Professional Documents
Culture Documents
BAB I: PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Pelayanan Antenatal Care Terpadu 2
Definisi 2
Tujuan 2
Manfaat 3
Cara Menggunakan Buku Pedoman 3
Integrasi ANC dan Standar Pelayanan ANC 3
Bentuk Kegiatan 3
Kerangka Kerja 4
A. LATAR BELAKANG
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini telah terjadi penurunan
yaitu dari 307/100.000 Kelahiran Hidup (KH) pada tahun 2002, turun
menjadi 228/100.000 KH pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Angka ini sudah
mendekati sasaran RPJMN 2004 - 2009 yaitu 226/100.000 KH, dan
diupayakan terus untuk mencapai target pencapaian MDG 102/100.000 KH
pada tahun 2015. Penyebab langsung dari kematian ibu adalah perdarahan
(28%) , hipertensi dalam kehamilan (24%), infeksi (11 %), abortus tidak
aman (5%) dan persalinan lama (5%).
Departemen Kesehatan sebagai sektor yang bertanggung jawab
secara langsung dalam Percepatan Penurunan AKI telah berupaya secara
maksimal dengan beberapa upaya terfokus antara lain : Program
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), Kemitraan
Bidan dan Dukun, PKM PONED, Unit Transfusi Darah di Rumah Sakit
mampu PONEK (UTD RS PONEK) dan pemenuhan Sumber Daya
Kesehatan Ibu. Kesehatan Ibu dan Anak merupakan salah satu prioritas
utama Depkes, dan salah satu indikator utama dalam RPJMN periode 2005 -
2009. Percepatan penurunan AKI dilaksanakan melalui Strategi Making
Pregnancy Safer (MPS).
Cakupan pelayanan asuhan antenatal saat ini sudah cukup baik,
walaupun di beberapa Kabupaten/Kota masih terdapat disparitas. Cakupan
K1 (kunjungan antenatal ke-1) sudah mencapai 92,65% dan K4 (kunjungan
antenatal ke-4) sudah mencapai 86,04% (Laporan Tahunan Dit Binkes Ibu,
2008), tetapi persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) baru mencapai 80,36%.
Sejalan dengan telah tingginya akses pelayanan asuhan antenatal tersebut,
maka kualitas asuhan antenatal juga harus dimantapkan. Ibu hamil perlu
mendapatkan perlindungan secara menyeluruh, baik mengenai kehamilan
dan komplikasi kehamilan, serta intervensi lain yang perlu diberikan selama
proses kehamilan untuk kesehatan/ keselamatan ibu dan bayinya.
Dari data yang ada saat ini prevalensi pada Wanita Usia Subur
(WUS) yang mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK) mencapai 13,60%
(Riskesdas, 2007) sedangkan prevalensi Anemia Gizi pada Ibu Hamil
mencapai 40,1% (SKRT, 2007). Hal ini perlu mendapat perhatian karena
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan janin yang dikandungnya, dan
kemungkinan timbulnya komplikasi kehamilan dan persalinan yang kelak
dapat mengancam nyawa ibu.
Menurut SKRT 2001, persentase ibu hamil yang positif malaria di
Jawa Bali sebesar 0,3%, Sumatera 3,8% dan di kawasan Indonesia Timur
mencapai 3,9%. Namun pada daerah endemis malaria, data Ibu hamil yang
memakai kelambu hanya 29,0% (SDKI, 2007). Hal ini perlu mendapatkan
intervensi khusus mengingat malaria dalam kehamilan merupakan komplikasi
yang berbahaya bagi ibu, janin dan bayinya. Demikian juga tuberkulosis (TB)
dalam kehamilan dapat menimbulkan komplikasi pada ibu dan janinnya, oleh
karenanya pada daerah dengan prevalensi infeksi TB yang tinggi, program
DOTS TB perlu diintegrasikan dalam asuhan antenatal.
Sejak tahun 2000 Indonesia memasuki klasifikasi Epidemi
terkonsentrasi untuk infeksi HIV, bahkan sejak tahun 2006 di Papua dan
Papua Barat sudah memasuki klasifikasi Epidemi umum. Seiring dengan
meningkatnya Cakupan HIV pada perempuan, maka program Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke bayi (PMTCT/ Prevention of Mother to Child HIV
Transmission) merupakan hal yang tidak bisa ditunda lagi kalau kita tidak
1. Kebijakan Program
Kebijakan Departemen Kesehatan dalam upaya mempercepat
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
pada dasarnya mengacu kepada intervensi strategis “Empat Pilar Safe
Motherhood” yaitu meliputi: Keluarga Berencana, ANC, Persalinan Bersih
dan Aman dan Pelayanan Obstetri Essensial.
Pendekatan pelayanan obsterik dan neonatal kepada setiap ibu hamil
ini sesuai dengan pendekatan Making Pregnancy Safer (MPS), yang
mempunyai 3 (tiga) pesan kunci yaitu : (1) Setiap persalinan ditolong oleh
tenaga kesehatan terlatih; (2) Setiap komplikasi obstetrik dan neonatal
mendapat pelayanan yang adekuat; dan (3) Setiap perempuan dalam
usia subur mempunyai akses pencegahan dan penatalaksanaan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
Dalam pemeriksaan antenatal selain kuantitas (jumlah kunjungan)
perlu diperhatikan pula kualitas pemeriksaannya. Kebijakan program
2. Kebijakan Teknis
Setiap saat kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau
mengalami penyulit/komplikasi. Oleh karena itu diperlukan pemantauan
kesehatan ibu hamil selama masa kehamilannya. Penatalaksanaan
pelayanan pemeriksaan ibu hamil secara keseluruhan meliputi hal-hal
sebagai berikut: 1) Mengupayakan kehamilan yang sehat; 2) Melakukan
deteksi dini penyulit/komplikasi, melakukan penatalaksanaan awal serta
rujukan bila diperlukan; 3) Persiapan persalinan yang bersih dan aman;
dan 4) Perencanaan antisipatif dan persiapan dini untuk melakukan
rujukan jika terjadi penyulit/komplikasi.
Beberapa kebijakan teknis pelayanan antenatal rutin yang selama ini
dilaksanakan dalam rangka peningkatan cakupan pelayanan antara lain
meliputi:
a. Untuk daerah dengan K1 < 90 % dan atau K4 < 75%.
b. Deteksi dini ibu hamil melalui kegiatan P4K dengan stiker dan buku
KIA, dengan melibatkan kader & perangkat desa.
c. Peningkatan kemampuan penjaringan ibu hamil melalui kegiatan
Kemitraan Bidan dan Dukun.
d. Peningkatan akses ke pelayanan dengan kunjungan rumah.
e. Peningkatan akses ke pelayanan dengan Rumah Tunggu.
