You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Hukum adalah perintah dari penguasa, dalam arti perintah dari mereka yang
memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, seperti yang
dikatakan John Austin.Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia,
setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan
(gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan
kemanfaatan (zweckmassigkeit)

Keadilan ini berkaitan dengan pendistribusian hak dan kewajiban,


diantara sekian hak yang dimiliki manusia terdapat hak yang bersifat
mendasar yang merupakan anugerah alamiah langsung dari Allah, SWT,
yaitu hak asasi manusia atau hak kodrati manusia, semua manusia tanpa
pembedaan ras, suku, bangsa, agama, berhak mendapatkan keadilan, maka
di Indonesia yang notabene adalah negara yang sangat heterogen
tampaknya dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan
negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya sebelum
membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat,
haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan
mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama
yang ada di Indonesia, penulis tertarik dengan argumen Bismar Siregar
bahwa ia pernah mengatakan “bila untuk menegakkan keadilan saya
korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, hukum hanya
sarana, sedangkan tujuan akhirnya adalah keadilan”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah Teori Hukum menurut Roscoe Pound dan Friedrich Carl Von
Savigny ?
2. Teori apakah yang dipakai dalam pembentukan hokum di Indonesia?
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI HUKUM ROSCOE POUND DAN FRIEDRICH


CARL VON SAVIGNY

2.1 TEORI HUKUM ROSCOE POND dan FRIEDRICH CARL VON SAVIGNY.

 ROSCOE POUND

Sociological Jurisprudence

Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological
Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan Hukum”
daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum
pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam
pengertian law in books. Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi
yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi
terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud
penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan
hukum dan orientasi hukum.1

Fungsi Utama Hukum

Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada


dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound : ada tiga kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum, yaitu : public interest; individual interest; dan interest of
personality. Rincian dari tiap-tiap kepentingan tersebut bukan merupakan
daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai perkembangan masyarakat.
Jadi, sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila
kepentingan-kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak
berubah-ubah, maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering
tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik).2

1
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2007.
2
Ibid.hal 66
Tugas Utama Hukum

Tugas utama hukum adalah rekayasa sosial (law as a tool of social


engineering, Roscoe Pound). Hukum tidak saja dibentuk berdasarkan
kepentingan masyarakat tetapi juga harus ditegakkan sedemikian rupa oleh
para yuris sebagai upaya sosial kontrol dalam arti luas yang pelaksanaannya
diorientasikan kepada perubahan-perubahan yang dikehendaki.3

Oleh karena itu, sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen di luar


hukum, maka para penegak hukum dalam mewujudkan tugas utama hukum
harus memahami secara benar logika, sejarah, adat, istiadat, pedoman prilaku
yang benar agar keadilan dapat ditegakkan.

Keputusan hukum yang adil dapat digunakan sebagai sarana untuk


mengembangkan masyarakat. Tugas utama adalah sarana pembaharuan
masyarakat dalam pembangunan.

Peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence

Kehidupan hukum sebagai kontrol sosial terletak pada praktek


pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Tugas hakim dalam menerapkan
hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal
dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu
sebagai upaya social engineering.

Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap


undang-undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik)
atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga
sebagai penggerak social engineering.

Para penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari


hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan melakukan perubahan hukum
selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum
fungsional).

3
Dewa Gede Wirasatya P. Catatan Perkuliahan Sosiologi Hukum Prof.Sirtha,2010
Teori Hukum Menurut Roscoe Pound

“Law is a tool of social engineering”Adalah apa yang dikatakan oleh


Roscoe Pound terhadap hukum itu. Sama seperti apa yang dikatakan oleh
Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan azas-azas dan kaedah-
kaedah yang mengatur masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses
untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Kedua ahli hukum ini
memiliki pandangan yang sama terhadap hukum.4

Kepentingan negara adalah harus yang paling tinggi/ atas dikarenakan


negara mempunyai kepentingan nasional. Kepentingan nasional tersebut harus
melindungi kepentingan negara kemauan negara adalah kemauan publik.
Karena hukum itu bukan seperti yang dikatakan oleh teori-teori positivisme
hukum bahwa hukum memiliki sifat tertutup.

