You are on page 1of 31

DRAFT PEDOMAN

ASUHAN ANTENATAL TERINTEGRASI


2009

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 1


DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Pelayanan Antenatal Care Terpadu 2
Definisi 2
Tujuan 2
Manfaat 3
Cara Menggunakan Buku Pedoman 3
Integrasi ANC dan Standar Pelayanan ANC 3
Bentuk Kegiatan 3
Kerangka Kerja 4

BAB II: STANDAR PELAYANAN ANC TERPADU 6


Definisi 6
Latar Belakang 6
Tujuan 6
Struktur 6
Muatan Struktur 7
Penyusunan Standar 7
Sasaran 8
Pemanfaatan 8
BAB III PENGINTEGRASIAN PELAYANAN DALAM ANC
TERPADU
A. Manajemen Pelayanan ANC 10
B. Pelayanan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal 12
C. Pencegahan Sipilis Dari Ibu Ke Anak 15
D. Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK) 17
E. Suplementasi Zat Besi dan Asam Folat 18
F. Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) 20
G. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT) 22
H. Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK 24
BAB IV PENUTUP 26
LAMPIRAN 27

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 2


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini telah terjadi penurunan
yaitu dari 307/100.000 Kelahiran Hidup (KH) pada tahun 2002, turun
menjadi 228/100.000 KH pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Angka ini sudah
mendekati sasaran RPJMN 2004 - 2009 yaitu 226/100.000 KH, dan
diupayakan terus untuk mencapai target pencapaian MDG 102/100.000 KH
pada tahun 2015. Penyebab langsung dari kematian ibu adalah perdarahan
(28%) , hipertensi dalam kehamilan (24%), infeksi (11 %), abortus tidak
aman (5%) dan persalinan lama (5%).
Departemen Kesehatan sebagai sektor yang bertanggung jawab
secara langsung dalam Percepatan Penurunan AKI telah berupaya secara
maksimal dengan beberapa upaya terfokus antara lain : Program
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), Kemitraan
Bidan dan Dukun, PKM PONED, Unit Transfusi Darah di Rumah Sakit
mampu PONEK (UTD RS PONEK) dan pemenuhan Sumber Daya
Kesehatan Ibu. Kesehatan Ibu dan Anak merupakan salah satu prioritas
utama Depkes, dan salah satu indikator utama dalam RPJMN periode 2005 -
2009. Percepatan penurunan AKI dilaksanakan melalui Strategi Making
Pregnancy Safer (MPS).
Cakupan pelayanan asuhan antenatal saat ini sudah cukup baik,
walaupun di beberapa Kabupaten/Kota masih terdapat disparitas. Cakupan
K1 (kunjungan antenatal ke-1) sudah mencapai 92,65% dan K4 (kunjungan
antenatal ke-4) sudah mencapai 86,04% (Laporan Tahunan Dit Binkes Ibu,
2008), tetapi persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) baru mencapai 80,36%.
Sejalan dengan telah tingginya akses pelayanan asuhan antenatal tersebut,
maka kualitas asuhan antenatal juga harus dimantapkan. Ibu hamil perlu
mendapatkan perlindungan secara menyeluruh, baik mengenai kehamilan
dan komplikasi kehamilan, serta intervensi lain yang perlu diberikan selama
proses kehamilan untuk kesehatan/ keselamatan ibu dan bayinya.
Dari data yang ada saat ini prevalensi pada Wanita Usia Subur
(WUS) yang mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK) mencapai 13,60%
(Riskesdas, 2007) sedangkan prevalensi Anemia Gizi pada Ibu Hamil
mencapai 40,1% (SKRT, 2007). Hal ini perlu mendapat perhatian karena
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan janin yang dikandungnya, dan
kemungkinan timbulnya komplikasi kehamilan dan persalinan yang kelak
dapat mengancam nyawa ibu.
Menurut SKRT 2001, persentase ibu hamil yang positif malaria di
Jawa Bali sebesar 0,3%, Sumatera 3,8% dan di kawasan Indonesia Timur
mencapai 3,9%. Namun pada daerah endemis malaria, data Ibu hamil yang
memakai kelambu hanya 29,0% (SDKI, 2007). Hal ini perlu mendapatkan
intervensi khusus mengingat malaria dalam kehamilan merupakan komplikasi
yang berbahaya bagi ibu, janin dan bayinya. Demikian juga tuberkulosis (TB)
dalam kehamilan dapat menimbulkan komplikasi pada ibu dan janinnya, oleh
karenanya pada daerah dengan prevalensi infeksi TB yang tinggi, program
DOTS TB perlu diintegrasikan dalam asuhan antenatal.
Sejak tahun 2000 Indonesia memasuki klasifikasi Epidemi
terkonsentrasi untuk infeksi HIV, bahkan sejak tahun 2006 di Papua dan
Papua Barat sudah memasuki klasifikasi Epidemi umum. Seiring dengan
meningkatnya Cakupan HIV pada perempuan, maka program Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke bayi (PMTCT/ Prevention of Mother to Child HIV
Transmission) merupakan hal yang tidak bisa ditunda lagi kalau kita tidak

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 3


ingin Kehilangan Generasi karena terjangkit HIV. Perlu perhatian khusus
untuk Keppri, Papua, Papua Barat, Bali dan Jawa Barat karena pada daerah
tersebut telah terjadi perubahan metode penularan tertinggi dari Pengguna
Napza Suntik (Penasun) menjadi Heteroseksual. Hal yang hampir sama
mengenai Sifilis, yang mempunyai potensi menimbulkan Sifilis Kongenital.
Apabila terdeteksi dini dan mendapat pengobatan yang tepat, maka
komplikasi dapat dihindari. Oleh karenanya perlu intervensi selama
kehamilan.
Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-107 dari 179 negara pada
tahun 2007 dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development
Index) dimana awalnya lebih disebabkan oleh tingkat kesehatan, utamanya
terhadap stimulasi otak dini janin dan asupan gizi pada ibu hamil. Salah satu
kegiatan yang sedang berkembang pada saat ini dalam peningkatan potensi
sumber daya manusia melalui stimulasi potensi otak janin saat ibu hamil
adalah program Brain Booster, sebagai solusi alternatif untuk mendapatkan
satu generasi yang lebih cerdas – secara teoritis dan merupakan investasi
SDM di masa depan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka pelayanan
asuhan antenatal perlu dilaksanakan secara terpadu dengan program lain
yang terkait. Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi adalah integrasi
asuhan antenatal dengan pelayanan program Gizi, Imunisasi, IMS-HIV-
AIDS, ESK dan Frambusia, TB dan Kusta, Malaria, Kecacingan, dan
Intelegensia dengan pendekatan yang responsif gender untuk
menghilangkan missed opportunity yang ada. Selanjutnya akan menuju
pada pemenuhan hak reproduksi bagi setiap orang khususnya ibu hamil.
Untuk itu perlu adanya perbaikan standar pelayanan asuhan antenatal yang
terpadu, yang mengakomodasi kebijakan, strategi, kegiatan dari program
terkait. Dalam pelaksanaannya perlu dibentuk tim pelayanan Asuhan
Antenatal Terintegrasi, yang dapat memfasilitasi kemitraan antara dokter
spesialis, dokter umum, bidan maupun dukun dengan sistem rujukan yang
jelas, dilengkapi fasilitas pendukung dari masing-masing program guna
mewujudkan Making Pregnancy Safer.
Buku ini disusun untuk pedoman pelayanan Asuhan Antenatal
Terintegrasi, sebagai pendamping buku pelayanan asuhan antenatal yang
telah ada sebelumnya.

B. KEBIJAKAN PELAYANAN ANTENATAL RUTIN

1. Kebijakan Program
Kebijakan Departemen Kesehatan dalam upaya mempercepat
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
pada dasarnya mengacu kepada intervensi strategis “Empat Pilar Safe
Motherhood” yaitu meliputi: Keluarga Berencana, ANC, Persalinan Bersih
dan Aman dan Pelayanan Obstetri Essensial.
Pendekatan pelayanan obsterik dan neonatal kepada setiap ibu hamil
ini sesuai dengan pendekatan Making Pregnancy Safer (MPS), yang
mempunyai 3 (tiga) pesan kunci yaitu : (1) Setiap persalinan ditolong oleh
tenaga kesehatan terlatih; (2) Setiap komplikasi obstetrik dan neonatal
mendapat pelayanan yang adekuat; dan (3) Setiap perempuan dalam
usia subur mempunyai akses pencegahan dan penatalaksanaan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
Dalam pemeriksaan antenatal selain kuantitas (jumlah kunjungan)
perlu diperhatikan pula kualitas pemeriksaannya. Kebijakan program

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 4


pelayanan antenatal menetapkan frekuensi kunjungan antenatal
sebaiknya minimal 4 (empat) kali selama kehamilan, dengan ketentuan
sebagai berikut: (1) Minimal satu kali pada trimester pertama (K1); (2)
Minimal satu kali pada trimester kedua (K2); (3) Minimal dua kali pada
trimester ketiga (K3 dan K4).
Apabila terdapat kelainan atau penyulit kehamilan seperti mual, muntah,
keracunan kehamilan, perdarahan, kelaianan letak dan lain-lain maka
frekuensi pemeriksaan disesuaikan dengan kebutuhan.
Dalam pelaksanaan operasionalnya, dikenal Standar Pelayanan
Antenatal “7T”, yang terdiri atas: 1) Timbang Berat Badan; 2) Ukur
Tekanan Darah; 3) Ukur Tinggi fundus uteri; 4) Pemberian imunisasi TT
(Tetanus Toksoid) lengkap; 5) Pemberian Tablet zat besi, minimal 90 hari
selama kehamilan; 6) Test terhadap Penyakit Menular Seksual, HIV/AIDS
dan malaria; dan 7) Temu wicara/konseling dalam rangka persiapan
rujukan. Pelayanan antenatal ini sebaiknya diberikan oleh tenaga
kesehatan profesional.