Sedangkan untuk peningkatan dari sisi kualitas pelayanan asuhan
antenatal difokuskan agar dapat menyelenggarakan pelayanan antenatal
terintegrasi/ terpadu antara berbagai program/jenis pelayanan yang
selama ini sebenarnya terkait secara langsung dengan peningkatan
status kesehatan dan keselamatan dari ibu hamil.
Definisi
Integrasi pelayanan asuhan antenatal rutin dengan beberapa program
tambahan lain sesuai prioritas Departemen Kesehatan, yang diperlukan guna
peningkatan kualitas asuhan antenatal
Tujuan
1. Deteksi dan antisipasi dini kelainan/penyakit/gangguan yang mungkin
terjadi dalam kehamilan.
2. Intervensi dan pencegahan kelainan/penyakit/gangguan yang
mungkin dapat mengancam ibu dan atau janin.
3. Standarisasi kegiatan pelayanan asuhan antenatal terintegrasi,
meliputi : tujuan, persyaratan, implementasi serta pemantauan dan
penilaian
4. Mengintegrasikan asuhan antenatal rutin dengan pelayanan
tambahan dalam praktik asuhan antenatal.
Manfaat
1. Menjadi pedoman umum bagi penentu kebijakan di daerah dalam
melaksanakan program pelayanan asuhan antenatal yang terintegrasi.
2. Meningkatkan efektivitas pola kerjasama antar unit atau program yang
akan diintegrasikan dalam model pelayanan asuhan antenatal terintegrasi
di masa mendatang.
3. Meningkatkan efek sinergi dalam rangka mencapai target penurunan
angka kematian ibu dan perinatal melalui berbagai kegiatan intervensi
yang ada dalam model pelayanan asuhan antenatal terintegrasi sesuai
dengan karakteristik kebutuhan dan potensi yang tersedia di daerah atau
fasilitas kesehatan.
4. Menjadi panduan/pedoman bagi pemberi pelayanan dalam melaksanakan
asuhan antenatal terintegrasi.
Bentuk Kegiatan
Secara umum pelayanan asuhan antenatal terintegrasi ini terdiri dari
beberapa bentuk kegiatan antara lain meliputi :
DEFINISI
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi adalah seperangkat
rekomendasi tentang penyelenggaraan pelayanan asuhan antenatal pada fasilitas
kesehatan, mulai dari tingkat unit pelayanan antenatal dan jaringannya. Fasilitas
kesehatan pada level yang lebih tinggi juga memerlukan standar pelayanan minimal,
selain standar pelayanan spesialistik dan obstetrik.
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini akan dapat
memberikan pedoman bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan status kesehatan
dan keselamatan ibu dan bayi yang dilahirkan.
LATAR BELAKANG
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa negara-negara dengan angka
kematian maternal, perinatal dan neonatal yang tinggi umumnya memiliki pelayanan
kesehatan yang tidak memadai dan berkualitas rendah, terkait rendahnya utilisasi
pelayanan kesehatan. Untuk itu, perlu adanya suatu standar pelayanan, selain
mekanisme yang dapat mengatasi hambatan pemberian dan penggunaan pelayanan
berkualitas. Bukti-bukti menunjukkan bahwa implementasi pedoman secara benar
dapat meningkatkan proses dan hasil/outcome pelayanan kesehatan. Pengalaman di
beberapa negara menunjukkan bahwa proses penyusunan dan implementasi yang
jelas didukung monitoring dan supervisi yang efektif berdampak pada praktik
pedoman tersebut.
TUJUAN
Tujuan penyusunan Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini
adalah untuk membantu manajer program dan petugas kesehatan dalam
mengembangkan standar untuk skala kabupaten/kota dan tingkatan pelayanan di
bawahnya dengan cara :
1. Mensosialisasikan standar dan proses peningkatan mutu asuhan antenatal di
tingkatan pelayanan kesehatan sebagai sarana untuk meningkatkan
keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
2. Memberikan pelayanan kesehatan yang efektif bagi ibu dan bayi baru lahir.
3. Menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mencapai hasil/outcome
kesehatan yang optimal, dan
4. Meningkatkan kepuasan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir pada tingkat individu, keluarga maupun masyarakat
STRUKTUR
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini terdiri atas beberapa
bagian standar pelayanan untuk :
Manajemen Pelayanan Asuhan Antenatal
Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE),
Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika)
Pencegahan dan Pengobatan IMS dalam Kehamilan (PIDK)
Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT)
Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)
MUATAN STRUKTUR
Dikemas dalam bentuk paket, masing-masing standar disusun secara
mandiri, dilengkapi elemen-elemen yang dibutuhkan untuk implementasinya. Format
ini dimaksudkan untuk memfasilitasi pengguna dengan menyusun langkah-langkah
implementasi sesuai kebutuhan dan ketersediaan sumber daya, dan memungkinkan
adanya pembaruan yang lebih efektif secara periodik sesuai dengan perkembangan
keilmuan, arah kebijakan dan informasi terbaru.
Elemen kunci yang terdapat di semua standar meliputi ;
Judul; yang mengidentifikasi program.
Pernyataan standar; yang dibuat berdasarkan pedoman program yang telah
ada.
Tujuan; yang mengindikasikan tujuan di bidang kesehatan masyarakat yang
ingin dicapai oleh program.
Persyaratan; berisikan daftar tilik kondisi-kondisi, termasuk fasilitas, yang
perlu dipenuhi guna mengimplementasikan standar.
Pelaksanaan; yang secara singkat menerangkan kegiatan apa yang
seharusnya dilakukan untuk mengimplementasikan standar tersebut.
Pemantauan dan Penilaian; yang berisi beberapa indikator penilaian
meliputi unsur input, proses, outcome dan dapat digunakan untuk memantau
ketepatan implementasi standar berikut dampaknya.