Hukum sangat dipengaruhi oleh ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya.


Tidak hanya sekedar kemauan pemerintah. Suatu logika yang terbuka,
perkembangan kebutuhan masyarakat sangat mempengaruhi pertumbuhan
hukum di dalam masyarakat. Politik sangat mempengaruhi pertumbuhan
hukum di dalam masyarakat.5

Hukum berasal dari pemerintah dalam hal ini menurut Bismar Nasution
apa yang disebutnya dengan top down. Pemerintah disini dalam konteks badan
eksekutif. Hasilnya adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), Keppres, Perpres, Inpres,
Penpres, Kepmen/ Permen, dan sebagainya. Jika kita lihat dalam konteks
pemerintah daerah, hasilnya yaitu Perda Propinsi, Keputusan Kepala Daerah
Propinsi, Perda Kabupaten/ Kota, Keputusan Kepala Daerah Kabupaten Kota,
Peraturan Desa.

Hukum itu berperan untuk merubah keadaan masyarakat seperti apa


yang diinginkan hukum tersebut. Hukum dapat melakukan perubahan secara
paksa. Agar mencapak kondisi yang diinginkan oleh hukum. Hukum dipaksakan
kebawah. Contoh : Peraturan Larangan Merokok, berhenti merokok adalah
4
Ibid.hal 66
5
Dewa Gede Wirasatya P. Catatan Perkuliahan Sosiologi Hukum Prof.Sirtha,2010
kepentingan masyarakat. Jika negara memaksa kita untuk merubah/ melarang
ke arah yang lebih baik. Karena merokok dapat merugikan kesehatan. Inilah
yang disebut social control.

Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik


peranan kekuatan politik itu sangat menentukan. Institusi politik secara resmi
diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang
vacum tanpa diisi oleh mereka yang diberikan kewenangan untuk itu.

Fungsi Utama Hukum

Salah satu masalah yang dihadapi adalah menemukan sistem dan


pelaksanaan penegakan hukum yang dapat menjelmakan fungsi hukum dengan
baik seperti fungsi kontrol sosial, fungsi menyelesaikan perselisihan, fungsi
memadukan, fungsi memudahkan, fungsi pembaharuan, fungsi kesejahteraan
dan lain-lain.

Pada saat ini, perbedaan-perbedaan fungsi hukum tersebut, sering kali


menjadi unsur yang mendorong timbulnya perbedaan mengenai tujuan
menerapkan hukum. Ada yang lebih menekankan pada fungsi kontrol sosial,
atau fungsi perubahan, dan lain-lain. Kalau masing-masing pihak menuntut
menurut keinginannya sendiri-sendiri maka yang timbul adalah permasalahan
hukum bukan penyelesaian hukum. Bahkan menimbulkan konflik yang
berkonotasi saling menyalahkan, saling menuduh, dan lain-lain.

Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada


dalam masyarakat. Seperti yang dibahas pada topik sebelumnya dalam konteks
kepentingan menurut Roscoe Pound. Rincian dari tiap-tiap kepentingan tersebut
bukan merupakan daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Jadi, sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi
masyarakat.

Apabila susunan kepentingan-kepentingan tersebut disusun sebagai


susunan yang tidak berubah-ubah, maka susunan tersebut bukan lagi sebagai
social engineering tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik).
Jadi, hukum itu berasal dari bawah ke atas. Dalam konteks bawah ini
dapat dilihat bahwa hukum berasal dari masyarakat yang diwakilkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wakil rakyat di dalam pemerintahan.
Apa yang diinginkan oleh masyarakat akan diaspirasikanh DPR yang
selanjutnya dibuat undang-undangnya dengan atau tidak persetujuan dari
Presiden, karena DPR mempunyai hak inisiatif dalam pembuatan undang-
undang yang dapat disebut bottom up. Namun, inisiatif DPR dalam pembuatan
undang-undang tidak mementingkan kepentingan rakyat, karena tidak ada
yang bottom up.

