You are on page 1of 14

JOURNAL READING

LONG-TERM COGNITIVE IMPAIRMENT


AFTER CRITICAL ILLNESS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti
Program Pendidikan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
Di RS Ghrasia

Ditulis oleh :
Intan Tindyawati, S. Ked

(07711077)

Dosen Pembimbing:
dr. Arsanti P., Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2015

GANGGUAN KOGNITIF JANGKA PANJANG


SETELAH SAKIT KRITIS
ABSTRAK
Latar belakang
Pasien yang bertahan setelah sakit krits biasanya akan mengalami
ketidakmampuan dan gangguan kognitif jangka panjang dengan karakteristik yang tidak
adekuat.
Metode
Kami mendata pasien dewasa dengan gagal napas atau syok di ICU, kami
mengevaluasi kondisi delirium dan kemampuan kognitif global serta fungsi eksekutif
pada bulan 3 dan 12 setelah keluar ICU dengan menggunakan the Repeatable Battery for
the Assessment of Neuropsychological Status (rata-rata usia populasi 10015, dengan
skor yang rendah mengindikasikan kognitif global yang buruk) dan Trail Making Test,
Part B (rata-rata usia, jenis kelamin, dan pendidikan populasi 5010, dengan skor
terendah mengindikasikan fungsi eksekutif yang buruk). Hubungan durasi delirium dan
penggunaan obat sedatif dan analgetik dengan hasil keluaran menggunakan analisis
regresi linear, dengan mempertimbangkan perancu potensial.
Hasil
Dari 821 data pasien, 6% mengalami gangguan kognitif tingkat baseline, dan
mengalami delirium 74% selama di RS. Pada bulan 3, 40% pasien memiliki skor kognitif
global 1,5 SD dibawah rata-rata populasi (serupa dengan pasien yang mengalami trauma
otak sedang), dan 26% pasien memiliki skor 2SD dibawah populasi (serupa dengan
pasien dengan penyakit Alzheimer ringan). Defisit neurologis terjadi baik pada pasien
usia tua dan muda dan bertahan, masing-masing 34% dan 24% dari semua pasien dinilai
pada bulan 12 memiliki skor yang sama dengan pasien trauma otak sedang dan skor
pasien dengan penyakit Alzheimer ringan. Durasi delirium yang lebih panjang
berhubungan dengan fungsi kognitif global yang buruk pada bulan 3 dan 12 (P=0,001 dan
P=0,04) dan fungsi eksekutif yang buruk pada bulan 3 dan 12 (P=0,004 dan P=0,007).
Penggunaan obat sedatif dan analgetik tidak berhubungan dengan gangguan kognitif pada
bulan 3 dan 12.
Kesimpulan
Pasien ICU memiliki resiko tinggi mengalami gangguan kognitif jangka panjang.
Durasi delirium yang lebih panjang di RS dihubungkan dengan skor fungsi kognitif
global dan fungsi eksekutif pada bulan 3 dan 12.

