You are on page 1of 44

K2i DI PROVINSI RIAU

T P K 2 G U B R I 2003-2008

BAB II
PENDEKATAN TEORI

A. Teori Kemiskinan

1. Definisi Kemiskinan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak
berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Selain miskin kata faqir
juga sering digunakan sebagai padanan atau majemuk dari kata miskin itu sendiri.
Kata ini berarti sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin1
Dalam bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam
atau tenang, sedang faqir berasal dari faqr yang pada mulanya berarti tulang
punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa
beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan” tulang
punggungnya2. Dalam sebutan sehari-hari kedua kata tersebut selalu disebut miskin
atau kemiskinan.
Memperhatikan akar kata “miskin” bila disimak dari terminologi Arab seperti
disebut di atas diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah
sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak atau berusaha. Keengganan
berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan
berusaha antara lain disebabkan oleh penganiayaan manusia lain yang membuat
dirinya faqir atau miskin.
Dengan demikian, definisi umum tentang kemiskinan adalah bilamana
masyarakat berada pada suatu kondisi yang serba terbatas, baik dalam aksesibilitas

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
2002, hal.312 dan 749.
2
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Jakarta, Mizan 1996, hal. 449.

1
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

pada faktor produksi, peluang atau kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup
lainnya, sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha menjadi sangat terbatas3.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai Poverty is concern with absolute
standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living
standards across the whole society4. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa
kemiskinan terkait dengan batas absolut dari sebagian masyarakat. Selain itu
kemiskinan juga menunjukkan ketimpangan standar hidup relatif dari seluruh
masyarakat. Dengan demikian kemiskinan dapat diukur melalui perbandingan antara
tingkat pendapatan dengan nilai kebutuhan hidup minimum seseorang pada kurun
waktu tertentu.

2. Bentuk-Bentuk Kemiskinan
Bertitik tolak dari pengertian di atas, maka kemiskinan dibedakan menjadi
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif5. Komunitas yang termasuk ke dalam
kemiskinan absolut adalah mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok
minimum. Adapun komunitas yang termasuk kemiskinan relatif adalah mereka yang
memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum yang secara
relatif berada di bawah rata-rata pendapatan masyarakat di sekitarnya.
Dalam pandangan lain, kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan
natural, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural6. Kemiskinan natural disebut
juga dengan kemiskinan turun temurun. Kemiskinan ini disebabkan keterbatasan
secara alamiah yang dialami suatu komunitas, sehingga sulit untuk melakukan
perubahan. Pada umumnya keterbatasan tersebut berupa kondisi sumber daya alam
dan lingkungan yang buruk.

3
Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Jakarta: Gava
Medie 2004 : 17.
4
Sumodiningrat dan Gunawan, 1999 : 2
5
Op. Cit., h. 17.
6
Ibi, h, 29.

2
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor


budaya. Artinya, kemiskinan itu terjadi oleh adanya nilai-nilai budaya yang membuat
masyarakat sulit mengembangkan dirinya dan terjebak ke dalam suasana kemiskinan
turun temurun. Misalnya, dalam budaya Jawa “mangan ora mangan ngumpul” telah
mengkondisikan suatu masyarakat pada lingkaran kemiskinan. Begitu juga dalam
budaya Melayu. Ungkapan “makan-makan angin” sering mempengaruhi prilaku
sosial masyarakat untuk terbiasa membuang-buang waktu dan hidup secara tidak
efisien dan tidak produktif. Sehingga, sadar atau tidak disadari mereka pun terjebak
dengan kemiskinan.
Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-
faktor kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakat miskin. Misalnya, kebijakan
ekonomi yang tidak adil, penguasaan faktor produksi yang tidak merata, korupsi,
kolusi dan nepotisme, kebijakan ekonomi global dan lain sebagainya.
3. Indikator Kemiskinan
Indikator kemiskinan ini telah banyak ditulis oleh para ahli. Sayogyo,
misalnya, mengkonversikan kemiskinan dengan nilai kilogram beras yang
dikonsumsi dalam satu tahun. Menurutnya indikator kemiskinan adalah setara dengan
240 kg/orang/tahun. Dengan demikian, seseorang dikatakan miskin apabila dalam
satu tahun tidak mengkonsumsi beras sesuai dengan yang disebutkan di atas7.
Biro Pusat Statisitik mengkonversikan kemiskinan dengan kebutuhan kalori,
yaitu 2100 kalori perkapita perhari, sementara, Bank Dunia menggunakan ukuran
2200 kalori per orang per hari. Indikator ini juga memiliki kelemahan. Pertama,
kalori yang sama dapat dapat diperoleh melalui makanan yang berharga mahal atau
berharga murah. Misalnya beras dan gandum mempunyai harga yang relatif lebih
tinggi dibandingkan umbi-umbian. Akibat perbedaan harga sumber kalori tersebut
sulit mengukur tingkat kemiskinan seseorang dari nilai rupiah yang di keluarkan.

7
Sayogyo, 1977.

3
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Kedua, kebutuhan dasar untuk hidup minimal bukan hanya kalori, melainkan masih
ada unsur-unsur lain, seperti sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun
1994 juga mengembangkan beberapa indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan
keluarga dengan mempergunakann indikator ekonomi, sosial, kesehatan, dan gizi.
Hasil kajian terhadap indikator-indikator tersebut memetakan kesejahteraan keluarga
dalam beberapa tingkatan sebagai berikut: Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga
Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, dan Keluarga Sejahtera III Plus. Keluarga yang
masuk ke dalam ketegori miskin adalah keluarga Pra Sejahtera dan keluarga Sejahtera
I8(Ambar Teguh Sulistiyani, 2004 : 35)..
Indikator-indikator di atas, belum memetakan kemiskinan yang dihasilkan
oleh aspek kultural dan struktural sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Dengan
demikian Indikator-indikator tersebut perlu diintegrasikan dan disempurnakan dengan
menambahkan aspek kemudahan akses ke arah kepentingan publik yang cukup
beragam seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pasar, pekerjaan dan lain-lain.

4. Dimensi Kemiskinan
Secara singkat persoalan kemiskinan telah dijelaskan di atas. Selanjutnya
yang menjadi persoalan adalah bagaimana memecahkan permasalahan kemiskinan
tersebut, hingga diperoleh solusi yang tepat. Setidaknya ada dua dimensi yang dapat
digunakan dalam mendekati kemiskinan, yaitu perspektif kemiskinan cultural dan
structural atau situasional9. Ada tiga tingkat analisis menurut perspektif kultural, yaitu
individual, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat individual kemiskinan ditandai
dengan sifat a strong feeling of marginality seperti sikap parochial, apatisme,
fatalisme atau pasrah pada nasib, ketergantungan dan inferior. Pada tingkat keluarga,
kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or
consensual marriages. Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama

8
Op. Cit. h. 35.
9
Ellis,1984.

4
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi


masyarakat secara efektif10.

5. Pendekatan Pemberdayaan
Dari perspektif agama Islam, kewajiban memberdayakan masyarakat
miskin dikategorikan kepada tiga kewajiban yaitu, kewajiban setiap individu,
kewajiban orang lain dan kewajiban pemerintah. Kewajiban setiap individu tercermin
dalam kewajiban bekerja dan berusaha. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya
menjelaskan bagaimana naluri kepemilikan mendorong manusia bekerja dan
berusaha. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa agama mewajibkan setiap
induvidu bekerja dan berusaha. Karena itu, mereka harus berjuang untuk naik ke
tingkat strata sosial yang lebih baik dari kondisi saat ini. Usaha ke arah itu harus
dilakukan melalui perbaikan mentalitas pribadi, terutama bagi kemiskinan yang
bersifat natural dan cultural, yang dari sudut pandang psikologi biasa dilakukan
dengan latihan-latihan motivasi berprestasi, sedangkan dari sudut pandang teologis,
bisa dilakukan dengan pembaruan pandangan hidup dari fatalistic kepada rasional
progresif serta mencari nilai-nilai etos kerja yang progresif untuk kemajuan.
Zakat dan kewajiban keuangan lainnya dapat dijadikan alat untuk
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dari sekumpulan ayat-ayat Al-Quran dapat
dipahami bahwa kewajiban zakat dan kewajiban-kewajiban keuangan lainnya,
ditetapkan atas dasar kepemilikan Allah secara mutlak dan berdasarkan penguasaan
manusia sebagai khalifah (Istikhlaf). Apa yang ada dalam genggaman seseorang atau
sekelompok orang, pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia diwajibkan
menyerahkan kadar tertentu dari kekayaannya untuk kepentingan saudara-
saudaranya. Misalnya, zakat maal dapat digunakan untuk modal usaha produktif bagi
masyarakat miskin. Dengan demikian, manajemen pengelolaan zakat ini perlu
diarahkan sebaik mungkin agar masyarakat miskin mendapatkan kemudahan terhadap

10
Usman, 1998 : 127-128.

5
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

akses permodalan. Manajemen pengelolaan ini tidak hanya diarahkan untuk zakat
yang telah terkumpul tetapi juga mengupayakan segala usaha agar orang-orang kaya
terpanggil secara sadar untuk menunaikan zakat hartanya. Di sini peran pemerintah
ikut menentukan.
Di samping dana seperti disebutkan di atas, pemerintah juga dituntut oleh
agama dan undang-undang yang berlaku untuk berperan secara lebih aktif dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena, realitas kemiskinan tidak saja
disebabkan oleh tidak rasionalnya masyarakat atau karena budaya miskin yang
berkembang sekian lama di sekitar mereka, atau juga karena kurang motivasi untuk
berprestasi serta karena etos kerja yang lemah, tetapi ia juga muncul akibat
ketidakadilan sosial yang berlaku di tengah-tengah mereka.
Seperti dimaklumi, bahwa secara teoritis mewujudkan keadilan sosial adalah
diantara tugas negara yang terpenting. Sesuai dengan undang-undang dasar 1945
pasal 33 pemerintah berkewajiban mewujudkan demokrasi ekonomi dalam rangka
menegakkan keadilan sosial dalam ekonomi.
Menurut Korten, ada dua pendekatan pembangunan yang dilakukan selama
ini, yaitu pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Pendekatan top-down
merupakan bentuk blue print strategy yaitu pendekatan yang bersumber pada
pemerintah, sementara masyarakat hanyalah sebagai sasaran atau objek pembangunan
saja. Sebaliknya pendekatan bottom-up adalah pembangunan yang memposisikan
masyarakat sebagai pusat pembangunan atau pusat perubahan sehingga terlibat dalam
proses perencanaan sampai pada pelaksanaan dan evaluasi. Pendekatan ini sering
disebut juga sebagai people centered development11.
Pendekatan pembangunan sudah selayaknya mampu menampung
permasalahan yang beraneka ragam dan harus memberi peluang kepada masyarakat
untuk lebih secara leluasa mencari solusi untuk setiap masalah yang dihadapi.
Orientasi terhadap bentuk kegiatan yang seragam merupakan distorsi dalam

