Professional Documents
Culture Documents
T P K 2 G U B R I 2003-2008
BAB II
PENDEKATAN TEORI
A. Teori Kemiskinan
1. Definisi Kemiskinan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak
berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Selain miskin kata faqir
juga sering digunakan sebagai padanan atau majemuk dari kata miskin itu sendiri.
Kata ini berarti sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin1
Dalam bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam
atau tenang, sedang faqir berasal dari faqr yang pada mulanya berarti tulang
punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa
beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan” tulang
punggungnya2. Dalam sebutan sehari-hari kedua kata tersebut selalu disebut miskin
atau kemiskinan.
Memperhatikan akar kata “miskin” bila disimak dari terminologi Arab seperti
disebut di atas diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah
sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak atau berusaha. Keengganan
berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan
berusaha antara lain disebabkan oleh penganiayaan manusia lain yang membuat
dirinya faqir atau miskin.
Dengan demikian, definisi umum tentang kemiskinan adalah bilamana
masyarakat berada pada suatu kondisi yang serba terbatas, baik dalam aksesibilitas
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
2002, hal.312 dan 749.
2
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Jakarta, Mizan 1996, hal. 449.
1
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
pada faktor produksi, peluang atau kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup
lainnya, sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha menjadi sangat terbatas3.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai Poverty is concern with absolute
standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living
standards across the whole society4. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa
kemiskinan terkait dengan batas absolut dari sebagian masyarakat. Selain itu
kemiskinan juga menunjukkan ketimpangan standar hidup relatif dari seluruh
masyarakat. Dengan demikian kemiskinan dapat diukur melalui perbandingan antara
tingkat pendapatan dengan nilai kebutuhan hidup minimum seseorang pada kurun
waktu tertentu.
2. Bentuk-Bentuk Kemiskinan
Bertitik tolak dari pengertian di atas, maka kemiskinan dibedakan menjadi
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif5. Komunitas yang termasuk ke dalam
kemiskinan absolut adalah mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok
minimum. Adapun komunitas yang termasuk kemiskinan relatif adalah mereka yang
memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum yang secara
relatif berada di bawah rata-rata pendapatan masyarakat di sekitarnya.
Dalam pandangan lain, kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan
natural, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural6. Kemiskinan natural disebut
juga dengan kemiskinan turun temurun. Kemiskinan ini disebabkan keterbatasan
secara alamiah yang dialami suatu komunitas, sehingga sulit untuk melakukan
perubahan. Pada umumnya keterbatasan tersebut berupa kondisi sumber daya alam
dan lingkungan yang buruk.
3
Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Jakarta: Gava
Medie 2004 : 17.
4
Sumodiningrat dan Gunawan, 1999 : 2
5
Op. Cit., h. 17.
6
Ibi, h, 29.
2
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
7
Sayogyo, 1977.
3
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
Kedua, kebutuhan dasar untuk hidup minimal bukan hanya kalori, melainkan masih
ada unsur-unsur lain, seperti sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun
1994 juga mengembangkan beberapa indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan
keluarga dengan mempergunakann indikator ekonomi, sosial, kesehatan, dan gizi.
Hasil kajian terhadap indikator-indikator tersebut memetakan kesejahteraan keluarga
dalam beberapa tingkatan sebagai berikut: Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga
Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, dan Keluarga Sejahtera III Plus. Keluarga yang
masuk ke dalam ketegori miskin adalah keluarga Pra Sejahtera dan keluarga Sejahtera
I8(Ambar Teguh Sulistiyani, 2004 : 35)..
Indikator-indikator di atas, belum memetakan kemiskinan yang dihasilkan
oleh aspek kultural dan struktural sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Dengan
demikian Indikator-indikator tersebut perlu diintegrasikan dan disempurnakan dengan
menambahkan aspek kemudahan akses ke arah kepentingan publik yang cukup
beragam seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pasar, pekerjaan dan lain-lain.
