkaitan dengan ajaran syar’iyyah dan
penerapannya dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat57. Tuanku
Nan Tuo sendiri misalnya, tidak satupun sumber menyebutkan bahwa ia
seorang khalifah (pembimbing kegiatan ritual) tarikat tertentu58. Ia lebih
dikenal sebagai seorang yang ‘alim dan memiliki pengetahuan yang
tinggi dalam berbagai disiplin keilmuan Islam, terutama fiqh. Di samping
sebagai ulama yang mempunyai murid-murid yang banyak, ia sering
mengunjungi daerah-daerah tertentu di sekitar Agam dan Lima Puluh
Kota untuk menjalankan misi syari’ahnya. Selain itu, Tuanku Nan Tuo,
juga dikenal sebagai seorang pedagang yang ulet59. Hampir semua ulama
di desa-desa pertanian di wilayah pedalaman, memiliki professi ganda
seperti halnya Tuanku Nan Tuo itu. Mereka, disamping mengajarkan
agama, juga larut dalam segala aktifitas ekonomi masyarakatnya, seperti
perdagangan, pertanian dan sebagainya.
Dari fakta tentang perkembangan Islam di pedalaman Minangkabau
pada abad ke 18 itu dapat dikemukakan bahwa pengembangan sufisme
di wilayah pedalaman ternyata mendapat “pengalaman baru” dibanding
perkembangannya di wilayah pesisir. Pengalaman itu, tentunya, tidak
dapat dilihat hanya karena adanya perbedaan geografis, akan tetapi juga
oleh pengayaan substansi ajaran akibat pertemuannya dengan latar
belakang pengalaman spritual masyarakat pedalaman sendiri yang
berbeda dengan sufisme yang berkembang di pesisir.

57 Sebagaimana telah diterangkan pada bahagian terdahulu bahwa di wilayah Agam, Lima puluh Kota dan juga
Tanah Datar pada umumnya lebih menggemari pengajaran Fiqh. Lihat juga : keterangan yang diberikan
Jalaludin dalam naskah HSJ halaman : 10 ,seperti yang telah dikutip pada bagian lain tulisan ini.
58 Walaupun dia diceritakan pernah belajar dangan salah seorang murid Syekh Burhanuddin.
59 Lihat : Dobbin, op.cit., hal. 149.

26 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Beberapa sumber sering dibingungkan untuk menentukan apakah
Tuanku Nan Tuo penganut Syathariyah atau Naqsyabandiyah, demikian
juga dengan muridnya Jalaluddin di surau Cangking Ampek Angkek60.
Meskipun tidak dijumpai sumber-sumber yang dapat memberi
penjelasan tentang kepada siapa Tuanku Nan Tuo belajar tarikat
Naqsyabadiyah, namun dengan fakta yang disebutkan terdahulu,
agaknya apa yang diasumsikan oleh Azymardi Azra adalah benar, bahwa
pembaharuan agama yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo dan murid-
muridnya pada akhir abad ke-18 adalah representasi dari kombinasi
ajaran-ajaran tarikat yang berkembang di wilayah ini pada waktu itu, dan
karena itu pula ia mendapat tantangan tidak hanya dari kaum adat, tetapi
bahkan juga dari pengikut aliran tashauf sendiri61.
Selain itu, pertemuan “sufisme” dengan latar belakang kultural
masyarakat pedalaman yang lebih “dekat” dengan pusat adat itu sendiri,
tentu juga telah ikut membentuk nuansa yang berbeda terhadap
dinamika sufisme itu sendiri. Pengalaman Tuanku Nan Tuo dan murid-
muridnya dalam memasyarakatkan Syari’at, telah menempatkan ulama
di sini pada posisi yang berhadapan dengan “gengsi” golongan elit
tradisional adat secara frontal. Ketidak sabaran sebagian muridnya yang
agresiflah yang kemudian merubah paradigma pembaruan Tuanku Nan
Tuo yang “bijak” menjadi paradigma yang lebih radikal, bahkan keluar
dari prototipe sebuah gerakan sufisme sendiri.

Gerakan Padri
Gerakan pembaharuan tahap awal yang dilancarkan oleh Tuanku
Nan Tuo dan muridnya Jalaluddin, berkembang ke dalam bentuk lain
setelah bergabungnya tiga orang haji yang baru kembali dari tanah suci
Mekkah pada tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji
Piobang. Jika gerakan sebelumnya lebih memilih cara-cara yang
persuasif, maka sejak waktu ini muncul keinginan dari kalangan murid
Tuanku Nan Tuo untuk menggunakan jalan pintas dengan cara-cara yang
radikal. Gerakan yang muncul kemudian inilah yang dalam sejarah
Minangkabau dikenal sebagai Gerakan Padri.