Pasien yang bertahan setelah sakit kritis seringkali mengalami disfungsi kognitif
yang memanjang dan buruk, yang dikarakteristikkan dengan defisit baru (atau eksaserbasi
defisit ringan yang sudah ada sebelumnya) pada fungsi kognitif global atau fungsi
eksekutif. Gangguan kognitif jangka panjang ini dapat menjadi masalah publik, sehingga
menyebabkan pasien dengan penyakit akut dalam jumlah besar yang harus dirawat di
ICU. Pada dewasa tua, penurunan kognitif dihubungkan dengan institusi, hospitalisasi,
dan biaya sosial tahunan. Hanya sedikit yang data epidemiologi gangguan kognitif
jangka panjangsetelah sakit kritis.
Delirium, merupakan bentuk akut disfungsi otak, yang umum terjadi pada pasien
dengan sakit kritis, secara konsisten berhubungan dengan kematian, dan ini mungkin
dihubungkan dengan gangguan kognitif jangka panjang. Selain itu, faktor yang
berhubungan dengan delirium, termasuk penggunaan obat-obatan sedatif dan analgetik,
mungkin berkontribusi dengan gangguan kognitif jangka panjang juga.
Data prevalensi gangguan kognitif jangka panjang setelah sakit keras kebanyakan
berasal dari penelitian kohort kecil terkait dengan proses penyakit tunggal (mis. Sindrom
distress respirasi akut) atau dari penelitian kohort longitudinal besar. Kami melakukan
penelitian multicenter, kohort prospektif pada populasi yang dibalik dari pasien dengan
sakit kritis untuk mengestimasi prevalensi pasien dengan gangguan kognitif setelah sakit
kritis dan menguji hipotesis kami bahwa durasi delirium yang memanjang di RS dan
penggunaan obat sedatif dan analgetik dosis tinggi berubungan dengan gangguan kognitif
berat sampai 1 tahun setelah keluar dari rumah sakit.
METODE
Populasi penelitian dan pengaturan
BRAIN-ICU dilakukan di Vanderbilt University Medical Center dan Saint
Thomas Hospital di Nashville. Definisi kriteria inklusi dan eksklusi secara lengkap
terdapat di Supplementary Appendix, tersedia dengan teks lengkap jurnal ini di
NEJM.org.
Kemudian, kami mendata pasien ICU dengan gagal napas, syok kardiogenik, atau
syok septik. Kami mengeksklusi pasien dengan riwayat masuk ICU baru-baru ini (mis.
riwayat menggunakan ventilator 2 bulan sebelum masuk ICU sekarang, >5hari di ICU
dalam sebulan sebelum masuk ICU sekarang, >72 jam disfungsi organ selama masuk ICU
sekarang); pasien yang tidak bisa dinilai kondisi deliriumnya karena kebutaan, ketulian,
dan tidak bisa berbahasa inggris; pasien yang sulit di follow-up karena korban kekerasan,
gangguan psikotik, tunawisma, atau rumah 200 mil dari center; pasien yang mungkin
tidak mampu bertahan dalam 24 jam; pasien yang tidak bisa didapatkan informed
consent; dan pasien resiko tinggi defisit kognitif sebelumnya akibat penyakit
neurodegeneratif, operasi jantung (dalam 3 bulan sebelumnya), suspek anoksik barin
injuri, atau dementia berat. Secara spesifik, pasien dengan skor gangguan kognitif
sebelumnya 3,3 atau lebih berdasarkan the Short Informant Questionnaire on Cognitive
Decline in the Elderly (IQCODE; skala dari 1,0 sampai 5,0 dengan 5,0 mengindikasikan
gangguan kognitif berat) dinilai oleh evaluator bersertifikasi dengan menggunakan skala