4. Dimensi Kemiskinan
Secara singkat persoalan kemiskinan telah dijelaskan di atas. Selanjutnya
yang menjadi persoalan adalah bagaimana memecahkan permasalahan kemiskinan
tersebut, hingga diperoleh solusi yang tepat. Setidaknya ada dua dimensi yang dapat
digunakan dalam mendekati kemiskinan, yaitu perspektif kemiskinan cultural dan
structural atau situasional9. Ada tiga tingkat analisis menurut perspektif kultural, yaitu
individual, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat individual kemiskinan ditandai
dengan sifat a strong feeling of marginality seperti sikap parochial, apatisme,
fatalisme atau pasrah pada nasib, ketergantungan dan inferior. Pada tingkat keluarga,
kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or
consensual marriages. Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama
8
Op. Cit. h. 35.
9
Ellis,1984.
4
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
5. Pendekatan Pemberdayaan
Dari perspektif agama Islam, kewajiban memberdayakan masyarakat
miskin dikategorikan kepada tiga kewajiban yaitu, kewajiban setiap individu,
kewajiban orang lain dan kewajiban pemerintah. Kewajiban setiap individu tercermin
dalam kewajiban bekerja dan berusaha. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya
menjelaskan bagaimana naluri kepemilikan mendorong manusia bekerja dan
berusaha. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa agama mewajibkan setiap
induvidu bekerja dan berusaha. Karena itu, mereka harus berjuang untuk naik ke
tingkat strata sosial yang lebih baik dari kondisi saat ini. Usaha ke arah itu harus
dilakukan melalui perbaikan mentalitas pribadi, terutama bagi kemiskinan yang
bersifat natural dan cultural, yang dari sudut pandang psikologi biasa dilakukan
dengan latihan-latihan motivasi berprestasi, sedangkan dari sudut pandang teologis,
bisa dilakukan dengan pembaruan pandangan hidup dari fatalistic kepada rasional
progresif serta mencari nilai-nilai etos kerja yang progresif untuk kemajuan.
Zakat dan kewajiban keuangan lainnya dapat dijadikan alat untuk
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dari sekumpulan ayat-ayat Al-Quran dapat
dipahami bahwa kewajiban zakat dan kewajiban-kewajiban keuangan lainnya,
ditetapkan atas dasar kepemilikan Allah secara mutlak dan berdasarkan penguasaan
manusia sebagai khalifah (Istikhlaf). Apa yang ada dalam genggaman seseorang atau
sekelompok orang, pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia diwajibkan
menyerahkan kadar tertentu dari kekayaannya untuk kepentingan saudara-
saudaranya. Misalnya, zakat maal dapat digunakan untuk modal usaha produktif bagi
masyarakat miskin. Dengan demikian, manajemen pengelolaan zakat ini perlu
diarahkan sebaik mungkin agar masyarakat miskin mendapatkan kemudahan terhadap
10
Usman, 1998 : 127-128.
5
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
akses permodalan. Manajemen pengelolaan ini tidak hanya diarahkan untuk zakat
yang telah terkumpul tetapi juga mengupayakan segala usaha agar orang-orang kaya
terpanggil secara sadar untuk menunaikan zakat hartanya. Di sini peran pemerintah
ikut menentukan.
Di samping dana seperti disebutkan di atas, pemerintah juga dituntut oleh
agama dan undang-undang yang berlaku untuk berperan secara lebih aktif dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena, realitas kemiskinan tidak saja
disebabkan oleh tidak rasionalnya masyarakat atau karena budaya miskin yang
berkembang sekian lama di sekitar mereka, atau juga karena kurang motivasi untuk
berprestasi serta karena etos kerja yang lemah, tetapi ia juga muncul akibat
ketidakadilan sosial yang berlaku di tengah-tengah mereka.
Seperti dimaklumi, bahwa secara teoritis mewujudkan keadilan sosial adalah
diantara tugas negara yang terpenting. Sesuai dengan undang-undang dasar 1945
pasal 33 pemerintah berkewajiban mewujudkan demokrasi ekonomi dalam rangka
menegakkan keadilan sosial dalam ekonomi.
Menurut Korten, ada dua pendekatan pembangunan yang dilakukan selama
ini, yaitu pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Pendekatan top-down
merupakan bentuk blue print strategy yaitu pendekatan yang bersumber pada
pemerintah, sementara masyarakat hanyalah sebagai sasaran atau objek pembangunan
saja. Sebaliknya pendekatan bottom-up adalah pembangunan yang memposisikan
masyarakat sebagai pusat pembangunan atau pusat perubahan sehingga terlibat dalam
proses perencanaan sampai pada pelaksanaan dan evaluasi. Pendekatan ini sering
disebut juga sebagai people centered development11.