60 Bahkan van Ronkel demikian juga Dobbin sewaktu menjelaskan perkembangan Syathariyah di wilayah Agam
menyebut bahwa surau Tuanku Nan Tuo sebagai beraliran Syathariyah yang berorientasi Naqsyabandiyah,
lihat : Dobbin, op.cit., halaman : 146
61 lihat : Azyumardi Azra, 1995, op.cit., halaman : 291

27 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Pada mulanya gerakan Tuanku Nan Renceh dan Tiga Haji itu
dilakukan secara lemah lembut seperti yang telah dilakukan oleh
pendahulunya yakni Tuanku Nan Tuo. Akan tetapi sebagian masyarakat
terutama kaum adat menentang keras aksi mereka. Sikap penentangan
yang ditunjukkan oleh elit adat itu sesungguhnya bukan didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan teologies. Sebab, para elit adat itu semuanya
muslim yang dalam hati kecilnya tidak menolak kebenaran-kebenaran
ajaran Islam yang disampaikan oleh Kaum Padri. Penolakan itu
sesungguhnya lebih didasarkan pada persoalan politis yakni
kekhawatiran akan hilangnya pamor dan pengaruh mereka di
masyarakat. Bagi kaum adat ajaran-ajaran Padri dapat merusak tradisi
dan merongrong kekuasaan mereka.
Sikap penentangan yang dilakukan kaum adat dipandang sebagai
ancaman oleh Kaum Padri. Untuk menghadapi ancaman itu Kaum Padri
segera merubah strategi perjuangan mereka. Cara-cara radikal dan tidak
kenal kompromi sekarang menjadi pilihan dalam menjalankan misi
tersebut. Pada gilirannya, sikap keras kaum padri menimbulkan
ketegangan dalam masyarakat Minangkabau yang kemudian menjurus
kepada konflik internal yakni antara yang pendukung dan penentang
Gerakan Padri.
Beberapa keberhasilan diraih oleh Kaum Padri dalam menguasai
nagari-nagari. Ini menandai dimulainya penyusunan pemerintahan
nagari yang bercorak agama dan menitikberatkan pada ajaran Islam
sebagaimana yang dipahami Kaum Padri. Pada setiap nagari yang
dikuasasi Padri diangkat dua orang ulama sebagai kepala dengan
panggilan Tuanku Imam dan Tuanku Kadhi. Penjelasan ini memberi
gambaran bahwa Gerakan Padri sesungguhnya merupakan gerakan elit-
elit agama di Minangkabau yang tidak mendapat tempat dalam otoritas
kekuasaan. Akan tetapi otoritas yang dimaksud hanyalah kekuasaan
untuk memperbaiki masyarakat dengan menjalankan ajaran Islam yang
benar. Dengan kata kata lain, elit agama ingin mengembalikan
peranannya sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang agama, sejajar
dengan kekuasaan penghulu sebagai pemegang pucuk pemerintahan
dalam nagari.

28 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Selain di darek, Gerakan Padri juga muncul di daerah rantau yakni di
Alahan Panjang, Pasaman sebelah Utara Agam. Gerakan Padri di daerah
ini tidak mendapat halangan yang berarti. Bentrokan-bentrokan dengan
kaum adat tidak sehebat seperti di daerah-daerah darek, sebab pengaruh
penghulu di daerah ini tidak sekuat pengaruh penghulu di darek apalagi
pimpinan Paderi di daerah ini juga merupakan petinggi adat. Selain itu,
penyelewengan-penyelewengan terhadap ajaran Islam tidak sehebat di
daerah Darek. Kondisi inilah yang membuat Kaum Padri dengan mudah
dapat mendirikan pusat pemerintahan dan pertahanan di Bonjol. Kaum
Paderi juga tidak mendapat kesulitan yang berarti dalam usahanya
mengembangkan ajaran-ajaran Paderi ke daerah sekelilingnya bahkan
dengan mudah dapat mengislamkan daerah Tapanuli Selatan. Mudahnya
Kaum Padri mensosialisasikan ide-ide pembaharuannya juga didorong
oleh semangat juang mereka yang jauh lebih besar dari Kaum Padri di
daerah-daerah lainnya.
Penyebaran paham-paham Paderi yang dilakukan secara damai
diterima masyarakat Alahan panjang dengan sukarela, Hal ini
merupakan factor penting yang menyebabkan Kaum Padri dapat bertahan
lama di Alahan Panjang dan akhirnya menjadi basis perlawanan terhadap
Belanda beberapa waktu kemudian, terutama saat terjadinya perang
Padri tahun 1821, di saat mana Belanda menunjukkan kolaborasi dengan
kaum adat.