2. Kebijakan Teknis
Setiap saat kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau
mengalami penyulit/komplikasi. Oleh karena itu diperlukan pemantauan
kesehatan ibu hamil selama masa kehamilannya. Penatalaksanaan
pelayanan pemeriksaan ibu hamil secara keseluruhan meliputi hal-hal
sebagai berikut: 1) Mengupayakan kehamilan yang sehat; 2) Melakukan
deteksi dini penyulit/komplikasi, melakukan penatalaksanaan awal serta
rujukan bila diperlukan; 3) Persiapan persalinan yang bersih dan aman;
dan 4) Perencanaan antisipatif dan persiapan dini untuk melakukan
rujukan jika terjadi penyulit/komplikasi.
Beberapa kebijakan teknis pelayanan antenatal rutin yang selama ini
dilaksanakan dalam rangka peningkatan cakupan pelayanan antara lain
meliputi:
a. Untuk daerah dengan K1 < 90 % dan atau K4 < 75%.
b. Deteksi dini ibu hamil melalui kegiatan P4K dengan stiker dan buku
KIA, dengan melibatkan kader & perangkat desa.
c. Peningkatan kemampuan penjaringan ibu hamil melalui kegiatan
Kemitraan Bidan dan Dukun.
d. Peningkatan akses ke pelayanan dengan kunjungan rumah.
e. Peningkatan akses ke pelayanan dengan Rumah Tunggu.
Sedangkan untuk peningkatan dari sisi kualitas pelayanan asuhan
antenatal difokuskan agar dapat menyelenggarakan pelayanan antenatal
terintegrasi/ terpadu antara berbagai program/jenis pelayanan yang
selama ini sebenarnya terkait secara langsung dengan peningkatan
status kesehatan dan keselamatan dari ibu hamil.

C. PELAYANAN ASUHAN ANTENATAL TERINTEGRASI


Untuk meningkatkan mutu pelayanan agar tercapai penurunan angka
kematian maternal dan perinatal perlu dilakukan integrasi berbagai program
pelayanan dengan standar minimal pelayanan agar dapat digunakan/
diimplementasikan pada seluruh fasilitas pelayanan asuhan antenatal.
Karena terdapat bukti di banyak negara masih tingginya kematian maternal
dan perinatal diantaranya disebabkan kurangnya mutu asuhan antenatal
yang berkaitan dengan rendahnya pemanfaatan fasilitas pelayanan asuhan
antenatal.
Peningkatan mutu asuhan antenatal akan dapat tercapai apabila
dapat ditetapkan standar pelayanan, sehingga seluruh pihak yang
berkepentingan baik pengambil kebijakan, manajer program di tingkat

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 5


kabupaten/kota dan tingkat di bawahnya, institusi pendidikan, organisasi
profesi, maupun pemberi pelayanan di fasilitas kesehatan akan berusaha
mencapai standar yang telah ditetapkan. Adapun standar dimaksud
mencakup tujuan, persyaratan, pelaksanaan, serta pemantauan dan
penilaian.

Definisi
Integrasi pelayanan asuhan antenatal rutin dengan beberapa program
tambahan lain sesuai prioritas Departemen Kesehatan, yang diperlukan guna
peningkatan kualitas asuhan antenatal

Tujuan
1. Deteksi dan antisipasi dini kelainan/penyakit/gangguan yang mungkin
terjadi dalam kehamilan.
2. Intervensi dan pencegahan kelainan/penyakit/gangguan yang
mungkin dapat mengancam ibu dan atau janin.
3. Standarisasi kegiatan pelayanan asuhan antenatal terintegrasi,
meliputi : tujuan, persyaratan, implementasi serta pemantauan dan
penilaian
4. Mengintegrasikan asuhan antenatal rutin dengan pelayanan
tambahan dalam praktik asuhan antenatal.

Manfaat
1. Menjadi pedoman umum bagi penentu kebijakan di daerah dalam
melaksanakan program pelayanan asuhan antenatal yang terintegrasi.
2. Meningkatkan efektivitas pola kerjasama antar unit atau program yang
akan diintegrasikan dalam model pelayanan asuhan antenatal terintegrasi
di masa mendatang.
3. Meningkatkan efek sinergi dalam rangka mencapai target penurunan
angka kematian ibu dan perinatal melalui berbagai kegiatan intervensi
yang ada dalam model pelayanan asuhan antenatal terintegrasi sesuai
dengan karakteristik kebutuhan dan potensi yang tersedia di daerah atau
fasilitas kesehatan.
4. Menjadi panduan/pedoman bagi pemberi pelayanan dalam melaksanakan
asuhan antenatal terintegrasi.

Bentuk Kegiatan
Secara umum pelayanan asuhan antenatal terintegrasi ini terdiri dari
beberapa bentuk kegiatan antara lain meliputi :

1. Penetapan wilayah/daerah yang akan diprioritaskan untuk peningkatan


kualitas pelayanan antenatal melalui pelayanan asuhan antenatal
terintegrasi. Dasar untuk menetapkan suatu wilayah/daerah yang akan
dipilih/diprioritaskan tersebut minimal harus memenuhi salah satu dari dua
kriteria utama yaitu:
a. Untuk daerah dengan K1 > 90 % dan atau K4 > 75%, dan/atau
b. Spesifik sesuai dengan kebutuhan daerah berdasarkan data
epidemiologis.

2. Penetapan beberapa jenis pelayanan/program terkait yang dianggap


paling mendesak dan/atau layak untuk diintegrasikan dalam asuhan
antenatal yaitu meliputi:
a. Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE)
b. Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika)
c. Pencegahan dan Pengobatan IMS/ISK dalam Kehamilan (PIDK)

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 6


d. Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia
e. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT)
f. Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)
g. Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) dan Kusta
h. Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK)
i. Manajemen Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi

3. Penetapan standarisasi persyaratan untuk pelayanan asuhan antenatal


terintegrasi pada sarana/penyelenggara pelayanan kesehatan terkait
4. Penetapaan standarisasi pelaksanaan pelayanan, pemantauan dan
penilaian.

Cara Menggunakan Buku Pedoman


Buku Pedoman Asuhan Antenatal Terintegrasi merupakan pedoman
pelayanan asuhan antenatal di Indonesia yang dapat diterapkan untuk semua
pasien yang mendapatkan asuhan antenatal dan dapat digunakan pada
semua fasilitas pelayanan yang memberikan pelayanan asuhan antenatal.
Buku pedoman Asuhan Antenatal Terintegrasi tidak terpisahkan
dengan pedoman lain yang telah diterbitkan oleh Departemen Kesehatan
seperti ; Pedoman Pencegahan dan Penanganan Malaria Pada Ibu Hamil
dan Nifas (2009), Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia
(2008), Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi (2005), Modul Pelatihan
Program P2 Kusta bagi UPK (2009), Pedoman Pemberian tablet besi-folat
dan sirup besi bagi petugas (1999) Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Bayi (PMTCT), Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC), Eliminasi
Sifilis Kongenital (ESK), Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika),
Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK).
Untuk institusi (rumah sakit) yang telah memberikan pelayanan
sekunder atau tersier, maka pedoman Asuhan Antenatal Terintegrasi adalah
pedoman minimal asuhan antenatal.

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 7


BAB II
STANDAR PELAYANAN ASUHAN ANTENATAL TERINTEGRASI

DEFINISI
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi adalah seperangkat
rekomendasi tentang penyelenggaraan pelayanan asuhan antenatal pada fasilitas
kesehatan, mulai dari tingkat unit pelayanan antenatal dan jaringannya. Fasilitas
kesehatan pada level yang lebih tinggi juga memerlukan standar pelayanan minimal,
selain standar pelayanan spesialistik dan obstetrik.
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini akan dapat
memberikan pedoman bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan status kesehatan
dan keselamatan ibu dan bayi yang dilahirkan.

LATAR BELAKANG
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa negara-negara dengan angka
kematian maternal, perinatal dan neonatal yang tinggi umumnya memiliki pelayanan
kesehatan yang tidak memadai dan berkualitas rendah, terkait rendahnya utilisasi
pelayanan kesehatan. Untuk itu, perlu adanya suatu standar pelayanan, selain
mekanisme yang dapat mengatasi hambatan pemberian dan penggunaan pelayanan
berkualitas. Bukti-bukti menunjukkan bahwa implementasi pedoman secara benar
dapat meningkatkan proses dan hasil/outcome pelayanan kesehatan. Pengalaman di
beberapa negara menunjukkan bahwa proses penyusunan dan implementasi yang
jelas didukung monitoring dan supervisi yang efektif berdampak pada praktik
pedoman tersebut.

TUJUAN
Tujuan penyusunan Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini
adalah untuk membantu manajer program dan petugas kesehatan dalam
mengembangkan standar untuk skala kabupaten/kota dan tingkatan pelayanan di
bawahnya dengan cara :
1. Mensosialisasikan standar dan proses peningkatan mutu asuhan antenatal di
tingkatan pelayanan kesehatan sebagai sarana untuk meningkatkan
keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
2. Memberikan pelayanan kesehatan yang efektif bagi ibu dan bayi baru lahir.
3. Menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mencapai hasil/outcome
kesehatan yang optimal, dan
4. Meningkatkan kepuasan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir pada tingkat individu, keluarga maupun masyarakat

STRUKTUR
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini terdiri atas beberapa
bagian standar pelayanan untuk :
 Manajemen Pelayanan Asuhan Antenatal
 Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE),
 Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika)
 Pencegahan dan Pengobatan IMS dalam Kehamilan (PIDK)
 Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia
 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT)
 Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 8


 Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) dan Kusta
 Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK)
 Penanggulangan Gangguan Intelegensia pada Kehamilan (PAGIN)

MUATAN STRUKTUR
Dikemas dalam bentuk paket, masing-masing standar disusun secara
mandiri, dilengkapi elemen-elemen yang dibutuhkan untuk implementasinya. Format
ini dimaksudkan untuk memfasilitasi pengguna dengan menyusun langkah-langkah
implementasi sesuai kebutuhan dan ketersediaan sumber daya, dan memungkinkan
adanya pembaruan yang lebih efektif secara periodik sesuai dengan perkembangan
keilmuan, arah kebijakan dan informasi terbaru.
Elemen kunci yang terdapat di semua standar meliputi ;
 Judul; yang mengidentifikasi program.
 Pernyataan standar; yang dibuat berdasarkan pedoman program yang telah
ada.
 Tujuan; yang mengindikasikan tujuan di bidang kesehatan masyarakat yang
ingin dicapai oleh program.
 Persyaratan; berisikan daftar tilik kondisi-kondisi, termasuk fasilitas, yang
perlu dipenuhi guna mengimplementasikan standar.
 Pelaksanaan; yang secara singkat menerangkan kegiatan apa yang
seharusnya dilakukan untuk mengimplementasikan standar tersebut.
 Pemantauan dan Penilaian; yang berisi beberapa indikator penilaian
meliputi unsur input, proses, outcome dan dapat digunakan untuk memantau
ketepatan implementasi standar berikut dampaknya.
 Daftar referensi yang digunakan untuk mengembangkan standar dan daftar
links yang dapat membantu pengguna dalam mengimplementasikan standar

PENYUSUNAN STANDAR
Standar yang terdapat dalam pedoman ini dibatasi hanya untuk penggunaan
pada tingkatan pelayanan asuhan antenatal tertentu yaitu ditingkat unit pelayanan
asuhan antenatal terdepan dan jaringannya. Tiga prinsip utama yang mendasari
pemilihan program pelayanan tersebut adalah :
1. Relevansi terhadap bidang kesehatan masyarakat, misalnya sebagai kausa
utama morbiditas atau mortalitas maternal, fetal, atau neonatal
2. Kemungkinan pengimplementasian pada fasilitas pelayanan antenatal
dengan sumber daya yang tersedia, baik dari perspektif pelayanan kesehatan
maupun komunitas
3. Memperhatikan implikasi pada pembiayaan kesehatan

SASARAN
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini ditujukan kepada :
1. Pengambil kebijakan
2. Manajer Program dan Perencana Kesehatan pada kabupaten/kota dan
tingkatan di bawahnya
3. Institusi pendidikan
4. Organisasi profesi
5. Pemberi pelayanan maternal dan neonatal (digunakan pada semua tingkat
pelayanan, baik untuk perorangan; bidan praktek swasta, dokter praktek
swasta maupun institusi; Unit pelayanan asuhan antenatal, Klinik bersalin,
Rumah sakit.)