Pendekatan pembangunan sudah selayaknya mampu menampung
permasalahan yang beraneka ragam dan harus memberi peluang kepada masyarakat
untuk lebih secara leluasa mencari solusi untuk setiap masalah yang dihadapi.
Orientasi terhadap bentuk kegiatan yang seragam merupakan distorsi dalam
11
David C. Korten, 1980.
6
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
B. Pengentasan Kebodohan
1. Definisi Kebodohan
Secara etimologis, term kebodohan berasal dari kata bodoh yang mendapat
awalan ke dan akhiran an. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bodoh diartikan
sebagai sifat tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu, tidak memiliki pengetahuan,
pendidikan dan pengalaman12. Kata ini, dalam bahasa Inggris, identik dengan kata
“stupid13.
Dalam bahasa Arab, kata “bodoh” sepadan dengan kata al-jahl dan al-safih14
yang berarti ‘adam al-ilmi bi al-syai’ (tidak ada pengetahuan tentang sesuatu),
sehingga orang yang tidak berpengatahuan disebut jahil.
Dalam perspektif agama (Islam) jahil dapat diklasifikasikan menjadi jahil
murakkab dan jahil basith. Jahil murakkab adalah jahil yang terstruktur atau
kebodohan di mana seseorang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang
12
Dep. Pendidikan Nasional, 2002:159.
13
John M. Echols, 1984:564.
14
Ahmad Warson Munawwir, 1984:236 dan 682
7
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
8
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
variabel terbentuknya SDM yang berdaya saing tinggi, tetapi juga ikut menentukan
terjadinya perubahan sosial ( social change). SDM merupakan inti dalam
pembangunan. Meskipun kaya dengan sumber daya alam tanpa didukung oleh SDM
yang berkualitas akan sulit mencapai kemajuan di semua bidang. Jika dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya, persentase pengeluaran pemerintah dan
masyarakat dalam bidang pendidikan, ternyata Indonesia menempati urutan angka
pengeluaran yang paling kecil, seperti terlihat dalam tabel berikut :
Tabel 1
Pengeluaran Untuk Pendidikan Indonesia
dan Beberapa Negara ASEAN
Persentase dari Pengeluaran Persentase dari Pengeluaran
Negara Pemerintah Masyarakat (% dariPDB)
Indonesia 9 1,7
Malaysia 23 5,3
Piliphina 20 2,2
Singapura 19 3
Thailand 22 4,2
Vietnam - 2,7
Sumber : The State of world’s children 2000, UNICEP World Development Report
1998/19999
The world Bank
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas pendidikan kita menjadi
rendah dibanding dengan negara-negara lain itu. Hal ini dapat dilihat pula dari
ranking universitas-universitas di Asia seperti pada tabel berikut :
9
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
Tabel 2
Rangking Universitas di Asia
10
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
15
Sustyatie Soemitro, 2002 : 76-78.
11
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
12
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
dana 20% untuk pendidikan masih berada dalam tataran wacana yang dipolemikkan.
Sehingga wajar program itu tidak direspon secara memadai oleh masyarakat. Bahkan
biaya sekolah justru semakin tinggi dari waktu kewaktu. Hal ini tentu membuat
masyarakat miskin tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan
sekalipun pendidikan dasar. Padahal pendidikan adalah diantara kebutuhan pokok
yang perlu dipenuhi bagi sebuah masyarakat yang ingin maju dan juga investasi masa
depan bangsa. Oleh karenanya pemerintah sangat dituntut untuk benar-benar serius
menangani masalah ini sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 31
ayat 4 yaitu, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
13
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
2. Pendekatan Pembangunan
Pembangunan sebagai suatu proses dinamis menuju keadaan sosial ekonomi
yang lebih baik, atau yang lebih modern, jelas merupakan gejala sosial yang
berdimensi banyak dan dapat didekati dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti
ekonomi pembangunan, sosiologi pembangunan, pembangunan politik, teknologi
pembangunan, pembangunan hukum, adminsitrasi pembangunan dan sebagainya.