11
David C. Korten, 1980.

6
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

pembangunan dan mengurangi hakikat dari pembangunan itu sendiri. Dengan


demikian, pembangunan masyarakat miskin hendaknya lebih bernuansa
pemberdayaan.
Artinya program pembangunan yang dibuat oleh decision maker haruslah
memuat kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pemberdayaan. Untuk itu
pemerintah daerah perlu menginterpretasikan kebijakan tersebut demi kepentingan-
kepentingan daerah sifatnya lebih spesifik dan sangat kasuistik. Interpretasi tersebut
tertuang dalam policy guidelines yang merupakan hasil kerjasama dengan
masyarakat, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa atau
kelompok swadaya masyarakat lainnya. Dengan demikian panduan kebijakan
diturunkan oleh pemerintah, hendaknya dapat direspon oleh masyarakat dengan cara
menderivasi kebijakan tersebut sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

B. Pengentasan Kebodohan
1. Definisi Kebodohan
Secara etimologis, term kebodohan berasal dari kata bodoh yang mendapat
awalan ke dan akhiran an. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bodoh diartikan
sebagai sifat tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu, tidak memiliki pengetahuan,
pendidikan dan pengalaman12. Kata ini, dalam bahasa Inggris, identik dengan kata
“stupid13.
Dalam bahasa Arab, kata “bodoh” sepadan dengan kata al-jahl dan al-safih14
yang berarti ‘adam al-ilmi bi al-syai’ (tidak ada pengetahuan tentang sesuatu),
sehingga orang yang tidak berpengatahuan disebut jahil.
Dalam perspektif agama (Islam) jahil dapat diklasifikasikan menjadi jahil
murakkab dan jahil basith. Jahil murakkab adalah jahil yang terstruktur atau
kebodohan di mana seseorang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang

12
Dep. Pendidikan Nasional, 2002:159.
13
John M. Echols, 1984:564.
14
Ahmad Warson Munawwir, 1984:236 dan 682

7
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

sesuatu. Sedangkan jahil basith adalah kebodohan di mana seseorang memiliki


pengetahuan tentang sesuatu, tetapi tidak sampai pada tingkat yang memadai.
Bertitik tolak dari pengertian etimologis di atas, dapat dipahami bahwa
masalah kebodohan tidak hanya bersifat mikro (bersifat pendidikan formal dan
informal) tetapi lebih bersifat makro (mencakup wawasan, etos, skill dan peradaban).
Hal ini sejalan dengan sebutan “jahiliyah,” sebutan yang dahulu pada masa pra
Islam ditujukan kepada orang-orang yang bukan tidak memiliki pengetahuan dalam
pengertian mikro seperti disebut di atas, tetapi lebih berorientasi pada pengertian
makro terutama yang berhubungan dengan wawasan, etos, skill dan peradaban.

2. Urgensi Pengentasan Kebodohan


Mengingat kebodohan adalah kendala paling utama dalam meraih kesuksesan
hidup di dunia maupun akhirat, maka usaha untuk mengentaskannya harus dijadikan
sebagai prioritas dan upaya yang paling urgen.
Bicara tentang pengentasan kebodohan, adalah bicara tentang peningkatan
kualitas sumber daya manusia, yang untuk negara-negara berkembang, terutama
Indonesia, merupakan kelemahan mendasar yang perlu segera dicarikan solusinya.
Pengalaman selama krisis ekonomi menunjukkan bahwa negara-negara seperti Korea,
Jepang, Thailand, Singapura dan Malaysia sama-sama terkena krisis dengan
Indonesia. Namun, akibat perbedaan kualitas SDMnya, Indonesia mengalami krisis
yang lebih parah dibanding negara-negara lainnya itu. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
faktor SDM mereka yang pukulrata lebih tinggi dari Indonesia (Human Development
Indeks Negara-negara Asia). Di sini jelas sekali bahwa langsung atau tidak langsung,
kualitas SDM mempunyai peran paling utama dan sangat menentukan dalam
pembangunan ekonomi suatu negeri.
Dari perspektif ini, pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam
penyediaan SDM berkualitas. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin
besar peluangnya untuk meningkatkan kualitas diri dan daya saing dalam kehidupan
sosial yang bersangkutan. Para ahli memandang pendidikan bukan hanya sebagai

8
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

variabel terbentuknya SDM yang berdaya saing tinggi, tetapi juga ikut menentukan
terjadinya perubahan sosial ( social change). SDM merupakan inti dalam
pembangunan. Meskipun kaya dengan sumber daya alam tanpa didukung oleh SDM
yang berkualitas akan sulit mencapai kemajuan di semua bidang. Jika dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya, persentase pengeluaran pemerintah dan
masyarakat dalam bidang pendidikan, ternyata Indonesia menempati urutan angka
pengeluaran yang paling kecil, seperti terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 1
Pengeluaran Untuk Pendidikan Indonesia
dan Beberapa Negara ASEAN
Persentase dari Pengeluaran Persentase dari Pengeluaran
Negara Pemerintah Masyarakat (% dariPDB)
Indonesia 9 1,7
Malaysia 23 5,3
Piliphina 20 2,2
Singapura 19 3
Thailand 22 4,2
Vietnam - 2,7
Sumber : The State of world’s children 2000, UNICEP World Development Report
1998/19999
The world Bank

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas pendidikan kita menjadi
rendah dibanding dengan negara-negara lain itu. Hal ini dapat dilihat pula dari
ranking universitas-universitas di Asia seperti pada tabel berikut :

9
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Tabel 2
Rangking Universitas di Asia

Rank Universitas Nilai


1 Kyoto University 83.17
2 Tohoku University (Japan) 83.05
3 University of Hong Kong 82.55
4 Seoul National University 81.96
5 National University of Singapore 77.96
47 University of Malaya 54.20
48 University of the Philippines 53.79
52 Universiti Putra Malaysia 53.11
61 University of Indonesia 49.89
68 Gadjah Mada University 45.92
73 Diponegoro University 43.25
Sumber : Majalah Times tahun 2000
Oleh sebab itu masalah kualitas SDM di Indonesia menjadi tuntutan
pembangunan yang tidak boleh diabaikan dan harus diperhatikan secara sungguh-
sungguh.

3. Paradigma Pengembangan Sumber Daya Manusia


Menurut Sustyatie Soemitro terdapat empat paradigma pengembangan SDM
yang dibuat berdasarkan asumsi tentang hakikat manusia. Pertama, adalah paradigma
yang memandang manusia sebagai makhluk ekonomi. Asumsi dasar mengenai
hakikat manusia sebagai makhluk ekonomi adalah bahwa manusia sangat dimotivasi
pencarian akan sumber ekonomi. Kedua, paradigma yang memandang manusia
sebagai makhluk sosial yang memiliki perasaan. Dalam paradigma ini manusia tidak
hanya diperlakukan dengan pendekatan ekonomis, tetapi juga diperlakukan dengan

10
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

penuh kebaikan, penghormatan, kesopanan dan kesusilaan, dihormati dan dicintai.


Ketiga, paradigma yang memandang bahwa manusia sebagai makhluk rasional.
Dalam paradigma ini manusia dianggap sebagai makhluk kognitif atau makhluk yang
berfikir. Dengan pengertian yang luas tentang hakikat manusia menurut paradigma
ini, bakat, kreatifitas, akal budi, kepintaran dan imajinasinya perlu dimanfaatkan
secara optimal. Kita memandang manusia sebagai sumber daya utama bukan sebagai
barang modal. Keempat, Paradigma yang memandang manusia sebagai makhluk
spritual. Di sini manusia bukan hanya makhluk ekonomi, sosial dan rasional, tetapi
juga adalah makhluk spritual15. Jadi dalam pengembangan SDM harus
memperhatikan empat paradigma tersebut secara integral. Dengan kata lain,
pendidikan sebagai agen perbaikan dan pengembangan SDM harus diformulasikan
dengan mengacu kepada paradigma di atas. Dengan demikian, pola pendidikan yang
dikembangkan adalah pola pendidikan yang mengarahkan peserta didik memiliki
kecerdasan intelektual, kecerdasan spritual dan terampil sehingga memungkinkan
mereka memiliki daya saing tinggi dalam merebut dan menciptakan peluang-peluang
ekonomi.
Oleh karena manusia sebagai makhluk sosial, maka pengembangan
sumberdayanya melalui pendidikan, perlu juga memperhatikan socio-cultural-
national-building yang meliputi sifat, sikap, watak, tabiat, nilai, adat istiadat dan
kebuadayaan. Dari aspek spritual, pendidikan hendaknya diarahkan untuk memotivasi
peserta didik melakukan sesuatu yang bermakna dan menanamkan ghirah atau etos
kerja yang baik serta mewarnai pola pendidikan itu dengan nilai-nilai ilahiyah. Hal
yang disebut terakhir ini penting, karena bila pola pendidikan yang dikembangkan
hanya bersifat teknik-empirik atau rasional-objektif, maka yang akan terjadi adalah
kehancuran kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam segala aktivitas
kehidupannya. Sehingga, kata Karl Jaspers, “Dunia benar-benar mengalami
despritualisasi yang tunduk pada rezim teknologi (despritualization of the world and

15
Sustyatie Soemitro, 2002 : 76-78.

11
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

its subjection to a regime of advance tehnique), lalu mereka kehilangan kepribadian


(impersonality).