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 9


Mengingat adanya perbedaan antar daerah terkait kategori tenaga kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal, serta kemampuan
kader kesehatan, maka pedoman ini lebih menitikberatkan pada keterampilan teknis
petugas dan ketersediaan sumber daya pelayanan yang diperlukan untuk
memastikan bahwa kondisi kesehatan maternal dan neonatal dapat diidentifikasi,
dicegah dan dikelola. Tenaga-tenaga dengan keterampilan dasar kebidanan untuk
pelayanan antenatal dimaksud (misalnya bidan, dokter dan perawat) dapat berpraktik
di rumah sakit, klinik, unit kesehatan, di rumah atau di tempat pelayanan kesehatan
lain. Tenaga kesehatan tersebut harus terdaftar dan atau secara legal memiliki izin
praktik.
Namun demikian perlu dipertimbangkan bahwa sejumlah ibu dan bayi
mungkin membutuhkan pelayanan spesialistik yang tidak tercakup dalam standar ini,
yang dapat dirujuk sesuai pedoman sistim rujukan pelayanan yang ada.

PEMANFAATAN
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini dimaksudkan untuk
menjadi standar yang dapat diadaptasi dan diimplementasikan sesuai kebutuhan,
pembiayaan dan kapasitas sistem kesehatan di berbagai daerah. Standar ini dapat
digunakan tersendiri atau dalam rangkaian pelayanan antenatal, karena masing-
masing terhubung untuk memudahkan penggunaan.
Standar ini dapat digunakan pada tingkatan kabupaten/kota dan tingkatan di
bawahnya dalam rangka menyusun atau memperbarui pelayanan yang ada saat ini.
Idealnya, semua standar ini dapat dilakukan guna memastikan pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal berkualitas.
Standar ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan pedoman lebih
lanjut seperti merancang kurikulum pelatihan bagi tenaga terlatih dan pemberi
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Juga dapat digunakan untuk proses
adaptasi pedoman praktis lainnya dari pelayanan maternal dan neonatal di tingkat
nasional, regional dan lokal.
Pada tingkat unit pelayanan antenatal dan jaringannya, standar ini dapat
merepresentasikan suatu alat yang bermanfaat untuk memfasilitasi pendekatan
sistematis dalam mengevaluasi dan meningkatkan pelayanan kesehatan maternal
dan neonatal oleh petugas kesehatan. Standar ini juga dapat menjadi sarana untuk
mensosialisasikan audit klinik yang merupakan penilaian sistematis terhadap kualitas
pelayanan berdasarkan standar pelayanan yang telah disepakati bersama, dan
difokuskan pada proses peningkatan mutu yang lebih luas dalam asuhan antenatal di
tingkat unit pelayanan Asuhan Antenatal dan jaringannya.
Proses penetapan standar, penggunaan standar untuk pemantauan dan
penilaian serta implementasi perubahan yang telah disepakati akan memberikan
kontribusi dalam meningkatkan kinerja dan praktik klinik di unit pelayanan asuhan
antenatal. Standar pelayanan ini diharapkan membantu mendorong kesadaran
petugas kesehatan tentang mutu pelayanan serta peran mereka dalam memastikan
praktik terbaik dalam asuhan antenatal di masyarakat.
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini akan diperbarui sejalan
dengan bertambahnya pengalaman dan bukti-bukti ilmiah dan akan dimodifikasi
guna mendukung implementasi pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang
lebih baik.

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 10


BAB III
PENGINTEGRASIAN PELAYANAN DALAM ASUHAN ANTENATAL

Beberapa program/jenis pelayanan yang saat ini dianggap paling siap untuk
dilakukan pengintegrasiannya sesuai prioritas Departemen Kesehatan dalam bentuk
Asuhan Antenatal Terintegrasi antara lain meliputi:
j. Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE)
k. Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika)
l. Pencegahan dan Pengobatan IMS/ISK dalam Kehamilan (PIDK)
m. Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia
n. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT)
o. Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)
p. Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) dan Kusta
q. Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK)
r. Manajemen Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi

Peningkatan cakupan kunjungan antenatal yang telah berhasil dilakukan


akhir-akhir ini perlu diimbangi dengan peningkatan mutu pelayanan secara terus
menerus. Melalui pendekatan pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi diharapkan
peningkatan kualitas asuhan antenatal secara bertahap dapat tercapai. Berikut ini
akan dijelaskan lebih rinci pengintegrasian berbagai kegiatan/jenis pelayanan dalam
pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi.

A. MATERNAL NEONATAL TETANUS ELIMINATION (MNTE)

STANDAR:
Semua wanita yang melahirkan dan bayi yang dilahirkannya harus terlindung dari
Tetanus

TUJUAN:
Mencegah Tetanus Maternal dan Neonatal (MNT)

PERSYARATAN:
1. Terdapat perencanaan, strategi, kebijakan, dan pedoman nasional maupun lokal
terkait MNTE pada tempat pelayanan asuhan antenatal .
2. Di daerah yang tergolong risiko tinggi MNT, perlu perencanaan dan strategi
implementasi dengan “pendekatan risiko tinggi”, termasuk imunisasi pada Wanita
Usia Subur (WUS).
3. Tersedia Standard Operating Procedure (SOP) penilaian mutu vaksin, jadwal
imunisasi dan pemberian imunisasi
4. Semua anggota tim antenatal di tempat pelayanan asuhan antenatal telah dilatih
untuk melakukan penapisan status imunisasi, memberikan imunisasi Tetanus
dan mengelola pelayanan imunisasi TT
5. Di tempat pelayanan asuhan antenatal , tersedia vaksin dan logistik (refrigerator,
ADS (Auto Disable Syringe) dll) yang dibutuhkan untuk pelaksanaan imunisasi
Tetanus
6. tempat pelayanan asuhan antenatal yang dapat melayani imunisasi Tetanus
mudah diakses oleh ibu hamil
7. Terdapat sistem monitoring dan evaluasi imunisasi Tetanus yang efektif,
termasuk register imunisasi, kartu imunisasi pribadi dan buku KIA.
8. MNT dimasukkan dalam sistem surveilans nasional
9. Tersedia informasi tentang sistem pelayanan rujukan dan tempat pelayanan yang
menjadi rujukan pada kasus MNT

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 11


PELAKSANAAN:
Tim asuhan antenatal di tempat pelayanan asuhan antenatal, secara khusus, harus :
1. Sebelum pemberian vaksin, periksa tgl kadaluwarsa dan VVM (vial-vaccine-
monitoring)
2. Vaksin yang sebelumnya telah membeku tidak boleh diberikan.
3. Pada pelayanan antenatal, periksalah status imunisasi ibu hamil melalui
penapisan (dengan anamnesis atau memeriksa kartu), sebagaimana ditunjukkan
dalam tabel 1.
- Jika ibu hamil sebelumnya (di masa lampau) telah mendapatkan 1-4 dosis TT
di masa lampau, berikan satu dosis TT sesuai dengan selang waktu
pemberian minimal (sehingga total perlindungan sejumlah 5 dosis sepanjang
masa suburnya)

Tabel 1. Cara Penapisan Imunisasi TT pada WUS dan ibu hamil

Pemberian Kapan diberikan Lama proteksi yang


immunisasi (Selang Waktu Pemberian Minimal) diharapkan
T1 -
T2 Minimal 4 minggu setelah T1 1-3 tahun
T3 Minimal 6 bulan setelah T2 Minimal 5 tahun
T4 Minimal setahun setelah T3 Minimal 10 tahun
T5 Minimal satu tahun setelah T4 Minimal 25 th

Jika ibu hamil dapat menunjukkan bukti tertulis vaksinasi saat bayi dan usia sekolah
dengan vaksin yang mengandung Tetanus (misalnya DPT, DT, Td atau TT) berikan
dosis sesuai Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Pedoman imunisasi TT bagi ibu hamil yang telah diimunisasi saat bayi,
atau anak usia sekolah

Usia saat Imunisasi Imunisasi yang dianjurkan


vaksinasi terakhir sebelumnya Pada kunjungan Kemudian
(berdasarkan ini/pada kehamilan (dengan interval
rekaman tertulis) minimal
setahun)
Bayi 3 DPT 2 dosis TT/Td (minimal 1 dosis TT/Td
interval 4 mgg antara
kedua dosis)
Anak Usia Sekolah 1 DT + 2 TT/Td 3 dosis TT/Td

4. Rekam/catat dosis yang telah diberikan pada register standar imunisasi TT, kartu
imunisasi pribadi, dan buku KIA. Kartu imunisasi pribadi dan buku KIA harus
disimpan oleh yang bersangkutan.
5. Bila teridentifikasi suatu kasus Tetanus Neonatal (TN), berikan ibu satu dosis TT
secepatnya dan rawat bayinya sesuai pedoman nasional. Dosis selanjutnya
diberikan sesuai dengan waktu pemberian minimal.
6. Rekam/catat semua kasus MNT dan laporkan pada yang berwenang. Semua
kasus MNT yang berasal dari daerah berisiko rendah harus diselidiki lebih lanjut.
7. Rekam/catat dan laporkan semua kasus Tetanus dari kelompok umur lain secara
terpisah.
8. Penyuluhan kesehatan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang
perlunya dilaksanakan imunisasi Tetanus.

