You are on page 1of 10

MANFAAT BELATUNG

D A L A M

PENYEMBUHAN LUKA

Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN

Enterostomal Therapy Nurse

Klinik GRIYA AFIAT Makassar

NOTICE

“silahkan digunakan dengan cara apapun untuk kemajuan Profesi Keperawatan dengan tetap

mencantumkan sumber aslinya”


MANFAAT BELATUNG DALAM PENYEMBUHAN LUKA

Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN

Enterostomal Therapy Nurse

Kasus Ummi, cewek 12 tahun yang menderita bisul berulat di ketiak, dada, dan leher, beberapa

waktu lalu terulang di Mamuju. Kali ini dialami edy, 14 bulan (Harian Fajar Kamis 6 April

2010). Berita tersebut mengingatkan penulis pada kisah Nabi Ayyub, a.s. yang mendapat cobaan

berat berupa penyakit kulit. Sedemikian parahnya penyakit itu hingga berulat yang

mengakibatkan Nabi Ayyub a.s, dijauhi oleh masyarakat termasuk istrinya sendiri

meninggalkannya karena jijik. Saat Nabi Ayyub akan berwudhu, ia tanggalkan ulat-ulat dari

luka-luka di kulitnya dan usai berwudhu ia kembalikan ulat-ulat itu ke luka-luka tadi, seakan tak

hendak menghentikan ulat-ulat itu menikmati luka-luka di tubuhnya. Bertahun-tahun ia hidup

menderita, namun sedikit pun tak mengurangi keimanannya kepada Allah. (Nawasi Rambe,

2006). Mengapa Nabi Ayyub a.s. mengembalikan ulat-ulat ke lukanya, mungkin ada pesan yang

ingin disampaikan kepada kita.

Ulat atau belatung bagi sebagian besar masyarakat dianggap menggelikan sekaligus menjijikkan

sebab sering disertai dengan bau yang tidak sedap. Keberadaan belatung dalam luka tidak hanya

menghambat proses penyembuhan luka tapi juga mengganggu kenyamanan pasien, perawat dan

dokter, serta orang lain di sekitar pasien yang pada akhirnya membuat pasien mengalami

gangguan harga diri rendah dan gangguan interaksi sosial.


Belatung merupakan larva lalat dan di dunia ini ada ribuan spesies lalat dengan karakteristik

yang berbeda-beda. Beberapa jenis belatung senang hidup di jaringan hidup, sementara yang lain

senang hidup di jaringan mati. Diantara ribuan spesies larva lalat ada satu yang sangat berguna

dalam manajemen luka, yaitu Lucilia Sericata. Lucilia Sericata merupakan larva lalat hijau

(green-bottle fly), memiliki panjang 2-3 mm dan dapat mencapai 8-10 mm bila sudah tumbuh

dewasa, menetetas dalam 12-24 jam serta membutuhkan 10-14 hari untuk bermetamorfosis

menjadi lalat dewasa.

SEJARAH BELATUNG

Sejarah penggunaan belatung dalam perawatan luka telah diketahui selama beberapa abad.

Banyak dokter militer mengamati bahwa tentara dengan luka berulat menjadi lebih baik bila

dibandingkan dengan jenis luka yang sama tanpa ulat. Salah satu referensi pertama mengenai

penggunaan belatung sebagai terapi yaitu Ambroise Pare. Ambroise Pare merupakan dokter

bedah dimasa Charles IX dan Henri III, ia mengobservasi efek belatung pada tentara yang

terluka pada tahun 1557 (Stotts, 2004). Kemudian ahli bedah militer Napolen, dr. Baron D.J.

Larrey mengobservasi bahwa belatung dapat meningkatkan pembentukan jaringan granulasi


pada luka (Chan Dominic, 2007) dan hanya menyerang jaringan yang mati (nekrotik) sehingga

membantu proses penyembuhan luka (Hinshaw Janet, 2004).

Penggunaan belatung terus bertahan hingga abad ke 19. Pada tahun 1920an William Baer dari

John Hopkins University, Maryland, menggunakan belatung dalam perawatan luka osteomyelitis

dan infeksi jaringan lunak terhadap 98 anak. Beliau kemudian mempresentasikan hasil risetnya

pada konfrensi bedah di tahun 1931. setelah itu penggunaan belatung menjadi sangat popular

untuk merawat luka kronis di Amerika utara dan benua Eropa.