4. Tanggung Jawab Pemerintah


Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap warga
negara berhak untuk mendapatkan pendidikan (pasal 31 ayat 1). Amanat tesebut
selanjutnya ditindaklanjuti dengan pencanangan program wajib belajar sembilan
tahun. Pasal 13 Undang-Undang No. 2 tahun 1989, tentang Pendidikan Nasional yang
menyebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan sembilan tahun yang
diselenggarakan di Sekolah Dasar enam tahun dan di Sekolah Menengah Tingkat
Pertama selama tiga tahun.
Namun demikian, ada sesuatu yang “salah” dalam pencanangan program
pendidikan dasar sembilan tahun itu. Kesalahan itu tidak terletak pada aturannya,
tetapi pada ketidaksiapan perangkat pendukung dan fasilitas bagi terwujudnya
kebijakan tersebut. Karena secara ideal dan teoritis kebijakan wajib belajar memiliki
konsekuensi bagi negara dan pemerintah untuk memfasilitasinya dengan dana dan
fasilitas serta tenaga pendidik yang memadai. Tetapi yang terjadi adalah keterbatasan
dalam banyak hal. Konsekuensi kebijakan wajib belajar adalah semua anak bangsa--
dalam kondisi dan kategori apapun--memiliki kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pendidikan. Di samping itu kewajiban tersebut diikuti dengan kebijakan
ketersediaan fasilitas dan biaya murah untuk mendapatkan pendidikan bila
kemampuan negara belum mencukupi untuk membebaskan semua anak didik dari
beban uang sekolah. Hal ini tentu membawa konsekuensi logis diperbesarnya alokasi
dana APBN dan APBD untuk biaya pendidikan. Aspek lain yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan kebijakan wajib belajar ini adalah dibebaskannya siswa dari
berbagai macam pungutan yang akan memberatkan orang tua murid selain uang
sekolah seperti disebut di atas.
Namun kenyataan yang terjadi di lapangan adalah tidaklah sama dengan apa
yang diinginkan di atas. Sampai sekarang apa yang digariskan UUD tentang alokasi

12
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

dana 20% untuk pendidikan masih berada dalam tataran wacana yang dipolemikkan.
Sehingga wajar program itu tidak direspon secara memadai oleh masyarakat. Bahkan
biaya sekolah justru semakin tinggi dari waktu kewaktu. Hal ini tentu membuat
masyarakat miskin tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan
sekalipun pendidikan dasar. Padahal pendidikan adalah diantara kebutuhan pokok
yang perlu dipenuhi bagi sebuah masyarakat yang ingin maju dan juga investasi masa
depan bangsa. Oleh karenanya pemerintah sangat dituntut untuk benar-benar serius
menangani masalah ini sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 31
ayat 4 yaitu, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.

C. Teori Perencanaan Pembangunan


1. Konsep Pembangunan
Dari berbagai literatur dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berasal
dari kata bangun, diberi awalan “pem” dan berakhiran “an”. Kata bangun sekurang-
kurangnya mengandung empat arti. Pertama, bangun dalam arti sadar atau siuman;
Kedua, dalam arti bangkit atau berdiri; Ketiga, dalam arti bentuk; Keempat, bangun
dalam arti kata kerja mendirikan atau membina. Sedangkan konsep pembangunan
sekurang-kurangnya dapat pula mengandung empat arti. Pertama, pembangunan
sebagai kata tunggal memiliki makna majemuk; Kedua, sebagai kata sifat
pembangunan adalah kondisi yang lebih baik dari keadaan sebelumnya; Ketiga,
sebagai kata benda pembangunan berkaitan dengan output atau hasil dari suatu
kegiatan; dan Keempat, pembangunan sebagai kata kerja diartikan sebagai proses
kegiatan yang berlangsung dalam jangka waktu panjang dan terus menerus.
Konsep pembangunan telah menjadi bahasa dunia. Hasrat bangsa-bangsa di
dunia untuk mengejar bahkan memburu masa depan yang lebih baik menurut kondisi
dan caranya masing-masing, melahirkan berbagai pengertian yang berkaitan dengan

13
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

konsep pembangunan (development)16. Memberikan pengertian: pembangunan


bertalian dengan konsep pertumbuhan (growth), rekonstruksi (reconstruction),
modernisasi (modernization), westernisasi (westernization), perubahan sosial (social
change), pembebasan (liberation), pembaharuan (innovation), pembangunan bangsa
(nation building), pembangunan nasional (national development), pengembangan dan
pembinaan.
Dari pengertian bangun dan pembangunan sebagaimana yang dikemukakan,
dapat dirumuskan konsep pembangunan sebagai kegiatan atau usaha secara sadar,
terencana dan berkelanjutan untuk mengubah kondisi suatu masyarakat menuju
kondisi yang lebih baik lagi17.
Dengan demikian, dari berbagai konsep pembangunan yang dikemukakan
para ahli memberikan pengertian bahwa pembangunan adalah sebagai suatu proses
yang dilakukan secara sadar, terencana dan berkelanjutan untuk mengubah kondisi
suatu masyarakat menuju kondisi yang lebih baik, menyangkut semua aspek
kehidupan, fisik-nonfisik, material-spiritual, meliputi bidang: ideologi, hukum,
politik, ekonomi, sosial-budaya dan ketahanan masyarakat atau nasional suatu
bangsa.

2. Pendekatan Pembangunan
Pembangunan sebagai suatu proses dinamis menuju keadaan sosial ekonomi
yang lebih baik, atau yang lebih modern, jelas merupakan gejala sosial yang
berdimensi banyak dan dapat didekati dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti
ekonomi pembangunan, sosiologi pembangunan, pembangunan politik, teknologi
pembangunan, pembangunan hukum, adminsitrasi pembangunan dan sebagainya.

a. Pendekatan Pembangunan Bangsa

16
Ndraha, 1990 : 2-13
17
Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya, 1993:38.

14
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Sebagai sebuah proses, pembangunan merupakan rangkaian perubahan multi


dimensi, baik ideologi, hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya dan ketahanan
masyarakat suatu daerah atau negara. Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya
menyatakan proses pembangunan akan terlaksana dengan baik apabila syarat-syarat
sosial politik sudah terpenuhi. Artinya ketika suatu bangsa sudah mencapai tingkat
kematangan tertentu dalam bidang politik dan sosial18. Dengan demikian pendekatan
pembangunan yang seharusnya ditempuh oleh negara-negara berkembang seperti
Indonesia, menurut Tjokroamidjojo adalah pembangunan bangsa (sociocultural
development) dan pembangunan ekonomi (economic development) secara bersama-
sama tanpa harus memprioritaskan pada satu bidang tertentu19.
Pendekatan pembangunan bangsa (sociocultural development) dalam ruang
lingkupnya terdapat dua permasalahan, yaitu: mengenai pembangunan politik
(political development) dan mengenai pembangunan sosial budaya.

b. Pendekatan Pembangunan Politik


Pembangunan politik (political development) identik dengan pembinaan
bangsa (nation building). Esman (Tjokroamidjojo, 1995:24) mengartikan pembinaan
bangsa sebagai usaha sistematis dan terpadu dalam pembangunan masyarakat politik
atau pembinaan lembaga-lembaga dan pembinaan kewarganegaraan. Singkatnya
pembangunan politik adalah pembinaan bangsa20.
Aspek lain dari pembangunan politik adalah kestabilan politik. Ini dianggap
sebagai prasyarat yang memungkinkan terselenggaranya perkembangan institusional
dalam sistem pemerintahan dan politik, kelembagaan ekonomi dan sosial suatu
bangsa21.

c. Pendekatan Pembangunan Sosial Budaya


18
Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya (1995:22)
19
Tjokroamidjojo 1995 : 23
20
Esman Tjokroamidjojo, 1995:24
21
Kantaprawira, 1990:172-173.

15
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Dilihat dari sejarah pertumbuhan ekonomi berbagai bangsa seperti yang


dijelaskan teori pertumbuhan ekonomi dari berbagai aliran (Tjokroamidjojo, 1995:
31-36) terungkap suatu kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan produk,
atau suatu rangkaian proses dari perkembangan sosial budaya suatu masyarakat
(socio-cultural development)22.
Analisis Smith, Mill, dan Douglas (Morris, 1971:147) menyatakan secara
tegas beberapa faktor non-ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,
diantaranya : deferensiasi sosial atau pembagian kerja dan perkembangan teknologi
merupakan faktor dinamis bagi peningkatan produktivitas dan percepatan
pertumbuhan yaitu faktor-faktor yang tidak lain merupakan ciri dari tingkat
modernisasi tertentu dari suatu masyarakat23.
Sungguhpun banyak pendapat ataupun teori bagaimana memulai dan
mengusahakan modernisasi atau pembangunan sosial budaya, Fabricant
(Tjokroamidjojo, 1995:44) menyatakan terdapat suatu kesepakatan bahwa bidang
pendidikan merupakan suatu titik strategis bagi penyelenggaraan pembangunan sosial
budaya. Dengan demikian pembangunan sosial budaya juga harus dapat memberi
dimensi dan perspektif bagi perkembangan politik dan ekonomi24.

d. Pendekatan Pembangunan Ekonomi


Selanjutnya, pembangunan dapat pula didekati dengan pendekatan
pembangunan ekonomi (economic development). Tokoh sentral aliran ekonomi klasik
adalah Adam Smith. Dasar ajarannya individualisme dan laissez faire yaitu
semboyan yang lahir dari semangat individualisme. Smith (Tjokroamidjojo, 1995:30-
32) menyatakan:
Sistem individulisme ekonomi menyerahkan aturan dan penguasaan ekonomi
kepada masyarakat, sedangkan pemerintah tidak perlu campur tangan. Tiap-

22
Tjokroamidjojo, 1995: 31-36
23
Analisis Smith, Mill, dan Douglas Morris, 1971:147
24
Fabricant Tjokroamidjojo, 1995:44

16
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

tiap produsen dan konsumen merdeka bertindak, pembentukan harga


didasarkan kepada hukum permintaan dan penawaran di pasar, menjadi dasar
pengambilan keputusan. Harga yang terbentuk atas dasar mekanisme pasar,
dengan sendirinya akan mempengaruhi produksi, alokasi, pendapatan dan
konsumsi. Harga yang terbentuk di pasar mengatur rencana produksi, serta
pembagian pendapatan diantara faktor-faktor produksi. Tingkat pendapatan
menentukan pula jalannya produksi, pembagian dan konsumsi. Semua akan
lancar jalannya apabila setiap orang merdeka bertindak dan berbuat.
Mekanisme pembentukan harga akan membawa segala hubungan ekonomi
secara otomatis ke jurusan persesuaian kepada keadaan seimbang. Dengan
“invisible hand” mekanisme harga tersebut “natural order” dan “natural
price” akan berlaku25.
Tokoh ekonomi klasik lainnya yang terkenal dalam sejarah pemikiran
pembangunan ekonomi adalah Ricardo, Malthus dan Mill. Perbedaan antara
Ricardo dan Malthus dengan Smith di dalam analisis pembangunan ekonomi
terletak dalam interpretasinya mengenai peranan penduduk. Bagi Smith dan
Mill (Tjokroamidjojo, 1995:32) penduduk secara pasti merupakan tenaga
produksi yang akan melahirkan perluasan pasar dan perkembangan ekonomi.
Dengan spesialisasi dan pembagian pekerjaan, keterampilan tenaga kerja dan
produktivitas akan meningkat, dengan demikian ekonomi akan tumbuh26.
Sedangkan Ricardo dan Malthus (Tjokroamidjojo), berpendapat, dalam
jangka panjang perekonomian akan tidak berkembang (stationary state).
Penyebabnya adalah perkembangan penduduk akan melebihi kecepatan
perkembangan ekonomi, akan menurunkan kembali tingkat pembangunan ke
taraf yang lebih rendah27.