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN:

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 12


Indikator Input:
1. Terdapat dokumen perencanaan, strategi dan kebijakan nasional maupun lokal
terkait MNTE pada tempat pelayanan asuhan antenatal .
2. Tersedia dokumen perencanaan dan strategi implementasi dengan “pendekatan
risiko tinggi”, termasuk immunisasi pada Wanita Usia Subur (WUS) di daerah
yang tergolong risiko tinggi MNT
3. Tersedia dokumen SOP penilaian mutu vaksin, jadwal imunisasi dan pemberian
imunisasi
4. Semua anggota tim asuhan antenatal telah dilatih untuk melakukan penapisan
status imunisasi Tetanus, memberikan imunisasi Tetanus, dan mengelola
pelayanan imunisasi TT di tempat pelayanan asuhan antenatal
5. Di tempat pelayanan asuhan antenatal , tersedia vaksin dan logistik yang
dibutuhkan untuk pelaksanaan imunisasi Tetanus
6. Tersedia dokumen perencanaan monitoring dan evaluasi imunisasi Tetanus
7. Tersedia register imunisasi, kartu vaksinasi pribadi, dan buku KIA
8. Terdapat sistem surveilans nasional MNT dan formulir pelaporan untuk
surveilans MNT
9. Tersedia bagan alur informasi pelayanan rujukan pada kasus MNT dan daftar
tempat pelayanan yang dapat menjadi rujukan kasus MNT
10. Tersedia catatan inventaris vaksin Tetanus
11. Terdapatnya rencana kegiatan penyuluhan kesehatan berbasis komunitas serta
outreach dalam rangka meningkatkan cakupan imunisasi Tetanus

Indikator Proses dan Output:


1. Cakupan pelayanan antenatal yang memiliki vaksin dan logistik yang dibutuhkan
untuk imunisasi Tetanus.
2. Jumlah dan sebaran pelayanan antenatal yang dapat memberikan pelayanan
imunisasi Tetanus
3. Semua ibu hamil dapat teridentifikasi status imunisasi Tetanusnya
4. Cakupan ibu hamil yang diimunisasi, setidaknya dua dosis tetanus toxoid (TT
2+) atau Cakupan neonatus yang “terlindungi saat lahir”
5. Setiap Ibu hamil memiliki kartu imunisasi pribadi dan Buku KIA
6. Kelengkapan dan ketepatan waktu laporan kasus MNT
7. Cakupan Kasus MNT yang ditangani sesuai pedoman nasional
8. Jumlah kegiatan penyuluhan berbasis komunitas terkait imunisasi tetanus yang
telah dilakukan

Indikator Outcome:
1. Insidensi Tetanus Neonatal (targetnya adalah kurang dari 1 kasus per seribu
kelahiran hidup pada tingkat kabupaten)
2. Insidensi Tetanus Maternal
3. Tersedia analisis hasil pelayanan MNTE yang telah ada dan tindak lanjutnya
REFERENSI:
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi, Jakarta, Jakarta, 2005.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Tenaga
Kesehatan Imunisasi Tetanus Toxoid Dalam Rangka Akselerasi Eliminasi
Tetanus Maternal Dan Neonatal ( MNTE), Jakarta, 2003.
3. World Health Organization Department of Making Pregnancy
Safer, Integrated Management of Pregnancy and Childbirth: Standards For
Maternal and Neonatal Care, Geneva, 2007

B. ANTISIPASI DEFISIENSI GIZI DALAM KEHAMILAN (ANDIKA)

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 13


STANDAR:
Semua ibu hamil mendapatkan pelayanan dan konseling gizi pada setiap kunjungan
antenatal.

TUJUAN:
Mencegah dan menangani masalah gangguan gizi selama masa kehamilan agar
menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal, serta ibu yang
sehat

PERSYARATAN:
1. Terdapat perencanaan, strategi dan kebijakan nasional maupun lokal dalam
penanganan masalah gizi pada ibu hamil
2. Ketersediaan pedoman tentang penanggulangan masalah gizi (KEK, Anemia,
KVA) dan konseling, alat peraga penyuluhan/konseling gizi (seperti food-model,
kit konseling menyusui), pemeriksaan laboratorium (Hb), pita LILA, suplementasi
tablet besi.
3. Ketersediaan pemberi pelayanan gizi yang berkompeten
4. Ketersediaan informasi tentang sistem dan tempat rujukan pelayanan gizi
oleh ahli gizi (tenaga gizi)

PELAKSANAAN:
1. Semua ibu hamil mendapatkan penyuluhan/konseling gizi, termasuk
konseling menyusui
2. Semua ibu hamil mendapatkan suplementasi tablet besi 1 tablet perhari
selama hamil sampai dengan masa nifas (minimal untuk 90 hari), termasuk
konsumsi tablet besi mandiri. Pemberian dilakukan pada waktu pertama kali ibu
hamil memeriksakan kehamilannya (K1).
3. Semua ibu hamil diperiksa status gizi dengan pita LILA pada kunjungan
pertama antenatal. Ibu hamil dengan KEK dirujuk ke fasilitas pelayanan gizi
(petugas gizi).
4. Semua ibu hamil diperiksa kadar Hb pada kunjungan pertama antenatal. Ibu
hamil dengan anemia dirujuk ke fasilitas pelayanan gizi (petugas gizi).
1. Semua ibu hamil dengan anemia dan KEK berat dirujuk ke pelayanan
kesehatan rujukan

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN:

Indikator Input:
1. Tersedia dokumen perencanaan, strategi dan kebijakan nasional maupun
lokal dalam penanganan masalah gizi pada ibu hamil
2. Tersedia fasilitas pelayanan gizi yang mencukupi; pedoman-pedoman, alat
peraga penyuluhan/konseling (seperti food model, kit konseling menyusui),
pemeriksaan laboratorium untuk Hb, pita LILA, dan tablet besi.
3. Tersedia petugas yang berkompeten dalam pelayanan gizi
4. Tersedia bagan alur informasi pelayanan rujukan dan daftar tempat rujukan
pelayanan gizi oleh ahli gizi

Indikator Proses:
1. Cakupan ibu hamil yang mendapat penyuluhan/konseling gizi
2. Cakupan ibu hamil yang mendapat tablet besi minimal 90 hari
3. Cakupan ibu hamil yang menderita KEK
4. Cakupan ibu hamil yang menderita anemia
5. Cakupan ibu hamil dengan anemia dan atau KEK berat yang dirujuk dan
mendapat pelayanan gizi

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 14


Indikator Outcome:
1. Kematian ibu yang terkait dengan anemi dan atau KEK berat
2. Komplikasi ibu yang terkait dengan anemi dan atau KEK berat
3. Kematian perinatal yang terkait dengan anemi dan atau KEK berat selama
kehamilan

REFERENSI:
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pemberian Tablet
Besi-Folat dan Sirup Besi Bagi Petugas, Jakarta, 1999.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penggunaan Alat
Ukur Lingkar Lengan Atas (LILA) pada wanita usia subur, Jakarta, 1995.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Praktis Terapi Gizi
Medis, Jakarta, 2006.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, UNICEF, HKI, MI, Apa dan
mengapa tentang Vitamin A, Jakarta, 2008.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Buku Kesehatan Ibu dan Anak,
Jakarta, 2009.

C. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN IMS/ISK DALAM KEHAMILAN (PIDK)

STANDAR:
Semua ibu hamil pada setiap kunjungan antenatal mendapatkan informasi dan
penapisan Infeksi Menular Seksual (IMS)/Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), serta
diberi pengobatan dan rujukan yang tepat dan efektif bagi ibu hamil dan
pasangannya.

TUJUAN:
Menurunkan morbiditas, mortalitas maternal dan infertilitas yang disebabkan oleh
IMS dan ISR, serta menurunkan morbiditas dan mortalitas pada bayi/anak.

PERSYARATAN:
1. Terdapat perencanaan, strategi dan Kebijakan nasional maupun lokal tentang
pedoman pencegahan dan pengelolaan IMS/ISR tersedia
2. Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten untuk
memberikan informasi tentang IMS dan ISR, serta mampu mendiagnosis dan
mengobati infeksi tersebut.
3. Seluruh perlengkapan, supplai dan obat-obatan yang dibutuhkan guna
mendiagnosis, mengelola serta (konseling) tentang IMS/ISR tersedia di semua
tempat pelayanan asuhan antenatal .
4. Pelayanan kesehatan IMS/ISR haruslah terjangkau (accessible and
affordable) bagi semua ibu hamil dan pasangannya.
5. Terdapat mekanisme pencatatan hasil pemeriksaan dan pengobatan
IMS/ISR.
6. Tersedia informasi tentang sistem dan tempat rujukan kasus IMS/ISR

PELAKSANAAN:
Tim Asuhan Antenatal Terintegrasi haruslah :
1. Semua ibu hamil yang datang memeriksakan diri selama masa kehamilan,
persalinan dan nifas harus diberikan informasi yang tepat mengenai identifikasi
dan pengendalian IMS/ISR.

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 15


2. Dengan cara simpatik menanyakan kepada semua ibu hamil pada setiap
kunjungan, menjelang persalinan dan kunjungan pasca persalinan, adanya
keluhan yang mengindikasikan adanya suatu IMS/ISR.
3. Bilamana ibu mempunyai keluhan yang menandakan IMS/ISR (misalnya
adanya duh tubuh vagina abnormal, ulkus, nyeri perut bagian bawah, dll)
periksalah untuk menemukan gejala dan tanda ISR, termasuk pemeriksaan
vagina dengan menggunakan spekulum.
4. Berikan pengobatan bagi ibu, pasangannya, dan bayinya sesuai hasil temuan
kasus IMS/ISR, hasil tes sifilis on site dan pemeriksaan bayi, dan rujuklah bila
fasilitas yang dibutuhkan tidak tersedia di tingkat pelayanan asuhan antenatal.
5. Diskusikan dengan ibu pentingnya pengobatan itu baginya, bagi
pasangannya, dan bayi mereka, jelaskan konsekuensi yang timbul bila tidak
segera mendapat pengobatan, dan pentingnya penggunaan kondom selama
pengobatan.
6. Berikan informasi tentang pencegahan primer IMS, penggunaan kondom,
gejala dan tanda IMS, konsekuensi bagi ibu dan bayinya bila tidak mendapat
pengobatan, saran untuk pencegahan terhadap HIV serta saran untuk
melakukan VCT.
7. Menyiapkan perawatan lanjutan atau rujukan bagi ibu, bayi dan
pasangannya, bila timbul komplikasi atau kegagalan pengobatan.
8. Rekam diagnosis dan pengobatan yang diberikan dalam buku kohort atau
buku KIA ibu.
9. Pelaksanaan kegiatan pendidikan/ penyuluhan kesehatan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pencegahan dan pengelolaan IMS
dan ISR.