Daftar referensi yang digunakan untuk mengembangkan standar dan daftar
links yang dapat membantu pengguna dalam mengimplementasikan standar
PENYUSUNAN STANDAR
Standar yang terdapat dalam pedoman ini dibatasi hanya untuk penggunaan
pada tingkatan pelayanan asuhan antenatal tertentu yaitu ditingkat unit pelayanan
asuhan antenatal terdepan dan jaringannya. Tiga prinsip utama yang mendasari
pemilihan program pelayanan tersebut adalah :
1. Relevansi terhadap bidang kesehatan masyarakat, misalnya sebagai kausa
utama morbiditas atau mortalitas maternal, fetal, atau neonatal
2. Kemungkinan pengimplementasian pada fasilitas pelayanan antenatal
dengan sumber daya yang tersedia, baik dari perspektif pelayanan kesehatan
maupun komunitas
3. Memperhatikan implikasi pada pembiayaan kesehatan
SASARAN
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini ditujukan kepada :
1. Pengambil kebijakan
2. Manajer Program dan Perencana Kesehatan pada kabupaten/kota dan
tingkatan di bawahnya
3. Institusi pendidikan
4. Organisasi profesi
5. Pemberi pelayanan maternal dan neonatal (digunakan pada semua tingkat
pelayanan, baik untuk perorangan; bidan praktek swasta, dokter praktek
swasta maupun institusi; Unit pelayanan asuhan antenatal, Klinik bersalin,
Rumah sakit.)
PEMANFAATAN
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini dimaksudkan untuk
menjadi standar yang dapat diadaptasi dan diimplementasikan sesuai kebutuhan,
pembiayaan dan kapasitas sistem kesehatan di berbagai daerah. Standar ini dapat
digunakan tersendiri atau dalam rangkaian pelayanan antenatal, karena masing-
masing terhubung untuk memudahkan penggunaan.
Standar ini dapat digunakan pada tingkatan kabupaten/kota dan tingkatan di
bawahnya dalam rangka menyusun atau memperbarui pelayanan yang ada saat ini.
Idealnya, semua standar ini dapat dilakukan guna memastikan pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal berkualitas.
Standar ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan pedoman lebih
lanjut seperti merancang kurikulum pelatihan bagi tenaga terlatih dan pemberi
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Juga dapat digunakan untuk proses
adaptasi pedoman praktis lainnya dari pelayanan maternal dan neonatal di tingkat
nasional, regional dan lokal.
Pada tingkat unit pelayanan antenatal dan jaringannya, standar ini dapat
merepresentasikan suatu alat yang bermanfaat untuk memfasilitasi pendekatan
sistematis dalam mengevaluasi dan meningkatkan pelayanan kesehatan maternal
dan neonatal oleh petugas kesehatan. Standar ini juga dapat menjadi sarana untuk
mensosialisasikan audit klinik yang merupakan penilaian sistematis terhadap kualitas
pelayanan berdasarkan standar pelayanan yang telah disepakati bersama, dan
difokuskan pada proses peningkatan mutu yang lebih luas dalam asuhan antenatal di
tingkat unit pelayanan Asuhan Antenatal dan jaringannya.
Proses penetapan standar, penggunaan standar untuk pemantauan dan
penilaian serta implementasi perubahan yang telah disepakati akan memberikan
kontribusi dalam meningkatkan kinerja dan praktik klinik di unit pelayanan asuhan
antenatal. Standar pelayanan ini diharapkan membantu mendorong kesadaran
petugas kesehatan tentang mutu pelayanan serta peran mereka dalam memastikan
praktik terbaik dalam asuhan antenatal di masyarakat.
Standar Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi ini akan diperbarui sejalan
dengan bertambahnya pengalaman dan bukti-bukti ilmiah dan akan dimodifikasi
guna mendukung implementasi pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang
lebih baik.
Beberapa program/jenis pelayanan yang saat ini dianggap paling siap untuk
dilakukan pengintegrasiannya sesuai prioritas Departemen Kesehatan dalam bentuk
Asuhan Antenatal Terintegrasi antara lain meliputi:
j. Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE)
k. Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika)
l. Pencegahan dan Pengobatan IMS/ISK dalam Kehamilan (PIDK)
m. Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia
n. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT)
o. Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)
p. Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) dan Kusta
q. Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK)
r. Manajemen Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi
STANDAR:
Semua wanita yang melahirkan dan bayi yang dilahirkannya harus terlindung dari
Tetanus
TUJUAN:
Mencegah Tetanus Maternal dan Neonatal (MNT)
PERSYARATAN:
1. Terdapat perencanaan, strategi, kebijakan, dan pedoman nasional maupun lokal
terkait MNTE pada tempat pelayanan asuhan antenatal .
2. Di daerah yang tergolong risiko tinggi MNT, perlu perencanaan dan strategi
implementasi dengan “pendekatan risiko tinggi”, termasuk imunisasi pada Wanita
Usia Subur (WUS).
3. Tersedia Standard Operating Procedure (SOP) penilaian mutu vaksin, jadwal
imunisasi dan pemberian imunisasi
4. Semua anggota tim antenatal di tempat pelayanan asuhan antenatal telah dilatih
untuk melakukan penapisan status imunisasi, memberikan imunisasi Tetanus
dan mengelola pelayanan imunisasi TT
5. Di tempat pelayanan asuhan antenatal , tersedia vaksin dan logistik (refrigerator,
ADS (Auto Disable Syringe) dll) yang dibutuhkan untuk pelaksanaan imunisasi
Tetanus
6. tempat pelayanan asuhan antenatal yang dapat melayani imunisasi Tetanus
mudah diakses oleh ibu hamil
7. Terdapat sistem monitoring dan evaluasi imunisasi Tetanus yang efektif,
termasuk register imunisasi, kartu imunisasi pribadi dan buku KIA.
8. MNT dimasukkan dalam sistem surveilans nasional
9. Tersedia informasi tentang sistem pelayanan rujukan dan tempat pelayanan yang
menjadi rujukan pada kasus MNT
Jika ibu hamil dapat menunjukkan bukti tertulis vaksinasi saat bayi dan usia sekolah
dengan vaksin yang mengandung Tetanus (misalnya DPT, DT, Td atau TT) berikan
dosis sesuai Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Pedoman imunisasi TT bagi ibu hamil yang telah diimunisasi saat bayi,
atau anak usia sekolah
4. Rekam/catat dosis yang telah diberikan pada register standar imunisasi TT, kartu
imunisasi pribadi, dan buku KIA. Kartu imunisasi pribadi dan buku KIA harus
disimpan oleh yang bersangkutan.
5. Bila teridentifikasi suatu kasus Tetanus Neonatal (TN), berikan ibu satu dosis TT
secepatnya dan rawat bayinya sesuai pedoman nasional. Dosis selanjutnya
diberikan sesuai dengan waktu pemberian minimal.
6. Rekam/catat semua kasus MNT dan laporkan pada yang berwenang. Semua
kasus MNT yang berasal dari daerah berisiko rendah harus diselidiki lebih lanjut.
7. Rekam/catat dan laporkan semua kasus Tetanus dari kelompok umur lain secara
terpisah.
8. Penyuluhan kesehatan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang
perlunya dilaksanakan imunisasi Tetanus.