Penggunaan belatung sebagai Maggot Debridement Therapy (MDT) menjadi sangat sukses dan

telah digunakan secara rutin oleh ribuan dokter hingga pertengahan tahun 1940, hingga akhirnya

tergantikan oleh penemuan antibiotic dan tekhnik pembedahan terbaru pasca perang dunia ke-II,

yang mengakibatkan penggunaan belatung semakin jarang hingga tahun 1970-1980.

Akhir decade 1980an ‘rating’ belatung meningkat lagi akibat semakin resistennya penggunaan

antibiotik. Studi klinis modern pertama penggunaan Maggot Debridement Therapy (MDT)

dimulai pada tahun 1989 di Veterans Affairs Medical Center in Long Beach, CA dan di The

University of California. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa penggunaan belatung

masih sangat bermanfaat.

Bulan Januari 2004, the U.S. Food and Drug Administration (FDA) menyetujui produksi dan

distribusi “Medical maggot’ sebagai bagian dari terapi. Konsensus ini kemudian diikuti oleh The

British National Health Service (NHS) yang mengijinkan peresepan belatung dalam terapi.
KEKUATAN BELATUNG

Di balik baunya yang sangat tidak sedap, belatung ternyata menyimpan tiga kekuatan besar

dalam proses penyembuhan luka, yaitu: debridement, desinfeksi, dan mempercepat pertumbuhan

jaringan baru.

Belatung dapat digunakan untuk debridement atau dikenal sebagai Maggot Debridement Therapy

(MDT) sebab belatung dapat memakan jaringan mati (nekrotik) tanpa mengganggu jaringan

sehat. Belatung memiliki sepasang taring pada rahangnya yang digunakan untuk bergerak dan

menempel pada luka, aksi inilah yang memungkinkan pelepesan jaringan nekrotik dari luka

selain itu belatung juga mengeluarkan enzim proteolitik yang mampu melunakkan jaringan

nekrotik sehingga dengan mudah ditelan dan didegradasi dalam usus belatung.

Manfaat kedua dari belatung adalah desinfeksi luka oleh karena kemampuannya mensekresi

enzim yang bisa merubah pH luka sehingga tidak kondusif lagi untuk pertumbuhan dan

perkembangan bakteri pada luka termasuk mendegradasi biofilm pada luka dan mencerna

Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) (Thomas, 2001). Perlu diketahui bahwa

60-80% luka kronik diselubungi oleh biofilm yang merupakan “mantel” polisakarida yang

melindungi bakteri luka dari penggunaan antiseptic, antimikroba, dan antibiotik. Perlindungan

ini menyebabkan bakteri luka menjadi resisten 1000 kali lipat dibanding luka tanpa biofilm. Hal

inillah menjadi kelebihan belatung seiring dengan semakin resistennya penggunaan antibiotic.

Keuntungan ketiga penggunaan belatung dalam perawatan luka yaitu kemampuannya

menstimulasi penyembuhan luka sehingga mempercepat proses penyembuhan luka. Aksi

belatung dalam mencerna jaringan nekrotik luka dipercaya dapat menstimulasi pertumbuhan

jaringan granulasi pada luka (Prete, 1997). Seperti kita ketahui pertumbuhan jaringan granualsi

merupakan fase terpenting dari proses penutupan luka.


Vowden dan Vowden (2002) menambahkan bahwa keuntungan penggunaan belatung dalam

perawatan luka adalah; selektif debridement (karena hanya mencerna jaringan nekrotik),

mengurangi jumlah bakteri luka (bacterial load), mengendalikan MRSA, kemampuan melakukan

“micromassage’ sehingga menstimulasi penyembuhan luka. Sayangnya ada beberapa

kekurangan penggunaan belatung dalam perawatan luka, anatara lain; Masih lebih lambat

dibanding sharp debridement (pengangkatan jaringan mati dengan menggunakan gunting atau

pisau bedah), tidak cocok untuk semua jenis luka, efektifitas bergantung pada jenis luka, dan

aspek estetika bagi pasien dan caregivers serta availability (ketersediaan yang terbatas). Dari

hasil penulusuran penulis di BTER foundation, produsen dan distributor belatung steril saat ini

hanya tersedia di Amerika, Inggris, Israel, Mesir, Jepang dan Australia.