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN:

Indikator Input:
1. Tersedia dokumen perencanaan, strategi, kebijakan, pedoman nasional
maupun lokal tentang pengendalian IMS/ISR
2. Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten untuk
memberikan informasi tentang IMS/ISR, serta mampu mendiagnosis dan
mengobati infeksi tersebut
3. Tersedia fasilitas untuk pemeriksaan dan pengelolaan IMS/ISR pada tempat
pelayanan asuhan antenatal .
4. Tersedia dokumen SOP mekanisme pencatatan dan pelaporan IMS/ISR
5. Tersedia bagan alur informasi rujukan dan daftar tempat rujukan kasus
IMS/ISR

Indikator Proses dan Output:


1. Jumlah dan sebaran tempat pelayanan asuhan antenatal yang melayani
diagnosis dan pengobatan IMS/ISR pada tingkatan pelayanan primer.
2. Jumlah kasus IMS yang teridentifikasi dan diobati dengan benar
(berdasarkan laporan bulanan dan pencatatan pada unit pelayanan antenatal,
kebidanan dan pasca persalinan)
3. Jumlah neonatal yang diobati akibat komplikasi IMS

Indikator Outcome:
1. Prevalensi Gonorrhoea dan Infeksi Chlamydia pada kehamilan
2. Morbiditas pada neonatal dan gejala sisa / sekuel yang diakibatkan IMS
(misalnya Opthalmia)
3. Pengetahuan dan kesadaran ibu dan keluarganya tentang IMS, gejala, tanda,
pengobatannya dan perlunya pengobatan bagi pasangan.

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 16


REFERENSI:
1. World Health Organization, Department of Making Pregnancy Safer,
Integrated Management of Pregnancy and Childbirth: Standards For Maternal
and Neonatal Care, Geneva, 2007.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Dasar Infeksi Menular
Seksual Dan Saluran Reproduksi Lainnya pada Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Terpadu, Jakarta, 2008.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ditjen. Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular
Seksual, Jakarta, 2006.

D. ELIMINASI SIFILIS KONGENITAL (ESK) DAN FRAMBUSIA

STANDAR:
Semua ibu hamil yang melakukan kunjungan antenatal harus mendapatkan layanan
penapisan sifilis dan atau penapisan frambusia serta diberi pengobatan dan rujukan
yang tepat dan efektif bagi ibu hamil dan pasangannya.

TUJUAN:
Menurunkan mortalitas dan morbiditas ibu dan atau bayi akibat sifilis dan frambusia

PERSYARATAN:
1. Tersedia perencanaan, strategi, kebijakan dan pedoman nasional dan lokal
tentang pencegahan, penapisan dan pengelolaan ibu hamil dengan sifilis dan
atau frambusia.
2. Tersedia informasi tentang manfaat penapisan sifilis dan risiko sifilis jika tidak
diobati pada ibu hamil.
3. Tersedia fasilitas untuk penapisan sifilis, atau fasilitas untuk pengambilan dan
pengiriman specimen untuk penapisan sifilis pada tempat pelayanan asuhan
antenatal dengan fasilitas terbatas.
4. Semua wanita hamil mempunyai akses untuk melakukan/dilakukan
penapisan terhadap sifilis.
5. Tersedia tenaga pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten didalam
pencegahan sifilis, penapisan selama kehamilan, tindakan pada wanita yang
positif sifilis dengan pasangannya, perlindungan dan perawatan pada bayi baru
lahir, konseling pencegahan sifilis, dan bagaimana mencegah reinfeksi selama
kehamilan dengan mempromosikan kondom.
6. Tersedianya metode dan logistik penapisan dengan RPR, VDRL, atau Rapid
Test di pelayanan antenatal.
7. Logistik untuk tes tersedia baik di tempat pelayanan asuhan antenatal
maupun di tingkat laboratorium.
8. Pusat laboratorium dan fasilitas kesehatan menjamin kualitas uji laboratorium
9. Benzatine Penicilin tersedia di tempat pelayanan asuhan antenatal ,
pelayanan maternal dan klinik pasca persalinan.
10. Tersedia sistem monitoring layanan sifilis yang efektif
11. Tersedia materi pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran
individu, keluarga dan komunitas tentang pentingnya mendatangi klinik antenatal
lebih awal untuk pencegahan sifilis dan perawatannya.
12. Tersedianya buku saku atau leaflet yang berisi foto klinis penderita frambusia.
13. Tersedianya informasi tentang sistem rujukan dan tempat pelayanan yang
menjadi rujukan kasus sifilis dan atau frambusia.

PELAKSANAAN:

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 17


1. Penapisan semua ibu hamil dengan sifilis on site dengan metode uji cepat
(rapid test) pada kunjungan antenatal yang pertama. penapisan harus dikerjakan
sedini mungkin (lebih baik sebelum 16 minggu dari kehamilan) untuk mencegah
infeksi kongenital. Pada kunjungan ulang, ibu yang dengan beberapa alasan
tidak dapat menunjukkan hasil tes sifilis harus di tes kembali.
2. Apabila hasil rapid test pertama positif, dilakukan pengobatan dan diberi
informasi tentang perlunya pemeriksaan terhadap infeksi HIV. Satu minggu
kemudian pasien dirujuk untuk pemantauan dan penatalaksanaan lebih lanjut.
Apabila hasil rapid test pertama negatif, maka akan dilakukan pemeriksaan ulang
pada trimester ketiga.
3. Review hasil uji sifilis pada saat kunjungan dan saat persalinan. Jika ibu
belum dites pada saat kehamilan, tes sifilis seharusnya ditawarkan setelah
persalinan.
4. Semua ibu hamil yang seropositif diberikan Benzathine benzylpenicilin, dosis
2,4 juta unit intramuskuler sebagai dosis tunggal, kecuali alergi penicilin. Pada
kasus alergi penisilin, ibu hamil harus dirujuk pada pelayanan lebih tinggi.
5. Pada ibu yang positif, dilakukan konseling bahwa pasangannya juga harus di
tes dan diberi tindakan dengan regimen yang sama, segera setelah kelahiran.
6. Semua ibu hamil dengan dengan riwayat kehamilan yang buruk, seperti
abortus, lahir mati, bayi terinfeksi sifilis harus di tes dan diberikan perawatan
yang sesuai.
7. Semua ibu hamil yang memiliki gejala klinis atau riwayat terpapar dengan
orang yang terkena sifilis harus mendapatkan perawatan.
8. Semua ibu hamil yang terinfeksi sifilis dilakukan penapisan untuk IMS lainnya
serta konseling dan perawatan yang sesuai.
9. Semua ibu hamil yang positif sifilis dianjurkan untuk konseling VCT .
10. Buat perencanaan untuk perawatan bayi sejak saat kelahiran.
11. Rekam hasil tes dan perawatan di buku KIA.
12. Lakukan pemeriksaan inspeksi kulit pasien untuk mencari kemungkinan
adanya frambusia pada semua ibu hamil di daerah endemis (dan pada daerah
non-endemis jika hasil tes serologis sifilis positif)
13. Dilakukan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran individu,
keluarga dan komunitas tentang pentingnya mendatangi klinik antenatal lebih
awal untuk pencegahan sifilis dan perawatannya.

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN:

Indikator Input:
1. Tersedia dokumen perencanaan, strategi, kebijakan dan pedoman nasional
dan lokal tentang pencegahan, penapisan dan pengelolaan ibu hamil dengan
sifilis dan atau frambusia.
2. Tersedia media informasi tentang manfaat penapisan sifilis dan risiko sifilis
jika tidak diobati pada ibu hamil
3. Tersedia tenaga pemberi pelayanan kesehatan yang telah dilatih tentang
pencegahan sifilis, penapisan selama kehamilan, tindakan pada wanita yang
positif sifilis dengan pasangannya, perlindungan dan perawatan pada bayi baru
lahir, konseling pencegahan sifilis, dan bagaimana mencegah reinfeksi selama
kehamilan dengan mempromosikan kondom.
4. Ketersediaan uji penapisan untuk sifilis pada fasilitas kesehatan primer,
minimal rapid test, RPR atau VDRL.
5. Terdapat dokumen SOP tentang penggunaan dan cara melakukan Rapid
test, tes RPR dan atau VDRL yang tersedia di fasilitas kesehatan.
6. Terdapat dokumen SOP untuk penjaminan kualitas uji lab. Dan fasilitas
kesehatan

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 18


7. Ketersediaan Benzathyne Penicilin pada tempat pelayanan asuhan
antenatal .
8. Tersedia dokumen SOP sistem monitoring layanan sifilis yang efektif
9. Tersedia dokumen materi pendidikan kesehatan untuk meningkatkan
kesadaran individu, keluarga dan komunitas tentang pentingnya mendatangi
klinik antenatal lebih awal untuk pencegahan sifilis dan perawatannya.
10. Tersedianya buku saku atau leaflet yang berisi foto klinis penderita frambusia.
11. Tersedia bagan alur informasi tentang pelayanan rujukan bagi sifilis dan
frambusia serta daftar tempat pelayanan yang menjadi rujukan.
12. Tersedia media informasi tentang perawatan bayi lahir bagi ibu hamil yang
positif sifilis.

Indikator Proses dan Output:


1. Jumlah dan sebaran tempat pelayanan asuhan antenatal yang dapat
melayani penapisan sifilis
2. Cakupan tes RPR ( atau lainnya) pada ibu hamil selama antenatal.
3. Cakupan perawatan sifilis di klinik antenatal.
4. Cakupan tes pada pasangan dan perawatan yang sesuai.
5. Cakupan ibu hamil yang di penapisan klinis frambusia.
6. Cakupan VCT pada ibu hamil yang positif sifilis

Indikator Outcome:
1. Insidensi kelainan kongenital akibat sifilis.
2. Angka kesakitan dan kematian perinatal dan neonatal dengan riwayat
kehamilan positif sifilis.
3. Angka kejadian frambusia pada ibu hamil.

REFERENSI:
1. World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer,
Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For Maternal
and Neonatal Care, Geneva, 2007.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Infeksi Menular
Seksual dan Saluran Reproduksi Lainnya pada Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Terpadu, Jakarta, 2008.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ditjen. Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular
Seksual, Jakarta, 2006.

E. PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE BAYI (PMTCT)

STANDAR:
Semua ibu hamil mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS, akses untuk
mendapatkan layanan VCT (Voluntery Counseling and Test), profilaksis ART, dan
layanan rujukan.

TUJUAN:
Mencegah penularan HIV dari ibu dengan HIV ke bayi dan mengurangi dampak
epidemi HIV terhadap ibu dan bayi.