he Clinical Dementia Rating (CDR) (skala 0 sampai 3,0, dan skor tinggi mengindikasikan
dementia berat). Pasien dengan skor CDR lebih dari 2,0 dieksklusi.
Pada saat pendaftaram kami mengajukan informed consent tertulis dari semua
pasien atau walinya; jika informed consent didapatkan dari wali maka kami meminta
informed consent dari pasien setelah pasien kompeten. Protokol penelitian sudah
disetujui oleh institusi lokal berwenang.
Faktor resiko, hasil, dan kovariat
Kami menguji dua faktor resiko primer; durasi delirium (didefinisikan sebagai
berapa hari di RS dalam kondisi delirium) dan penggunaan obat-obatan sedatif dan
analgetik selama dirawat di RS. Personel penelitian terlatih mengevaluasi pasien dengan
delirium dan tingkat kesadarannya setiap hari sampai keluar RS atau 30 hari. Delirium
dinilai dengan menggunakan metode CAM-ICU, sebuah algoritma diagnostik untuk
menilai ada atau tidaknya delirium berdasarkan empat dasar perubahan: perubahan akut
atau fluktuasi status mental, gangguan perhatian, disorganisasi berpikir, dan perubahan
tingkat kesadaran. Tingkat kesadaran dinilai dengan RAAS, dengan skor -5 sampai 4,
skor rendah menunjukan sedikit bergairah, skor tinggi menunjukan agitasi, dan 0
menunjukkan siaga atau tenang. Selama di RS, kami menggunakan data riwayat
pemberian obat untuk mengumpulkan informasi dosis harian pemberian benzodiazepin
(dikonversikan setara dosis midazolam), opiat (dikonversikan setara dengan fentanil),
propofol, dan dexmedetomidin.
Psikolog profesional terlatih menilai kognitif global pasien pada bulan 3 dan 12
setelah keluar dari RS menggunakan RBANS, neuropsikometri komprehensif dan
tervalidasi untuk mengevaluasi kemampuan kognitif global, termasuk memori jangka
pendek dan jangka panjang, perhatian, konstruksi visuospasial, dan bahasa. Usia
populasi untuk kognisi global RBANS dan untuk individual 10015 (skala 40 sampai
160, dengan skor terendah menunjukan performa yang jelek). Kemudian, fungsi
eksekutif (spesifik, fleksibilitas kognitif, dan perubahan pengaturan) dinilai menggunakan
Trail Making Test Part B (Trails B); usia, jenis kelamin, dan pendidikan dengan T skor
yaitu 50 (skala 0 sampai 100, dengan skor rendah menunjukan fungsi eksekutif yang
buruk).
Semua kovariat dipilih berdasarkan basis utama penilaian klinis dan penelitian
sebelumnya, oleh karena mereka mengharapkan hubungan hasil dan kondisi delirium, dan
kemungkinan perancu potensial. Kovariat ditunjukkan saat pendaftaran termasuk usia,
tahun pendidikan, penyakit kronik yang mendasari Charlson comorbidity index (skala 0
sampai 33, dengan skala tinggi menunjukan beban kondisi yang sudah ada), gangguan
kognitif sebelumnya serdasarkan Short IQCODE, penyakit serebrovaskular berdasarkan
rata-rata Profil Resiko Stroke Framingham dan genotipe apoprotein E. Kovariat diukur
setiap hari sampai keluar ICU atau hari ke 30 penelitian yaitu keparahan sakit dinilai
menggunakan SOFA (skor 0 sampai 24 [0 sampai 4 untuk enam sistem organ], dengan
skor tinggi mengindikasikan kerusakan organ berat), rata-rata dosis harian haloperidol,
dan durasi keparahan sepsis, hipoksemia, dan koma.

Managemen Kehilangan Data


Karena kehilangan data jarang terjadi dengan sistem acak, kami menilai
hubungan antara karakteristik pasien dan status pasien dengan memperhatikan data yang
hilang berdasarkan rekomendasi. Tabel S1 pada Supplementary Appendix menunjukan
frekuensi data hasil yang hilang, dan Tabel S2 menunjukan data pasien dengan minimal
satu data hasil yang hilang yang berbeda dengan sejumlah kecil pasien dengan data
lengkap tetapi memiliki makna yang potensial. Pasien yang dieksklusi mungkin menjadi
bias dalam penelitian kami, sehingga kami menggunakan input multipel untuk menilai
faktor resiko dan hasil yang hilang dengan model regresi. Bagaimanapun, kami tidak
memasukkan data delirium dan koma yang hilang. 10.558 pasien yang diterima, hanya
3% yang hilang dan membutuhkan imputasi.
Analisis Statistik
Untuk mengetahui durasi delirium dan dosis obat sedatif dan analgetik (yaitu
benzodiazepin, propofol, dexmedetomidin, dan opiat) yang merupakan faktor resiko
independen untuk variabel hasil primer (RBANS skor kognisi global), kami
menggunakan regresi linear multipel dengan menyesuaikan semua kovariat pada model
yang berbeda untuk hasil bulan ke 3 dan 12. Serupa, kami menggunakan regresi linear
multipel untuk mengetahui durasi delirium dan dosis obat sedatif dan analgetik secara
independen berhubungan dengan hasil sekunder (skor Trails B dan skor RBANS untuk
memori segera, jangka panjang, dan perhatian) pada bulan ke 3 dan 12. Karena kami
memiliki hipotesa bahwa delirium dan koma mungkin terkait dengan hubungan
gangguang kognitif jangka panjang, kami menilai data untuk semua interaksi pada semua
model regresi.
Pada semua model, dosis obat diubah menggunakan cube root untuk mengurangi
keterkaitan perancu ekstrem, dan variabel berkelanjutan dengan menggunakan cubic
spline terbatas untuk mengikuti hubungan nonlinear (dengan menyesuaikan dosis
dexmedetomidin dan haloperidol, yang biasanya digunakan dalam dosis kecil sehingga
sangat kecil untuk dianalisis). Kami juga melakukan analisis sensitifitas yang terbatas
pada data pasien yang menjalani semua pemeriksaan akhir (mis. Analisis kasus lengkap).
Untuk mengetahui perubahan tingkat kesadaran berhubungan dengan delirium dan
gangguan kognitif jangka panjang, kami melakukan analsis sensitifitas dengan
menyesuaikan durasi perubahan tingkat kesadaran. Setelah hari delirium dan koma
dihitung dengan model regresi kami, kami membagi kovariat jumlah hari tanpa delirium
dan tanpa koma tetapi perubahan tingkat kesadaran (dinilai sebagai skor RASS lebih daro
0). Kami juga menguji tipe ICU (medis atau bedah) sebagai perancu potensial dengan
memasukkan hal ini kedalam model berbeda pada analisis sensitifitas. Kami menguji
model diagnosis menggunakan alur residual dibandingkan dengan alur terprediksi dan
alur quantil-quantil. Dengan asumsi semua model adekuat. Variasi inflasi oleh karena
imputasi multipel bukan merupakan masalah. Kami menggunakan software R versi 3.0.1,
untuk semua analisis statistik.

