Professional Documents
Culture Documents
D A L A M
PENYEMBUHAN LUKA
NOTICE
“silahkan digunakan dengan cara apapun untuk kemajuan Profesi Keperawatan dengan tetap
Kasus Ummi, cewek 12 tahun yang menderita bisul berulat di ketiak, dada, dan leher, beberapa
waktu lalu terulang di Mamuju. Kali ini dialami edy, 14 bulan (Harian Fajar Kamis 6 April
2010). Berita tersebut mengingatkan penulis pada kisah Nabi Ayyub, a.s. yang mendapat cobaan
berat berupa penyakit kulit. Sedemikian parahnya penyakit itu hingga berulat yang
mengakibatkan Nabi Ayyub a.s, dijauhi oleh masyarakat termasuk istrinya sendiri
meninggalkannya karena jijik. Saat Nabi Ayyub akan berwudhu, ia tanggalkan ulat-ulat dari
luka-luka di kulitnya dan usai berwudhu ia kembalikan ulat-ulat itu ke luka-luka tadi, seakan tak
menderita, namun sedikit pun tak mengurangi keimanannya kepada Allah. (Nawasi Rambe,
2006). Mengapa Nabi Ayyub a.s. mengembalikan ulat-ulat ke lukanya, mungkin ada pesan yang
Ulat atau belatung bagi sebagian besar masyarakat dianggap menggelikan sekaligus menjijikkan
sebab sering disertai dengan bau yang tidak sedap. Keberadaan belatung dalam luka tidak hanya
menghambat proses penyembuhan luka tapi juga mengganggu kenyamanan pasien, perawat dan
dokter, serta orang lain di sekitar pasien yang pada akhirnya membuat pasien mengalami
yang berbeda-beda. Beberapa jenis belatung senang hidup di jaringan hidup, sementara yang lain
senang hidup di jaringan mati. Diantara ribuan spesies larva lalat ada satu yang sangat berguna
dalam manajemen luka, yaitu Lucilia Sericata. Lucilia Sericata merupakan larva lalat hijau
(green-bottle fly), memiliki panjang 2-3 mm dan dapat mencapai 8-10 mm bila sudah tumbuh
dewasa, menetetas dalam 12-24 jam serta membutuhkan 10-14 hari untuk bermetamorfosis
SEJARAH BELATUNG
Sejarah penggunaan belatung dalam perawatan luka telah diketahui selama beberapa abad.
Banyak dokter militer mengamati bahwa tentara dengan luka berulat menjadi lebih baik bila
dibandingkan dengan jenis luka yang sama tanpa ulat. Salah satu referensi pertama mengenai
penggunaan belatung sebagai terapi yaitu Ambroise Pare. Ambroise Pare merupakan dokter
bedah dimasa Charles IX dan Henri III, ia mengobservasi efek belatung pada tentara yang
terluka pada tahun 1557 (Stotts, 2004). Kemudian ahli bedah militer Napolen, dr. Baron D.J.
Penggunaan belatung terus bertahan hingga abad ke 19. Pada tahun 1920an William Baer dari
John Hopkins University, Maryland, menggunakan belatung dalam perawatan luka osteomyelitis
dan infeksi jaringan lunak terhadap 98 anak. Beliau kemudian mempresentasikan hasil risetnya
pada konfrensi bedah di tahun 1931. setelah itu penggunaan belatung menjadi sangat popular
Penggunaan belatung sebagai Maggot Debridement Therapy (MDT) menjadi sangat sukses dan
telah digunakan secara rutin oleh ribuan dokter hingga pertengahan tahun 1940, hingga akhirnya
tergantikan oleh penemuan antibiotic dan tekhnik pembedahan terbaru pasca perang dunia ke-II,
Akhir decade 1980an ‘rating’ belatung meningkat lagi akibat semakin resistennya penggunaan
antibiotik. Studi klinis modern pertama penggunaan Maggot Debridement Therapy (MDT)
dimulai pada tahun 1989 di Veterans Affairs Medical Center in Long Beach, CA dan di The
University of California. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa penggunaan belatung
Bulan Januari 2004, the U.S. Food and Drug Administration (FDA) menyetujui produksi dan
distribusi “Medical maggot’ sebagai bagian dari terapi. Konsensus ini kemudian diikuti oleh The
British National Health Service (NHS) yang mengijinkan peresepan belatung dalam terapi.
KEKUATAN BELATUNG
Di balik baunya yang sangat tidak sedap, belatung ternyata menyimpan tiga kekuatan besar
dalam proses penyembuhan luka, yaitu: debridement, desinfeksi, dan mempercepat pertumbuhan
jaringan baru.