PERSYARATAN:
1. Tersedia kebijakan nasional maupun lokal tentang HIV-AIDS dan PMTCT,
termasuk buku pedoman (manual) pelayanan HIV pada ibu hamil.
2. Adanya kebijakan dan dukungan dari pemerintah daerah dan institusi pelayanan
kesehatan untuk mendukung dan memberikan pelayanan HIV pada ibu hamil.

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 19


3. Terdapat pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten serta mempunyai
pengetahuan dan ketrampilan untuk memberikan dorongan pada ibu hamil dan
suaminya untuk mengetahui status HIV dengan datang ke klinik VCT terdekat,
pengelolaan umum ibu hamil dengan HIV , pengawasan efek samping obat ARV,
kerahasiaan status HIV pasien, kemampuan melakukan rujukan (khususnya ibu
hamil diduga/dengan HIV +), memberikan dukungan ibu hamil dengan hasil tes
HIV + dan mampu melakukan pencatatan dan pelaporan.
4. Semua ibu hamil dengan faktor risiko HIV mempunyai akses untuk mendapatkan
layanan VCT
5. Adanya informasi fasilitas klinik VCT dan Rumah sakit rujukan HIV terdekat dari
tempat pelayanan asuhan antenatal .
6. Terdapat informasi tentang sistem dan tempat rujukan ibu hamil dengan HIV

PELAKSANAAN:
1. Semua ibu hamil mendapatkan informasi serta faktor risiko HIV, cara
pemeriksaan/tes HIV, risiko penularan ke bayi pada ibu hamil dengan HIV.
2. Pada daerah yang prevalensi HIV tinggi dan atau pada populasi berperilaku risiko
tinggi dilakukan full-coverage untuk VCT.
3. Pada kunjungan antenatal pertama (K1) pemberi pelayanan melakukan
penapisan/penapisan tanda dan gejala HIV serta penapisan/penapisan apakah
ibu hamil termasuk dalam kelompok berisiko tinggi HIV. Jika ya maka dorong dan
beri dukungan agar ibu hamil dan juga suaminya mau melakukan konsultasi dan
tes HIV di klinik VCT terdekat, melakukan aktivitas seksual yang sehat (termasuk
penggunaan kondom) dan konsultasikan ke klinik TBC jika ditemukan batuk lama
yang tidak sembuh.
4. VCT dilakukan dengan prinsip 3C; Counselling, Confidential dan Consent
5. Ibu hamil dengan status HIV -, beri dukungan untuk tetap negatif dan melakukan
aktivitas seksual yang sehat.
6. Ibu hamil dengan HIV mengetahui upaya yang dilakukan untuk menurunkan
risiko penularan ke bayi dan mempunyai akses untuk profilaksis ART, pilihan
persalinan (melalui konseling) dan PASI (Pengganti Air Susu Ibu) (melalui
penyuluhan atau konseling).
7. Ibu hamil dengan status HIV +, diberikan profilaksis ARV (untuk mencegah
penularan dari ibu ke bayi) dan kemudian dilakukan pemeriksaan CD4 nya untuk
menentukan indikasi pemberian ARV.
8. Ibu hamil dengan HIV +, mempunyai pilihan untuk menentukan cara persalinan
(melalui konseling) apakah memilih melahirkan melalui partus normal atau SC
dan berharap ibu dengan HIV tidak memberikan ASI kepada bayinya.
9. Ibu dengan HIV +, setelah melahirkan mendapatkan ARV dengan indikasi
(karena pemberian ART adalah untuk seumur hidup).
10. Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV , mendapatkan profilaksis ARV dan
dilakukan pemeriksaan status HIV nya pada umur 18 bulan.

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN:

Indikator Input:
1. Adanya dokumen kebijakan nasional, kebijakan pemerintah daerah dan
fasilitas kesehatan tentang pelayanan HIV pada ibu hamil.
2. Provider telah dilatih/mendapat pelatihan tentang HIV pada ibu hamil.
3. Tersedia bagan alur informasi pelayanan rujukan dan daftar tempat rujukan
kasus HIV

Indikator Proses dan Output:


1. Jumlah ibu hamil yang mendapat konseling HIV

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 20


2. Jumlah ibu hamil diduga mempunyai tanda/gejala HIV atau diduga termasuk
berisiko HIV. Terdiri dari:
a) Jumlah ibu hamil yang merupakan pasangan dari kelompok berperilaku risiko
tinggi untuk terinfeksi HIV.
b) Jumlah ibu hamil dengan gejala infeksi oportunistik
c) Jumlah ibu hamil dengan riwayat perilaku berisiko
3. Jumlah ibu hamil yang dirujuk ke klinik VCT.
4. Jumlah pasangan dari ibu hamil yang dirujuk ke klinik VCT.
5. Jumlah ibu hamil dengan status HIV +
6. Jumlah ibu hamil dengan HIV, memilih melahirkan per-vaginam (melalui
konseling)
7. Jumlah ibu hamil dengan HIV, memilih melahirkan dengan SC (melalui konseling)

Indikator Outcome:
1. Jumlah bayi yang HIV+ dari ibu hamil HIV+
2. Jumlah bayi yang HIV- dari ibu hamil HIV+
3. Jumlah bayi yang HIV+ menurut cara persalinan ibu hamil HIV+
4. Jumlah efek samping obat ARV pada ibu hamil yang mendapat ARV.

REFERENSI:
1. World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer,
Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For Maternal
and Neonatal Care, Geneva, 2007.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ditjen Pemberantasan Penyakit
dan Pengendalian Lingkungan, Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan bagi Odha, Jakarta, 2006.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Tata Laksana Infeksi
HIV dan Antiretroviral pada Anak di Indonesia, Jakarta, 2008

F. PENCEGAHAN MALARIA DALAM KEHAMILAN

STANDAR:
Semua ibu hamil di daerah endemis malaria mendapatkan penapisan malaria,
kelambu berinsektisida (LLIN/Long Lasting Insecticide Nets (Kelambu berinsektisida
tahan lama)) pada kunjungan antenatal pertamakali, dan bila hasil pemeriksaan
positif untuk malaria, maka ibu hamil diberi pengobatan sesuai usia kehamilan.

TUJUAN:
Menurunkan insidens penyakit malaria dan berbagai komplikasi/dampak negatif
terhadap ibu hamil yang disebabkan oleh penyakit malaria

PERSYARATAN:
1. Tersedia pedoman teknis dan kebijakan nasional maupun lokal dalam
pencegahan, penegakan diagnosis dan pengobatan penyakit malaria
2. Tersedianya pemberi pelayanan di unit pelayanan antenatal yang sudah terlatih
dan kompeten dalam pengelolaan kasus malaria selama kehamilan antara lain:
penegakan diagnosa baik secara mikroskopis maupun RDT, pemberian obat
untuk kasus positif malaria, dan penyuluhan untuk penggunaan kelambu
berinsektisida
3. Ibu hamil mau dan mampu mengakses ke tempat pelayanan asuhan antenatal .
4. Ada jaminan ketersediaan mikroskop atau RDT, obat dan kelambu

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 21


5. Penyuluhan dan pendidikan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat tentang
bahaya malaria bagi ibu hamil telah dilaksanakan secara efektif.
6. Adanya informasi sistem dan tempat rujukan untuk kasus malaria.

PELAKSANAAN:
Tim antenatal di daerah endemis harus mampu:
1. Melakukan pemeriksaan sediaan darah dengan mikroskopik atau RDT pada
kunjungan pertama ibu hamil ataupun kunjungan berikutnya bila disertai dengan
keluhan demam. Apabila serologis positif dilakukan pengobatan berdasarkan
umur kehamilan.
Trimester I : Kina (dosis 10 mg/kg BB/kali diberikan 3 kali sehari selama 7 hari)
Trimester II, III : ACT (Artemisinin Combination Therapy) (Artesunat 10 mg/kgBB,
Amodiakuin 10mg/kgBB selama 3 hari )
2. Setiap ibu hamil diberikan kelambu berinsektisida disetiap kunjungan pertama,
atau kunjungan berikutnya apabila belum mendapatkan kelambu pada kunjungan
pertama/sebelumnya.
4. Dilakukan pemberian motivasi secara sungguh-sungguh agar semua ibu
hamil bersedia tidur memakai kelambu sesegera mungkin selama umur
kehamilan mereka bahkan dilanjutkan setelah pasca persalinan.
Tim Antenatal di daerah non-endemis harus mampu :
1. Mewaspadai jika dijumpai ibu hamil yang memiliki gejala anemis dan/atau
demam jika sebelumnya mempunyai riwayat pernah menderita dan/atau
berkunjung di daerah endemis malaria. Selanjutnya diberikan pengobatan sesuai
dengan standar teknis pengobatan malaria yang berlaku secara nasional.
2. Sebagai bentuk upaya pencegahan dan dapat memberikan nasehat agar
semua ibu hamil lebih waspada apabila akan tinggal atau berpergian ke wilayah
endemis malaria dan dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap gigitan
nyamuk misal dengan memakai pakaian tertutup, lotion anti nyamuk , dll
3. Dibuatkan catatan riwayat pengobatan malaria secara lengkap di kartu
antenatal dari semua ibu hamil.

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN:

Indikator Input:
1. Tersedia dokumen pedoman teknis dan kebijakan nasional maupun lokal
dalam pencegahan, penegakan diagnosis dan pengobatan penyakit malaria
2. Tersedia Obat anti malaria di unit pelayanan antenatal
3. Tersedia Alat pemeriksaan sediaan darah malaria (mikroskop/RDT)
4. Tersedia kelambu berinsektisida
5. Terdapat dokumen rencana kegiatan penyuluhan Malaria berbasis komunitas
6. Terdapat bagan alur informasi pelayanan rujukan kasus Malaria dan daftar
tempat pelayanan yang menjadi rujukan

Indikator Proses dan Output:


1. Jumlah ibu hamil yang dilakukan penapisan malaria
2. Jumlah ibu hamil yang mendapat kelambu berinsektisida

Indikator Outcome:
1. Jumlah ibu hamil yang menderita malaria
2. Jumlah komplikasi akibat malaria (anemi, malaria berat, abortus, persalinan
sebelum waktunya,BBLR/Berat Badan Lahir Rendah)
3. Jumlah ibu hamil yang tidur memakai kelambu malam sebelumnya (dalam 1
bulan)
4. Persentase ibu hamil yang menderita malaria (dengan denominator jumlah kasus
malaria)

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 22


5. Persentase ibu hamil yang diobati sesuai pedoman tatalaksana kasus malaria

REFERENSI:
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pencegahan dan
Penanganan Malaria Pada Ibu Hamil dan Nifas, Jakarta, 2009.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penatalaksanaan Kasus
Malaria di Indonesia, Jakarta, 2008.
3. World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer, Integrated
Management of Pregnancy and Childbirth: Standards For Maternal and Neonatal
Care, Geneva, 2007.