HASIL
Karakteristik pasien
Antara Maret 2007 dan Mei 2010, kami mendata 826 pasien. Total 5 pasien tidak
mendapatkan ijin untuk pengumpulan data; kemudian kami menginklusi 821 pasien,
dengan median usia 61 tahun dan keparahan sakit yang tinggi (Tabel 1). Hanya 51 pasien
(6%) yang memiliki bukti gangguan kognitif sebelumnya. Delirium terjadi pada 606
pasien (74%) selama di RS, dengan median durasi delirium 4 hari.
Antara pendaftaran dan follow up bulan ke 3, 252 pasien (31%) meninggal; 448
dari 569 dari pasien yang bertahan (79%) menjalani tes kognitif bulan ke 3 setelah keluar
RS. 59 pasien lainnya (7% dari kelompok asli) meninggal sebelum follow up pada bulan
ke 12, dan 382 dari 510 pasien yang bertahan (75%) dites pada 12 bulan setelah keluar
RS.
Prevalensi dan Keparahan Gangguan Kognitif Jangka Panjang
Median RBANS kognitif global pada bulan ke 3 dan 12 adalah 79 (interquatil
range, 70 sampai 86) dan 80 (interquatil range, 71 sampai 87). Skor kira-kira dibawah
1,5 SD populasi rata-rata 10015 dan serupa dengan skor pasien dengan gangguan
kognitif ringan. Pada bulan 3, 40% pasien memiliki skor kognitif global yang lebih buruk
daripada pasien dengan trauma otak sedang, dan 26% memiliki skor 2 SD dibawah ratarata populasi, yang serupa dengan pasien yang mengalami Alzheimer. Defisit pada
keparahan ini juga terjadi pada bulan ke 12, dengan 34% dan 24% pasien memiliki skor
serupa dengan pasien dengan trauma otak sedang dan pasien yang menderita Alzheimer
ringan.
Gangguan kognitif tidak terbatas pada pasien usia tua sajaatau pada pasien
dengan kondisi yang mendasari. Pasien usia 49 tahun atau lebih muda, sebagai contoh,
memiliki skor kognisi global 78 dan 80 pada bulan ke 3 dan 12. Ditambah lagi, skor
kognitif global hanya sedikit yang muncul pada pasien dengan kondisi yang mendasari.
Diantara pasien usia 49 tahun atau lebih muda yang tidak memiliki kondisi penyakit yang
mendasari, skor kognitif global 34% pasien pada follow up bulan ke 12 dipastikan sesuai
dengan trauma otak sedang, dan kira-kira 20% memiliki hasil yang serupa dengan pasien
yang menderita Alzheimer ringan. Tidak seperti penyakit Alzheimer, bagaimanapun,
yang menyerang memori jangka panjang lebih daripada memori lainnya, gengguan
kognitif jangka panjang setelah sakit kritis terjadi dan menyerang pusat kognitif multipel.
Skor Fungsi eksekutif Trail B juga rendah pada bulan ke 3 dan 12; skor median 41 dan
42, dibawah populasi normal, melihat dari usia pasien.
Delirium, Obat Sedatif dan Analgetik serta Gangguan Kognitif Jangka
Panjang
Durasi delirium yang panjang merupakan faktor resiko independen yang buruk
untuk skor RBANS kognitif global pada bulan ke 3 dan 12 setelah keluar RS (P=0,001
dan P=0,04). Bagaimanapun, durasi koma tidak berhubungan dengan skor RBANS pada
bulan ke 3 dan 12 setelah keluar RS (P=0,87 dan P=0,79), walaupun sudah dilakukan