25
Smith Tjokroamidjojo, 1995:30-32
26
Smith dan Mill Tjokroamidjojo, 1995:32
27
Ricardo dan Malthus Tjokroamidjojo, 1995:33

17
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Pandangan lain yang menarik dari aliran ekonomi klassik adalah


diperhitungkannya pengaruh faktor non ekonomi dalam pembangunan. Menurut Mill
(Tjokroamidjojo, 1995:33) faktor-faktor tersebut antara lain: kepercayaan
masyarakat, kebiasaan-kebiasaan berpikir, adat istiadat dan corak-corak kelembagaan
dalam masyarakat28.
Pertumbuhan ekonomi dalam semangat laissez faire, telah melahirkan
kepincangan-kepincangan sosial yang parah di Eropa Barat. Perkembangan sejarah
kemudian mendorong, khususnya Perang Dunia I dan peristiwa depresi ekonomi
1929 kepada pilihan campur tangan pemerintah untuk menghidupkan kembali
mekanisme ekonomi liberal.
Teori ekonomi pembangunan berikutnya adalah aliran Keynesian.
Keynes sendiri sebenarnya tidak melahirkan analisis ekonomi bagi pertumbuhan
jangka panjang, perhatian dan teorinya lebih terpusat kepada keadaan jangka pendek
yang tengah dihadapi dunia yaitu depresi pengangguran. Keynes dalam General
Theory-nya (Tjokroamidjojo, 1995:34) menyatakan :
Tiap-tiap pembayaran mempunyai dua sisi. Pendapatan yang diterima akan
beredar menurut sistem ekonomi, dan merupakan pengeluaran yang diterima
orang lain. Apabila terdapat suatu kemerosotan dalam edaran pendapatan,
penyebabnya adalah adanya bagian-bagian yang disisihkan dari pendapatan
karena motif-motif tertentu. Penyisihan-penyisihan inilah yang menyebabkan
gelombang dalam seluruh aliran pendapatan. Dalam mempengaruhi
gelombang naik turunnya kegiatan seluruh perekonomian, perlu campur
tangan yang sifatnya tak langsung dari pemerintah dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi berupa kebijakan fiskal dan moneter yang bertujuan melepaskan
masyarakat dari depresi ekonomi, mendorong investasi, kesempatan kerja dan
pendapatan29.

28
Mill Tjokroamidjojo, 1995:33
29
Keynes (Tjokroamidjojo, 1995:34)

18
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Salah satu pengembangan teori Keynes yang terkenal dalam teori


pembangunan adalah teori Harrord-Domar. Analisis Keynes dianggap kurang lengkap
sebab tidak menyinggung masalah-masalah ekonomi jangka panjang. Teori Harrod
Domar sebenarnya mengawinkan fungsi pembentukan modal dari aliran Klassik
maupun Keynes. Harrod Domar berpendapat bahwa pembentukan modal dipandang
sebagai pengeluaran yang akan menambang kesanggupan suatu perekonomian untuk
menghasilkan barang, sekaligus juga sebagai pengeluaran yang akan menambah
permintaan efektif seluruh masyarakat30.
Selanjutnya, teori ekonomi pembangunan aliran Neo Klassik
(Tjokroamidjojo, menjelaskan :
Laju pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh pertambahan dalam penawaran
faktor-faktor produksi dan tingkat kemajuan teknologi. Rasio modal produksi
(capital output ratio) tidak dianggap konstan dapat dengan mudah mengalami
perubahan. Ini mempunyai akibat bahwa suatu perekonomian akan
mempunyai kemungkinan yang luas dalam menentukan gabungan modal dan
tenaga kerja yang akan dipergunakan dalam menciptakan sejumlah produksi
tertentu31.

e. Pendekatan Pembangunan Sumber Daya Manusia


Meningkatkan mutu sumber daya manusia dipandang sebagai kunci bagi
pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi dan kestabilan sosial.
Investasi harus diarahkan bukan saja untuk meningkatkan “physical capital stock”
tetapi juga “human capital stock” dengan mengambil prioritas kepada usaha
meningkatkan mutu pendidikan, kesehatan dan gizi (Tjokroamidjojo, 1995:44-45).
Sejalan pula yang dikemukakan Clelland (Budiman, 1995:23) dengan
konsepnya “The need for Achievement (n-Ach) yaitu kebutuhan atau dorongan untuk
berprestasi. Manusia dengan n-Ach yang tinggi, memiliki kebutuhan untuk

30
Harrod Domar Tjokroamidjojo, 1995:35
31
Neo Klassik (Tjokroamidjojo, 1995:36-37)

19
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

berprestasi, mengalami kepuasan bukan karena mendapatkan imbalan dari hasil


kerjanya, tetapi karena hasil kerjanya dianggap sangat baik.
Schumacher (Tjokroamidjojo) mengemukakan pula bahwa pembangunan
tidak mulai dari barang-barang, tetapi mulai dari manusia dengan pendidikan,
organisasi dan disiplinnya. Setiap negara yang memiliki tingkat pendidikan,
organisasi, dan disiplin yang tinggi, pasti mengalami keajaiban ekonomi32.
Dengan demikian perbaikan mutu sumber daya manusia akan menumbuhkan
inisiatif-inisiatif dan sikap kewiraswastaan, akan tumbuh pula lapangan-lapangan
kerja baru, dengan demikian produktivitas nasional akan meningkat.
Tampak kirnya bahwa salah satu tujuan dari pendekatan pengembangan
sumber daya manusia adalah tumbuhnya wiraswasta, yang peranannya dalam
pembangunan memang diakui sudah sejak lama. Raepke (Tjokroamidjojo, 1995 :45)
menyatakan suatu bangsa akan berkembang secara ekonomis, apabila bangsa tersebut
mempunyai wiraswasta-wiraswasta yang mempunyai kebebasan dan motif-motif
yang mendorongnya untuk mengambil keputusan yang bersifat kewiraswastaan, yang
sebetulnya berarti mengadakan inspirasi, yaitu mewujudkan gagasan-gagasan baru
dalam praktek33.

f. Pendekatan Pembangunan Memenuhi Kebutuhan Dasar


Schumacher (Tjokroamidjojo) menyatakan titik perhatian pembangunan
adalah mengatasi kemelaratan dan keterbelakangan dengan mendahulukan mereka
yang paling membutuhkan pertolongan34.
Dengan demikian pembangunan harus dimulai dari identifikasi, merumuskan
dan implementasi program apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Kemudian
segera untuk memenuhinya. Program pembangunan yang dirumuskan sifatnya sangat

32
Schumacher Tjokroamidjojo, 1995 : 47
33
Tjokroamidjojo, 1995 :45
34
Tjokroamidjojo

20
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

mendesak dengan tujuan penyelamatan. Biasanya menyangkut kebutuhan dasar yaitu


seperti sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Selanjutnya, pendekatan kebutuhan dasar merupakan serangan langsung
terhadap kemelaratan dan kepincangan pembagian pendapatan yang diderita
golongan miskin di sebagian besar dunia. Serangan langsung tersebut menurut
International Labour Organization (Tjokroamidjojo, 1995 : 50) mempunyai dua
kelompok sasaran pokok : pertama, mencukupi persyaratan rumah tangga; kedua,
mencukupi sarana dasar kehidupan masyarakat luas seperti air minum, sanitasi,
angkutan umum dan kesehatan, serta fasilitas-fasilitas pendidikan dan kebudayaan35.
Konsep kebutuhan dasar menurut Deklarasi ILO 1976 semestinya
ditempatkan dalam konteks keseluruhan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa.
Termasuk kebebasan bagi perkembangan individu dan masyarakat dan kemerdekaan
untuk menentukan nasib dan memilih lapangan kerja.
Dalam konteks pembangunan negara-negara berkembang pemenuhan
kebutuhan dasar tidak mungkin dapat dicapai tanpa mengusahakan percepatan dalam
pertumbuhan ekonomi, perubahan pola pertumbuhan dan kesempatan untuk
memanfaatkan sumber-sumber produktif antara lain golongan berpenghasilan rendah.
Secara tegas Deklarasi ILO 1976 tersebut menganjurkan agar strategi, rencana dan
kebijaksanaan pembangunan nasional menempatkan perluasan lapangan kerja dan
pencakupan kebutuhan dasar sebagai tujuan eksplisit yang diprioritaskan.
Keterbelakangan yang menandai keadaan negara dan masyarakat dunia ketiga
dibidang sosial (sikap, pandangan hidup, cara hidup), adminsitrasi, ilmu dan
teknologi merupakan penghalang utama bagi pertumbuhan ekonomi nasional,
sedangkan pemecahan dalam kesulitan-kesulitan ekonomi merupakan syarat atau
model dasar bagi peperangan melawan keterbelakangan.

g. Pendekatan Pembangunan Pertumbuhan dan Pemerataan

35
Tjokroamidjojo, 1995 : 50

21
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Pembangunan masyarakat tidak saja mengejar pertumbuhan (growth) akan


tetapi juga bagaimana terciptanya pemerataan (equity) pembangunan dan hasil-
hasilnya36. Pertumbuhan ekonomi saja, ternyata tidak cukup memberi solusi terhadap
persoalan kemiskinan. Bahkan, di negara-negara sedang berkembang, seperti
Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang tidak dibarengi dengan pemerataan dan
pengembangan SDM justru memperlebar jurang perbedaan antara kaya dan miskin.
37

Secara konsepsional, kesadaran akan perlunya pembinaan SDM dan


pemerataan hasil-hasil pembagunan seperti disebut di atas sudah tertuang dalam
berbagai rencana pembangunan Indonesia di masa-masa pemerintahan Orde Baru.
Kita melihat adanya konsep ”Trilogi Pembangunan”, ”delapan jalur pemerataan,” dan
lain sebagainya. Tetapi dalam realita, konsep tersebut tidak dimanifestasikan dalam
praktek pemerintahan secara sungguh-sungguh, sehingga yang terjadi justru semakin
melebarnya jurang antara kaya dan miskin. Pertumbuhan ekonomi saja tanpa
dibarengi upaya sungguh-sungguh dalam membenahi dunia pendidikan dan
pemerataan hasil-hasil pembangunan di bidang ekonomi bukan saja tidak akan
memecahkan persoalan-persoalan kemiskinan dan kebodohan, tetapi justru semakin
memperparah dua kondisi itu di negeri ini.
Kecuali itu, kebiasaan pemerintah yang terkesan lebih banyak
menggantungkan diri kepada bantuan dan atau pinjaman luar negeri dalam
melaksanakan pembangunan nasional, telah pula berimbas secara psikologis kepada
rakyat banyak. Masyarakat tumbuh menjadi bangsa yang kurang mandiri,
beretoskerja lemah, konsumtif, dan lebih banyak tergantung kepada porang lain.
Kenyataan seperti ini, sekali lagi, membutuhkan keseriusan kita dalam membangun
dunia pendidikan. Pendidikan adalah kata kunci untuk lepasnya bangsa Indonesia,
atau Riau secara khusus, dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Untuk itu,
fokus untuk bidang yang satu ini adalah pilihan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi,