Kesimpulan
a. Islam masuk ke Minangkabau antara abad ke-12 dan 13 M. yang
diperkenalkan oleh muballigh-muballigh dan saudagar-saudagar
Arab yang bermukim di Minangkabau timur, terutama di daerah
aliran sungai yang berhulu ke pusat kerajaan Minangkabau di
pedalaman. Perluasan kerajaan Pasai dan kemudian Samudra Pasai
ke Minangkabau timur sangat berpengaruh bagi intensifnya
penyebaran Islam di wilayah ini dan wilayah Minangkabau lainnya.
b. Proses konversi terhadap Islam berlangsung dengan damai, karena
diperkenalkan melalui pendekatan-pendekatan local genius
masyarakat di lingkungan budaya setempat. Di samping itu
pendekatan awal yang dilakukan para muballigh terhadap pemuka
masyarakat di mana mereka menetap, lebih memberi kemudahan
proses penyebarannya. Dalam proses akulturasi budaya Islam
dengan budaya masyarakat Minangkabau terdapat bukti-bukti yang
menunjukkan terjadinya keberlanjutan budaya asli yang disesuaikan
dengan Islam.

29 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


c. Pengenalan Islam terhadap keluarga kerajaan Pagaruyung
diperkirakan terjadi pada awal abad ke-13, kemudian, barulah pada
akhir abad ke 14 Islam mewarnai sistem kekuasaan di kerajaan ini
dengan terbentuknya struktur Dewan Menteri Basa Ampek Balai.
d. Tidak banyak ditemukan sumber yang menerangkan tentang
perkem-bangan Islam di Minangkabau setelah abad ke-14, hingga
masuknya aliran tashauf untuk pertama kali pada awal abad ke-17,
namun dalam kurun waktu itu terdapat beberapa muballigh
Minangkabau yang menyebarkan Islam ke beberapa daerah di
Nusantara.
e. Peranan golongan sufi pada abad ke-17 terlihat dominan dan lebih
mengintensifkan pemantapan posisi Islam dalam kehidupan
masyarakat dan kebudayaan Minangkabau. Proses ini berlangsung
seiring dengan penguasaan Kerajaan Aceh terhadap wilayah-
wilayah di pesisir barat Minangkabau.
f. Perkembangan aliran tarikat Syathariyah dari pesisir barat ke
wilayah pedalaman Minangkabau telah melahirkan suatu sintesis
baru akibat pertemuannya dengan aliran tarikat Naqsyabandiah
yang telah lebih dahulu mendasari budaya masyarakat setempat.
Sintesis ini dapat dilihat pada akhir abad ke-18, di mana surau-surau
di wilayah Agam memainkan peranan dalam melahirkan gagasan-
gagasan kemasyarakatan yang berdasarkan syar’iyyah. Fenomena
ini dapat dikatakan sebagai gagasan awal pembaharuan Islam di
Minangkabau.
g. Munculnya Gerakan Paderi pada awal abad ke-19, hanyalah salah
satu ekses dari upaya-upaya pembaharuan Islam yang telah
dijalankan sebelumnya. Ekses ini muncul akibat ketidak sabaran
sebagian dari murid surau Tuanku Nan Tuo dalam menghadapi elit
tradisional adat yang mengkhawatirkan berkurangnya pamor
mereka dalam masyarakat. Ketidak sabaran ini lebih dipicu lagi
dengan masuknya pengaruh gerakan Wahabi di Mekkah yang
dibawa oleh tiga orang Haji, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan
Haji Piobang.

Kepustakaan

30 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Abdullah, Taufik, 1971, Schools and Politics : The Kaum Muda Movement in West
Sumatera (1927-1933), Monograph Series , Ithaca, New York : Cornell
Modern Project South East Asia Program Cornell University.
------, 1972, “Modernization in the Minangkabau World: West Sumatera in the
Early Decades of 20th Century” dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics
in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press.

-------,1987, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta : LP3ES.