 VON SAVIGNY

Friedrich Carl von Savigny atau yang biasa di kenal dengan Von Savigny
6
adalah salah satu dari pendasar Mazhab Sejarah.

Pandangan von Savigny berpangkal kepada bahwa di dunia ini terdapat


bermacam-macam bangsa yang pada tiap-tiap bangsa tersebut mempunyai suatu
Volkgeist atau Jiwa Rakyat. Jiwa ini berbeda-beda, baik menurut waktu maupun
tempat. Pencerminan dari adanya jiwa yang berbeda-beda itu tampak pada
kebudayaan dari bangsa tadi yang berbeda-beda. Ekspresi itu tampak pula pada
hokum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu.
Karenanya, demikian von Savigny, tidak masuk akal jika terdapat hokum yang
berlaku universal dan pada semua waktu. Hukum sangat bergantung atau
bersumber pada jiwa rakyat tadi dan yang menjadi isi dari hokum itu ditentukan
oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum menurut
pendapatnya berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang
pencerminanya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masayarakat
modern dan kompleks di mana kesadaran hokum rakyat itu tampak pada apa yang
di ucapkan ahli hukumnya.7

6
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. Loc.cit, hal 64
7
ibid,hal 65
Konsep jiwa masyarakat dalam teori Savigny tentang hukum ini tidak dapat
menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. Sehingga amat sulit
melihat fungsi dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut teori
ini.

2.2 PENGARUH TIMBAL BALIK HUKUM DAN MASYARAKAT

Sesudah penulis membahas tentang dasar teori hokum dari Roscoe Pound
dan von Savigny penulis merasa perlu mengangkat sedikit tentang hal ini dan cirri-
ciri khas hokum.

Pengaruh timbal balik hokum dan masyarakat timbul dari adanya krisis
dalam kehidupan masyarakat. Suatu krisis masyarakat mempunyai pengaruh yang
lebih besar terhadap hokum daripada terhadap lain-lain aktivitas social. Perubahan
dalam dasar-dasar masyarakat mengubah pula dasar-dasar nilai hokum. Dasar-
dasar hokum dengan jelas di pengaruhi oleh dasar politik, ekonomi, kehidupan
social, kesusilaan, sebaliknya hokum mempunyai tugas member kepadanya bentuk
dan ketertiban.8

Dari hubungan hokum dengan masalah-masalah yang diaturnya sebagai


tersebut dia atas berkembanglah 3 ciri khas. Ciri-ciri khas tersebut dalam pokoknya
adalah fundamental untuk pengertian hokum, akan tetapi pada waktu ada krisis di
masyarakat, cirri-ciri tersebut mempunyai kecenderungan untuk memisah hukun
dan realitas-realitas yang ada di masyarakat. Ciri-ciri khas tersebut adalah :

1. Stabilitas (keseimbangan yang tetap). Stabilitas adalah suatu hal yang


penting untuk hokum dan suatu pendorong yang vital untuk perkembangan
hokum. Akan tetapi keinginan para ahli hokum untuk memelihara stabilitas
keadaan, seringkali menutup matanya terhadap perubahan-perubahan social
dan perkembangan-perkembangnya. Hal tersebut menyebabkan “hokum”
hanya menjadi suatu “bayangan” atau ditentang oleh kekuatan social yang
lebih kuat daripadanya.

2. Formalisme. Ciri kedua adalah formalism. Karena hokum adalah suatu


metoda guna mengatur hubungan-hubungan social dengan cara khusus
maka “bentuk” merupakan hal yang sangat penting dalam system hokum
8
Soetiksno, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, cetakan ke delapan, 1997.
dan pendidikan hokum. Salah satu pertentangan dalam teori hokum yang
penting adalah mereka yang menekankan pada “bentuk” dan mereka yang
menekankan pada “isi”. Bagaimanapun juga tidak dapat disangsikan bahwa
untuk kebanyakan para ahli hokum pada umumnya “bentuk” guna mengatur
hubungan social khusus dianggap lebih penting daripada hubungan social itu
sendiri. Untuk seorang ahli hokum yang bekerja di bawah suatu system
hokum modern, adalah sangat sukar untuk tidak tertimbun dengan teknik.
Peranan yang tidak dapat diabaikan yang dipegang oleh “preceden”,
penafsiran peraturan-peraturan pencarian perkembangan sejarah suatu
”clausule” atau suatu pengertian tertentu,soal-soal pembuktian dan prosedur
semua hal tersebut mempunyai kecenderungan menutupi keaktifan-keaktifan
social yang ada di belakangnya.