Indikator Outcome:
1. Insidensi Tetanus Neonatal (targetnya adalah kurang dari 1 kasus per seribu
kelahiran hidup pada tingkat kabupaten)
2. Insidensi Tetanus Maternal
3. Tersedia analisis hasil pelayanan MNTE yang telah ada dan tindak lanjutnya
REFERENSI:
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi, Jakarta, Jakarta, 2005.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Tenaga
Kesehatan Imunisasi Tetanus Toxoid Dalam Rangka Akselerasi Eliminasi
Tetanus Maternal Dan Neonatal ( MNTE), Jakarta, 2003.
3. World Health Organization Department of Making Pregnancy
Safer, Integrated Management of Pregnancy and Childbirth: Standards For
Maternal and Neonatal Care, Geneva, 2007
TUJUAN:
Mencegah dan menangani masalah gangguan gizi selama masa kehamilan agar
menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal, serta ibu yang
sehat
PERSYARATAN:
1. Terdapat perencanaan, strategi dan kebijakan nasional maupun lokal dalam
penanganan masalah gizi pada ibu hamil
2. Ketersediaan pedoman tentang penanggulangan masalah gizi (KEK, Anemia,
KVA) dan konseling, alat peraga penyuluhan/konseling gizi (seperti food-model,
kit konseling menyusui), pemeriksaan laboratorium (Hb), pita LILA, suplementasi
tablet besi.
3. Ketersediaan pemberi pelayanan gizi yang berkompeten
4. Ketersediaan informasi tentang sistem dan tempat rujukan pelayanan gizi
oleh ahli gizi (tenaga gizi)
PELAKSANAAN:
1. Semua ibu hamil mendapatkan penyuluhan/konseling gizi, termasuk
konseling menyusui
2. Semua ibu hamil mendapatkan suplementasi tablet besi 1 tablet perhari
selama hamil sampai dengan masa nifas (minimal untuk 90 hari), termasuk
konsumsi tablet besi mandiri. Pemberian dilakukan pada waktu pertama kali ibu
hamil memeriksakan kehamilannya (K1).
3. Semua ibu hamil diperiksa status gizi dengan pita LILA pada kunjungan
pertama antenatal. Ibu hamil dengan KEK dirujuk ke fasilitas pelayanan gizi
(petugas gizi).
4. Semua ibu hamil diperiksa kadar Hb pada kunjungan pertama antenatal. Ibu
hamil dengan anemia dirujuk ke fasilitas pelayanan gizi (petugas gizi).
1. Semua ibu hamil dengan anemia dan KEK berat dirujuk ke pelayanan
kesehatan rujukan
Indikator Input:
1. Tersedia dokumen perencanaan, strategi dan kebijakan nasional maupun
lokal dalam penanganan masalah gizi pada ibu hamil
2. Tersedia fasilitas pelayanan gizi yang mencukupi; pedoman-pedoman, alat
peraga penyuluhan/konseling (seperti food model, kit konseling menyusui),
pemeriksaan laboratorium untuk Hb, pita LILA, dan tablet besi.
3. Tersedia petugas yang berkompeten dalam pelayanan gizi
4. Tersedia bagan alur informasi pelayanan rujukan dan daftar tempat rujukan
pelayanan gizi oleh ahli gizi
Indikator Proses:
1. Cakupan ibu hamil yang mendapat penyuluhan/konseling gizi
2. Cakupan ibu hamil yang mendapat tablet besi minimal 90 hari
3. Cakupan ibu hamil yang menderita KEK
4. Cakupan ibu hamil yang menderita anemia
5. Cakupan ibu hamil dengan anemia dan atau KEK berat yang dirujuk dan
mendapat pelayanan gizi
REFERENSI:
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pemberian Tablet
Besi-Folat dan Sirup Besi Bagi Petugas, Jakarta, 1999.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penggunaan Alat
Ukur Lingkar Lengan Atas (LILA) pada wanita usia subur, Jakarta, 1995.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Praktis Terapi Gizi
Medis, Jakarta, 2006.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, UNICEF, HKI, MI, Apa dan
mengapa tentang Vitamin A, Jakarta, 2008.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Buku Kesehatan Ibu dan Anak,
Jakarta, 2009.
STANDAR:
Semua ibu hamil pada setiap kunjungan antenatal mendapatkan informasi dan
penapisan Infeksi Menular Seksual (IMS)/Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), serta
diberi pengobatan dan rujukan yang tepat dan efektif bagi ibu hamil dan
pasangannya.
TUJUAN:
Menurunkan morbiditas, mortalitas maternal dan infertilitas yang disebabkan oleh
IMS dan ISR, serta menurunkan morbiditas dan mortalitas pada bayi/anak.
PERSYARATAN:
1. Terdapat perencanaan, strategi dan Kebijakan nasional maupun lokal tentang
pedoman pencegahan dan pengelolaan IMS/ISR tersedia
2. Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten untuk
memberikan informasi tentang IMS dan ISR, serta mampu mendiagnosis dan
mengobati infeksi tersebut.
3. Seluruh perlengkapan, supplai dan obat-obatan yang dibutuhkan guna
mendiagnosis, mengelola serta (konseling) tentang IMS/ISR tersedia di semua
tempat pelayanan asuhan antenatal .
4. Pelayanan kesehatan IMS/ISR haruslah terjangkau (accessible and
affordable) bagi semua ibu hamil dan pasangannya.
5. Terdapat mekanisme pencatatan hasil pemeriksaan dan pengobatan
IMS/ISR.
6. Tersedia informasi tentang sistem dan tempat rujukan kasus IMS/ISR
PELAKSANAAN:
Tim Asuhan Antenatal Terintegrasi haruslah :
1. Semua ibu hamil yang datang memeriksakan diri selama masa kehamilan,
persalinan dan nifas harus diberikan informasi yang tepat mengenai identifikasi
dan pengendalian IMS/ISR.
Indikator Input:
1. Tersedia dokumen perencanaan, strategi, kebijakan, pedoman nasional
maupun lokal tentang pengendalian IMS/ISR
2. Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten untuk
memberikan informasi tentang IMS/ISR, serta mampu mendiagnosis dan
mengobati infeksi tersebut
3. Tersedia fasilitas untuk pemeriksaan dan pengelolaan IMS/ISR pada tempat
pelayanan asuhan antenatal .