16
Ndraha, 1990 : 2-13
17
Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya, 1993:38.
14
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
15
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
22
Tjokroamidjojo, 1995: 31-36
23
Analisis Smith, Mill, dan Douglas Morris, 1971:147
24
Fabricant Tjokroamidjojo, 1995:44
16
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
25
Smith Tjokroamidjojo, 1995:30-32
26
Smith dan Mill Tjokroamidjojo, 1995:32
27
Ricardo dan Malthus Tjokroamidjojo, 1995:33
17
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
28
Mill Tjokroamidjojo, 1995:33
29
Keynes (Tjokroamidjojo, 1995:34)
18
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
30
Harrod Domar Tjokroamidjojo, 1995:35
31
Neo Klassik (Tjokroamidjojo, 1995:36-37)
19
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
32
Schumacher Tjokroamidjojo, 1995 : 47
33
Tjokroamidjojo, 1995 :45
34
Tjokroamidjojo
20
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
35
Tjokroamidjojo, 1995 : 50
21
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
36
Tjokroamidjojo, 1995 : 48
37
22
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
dan sikap mendua dalam bidang ini adalah sebuah bahaya besar untuk kelangsungan
hidup bangsa kita ke depan.
(Diantara langkah yang perlu dilakukan dalam mengatasi kesenjangan antara kaya
dan miskin seperti disebut di atas, adalah membuat konsep yang jelas dalam bentuk
garis kemiskinan (poverty line) yang menunjukkan batas terendah untuk memenuhi
kebutuhan pokok manusia. Di sini, seseorang dikatakan berada di bawah garis
kemiskinan (absolute line) apabila pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti sandang, pangan, perumahan,
pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Bank Dunia (Ahluwalia, 1974 : 83) menetapkan
angka US $ 50 per kapita setahun sebagai patokan absolute line untuk tingkat
pendapatan desa, dan US $ 75 per kapita setahun untuk tingkat pendapatan di kota
pada keadaan tingkat harga tahun 197138.
Dilema trade offs (keuntungan yang satu, merugikan yang lain) antara
growth dan equity ditelaah Adelman dan Morris (Tjokroamidjojo, 1995 : 49) melihat
masalah besar ini tidak hanya dengan mengungkapkan variabel-variabel ekonomi
tetapi juga mengaitkannya dengan variabel-varibel politik, sosial dan kultural39
(UNTUK FOOT NOTE).
38
Ahluwalia, 1974 : 83
39
Adelman dan Morris, 1995 : 49
40
Djojohadikusumo 1965 : 104
23
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
daya alam di negeri ini adalah akibat rendahnya mutu SDM yang mengerti akan
pentingnya memelihara lingkungan dan sumber daya alam untuk generasi mendatang
dalam jangka panjang. Rendahnya mutu SDM itu membuat mereka lebih terfokus
kepada kepentingan jangka pendek, sehingga jangka panjang terkorban secara
sengaja atau tidak sengaja. Di sini, untuk kesekian kalinya kita katakan bahwa bahwa
kata kunci untuk itu adalah juga pendidikan.
24
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
pemerintahan Orde Baru Jangka Panjang Tahap (PJPT) I dan II adalah bidang
ekonomi dengan tetap mengutamakan pertumbuhan.
Selanjutnya, Waterston (Tjokroamidjojo, 1995 : 39) menyatakan pembangunan
berencana dibanyak negara tidak terselenggara karena perencana pembangunan tidak
berorientasi pada pelaksanaan, dan bahkan tidak dilaksanakan, karena kurangnya
dukungan atau ketidakstabilan politik.
Kondisi seperti disebut di atas inilah yang banyak mempengaruhi pelaksanaan
pembangunan di Indonesia terutama pada paroh kedua era orde baru. Program-
program pembangunan yang dirancang dalam REPELITA, dalam pelaksanaannya
tidak banyak menyentuh kepentingan rakyat kecil. Sehingga di penghujung era ini
muncullah gejolak-gejolak sosial di tengah-tengah masyarakat yang akhirnya
melahirkan suasana instabibilitas politik yang berujung kepada lahirnya era
reformasi.