3. Keinginan supaya terhindar dari kekacauan. Ketiga atau barangkali yang


penting dalam efeknya, adalah keinginan untuk dapat terhindar dari
kekacauan. Hal ini memang suatu keinginan manusia yang umum lebih
banyak diingini berhubung adanya banyak kekacauan di dunia ini.9

2.3 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN TEORI HUKUM ROSCOE PONDS DAN VON
SAVIGNY

A. Persamaan

Persamaan antara teori hukum Roscoe Pound dan Friedrich Karl von Savigny
adalah terletak pada cara pandang kedua para ahli tersebut mengenai hukum yaitu
sama-sama melalui kaca mata sosial yang tidak terlepas dari masyarakat.

B.Perbedaan

Perbedaan antara teori hukum Roscoe Pound dan Friedrich Karl von Savigny,
dapat dilihat dari:

a. Asal hukum, jika Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum itu berasal
dari atas ke bawah (atas disebut dengan penguasa, sedangkan bawah

9
Ibid,hal.19
disebut dengan masyarakat) sedangkan Savigny berpendapat bahwa
hukum itu berasal dari bawah ke atas (bawah disebut dengan
masyarakat, sedangkan atas disebut dengan penguasa);

b. Fungsi hukum, jika Roscoe Pound mengatakan bahwa fungsi hukum


untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat,
sedangkan Savigny tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana
persyaratan dari suatu jiwa masyarakat itu sehingga menyebabkan
tidak dapat mengemukakan fungsi hukum tersebut.

BAB III

3.1 TEORI YANG DIPERGUNAKAN DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI


INDONESIA

Dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia


dapat dilihat dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Per-Undang-Undangan dalam Bab X menegaskan adanya partisipasi
masyarakat yaitu seperti yang diatur dalam Pasal 53.
Menurut peraturan per-undang-undangan yang disebutkan di atas,
kenyataannya menunjukkan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi
pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Teori yang
dipakai dalam hal pembentukan hukum adalah teori Friedrich Karl von Savigny
(volkgeist). Bahwa undang-undang dibentuk dari jiwa masyarakat karena
masyarakat diikutkan partisipasinya untuk menyampaikan aspirasinya seperti yang
diperintahkan oleh undang-undang. Pembentukan hukum di Indonesia selalu
dipengaruhi oleh suatu kepentingan-kepentingan. Kekuasaan politiklah yang
memiliki kepentingan tersebut. Kekuasaan politik tersebut duduk di dalam institusi
untuk melakukan legislasi kepentingan. Jadi, kekuasaan politik dapat
mempengaruhi hukum. Tapi, pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam Pasal 53
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-
Undangan yang menyatakan bahwa : Masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan
undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Ini membentuk hukum dibatasi
ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan check and
balances, seperti yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan.

Dalam hal ini pemerintah yang membuat undang-undang untuk dijalankan


masyarakat, lebih kepada suatu rekayasa sosial. Jadi, pada kenyataannya
pembentukan hukum di Indonesia menggunakan teori Roscoe Pound (social
engineering) yang top down. Contoh Peraturan Per-Undang-Undangan

Dalam hal ini dapat kita lihat terlebih dahulu dengan teori Roscoe Pound
(social engineering), yaitu : Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pada Pasal 7 Ayat (1). Pemerintah melakukan rekayasa sosial untuk memperlambat
laju pertumbuhan penduduk di Indonesia dengan menentukan umur perkawinan.
Jika melihat teori dari Friedrich Karl von Savigny (volkgeist), yaitu : Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Disini masyarakat tidak menginginkan adanya monopoli perdagangan, jadi
sebagai perwakilannya DPR mengajukan RUU tersebut untuk disahkan oleh
Presiden. Namun, dikarenakan Pemerintah juga mempunyai kehendak yang sama
dalam pengajuan RUU tersebut maka UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut memakai teori kedua
para ahli.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARANA.