4. Tersedia dokumen SOP mekanisme pencatatan dan pelaporan IMS/ISR
5. Tersedia bagan alur informasi rujukan dan daftar tempat rujukan kasus
IMS/ISR
Indikator Outcome:
1. Prevalensi Gonorrhoea dan Infeksi Chlamydia pada kehamilan
2. Morbiditas pada neonatal dan gejala sisa / sekuel yang diakibatkan IMS
(misalnya Opthalmia)
3. Pengetahuan dan kesadaran ibu dan keluarganya tentang IMS, gejala, tanda,
pengobatannya dan perlunya pengobatan bagi pasangan.
STANDAR:
Semua ibu hamil yang melakukan kunjungan antenatal harus mendapatkan layanan
penapisan sifilis dan atau penapisan frambusia serta diberi pengobatan dan rujukan
yang tepat dan efektif bagi ibu hamil dan pasangannya.
TUJUAN:
Menurunkan mortalitas dan morbiditas ibu dan atau bayi akibat sifilis dan frambusia
PERSYARATAN:
1. Tersedia perencanaan, strategi, kebijakan dan pedoman nasional dan lokal
tentang pencegahan, penapisan dan pengelolaan ibu hamil dengan sifilis dan
atau frambusia.
2. Tersedia informasi tentang manfaat penapisan sifilis dan risiko sifilis jika tidak
diobati pada ibu hamil.
3. Tersedia fasilitas untuk penapisan sifilis, atau fasilitas untuk pengambilan dan
pengiriman specimen untuk penapisan sifilis pada tempat pelayanan asuhan
antenatal dengan fasilitas terbatas.
4. Semua wanita hamil mempunyai akses untuk melakukan/dilakukan
penapisan terhadap sifilis.
5. Tersedia tenaga pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten didalam
pencegahan sifilis, penapisan selama kehamilan, tindakan pada wanita yang
positif sifilis dengan pasangannya, perlindungan dan perawatan pada bayi baru
lahir, konseling pencegahan sifilis, dan bagaimana mencegah reinfeksi selama
kehamilan dengan mempromosikan kondom.
6. Tersedianya metode dan logistik penapisan dengan RPR, VDRL, atau Rapid
Test di pelayanan antenatal.
7. Logistik untuk tes tersedia baik di tempat pelayanan asuhan antenatal
maupun di tingkat laboratorium.
8. Pusat laboratorium dan fasilitas kesehatan menjamin kualitas uji laboratorium
9. Benzatine Penicilin tersedia di tempat pelayanan asuhan antenatal ,
pelayanan maternal dan klinik pasca persalinan.
10. Tersedia sistem monitoring layanan sifilis yang efektif
11. Tersedia materi pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran
individu, keluarga dan komunitas tentang pentingnya mendatangi klinik antenatal
lebih awal untuk pencegahan sifilis dan perawatannya.
12. Tersedianya buku saku atau leaflet yang berisi foto klinis penderita frambusia.
13. Tersedianya informasi tentang sistem rujukan dan tempat pelayanan yang
menjadi rujukan kasus sifilis dan atau frambusia.
PELAKSANAAN:
Indikator Input:
1. Tersedia dokumen perencanaan, strategi, kebijakan dan pedoman nasional
dan lokal tentang pencegahan, penapisan dan pengelolaan ibu hamil dengan
sifilis dan atau frambusia.
2. Tersedia media informasi tentang manfaat penapisan sifilis dan risiko sifilis
jika tidak diobati pada ibu hamil
3. Tersedia tenaga pemberi pelayanan kesehatan yang telah dilatih tentang
pencegahan sifilis, penapisan selama kehamilan, tindakan pada wanita yang
positif sifilis dengan pasangannya, perlindungan dan perawatan pada bayi baru
lahir, konseling pencegahan sifilis, dan bagaimana mencegah reinfeksi selama
kehamilan dengan mempromosikan kondom.
4. Ketersediaan uji penapisan untuk sifilis pada fasilitas kesehatan primer,
minimal rapid test, RPR atau VDRL.
5. Terdapat dokumen SOP tentang penggunaan dan cara melakukan Rapid
test, tes RPR dan atau VDRL yang tersedia di fasilitas kesehatan.
6. Terdapat dokumen SOP untuk penjaminan kualitas uji lab. Dan fasilitas
kesehatan
Indikator Outcome:
1. Insidensi kelainan kongenital akibat sifilis.
2. Angka kesakitan dan kematian perinatal dan neonatal dengan riwayat
kehamilan positif sifilis.
3. Angka kejadian frambusia pada ibu hamil.
REFERENSI:
1. World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer,
Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For Maternal
and Neonatal Care, Geneva, 2007.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Infeksi Menular
Seksual dan Saluran Reproduksi Lainnya pada Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Terpadu, Jakarta, 2008.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ditjen. Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular
Seksual, Jakarta, 2006.
STANDAR:
Semua ibu hamil mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS, akses untuk
mendapatkan layanan VCT (Voluntery Counseling and Test), profilaksis ART, dan
layanan rujukan.
TUJUAN:
Mencegah penularan HIV dari ibu dengan HIV ke bayi dan mengurangi dampak
epidemi HIV terhadap ibu dan bayi.
PERSYARATAN:
1. Tersedia kebijakan nasional maupun lokal tentang HIV-AIDS dan PMTCT,
termasuk buku pedoman (manual) pelayanan HIV pada ibu hamil.
2. Adanya kebijakan dan dukungan dari pemerintah daerah dan institusi pelayanan
kesehatan untuk mendukung dan memberikan pelayanan HIV pada ibu hamil.
PELAKSANAAN:
1. Semua ibu hamil mendapatkan informasi serta faktor risiko HIV, cara
pemeriksaan/tes HIV, risiko penularan ke bayi pada ibu hamil dengan HIV.
2. Pada daerah yang prevalensi HIV tinggi dan atau pada populasi berperilaku risiko
tinggi dilakukan full-coverage untuk VCT.
3. Pada kunjungan antenatal pertama (K1) pemberi pelayanan melakukan
penapisan/penapisan tanda dan gejala HIV serta penapisan/penapisan apakah
ibu hamil termasuk dalam kelompok berisiko tinggi HIV. Jika ya maka dorong dan
beri dukungan agar ibu hamil dan juga suaminya mau melakukan konsultasi dan
tes HIV di klinik VCT terdekat, melakukan aktivitas seksual yang sehat (termasuk
penggunaan kondom) dan konsultasikan ke klinik TBC jika ditemukan batuk lama
yang tidak sembuh.
4. VCT dilakukan dengan prinsip 3C; Counselling, Confidential dan Consent
5. Ibu hamil dengan status HIV -, beri dukungan untuk tetap negatif dan melakukan
aktivitas seksual yang sehat.