36
Tjokroamidjojo, 1995 : 48
37

22
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

dan sikap mendua dalam bidang ini adalah sebuah bahaya besar untuk kelangsungan
hidup bangsa kita ke depan.
(Diantara langkah yang perlu dilakukan dalam mengatasi kesenjangan antara kaya
dan miskin seperti disebut di atas, adalah membuat konsep yang jelas dalam bentuk
garis kemiskinan (poverty line) yang menunjukkan batas terendah untuk memenuhi
kebutuhan pokok manusia. Di sini, seseorang dikatakan berada di bawah garis
kemiskinan (absolute line) apabila pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti sandang, pangan, perumahan,
pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Bank Dunia (Ahluwalia, 1974 : 83) menetapkan
angka US $ 50 per kapita setahun sebagai patokan absolute line untuk tingkat
pendapatan desa, dan US $ 75 per kapita setahun untuk tingkat pendapatan di kota
pada keadaan tingkat harga tahun 197138.
Dilema trade offs (keuntungan yang satu, merugikan yang lain) antara
growth dan equity ditelaah Adelman dan Morris (Tjokroamidjojo, 1995 : 49) melihat
masalah besar ini tidak hanya dengan mengungkapkan variabel-variabel ekonomi
tetapi juga mengaitkannya dengan variabel-varibel politik, sosial dan kultural39
(UNTUK FOOT NOTE).

h. Pendekatan Pembangunan Berwawasan Lingkungan Hidup


Djojohadikusumo (1965 : 104) menyatakan bahwa untuk mempercepat
pembangunan perlu disertai dengan kebijakan yang jelas dan tegas dalam
pemeliharaan dan pengamanan sumber-sumber alam untuk kelangsungan
pertumbuhan bagi generasi-generasi yang akan datang40.
Namun, perlu di sadari pula, bahwa terpelihara atau tidaknya sumber-
sumberdaya alam dengan baik, sangat tergantung kepada SDM Indonesia yang ada.
Karena, bukti menunjukkan bahwa rusaknya lingkungan dan terkurasnya sumber

38
Ahluwalia, 1974 : 83
39
Adelman dan Morris, 1995 : 49
40
Djojohadikusumo 1965 : 104

23
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

daya alam di negeri ini adalah akibat rendahnya mutu SDM yang mengerti akan
pentingnya memelihara lingkungan dan sumber daya alam untuk generasi mendatang
dalam jangka panjang. Rendahnya mutu SDM itu membuat mereka lebih terfokus
kepada kepentingan jangka pendek, sehingga jangka panjang terkorban secara
sengaja atau tidak sengaja. Di sini, untuk kesekian kalinya kita katakan bahwa bahwa
kata kunci untuk itu adalah juga pendidikan.

3. Perkembangan Pembangunan Nasional Indonesia


Pada prinsipnya, pembangunan setiap bangsa bersifat multidimensional, politik,
ekonomi, hukum, pendidikan, kesehatan, pertahanan keamanan, sosial budaya dan
lain sebagainya. Karenanya, pembangunan nasional harus didukung oleh kemauan
politik, kemampuan ekonomi, dan kondisi sosial budaya, yang pada gilirannya harus
mampu menegakkan ketahanan nasional negara bersangkutan.
Pada masa Orde Baru pembangunan nasional di Indonesia dilakukan secara
bertahap, yaitu periode jangka panjang 25 tahun dan periode jangka pendek lima
tahun yang dikenal dengan REPELITA dan PELITA. Kemudian disusun rencana
pembangunan satu tahun yang tertuang di dalam Rancangan Anggaran dan
Pendapatan Belanja Negara (RAPBN).
Sebagaimana dinyatakan Tjokroamidjojo (1995 : 38) bahwa nilai dasar yang
melandasi dan kemudian dirumuskan dalam strategi pembangunan hendaklah sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Oleh karena itu, selama pemerintahan
Orde Baru, Indonesia menggunakan Strategi Trilogi Pembangunan yang pada
hakikatnya diangkat dari falsafah nilai-nilai dan kondisi faktual bangsa Indonesia saat
itu, yaitu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pemerataan di segala bidang dan
stabilitas nasional yang mantap (Tjokroamidjojo, 1993 : 68). Untuk itu
Pembangunan dilaksanakan di segala bidang dengan menggunakan skala prioritas.
Adapun yang menjadi prioritas pembangunan seperti dimaksud itu selama

24
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

pemerintahan Orde Baru Jangka Panjang Tahap (PJPT) I dan II adalah bidang
ekonomi dengan tetap mengutamakan pertumbuhan.
Selanjutnya, Waterston (Tjokroamidjojo, 1995 : 39) menyatakan pembangunan
berencana dibanyak negara tidak terselenggara karena perencana pembangunan tidak
berorientasi pada pelaksanaan, dan bahkan tidak dilaksanakan, karena kurangnya
dukungan atau ketidakstabilan politik.
Kondisi seperti disebut di atas inilah yang banyak mempengaruhi pelaksanaan
pembangunan di Indonesia terutama pada paroh kedua era orde baru. Program-
program pembangunan yang dirancang dalam REPELITA, dalam pelaksanaannya
tidak banyak menyentuh kepentingan rakyat kecil. Sehingga di penghujung era ini
muncullah gejolak-gejolak sosial di tengah-tengah masyarakat yang akhirnya
melahirkan suasana instabibilitas politik yang berujung kepada lahirnya era
reformasi.
Sasaran pembangunan nasional di Indonesia pada era reformasi, sebagai
perwujudan dari tuntutan reformasi itu sendiri di segala bidang, tidak lain adalah
membangun sistem bernegara dan penegakan hukum, penegakan demokrasi, hak
azazi manusia, pembangunan ekonomi kerakyatan, pembangunan sosial budaya dan
ketahanan nasional. Kartasasmita (1996:133-313) menyatakan gambaran dari
kebijakan pembangunan nasional di Indonesia di era ini mengarah kepada : Pertama,
pembangunan demokrasi ekonomi bergandengan dengan demokrasi politik; Kedua,
pembangunan ekonomi kerakyatan; Ketiga, pembangunan sumber daya manusia; dan
Keempat, penyelenggaraan otonomi dan perimbangan keuangan antara pusat dengan
daerah.

d.3.3. Perkembangan Pembangunan Daerah di Indonesia


Sebagai perwujudan wawasan nusantara, pembangunan daerah merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional. Di sini, desentralisasi adalah salah satu
asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Penataan mekanisme pengelolaan
kebijakan dengan kewenangan yang lebih besar diberikan kepada daerah, agar

25
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan lebih efektif dan


efisien (Pasal 8 UU No. 22 Tahun 1999).
Desentralisasi di bidang pengurusan berarti ada pendelegasian kewenangan
kepada daerah dalam pengurusan hal-hal tertentu. Sehingga birokrasi dalam
pengurusan tersebut menjadi lebih pendek dan sederhana. Karena itu, masyarakat
akan diuntungkan.
Desentralisasi di bidang keuangan berarti daerah telah mampu menggali
sumber keuangannya sendiri dan menggunakannya dengan bertanggung jawab,
sedangkan desentralisasi di bidang politik berarti rakyat di daerah mempunyai hak
dan kewajiban untuk memiliki sepenuhnya siapa yang pantas untuk memimpin
daerah, membawa aspirasi daerah, serta mengawasi jalannya pemerintahan dan
pembangunan di daerah itu sendiri.
Adapun desentralisasi di bidang administrasi berarti daerah di beritanggung
jawab penuh dalam mengurusi administrasi pemerintahan daerah.
Semua hal disebutdi atas berada dalam batas-batas yang disepakati, yakni
bahwa otonomi tidak berarti terlepas dari negara kesatuan dan kaedah-kaedah serta
aturan-aturan yang mengikat bangsa ini menjadi satu. Kebijakan otonomi dilakukan
agar kesejahteraan masyarakat di daerah dan di seluruh tanah air terwujud secara adil
dan proporsional. Ia, diyakini akan berpengaruh positif bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Ia bukan hanya keinginan melainkan kebutuhan. Oleh sebab itu,
desentralisasi harus dijaga supaya tidak mengakibatkan makin besarnya kesenjangan
pembangunan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Tetapi, sebaliknya, justru
harus mampu mendekatkan taraf kemajuan daerah satu dengan daerah lainnya itu..
Kemudian, berpedoman kepada UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pasal 1 ayat 1 menetapkan bahwa
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem
pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, melingkupi pembagian
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah secara proporsional, demokratis, adil,
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan

26
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan


kewenangan tersebut, pengelolaan dan pengawasan keuangannya.

d.4. Pendekatan Teori Pembangunan Perdesaan di Indonesia

Undang-undang No. 22 Tahun 1999, pasal 94 menetapkan bahwa di desa


dibentuk Pemerintahan Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan
Pemerintahan Desa. Pasal 95 ayat 1 menetapkan pula bahwa Pemerintah Desa terdiri
atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan Perangkat Desa.
Selanjutnya pasal 99 UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan kewenangan desa
mencakup : kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal-usul desa; kewenangan
yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh
daerah dan pemerintah; dan tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan/atau Pemerintah Kabupaten. Kemudian dari pada itu pasal 100 menetapkan pula
bahwa tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
Kabupaten/kota, kepala desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia.
Adapun tugas dan kewajiban kepala desa menurut pasal 101 UU No. 22 Tahun
1999 adalah : memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa; membina kehidupan
masyarakat desa; membina perekonomian desa, memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat desa, mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, dan
mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa
hukumnya.
Mengenai pertanggungjawabannya dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pasal 101 ditetapkan dalam pasal 102 UU No. 22 Tahun 1999 yaitu:
bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa, dan
menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa salah satu unsur pemerintahan Desa
adalah Badan Perwakilan Desa (BPD). Pasal 104 UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan

27
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

bahwa Badan ini, atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat
istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat,
serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa. Selanjutnya
pasal 105 UU No. 22 Tahun 1999 mengatur tentang anggota Badan Perwakilan Desa
yaitu: anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk desa yang
memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh
anggota. Badan ini bersama dengan kepala desa menetapkan peraturan desa, dan
pelaksanaan peraturan desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Selain lembaga Badan Perwakilan Desa, di desa terdapat juga lembaga lainnya
sesuai dengan kebutuhan desa dan ditetapkan dengan peraturan desa itu sendiri.
Penetapan Kepala Desa dan pembantu-pembantunya sebagai organisasi
pemerintahan terendah menurut Pemudji (Ndraha, 1990 : 137) dimaksudkan untuk
mendekatkan pelayanan administrasi negara pada masyarakat. Pelayanan yang
dilancarkan dari tingkat kecamatan dianggap masih terlalu jauh. Kedudukan Desa
lebih dekat dengan masyarakat sehingga pelayanan masyarakat di desa diharapkan
jauh lebih efektif. Kemudian didorong oleh adanya Instruksi Presiden (Inpres) tentang
Bantuan Desa, berangsur-angsur posisi bagian-bagian desa di tingkatkan, ditandai
dengan meningkatnya jumlah sesa secara defenitif.
Melalui kedudukannya sebagai Ketua Umum Lembaga Ketahanan Desa (LKD),
Kepala Desa berfungsi merencanakan dan mengendalikan pelaksanaan pembangunan
Desa. Jika dihubungkan dengan Bab IV Bagian D Umum angka 2 huruf f GBHN
1978 maka kemampuan pemerintah desa untuk melaksanakan tugasnya langsung
bertalian dengan usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang semakin meluas dan
efektif.
Kedudukan politis BPD (Badan Perwakilan Desa) atau disebut dengan nama
lain, menurut UU No. 22 Tahun 1999, adalah wadah permusyawaratan/pemufakatan
pemuka-pemuka masyarakat desa. Badan ini bertugas menyalurkan pendapat

28
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

masyarakat desa dan memusyawarahkan setiap rencana pembangunan sebelum


ditetapkan menjadi Keputusan Desa.
Susunan organisasi dan alat kerja pemerintahan Desa diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1981. Pasal 3 ayat 1 menetapkan bahwa
Kepala Desa berkedudukan sebagai alat pemerintah, alat pemerintah dareah, dan alat
pemerintah desa yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan
demikian kepala kesa merupakan unsur pimpinan dalam struktur pemerintahan desa.
Selanjutnya pasal 6 menetapkan sekretaris desa selaku unsur staf, dan pasal 7
menetapkan kepala dusun sebagai unsur pelaksana (PERMENDAGRI No. 1 Tahun
1981). Dengan demikian, dalam struktur organisasi pemerintah Desa telah ada
pembagian kerja dan diharapkan pelaksanaan tugas menjadi lebih lancar dan efektif.
Dalam pada itu, struktur juga mendukung pelaksanaan tugas dalam hal
pembiayaan sehari-hari dan biaya operasional keluar. Pasal 107 ayat 1 UU No. 22
Tahun 1999 menetapkan sumber pendapatan desa terdiri dari : Pertama, pendapatan
asli desa yang meliputi hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan
partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Kedua,
bantuan dari pemerintah kabupaten yang meliputi bagian dari perolehan pajak dan
retribusi daerah, dan bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah yang
diterima oleh Pemerintah Kabupaten. Ketiga, bantuan dari Pemerintah dan
Pemerintan Provinsi. Keempat, Sumbangan dari pihak ketiga. Kelima, pinjaman
Desa.
Sumber pendapatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menurut pasal
107 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999 dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBD). Ayat 3 menetapkan Kepala Desa bersama Badan Perwakilan
Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan
Peraturan Desa. Ayat 4 menetapkan pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa ditetapkan oleh Bupati. Ayat 5 menetapkan tata cara pungutan objek
Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan bersama antara Kepala Desa dan Badan
Perwakilan Desa. Selanjutnya pasal 108 UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan pula

29
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

bahwa Desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Seperti telah dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa pemerintahan desa
memerlukan dukungan keuangan dan dukungan struktur organisasi, dalam rangka
pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan dukungan lingkungan. Dukungan
lingkungan terhadap pemerintahan desa terletak pada kenyataan bahwa kepala desa
maupun pembantu-pembantunya merupakan tokoh-tokoh pilihan masyarakat
setempat sebagai pimpinan formal dan didukung oleh tokoh masyarakt lainnya
sebagai pimpinan informal. Kedua kelompok tersebut merupakan kekuatan yang
sangat besar jika dapat disinerjikan untuk menggerakkan masyarakat dalam
pembangunan. Khususnya pembanguan pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan, industri kecil, jasa dan perdagangan, pariwisata dan lain-lain sebagainya
untuk kemaslahatan masyarakat.

d.4.1. Strategi Pembangunan Perdesaan di Indonesia


Dari pengalaman pembangunan pedesaan di banyak negara, Griffin (Hanafiah,
1982:35) membagi tiga strategi pembangunan pedesaan : Pertama, strategi
teknokratis; Kedua, strategi reformis; dan Ketiga, strategi radikal. Perbedaan strategi
ini memperlihatkan konsistensi, kesinambungan, tekanan yang terdapat diantara
kebijakan, tujuan, pendekatan, dan pelaksanaan dari pembangunan pedesaan.
Sedangkan dari sisi mobilitas penduduk, menurut Saefullah (1995 : 3) ada tiga
pendekatan pembangunan pedesaan yang memusatkan perhatian pada kesejahteraan
petani yaitu commercialization and capital intensive development; comprehensive
rural development; and colonization of new agricultural lands (komersialisasi dan
pengembangan permodalan secara intensif; pembangunan Desa secara menyeluruh;
dan penguasaan lahan-lahan pertanian baru).
Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, Usman (1998:40) menyatakan
bahwa strategi pembangunan perdesaan harus terkemas dalam : Pertama,
pembangunan pertanian (agricultural development); Kedua, industrialisasi pedesaan

30
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

(rural industrialization); Ketiga, pembangunan masyarakat Desa terpadu (integrated


rural development); dan Keempat, strategi pusat pertumbuhan (growth center
strategy).
Membangun visi dan tujuan bersama dalam pembangunan merupakan tanggung
jawab moral bersama masyarkat dan sebagai faktor sosial terpenting dalam rangka
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat perdesaan harus dibangkitkan kesadaranya
bahwa mereka punya potensi dan percaya terhadap kemampuan sendiri. Hanya saja
pada tahap permulaan memang memerlukan dukungan dari Pemerintah.
Berdasarkan diagnosis yang dilakukan Chenery (1974 : 224) atas ketimpangan
pembangunan yang timbul akibat strategi pertumbuhan, menyarankan pada
reorientasi kebijakan dalam metode perencanaan. Strategi yang disarankannya terarah
kepada perubahan pola pertumbuhan (growth) dan distribusi yang ditujukan untuk
mempercepat pertumbuhan pendapatan golongan miskin. Dalam hubungan ini secara
singkat terdapat dua langkah strategis yang diusulkan Adelman dan Morris (1973 :
224) : Pertama, pembangunan terarah pada peningkatan kesejahteraan 40% penduduk
yang tergolong miskin; Kedua, cara-caranya harus berisikan “fundamental
institusional reform”.
Dilihat dari sisi sosial ekonomi, hasil penelitian Triyono dan Nasikun (1992 :
29), Collier (1978 : 20-35) dan Siahaan (1983 : 50-63) di perdesaan Jawa juga
menunjukkan bahwa :
Meskipun penyebaran teknologi pertanian tidak hanya dimanfaatkan oleh petani
berlahan luas, tetapi distribusi pemilikan dan penguasaan sawah tetap
menunjukkan adanya ketimpangan yang tajam. Ini berarti bahwa penyebaran
teknologi yang netral skala tidak begitu saja menghasilkan pemerataan
distribusi ekonomi, namun justru terjadi ketimpangan distribusi ekonomi.
Akibat selanjutnya, muncul kontradiksi dalam hubungan sosial antara lapisan
petani dengan polarisasi sosial yang menggoyahkan ketentraman komunitas
perdesaan.

31
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengaruh kehidupan struktural


yang ada terhadap kehidupan ekonomi berproses dalam kaitannya dengan struktur
masyarakat, sehingga penyebaran teknologi mendorong kemajuan ekonomi dan
menumbuhkan kekuatan ekonomi baru yang mempengaruhi kehidupan struktur
masyarakat perdesaan. Namun demikian masih menimbulkan akses konflik antara
lapisan petani sebagai akibat distribusi keadilan yang tidak merata. Sudah saatnya
menerapkan prinsip keadilan tidak lagi diukur atas dasar pemberian jumlah yang
sama, melainkan atas dasar porsi yang besar diberikan kepada mereka yang paling
membutuhkan.
Secara tegas Deklarasi ILO 1976 menganjurkan agar strategi, rencana dan
kebijaksanaan pembangunan perdesaan menempatkan perluasan lapangan kerja dan
pencakupan kebutuhan dasar sebagai tujuan eksplisit yang diprioritaskan. Ini
bermakna bahwa program pembangunan ditujukan kepada kelompok yang sangat
membutuhkan. Dengan demikian secara perlahan-lahan yang tertinggal dapat
mengejar yang sudah maju, sedangkan yang sudah maju menunggu yang tertinggal,
sebagai suatu prinsip kebersamaan dan keadilan.
Kemudian dilihat dari sudut perubahan sosial, model strategi pembangunan
perdesaan yang dianggap paling cocok bagi Indonesia, menurut Garna (1992 : 104)
harus memiliki karakteristik yaitu tradisi, akomodasi, dan modernisasi secara setara.
Hal itu berarti bahwa strategi pembangunan perdesaan yang diharapkan adalah
strategi yang memusatkan perhatian pada kebutuhan dasar manusia.
Jika memang demikian modelnya, pembangunan masih tetap sulit mecapai
kesetaraan pada tingkatan modernisasi. Perlu penambahan aspek sosial yaitu
penyadaran kepada mereka yang berperilaku tamak dan kikir, untuk sedikit berkorban
menyumbangkan hartanya kepada anggota masyarakat lain. Jika tidak demikian sulit
tercapai keseimbangan pembangunan. Anggota masyarakat yang telah berhasil akan
terus memuaskan kebutuhannya, sedangkan yang belum berhasil akan terbatas pula
peluang dan kesempatan usahanya. Disinilah arti penting kemitraan usaha antara