4.1 Kesimpulan

Dalam penulisan makalah ini, dapat ditarik kesimpulan adalah menurut Roscoe
Pound, hukum berasal dari atas ke bawah (top down). Atas sama dengan
Pemerintah lalu bawah sama dengan masyarakat; sedangkan menurut Friedrich
Karl von Savigny, hukum berasal dari bawah ke atas (bottom up).

Bawah sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan kata lain sebagai
perwakilan rakyat lalu atas sama dengan Pemerintah yang melegitimasi kemauan
masyarakat tersebut.Hukum yang diterapkan di Indonesia kebanyakan berasal dari
badan eksekutif tidak dari legislatif, sehingga hukum lebih cenderung kepada
kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan. Keberadaan hukum adat tidak
pernah akan mundur atau tergeser dari percaturan politik dalam membangun
hukum nasional, hal terlihat dari terwujudnya ke dalam hukum nasional yaitu
dengan mengangkat hukum rakyat/ hukum adat menjadi hukum nasional terlihat
pada naskah Sumpah Pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat
menjadi hukum nasional yang modern. Mengukuhkan hukum adat akan berarti
mengukuhkan pluralisme hukum dan tidak berpihak kepada hukum nasional yang
diunifikasikan (dalam wujud kodefikasi) dan ide kodefikasi dan unifikasi diprakarsai
kolonial yang berwawasan universalistis, dimana hukum adat adalah hukum yang
memiliki perasaan keadilan masyarakat lokal yang pluralistis, dengan mengingat
bahwa hukum kolonial dianggap sangat bertentangan dengan hukum adat adalah
merupakan tugas dan komitmen Pemerintah untuk melakukan unifikasi dan
kodefikasi ke dalam hukum nasional tersebut.

Law as a tool of social engineering, baru siap dengan rambu-rambu pembatas dan
belum siap dengan alternatif positif yang harus diwujudkan, dimana hukum nasional
harus berdasarkan hukum adat, dan juga sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Ide law as a tool of social engineering adalah untuk memfungsikan hukum guna
merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja dengan tidak melupakan hukum tata
negara. Hukum kolonial secara formil masih berlaku dan sebagian kaidah-kaidahnya
masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan ketentuan peralihan,
terlihat terjadi pergerakan ke arah pola-pola hukum Eropa (Belanda). Terjadi
pertentangan antara hukum kolonial dengan hukum adat adalah merupakan tugas
dan komitmen Pemerintah untuk melakukan unifikasi dan kodefikasi ke dalam
hukum nasiona, dimana badan kehakiman diidealkan menjadi hakim yang bebas
serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan adalah harapan sebagai badan
yang mandiri dan kreatif untuk merintis pembaharuan hukum lewat
mengartikulasian hukum dan moral rakyat, telah melakukan konsolidasi dengan
dukungan politik militer dan topangan birokrasi yang distrukturkan secara monolitik
serta mudah dikontrol secara sentral, megingat peran hukum adat dalam
pembangunan hukum nasional sangat mendesak yang secara riil tidak tercatat
terlalu besar, terkecuali klaim akan kebenaran moral, pada saat masalah
operasionalisasi dan pengefektifan terhadap paham hukum sebagai perekayasa di
tangan Pemerintah yang lebih efektif.

4.2 Saran

Adapun yang ingin penulis sampaikan disini adalah seharusnya badan legislatif
sebagai pembuat undang-undang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat
(kemauan masyarakat) dari pada kepentingan pribadi atau golongan, terbukti
dengan banyaknya undang-undang yang dibuat oleh DPR diajukan ke Mahkamah
Konstitusi untuk diuji kembali.
DAFTAR PUSTAKA

Dewa Gede Wirasatya P. Catatan Perkuliahan Sosiologi Hukum Prof.Sirtha,Program


Pasca Sarjana Kenotariatan Universitas Brawijaya.2010

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I,PT. Pradnya Paramita, Jakarta, cetakan ke


delapan, 1997.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-


Undangan.

You might also like