-------, (ed.), 1987, Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia,
Jakarta : Pustaka Firdaus.
-------, (ed.), 1990, Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
-------, (ed.), 1991, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta : Majlis Ulama ndonesia.
Amran, Rusli, 1981, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta : Sinar
Harapan.
-------, 1985, Sumatera Barat Plakat Panjang, Jakarta : Sinar Harapan.
-------, 1988, Pemberontakan Pajak 1908, Bag.I Perang Kamang, Jakarta : Rusli
Amran.
Asri, Jani, 1993, "Gerakan paderi: Studi tentang gagalnya Pembentukan
Lembaga Politik Islam", Skripsi, Padang: Fakultas Sastra Universitas
Andalas.
Azra, Azyumardi, 1995, Jaringan Ulama, Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia, Bandung : Mizan.
Bachtiar, W, Harsya, 1984, “Negeri Taram: Masyarakat Desa Minangkabau”
dalam Koentjoroningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Benda–Beckmann, Franz von, 2000, Properti dan Kesinambungan Sosial,


Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemeliharaan Hubungan –Hubungan
Properti Sepanjang Masa di Minangkabau, (terjemahan Tim Perwakilan
KITLV, Jakarta bersama Dr. Indira Simbolon), Jakarta : PT Gramedia
Widiasarana Indonesia & Perwakilan Koninklijk Institut voor Taal Land –
en Volkkenkunde.
Benda-Beckmann, Keebet von, 2000, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat,
(terjemahan DR. Indira Simbolon), Jakarta : PT Gramedia Widiasarana &
Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal Land-en Volkenkunde.
Bruinessen, van, Martin, 1992, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung:
Mizan

31 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Bustami, dkk, 1981, Aspek Arkeologi Islam tentang Makam dan Surau Syekh
Burhanuddin Ulakan, Padang : Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat.

Daya, Burhanuddin, 191995, Ferakan Pembaharuan Pemikiran Islam: kasus Sumatera


Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Darusman, 1994, “Syekh Burhanuddin dan Pengembangan Islam di Kuntu
Kampar Kiri Abad XIII”,(skripsi), Padang : Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Fakultas Adab IAIN Iman Bonjol Padang
Dep. P & K, 1982, Sejarah Daerah Riau, Jakarta : Dep. P & K.
Depdikbud RI., 1978, Sejarah Daerah Sumatera Barat, Jakarta : Depdikbud RI.
-------, 1983/1984, Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat, Jakarta : Depdikbud RI.
Depdikbud RI., 1997, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, Jakarta :
Depdikbud RI.
Diradjo, Datoek, Sango, 1919, Kitab Tjoerai Paparan Adat Lembago Alam
Minangkabau, Fort de Kock: Snelpersdrukkerijk Agam.

Dobbin, Christine, 1992, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Petani yang
Sedang Berubah, terj. Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta:INIS.

Faqih Shaghir Alamiyah Tuanku Samia’ Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo,
Hikayat Syekh Jalaluddin.

Frykenberg, “On Study of Conversion Movements : A Review article an a


Theoritical Note”, dalam : The Indian Economic and Sosial History
Review, Vol. XVII No. I January-March 1990.

C. Geertz, 1983, Involasi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta:


Bharata.

Graves, E, Elizabet, 1982, Minangkabau Responce to Ducth Colonial Rule in The


Nineteenth Century, Ithaca, New York:Cornell Universty.

Graves, Elizabeth E., 1981, Minangkabau Responce to Ducth Colonial Rule in The
Nineteenth Century, Ithaca, New York: Cornell University.

Hamka, 1963, “Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Daerah Pesisir


Sumatera Utara”, (makalah), Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia,
Medan.

32 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


-------, 1967, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatera, Jakarta : Djajamurni.
Hardjowardojo, R, Pitono, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh
Nasional dari Abad XVI, Jakarta : Bhratara

Herwandi, 1994, “ Refleksi Proses Akulturasi Budaya Pra-Islam dengan Islam


pada Bangunan Ibadah dan Makam di Minangkabau : Suatu Kajian Sejarah
Kebudayaan”, (makalah), Padang : Fakultas Adab IAIN IB Padang.

------, 1994, “Nisan-Nisan di Situs Mejan Tinggi Desa Talago Gunung, Sumatera
Barat : Kajian tentang Kelanjutan Budaya Tradisi Megalitik ke Tradisi dan
Budaya Islam, (Thesis S2) Jakarta : Universitas Indonesia

Himpunan Prasaran dan Kertas Kerja Seminar Sejarah dan Kebudayaan


Minangkabau, Padang : Pemda Kodya Padang, 1970.

Imam Maulana Abdul Manaf, 1354 H. Muballighul Islam, Riwayat Tiga Orang
Muballigh Islam yang Mengembangkan Agama Islam di Aceh dan Minangkabau
(transliterasi : Irhash A. Shamad), Padang : Museum Negeri
Aditiawarman.