32
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

kelompok dalam masyarakat. Sedangkan Pemerintah bertugas membangun sistem


dalam rangka pengaturan dan menjaga agar sistem tetap berada pada keseimbangan.
Strategi dasar yang memusatkan perhatian pada kebutuhan dasar manusia
memberi tekanan pada aspek kemanusiaan dan moral yang menggunakan pendekatan
dari bawah ke atas (bottom-up approach). Karena tujuan konsep ini adalah supaya
menimbulkan inisiatif lokal, peningkatan paritipasi, dan desentralisasi administrasi,
terutama pengalokasian kembali sumber daya yang ada, maka pelaksanaan konsep ini
memerlukan perubahan struktural.
Strategi tersebut penting karena berdasarkan hasil penelitian Rusidi (1989:14)
kekuatan-kekuatan motivasi yang tumbuh dalam struktur sosial masyarakat perdesaan
masih belum sebanding dengan perubahan-perubahan arah dan tingkat dari proses
sistem aksi pembangunan masyarakat perdesaan. Terjadinya ketimpangan sosial ini
(Rusidi, 1989: 43) disebabkan adanya ketidaksesuaian antara nilai harapan dari
pembangunan itu dengan kesanggupan individu (depriviasi).
Perubahan yang diharapkan dalam pembangunan masyarakat perdesaan,
sebenarnya tidak saja kepada perubahan struktural malainkan juga perubahan budaya,
terutama sikap dan pola pikir masyarakat. Jika hanya perubahan struktural yang
menjadi sasaran, pemerintah akan mudah terpancing untuk terlibat secara total dan ini
akan memadamkan aspek inisiatif dan partisipasi lokal. Selain itu penyesuaian
perubahan budaya akan menjadi lamban. Inilah arti penting pendekatan struktural dan
budaya, supaya dapat selalu seiring dan sejalan dalam rangka modernisasi masyarakat
perdesaan.
Dalam mengatasi masalah sikap dan kehidupan masyarakat perdesaan dalam
pembangunan, Inayatullah (Susanto, 1984:23) mengajukan saran tentang strategi
pembangunan perdesaan :
Pertama, mempertahankan sebanyak mungkin kebiasaan desa untuk
memecahkan masalahnya sesuai dengan kebiasaan sosial budaya setempat;
Kedua, pendekatan dalam pengambilan keputusan terhadap suatu inovasi
melalui keputusan bersama; Ketiga, memperhatikan nilai informal-sosial yang

33
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

mencerminkan dan menjamin stabilitas sosial ekonomi Desa; Keempat,


mengambil keputusan yang didukung oleh pendapat umum Desa; dan Kelima,
memperhatikan unsur ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul sebagai nilai
Desa.

Strategi pembangunan yang berorientasi kepada partisipasi masyarakat, berarti


pembangunan yang berorientasi pemerataan. Hal demikian dikarenakan berhasil
menaikkan daya beli masyarakat perdesaan. Sutrisno (1995 : 253) menyatakan :
Strategi pembangunan perdesaan yang bermuara pada partisipasi menuntut
pemahaman baru terhadap makna pembangunan itu sendiri. Pembangunan harus
diartikan sebagai perubahan sosial yang utuh, bukan perubahan sosial yang
parsial. Ini berarti bahwa rakyat maupun aparat Pemerintah Daerah dituntut
secara bersama-sama untuk menciptakan sikap mental baru (reformis) dalam
merencanakan maupun melaksanakan pembangunan.

Dengan demikian, inti dari strategi pembangunan perdesaan yang terpenting


adalah paritipasi yang meliputi segenap kehidupan masyarakat dalam segala bentuk
melalui komunikasi sosial, termasuk kreativitas sosial dan imajinasi bersama. Wujud
konkritnya adalah masyarakat menguasai dan mengawasi sumber daya dan tujuan
produksi yang didasarkan pada kebutuhan dan keinginan bersama.
Berkaitan dengan kebijakan pembangunan perdesaan yang mandiri, Korten
(Westra, dkk.,1987 : 12) menyatakan pembangunan perdesaan harus menekankan
kepada:
Pertama, prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat
sendiri; Kedua, fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang terdapat di komunitas
untuk memenuhi kebutuhan mereka; Ketiga, pendekatan ini mentoleransi
variasi lokal, dan karenanya memiliki sifat amat fleksibel menyesuaikan

34
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

dengan kondisi lokal; Kempat, dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan


ini menekankan pada proses social learning, yang padanya terdapat interaksi
kolaboratif antara birokrasi dan komunitas, mulai dari proses perencanaan
sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri pada sikap saling belajar;
Kelima, proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrat dan lembaga
swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri,
merupakan bagian integral dari pendekatan ini. Melalui proses networking ini
diharapkan terjadi simbiose antara struktur-struktur pembangunan di tingkat
lokal.

Suatu referensi penting yang timbul adalah dalam rangka pemikiran dan usaha
untuk berdikari (self reliance), yang dapat kita artikan sebagai usaha untuk
meningkatkan peranan dan dominasi pribumi di negerinya sendiri, yang juga
merupakan konsep lama (Ghandi dan Bung Karno), tetapi secara lebih menarik
diungkapkan secara hipotesis oleh Galtung (Tjokroamidjojo, 1995 : 57) sebagai
strategi pembangunan yang cukup komprehensif dan fundamental dengan self
reliance :
Pertama, prioritas akan bergeser kepada produksi untuk kebutuhan pokok bagi
mereka yang paling membutuhkan. Kedua, partisipasi rakyat secara massal
diusahakan lebih terjamin. Ketiga, sumber-sumber dan faktor lokal lebih banyak
dimanfaatkan. Keempat, kreativitas masyarakat diransang. Kelima, kecocokan
dengan kondisi setempat akan lebih terjaga. Keenam, akan lebih memberi aneka
ragam pembangunan. Ketujuh, akan mengurangi keterasingan manusia dalam
proses pembangunan. Kedelapan, keseimbangan ekologis akan lebih terjaga.
Kesembilan, faktor ekstern yang masuk akan lebih mudah dijadikan urusan
intern atau dipindahkan ke tangga yang lebih setaraf. Kesepuluh, solidaritas
dengan sesama akan memperoleh landasan yang kokoh. Kesebelas, kemampuan
untuk menangkal kecurangan yang disebabkan oleh ketergantungan
perdagangan akan bertambah. Keduabelas, ketahanan militer dan ketahaan

35
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

nasional akan meningkat. Ketigabelas, sebagai landasan, maka pendekatan


paradigma ketergantungan akan memperoleh tempat berpijak yang lebih
seimbang.

Penggabungan penerapan konsep pembangunan masyarakat yang mandiri dan


berdikari merupakan suatu kekuatan yang harus dijadikan pedoman dalam
pelaksanaan pembangunan perdesaaan dewasa ini. Konsep pembangunan ini tidak
saja membuat masyarakat menjadi berdaya, melainkan juga menyadarkan kepada
Pemerintah bahwa mereka bukanlah segala-galanya dapat menyelesaikan segala
persoalan dalam pembangunan. Pemerintah dengan masyarakat harus saling memberi
dan menerima, saling belajar dan selalu berkomunikasi dengan baik. Kebersamaan
haruslah menjadi pegangan utama dalam segala aktivitas pembangunan. Dengan
demikian orientasi model pembangunan perdesaan ke depan harus meninggalkan
cara-cara kerja lama sebagai warisan sejarah yang tidak inovatif.
Berkaitan dengan perencanaan pembangunan perdesaan, hasil penelitian
Karnesih di Kabupaten Majalengka Jawa Barat (1997) menyimpulkan :
Pertama, peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah
khususnya yang berkaitan dengan masalah perdesaan kurang atau tidak
memperhatikan mutu dari sumber daya manusia yang relevan sebagai aparatur
pelaksana, sehingga tujuan peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat
dicapai secara optimal; Kedua, INMENDAGRI No. 4 Tahun 1981 mengenai
petunjuk teknis mekanisme perencanaan dan pengendalian pembangunan secara
konsepsi dapat terus digunakan, namun perlu direvisi; dan Ketiga, LKMD yang
tugas pokoknya merencanakan pembangunan, menggerakkan dan meningkatkan
prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan belum
dapat berfungsi seperti yang diharapkan.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perlu mengubah organisasi


pemerintah dalam pembangunan yang diarahkan kepada membangun visi bersama.

36
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Aturan-aturan formal seharusnya merupakan podaman umum dan jangan dijadikan


pedoman teknis (JUKLAK atau JUKNIS). Ketika masuk kepada persoalan
pelaksanaan dan teknis seharusnya faktor-faktor situasi dan kondisi harus menjadi
pertimbangan yang utama. Namun inilah dampak dari budaya organisasi pemerintah
yang sudah terbiasa dengan petunjuk atasan yang dianggapnya sudah baku dan sangat
mengabaikan faktor lingkungan situasional. Hal yang terpenting dimasa akan datang
adalah diperlukan perubahan yang sangat mendasar pada perilaku keorganisasian
birokrasi pemerintahan itu sendiri.

Hasil penelitian Rusli dan kawan-kawan di tujuh Kabupaten dan Kota di


Provinasi Riau (1996), khususnya berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan di
perdesaan, menyimpulkan bahwa pembangunan perdesaan perlu dilihat dalam tiga
dimensi :
Pertama, peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pemanfaatan
sumber daya, terutama yang dikuasai oleh kelompok miskin; Kedua,
pengembangan aksesibilitas kelompok miskin terhadap tanah, modal,
infrastruktur, dan input-input produktif lainnya; dan Ketiga, pengembangan
struktur sosial kelembagaan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat,
khususnya kelompok miskin, dalam mengatasi masalah secara mandiri. Ketiga
dimensi tersebut harus ditujukan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan
pendapatan melalui peningkatan kegiatan produktif.

Hasil penelitian tersebut menjelaskan pentingnya peningkatan dan pemerataan


pendapatan terutama ditujukan kepada kelompok miskin. Usaha yang sungguh-
sungguh terutama ditujukan kepada penggalian sumber setempat, peningkatan sumber
daya manusia, dukungan modal, masukan teknologi dan penyuluhan terpadu terutama
kepada masing-masing kelompok usaha. Diperlukan pula kerjasama dan dukungan
semua pihak dalam rangka pengarahan dan dukungan fasilitas sumber-sumber daya
pembangunan.

37
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

Kemudian, hasil penelitian Saptawan di tiga Kabupaten di Jawa Barat (1999)


berkaitan dengan strategi pelembagaan dalam pembangunan perdesaan
menyimpulkan :
Strategi pembangunan perdesaan memerlukan keseimbangan antara
pembangunan fisik dan pembangunan mental yang melekat secara terpadu
dalam program pembangunan yang ditetapkan pemerintah. Wujud
pembangunannya adalah program dan kegiatan yang bernuansa aspirasi dan
atau proaktif terhadap pengembangan kreasi masyarakat setempat, sehingga
menumbuhkan norma pembangunan yang menjadi kebutuhan dan dambaan
masyarakat sebagai perangsang (motivator) dan penggerak (dinamisator) untuk
maju meningkatkan kesejahteraannya.