Sasaran pembangunan nasional di Indonesia pada era reformasi, sebagai
perwujudan dari tuntutan reformasi itu sendiri di segala bidang, tidak lain adalah
membangun sistem bernegara dan penegakan hukum, penegakan demokrasi, hak
azazi manusia, pembangunan ekonomi kerakyatan, pembangunan sosial budaya dan
ketahanan nasional. Kartasasmita (1996:133-313) menyatakan gambaran dari
kebijakan pembangunan nasional di Indonesia di era ini mengarah kepada : Pertama,
pembangunan demokrasi ekonomi bergandengan dengan demokrasi politik; Kedua,
pembangunan ekonomi kerakyatan; Ketiga, pembangunan sumber daya manusia; dan
Keempat, penyelenggaraan otonomi dan perimbangan keuangan antara pusat dengan
daerah.
25
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
26
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
27
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
bahwa Badan ini, atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat
istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat,
serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa. Selanjutnya
pasal 105 UU No. 22 Tahun 1999 mengatur tentang anggota Badan Perwakilan Desa
yaitu: anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk desa yang
memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh
anggota. Badan ini bersama dengan kepala desa menetapkan peraturan desa, dan
pelaksanaan peraturan desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Selain lembaga Badan Perwakilan Desa, di desa terdapat juga lembaga lainnya
sesuai dengan kebutuhan desa dan ditetapkan dengan peraturan desa itu sendiri.
Penetapan Kepala Desa dan pembantu-pembantunya sebagai organisasi
pemerintahan terendah menurut Pemudji (Ndraha, 1990 : 137) dimaksudkan untuk
mendekatkan pelayanan administrasi negara pada masyarakat. Pelayanan yang
dilancarkan dari tingkat kecamatan dianggap masih terlalu jauh. Kedudukan Desa
lebih dekat dengan masyarakat sehingga pelayanan masyarakat di desa diharapkan
jauh lebih efektif. Kemudian didorong oleh adanya Instruksi Presiden (Inpres) tentang
Bantuan Desa, berangsur-angsur posisi bagian-bagian desa di tingkatkan, ditandai
dengan meningkatnya jumlah sesa secara defenitif.
Melalui kedudukannya sebagai Ketua Umum Lembaga Ketahanan Desa (LKD),
Kepala Desa berfungsi merencanakan dan mengendalikan pelaksanaan pembangunan
Desa. Jika dihubungkan dengan Bab IV Bagian D Umum angka 2 huruf f GBHN
1978 maka kemampuan pemerintah desa untuk melaksanakan tugasnya langsung
bertalian dengan usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang semakin meluas dan
efektif.
Kedudukan politis BPD (Badan Perwakilan Desa) atau disebut dengan nama
lain, menurut UU No. 22 Tahun 1999, adalah wadah permusyawaratan/pemufakatan
pemuka-pemuka masyarakat desa. Badan ini bertugas menyalurkan pendapat
28
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
29
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
bahwa Desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Seperti telah dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa pemerintahan desa
memerlukan dukungan keuangan dan dukungan struktur organisasi, dalam rangka
pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan dukungan lingkungan. Dukungan
lingkungan terhadap pemerintahan desa terletak pada kenyataan bahwa kepala desa
maupun pembantu-pembantunya merupakan tokoh-tokoh pilihan masyarakat
setempat sebagai pimpinan formal dan didukung oleh tokoh masyarakt lainnya
sebagai pimpinan informal. Kedua kelompok tersebut merupakan kekuatan yang
sangat besar jika dapat disinerjikan untuk menggerakkan masyarakat dalam
pembangunan. Khususnya pembanguan pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan, industri kecil, jasa dan perdagangan, pariwisata dan lain-lain sebagainya
untuk kemaslahatan masyarakat.