modifikasi hubungan antara delirium dan skor kognitif global pada bulan ke 3 (P=0,05
untuk interaksi). Durasi delirium yang panjang juga merupakan faktor resiko yang buruk
untuk fungsi eksekutif bulan ke 3 dan 12 (P=0,004 dan P=0,007). Durasi delirium yang
panjang juga menjadi faktor resiko untuk fungsi yang buruk untuk beberapa RBANS asal.
Kami tidak melihat hubungan antara dosis benzodiazepin yang tinggi dengan
skor kognitif global yang buruk, kecuali dosis tinggi benzodiazepin merupaka faktor
resiko independen untuk skor fungsi eksekutif yang buruk pada bulan ke 3 (P=0,004).
Tidak ada pengobatan lain yang dinilai, termasuk propofol, dexmedetomidin, dan opiat,
yang secara konsisten berhubungan dengan keluaran kognitif global atau fungsi eksekutif.
Analisis sensitifitas pada pasien yang memiliki data keluaran yang lengkap
tersedia untuk hasil yang serupa. Kemudian, perubahan tingkat kesadaran pasien ICU
medis dengan bedah secara kualitatif tidak berubah pada temuan kami.
DISKUSI
Pada penelitian prospektif kohort, multicenter, pada populasi terbalik pasien ICU
medis dan bedah, kami menemukan bahwa satu dari empat pasien yang memiliki
gangguan kognitif bulan ke 12 setelah sakit kritis sesuai dengan keparahan pada pasien
yang mengalami Alzheimer ringan, dan sati dari tiga pasien memiliki gangguan tipikal
sesuai dengan trauma otak sedang. Gangguan menyerang pusat neuropsikologi yang
terkarakteristik tampak pada Alzheimer, tetapi gangguan sangat serupa dengan mereka
yang mengalami trauma otak sedang. Menggunakan alat yang valid menilai status
kognitif menunjukan hanya 6% pasien memiliki bukti gangguan kognitif ringan-sedang
sebelum masuk ICU, mengindikasikan temuan defisit kognitif ini baru terjadi pada
mayoritas pasien. Gangguan kognitif jangka panjang menyerang baik pada pasien tua
atau muda, melihat kondisi yang mendasari.
Duradi delirium yang panjang dihubungkan dengan kognitif global jangka
panjang yang buruk dan fungsi eksekutif, berhubungan independen dengan penggunaan
obat sedatif dan analgetik, usia, gangguan kognitif sebelumnya, kondisi yang mendasari,
dan kejadian gagal organ selama perawatan di ICU. Meskipun mekanisme delirium
mungkin menjadi faktor predisposisi gangguan kgnitif jangka panjang setelah sakit kritis
belum dibuktikan, delirium berhubungan dengan proses inflamasi dan apoptosis neural,
yang mungkin menyebabkan atrofi otak. Delirium sebelumnya terbukti berhubungan
dengan atrofi otak dan mengurangi integritas substansia alba; atrofi keduanya dan
disrupsi substansia alba dengan gangguan kognitif. Ini juga mungkin pasien yang rentan
mengalami delirium akibat sakit kritis yang parah juga rentang mengalami gangguan
kognitif jangka panjang dan delirium bukan menjadi penyebab perkembangan gangguan
kognitif yang menetap.
Setelah menilai kondisi delirium, kami tidak menemukan hubungan yang
konsisten antara penggunaan obat sedatif dan analgetik serta gangguan kognitif jangka
panjang. Hubungan yang signifikan antara benzodiazepin dan fungsi eksekutif pada
bulan ke 3 harus diintepretasikan secara hati-hati, dikarenakan multipel tes dan hubungan
yang tidak signifikan antara benzodiazepin dan gangguan kognitif global pada bulan ke
12. Bagaimanapun, kelemahan hubungan ini tidak dapat dijadikan acuan bahwa