Hasil penelitian tersebut menjelaskan pentingnya menanamkan nilai dan norma


pembangunan, karena diangap dapat memberikan kekuatan kepada aspek
pembangunan fisik. Namun demikian perlu usaha yang meyakinkan masyarakat
bahwa nilai yang dibangun itu bermakna praktis bagi kehidupannya, dan bukan hanya
sekedar jargon dan simbol-simbol serimonial sebagai tipuan.
Selanjutnya, hasil penelitian Tjenreng di perdesaan wilayah pembangunan
bagian timur Sulawesi Selatan (1993) berkaitan dengan pembangunan perdesaan
hubungannya dengan partisipasi masyarakat, desentralisasi pembangunan dan
Otonomi Desa dalam kerangka strategi pembangunan nasional menyimpulkan :
Pertama, kebijakan pembangunan desa merupakan pelaksanaan kebijakan dari
tingkat atas dan bersifat seragam (sama untuk semua desa), baik dalam
perlakuan, pengaturan, maupun dalam jumlah dana yang diberikan. Dengan
demikian keanekaragaman dan spesialisasi desa secara geografi, demografi
maupun potensi desa belum merupakan acuan dalam penetapan kebijakan
pembangunan di desa; kedua, secara empirik ada tiga model pembangunan desa
yaitu : pembangunan desa berbantuan, pembangunan desa sektoral, dan
pembangunan desa berswadaya; dan ketiga, Wewenang penyelenggaraan

38
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

urusan-urusan rumah tangga desa sendiri sangat terbatas sehingga


mempengaruhi peranan APPKD (..............................................) terhadap
kemampuan pembangunan desa yang berswadaya.

Atas dasar penelaahan dari berbagai teori dan hasil penelitian lain, ternyata
strategi pembangunan perdesaan membutuhkan suatu pendekatan yang kontekstual
berdasarkan karakteristik yang dimiliki desa bersangkutan, dan bukan penyeragaman.
Diperlukan pula aspek kebersamaan, saling belajar dan memberi informasi antara
pemerintah dan masyarakat. Upaya tersebut penting dilaksanakan dalam rangka
efektivitas pembangunan masyarakat perdesaan yang mandiri dan berkelanjutan.

d.4.2. Model Pembangunan Perdesaan di Indonesia


Dalam kaitan dengan pembangunan, Deutch (Riggs, 1988 : 5) menyatakan
sebenarnya bahwa kita tengah menggunakan model. Suka atau tidak suka, pada saat
kita berfikir secara sistematis tentang berbagai hal secara menyeluruh kita sedang
membanguna model. Ia menyatakan bahwa model yang dimaksudkan adalah setiap
struktur simbol-simbol dan aturan-aturan yang berlaku yang dianggap memiliki
kesamaan dalam dunia nyata.
Pemerintahan sering digambarkan sebagai model suatu keluarga, penguasa
dikaitkan seperti seorang ayah, sedangkan rakyat adalah sebagai anak. Dalam
pengrtian tertentu, model dapat merupakan paradigma atau kiasan yang rinci. Kalau
suatu model dipilih secara tepat, maka mudah bagi kita untuk memahami fenomena
dimana model itu diterapkan, bila dipilih sembarangan maka hasilnya akan
menyesatkan. Dengan demikian tingkat kekaburan atau kejelasan studi pembangunan
dalam masyarakat transisi (seperti Indonesia) sebahagian besarnya tergantung pada
ketepatan model-model yang kita gunakan.
Dari uraian di atas jelas bagi kita bahwa dengan menggunakan model dalam
pembangunan perdesaan diharapkan dapat memudahkan bagi setiap orang untuk
memahami fenomena dimana model itu diterapkan. Garna (1992) menyatakan dengan

39
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

model dapat menjelaskan realitas pembangunan yang sesuai atau menurut konteksnya
(kontekstual).
Dalam pada itu, pembangunan perdesaan secara nasional tidak mungkin dapat
disamaratakan, mengingat perdesaan di negara ini mempunyai ciri-ciri : umumnya
kepadatan penduduk tidak terlalu tinggi; tingkat pendidikan rendah; keadaan alam
dan geografis berbeda; kegiatan usaha utama adalah pertanian (termasuk kehutanan,
peternakan, perikanan), tingkat pendapatan masyarakat relatif rendah; masyarakat
relatif homogen dalam hal mata pencaharian, agama dan adat istiadat.
Dengan demikian, pembangunan perdesaan, menurut Findley (Saefullah, 1995 :
13) harus dilakukan dengan model pendekatan kontekstual yang sesuai dengan sifat
dan cirinya, dan tidak dapat disamaratakan begitu saja antara model dan pendekatan
pembangunan desa yang satu dengan yang lainnya .
Dalam rangka itu pembangunan perdesaan harus meliputi upaya-upaya besar
yang satu sama lain saling berkaitan. Dengan melakukan pendekatan sistem (Winardi,
1999:149) semua upaya tersebut dijadikan masukan dalam proses pembangunan
perdesaan. Kemudian, proses pembangunan perdesaan tetap pula melaksanakan
manajemen pembangunan yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian
dan pengawasan pembangunan. Kesemuanya itu merupakan suatu proses dari fungsi
manajemen yang sepenuhnya merupakan partisipasi masyarakat setempat tanpa
campur tangan berlebihan dari pihak atas.
Sejalan pula dengan upaya pemberdayaan masyarakat maka pelaksanaan
pembangunan di perdesaan disesuaikan pula dengan faktor historis desa, sumber daya
manusianya, sumber daya alamnya, nilai sosial budaya dan nilai agamanya yang
merupakan faktor-faktor lingkungan yang ikut berpengaruh (Friedmann, 1981:42;
Bryant dan White, 1982:369; Findley, 1987 : 19; Saefullah, 1995 : 13).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas suatu model pembangunan
perdesaan yang kontekstual dengan pendekatan sistem dapat digambarkan sebagai
berikut:
INPUT PROSES OUTPUT

40
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

1. Pendekatan : 1. Perencanaan 1. Pendapatan masyarakat


a. Pembangunan pembangunan: meningkat.
bangsa a. Dilakukan 2. SDM termasuk kesehatan
- Pembangunan oleh semua dan gizi meningkat.
politik unsur 3. Sarana dan prasarana desa
- Pembangunan masyarakat meningkat atau semakin
sosial b. Merupakan baik.
budaya keinginan 4. Kesadaran & persatuan
b. Pembangunan arus bawah masyarakat meningkat.
ekonomi c. Sesuai dengan 5. Masyarakat makin mengerti
c. Ekologis situasi dan hak dan tanggung
d. Sumber daya kondisi jawabnya.
manusia setempat 6. Kesadaran beragama dan
e. Mulai dari yang d. Keterpaduan berbudaya meningkat.
paling semua bidang 7. Pemerataan pembangunan
membutuhkan pembangunan dan hasilnya.
f. Pemerataan dan , SDM, 8. Kualitas lingkungan hidup
pertumbuhan ekonomi meningkat.
g. Mencukupi e. Dengan cara 9. Keadilan sosial dan
kebutuhan dasar menurut ilmu keseimbangan
h. Mengurangi dan teknologi. pembangunan.
ketergantungan f. Dilaksanakan
2. Aspek Kualitas Tokoh di desa
Formal dan Informal: g. Pada waktu
a. Keterampilan & yang jelas
kemampuannya h. Sesuai
b. Dedikasi, motivasi, kebutuhan
amanat, pelayanan,

41
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

dan pengabdian. 2. Pelaksanaan


c. Sikap mental, etos pembangunan:
kerja, tertib, a. Mengacu
tanggap, jujur, pada rencana
disiplin, kerja keras, b. Melibatkan
produktif, inovatif, semua unsur
orientasi pada hasil. c. Menggunakan
3. Pemberdayaan prinsip
Ekonomi masyarakat: manajemen
a. Pembangunan d. Menumbuhke
ekonomi mbangkan
keberpihakan pada partisipasi
petani. dan gotong
b. Pemberdayaan royong
koperasi e. Orientasi -Nilai historis Desa
c. Mencegah praktek pada hasil dan -Sumber daya
monopoli efisiensi. manusia
d. Pemilihan lahan -Sumber daya alam
e. Ketersediaan 3. Evaluasi dan -Nilai sosial dan
peralatan dan bahan Pengawasan budaya
pertanian Pembangunan : -Nilai agama
f. Pengetahuan a. Dilakukan -Ilmu pengetahuan
manajemen usaha oleh tokoh -Teknologi
g. Masukan modal dan dan -Sosial ekonomi
investasi masyarakat
h. Pengetahuan dan b. Evaluasi yang
teknologi pertanian rutin
i. Pemberdayaan c. Upaya
distribusi dan perbaikan

42
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

pemasaran hasil pada


pertanian. penyimpanga
4. Meningkatkan sumber n.
daya manusia: Feedback)
a. Pendidikan,
pelatihan dan
penyuluhan
b. Peningkatan
kesehatan dan gizi
5. Pemberdayaan lembaga
(institusi):
a. Aparat desa
b. LMD (BPD)
c. LKMD
d. PKK
e. Karang taruna
f. Bank desa atau
BPR
g. Lembaga agama
h. Lembaga adat
6. Perkebunan percotohan
Desa:
a. Mendorong
partisipasi
masyarakat
b. Memupuk semangat
gotong royong
c. Memberi
percontohan

43
K2i DI PROVINSI RIAU
T P K 2 G U B R I 2003-2008

7. Membangun sarana dan


prasarana Desa:
a. Jalan
b. Jembatan
c. Irigasi air
d. Rumah ibadah
e. Balai adat
f. Pasar
8. Penggalian Potensi
Desa:
a. Sesuai dengan
kondisi alam dan
sosial
b. Sesuai dengan
permintaan pasar
c. Sesuai pusat
pertumbuhan

Gambar 2.6. Model Pembangunan Perdesaan yang Kontektual


Sumber : Modifikasi Model Pembangunan Pedesaan yang Kontektual (Friedmann,
1981:42; Bryant dan White, 1982:369; Findley, 1987 : 19; Tjokroamidjojo dan
Mustopadidjaja, 1993 : 15-17; Saefullah, 1995 : 13; Winardi, 1999).

a. Dasar Ekonomi Baru Malaysia sebuah perbandingan

44

You might also like