You are on page 1of 6

TENTANG CERITA ANAK-ANAK

DAN KARYA SASTRA


SEBAGAI BAHAN AJAR DI SEKOLAH (SD-SLTP-SLA)
SEBUAH PEMBICARAAN PENDAHULUAN
Taufiq Ismail
Indonesia

Setiap kali kita melihat anak-anak didik kita berkelahi massal di jalan-jalan raya, tawuran
lempar melempar batu, berlarian tanpa takut menghambat lalu lintas kendaraan
bermotor, memaksa sopir dan kenek bus kota yang ketakutan mengikuti kehendak
mereka, sehingga begitu sering menjatuhkan korban baik cedera maupun sampai ada
yang tewas selama dua dasawarsa terakhir ini, kita bertanya-tanya pada diri kita apa
gerangan yang mem-buat anak-anak belasan tahun itu bringas dan tak terkendali
begitu? Rasanya tak pernah ada contoh kita berikan kepada anak-anak didik kita itu,
tiada dianjurkan apalagi diajarkan.

Setiap kali kita membaca berita, melihat tayangan layar kaca, menyaksikan dari
dekat atau mengalami sendiri beragam bentuk kekerasan, pembakaran, penjarahan,
sampai perenggutan nyawa manusia dari jumlah kecil sampai sekaligus beratus-ratus
sejak pertengahan 1998 sampai awal 1999 ini, yang sama sekali tak masuk akal bisa
terjadi pada bangsa kita yang pada dasarnya sopan dan ramah, kita bertanya-tanya
pada diri sendiri apa ge-rangan yang membuat keruntuhan nilai-nilai luhur itu sehingga
wajah kita kini sebagai bangsa jadi sangat ganas, buas, bringas dan tak terkendali
begitu? Rasanya tak ada preseden peristiwa di dalam sejarah kita dalam format dan
frekwensi sedemikian.

Berbagai teori mencoba menerangkan fenomena ini.

Sesudah demokrasi dibunuh di tahun 1959, dihidupkan di tahun 1966 dan dibunuh
lagi tak lama kemudian, kita telah mengalami represi dan pemaksaan kehendak selama
39 tahun, hampir 5 windu lamanya. Saudara kandung demokrasi yaitu hukum, tidak
tegak dengan kukuh dan lurus. Karena hukum tak tegak, keadilan mana mungkin bisa
dijalankan. Di atas itu semua, langit akhlak yang semestinya memayungi bangsa telah
rubuh berkeping-keping. Dengan berprosesnya demokratisasi kembali, maka apa yang
terpekap dan terbendung selama ini, pecah dan bagaikan bendungan runtuh tebing, air
bah itu terjun melanda serta menghanyutkan semua.

Ada pula yang berpendapat bahwa penanaman nilai-nilai luhur dalam sistem budaya
(ketertiban, tanggung-jawab, pengendalian diri, optimisme, kerja keras, keberanian
mengubah nasib, tak cepat menyerah, kebersamaan, keimanan dan seterusnya), yang
seyogianya berproses dalam pendidikan di sekolah, di rumah dan di masyarakat,
kemudian diteladankan oleh pendidik, orang tua dan pemuka masyarakat serta dibaca
dalam cerita anak-anak dan karya-karya sastra, ternyata tidak berlangsung seperti yang
diharapkan bersama.

Dari kedua penjelasan di atas, bagian terakhirlah yang langsung berkaitan dengan
tulisan ini.

Cerita anak-anak, termasuk ke dalamnya hikayat dan dongeng, serta karya-karya


sastra merupakan sari dari pengalaman batin bangsa, suka-dukanya, pencapaian dan
kegagalannya, keberanian dan kepengecutannya, kegagahan dan kebopengannya,
kejujuran dan kekhianatannya, serta catatan setia sejarahnya --- semuanya ini
ditemukan dalam bentuk yang estetik, indah, menyentuh perasaan dan memberikan
kearifan hidup bagi pembacanya.

Apabila kekayaan karya-karya itu, yang berbentuk cerita anak-anak, puisi, cerpen,
novel dan drama dibaca, dihayati dan didalami, maka berlangsunglah penghalusan budi,
pengayaan pengalaman dan perluasan wawasan terhadap kehidupan. Pembaca sastra
di umur muda ini menjadi bersimpati pada manusia, toleran terhadap masyarakatnya,
peduli pada makhluk dan alam sekitarnya. Dia menjadi arif dan cinta pada kehidupan,
berempati pada penderitaan manusia, sensitif serta mudah diajak untuk beramal-saleh
pada masyarakat. Dia akan benci pada setiap bentuk kekerasan, tidak akan sudi ikut
serta dalam tindak aniaya, bahkan akan menentang dan memberantasnya.

Salah satu jalan menanamkan nilai-nilai luhur itu adalah melalui bacaan sejak dari
Sekolah Dasar sampai ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan dilanjutkan ke Sekolah
Lanjutan Atas. Pembiasaan membaca yang intensif akan mengantarkan mereka kepada
kecintaan pada bacaan, rasa lekat dan tak mau lepas dari buku yang berkelanjutan
sampai umur dewasa. Pengembangan budaya baca buku dimulai dari cerita anak-anak,
kemudian karya-karya sastra dan dilanjutkan ke buku-buku lain, seperti biografi, agama,
sejarah, ilmu sosial dan eksakta. Kecintaan membaca start dari cerita anak-anak dan
karya sastra, kemudian ditularkan kepada disiplin lainnya.