6. Ibu hamil dengan HIV mengetahui upaya yang dilakukan untuk menurunkan
risiko penularan ke bayi dan mempunyai akses untuk profilaksis ART, pilihan
persalinan (melalui konseling) dan PASI (Pengganti Air Susu Ibu) (melalui
penyuluhan atau konseling).
7. Ibu hamil dengan status HIV +, diberikan profilaksis ARV (untuk mencegah
penularan dari ibu ke bayi) dan kemudian dilakukan pemeriksaan CD4 nya untuk
menentukan indikasi pemberian ARV.
8. Ibu hamil dengan HIV +, mempunyai pilihan untuk menentukan cara persalinan
(melalui konseling) apakah memilih melahirkan melalui partus normal atau SC
dan berharap ibu dengan HIV tidak memberikan ASI kepada bayinya.
9. Ibu dengan HIV +, setelah melahirkan mendapatkan ARV dengan indikasi
(karena pemberian ART adalah untuk seumur hidup).
10. Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV , mendapatkan profilaksis ARV dan
dilakukan pemeriksaan status HIV nya pada umur 18 bulan.
Indikator Input:
1. Adanya dokumen kebijakan nasional, kebijakan pemerintah daerah dan
fasilitas kesehatan tentang pelayanan HIV pada ibu hamil.
2. Provider telah dilatih/mendapat pelatihan tentang HIV pada ibu hamil.
3. Tersedia bagan alur informasi pelayanan rujukan dan daftar tempat rujukan
kasus HIV
Indikator Outcome:
1. Jumlah bayi yang HIV+ dari ibu hamil HIV+
2. Jumlah bayi yang HIV- dari ibu hamil HIV+
3. Jumlah bayi yang HIV+ menurut cara persalinan ibu hamil HIV+
4. Jumlah efek samping obat ARV pada ibu hamil yang mendapat ARV.
REFERENSI:
1. World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer,
Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For Maternal
and Neonatal Care, Geneva, 2007.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ditjen Pemberantasan Penyakit
dan Pengendalian Lingkungan, Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan bagi Odha, Jakarta, 2006.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Tata Laksana Infeksi
HIV dan Antiretroviral pada Anak di Indonesia, Jakarta, 2008
STANDAR:
Semua ibu hamil di daerah endemis malaria mendapatkan penapisan malaria,
kelambu berinsektisida (LLIN/Long Lasting Insecticide Nets (Kelambu berinsektisida
tahan lama)) pada kunjungan antenatal pertamakali, dan bila hasil pemeriksaan
positif untuk malaria, maka ibu hamil diberi pengobatan sesuai usia kehamilan.
TUJUAN:
Menurunkan insidens penyakit malaria dan berbagai komplikasi/dampak negatif
terhadap ibu hamil yang disebabkan oleh penyakit malaria
PERSYARATAN:
1. Tersedia pedoman teknis dan kebijakan nasional maupun lokal dalam
pencegahan, penegakan diagnosis dan pengobatan penyakit malaria
2. Tersedianya pemberi pelayanan di unit pelayanan antenatal yang sudah terlatih
dan kompeten dalam pengelolaan kasus malaria selama kehamilan antara lain:
penegakan diagnosa baik secara mikroskopis maupun RDT, pemberian obat
untuk kasus positif malaria, dan penyuluhan untuk penggunaan kelambu
berinsektisida
3. Ibu hamil mau dan mampu mengakses ke tempat pelayanan asuhan antenatal .
4. Ada jaminan ketersediaan mikroskop atau RDT, obat dan kelambu
PELAKSANAAN:
Tim antenatal di daerah endemis harus mampu:
1. Melakukan pemeriksaan sediaan darah dengan mikroskopik atau RDT pada
kunjungan pertama ibu hamil ataupun kunjungan berikutnya bila disertai dengan
keluhan demam. Apabila serologis positif dilakukan pengobatan berdasarkan
umur kehamilan.
Trimester I : Kina (dosis 10 mg/kg BB/kali diberikan 3 kali sehari selama 7 hari)
Trimester II, III : ACT (Artemisinin Combination Therapy) (Artesunat 10 mg/kgBB,
Amodiakuin 10mg/kgBB selama 3 hari )
2. Setiap ibu hamil diberikan kelambu berinsektisida disetiap kunjungan pertama,
atau kunjungan berikutnya apabila belum mendapatkan kelambu pada kunjungan
pertama/sebelumnya.
4. Dilakukan pemberian motivasi secara sungguh-sungguh agar semua ibu
hamil bersedia tidur memakai kelambu sesegera mungkin selama umur
kehamilan mereka bahkan dilanjutkan setelah pasca persalinan.
Tim Antenatal di daerah non-endemis harus mampu :
1. Mewaspadai jika dijumpai ibu hamil yang memiliki gejala anemis dan/atau
demam jika sebelumnya mempunyai riwayat pernah menderita dan/atau
berkunjung di daerah endemis malaria. Selanjutnya diberikan pengobatan sesuai
dengan standar teknis pengobatan malaria yang berlaku secara nasional.
2. Sebagai bentuk upaya pencegahan dan dapat memberikan nasehat agar
semua ibu hamil lebih waspada apabila akan tinggal atau berpergian ke wilayah
endemis malaria dan dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap gigitan
nyamuk misal dengan memakai pakaian tertutup, lotion anti nyamuk , dll
3. Dibuatkan catatan riwayat pengobatan malaria secara lengkap di kartu
antenatal dari semua ibu hamil.
Indikator Input:
1. Tersedia dokumen pedoman teknis dan kebijakan nasional maupun lokal
dalam pencegahan, penegakan diagnosis dan pengobatan penyakit malaria
2. Tersedia Obat anti malaria di unit pelayanan antenatal
3. Tersedia Alat pemeriksaan sediaan darah malaria (mikroskop/RDT)
4. Tersedia kelambu berinsektisida
5. Terdapat dokumen rencana kegiatan penyuluhan Malaria berbasis komunitas
6. Terdapat bagan alur informasi pelayanan rujukan kasus Malaria dan daftar
tempat pelayanan yang menjadi rujukan
Indikator Outcome:
1. Jumlah ibu hamil yang menderita malaria
2. Jumlah komplikasi akibat malaria (anemi, malaria berat, abortus, persalinan
sebelum waktunya,BBLR/Berat Badan Lahir Rendah)
3. Jumlah ibu hamil yang tidur memakai kelambu malam sebelumnya (dalam 1
bulan)
4. Persentase ibu hamil yang menderita malaria (dengan denominator jumlah kasus
malaria)
REFERENSI:
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pencegahan dan
Penanganan Malaria Pada Ibu Hamil dan Nifas, Jakarta, 2009.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penatalaksanaan Kasus
Malaria di Indonesia, Jakarta, 2008.