INDIKASI VERSUS KONTRA INDIKASI

Menurut Chan Dominic CW (2007) penggunaan belatung sebagai maggot therapy antara lain;

luka diabetes, venous ulcer, neuropathic ulcer, ischemic ulcer, decubitus, luka post trauma,

necrotizing fasciitis, pyoderma gangrenosum, eksisi abses pada melleolus, sinus pilonidial,

grossly infected toe, osteomyelitis, luka infeksi setelah replantasi lengan bawah, luka terbuka

setelah protesa lutut, luka infeksi setelah operasi payudara, luka tembak terinfeksi, luka bakar,

luka operasi, luka terinfeksi Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), mixed

arterial-venous ulcer, dan mastoidits sub akut.

Sebaliknya penggunaan belatung dalam perawatan luka sebaiknya tidak dilakukan pada luka

yang sangat mudah berdarah (luka kanker) atau luka yang menyebabkan adanya ‘terowongan’

yang menghubungkan organ seperti fistula. Dr. Jose Contreras-Ruiz (seorang dokter dari

Mexico) membagi 3 kategori kontra indikasi penggunaan belatung dalam perawatan luka.
Pertama kontra indikasi absolute, yakni tidak adanya persetujuan dari pasien/keluarganya dan

tidak boleh menggunakan belatung yang tidak steril (seperti kasus Ummi dan Edi) sebab dapat

menyebabkan kematian akibat sepsis. Selanjutnya belatung juga tidak boleh digunakan pada luka

yang berhubungan langsung dengan system saraf pusat, pembuluh darah besar, rongga atau

organ-organ vital.

Kontra Indikasi kedua adalah kontra indikasi relative yaitu luka yang kering. Belatung

membutuhkan lingkungan yang lembab untuk dapat bertahan hidup, begitu juga proses

penyembuhan luka, lingkungan lembab mendukung percepatan proses penyembuhan. Pada

fistula atau luka dengan undermining (luka yang bergoa) menjadi sulit untuk menerapkan

belatung sebab sulit dalam observasi dan pelepasan.

Kontra indikasi ketiga adalah kontra indikasi teoritis. Beberapa belatung berpotensi

menimbulkan reaksi alergi akibat sekresi enzim. Potensial komplikasi lain yang dapat terjadi

adalah toksisitas ammonia yang dapat menginduksi ensefalopati pada pasien dengan gagal hati.

APLIKASI BELATUNG PADA LUKA

Dalam meletakkan belatung pada wound bed (bantalan luka) harus secara hati-hati, jangan

sampai kontak dengan kulit sekitar luka sebab dapat menyebabkan kerusakan kulit yang sehat

akibat sekresi enzim proteolytic (Ramundo, 2007). Lembaran hydrocolloid kemudian dilubangi

seukuran dengan dimensi luka. Lembaran hydrocolloid ini berfungsi untuk memproteksi kulit

sekitar luka. Larva Belatung steril kemudian dimasukkan ke dalam luka sebanyak 10 larva per

centimeter (Hinshaw Janet, 2000). Luka dan larva belatung steril kemudian ditutup dengan mesh

net sebagai balutan primer (primary dressing). Sebagai sekundary dressing dapat digunakan

padding (seperti foam) untuk menyerap dan menyimpan eksudat (Sherman, 1997), saat ini
beberapa produk sudah mampu merubah eksudat luka menjadi partikel-partikel gel. Balutan yang

mengandung larva belatung ini sebaiknya dipertahankan hingga 2-3 hari (Sherman, 2008) dan

dikeluarkan dari luka melalui irigasi. Apabila observasi luka masih memperlihatkan adanya

jaringa nekrotik atau slough, aplikasi balutan larva belatung dapat diulangi hingga wound bed

preparation sudah optimal, yang ditandai dengan bantalan luka yang bersih dan penampakan

jaringan sehat.