penggunaan obat sedatif dalam dosis besar itu aman, sesuai dengan penelitian
sebelumnya bahwa oversedasi dapat menyebabkan efek samping.
Sejak delirium diketahui memiliki hubungan dengan gangguan kognitif jangka
panjang, ntervensi langsung untuk mengurangi delirium mungkin dapat mengurangi
kerusakan otak akibat sakit kritis. Meskipun penggunaan obat sedatif dan monitoring
delirium secara rutin -merupakan komponen rekomendasi untuk semua pasien di ICUmeningkat, hanya beberapa intervensi (mis. Mobilisasi awal dan protokol tidur) telah
menunjukan pengurangan resiko delirium diantara pasien ICU, dan tidak diketahui
strategi preventif dan pengobatan lain yang dapat mengurangi resiko gangguan kognitif
jangka panjang setelah sakit kritis.
Hasil ini menggantikan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa
masalah defisit kognitif pasien yang mampu bertahan setelah sakit kritis. Banyak
perbedaan penting, meskipun sudah ada pada penelitian dan BRAIN-ICU sebelumnya.
Pertama, kami mendata sejumlah besar sampel pasien dengan setting diagnosis yang
berbeda dan rentang usia. Kedua, kami mengumpulkan dan menganalisis data tentang
delirium dan paparan obat sedatif sebagai faktor resiko gangguan kognitif jangka
panjang. Dua penelitian longitudinal, pada tingkat lanjut, tetapi hanya satu yang terbatas
pada pasien sepsis, dan tidak ada penelitian yang mengumpulkan data paparan selama di
RS, seperti delirium dan pengobatan psikoaktif. Kemudian, penelitian sebelumnya
menilai keluaran kognitif dengan menggunakan alat skrining, yang tidak bisa
dibandingkan dengan populasi lain, seperti pasien dengan trauma otak atau Alzheimer.
Keterbatasan yang penting BRAIN-ICU dari penelitian kami adalah
ketidakmampuan kami menguji kognisi pasien sebelum pasien tersebut sakit. Kami
mengantisipasi keterbatasan kami dari tiga jalan. Pertama, kami mengeksklusi pasien
dengan dementia berat dengan cara menilai kekakuan dan divalidasi menggunakan alat
asesmen oleh dua wali pasien, secara luas menggunakan Short IQCODE, dan skala
standar CDR. Kedua, kami menggunakan IQCODE untuk mengestimasi fungsi kognitif
sebelumnya pada pasien usia 50 tahun atau lebih dan pada pasien kurang dari 50 tahun
dengan gangguan memori, dan kami menyesuaikan pengukuran ini variabel selanjutnya
pada model regresi. Ketiga, kami mengelompokkan secara bertingkat keluaran kognitif
berdasarkan usia dan kondisi sakit yang sudah ada dan bahkan pasien dengan usia muda
yang tidak memiliki penyakit sebelumnya pasien yang tidak memiliki gangguan kognitif
sebelumnya- juga memiliki resiko tinggi terjadi gangguan kognitif jangka panjang.
Keterbatasan penelitian kami yang lain, meskipun tingkat follow up yang tinggi,
banyak pasien yang tidak dapat melakukan semua tes kognitif secara lengkap. Kami
menggunakan strategi imputasi pada analisis utama kami untuk mengurangi potensial
bias akibat hilangnya data dan melakukan analisis sensitifitas terbatas pada pasien dengan
asesmen lengkap, dengan hasil serupa. Kami tidak mampu, untuk menanggulangi kondisi
perancu seperti meninggal atau menarik diri. Akhirnya, seperti penelitian observasional
lainnya, kemungkinan bias akibat perancu yang tidak dapat diukur tidak bisa dieksklusi.
Sebagai kesimpulan, gangguan kognitif setelah sakit kritis umum terjadi dan
bertahan pada pasien minimal sampai 1 tahun. Pasien dengan durasi delirium yang lebih

panjang lebih sering mengalami defisit kognitif dari pada pasien dengan durasi delirium
yang pendek.