3. World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer, Integrated
Management of Pregnancy and Childbirth: Standards For Maternal and Neonatal
Care, Geneva, 2007.
STANDAR:
Semua wanita yang dijumpai pada periode kehamilan harus diberikan informasi yang
tepat mengenai pencegahan dan pengenalan penyakit TB Paru dan Kusta. Mereka
harus diperiksa gejala dan tanda TB Paru dan Kusta, dan bila perlu diberikan
pengobatan yang tepat dan efektif bagi mereka
TUJUAN:
Menurunkan angka kesakitan atau angka kematian penyakit TB Paru dan Kusta
dengan cara memutuskan rantai penularan, kekambuhan dan Multi Drug Resistant
(MDR) (khusus pada TB Paru) dapat dicegah sehingga penyakit TB Paru dan Kusta
tidak lagi merupakan masalah kesehatan bagi ibu hamil di Indonesia.
PERSYARATAN:
1. Adanya suatu kebijakan nasional dan adaptasi lokal pedoman pencegahan dan
pengelolaan TB Paru dan Kusta pada semua ibu hamil
2. Tersedia pemberi pelayanan asuhan antenatal yang kompeten dalam mengenali
dan memberikan informasi kepada para ibu tentang gejala, tanda dan
pencegahan TB Paru dan Kusta
3. Terdapat tenaga wasor Kusta Kabupaten, minimal 2 orang per kabupaten,
dibantu dengan dokter/petugas Kusta terlatih di Puskesmas.
4. Seluruh perlengkapan, supplai dan pengobatan yang diperlukan untuk
penatalaksanaan, konseling dan pencegahan TB Paru dan Kusta tersedia di
berbagai level tempat pelayanan asuhan antenatal .
5. Jasa pelayanan kesehatan untuk TB Paru dan Kusta mudah didapat dan
terjangkau bagi ibu hamil
6. Terdapat mekanisme untuk merekam hasil pemeriksaan dan pengobatan TB
paru
7. Kegiatan penyuluhan kesehatan dilaksanakan untuk meninggikan kesadaran
masyarakat tentang pencegahan dan penatalaksanaan TB Paru dan Kusta pada
kelompok ibu hamil
PELAKSANAAN:
1. Paradigma Sehat.
a) Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini mungkin, serta
meningkatkan cakupan program.
b) Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat.
c) Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi pada kondisi tertentu.
2. Srategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), sesuai rekomendasi
WHO, terdiri dari 5 komponen yaitu :
a) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dana.
Indikator Input:
1. Pedoman pengelolaan TB dan kusta pada ibu hamil yang sesuai dengan standar
dan arah kebijakan nasional tersedia di unit pelayanan ANTENATAL
2. Obat anti TB dan kusta tersedia di unit pelayanan ANTENATAL atau Puskesmas
dan level yang lebih tinggi.
3. Tersedia tenaga pelaksana program TB dan kusta pada level yang lebih tinggi
4. KPP (Kelompok Unit pelayanan Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Unit
pelayanan Rujukan Mikroskopik) dan beberapa PS (Unit pelayanan Satelit).
Untuk daerah dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM (Unit pelayanan
Pelaksana Mandiri).
5. Tersedia informasi tentang sistim rujukan dan tempat pelayanan yang menjadi
rujukan TB dan kusta
Keterangan:
Target dari program TB secara nasional antara lain :
1. Case detection rate (CDR) >70%
2. Conversion rate > 90%
3. Cure rate > 85%
4. Error rate < 5%
Ketercapaian beberapa indikator tersebut diatas diharapkan dapat menurunkan
tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya
Indikator Outcome:
1. Kematian ibu hamil yang terkait dengan TB paru
2. Komplikasi ibu yang terkait dengan TB paru
3. Jumlah kasus penularan infeksi TB paru ke bayi
4. Kematian perinatal yang terkait dengan TB paru selama kehamilan
5. Jumlah kasus Kusta pada Ibu hamil
REFERENSI:
1. World Health Organization Department of Making Pregnancy
Safer, Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For
Maternal and Neonatal Care, Geneva, 2007.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2, Cetakan kedua, Jakarta, 2008
STANDAR:
Semua wanita hamil harus terlindung dari kecacingan dan akibat yang
ditimbulkannya, baik terhadap ibu maupun bayi yang dilahirkan. Bila dijumpai anemia
yang berat tanpa tanda-tanda lain, perlu adanya penapisan khusus tentang
kecacingan.
TUJUAN:
Mencegah kecacingan dan akibat yang ditimbulkannya (anemia) pada ibu hamil
maupun bayi yang dilahirkan
PERSYARATAN:
1. Adanya kebijakan dan strategi nasional pencegahan kecacingan pada wanita
hamil dan diimplementasikan dengan baik.
2. Ketersediaan pemberi pelayanan antenatal yang kompeten untuk
memberikan penyuluhan/informasi tentang pencegahan, akibat dan
pengendalian kecacingan dalam kehamilan
3. Terdapat fasilitas yang dibutuhkan untuk penapisan dan intervensi anemia
dan kecacingan pada ibu hamil
4. Terdapat informasi tentang sistim rujukan dan tempat yang menjadi rujukan
pelayanan kecacingan dalam kehamilan
PENERAPAN STANDAR:
1. Semua ibu hamil diperiksa kadar Hb pada kunjungan pertama antenatal.
2. Semua ibu hamil dengan gejala dan tanda anemia, terutama Hb < 8 g/dl perlu
dilakukan penapisan kecacingan dengan pemeriksaan tinja/feses dan gambaran
hitung jenis (eosinofilia)
3. Bila pemeriksaan tinja/feses menunjukkan hasil positif telur cacing atau
keluar cacing pada waktu buang air besar maka perlu pengobatan
4. Bila teridentifikasi suatu kasus kecacingan pada ibu hamil, berikan ibu obat
cacingan sesudah melewati trimester ke 1.
5. Pada daerah dengan prevalensi kecacingan yang tinggi, semua ibu hamil
dilakukan penapisan terhadap kecacingan
6. Memberikan penyuluhan kesehatan untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat tentang perlunya pencegahan kecacingan dalam kehamilan
Indikator Input:
1. Terdapat dokumen perencanaan, strategi dan kebijakan nasional terkait
pencegahan kecacingan dalam kehamilan pada tempat pelayanan asuhan
antenatal
2. Tersedia pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten untuk mengidentifikasi
dan mengintervensi kecacingan pada kehamilan
3. Tersedia fasilitas untuk penapisan anemia dan kecacingan pada tempat
pelayanan asuhan antenatal
4. Terdapat kegiatan penyuluhan kesehatan berbasis komunitas dalam rangka
REFERENSI :
KEPMENKES RI No.424/MENKES/SK/VI/2006 Tentang Pedoman Pengendalian
Cacingan, 2006.