Belatung dapat digunakan untuk debridement atau dikenal sebagai Maggot Debridement Therapy
(MDT) sebab belatung dapat memakan jaringan mati (nekrotik) tanpa mengganggu jaringan
sehat. Belatung memiliki sepasang taring pada rahangnya yang digunakan untuk bergerak dan
menempel pada luka, aksi inilah yang memungkinkan pelepesan jaringan nekrotik dari luka
selain itu belatung juga mengeluarkan enzim proteolitik yang mampu melunakkan jaringan
nekrotik sehingga dengan mudah ditelan dan didegradasi dalam usus belatung.
Manfaat kedua dari belatung adalah desinfeksi luka oleh karena kemampuannya mensekresi
enzim yang bisa merubah pH luka sehingga tidak kondusif lagi untuk pertumbuhan dan
perkembangan bakteri pada luka termasuk mendegradasi biofilm pada luka dan mencerna
Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) (Thomas, 2001). Perlu diketahui bahwa
60-80% luka kronik diselubungi oleh biofilm yang merupakan “mantel” polisakarida yang
melindungi bakteri luka dari penggunaan antiseptic, antimikroba, dan antibiotik. Perlindungan
ini menyebabkan bakteri luka menjadi resisten 1000 kali lipat dibanding luka tanpa biofilm. Hal
inillah menjadi kelebihan belatung seiring dengan semakin resistennya penggunaan antibiotic.
belatung dalam mencerna jaringan nekrotik luka dipercaya dapat menstimulasi pertumbuhan
jaringan granulasi pada luka (Prete, 1997). Seperti kita ketahui pertumbuhan jaringan granualsi
perawatan luka adalah; selektif debridement (karena hanya mencerna jaringan nekrotik),
mengurangi jumlah bakteri luka (bacterial load), mengendalikan MRSA, kemampuan melakukan
kekurangan penggunaan belatung dalam perawatan luka, anatara lain; Masih lebih lambat
dibanding sharp debridement (pengangkatan jaringan mati dengan menggunakan gunting atau
pisau bedah), tidak cocok untuk semua jenis luka, efektifitas bergantung pada jenis luka, dan
aspek estetika bagi pasien dan caregivers serta availability (ketersediaan yang terbatas). Dari
hasil penulusuran penulis di BTER foundation, produsen dan distributor belatung steril saat ini
Menurut Chan Dominic CW (2007) penggunaan belatung sebagai maggot therapy antara lain;
luka diabetes, venous ulcer, neuropathic ulcer, ischemic ulcer, decubitus, luka post trauma,
necrotizing fasciitis, pyoderma gangrenosum, eksisi abses pada melleolus, sinus pilonidial,
grossly infected toe, osteomyelitis, luka infeksi setelah replantasi lengan bawah, luka terbuka
setelah protesa lutut, luka infeksi setelah operasi payudara, luka tembak terinfeksi, luka bakar,
luka operasi, luka terinfeksi Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), mixed
Sebaliknya penggunaan belatung dalam perawatan luka sebaiknya tidak dilakukan pada luka
yang sangat mudah berdarah (luka kanker) atau luka yang menyebabkan adanya ‘terowongan’
yang menghubungkan organ seperti fistula. Dr. Jose Contreras-Ruiz (seorang dokter dari
Mexico) membagi 3 kategori kontra indikasi penggunaan belatung dalam perawatan luka.
Pertama kontra indikasi absolute, yakni tidak adanya persetujuan dari pasien/keluarganya dan
tidak boleh menggunakan belatung yang tidak steril (seperti kasus Ummi dan Edi) sebab dapat
menyebabkan kematian akibat sepsis. Selanjutnya belatung juga tidak boleh digunakan pada luka
yang berhubungan langsung dengan system saraf pusat, pembuluh darah besar, rongga atau
organ-organ vital.
Kontra Indikasi kedua adalah kontra indikasi relative yaitu luka yang kering. Belatung
membutuhkan lingkungan yang lembab untuk dapat bertahan hidup, begitu juga proses
fistula atau luka dengan undermining (luka yang bergoa) menjadi sulit untuk menerapkan
Kontra indikasi ketiga adalah kontra indikasi teoritis. Beberapa belatung berpotensi
menimbulkan reaksi alergi akibat sekresi enzim. Potensial komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah toksisitas ammonia yang dapat menginduksi ensefalopati pada pasien dengan gagal hati.