G. PENATALAKSANAAN TB DALAM KEHAMILAN (TB-ANC) DAN KUSTA

STANDAR:
Semua wanita yang dijumpai pada periode kehamilan harus diberikan informasi yang
tepat mengenai pencegahan dan pengenalan penyakit TB Paru dan Kusta. Mereka
harus diperiksa gejala dan tanda TB Paru dan Kusta, dan bila perlu diberikan
pengobatan yang tepat dan efektif bagi mereka

TUJUAN:
Menurunkan angka kesakitan atau angka kematian penyakit TB Paru dan Kusta
dengan cara memutuskan rantai penularan, kekambuhan dan Multi Drug Resistant
(MDR) (khusus pada TB Paru) dapat dicegah sehingga penyakit TB Paru dan Kusta
tidak lagi merupakan masalah kesehatan bagi ibu hamil di Indonesia.

PERSYARATAN:
1. Adanya suatu kebijakan nasional dan adaptasi lokal pedoman pencegahan dan
pengelolaan TB Paru dan Kusta pada semua ibu hamil
2. Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten dalam mengenali
dan memberikan informasi kepada para ibu tentang gejala, tanda dan
pencegahan TB Paru dan Kusta
3. Terdapat tenaga wasor Kusta Kabupaten, minimal 2 orang per kabupaten,
dibantu dengan dokter/petugas Kusta terlatih di Puskesmas.
4. Seluruh perlengkapan, supplai dan pengobatan yang diperlukan untuk
penatalaksanaan, konseling dan pencegahan TB Paru dan Kusta tersedia di
berbagai level tempat pelayanan asuhan antenatal .
5. Jasa pelayanan kesehatan untuk TB Paru dan Kusta mudah didapat dan
terjangkau bagi ibu hamil
6. Terdapat mekanisme untuk merekam hasil pemeriksaan dan pengobatan TB
paru
7. Kegiatan penyuluhan kesehatan dilaksanakan untuk meninggikan kesadaran
masyarakat tentang pencegahan dan penatalaksanaan TB Paru dan Kusta pada
kelompok ibu hamil

PELAKSANAAN:
1. Paradigma Sehat.
a) Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini mungkin, serta
meningkatkan cakupan program.
b) Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat.
c) Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi pada kondisi tertentu.
2. Srategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), sesuai rekomendasi
WHO, terdiri dari 5 komponen yaitu :
a) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dana.

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 23


b) Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis yang terjamin
mutunya
c) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan
tatalaksanan kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO).
d) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu
e) Sistim Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.
3. Prinsip pengobatan bagi ibu hamil yang menderita TB paru adalah tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya :
a) Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 (6 bulan):
(1) Phase Intensif 2 bulan setiap hari
(2) Phase Lanjutan 4 bulan 3 kali seminggu
(3) Kategori 1 untuk pasien baru BTA (+), pasien baru BTA (-) dengan
Rontgen (+)
b) Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 (8 bulan):
(1) Phase Intensif 3 bulan setiap hari
(2) Phase Lanjutan 5 bulan 3 kali seminggu
(3) Kategori 2 untuk pasien kambuh, pengobatan setelah putus berobat
(default), gagal (failure)
4. Hampir semua OAT aman untuk kehamilan kecuali streptomisin
5. Ibu hamil dapat diberikan pengobatan TB kecuali streptomisin. Sebaiknya bila
ibu hamil memerlukan pengobatan kategori 2 maka pengobatan sebaiknya ditunda
setelah melahirkan. Apabila pengobatan tidak bisa ditunda maka sebaiknya
dirujuk untuk pengobatannya.
6. Prinsip pengobatan ibu hamil yang menderita kusta tidak berbeda dengan
penderita kusta lainnya:
a) Multi Drug Treatment (MDT) untuk Pauci Basiler (PB) : Obat diberikan
selama 6-9 bulan, terdiri dari:
o Dapson setiap hari
o Rifamipisin (1x/bulan)
b) MDT Multi Basiler (MB) : Obat diberikan selama 12-18 bulan terdiri dari:
Rifamipisin (1x/bulan)
o Dapson setiap hari
o Klofazimin setiap hari
c) Reaksi Kusta
Reaksi kusta merupakan fase akut pada perjalanan penyakit kusta yang
kronis. Sebelum, selama, dan sesudah penyakit kusta, reaksi dapat terjadi.
Jika terjadi reaksi pada ibu hamil yang menderita kusta, pasien harus dirujuk
d) Semua MDT aman untuk ibu hamil
7. Bidan di desa membantu penemuan kasus TB dan Kusta pada bumil melalui
pengiriman dahak ke Unit pelayanan ANTENATAL pada TB, dan melaporkan
tersangka/kasus Kusta pada petugas/wasor kusta di Puskesmas/Kabupaten.
8. Pengembangan program dilaksanakan secara bertahap keseluruh UPK.
9. Peningkatan kerjasama dengan semua pihak melalui kegiatan advokasi,
diseminasi informasi dengan memperhatikan peran masing-masing.
10. Kabupaten/Kota sebagai titik berat manajemen program meliputi : perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi serta mengupayakan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana).
11. Kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan dengan melibatkan semua
unsur terkait.
12. Memperhatikan komitmen internasional.
13. Pada setiap ibu hamil harus dilakukan inspeksi kulit untuk mencari tanda/gejala
kusta, dilakukan minimal sekali selama kehamilan. Bila ditemukan kelainan

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 24


kulit/bercak disertai gangguan saraf berupa mati rasa/baal, nyeri saraf,
tangan/kaki bengkok, kaki semper atau mata tidak dapat menutup, rujuk ke
layanan yang lebih tinggi (petugas/wasor kusta atau dokter terlatih).
14. Tersedia informasi sistem rujukan dan tempat rujukan kasus TB Paru atau Kusta

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN:

Indikator Input:
1. Pedoman pengelolaan TB dan kusta pada ibu hamil yang sesuai dengan standar
dan arah kebijakan nasional tersedia di unit pelayanan ANTENATAL
2. Obat anti TB dan kusta tersedia di unit pelayanan ANTENATAL atau Puskesmas
dan level yang lebih tinggi.
3. Tersedia tenaga pelaksana program TB dan kusta pada level yang lebih tinggi
4. KPP (Kelompok Unit pelayanan Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Unit
pelayanan Rujukan Mikroskopik) dan beberapa PS (Unit pelayanan Satelit).
Untuk daerah dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM (Unit pelayanan
Pelaksana Mandiri).
5. Tersedia informasi tentang sistim rujukan dan tempat pelayanan yang menjadi
rujukan TB dan kusta

Indikator Proses dan Output:


1. Ketepatan diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
2. Kualitas laboratorium dijaga melalui pemeriksaan Uji Silang (Cross Check).
3. Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus.
4. Keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO). Keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung jawab petugas
kesehatan.
5. Dilakukan pemeriksaan inspeksi kulit ibu hamil untuk deteksi dini Kusta
6. Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan dengan teratur, lengkap dan benar.

Keterangan:
Target dari program TB secara nasional antara lain :
1. Case detection rate (CDR) >70%
2. Conversion rate > 90%
3. Cure rate > 85%
4. Error rate < 5%
Ketercapaian beberapa indikator tersebut diatas diharapkan dapat menurunkan
tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya

Indikator Outcome:
1. Kematian ibu hamil yang terkait dengan TB paru
2. Komplikasi ibu yang terkait dengan TB paru
3. Jumlah kasus penularan infeksi TB paru ke bayi
4. Kematian perinatal yang terkait dengan TB paru selama kehamilan
5. Jumlah kasus Kusta pada Ibu hamil

REFERENSI:
1. World Health Organization Department of Making Pregnancy
Safer, Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For
Maternal and Neonatal Care, Geneva, 2007.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2, Cetakan kedua, Jakarta, 2008

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 25


3. IUATLD, Epidemiologic Basis of Tuberculosis Control, 1 st
edition, Paris 1999
4. WHO, Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National
Programmes, 2 nd edition, Geneva, 2003; WHO/CDS/TB20003.313.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman
Nasional Pengendalian Penyakit Kusta, Jakarta, 2007.

H. PENCEGAHAN KECACINGAN DALAM KEHAMILAN (PKDK)

STANDAR:
Semua wanita hamil harus terlindung dari kecacingan dan akibat yang
ditimbulkannya, baik terhadap ibu maupun bayi yang dilahirkan. Bila dijumpai anemia
yang berat tanpa tanda-tanda lain, perlu adanya penapisan khusus tentang
kecacingan.

TUJUAN:
Mencegah kecacingan dan akibat yang ditimbulkannya (anemia) pada ibu hamil
maupun bayi yang dilahirkan

PERSYARATAN:
1. Adanya kebijakan dan strategi nasional pencegahan kecacingan pada wanita
hamil dan diimplementasikan dengan baik.
2. Ketersediaan pemberi pelayanan antenatal yang kompeten untuk
memberikan penyuluhan/informasi tentang pencegahan, akibat dan
pengendalian kecacingan dalam kehamilan
3. Terdapat fasilitas yang dibutuhkan untuk penapisan dan intervensi anemia
dan kecacingan pada ibu hamil
4. Terdapat informasi tentang sistim rujukan dan tempat yang menjadi rujukan
pelayanan kecacingan dalam kehamilan

PENERAPAN STANDAR:
1. Semua ibu hamil diperiksa kadar Hb pada kunjungan pertama antenatal.
2. Semua ibu hamil dengan gejala dan tanda anemia, terutama Hb < 8 g/dl perlu
dilakukan penapisan kecacingan dengan pemeriksaan tinja/feses dan gambaran
hitung jenis (eosinofilia)
3. Bila pemeriksaan tinja/feses menunjukkan hasil positif telur cacing atau
keluar cacing pada waktu buang air besar maka perlu pengobatan
4. Bila teridentifikasi suatu kasus kecacingan pada ibu hamil, berikan ibu obat
cacingan sesudah melewati trimester ke 1.
5. Pada daerah dengan prevalensi kecacingan yang tinggi, semua ibu hamil
dilakukan penapisan terhadap kecacingan
6. Memberikan penyuluhan kesehatan untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat tentang perlunya pencegahan kecacingan dalam kehamilan

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN:

Indikator Input:
1. Terdapat dokumen perencanaan, strategi dan kebijakan nasional terkait
pencegahan kecacingan dalam kehamilan pada tempat pelayanan asuhan
antenatal
2. Tersedia pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten untuk mengidentifikasi
dan mengintervensi kecacingan pada kehamilan
3. Tersedia fasilitas untuk penapisan anemia dan kecacingan pada tempat
pelayanan asuhan antenatal
4. Terdapat kegiatan penyuluhan kesehatan berbasis komunitas dalam rangka

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 26


meningkatkan cakupan antenatal dan pencegahan kecacingan

Indikator Proses dan Output:


1. Cakupan pelayanan antenatal disertai penapisan kecacingan pada kehamilan
dengan anemia
2. Cakupan ibu hamil yang dilakukan pemeriksaan tinja/feses
3. Cakupan ibu hamil cacingan yang mendapat obat cacing
4. Laporan bulanan tentang kasus kecacingan dalam kehamilan dilengkapi dan
dikirimkan tepat waktu
Indikator Outcome:
Prevalensi ibu hamil yang menderita cacingan

REFERENSI :
KEPMENKES RI No.424/MENKES/SK/VI/2006 Tentang Pedoman Pengendalian
Cacingan, 2006.