STANDAR:
Ibu hamil melakukan kunjungan antenatal minimal 4 kali dengan mendapatkan
pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai sesuai dengan karakteristik,
kebutuhan dan kemampuan lokal
TUJUAN:
Membantu ibu hamil agar dapat tetap sehat selama kehamilan dan dapat
mempersiapkan persalinan dengan optimal sehingga didapatkan keluaran ibu dan
bayi yang sehat. Menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal neonatal yang
diakibatkan masalah kesehatan terkait kehamilan.
PERSYARATAN:
1. Cakupan pelayanan Asuhan Antenatal Dasar (K1dan K4) telah memenuhi target
cakupan
2. Merupakan wilayah yang berpotensi endemis atau berisiko tinggi terjadinya
masalah kesehatan terkait kehamilan
3. Tersedia perencanaan, strategi, pedoman, dan kebijakan nasional maupun lokal
terkait program pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi yang akan
dijalankan
4. Tersedia fasilitas pendukung layanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai
dengan program yang akan dijalankan
5. Ibu hamil mau dan mampu mengakses tempat pelayanan asuhan antenatal
6. Tenaga asuhan antental telah mendapatkan pelatihan dan berkompeten
menyelenggarakan layanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai dengan
program yang akan dijalankan
7. Tersedia informasi sistem dan tempat rujukan untuk masing-masing kasus dalam
program Asuhan Antenatal Terintegrasi yang akan dijalankan
8. Tersedia pedoman tentang standar pencegahan infeksi pada fasilitas asuhan
antenatal
9. Persyaratan khusus mengacu pada masing-masing program Asuhan Antenatal
Terintegrasi yang akan dijalankan
10. Tersedia catatan medik dan buku register yang disimpan di tempat pelayanan
asuhan antenatal dan buku pemeriksaan kehamilan (buku KIA) yang dibawa
oleh ibu hamil.
11. Sistem pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi mampu mendorong terciptanya
komunikasi 2 arah antara petugas dengan ibu hamil dan suami, serta keduanya
PELAKSANAAN:
1. Setiap ibu hamil melakukan minimal 4 kali kunjungan ke fasilitas
asuhan antenatal dengan jadwal yang dianjurkan sesuai pedoman nasional
2. Dalam 4 kali kunjungan, minimal disertai/diantar oleh suami 1 kali
kunjungan.
3. Pada setiap kunjungan ibu hamil minimal mendapatkan pelayanan
”7T” sebagai berikut; Timbang berat badan dan ukur tinggi badan, ukur Tekanan
darah, ukur Tinggi fundus uteri, penapisan status imunisasi Tetanus Toxoid (TT)
dan pemberian bila perlu, pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama
kehamilan, Tes laboratorium sesuai indikasi (Hb, IMS/ISR, Sifilis, HIV/AIDS, TB,
Malaria), Temu wicara/konseling meliputi perencanaan persalinan dan
pencegahan komplikasi (terkait dengan Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi/P4K), perencanaan KB pasca persalinan, gizi, dan
asuhan bayi baru lahir.
4. Pada setiap kunjungan, semua pemeriksaan dan tindakan yang
diberikan harus memenuhi standar pencegahan infeksi (universal precautions)
5. Pada setiap kunjungan diinformasikan tentang pengawasan
kehamilan yang dapat dilakukan oleh ibu hamil dan tanda kegawatan dimana ibu
hamil harus segera datang untuk memeriksakan diri.
6. Apabila ditemukan ketidak normalan pada kunjungan antenatal,
petugas menyampaikan rencana tindak lanjut, kemungkinan untuk melakukan
rujukan (pemeriksaan penunjang; laboratorium atau USG, konsultasi, perawatan)
atau jarak kunjungan berikutnya yang lebih pendek. Misalkan, jika ditemukan ibu
hamil dengan Anemi maka jadwal kunjungan berikutnya adalah 2 minggu, jika
ditemukan Hipertensi pada kehamilan 8 bulan atau lebih maka kunjungan
berikutnya adalah 1 minggu. Kunjungan lebih pendek dari jadwal juga dilakukan
pada ibu hamil dengan Malaria dan HIV positif.
7. Pada kunjungan terakhir diinformasikan tentang tanda-tanda
persalinan dan saran untuk datang tidak lebih dari 2 minggu sebelum waktu
tanggal taksiran persalinan.
8. Pelaksanaan disesuaikan dengan petunjuk pelaksanaan tiap program
dalam Asuhan Antenatal Terintegrasi
Indikator Input:
1. Tersedia data/informasi cakupan pelayanan Asuhan Antenatal Dasar (K1 dan
K4)
2. Tersedia informasi status endemisitas atau daerah daerah berisiko tinggi
terjadinya masalah kesehatan terkait kehamilan
3. Tersedia dokumen perencanaan, strategi, dan kebijakan nasional maupun
lokal terkait program Asuhan Antenatal Terintegrasi yang akan dijalankan
4. Tersedia fasilitas pendukung layanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai
dengan program yang akan dijalankan
5. Tenaga asuhan antental telah mendapatkan pelatihan menyelenggarakan
layanan Asuhan Antenatal Terintegrasi sesuai dengan program yang akan
dijalankan
6. Tersedia bagan alur informasi sistem rujukan dan daftar tempat rujukan untuk
masing-masing kasus dalam program Asuhan Antenatal Terintegrasi yang akan
dijalankan
7. Tersedia dokumen pedoman tentang standar pencegahan infeksi atau
Indikator Outcome:
1. Angka morbiditas dan mortalitas maternal neonatal yang diakibatkan masalah
kesehatan terkait kehamilan
2. Jumlah kasus infeksi terkait tindakan pemeriksaan dan pengobatan yang
dilaksanakan di tempat pelayanan asuhan antenatal
3. Cakupan persalinan yang dilayani oleh petugas kesehatan.
4. Angka kematian Maternal.
5. Angka kematian Perinatal.
REFERENSI :
1. World Health Organization Department of Making Pregnancy Safer,
Integrated Management of Pregnancy and Childbirth : Standards For Maternal
and Neonatal Care, Geneva, 2007.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Buku Kesehatan Ibu dan
Anak, Jakarta, 2009.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pelayanan
Antenatal, Jakarta, 2007.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Bimbingan
Teknis Asuhan Kebidanan dan Perinatal, Jakarta, 2006.