Dalam meletakkan belatung pada wound bed (bantalan luka) harus secara hati-hati, jangan
sampai kontak dengan kulit sekitar luka sebab dapat menyebabkan kerusakan kulit yang sehat
akibat sekresi enzim proteolytic (Ramundo, 2007). Lembaran hydrocolloid kemudian dilubangi
seukuran dengan dimensi luka. Lembaran hydrocolloid ini berfungsi untuk memproteksi kulit
sekitar luka. Larva Belatung steril kemudian dimasukkan ke dalam luka sebanyak 10 larva per
centimeter (Hinshaw Janet, 2000). Luka dan larva belatung steril kemudian ditutup dengan mesh
net sebagai balutan primer (primary dressing). Sebagai sekundary dressing dapat digunakan
padding (seperti foam) untuk menyerap dan menyimpan eksudat (Sherman, 1997), saat ini
beberapa produk sudah mampu merubah eksudat luka menjadi partikel-partikel gel. Balutan yang
mengandung larva belatung ini sebaiknya dipertahankan hingga 2-3 hari (Sherman, 2008) dan
dikeluarkan dari luka melalui irigasi. Apabila observasi luka masih memperlihatkan adanya
jaringa nekrotik atau slough, aplikasi balutan larva belatung dapat diulangi hingga wound bed
preparation sudah optimal, yang ditandai dengan bantalan luka yang bersih dan penampakan
jaringan sehat.
Bagaimana dengan kasus Edy (14 bulan) apakah belatungnya tidak usah dibuang? Tidak
belatung pada luka Edy harus dibuang karena bukan belatung steril dan tidak bersifat sebagai
“Maggot Therapy” sehingga sangat berpotensi menyebabkan luka infeksi yang bisa berdampak
sistemik. Kondisi luka yang sudah berulat pada Edy akibat menunjukkan bahwa luka ini berada
fase nekrotik dan/atau slough. Fase nekrotik ditandai dengan warna luka yang hitam (keras atau
lunak). Fase ini merupakan fase tenang dari luka, proses penyembuhan menjadi stagnan. Bila
warna luka sudah kuning (bila infeksi biasanya berwarna kehijauan) merupakan fase slough.
Fase slough merupakan fase kritis dalam proses penyembuhan luka. Pada fase ini luka dapat
menjadi sangat berbau walaupun balutan luka belum dibuka. Bahkan bau luka tidak hanya
menyebar di dalam kamar pasien tapi juga dapat tercium dari luar kamar.
Prinsip perawatan yang bisa dilakukan pada kasus Edy adalah mengurangi jumlah bakteri pada
luka (bacterial load) termasuk membuang belatung yang ada pada luka melalui irigasi,
meningkatkan daya tahan tubuh (host resistance), mengabsorbsi (menyerap) eksudat pada luka,
melindungi kulit sekitar luka agar tidak terkontaminasi dengan eksudat karena dapat
Selain bermanfaat dalam Belatung dapat juga berperan sebagai “saksi hidup” dalam kasus
kriminal, karena kemampuannya memberikan informasi faktual terhadap kasus kriminal seperti
penemuan mayat. Umur belatung dan tahap pertumbuhannya memberikan informasi akurat
tentang waktu kematian bahkan dapat lebih spesifik lagi memberikan informasi mengenai “post
mortem interval”. Peran belatung yang satu ini membuka disiplin ilmu baru yang disebut
terapi alternative.
Terakhir ternyata belatung juga memiliki kekuatan politik, lho kenapa bisa? Edy (14 bulan)
menderita bisul di kepala disertai ulat (belatung). Bisul tersebut mengeluarkan 100 ekor ulat pada
hari pertama, dan puluhan ekor ulat lagi di hari kedua. Kasus ini membuat anggota DPRD Sulbar
REFERENSI:
1. Ramundo. Wound Debridement in: Bryant (editor). Acute & Chronic Wounds, Current Management
Concepts 3rd ed.St. Louis: Mosby;2007.
2. Stotts.Wound Infection: Diagnosis and Management in: Chronic Wound Care; A Problem-Based
Learning Approach, Mosby;2004.
3. Dealay. The care Of Wounds. A gudie for nurses.Blackwell Publishing Ltd;2005. p.72-75
4. Kathryn Vowden, Peter Vowden. Wound Bed Preparation. [online]2002.[cited 2008 Dec 11];
Available from URL: http://www.worldwidewounds.com/woundbedpreparation.html
5. Adrian Koerber, John ward & Susan Franks: The Role Of Maggots in Wound Healing. [online] 2001
[cited 2009 Feb 17]; Available from URL: http://www.maths-in-medicine.org/uk/2001/maggots
TENTANG PENULIS
(Tahun 2007). Tahun 2008 mendapatkan beasiswa dari World Council Of Enterostomal
Education Programme (IndoETNEP). Selain sebagai Khalifah di muka bumi, saat ini
Tinggi, pembicara dalam beberapa Seminar Nasional, dan trainer dalam bidang luka,
stoma, dan continence care. Penulis juga aktif sebagai Professional Board InOA
Korespondensi:
e-mail : saldy_yusuf@yahoo.com
weblog :www.saldyusuf.blogpost.com