Bagaimana dengan kasus Edy (14 bulan) apakah belatungnya tidak usah dibuang? Tidak

belatung pada luka Edy harus dibuang karena bukan belatung steril dan tidak bersifat sebagai

“Maggot Therapy” sehingga sangat berpotensi menyebabkan luka infeksi yang bisa berdampak

sistemik. Kondisi luka yang sudah berulat pada Edy akibat menunjukkan bahwa luka ini berada

fase nekrotik dan/atau slough. Fase nekrotik ditandai dengan warna luka yang hitam (keras atau

lunak). Fase ini merupakan fase tenang dari luka, proses penyembuhan menjadi stagnan. Bila

warna luka sudah kuning (bila infeksi biasanya berwarna kehijauan) merupakan fase slough.

Fase slough merupakan fase kritis dalam proses penyembuhan luka. Pada fase ini luka dapat

menjadi sangat berbau walaupun balutan luka belum dibuka. Bahkan bau luka tidak hanya

menyebar di dalam kamar pasien tapi juga dapat tercium dari luar kamar.

Prinsip perawatan yang bisa dilakukan pada kasus Edy adalah mengurangi jumlah bakteri pada

luka (bacterial load) termasuk membuang belatung yang ada pada luka melalui irigasi,

meningkatkan daya tahan tubuh (host resistance), mengabsorbsi (menyerap) eksudat pada luka,

melindungi kulit sekitar luka agar tidak terkontaminasi dengan eksudat karena dapat

menyebabkan maserasi, serta mengkoreksi penyakit penyerta.

Selain bermanfaat dalam Belatung dapat juga berperan sebagai “saksi hidup” dalam kasus

kriminal, karena kemampuannya memberikan informasi faktual terhadap kasus kriminal seperti
penemuan mayat. Umur belatung dan tahap pertumbuhannya memberikan informasi akurat

tentang waktu kematian bahkan dapat lebih spesifik lagi memberikan informasi mengenai “post

mortem interval”. Peran belatung yang satu ini membuka disiplin ilmu baru yang disebut

“Forensic entomology”. Itulah belatung, menjijikkan sekaligus menjanjikan sebagai sebuah

terapi alternative.

Terakhir ternyata belatung juga memiliki kekuatan politik, lho kenapa bisa? Edy (14 bulan)

menderita bisul di kepala disertai ulat (belatung). Bisul tersebut mengeluarkan 100 ekor ulat pada

hari pertama, dan puluhan ekor ulat lagi di hari kedua. Kasus ini membuat anggota DPRD Sulbar

berismpati menjenguk dan memberikan bantuan, yah…untunglah ada belatung.

REFERENSI:

1. Ramundo. Wound Debridement in: Bryant (editor). Acute & Chronic Wounds, Current Management
Concepts 3rd ed.St. Louis: Mosby;2007.
2. Stotts.Wound Infection: Diagnosis and Management in: Chronic Wound Care; A Problem-Based
Learning Approach, Mosby;2004.
3. Dealay. The care Of Wounds. A gudie for nurses.Blackwell Publishing Ltd;2005. p.72-75
4. Kathryn Vowden, Peter Vowden. Wound Bed Preparation. [online]2002.[cited 2008 Dec 11];
Available from URL: http://www.worldwidewounds.com/woundbedpreparation.html
5. Adrian Koerber, John ward & Susan Franks: The Role Of Maggots in Wound Healing. [online] 2001
[cited 2009 Feb 17]; Available from URL: http://www.maths-in-medicine.org/uk/2001/maggots
TENTANG PENULIS

Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. lahir di Makassar 26 Oktober 1978. Pendidikan Keperawatan

di mulai di Akper Depkes Tidung Makassar (2000), S 1 Keperawatan PSIK-FK UNHAS

(Tahun 2007). Tahun 2008 mendapatkan beasiswa dari World Council Of Enterostomal

Therapy Nursing (WCETN) untuk mengikuti Indonesian Enterostomal Therapy Nursing

Education Programme (IndoETNEP). Selain sebagai Khalifah di muka bumi, saat ini

penulis memiliki pekerjaan sampingan sebagai dosen tamu di beberapa Perguruan

Tinggi, pembicara dalam beberapa Seminar Nasional, dan trainer dalam bidang luka,

stoma, dan continence care. Penulis juga aktif sebagai Professional Board InOA

Makassar, Pengurus InETNA, dan anggota WCETN.

Korespondensi:

e-mail : saldy_yusuf@yahoo.com
weblog :www.saldyusuf.blogpost.com

You might also like