I. MANAJEMEN PELAYANAN ASUHAN ANTENATAL TERINTEGRASI

STANDAR:
Ibu hamil melakukan kunjungan antenatal minimal 4 kali dengan mendapatkan
pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai sesuai dengan karakteristik,
kebutuhan dan kemampuan lokal

TUJUAN:
Membantu ibu hamil agar dapat tetap sehat selama kehamilan dan dapat
mempersiapkan persalinan dengan optimal sehingga didapatkan keluaran ibu dan
bayi yang sehat. Menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal neonatal yang
diakibatkan masalah kesehatan terkait kehamilan.

PERSYARATAN:
1. Cakupan pelayanan Asuhan Antenatal Dasar (K1dan K4) telah memenuhi target
cakupan
2. Merupakan wilayah yang berpotensi endemis atau berisiko tinggi terjadinya
masalah kesehatan terkait kehamilan
3. Tersedia perencanaan, strategi, pedoman, dan kebijakan nasional maupun lokal
terkait program pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi yang akan
dijalankan
4. Tersedia fasilitas pendukung layanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai
dengan program yang akan dijalankan
5. Ibu hamil mau dan mampu mengakses tempat pelayanan asuhan antenatal
6. Tenaga asuhan antental telah mendapatkan pelatihan dan berkompeten
menyelenggarakan layanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai dengan
program yang akan dijalankan
7. Tersedia informasi sistem dan tempat rujukan untuk masing-masing kasus dalam
program Asuhan Antenatal Terintegrasi yang akan dijalankan
8. Tersedia pedoman tentang standar pencegahan infeksi pada fasilitas asuhan
antenatal
9. Persyaratan khusus mengacu pada masing-masing program Asuhan Antenatal
Terintegrasi yang akan dijalankan
10. Tersedia catatan medik dan buku register yang disimpan di tempat pelayanan
asuhan antenatal dan buku pemeriksaan kehamilan (buku KIA) yang dibawa
oleh ibu hamil.
11. Sistem pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi mampu mendorong terciptanya
komunikasi 2 arah antara petugas dengan ibu hamil dan suami, serta keduanya

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 27


mampu merencanakan/menentukan rujukan dan tempat rujukan jika menghadapi
komplikasi/ kegawatan kehamilan dan persalinan (Program Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi/ P4K).

PELAKSANAAN:
1. Setiap ibu hamil melakukan minimal 4 kali kunjungan ke fasilitas
asuhan antenatal dengan jadwal yang dianjurkan sesuai pedoman nasional
2. Dalam 4 kali kunjungan, minimal disertai/diantar oleh suami 1 kali
kunjungan.
3. Pada setiap kunjungan ibu hamil minimal mendapatkan pelayanan
”7T” sebagai berikut; Timbang berat badan dan ukur tinggi badan, ukur Tekanan
darah, ukur Tinggi fundus uteri, penapisan status imunisasi Tetanus Toxoid (TT)
dan pemberian bila perlu, pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama
kehamilan, Tes laboratorium sesuai indikasi (Hb, IMS/ISR, Sifilis, HIV/AIDS, TB,
Malaria), Temu wicara/konseling meliputi perencanaan persalinan dan
pencegahan komplikasi (terkait dengan Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi/P4K), perencanaan KB pasca persalinan, gizi, dan
asuhan bayi baru lahir.
4. Pada setiap kunjungan, semua pemeriksaan dan tindakan yang
diberikan harus memenuhi standar pencegahan infeksi (universal precautions)
5. Pada setiap kunjungan diinformasikan tentang pengawasan
kehamilan yang dapat dilakukan oleh ibu hamil dan tanda kegawatan dimana ibu
hamil harus segera datang untuk memeriksakan diri.
6. Apabila ditemukan ketidak normalan pada kunjungan antenatal,
petugas menyampaikan rencana tindak lanjut, kemungkinan untuk melakukan
rujukan (pemeriksaan penunjang; laboratorium atau USG, konsultasi, perawatan)
atau jarak kunjungan berikutnya yang lebih pendek. Misalkan, jika ditemukan ibu
hamil dengan Anemi maka jadwal kunjungan berikutnya adalah 2 minggu, jika
ditemukan Hipertensi pada kehamilan 8 bulan atau lebih maka kunjungan
berikutnya adalah 1 minggu. Kunjungan lebih pendek dari jadwal juga dilakukan
pada ibu hamil dengan Malaria dan HIV positif.
7. Pada kunjungan terakhir diinformasikan tentang tanda-tanda
persalinan dan saran untuk datang tidak lebih dari 2 minggu sebelum waktu
tanggal taksiran persalinan.
8. Pelaksanaan disesuaikan dengan petunjuk pelaksanaan tiap program
dalam Asuhan Antenatal Terintegrasi

PEMANTAUAN DAN PENILAIAN:

Indikator Input:
1. Tersedia data/informasi cakupan pelayanan Asuhan Antenatal Dasar (K1 dan
K4)
2. Tersedia informasi status endemisitas atau daerah daerah berisiko tinggi
terjadinya masalah kesehatan terkait kehamilan
3. Tersedia dokumen perencanaan, strategi, dan kebijakan nasional maupun
lokal terkait program Asuhan Antenatal Terintegrasi yang akan dijalankan
4. Tersedia fasilitas pendukung layanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai
dengan program yang akan dijalankan
5. Tenaga asuhan antental telah mendapatkan pelatihan menyelenggarakan
layanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai dengan program yang akan
dijalankan
6. Tersedia bagan alur informasi sistem rujukan dan daftar tempat rujukan untuk
masing-masing kasus dalam program Asuhan Antenatal Terintegrasi yang akan
dijalankan
7. Tersedia dokumen pedoman tentang standar pencegahan infeksi atau

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 28


standar pencegahan infeksi (universal precautions) pada tempat pelayanan
asuhan antenatal
8. Indikator secara khusus mengacu pada masing-masing program Asuhan
Antenatal Terintegrasi yang akan dijalankan
9. Tersedia dokumen petunjuk pelaksanaan disesuaikan dengan petunjuk
pelaksanaan tiap program dalam Asuhan Antenatal Terintegrasi
10. Tersedia formulir catatan medik dan buku register dan buku buku KIA
11. Pemberi pelayanan asuhan antenatal telah dilatih untuk memberikan
pelayanan Asuhan Antenatal Dasar dan mendorong terciptanya komunikasi 2
arah antara petugas dengan ibu hamil dan suami, untuk
merencanakan/menentukan rujukan dan tempat rujukan jika menghadapi
komplikasi/ kegawatan kehamilan/persalinan (P4K)

Indikator Proses dan Output:


1. Cakupan ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal (K1 dan K4)
2. Cakupan ibu hamil yang terdeteksi berisiko tinggi oleh tenaga kesehatan
3. Cakupan ibu hamil yang dirujuk untuk konsultasi tingkat lanjut (ke RS atau dokter
spesialis kandungan)
4. Cakupan ibu hamil yang dirujuk karena komplikasi kehamilan.
5. Cakupan ibu hamil yang dirujuk karena kegawatan persalinan.
6. Jumlah dan sebaran tempat pelayanan asuhan antenatal
7. Indikator proses dan output disesuaikan dengan masing-masing indikator proses
dan output tiap program dalam Asuhan Antenatal Terintegrasi
8. Tingkat kepatuhan pelaksanaan standar pencegahan infeksi saat tindakan
pemeriksaan dan pengobatan yang dilaksanakan di tempat pelayanan asuhan
antenatal

Indikator Outcome:
1. Angka morbiditas dan mortalitas maternal neonatal yang diakibatkan masalah
kesehatan terkait kehamilan
2. Jumlah kasus infeksi terkait tindakan pemeriksaan dan pengobatan yang
dilaksanakan di tempat pelayanan asuhan antenatal
3. Cakupan persalinan yang dilayani oleh petugas kesehatan.
4. Angka kematian Maternal.
5. Angka kematian Perinatal.

REFERENSI :
1. World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer,
Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For Maternal
and Neonatal Care, Geneva, 2007.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Buku Kesehatan Ibu dan
Anak, Jakarta, 2009.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pelayanan
Antenatal, Jakarta, 2007.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Bimbingan
Teknis Asuhan Kebidanan dan Perinatal, Jakarta, 2006.

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 29


BAB IV
PENUTUP

Pengintegrasian beberapa jenis pelayanan/program kedalam pengelolaan


Asuhan Antenatal Terintegrasi yang telah dicoba untuk dibuatkan sebuah pedoman,
tentu bisa berjalan efektif jika masing-masing pemegang program di lapangan/unit
pelayanan terdepan sampai dengan para pengambil kebijakan di tingkat pusat
memiliki kesamaan visi, misi dan tujuan.
Kesamaan visi, misi dan tujuan ini akan menjadi modal awal yang berharga
untuk membuat kesepakatan dan strategi untuk mau dan mampu berbagi
kewenangan, tugas dan tanggung jawab serta yang paling penting juga sumber daya
yang selama ini terfragmentasi.
Isi pedoman ini masih bersifat umum dan berbentuk draft sehingg sangat
terbuka untuk diberikan masukan dan kritikan dari berbagai pihak yang kompeten.
Pada akhirnya dengan adanya masukan dan kritikan tersebut diharapkan akan bisa
lebih menyempurnakan isi dan kualitas dari buku pedoman ini sehingga akan benar-
benar mudah dipahamai serta diterapkan oleh petugas/pemberi pelayanan antenatal.
Akhirnya dengan tersusunnya draft pedoman Asuhan Antenatal Terintegrasi
akan bisa memberikan manfaat nyata buat kelompok sasaran yaitu ibu hamil
maupun masayarakat pada umumnya.

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 30


LAMPIRAN:

Disusun oleh : Sutopo Patria Jati dkk. (spjati@yahoo.com) Page 31

You might also like