CRITICAL APPRAISAL WORKSHEET: PROGNOSIS STUDY


Citation:

Long-Term Cognitive Impairment


after Critical Illness
P.P. Pandharipande, T.D. Girard, J.C. Jackson, A. Morandi, J.L.
Thompson,
B.T. Pun, N.E. Brummel, C.G. Hughes, E.E. Vasilevskis, A.K. Shintani,
K.G. Moons, S.K. Geevarghese, A. Canonico, R.O. Hopkins, G.R.
Bernard,
R.S. Dittus, and E.W. Ely, for the BRAIN-ICU Study Investigators*
SCREENING
Why was the study done (what was
the research question)?

Kami melakukan penelitian multicenter, kohort


prospektif pada populasi yang dibalik dari
pasien dengan sakit kritis untuk mengestimasi
prevalensi pasien dengan gangguan kognitif
setelah sakit kritis dan menguji hipotesis kami
bahwa durasi delirium yang memanjang di RS
dan penggunaan obat sedatif dan analgetik dosis
tinggi berubungan dengan gangguan kognitif
berat sampai 1 tahun setelah keluar dari rumah
sakit.

Was the study design appropriate?


Ya, desain penelitiannya sesuai dan bersifat
multicenter sehingga diharapkan memiliki
karakteristik populasi yang mampu mewakili
kondisi yang diharapkan.
VALIDITY
Was a defined, representative
sample of patients assembled at a
common (usually early) point in
their illness?

Ya, bagian ini dapat kita temukan dalam


Metode-Study Population, we included
adults admitted to a medical or surgical ICU
with respiratory failure, cardio-genic shock, or
septic shock.
Dalam bagian study population ini juga
dijelaskan tentang perekrutan pasien yang
dijadikan responden.
Keterangan lebih
lengkapnya (kriteria inklusi dan eksklusi) dari
populasi dalam jurnal ini dilampirkan dalam
Detailed definitions of the inclusion and
exclusion criteria are provided in the
Supplementary Appendix, available with the full

10

text of this article at NEJM.org.

Was patient follow-up long enough


for the clinical outcome?

Was patient follow-up complete?

Were outcomes of interest defined


in advance?
Were there clear
criteria to determine whether the
outcomes had occurred?

Ya, pasien responden di follow up cukup


panjang dan lengkap. Hal ini dapat kita
temukan pada bagian Result paragraf ke 2.
Between enrollment and the 3-month followup, 252 patients (31%) died; 448 of the 569
sur-viving patients (79%) underwent cognitive
testing 3 months after discharge. Another 59
patients (7% of the original cohort) died before
the 12-month follow-up, and 382 of the 510
surviving patients (75%) were tested 12 months
after discharge.
Ya, pada jurnal ini juga dijelaskan tentang
karakteristik pasien yang menjadi faktor
prognosis dari hasil penelitian ini.
A longer duration of delirium was an
independent risk factor for worse RBANS
global cognition scores at both 3 and 12 months
after discharge (P = 0.001 and P = 0.04,
respectively). However, the duration of coma
was not associated with RBANS scores at either
3 or 12 months after discharge (P = 0.87 and P
= 0.79, respectively), although it did modify the
association between delirium and global
cognition scores at 3 months (P = 0.05 for
interaction) (Fig. S4 in the Supplementary
Appendix). A longer duration of delirium was
also an independent risk factor for worse
executive function at 3 and 12 months (P =
0.004 and P = 0.007, respectively) (Table 2,
and Fig. S4 and S5 in the Supplementary
Appendix). A longer duration of delirium was
also a risk factor for worse function in several
individual
RBANS
domains
(see
the
Supplementary Appendix).
We did not observe an independent
association between higher doses of
benzodiazepines and worse long-term cognitive
scores, except that higher benzodiazepine doses
were an independent risk factor for worse
executive-function scores at 3 months (P =
0.04) (Table 2). None of the other medications
examined,
including
propofol,

11

dexmedetomidine,
and
opiates,
were
consistently associated with global cognition or
executive-function outcomes.
First, we enrolled a large sample of patients
with a diverse set of admission diagnoses and a
broad age range. Second, we collected and
analyzed detailed data about delirium and
sedative exposure as risk factors for long-term
cognitive impairment.