Joustra, M,. 1923, Minangkabau: Overzich van Land, Geischiedenis en Volk s’,
Dravenhagen: Martinus Nijhof.

Kato, Tsuyoshi, 1982, Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Tradition


Indonesia, Ithaca and London: Cornell University Press.

--------, 1985, “Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad


XIX”, dalam Akira Nagazumi, Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang, Jakarta:
Yayasan Obor.

Khatib, Adrianus, 1991, “Kaum Paderi dan Pemikiran Keagamaan di


Minangkabau”, Disertasi , Jakarta; Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah

Kroeskamp, 1931, De Weskusten Minangkabau (1665-1668), Utrecht.

Lathief, Sanusi, 1988, "Gerakan Kaum Tua Minangkabau", Disertasi, Jakarta:


Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.
Manaf, Imam Maulana Abdul , tt. Muballighul Islam, Riwayat Tiga Orang
Muballigh Islam yang Mengembangkan Agama Islam di Aceh dan Minangkabau,

33 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Manggis, Rasjid, 1971, Minangkabau: Sedjarah Ringkas dan Adatnja, Padang: Sri
Dharma.

Mansoer, M.D., dkk., 1970, Sejarah Minangkabau, Jakarata : Bhratara


-------,1979 majalah Kebudayaan Minangkabau No. 8, Oktober 1979.

Martamin, Marjani, dkk., 1978, Sejarah Sumatera Barat, Jakarta : Dept P & K,

Mestika Zed dkk. (1992), Perubahan Sosial di Minangkabau, Implikasi Kelembagaan


dalam Pembangunan Sumatera Barat, Padang : Pusat Studi Pembangunan
dan Perubahan Sosial Budaya Universitas Andalas.
Naim, Mochtar, 1979, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Pers.

Nain, A, Sjafnir, 1988, Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam di


Minangkabau 1784-1832, Padang: Esa.

---------, “Sumpah Satie di Bukit Marapalam : Perpaduan Adat dengan Syarak”,


(makalah), Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas.

Nain, Syafnir Abu, 1991, “Sumpah Satie di Bukit Marapalam : Perpaduan Adat
dengan Syarak”, (makalah), Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas.

Nasroen, M., 1957, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Jakarta: Bulan Bintang.

Navis, A.A. 1984, Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau,
Jakarta : PT. Grafiti Pers.
Panitia Seminar, 1963, Risalah Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia,
Medan : Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia.
Parlindungan, M.O., 1964, Tuanku Rao, Djakarta : Tandjung Pengharapan.
Parve, H.A. Steijn, 1990, "Kaum Padari (Padri) di Padang darat Pulau
Sumatera" , dalam, Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

Radjab, Muhammad, 1955, Perang Padri di Sumatera Barat 1803-1838, Jakarta:


Kemetrian P.P.dan K.

Reid, Anthony, 1992, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jakarta:
Yayasan Obor.

Ronkel, van, S, Ph., "Het Helligdom te Oelakan", dalam TBG , IVI, 1914,

Sango, Datoek, Batoeah, 1956, Tambo Alam Minagkabau, Pajokoemboeh: Limbago.

34 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05


Schrieke, B.J.O, 1973, Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan
Bibliografi, Jakarta : Bhratara.
Stafel, W, F., 1935, “Een Verhandelingen Over Het Onstaan van Het
Minangkabausche Rijk en Adat”, BKI, deel 92, ‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff.

Steenbrink, Karel A.,1984, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
Jakarta : Bulan Bintang.
Syarifuddin, Amir, 1984, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung.

Thomas, Lynn L. and Franz von Benda-Backmann, 1985, Change and Continuity
in Minangkabau : Local, Regional, and Historical Perspectives On West Sumatra,
Athens, Ohio : Ohio University
Yayasan Bhakti Wawasan, 1992, Sumatrera Barat : Profil Propinsi Republik
Indonesia, Jakarta: Yayasan Bhakti Nusantara

Yunus, Mahmud, 1971, Sedjarah Islam di Minangkabau, Djakarta, CV. Al-Hidayah.

-----------, 1983, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung.

Yunus, Umar, 1971, “Kebudayaan Minangkabau” dalam Koentjooingrat,


Manusia dan Kebudayaan, Jakarta:Djambatan.

Yusuf, M., 1995, “Manuskrip dan Akar Sejarah Minangkabau”, (makalah)


Seminar Fakultas Adab IAIN IB Padang.

Zed, Mestika, 1982, "Melayu Kopi Daun di Minangkabau Sumatera Barat: 1847-
1908", Thesis Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.

35 Irhash A. Shamad – Sejarah Islam di Sumatera Barat I / 05

You might also like