Membaca dan menulis, seperti saudara kembar yang tak terpisahkan, berjalan
bergandengan tangan. Anak-anak didik itu dilatih membaca dan dibimbing mengarang
dalam porsi yang besar di dalam kurikulum, bila kita betul-betul ingin mereka kelak
ketika dewasa jadi manusia cendekia. Pengajaran teoretis tata bahasa yang
berkelebiban di SLA kita, sudah saatnya dihapuskan. Melalui sesi menulis, penggunaan
tata bahasa dapat diasah sebagus-bagusnya. Tahun-tahun SLA adalah masa membaca-
dan-menulis, membaca-dan-menulis, membaca-dan-menulis.

David McClelland, seorang pakar ilmu jiwa masyarakat pada suatu ketika bertanya-
tanya, mengapa ada negara-negara yang rakyatnya bekerja keras untuk maju, dan
mengapa ada yang tidak. Dia bandingkan antara bangsa Inggris dan Spanyol, yang di
abad ke-16 merupakan dua negara besar dan kaya-raya, tetapi dalam perjalanan
sejarah kemudian Inggris berkembang makin menguat sedangkan Spanyol jadi
melemah. Apa gerangan penyebabnya?

Berbagai kemungkinan sebab dijelajahinya, yang tidak memberikan jawab


memuaskan. Tetapi ternyata dia menemukan jawab dalam dongeng dan cerita anak-
anak yang terdapat di kedua negeri itu.

Dongeng dan cerita anak di Inggris di awal abad ke-16 itu mengandung semacam
'virus' yang menyebabkan pendengar dan pembacanya "terjangkit penyakit", atau lebih
baik "dirangsang semangat" ingin berprestasi, yaitu dalam istilah McClelland the need
for achievement, di kemudian hari dengan istilah n-Ach menjadi sangat terkenal.
Dongeng dan cerita anak di Spanyol justru meninabobokkan, menidurkan pendengar
dan pembacanya, tidak mengandung'virus' itu.
Karena kurang yakin dengan penemuan tersebut, McClelland selanjutnya
melakukan penelitian historis:

Dokumen-dokumen kesusasteraan dari zaman Yunani Kuno seperti puisi, drama,


pidato penguburan, surat yang ditulis oleh para nakhoda kapal, kisah epik dan
sebagainya dipelajari.Karya-karya tersebut dinilai oleh para ahli yang netral, apakah
di dalamnya terdapat semangat n-Ach. Kalau karya-karya tersebut menunjukkan
optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, tidak cepat
menyerah-itu berarti n-Ach-nya dianggap tinggi. Kalau tidak,nilainya dianggap
kurang. Dari data dan hasil penilaian ini ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi
yang sangat tinggi selalu didahului oleh nilai n-Ach yang tinggi dalam karya sastra
yang ada ketika itu.

McClelland juga mengumpulkan 1300 cerita anak-anak dari berbagai negara kurun
masa antara 1925 sampai 1950. Hasil penilaian menunjukkan bahwa cerita anak-anak
yang mengandung nilai n-Ach yang tinggi pada suatu negeri, selalu diikuti oleh adanya
pertumbuhan yang tinggi pada negeri itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.

Karangan ringkas ini merupakan pembicaraan pendahuluan saja dari judul yang
dimintakan Panitia "Penyaduran Karya Sastra/Ilmiah dalam Rangka Penyediaan Bahan
Ajar di Sekolah (SD-SLTP-SLA)", dengan mengajukan beberapa butir pemikiran dasar.
Panitia juga menyebutkan "karya ilmiah", di samping "karya sastra", tetapi bagian "karya
ilmiah" itu tidak saya sentuh sama sekali karena tidak paham. Apabila karya sastra saja
dapat diserap, yang sudah 48 tahun lamanya terlantar, itu sudah sangat baik dan ideal.

Dalam pemilihan dan penyusunan cerita anak-anak, termasuk kedalamnya hikayat


dan dongeng serta karya sastra seperti puisi, cerita pendek, novel, dan drama untuk
digunakan di sekolah-sekolah, di tengah perubahan paradigma besar-besaran di masa
kita kini, alangkah baiknya bila kita pertimbangkan penitikberatan pada nilai-nilai luhur
sebagai acuan awal. Bertolak dari acuan awal itu kita lakukan pemilihan karya-karya
yang tersedia.

Senarai nilai-nilai itu antara lain akan meliputi misalnya kejujuran, penghargaan
pada pengorbanan, ketertiban, tanggung-jawab, pengendalian diri, optimisme,
kerja keras, keberanian mengubah nasib, tak cepat menyerah, kebersamaan,
keimanan, dst.

Untuk menanamkan nilai kejujuran misalnya, dapat dipakai cerita pendek "Kisah di
Kantor Pos" cerita pendek Muhammad Ali, yang menceritakan "orang aneh" yang
mengembalikan uang berlebih karena bukan haknya. Puisi-puisi Toto Sudarto Bachtiar
seperti "Gadis Peminta-minta" dan "Pahlawan Tak Dikenal", merupakan sumber
berharga untuk menekankan empati pada orang bernasib malang secara ekonomis dan
penghargaan pada pengorbanan karena cinta tanah air. Perangsangan pada kerja keras
sekaligus penolakan pada apatisme dapat disampaikan melalui cerpen "Robohnya
Surau Kami" karya Ali Akbar Navis. Baik sekali dipertimbangkan untuk menyigi dan
memilah kembali misalnya kisah-kisah kancil cerdik yang banyak itu, membuang yang
lebih menganjurkan kelicikan dan penipuan serta kemalasan bekerja--begitu pula
dongeng-dongeng lama yang sejenis itu.

Mudah-mudahan tulisan ringkas ini dapat selanjutnya merangsang diskusi yang


lebih implementatif sifatnya dalam majelis kita.
Rujukan:

1. Ismail Marahimin, Pembekalan pada Bengkel Penulis Cerita Anak, (kertas kerja),
1999.

2. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia, 1995. S eminar


Kebahasan Mabim

You might also like