Were outcomes measured blind


(i.e., without knowing the patients
clinical
characteristics
and
prognostic factors)?

tidak,dalam bagian Metode jurnal ini


dituliskan dengan jelas tentang definisidan
kriteria eksplisit untuk setiap hasilnya dan
faktor prognostiknya. Hal ini dapat ditemukan
pada Metode-Risk Factors, Outcomes, And
Covariates

CLINICAL IMPORTANCE
What is the risk of the outcome over
time?

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk kurva


dan box-and-whisker plots.

How precise are the estimates?

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin


panjang durasi delirium maka semakin besar
kemungkinan terjadi defisit neurologis,
sebaliknya jika semakin pendek durasi delirium
seorang pasien yang mengalami sakit kritis
maka semakin kecil kemungkinan terjadinya
defisit neurologis pada pasien tersebut.
Penggunaan obat sedatif dan analgetik selama
kondisi kritis harus selalu dipantau untuk
menilai kondisi kognisi global pasien tersebut
karena tidak ditemukan hubungan yang
signifikan antara penggunaan benzodiazepin
dengan kognisi global pada bulan ke 12 setelah
keluar dari rumah sakit

Adapted from: Heneghan, Carl and Badenoch, Douglas. Evidence-based Medicine Toolkit, 2nd edition.
Oxford: Blackwell Publishing; BMJ Books. 2006. p. 46.

APPLICABLE
NO

PERTANYAAN

JAWA

PENJELASAN

12

1.

Apakah pasien yang kita YA


miliki sangat berbeda
dengan
pasien
dalam
penelitian?

Dalam penelian pasien yang


digunakan
sebagai
responden
adalah pasien ICU dengan sakit
kritis dan pasien ICU yang memiliki
resiko tinggi mengalami gangguan
kognitif jangka panjang dan durasi
delirium yang lebih panjang di RS
di hubungkan dengan dengan fungsi
kognitif global dan fungsi eksekutif.

2.

Apakah hasil yang baik YA


dari
penelitian
dapat
diterapkan dengan kondisi
yang kita miliki?

Pasien dalam penelian adalah


pasien di ICU dengan sakit kritis,
maka dari hasil penelian hasilnya
adalah pasien dengan ganggun
delirium
panjang
akan
menyebabkan
factor
resiko
independent yang buruk pada
fungsi kognitif global dan funsi
eksekutif pada pasien dibandingkan
pada pasien dengan delirium yang
pendek, maka dari itu kita perlu
mencegah terjadinya delirium yang
panjang pada pasien di ICU.

3.

Apakah sudah memahami


harapan dan pilihan pasien
kita?

4.

Apakah intervensi yang


akan diberikan memenuhi
harapan pasien? Pasien
siap akan konsekuensinya?

YA

Ya

Baik pihak keluarga maupun pasien


sendiri tentunya menginginkan
kesembuhan dari Pasien, maka dari
itu kita perlu melakukan
pencegahan terjadinya delirium
yang panjang pada pasien di
ICU,sehingga dengan kita
melakukan pencegahan terjadi
delirium panjang maka prognosis
pasien pun akan lebih baik
mencegah terjadinya penyakit
gangguan jiwa organic.
Pada jurnal, bukan merupakan
jurnal yang yang melakukan
tindakan tetapi lebih mengarah ke
epidemiologi jadi pada jurnal hanya
menggambarkan kemungkinan

13

prognosis pada pasien kasus serupa


di rumah sakit, dan dapat dialkukan
pencegahan sebelum terjadi
delirium yang panjang yang dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi
kognitif global dan fungsi eksekutif
yang buruk.

14

You might also like