30
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
31
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
32
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
33
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
34
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
Suatu referensi penting yang timbul adalah dalam rangka pemikiran dan usaha
untuk berdikari (self reliance), yang dapat kita artikan sebagai usaha untuk
meningkatkan peranan dan dominasi pribumi di negerinya sendiri, yang juga
merupakan konsep lama (Ghandi dan Bung Karno), tetapi secara lebih menarik
diungkapkan secara hipotesis oleh Galtung (Tjokroamidjojo, 1995 : 57) sebagai
strategi pembangunan yang cukup komprehensif dan fundamental dengan self
reliance :
Pertama, prioritas akan bergeser kepada produksi untuk kebutuhan pokok bagi
mereka yang paling membutuhkan. Kedua, partisipasi rakyat secara massal
diusahakan lebih terjamin. Ketiga, sumber-sumber dan faktor lokal lebih banyak
dimanfaatkan. Keempat, kreativitas masyarakat diransang. Kelima, kecocokan
dengan kondisi setempat akan lebih terjaga. Keenam, akan lebih memberi aneka
ragam pembangunan. Ketujuh, akan mengurangi keterasingan manusia dalam
proses pembangunan. Kedelapan, keseimbangan ekologis akan lebih terjaga.
Kesembilan, faktor ekstern yang masuk akan lebih mudah dijadikan urusan
intern atau dipindahkan ke tangga yang lebih setaraf. Kesepuluh, solidaritas
dengan sesama akan memperoleh landasan yang kokoh. Kesebelas, kemampuan
untuk menangkal kecurangan yang disebabkan oleh ketergantungan
perdagangan akan bertambah. Keduabelas, ketahanan militer dan ketahaan
35
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
36
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
37
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
38
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
Atas dasar penelaahan dari berbagai teori dan hasil penelitian lain, ternyata
strategi pembangunan perdesaan membutuhkan suatu pendekatan yang kontekstual
berdasarkan karakteristik yang dimiliki desa bersangkutan, dan bukan penyeragaman.
Diperlukan pula aspek kebersamaan, saling belajar dan memberi informasi antara
pemerintah dan masyarakat. Upaya tersebut penting dilaksanakan dalam rangka
efektivitas pembangunan masyarakat perdesaan yang mandiri dan berkelanjutan.
39
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
model dapat menjelaskan realitas pembangunan yang sesuai atau menurut konteksnya
(kontekstual).
Dalam pada itu, pembangunan perdesaan secara nasional tidak mungkin dapat
disamaratakan, mengingat perdesaan di negara ini mempunyai ciri-ciri : umumnya
kepadatan penduduk tidak terlalu tinggi; tingkat pendidikan rendah; keadaan alam
dan geografis berbeda; kegiatan usaha utama adalah pertanian (termasuk kehutanan,
peternakan, perikanan), tingkat pendapatan masyarakat relatif rendah; masyarakat
relatif homogen dalam hal mata pencaharian, agama dan adat istiadat.
Dengan demikian, pembangunan perdesaan, menurut Findley (Saefullah, 1995 :
13) harus dilakukan dengan model pendekatan kontekstual yang sesuai dengan sifat
dan cirinya, dan tidak dapat disamaratakan begitu saja antara model dan pendekatan
pembangunan desa yang satu dengan yang lainnya .
Dalam rangka itu pembangunan perdesaan harus meliputi upaya-upaya besar
yang satu sama lain saling berkaitan. Dengan melakukan pendekatan sistem (Winardi,
1999:149) semua upaya tersebut dijadikan masukan dalam proses pembangunan
perdesaan. Kemudian, proses pembangunan perdesaan tetap pula melaksanakan
manajemen pembangunan yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian
dan pengawasan pembangunan. Kesemuanya itu merupakan suatu proses dari fungsi
manajemen yang sepenuhnya merupakan partisipasi masyarakat setempat tanpa
campur tangan berlebihan dari pihak atas.
Sejalan pula dengan upaya pemberdayaan masyarakat maka pelaksanaan
pembangunan di perdesaan disesuaikan pula dengan faktor historis desa, sumber daya
manusianya, sumber daya alamnya, nilai sosial budaya dan nilai agamanya yang
merupakan faktor-faktor lingkungan yang ikut berpengaruh (Friedmann, 1981:42;
Bryant dan White, 1982:369; Findley, 1987 : 19; Saefullah, 1995 : 13).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas suatu model pembangunan
perdesaan yang kontekstual dengan pendekatan sistem dapat digambarkan sebagai
berikut:
INPUT PROSES OUTPUT
40
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
41
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
42
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
43
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008
44